HUKUM TATA NEGARA INDONESIA SISTEM PEM

HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Pasal 18 UUD 1945
Apabila dilihat dari sejarah pembukaan UUD 1945, dapat dikatakan Muh. Yamin
lah orang pertama yang membahas masalah pemerintahan daerah dalam sidanng BPUPKI
29 Mei 1945. Pada kesempatan itu pula Muh. Yamin melampirkan rancangan sementara
perumusan Undang-Undang Dasar yang memuat tentang pemerintahan daerah.
Seperti halnya Muh. Yamin, Soepomo selaku Ketu Panitia Kecil Perancang
Undang-Undang Dasar dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 juga menyampaikan
pemikirannya. 1
Berdasarkan pendapat dari dua tokoh perancang UUD 1945 tersebut, dapat
disimpulkan bahwa esensi yang terkandung dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945
pertama, adanya daerah otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang
didasarkan pada asas desentralisasi. Kedua, satuan pemerintahan tingkat daerah menurut
UUD 1945 dalam penyelenggaraan dilakukan dengan “memandang dan mengingati
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara”. Ketiga, pemerintahan
tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan dengan “memandang dan mengingati
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.2
Adanya perintah kepada pembentuk undang-undang dalam menyusun undangundang tntang desentralisasi territorial harus “memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara”, menurut ketentuan Pasal 18
UUD 1945 adalah bahwa dasar permusyawaratan juga diadakan pada tingkat daerah.

Dengan demikian, permusyawaratan/perwakilan tidak hanya terdapat pada pada
pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada pemerintahan tingkat daerah. Dengan
kata lain, Pasal 18 UUD 19945 menentukan bahwa pemerintahan daerah dalam susunan
daerah besar dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaran atau harus mempunyai
badan perwakilan.
Hak melakukan pemerintahan sendiri sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah
negara kesatuan (eenheidsstaat) tidak lain berarti otonomi, yaitu hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri. Dengan demikian, makin kuat alasan bahwa
1 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 279-281.
2 Ibid., hlm. 282-283.

pemerintahan dalam susunan daerah besar dan kecil menurut Pasal 18 tidak lain dari
pemerintahan yang disusun atas dasar otonomi.3
B. Makna Daerah yang Bersifat Istimewa
Penjelasan UUD 1945 Pasal 18 mengidentifikasikan “hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai daerah-daerah yang mampunyai susunan
asli yaitu zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Kedua susuna
pemerintahan ini meskipun tunduk pada tingkat berbagai pemerintahan Hindia-Belanda
memang merupakan pemerintahhan asli Indonesia. Landschap dan volksgemeenschap
bukan suatu susunan pemerintahan bentuk atau ciptan peraturan perundang-undangan

atau pemerintahan Hindia-Belanda, melainkan pemerintahan yang diciptakan dan
dijalankan oleh “bumu putera”.
Setelah rancangan UUD yang bersangkutan ditetapkan oleh PPKI dan diberi
penjelasan resmi dalam Berita Republik Indonesia, ternyata angka II penjelasan itu
(Penjelasan Pasal 18) menyatakan volksgemeenschap seperti desa, negeri, dusun, atau
marga dapat dianggap sebagai daerah bersifat istimewa.4
Dalam alinea terakhir Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 berbunyi: “Negara
Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
aturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut”. Jadi, konsekuensi dari jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 tersebut adalah
bahwa setiap aturan negara atau peraturan perundang-undangan mengenai “daerah yang
bersifat istimewa” itu haruslah tidak mengabaikan asal-usul daerah tersebut.
UUD 1945 mengikuti kenyataan historis bahwa daerah-daerah istimewa itu telah
memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan
pemerintahan di daerahnya. Hak-hak itu berupa hak yang dimiliki berdasarkan pemberian
dari pemerintah dan hak yang dimilikinya sejak semula (hak yang bersifat autochtoon).
Perwujudan dan hak asal-usul atau yang bersifat autochoon itu bisa bermacam-macam.
Tetapi dari bermacam-macam hak itu secara garis besarnya dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yakni:
1. Hak asal-usul yang menyangkut struktur kelembagaan, yang tersirat dari katakata “susunan asli”;

2. Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan
dan pemberhentian pemimpin;
3 Ibid,. hlm. 283-284.
4 Ibid,. hlm. 285-286.

3. Hak asal-usul yang menyangkut penyelenggaraa urusan-urusan pemerintahan
terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pembebanan
terhadap masyarakat.5
Keterangan bahwa desa, negeri, dan sebagainya adalah daerah-daerah yang
bersifat istimewa juga tidak tepat. Hal yang nyata-nyata dianggap istimewa dengan hakhak asal-usul ialah zelfbesturende landschappen, yaitu daerah-daerah kerajaan/
kesultanan yang masih ada diseluruh Indonesia pada waktu itu. 6

C. Daerah Istimewa dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950
Pengaturan daerah istimewa dalam Konstitusi RIS ternyata juga tetap
memperoleh jaminan. Hanya saja konsepsi tentang daerah istimewa dalam konstitusi RIS
agak berbeda dengan UUD 1945. Apa yang ada dalam UUD 1945 dinamakan
zelfbesturende landschappen dalam konstitusi RIS disebut daerah Swapraja, yang diatur
dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 67. Akan tetapi, daerah swapraja itu tidak
dinyatakan sebagai daerah istimewa. Daerah yang secara eksplisit juga disebut sebagai
daerah istimewa hanyalah Kalimantan Barat. Juga tidak disebutkan dalam konstitusi RIS

bahwa volksgemeenschappen yang ada pada waktu itu termasuk dalam pengertian daerah
istimewa.
Meskipun didalam konstitusi RIS Pasal 65 terdapat ketentuan bahwa kedudukan
daerah swapraja harus dilakukan dengan kontrak antara daerah bagian dengan swapraja,
namun dalam praktik kenegaraan selama RIS berdiri tidak ada suatu daerah bagian yang
mengadakan kontrak dalam arti perjanjian tertulis dengan swapraja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undng No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah, timbul kemungkinan untuk menjadikan daerah swapraja sebagai daerah
istimewa. Daerah swapraja yang tidak dijadikan daerah istimewa tetap mempunyai
kedudukan sebagai swapraja.7
Ada sebagian swapraja yang tidak dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa.
Swapraja yang tidak dapat dijadikan sebagai daerah istimewa karena misalnya tidak
memenuhi syarat yang diminta Pasal 18 UU No. 22 Tahun 1948 tetap mempunyai status
swapraja selama belum ada pengaturan lebih lanjut. Sejak tanggan 17 Agustus 1945
5 Ibid,. hlm. 287-288.
6 Ibid,. hlm. 290.
7 Ibid,. hlm 294-296.

sampai Republik Indonesia menjadi negara bagian pada tanggal 17 Agustus 1949, tidak
ada daerah swapraja yang terhapus karena suatu peraturan dari Republik Indonesia.

Dengan terbentuknya Negara Kesatuan RI, pembuat UUDS 1950 mempunyai
pendapat lain tentang pengaturan kedudukan swapraja. Di dalam UUDS 1950 kedudukan
swapraja diatur dalam Pasal 32, yang menyatakan sebagai berikut:
1. Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan Undang-Undang dengan
ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahnya harus diingat pula
ketentuan dalam pasal 131 dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan
dalam sistem pemerintahan negara.
2. Daerah-daerah swapraja yang tidak dapat dihapuskan atau diperkecil
bertentangan denggan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan
sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menurut
pernyataan atau pengecilan itu, member kuasa untuk itu kepada pemerintah.
3. Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud
dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh badan pengadilan
yang dimaksud dalam Pasal 108.
Dalam UUDS 1950 dinyatakan bahwa tidak selayaknya kedudukan swapraja
diatur dengan suatu kontrak. Daerah swapraja adalah sama derajatnya dengan daerahdaerah lain. Keistimewaannya karena hanya mempunyai hak asal-usul yang perlu
mendapat perhatian sendiri.
Dalam Pasal 132 ayat (2) UUDS 1950 ditentukan bahwa daerah swapraja dapat
dihapuskan atas dasar kepentingan umum. Adapun pangkal tolak tindakan pemerintah
untuk menghapuskan swapraja adalah atas dasar kepentingan umum yang semata-mata

demi tegaknya asas kerakyatan (demokrasi).8

D. Pengaturan Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan UUD 1945
Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20
Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu ditahun
1999, UUD 1945 yang selama pemerintahan orde baru disakralkan dan tidak dapat
diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama kalinya UUD
1945 dilakukan perubahan oleh MPR.
8 Ibid,. hlm. 297-298.
9 Ibid,. hlm. 299.

9

Karena terjadi perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945, maka penjelasan UUD
1945 yang selama ini “ikut-ikutan” menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan daerah
tidak berlaku lagi. Selain meniadakan kerancuan, penghapusan penjelasan Pasal 18
sekaligus juga sebagai penataan tatanan UUD baik dari sejarah pembuatan Penjelasan
(dibuat kemudian) maupun meniadakan “keganjilan” bahkan “anomali” selain tidak
lazim UUD memiliki penjelasan, juga selama ini penjelasan dianggap sebagai sumber
hukum disamping (bukan sederajat dengan) ketentuan batang tubuh UUD.

Perubahan Pasal 18 (baru) ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian
daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah dan dalam
daerah terdapat daerah kabupaten dan kota.
Baik secara konseptual maupun hukum, pasal-pasal baru pemerintahan daerah
dalam UUD membuat berbagai paradigm baru dan arah politik pemerintahan daerah yang
baru pula. Hal-hal tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan berikut:
1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).
2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5).
3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat 1).
4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat 2).
5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat 1).
6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum
(Pasal 18 ayat 3).
7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan
adil (Pasal 18A ayat 2).10

E. Asas-Asas Pemerintaha Daerah

1. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan
pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih
tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintahan
daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu.
Dengan demikian, praksara wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan
yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai

10 Ibid,. hlm. 301-306.

politik kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaannya maupun mengenai segi-segi
pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.
2. Asas Dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari
Pemerintaha Pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertical tingkat yang lebih
tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada pada
Pemerintah Pusat. Baik perencanaan dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya
dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil Pemerintah
Pusat.
Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah bahwa tidak semua urusan

Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah menurut asas
desentralisasi.
3. Asas Tugas Perbantuan
Asas tugas perbantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam
pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan
kewajiban mepertanggungjawabkannya kepada yang member tugas. Misalnya,
Kotamadya menarik pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan, yang sebenarnya
menjadi hak dan urusan Pemerintah Pusat. Berdasarkan prinsip-prinsip diatas,
jelaslah bahwa wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah otonom dan wilayahwilayah administratif.
Daerah otonom atau daerah swatantra adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu, yang berhak, berwewenang, dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlku.
Daerah dibentuk berdasarkan asas desentralisasi.
Wilayah administrasi atau wilayah adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah
yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah. Wilayah ini dibentuk
berdasarkan asas dekonsentrasi.
Syarat-syarat dibentuknya suatu daerah, antara lain:
1. Mempu membiayai kehidupannya (kemampuan ekonomi);
2. Jumlah penduduk yang ditentukan;

3. Luas daerah;
4. Memperhatikan pertahanan dan keamanan nasional;
5. Pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa;

6. Dapat melaksanakan pembangunan untuk daerahnya.11
F. Pemerintahan Daerah dalam Beberapa UU
1. UU NO 1 TAHUN 1945 TENTANG KOMITE NASIONAL DAERAH
Pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI untuk sementara menetapkan berbagai hal
tentang pemerintah daerah :
1. Untuk sementara waktu, daerah negara Indonesia dibagi dalam 8 provinsi
yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Provinsi-provinsi
tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo,
Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.
2. Daerah Provinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh Residen,
Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).
3. Untuk sementara waktu, kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan sampai
sekarang.
4. Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang.
2. UU RI NO.22 TAHUN 1948 TENTANG POKOK PEMERINTAH DAERAH
Undang-undang No.1 tahun 1945 masih jauh dari kesempurnaan dan harapan

sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan daerah yang berkedaulatan rakyat.
Hal itu termuat dalam penjelasan umum Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai
berikut :
1. Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
merasa akan pentingnya untuk segera memperbaiki pemerintah daerah yang
dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial
berdaswarkan kedaulatan rakyat (Demokrasi) dengan ditentukan batas-batas
kekuasaannya.
2. Karena kesederhanaan Undang-undang No. 1 tersebut, kewajiban dan
pekerjaan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengatur rumah
tangganya sendiri tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat dengan baik.
Karena itu DPRD tidak mengetahui batas-batas kewajibannya dan bekerja ke
arah yang tidak tentu. Dewan itu lebih memperhatikan soal-soal politik
mengenai beleid pemerintah pusat daripada kepentingan daerahnya.

11 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah Indonesia Hukum Administrasi Daerah (Jakarta:
Sinar Grafika:2014), hlm. 3-5.

3. Pemerintah Kabupaten, Kota, Keresidenan dan desa yang berotonomi masih
meneruskan seperti era penjajahan, sehingga belum memberikan manfaat
yang banyak terhadap kepentingan rakyat / daerahnya.
3. UNDANG-UNDANG NIT NO. 44 TAHUN 1950 TENTANG PEMERINTAHAN
INDONESIA TIMUR
Beberapa hari sebelum tercapainya persetujuan antara negara RI (Yogyakarta)
dengan pemerintah RIS yang juga bertindak atas nama NIT dan NST untuk
membentuk negara kesatuan dan untuk menyesuaikan pemerintahan daerah dengan
keadaan yang akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-undang No.
44 tahun 1950 yang disebut dengan nama UU Pemerintahan Daerah-daerah
Indonesia Timur. Undang-undang No. 44 tahun 1950 sengaja dipersiapkan dan
ditetapkan untuk menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara Kesatuan
terutama penyesuaian bentuk ketatanegaraan wilayah NIT terhadap bentuk negara
kesatuan.
Berhubung RUU ini disusun dengan sangat tergesa-gesa dan mengoper saja apa
yang terdapat didalam Undang-undang No. 22 tahun 1948, sehingga isinya tidak jauh
berbeda dengan Undang-undang No. 22 tahun 1948 kecuali terdapat perubahan
seperlunya seperti :
1. Susunan penamaan daerah.
2. Sebutan resmi untuk DPD adalah Dewan Pemerintah dan keanggotaannya
diambil dari bukan anggota DPRD.
3. Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk, juga
mempertimbangkan luasnya otonomi, kekuatan keuangan, dan suasana
politik.
4. Penolakan pengesahan terhadap putusan DPRD bagian dan anak bagian,
keberatan dapat diajukan kepada Pemerintah Agung, sedangkan Undangundang No. 22 tahun 1948 diajukan kepada DPD setingkat lebih atas dari
DPD yang menolak.
5. Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950 tidak mengatur tentang Sekretaris
Daerah dan pegawai daerah, siapa mewakili daerahnya didalam dan diluar
pengadilan, pajak dan keuangan daerah, sedangkan anggaran pendapatan dan
belanja hanya diulas sekilas dalam penjelasan.

Kemiripan dan kesamaan substansi materi antara dua Undang-undang tersebut
terjadi pula dalam hal kewenangan DPRD juga kewenangan Kepala Daerah.
4. UU NO. 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUDS 1950,
pemerintah menganggap perlu untuk mengundangkan sebuah peraturan perundangundangan pemerintah daerah yaitu Undang-undang No. 1tahun 1957 tentang pokokpokok Pemerintahan Dearah. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 131
UUDS 1950 yang berbunyi :
1. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang erhak mengurus
rumah tangganya sendiri, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan

undang-undang,

dengan

memandang

dan

mengingat

dasar

permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2. Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus
rumah tangganya sendiri
3. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada
daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Pasal 131 UUDS 1950 ini hanya mengatur dasar-dasar desentralisasinya yang
tidak bermakna ganda sebagaimana Pasal 18 UUD 1945, yang selain memuat dasar-dasar
desentralisasi juga memuat dasar dasar dekonsentrasi, khususnya yang terdapat dalam
penjelasannya.
Dalam mewujudkan kedudukan DPRD sebagai pemegang kekuasaan yang
tertinggi dalam pemerintahan daerah, DPRD mempunyai beberapa kewenangan.
Berpedoman pada beberapa kewenangan dimaksud, terlihat bahwa kewenangan DPRD
berdasrkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 lebih luas bila dibandingkan dengan UU
terdahulu. Bahkan didalam UU ini tidak ada pengaturan pengawasan pemerintah terhadap
keputusan-keputusan daerah tingkat II dan III sebab MDN hanya dapat mengawasi secara
langsung sampai pada batas daerah tingkat I. Akibatnya muncul kekhawatiran akan
tumbuh suburnya daerahisme yaitu semangat menempatkan kepentingan daerah diatas
kepentingan nasional.
Selanjutnya kewenangan DPD / Kepala Daerah adalah terletak dalam wilayah
kekuasaan eksekutif yang merupakan pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah

ditetapkan oleh DPRD. Untuk menjalankan kewenangan tersebut DPD dapat juga
diserahi beberapa kewenangan dibidang perundang-undangan dalam rangka menjalankan
peraturan daerah, misalnya diberikan pula kewenangan di bidang legislatif , meskipun
hanya terbatas pada pembuatan peraturan. Disamping itu DPD memiliki kewajiban
memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD sebagai konsekwensi dari
kewenangan yang telah diberikan oleh DPRD dimaksud. Meskipun Undang-undang No.1
tahun 1957 ini dapat dikatakan sebagai UU yang cukup demokratis dengan meletakkan
beberapa kewenangan yang cukup kuat terhadap DPRD,disisi lain DPD diberikan fungsi
kontrol yang seakan-akan meniadakan prinsip demokrasi tersebut.
5. UU RI NO. 18 TAHUN 1965 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DAERAH
Undang-undang No. 1 tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 tahun 1965
mempunyai persamaan mendasar yang bermaksud melaksanakan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah. Akan tetapi keseluruhan urusan yang diselenggarakan oleh
daerah otonomi pada dasarnya bersumber dari penyerahan urusan dari Pusat.Jadi inisiatif
daerah dalam mengurus urusan-urusan tertentu hampir dapat dikatakan tidak ada.Hal ini
antara lain disebabkan :
1. Otonomi merupakan sesuatu yang baru bagi rakyat Indonesia.
2. Kurangnya tenaga terampil dalam penyelenggaraan otonomi
3. Keuangan daerah tetap bergantung kepada pusat.
Menurut Pasal 5 ayat (1),pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan
DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala daerah dibantu oleh wakil
kepala daerah dan badan pemerintah harian (BPH).Susunan yang demikian
memperlihatkan bahwa didalam UU ini terdapat dua jabatan yang membantu kepala
daerah dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari yaitu wakil kepala daerah dan
BPH.Walupun keduanya menyandang posisi sebagai pembantu kepala daerah, terdapat
perbedaan yang sangat prinsipil yaitu bahwa kata ’dibantu’ pada wakil kepala daerah
secara otomatis dapat melakukan kewenangan-kewenangan kepala daerah jika kepala
daerah tidak dapat melaksanakan kewenangannya juga dapat menggantikan posisi kepala
daerah jika kepala daerah meninggal dunia atau diberhentikan (berhalangan tetap)
sementara BPH tidak demikian.
Sebagai realisasi dari ketentuan yang memberikan pemusatan kewenangan
pemerintah daerah kepada kepala daerah, tentu kepala daerah menjadi pusat daya upaya
kegiatan pemerintah daerah yang bergerak dibidang urusan rumah tangga daerah dan

menjadi mata rantai yang kuat dalam organisasi pemerintah pusat. Dengan kata lain
bahwa kewenangan DPRD tidaklah begitu penting karena UU tersebut menganggap
DPRD bukanlah pemegang kekuasaan yang utama dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah.
Kedudukan kepala daerah adalah sebagai alat pemerintah pusat dan sebagai alat
pemerintah daerah dan mempunyai kewenangan masing-masing. Dalam melaksanakan
kewenangannya, sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh Badan
Pemerintah Harian (BPH). Tugas BPH ini memberikan pertimbangan kepada kepala
daerah baik diminta atau tidak, dan menjalankan tugas yang diberikan oleh kepala daerah,
sehingga institusi BPH ini hanya bersifat penasehat belaka. Oleh karena itu sebagai alat
pemerintah daerah, kepala daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintah daerah baik dibidang urusan rumah tangga daerah maupun dibidang
pembantuan.

6. UU NO. 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DI DAERAH
Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara wilayah NKRI dibagi atas daerahdaerah otonom dan wilayah administratif. Adanya wilayah administratif ditandai dengan
adanya/dibentuknya instansi pusat (Kanwil,Kandep) dari level provinsi hingga
kabupaten/kota. Susunan teritorial daerah menggunakan sistim daerah bertingkat,
sebagai Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II.
Didalam Undang-undang No. 5 tahun 1974, prinsip pemberian otonomi yang
seluas-luasnya telah ditinggalkan dan diubah menjadi prinsip otonomi daerah yang nyata
dan bertanggung jawab dan dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah,
yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan
sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam
penyelenggaraan pemerintah di daerah. Selain itu yang menarik dari UU ini adalah dari
penamaan judul tentang ”Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah”. Penamaan yang
terdapat dalam UU pemerintah daerah yang pernah berlaku sejak tahun 1948 bernama
UU tentang Pokok Pemerintah Daerah, tanpa imbuhan ”Di” untuk menunjukkan bahwa
UU ini tidak semata-mata mengatur mengenai desentralisasi, dengan kata lain tidak

hanya mengatur tentang pemerintahan otonom dan medebewind juga mengatur tentang
pemerintahan dekonsentrasi.
Dalam UU ini, yang dimaksud dengan pemerintah daerah terdiri dari kepala
daerah dan dewan perwakilan rekyat daerah. Konstruksi yang demikian tercermin bahwa
UU ini sebenarnya lebih mengutamakan kepala daerah dibanding DPRD.
Asumsi yang demikian ada benarnya bila dicermati dari esensi Undang-undang No.5
tahun 1974 yang mendudukkan fungsi-fungsi kepala daerah begitu kuat dan dominan
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibandingkan DPRD, baik dalam hal proses
pencalonan

dan

pengangkatannya,

pertanggungjawaban

dan

kewenangan-

kewenangannya maupun dalam hal fungsinya sebagai Kepala Daerah Otonom dan
sebagai Kepala Wilayah Administratif sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 81
yakni sebagai penguasa tunggal.
Dalam tataran teoretik yuridik memang disebutkan bahwa antara kedua lembaga
tersebut memiliki pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi
antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan
DPRD bergerak dalam bidang legislatif, tetapi dalam praktiknya ternyata Kepala Daerah
lebih mendominasi dan seolah-olah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
DPRD.
7. UU NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Undang-undang No. 22 TAHUN 1999 merupakan upaya terus menerus untuk
menata sistem pemerintahan di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami
kekurangan, kelemahan, dan menghambat demoktratisasi di daerah. Oleh sebab itu
didalam UU ini terdapat beberapa perbaikan dan perubahan antara lain menguatnya peran
dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah terhadap DPRD
dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi
di daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999
menganut paham pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Hal-hal yang bukan merupakan wewenang Pemerintah Pusat dengan sendirinya
menjadi wewenang Pemerintahan daerah. Hal tersebut mirip dengan paham negara

federal yaitu hal-hal yang bukan kewenangan konstitusional negara federal dengan
sendirinya menjadi kewenangan negara bagian.
Dalam Undang-undang No.22 tahun 1999 menghapus hierarki antara pemerintah
kabupaten / kota dengan provinsi. Pemerintah kabupaten / kota bukanlah daerah
bawahan dari provinsi. Penghapusan hierarki ini sekaligus mengikis birokratisasi
pelaksanaan pemerintahan yang pada akhirnya akan menciptakan efisiensi pelayanan
kepada masyarakat. Hubungan antara dengan kabupaten/Kota masing-masing berdiri
sendiri dan tidak memiliki hubungan hirarki (tidak bertingkat).
Undang-undang No. 22 tahun 1999 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah
Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah provinsi.
Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kewenangan DPRD dan Kepala Daerah yaitu dimulai dari Undang-undang No. 1 tahun
1945 sampai Undang-undang No. 22 tahun 1999 dapat dinyatakan bahwa bila di analisis
berdasarkan teori pembagian kekuasaan, terlihat dengan jelas bahwa kewenangan kedua
organ pemerintahan daerah tersebut belum seimbang dan tidak jarang terlihat monopoli
salah satu organ atas organ lainnya. Kenyataan tersebut jelas bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori demokrasi. Didalam Undang-undang No. 22
tahun 1999 kewenangan Kepala Daerah mulai dikurangi, bahkan sebaliknya DPRD yang
mempunyai kewenangan yang cukup kuat. Namun penguatan peran dan fungsi DPRD
yang semula diharapkan dapat menghidupkan demokrasi dan desentralisasi dalam rangka
perwujudan otonomi yang seluas-luasnya ternyata disalahtafsirkan serta disalahgunakan
oleh sebagian besar para anggota DPRD. Akibatnya demokrasi menjadi kebablasan
kearah arogansi, sementara pengawasan yang lemah dari pemerintah pusat terhadap
DPRD dan Pemerintah Daerah menambah terbengkalainya program otonomi daerah,
sehingga kepentingan rakyat selalu menjadi korban. Atas pengalaman sejarah yang
mengecewakan tersebut terasa betapa urgennya pemahaman dan penerapan pembagian
kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan yang
demokratis dilaksanakan secara proporsional yang dilandasi dengan semangat
keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara teoretik akan membuka
peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi,

demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka negara kesatuan yang sejahtera,
adil dan teratur.
8. UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
Tiga alasan utama mengenai perubahan / revisi secara mendasar terhadap
Undang-undang No. 22 tahun 1999 yaitu :
1. Alasan hukum berupa amandemen kedua, khusus terhadap Pasal 18 UU RI
tahun 1945.
2. Alasan administratif berupa keadaan ”terlampau luasnya rentang kendali
antara pemerintah pusat terhadap kabupaten / kota.
3. Alasan empiris berupa keadaan / kejadian timblnya masalah aktual yang
dapat mengganggu kegiatan berbangsa serta berpemerintahan dengan berbagai
problematika Otonomi Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 mengenal hubungan bertingkat antara

dan

kabupaten/kota. Urusan-urusan kabupate/kota juga merupakan bagian dari urusan-urusan.
UU ini meletakkan aspek demokrasi dan peran serta masyarakat secara mendasar
dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.Karena itu fungsi dan peran DPRD dipisahkan
secara tegas dengan fungsi dan peran Pemerintah Daerah, yang mana dengan UU
sebelumnya sangat jelas berlawanan. Undang-undang No. 22 tahun 1999 mengatur
Kepala Daerah Kabupaten / kota dipilih oleh DPRD tanpa melalui persetujuan Menteri
Dalam Negeri dan atau Presiden. Sementara untuk Gubernur karena fungsi gandanya
sebagai kepala daerah provinsi dan wakil pemerintah pusat , nama-namacalon Gubernur
dan Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan
Presiden. Bupati / Walikota dan Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD dan tidak
kepada Menteri Dalam Negeri atau Presiden. Sementara itu seiring dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 Kepala Daerah tidak lagi dipilih
oleh DPRD melainkan melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
Dengan demikian Kepala Daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi
bertanggungjawab

kepada

rakyat.

Dalam

pelaksanaan

tugas

kepala

daerah

menyampaikan

laporan

petanggungjawaban

kepada

Pemerintah

(pusat)

dan

menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKP) kepada DPRD.
Demikian pula Undang-undang No.32 tahun 2004 menghapus asas dekonsentrasi
pada daerah Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah provinsi.
Undang-undang No.32 tahun 2004 tidak lagi mengenal paham pembagian wewenang
tetapi penyerahan/pelimpahan tugas dalam bentuk urusan wajib dan urusan pilihan.
Dengan demikian semua kewenangan pemerintah daerah dan kota pada prinsipnya
merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman
administratif tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah kabupaten dan kota
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan
sendiri.12

12 Dewa, ” Deskripsi tentang sejarah pengaturan penyelenggaraan Pemerintah daerah di indonesia”
diakses dari https://dewaarka.wordpress.com/2011/10/02/deskripsi-tentang-sejarah-pengaturanpenyelenggaraan-pemerintah-daerah-di-indonesia/ , pada tanggal 12 November 2017 pukul. 19.15

Daftar Pustaka
Dewa, 2011, Deskripsi tentang sejarah pengaturan penyelenggaraan
Pemerintah

daerah

di indonesia,

[Online],

(https://dewaarka.wordpress.com/2011/10/02/deskripsi-tentangsejarah-pengaturan-penyelenggaraan-pemerintah-daerah-diindonesia/, diakses pada tanggal 12 November 2017)
Huda, Ni’matul. 2009. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2014. Pemerintahan Daerah Di
Indonesia Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika.