MAKALAH HUKUM TATA NEGARA HUBUNGAN KEKUA

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

HUBUNGAN KEKUASAAN DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAH DAERAH

Dosen Pengajar :
Dr. Martitah, M.Hum.
Disusun Oleh :
Muhammad Thaufik Hidayat (8111416276)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

1

PRAKATA
Alhamdulillah Wasyukurillah, dengan menyebut nama Allah SWT Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya panjatkan puji syukur atas kehadiratNya yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada saya, sehingga
saya dapat menyelesaikan Makalah Hukum Tata Negara ini.
Makalah Hukum Tata Negara ini telah saya susun dalam rangka memenuhi

tugas

kuliah

dengan

judul

“HUBUNGAN

KEKUASAAN

DALAM

PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH”, yang dibimbing oleh Dr.
Martitah, M.Hum. Untuk itu kami sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan kelancaran bagi saya.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki

makalah ini.
Akhir kata, saya berharap semoga Makalah Hukum Tata Negara dengan
judul

“HUBUNGAN

KEKUASAAN

DALAM

PENYELENGGARAAN

PEMERINTAH DAERAH” ini dapat memberikan manfaat dan pengalaman bagi
pembaca.

Semarang, 14 April 2017

Penulis

2


DAFTAR ISI
Halaman sampul…………………………………………………………………1
PRAKATA………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….3
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang……………………………………………………….4
2. Rumusan Masalah……………………………………………………5
3. Tujuan………………………………………………………………..5
BAB II : PEMBAHASAN
1. Pola Hubungan Antara Eksekutif Daerah dan Legislatif Daerah…….6
2. Pola Pembagian Kekuasaan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah….11
BAB III : PENUTUP
1. Kesimpulan…………………………………………………………..13
2. Saran…………………………………………………………………14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………15

BAB I

3


PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kita tahu sendiri bahwa Negara Republik Indonesia merupakan
negara hukum yang berdaulat. Salah satu ciri negara hukum (the rule of
law ataupun rechtsstaat) adalah adanya pembatasan atau pembagian
kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam proses
pembatasan atau pembagian kekuasaan diperlukan adanya hubungan yang
jelas antara pusat dan daerah sehingga berkaitan satu sama lain dan saling
bersinergi, ini bertujuan agar terciptanya cita-cita hukum nasional yaitu
menciptakan kesejahteraan umum bagi semua rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam etnis yang
tersebar di 34 daerah provinsi memiliki hukum kebiasaan yang berbedabeda. Oleh karena itu, dalam pembuatan hukum atau peraturan daerah
disatu wilayah akan berbeda dengan peraturan daerah diwilayah yang lain.
Namun, tetap harus mempertimbangkan peraturan yang ada di pusat.
Proses pembuatan peraturan ini harus disesuaikan dengan kondisi atau
kebutuhan akan daerah tersebut dan tidak boleh bertentangan dengan UUD
Negara Republik Indonesia 1945.
Dengan adanya pembagian kekuasaan seperti ini, diharapkan
semua masyarakat Indonesia akan memperoleh perlakuan yang sama

karena Indonesia menganut prinsip equality before the law “persamaan
kedudukan didepan hukum”. Harapan yang lain yaitu terciptanya
hubungan yang baik antara pemerintah pusat dan daerah demi terciptanya
cita-cita dan tujuan Negara Indonesia.

2. Rumusan Masalah

4

1) Bagaimana Pola Hubungan Antara Eksekutif Daerah dan Legislatif
Daerah ?
2) Bagaimana Pola Pembagian Kekuasaan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah ?
3. Tujuan
1) Mengetahui Pola Hubungan Antara Eksekutif Daerah dan
Legislatif Daerah.
2) Mengetahui Pola Pembagian Kekuasaan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.

BAB II


5

PEMBAHASAN
1.

Pola Hubungan Antara Eksekutif Daerah dan Legislatif Daerah
Reformasi hukum dan konstitusi yang dimulai tahun 1998 banyak

mengubah wajah Indonesia, khususnya hukum ketatanegaraan.1 Perubahan itu
kemudian memperlihatkan bahwa Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip baru
dalam sistem ketatanegaraan, antara lain prinsip “pemisahan kekuasaan” dan
“checks and balances” yang menggantikan prinsip supremasi parlemen yang
dianut sebelumnya.2
Pola hubungan lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di daerah, dalam
hal ini ialah lembaga eksekutif (Kepala Daerah) dan lembaga legislatif daerah
(DPRD). Dari kedua institusi ini sangat diperlukan untuk mengemban
pelaksanaan prinsip pembagian kekuasaan di daerah. Pemerintahan daerah adalah
institusi eksekutif dan DPRD merupakan institusi legislative yang merupakan
representasi rakyat suatu daerah otonom. Masing-masing mempunyai hak, tugas,

dan kewajibannya sendiri namun terikat dalam tata hubungan di antara keduanya
yang bersifat kemitraan.
Mekanisme pola hubungan antara eksekutif dan legislatif daerah memang
seyogyanya bisa dikaji dari mekanisme pola hubungan antara eksekutif dan
legislatif yang ada pada pemerintahan pusat (baik itu pada Negara federal maupun
Negara kesatuan). Karena pada dasarnya UU yang menjadi landasan untuk
pelaksanaan atau penyelenggaraan pemerintahan daerah memang harus tidak
boleh bertentangan dengan konstitusi negara. Negara bagian dalam negara federal
memanglah memiliki hak dan kewenangan untuk membuat perundang-undangan
sendiri, akan tetapi pola hubungan antar lembaga negara bagian tetap merupakan
bentuk cerminan dari pemerintah pusat (federal). Di samping itu, pola hubungan
antara eksekutif dan legislatif di daerah juga bias dikaji dari sistem pemerintahan
negara, apakah negara tersebut menerapkan sistem pemerintahan parlementer atau
sistem presidensiil.
1 Martitah. 2013. Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive
Legislature?. Jakarta. Konstitusi Press. Hlm. 1.
2 Ibid., hlm.2.

6


Dalam demokrasi parlementer, parlemen merupakan lembaga yang sangat
menonjol dan keberadaan pemerintah sangat bergantung pada besar kecilnya
dukungan dari parlemen. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensiil
(menerapkan sistem desentralisasi) terdapat mekanisme pembagian kekuasaan
secara prinsipil membuat pola hubungan antar lembaga pemerintahan bersifat
sejajar dan tidak saling mendominasi.3 Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan
dan memperkuat ketentuan (UUD 1945) agar dilaksanakan dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketentuan tentang pemerintahan daerah yang
semula hanya 1 ayat dalam 1 pasal, berkembang menjadi 3 pasal yang berisi 11
ayat ketentuan, 4 ini menandakan bahwa Indonesia merupakan negara presindesiil
yang menjunjung tinggi asas demokrasi.
Pola hubungan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif daerah menurut
J.Kaloh ada 3 bentuk, yaitu :
A. Bentuk hubungan searah positif
B. Bentuk hubungan konflik
C. Bentuk hubungan searah negatif 5
A. Bentuk Hubungan Searah Positif
Pola hubungan searah positif terjadi manakala eksekutif dan
legislatif


daerah

memiliki

visi

yang

sama

dalam

menjalankan

pemerintahan dan bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan seluruh
masyarakat sebagai cerminan dari suatu pemerintahan yang baik, yang
pada prinsipnya memiliki cirri-ciri : (1) transparan, (2) demokratis, (3)
berkeadilan, (4) akuntabel, dan (5) obyektif. Dalam pola hubungan ini,
penyelenggaraan


pemerintah

harus

memperhatikan

faktor

ideal,

berdasarkan keinginan dan harapan masyarakat serta memperhatikan
aturan hukum yang ada.
B. Bentuk Hubungan Konflik

3Najih, Muhammad, dan Soimin. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Malang.
Setara press. Hlm. 138.
4 Martitah. Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat dan Perwujudan The
Living Constitution. Jurnal Hukum. Vol. 1. No. 1. November. 2012. Hlm. 38.
5 Najih, Muhammad, dan Soimin. Op.Cit. hlm. 139.


7

Pola hubungan konflik terjadi manakala antara eksekutif dan
legislatif daerah tidak memiliki kesinkronan atau kesepahaman baik yang
menyangkut visi dan misi secara kelembagaan maupun yang berhubungan
dengan visi dan misi daerah. Keadaan ini akan memunculkan langkahlangkah yang tidak produktif didalam penyelenggaraan pemerintahan,
sehingga tujuan daerah akan sulit untuk terealisasi.
C. Bentuk Hubungan Searah Negatif
Pola hubungan searah negatif terjadi manakala antara eksekutif dan
legislatif daerah memiliki kesamaan visi dan misi yang cenderung
menyeleweng dan merugikan masyarakat daerah bahkan negara. Hal ini
bias terjadi ketika kedua lembaga tersebut melakukan KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) di dalam menyelenggarakan pemerintahan di
daerah.
Pada dasarnya pembagian pola hubungan antara eksekutif dan legislatif dapat
dibedakan menjadi dua kategori yaitu :
A. Pola Hubungan Subordinatif
Pola hubungan satu arah yang mana kewenangannya hanya
dimiliki oleh satu lembaga pemerintahan yakni dalam hal ini eksekutif
atau legislatif saja. Akan tetapi pola hubungan semacam ini di Indonesia
terutama di daerah menjadi tidak berlaku, karena demokrasi di Indonesia
belum tampak menerapkan checks and balances sebagaimana mestinya,
sehingga di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan tidak jarang
menimbulkan konflik karena terdapatnya interpretasi yang dibuat oleh
masing-masing pihak secara tidak seimbang.

B. Pola Hubungan Kemitraan
Pola hubungan dua arah ini dimiliki oleh lembaga eksekutif dan
lembaga legislatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

8

memberikan kewenangan yang bersifat partnership. Jelasnya pola
hubungan timbal balik ini memberikan kewenangan yang seimbang antara
lembaga eksekutif dan legislatif di dalam menjalankan roda pemerintahan
daerah sebagai implementasi dari otonomi yang memberikan kekuasaan
desentralisasi kepada daerah.
Menurut

Hoogerwarf,

desentralisasi

merupakan

pengakuan

atau

penyerahan wewenang oleh badan-badan publik yang lebih tinggi kepada badanbadan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan
berdasarkan kepentingan sendiri mengambil keputusan di dibidang pengaturan
dan pemerintahan.

6

Menurut Jimly Asshidiqie ada 12 prinsip pokok negara

hukum yang merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu
negara hukum salah satunya yaitu prinsip pembatasan kekuasaan.7
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 merupakan landasan pluralism hukum,
terutama dalam hal tata pemerintahan daerah. Di dalam sistem hukum nasional
terdapat beberapa sistem hukum yang lebih kecil dan terbatas yang saling terkait
dan tertata dalam kesatuan sistem hukum nasional. 8
Untuk dapat memahami pola hubungan antara eksekutif dan legislatif
daerah harus dapat melihat kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing institusi. Ketentuan yang mengatur tentang kewenangan DPRD
dengan Kepala Daerah di berbagai peraturan perundang-undangan termasuk
dalam UU Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah itu
dapat diketahui pola hubungan kewenangan ke dalam beberapa hal yaitu :

A. Hubungan Perundang-undangan
Hubungan perundang-undangan merupakan konsekuensi dari
pemerintahan yang berotonomi dalam rangka mengatur dan mengurusi
6 Asshiddiqie, Jimly. 2015. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta.
Rajawali Pers. Hlm. 294
7 Martitah. 2013. Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive
Legislature?. Jakarta. Konstitusi Press. Hlm. 33.
8 Martitah. Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat dan Perwujudan The
Living Constitution. Jurnal Hukum. Vol. 1. No. 1. November. 2012. Hlm. 39.

9

rumah tangganya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
rakyatnya. Untuk itu, DPRD dan Kepala Daerah diberikan kewenangan
untuk membuat dan menetapkan norma hukum berupa Peraturan Daerah
dan Keputusan Kepala Daerah sebagai peraturan pelaksanaannya, serta
diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan
Daerah. Hubungan ini bersifat dua arah atau kemitraan.
B. Hubungan Anggaran
Hubungan anggaran merupakan hubungan kewenangan antara
DPRD dengan Kepala Daerah dalam rangka penyusunan RAPBD dan
menetapkan APBD serta perubahan APBD. Dari hasil kemufakatan
tersebut salah satu lembaga tersebut akan melaksanakan pengawasan.
Biasanya pengawasan akan dilakukan oleh DPRD dengan hubungan
sepihak atau satu arah.
C. Hubungan Pengawasan
Hubungan pengawasan adalah hubungan yang dimiliki oleh
anggota DPRD dan DPRD secara kelembagaan terhadap Kepala Daerah.
Hal ini merupakan suatu upaya untuk menciptakan pemerintahan yang
demokratis. Dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan di daerah
tidak terjadi penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan secara bersama-sama untuk
menjadi arah kebijakan pemerintahan daerah. Hubungannya bersifat satu
arah atau subordinatif.

2. Pola Pembagian Kekuasaan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah dan daerah otonom. Urusan pemerintahan

10

dimaksud sebagai pembagian kekuasaan pemerintah pusat dan daerah
dalam hubungan pemerintahan meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Politik luar negeri
Pertahanan
Keamanan
Yudisial
Moneter
Agama

Dari keenam bidang tersebut merupakan pembagian kewenangan
dalam

penyelenggaraan

pemerintahan

desentralisasi

yang

otoritas

pemegang kendali kekuasaan berada pada pemerintah pusat. Selain
kewenangan tersebut di atas, maka kewenangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah baik berdasarkan
tugas pembantuan maupun berdasarkan kebijakan otonomi daerah.
Kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah meliputi :
1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat
4) Penyediaan sarana dan prasarana
5) Penanganan bidang kesehatan, dll
Disamping itu, terdapat sebagian urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya
dalam bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang
concurrent secara proporsional antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maka disusunlah criteria yang
meliputi :
1. Kriteria Eksternalitas
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila

11

dampak

yang

ditimbulkan

bersifat

lokal,

maka

urusan

pemerintahan tersebut menjadi kewenangan Kabupaten/Kota,
apabila regional menjadi kewenangan Provinsi, dan apabila
nasional menjadi kewenangan Pusat.
2. Kriteria Akuntabilitas
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani
sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih
dekat atau langsung dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani

tersebut.

Dengan

demikian,

akuntabilitas

penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada
masyarakat akan lebih terjamin.
3. Kriteria Efisiensi
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil,
dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan
kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan
dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan
berhasil guna dilaksanakan oleh Daerah Provinsi atau Daerah
Kab/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah Pusat.
Untuk itu, pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan
memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian
urusan pemerintahan tersebut, apakah pemerintah pusat ataukah
pemerintah daerah sesuai dengan pembagian tugas kekuasaan
dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

12

Reformasi hukum dan konstitusi yang dimulai tahun 1998 banyak
mengubah wajah Indonesia, khususnya hukum ketatanegaraan. Perubahan
itu kemudian memperlihatkan bahwa Indonesia mengadopsi prinsipprinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, antara lain prinsip “pemisahan
kekuasaan” dan “checks and balances” yang menggantikan prinsip
supremasi parlemen yang dianut sebelumnya.
Pola hubungan lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di daerah,
dalam hal ini ialah lembaga eksekutif (Kepala Daerah) dan lembaga
legislatif daerah (DPRD). Dari kedua institusi ini sangat diperlukan untuk
mengemban pelaksanaan prinsip pembagian kekuasaan di daerah.
Pemerintahan daerah adalah institusi eksekutif dan DPRD merupakan
institusi legislative yang merupakan representasi rakyat suatu daerah
otonom. Masing-masing mempunyai hak, tugas, dan kewajibannya sendiri
namun terikat dalam tata hubungan di antara keduanya yang bersifat
kemitraan.
Desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang
oleh badan-badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik
yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan
kepentingan sendiri mengambil keputusan di dibidang pengaturan dan
pemerintahan. Pada dasarnya pembagian pola hubungan antara eksekutif
dan legislatif daerah dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu pola
hubungan subordinatif atau satu arah dan pola hubungan kemitraan atau
dua arah.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah dan daerah otonom. Ada enam bidang
yang hanya menjadi urusan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yudisial, moneter, dan agama. Selain kewenangan
tersebut di atas, maka kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan
akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah baik berdasarkan tugas
pembantuan maupun berdasarkan kebijakan otonomi daerah.

13

Disamping itu, terdapat sebagian urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya
dalam bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.
2. Saran
Dari penjelasan yang telah saya paparkan sebelumnya terdapat
sebuah kelebihan dan kekurangan, namun untuk meningkatkan pemaparan
diatas adapun saran-saran untuk menunjang sebuah peningkatan dari
materi maupun penerapannya adalah :
1) Alangkah

baiknya

dalam

menjalankan

pemerintahan

baik

pemerintah maupun pusat terdapat hubungan yang baik dan tidak
ada konflik apapun demi terwujudnya cita-cita dan tujuan hukum
nasional
2) Alangkah baiknya jika setiap individu dapat memahami dan
mengerti benar mengenai pola hubungan kekuasaan pemerintah
3) Sebaiknya pemerintah dan masyarakat dapat membangun kerja
sama yang baik guna mewujudkan negara Indonesia yang
demokratis.

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2015. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta.
Rajawali Pers.
Martitah. 2013. Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke
Positive Legislature?. Jakarta. Konstitusi Press.

14

Martitah. Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat dan Perwujudan
The Living Constitution. Jurnal Hukum. Vol. 1. No. 1. November. 2012.
Najih, Muhammad, dan Soimin. 2013. Pengantar Hukum Indonesia.
Malang. Setara press.

15