Kiblat Magz 01 2014 REVISI

SALAM

okus umat Islam terhadap krisis Suriah terbelah. Belum kering darah
yang ditumpahkan rezim kair Bashar Asad, itnah muncul dalam bentuk
perselisihan yang tajam di antara elemen Mujahidin. Menentukan siapa
benar siapa keliru, bukan semudah membalik tangan. Fitnah yang
rumit dan lebih ruwet ketimbang menentukan jawaban mana lebih duluan;
telur atau ayam.

F

Masing-masing pihak memiliki landasan dan argumen tersendiri atas sikap
dan tindakan yang diambilnya. Belum kelar mentas dari keprihatinan ini,
muncul lagi keprihatinan yang tak kalah memilukan. Sebagian aktivis jihad
Indonesia hari ini terjebak dalam pengkubuan, larut dalam klaim membenarkan
satu kelompok dengan mencela kelompok lain—meski kelompok-kelompok
tersebut sama-sama mujahidin.
Internet menjadi lahan pergunjingan. Vonis-vonis keji seperti “kair” dan
“murtad” begitu mudah diucapkan ketika tak dicapai kata sepakat dalam
berdebat. Cepat reaksi, instan berpikir dan gampang berkesimpulan, adalah
wabah yang diakibatkan oleh sindrom debat kusir internet ini. Kita pun terbius,

dan tak lagi tertarik untuk mendalami masalah dan peristiwa secara lebih adil,
bijak dan ilmiah.
Sebagai bagian dari media umat Islam, kiblat.net merasa berkewajiban untuk
memberikan informasi yang utuh, tak berpihak dan yang tak kalah penting
memiliki pijakan ilmiah. Kami memandang titik krusial yang menjadi pemantik
itnah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah status kepemimpinan
dan konsekuensi baiat kepadanya.
Rancangan penulisan majalah ini sudah kami susun sebulan lalu, sebelum
juru bicara ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani mendeklarasikan pendirian
khilafah oleh ISIS. Meski pengakuan statusnya telah berubah dari “daulah”
menjadi “khilafah,” tulisan dalam majalah ini tetap relevan sebagai pijakan dasar
untuk memahami bagaimana konsep Islam dalam imamah (kepemimpinan)
tersebut. Selamat membaca!
Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah,
Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R, Miftahul Ihsan MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu
konten dari situs berita Islam www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma.
Email : kiblatmedia@gmail.com Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah 0298526555 BNI Syariah atas
nama Muh Bashirudin Rosyed.

kiblat


Ramadhan 1435 h

2

MUNAQOSYAH

BAIAT
KEWAJIBAN,
APLIKASI &
PENYELEWENGAN
eklarasi Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) April 2013—yang
kemudian disusul pendeklarasian khilafah pada 29 Juni 2014
lalu—menyisakan polemik. Seruan baiat kepada Syaikh Abu
Bakar Al-Baghdadi, pemimpin ISIS yang menyusul deklarasi
tersebut mendapat berbagai tanggapan. Ada yang disambut dan ada yang
ditolak. Dihantar kecanggihan sarana teknologi informasi dan komunikasi,
polemik itu pun sampai juga ke Indonesia. Seseorang yang menyebut dirinya
Ikhwan yang taat kepada Allah disebut-sebut sebagai orang pertama yang
menyatakan baiat kepada ISIS.1


D

Namun, tidak sedikit ulama yang menganggap baiat Syaikh Al-Baghdadi
tidak sah. Salah satu contohnya, Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan
mengatakan, “Daulah maupun Al-Baghdadi tidak berhak atas baiat umum
kaum muslimin, karena salah satu syarat baiat umum adalah dipilih oleh Ahlu
Halli wal ‘Aqdi, dan Al-Baghdadi tidak dipilih oleh siapa pun. Bila Dr. Ayman AzZhawahiri yang merupakan amir dan penanggung jawabnya saja tidak setuju
dengan sikapnya, bagaimana ia menuntut orang lain untuk membaiatnya?”2

1.
2.

http://al-mustaqbal.net/baiat-pertama-dari-indonesia-mulai-mengalir-ke-isis/ [23 Juni 2014]
http://www.youtube.com/watch?v=eapGxmDk9f8&feature=youtu.be [23 Juni 2014]

kiblat

Ramadhan 1435 h


3

MUNAQOSYAH
Banyak atau sedikitnya dukungan kepada
sesuatu pada dasarnya tidak bisa menjadi
dasar untuk menentukan sikap. Dasar
bagi orang beriman untuk berbuat adalah
ilmu yang benar, karena ilmu mendahului
perkataan dan perbuatan.
Ada ungkapan salaf, “Bila engkau mampu
untuk tidak menggaruk kepala kecuali
dengan dalil, maka lakukanlah.” Artinya,
dalam urusan agama, kita tidak boleh ikutikutan. Orang ke utara kita ke utara, orang
ke selatan kita pun nurut! Boleh saja ikut
ke utara, tetapi apa dasarnya? Maka dalam
urusan ini, berbaiat atau tidak, semua harus
dilandasi dengan ilmu yang benar.
Baiat adalah salah satu elemen dalam
sebuah jamaah yang mengikat antara
pemimpin dan jamaahnya. Maknanya,

tujuan baiat adalah mempersatukan umat
Islam dalam satu pemimpin dan jamaah.
Sebab esensi dari baiat adalah ketaatan dan
kesetiaan kepada pemimpin selama tidak
dalam maksiat.
Berjamaah adalah perintah Islam, “Dan
berpeganglah kalian kepada tali (agama)
Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali
Imran: 103). Banyaknya perselisihan dan
perbedaan manhaj akibat pemahaman yang
keliru tentang Islam maka lahirlah Manhaj
Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Ulama salaf menjelaskan bahwa berjamaah
adalah: mengikuti sunnah meskipun engkau
sendirian. Maka, ketika ada dua orang
yang mengikuti sunnah, keduanya harus
bergabung dalam satu jamaah sebagai
pelaksanaan perintah berjamaah dalam
Al-Qur’an. Bila tidak, yang terjadi adalah
perpecahan. Sebab masing-masing pihak

akan mengklaim kebenaran. Ini baru dua
orang.

Bagaimana bila dari dua ini berkembang
dan banyak pengikut?
Tulisan ini mengajak pembaca untuk
berdiskusi tentang baiat sebagai elemen
untuk mewujudkan kehidupan berjamaah,
yang kemudian dalam praktiknya justru
perpecahan yang terjadi. Kemudian, kita akan
mencoba mengurai di manakah kesalahan
itu dan bagaimana perbaikan yang mesti kita
lakukan untuk kembali kepada tujuan awal,
yaitu berjamaah dalam kebenaran.
Deinisi Baiat
Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Baiat ialah
ungkapan tentang akad dan perjanjian,
seolah-olah masing-masing pihak menjual
apa yang ada pada dirinya dan memberikan
jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar

hatinya.” 3
Ibnu Khaldun mengatakan, “Baiat ialah janji
untuk taat. Orang yang berbaiat itu berjanji
kepada pemimpinnya untuk menyerahkan
kepadanya segala kebijaksanaan tentang
urusan dirinya dan urusan kaum muslimin,
sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat
kepada perintah pimpinan yang dibebankan
kepadanya, suka maupun tidak.”4
Baiat adalah bagian dari syariat Islam
sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah.
Bahkan diabadikan di dalam Al-Qur’an.

‫ذين ُيبايِعونَكَ اإِنَما ُيبايِعو َن اللَ َه َي ُد اللَ ِه‬
َ َ‫اإِ َن ال‬
ٰ‫َفوقَ اَيدي ِهم َف َمن نَ َك َث َف إِانَما َين ُك ُث َعلى‬
ِ ‫ن‬
‫َفس ِه َو َمن اَوفى ٰ بِما ٰع َه َد َع َلي ُه اللَ َه َف َس ُيؤتي ِه‬
‫جرا َعظي ًما‬
ً َ‫ا‬

3.
4.

Baiah i Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha,
wa syurutuha, Dr. Raghib As-Sirjani.
Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299

kiblat

Ramadhan 1435 h

4

MUNAQOSYAH

"Bahwasanya
orang-orang
yang
berbaiat kepada kamu, mereka berbaiat
kepada Allah. Tangan Allah di atas

tangan mereka, maka barang siapa
yang melanggar janjinya niscaya akibat
ia melanggar janji itu akan menimpa
dirinya sendiri dan barang siapa
menepati janjinya kepada Allah maka
Allah akan memberinya pahala yang
besar." (Al-Fath:10)
Sepeninggal beliau, umat Islam membaiat
Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dan
pemimpin umum bagi umat Islam. Maka
dengan proses ini umat Islam bersatu dalam
barisan.
Baiat Sughra dan Kubra
Dari peristiwa sejarah dan dalil-dalil nash,
para ulama membagi baiat menjadi dua,
yaitu baiat kubra dan sughra.
Baiat kubra adalah baiat kepada pemimpin
kaum muslimin (khalifah). Sedangkan baiat
sughra adalah baiat untuk tetap setia dalam
perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan

kepada orang lain. Baiat ini berlaku terhadap

penguasa dan juga terhadap selain mereka.5
Banyak orang belum memahami tentang
syariat baiat sughra ini, terutama dalam amal
berjamaah.
Baiat sughra adalah baiat atau ‘ahdun
(perjanjian) yang diambil atas amal makruf
syar’i. Dalam ungkapan lain, merupakan akad,
janji, dan ikatan yang bersyarat. Termasuk
jenis ini adalah baiat untuk melakukan
bentuk amal saleh apa saja.6
Di antara dalil yang menunjukkan adanya
baiat sughra adalah irman Allah dalam surat
Al-Fath: 10 dan 18.
“Bahwasanya orang yang berjanji setia
kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka, maka barang siapa yang
melanggar janjinya niscaya akibatnya akan

menimpa diri sendiri dan barang siapa
menepati janjinya kepada Allah maka Allah
akan memberinya pahala yang besar.” (Al5

6

Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah i Al-‘Alaqoh
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman
(Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.153
Lihat kitab Al-Mausu’ah Al-Muyassarah i Al-Adyan
wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah (II/10001006) yang diterbitkan oleh WAMY (World Assembly
of Moslem Youth

kiblat

Ramadhan 1435 h

5

MUNAQOSYAH
Fath: 10)

Qiyas Imam Safar?

Peristiwa baiat yang disebutkan dalam
ayat di atas adalah Baiatur Ridwan yang
terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan
lagi–sebagaimana yang disebutkan para
sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut
bukanlah baiat dalam rangka mendaulat
Rasulullah n sebagai pimpinan tertinggi
kaum muslimin.

Jika ada yang mengatakan bahwa
imarah safar tidak dapat diqiyaskan dengan
imarah amal islami yang lain, maka dapat
diterangkan sebagai berikut:

1
2
3

Imarah jamaah-jamaah Islam
tidak hanya bersandar pada hadits
safar, namun ada dalil-dalil lain.

Qiyas imarah jamaah-jamaah
Islam terhadap imarah safar
merupakan qiyas shahih (benar)
lantaran kesamaan ‘illat (sebab).

Baiat
tersebut
merupakan
sikap
pembelaan para sahabat terhadap Utsman
bin Affan yang diisukan telah dibunuh
oleh kair Quraisy. Baiat untuk membela
darah Utsman bin Affan sampai titik darah
penghabisan. 7

Sesungguhnya jamaah yang
berlangsung terus menerus lebih
utama untuk menyelenggarakan
imarah untuk menata kerapian dan
ketertibannya daripada jamaah yang
bersifat sementara sebagaimana safar. 8

Selain itu ada juga Baiatun Nisa
sebagaimana diterangkan dalam irman
Allah Surat Al-Mumtahanah ayat 12.

4

Selain ayat Al-Qur’an di atas, hadits yang
diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id dan
Abu Hurairah juga mendukung adanya
baiat sughra secara eksplisit, Rasulullah n
bersabda:

‫اِ َذا كَا َن ثَلا َ َث ٌة ِفى َس َف ٍر َفالْ ُي َؤ ِم ُر ْوا َع َل ْي ِه ْم‬
‫اَ َح َد ُه ْم‬
“Apabila ada tiga orang dalam safar
maka hendaknya mereka mengangkat
amir (pimpinan) salah satu di antara
mereka.” (Sunan Abu Dawud no. 2608)

Baiat sughra/baiat amal jama’i
juga
tidak
berlaku
untuk
selamanya meskipun rentang
waktunya lebih lama dari imarah safar.
Imarah amal jama’i juga akan berakhir,
yaitu ketika seorang khalifah syar’i
telah dibaiat.

Di antara dalil lebih khusus dan spesiik
yang menunjukkan adanya baiat ini adalah
hadits Jabir bin Abdillah ra. yang diriwayatkan
Imam Muslim. Jabir a berkata:

‫َج َاء َع ْب ٌد َف َبا َي َع ال َن ِب َي َصلَى اللَه َع َل ْي ِه َو َسلَ َم‬
‫َع َلى الْ ِه ْج َر ِة‬

Ibnu Taimiyyah berkata, “Apabila telah
diwajibkan mengangkat seorang amir dalam
perkumpulan dan masyarakat yang paling
kecil dan bersifat sementara (dalam safar),
maka hal ini menunjukkan lebih wajibnya
mengangkat amir dalam skala yang lebih
besar darinya.”
7

Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hlm. 298

“Datang seorang hamba sahaya lalu
berbaiat kepada Nabi saw atas hijrah.”
(Shahih Muslim no. 4113)

8

Al-‘Umdatu i I’dadil ‘Uddah hlm. 69

kiblat

Ramadhan 1435 h

6

MUNAQOSYAH

BOLEHKAH MELAKUKAN BAIAT AMAL?

B

eberapa kalangan menilai bahwa
baiat hanya berlaku dari rakyat
untuk khalifah. Sedangkan baiat
amal dalam sebuah jamaah
minal Muslimin, dianggap bid'ah.
Pemahaman ini bisa ditanggapi dari
beberapa sisi:

Pertama, anggapan bahwa tidak ada
baiat jenis ini pada masa dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab bertolak
belakang dengan kenyataan yang
ada. Justru, para ulama dan ahli tarikh
menyebutkan adanya pernyataan “saling
setia” antara Muhammad bin Suud—
pelopor Daulah Saudi I—dan Syaikh
Muhammad rahimahumallah. Bahkan,
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menukilnya
dalam risalah beliau yang berjudul AlImam Muhammad bin Abdul Wahhab:
Da’watuhu wa Siratuhu, hlm. 38-39, Cet.
Kerajaan Arab Saudi.
Ibnu Suud berkata, “Wahai Syaikh, saya
akan berbaiat (menyatakan setia) kepada
Anda untuk membela agama Allah dan
Rasul-Nya dan untuk berjihad di jalan
Allah. Namun, saya khawatir, jika Anda
kami dukung dan kami bela lalu Allah
memenangkan Anda atas musuh-musuh
Islam, jangan-jangan Anda akan memilih
negeri lain untuk berpindah ke sana dan
meninggalkan negeri kami.”.
Syaikh menjawab, “Saya tidak berbaiat
kepada Anda untuk tujuan semacam
itu. Saya berbaiat kepada Anda untuk
menegaskan tekad bahwa darah harus
dibayar dengan darah, penghancuran
harus dibalas penghancuran. Saya tidak
akan keluar dari negeri Anda selamanya.”

Kedua, perbuatan atau perkataan para
ulama dan dai pada dasarnya bukanlah
dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah
dalam permasalahan syar’i. Pendapat
mereka diikuti sepanjang kesesuaiannya
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau
sebagaimana perkataan Imam Malik,
“Setiap perkataan seseorang bisa diterima
dan ditolak kecuali pemilik kubur ini
(Rasulullah) n.” 1
Berargumen
dengan
sikap
dan
perbuatan ulama dan para dai untuk
mendukung pendapat tidak adanya baiat
shugra/amal jelas telah bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
dikemukakan di atas. Bahkan, bertentangan
dengan perbuatan sahabat ketika perang
Yarmuk yang terjadi pada tahun 13 H.
Saat itu, pasukan muslim yang
berjumlah 40.000 orang menghadapi
240.000 pasukan Romawi. Setelah pecah
pertempuran dengan dahsyatnya, Ikrimah
a membaiat 400 pasukan muslim ‘alal
maut (siap untuk mati). Kemudian pasukan
ini menyerbu musuh hinggga seluruh
pasukan ini mendapatkan gugur atau
dalam keadaan luka parah. Sedang korban
di ihak musuh ada 120.000 orang.2
Perlu kita tegaskan pula bahwa
jumlah sahabat yang ikut dalam perang
ini berjumlah sekitar seribu, namun
tidak seorang pun di antara mereka
yang mengingkari perbuatan Ikrimah,
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Katsir.3 (Fahruddin)
1
2
3

Siyaru A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi: VIII/93
Lihat: Fathul Bari: XIII/63
Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah: VII/9

kiblat

Ramadhan 1435 h

7

MUNAQOSYAH
Karakter Baiat Sughra dan Kubra
• Baiat Sughra
Dalam baiat sughra, orang yang dibaiat
(mubaya’) bisa saja khalifah atau kaum
muslimin sebagian dengan sebagian
lainnya.9 Ini adalah baiat yang dilakukan
sebagian manusia, baik tiga orang maupun
lebih banyak untuk berjanji dan menaati
dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada
Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja yang
terlibat dalam suatu perjanjian.
Baiat ini berlaku bagi mereka untuk
berjanji dalam ketaatan apapun tanpa
adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar
ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang
yang teraniaya dan menolong orang yang
dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari
jalan—bila menuntut ikatan baiat—maka ini
termasuk Baiat Sughra.

Komitmen terhadap Baiat Sughra sifatnya
wajib bagi orang yang telah suka rela
bergabung di dalamnya, dan tidak mengikat
orang di luar baiat tersebut. Jika seseorang
telah mengikat janji setia, maka wajib baginya
untuk memenuhi ikatan janji tersebut.10
9
10

Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu ie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu ie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235

Keluar dari Baiat Sughra
adalah maksiat karena telah
mengingkari janji yang
mengikat antara sesama
muslim. Dan ini telah jelas
dalam syariat tentang
hukum mengingkari janji
dalam perkara ketaatan.
Berdasarkan sifat tersebut, maka dalam
satu wilayah bisa terjadi banyak baiat
dengan arah masing-masing. Maka ketika
ada dua jamaah —atau lebih— dari sebagian
umat Islam dengan baiat masing-masing,
hubungannya bersifat kerja sama dan
nasihat, bukan perintah dari atas ke bawah.
Jamaah-jamaah ini bisa mengarah kepada
penggabungan (tansik) untuk membentuk

jamaah umat Islam yang satu bila terjadi
kesepakatan. Atau terbentuk jamaah yang
memiliki kekuatan (syaukah) sehingga jamaah
yang menyelisihi tunduk di bawahnya.
Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah.
Setelah kaum Anshar dan Muhajirin bersatu
di bawah kepemimpinan Rasulullah n.
Kekuatan (syaukah) pun terwujud. Sampai
Rasulullah wafat, kelompok yang menyelisihi

kiblat

Ramadhan 1435 h

8

MUNAQOSYAH
atau orang-orang munaik tetap ada, tetapi
syaukah tidak ada pada mereka, sehingga
tunduk di bawah otoritas kaum muslimin,
yakni Daulah Nabawiyah n.

Barang siapa tidak berbaiat karena ada
uzur, ia diberi uzur (maaf). Barang siapa tidak
berbaiat tanpa uzur maka dia dipaksa (untuk
berbaiat), agar kesatuan kaum muslimin
tidak terpecah.”14

• Baiat Kubra

Setiap muslim wajib memegang teguh
baiatnya. Berdasarkan hadits:

Dalam Baiat Kubra, orang yang dibaiat
adalah Imam A'dham (khalifah).11 Pihak yang
membaiat adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari
umat ini atau seorang khalifah sebelumnya
setelah melakukan pertimbangan dan syura
di antara kaum muslimin.
Orang yang dibaiat atau dinobatkan
menjadi khalifah wajib memenuhi syaratsyarat baiat.12

Baiat Kubra mengharuskan
orang yang dibaiat untuk
menerapkan segala
ketentuan syariat bagi kaum
muslimin.13
Di sisi lain, umat wajib mendengar dan
taat kepada imam serta menolongnya
selama tidak dalam maksiat.

‫ات ِمي َت ًة‬
َ ‫ َم‬،‫س ِفي ُع ُن ِق ِه َب ْي َع ٌة‬
َ ‫َو َم ْن َم‬
َ ‫ات َولَ ْي‬
‫َجا ِه ِل َي ًة‬
“Barang siapa mati dan belum berbaiat,
maka matinya seperti mati dalam
keadaan jahiliah.” (HR. Muslim dari
Ibnu Umar).
Dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap
jamaah dan imamnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih
dari Hudzifah).15
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata,
“Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum
muslimin adalah wajib menurut syar’i.”16
Setelah berbaiat, komitmen selanjutnya
ialah mendengar dan taat, serta tidak
melepaskan baiatnya kecuali dengan alasan
yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah n
bersabda:

‫ لَ ِق َي الل َه َي ْو َم الْ ِق َيا َم ِة‬،‫َم ْن َخ َل َع َيدًا ِم ْن َطا َع ٍة‬
‫َلا ُح َج َة لَ ُه‬

Kewajiban dan komitmen baiat kubra
Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika
imamah (khilafah) telah terwujud dengan
kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau dengan
salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka
wajib bagi seluruh rakyat membaiatnya untuk
mendengar dan taat dan untuk menegakkan
kitab Allah k dan sunnah Rasulullah n.
11
12
13

Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu ie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7.
Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban,
lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17.

"Barangsiapa melepaskan tangan dari
ketaatan (kepada Amir), maka dia
berjumpa dengan Allah di hari kiamat
dalam keadaan tidak memiliki hujjah."
(HR. Muslim dari Ibnu Umar).

14
15
16

Al-Qurthubi, Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal: 302,
Maktabah Syamilah
Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23.
Lihat: Abdul Qadir bin Abdul Aziz, al-Umdah ii I’dadil
Uddah: 1/144

kiblat

Ramadhan 1435 h

9

MUNAQOSYAH
Maksud tidak ada hujjah, seperti dijelaskan
oleh Imam Nawawi, ialah tidak ada alasan
baginya di dunia dengan tindakannya itu.
Sedangkan maksud tidak ada ‘uzur adalah
tidak ada alasan yang berguna baginya
untuk menyelamatkan dari ancaman Allah
pada hari kiamat.17

Al Hafidz Ibnu Hajar
(wafat 852 H) dalam Fathul
Bari mengatakan, “Yang
dimaksud dengan al miitah
al jaahiliyyah (mati dalam
keadaan jahiliah) adalah
keadaan mati seperti
matinya orang jahiliah.
Yakni mati dalam kesesatan;
tidak mempunyai imam yang
ditaati karena mereka dulu
tidak tahu yang demikian. Ia
tidak mati kafir, namun mati
dalam keadaan maksiat.”
Beliau melanjutkan, “(Ungkapan al miitah
al jahiliah) mengandung makna tasybih
(penyerupaan) atas zahirnya, yang maknanya
dia mati seperti mati jahiliah walaupun dia
bukan orang jahiliah.”18

Dengan memahami perbedaan antara
Baiat Kubra dan Baiat Sughra, maka
jelaslah bahwa imam kaum muslimin yang
dimaksudkan dalam hadits tersebut bukan
pemimpin kelompok atau jamaah yang
ada saat ini. Akan tetapi maksud imam di
sini adalah pemimpin yang disepakati oleh
seluruh kaum muslimin dengan memenuhi
segala syarat yang ada. Dan yang menjadi
titik tekan juga adalah pemimpin tersebut
merupakan pemimpin yang menjalankan
syariat islam.

Jadi, kedudukannya
benar-benar menjadi
khalifah yang menjalankan
fungsi kepemimpinan,
yaitu menjaga agama
(menjalankan hukum islam)
dan mengatur kemaslahatan
dunia.
20

Karena pemimpin yang demikianlah yang
wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin n
(Fahruddin)

Imam Ahmad ditanya tentang makna
hadits “Barang siapa mati, sedang dia tidak
memiliki imam, maka matinya seperti mati
dalam keadaan jahiliah.”
Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah
imam itu?” Yaitu imam yang telah disepakati
oleh kaum muslimin. Mereka semua
menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”19
17
18
19

An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol. 6, p. 323.
Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, (Beirut: Dar
Ma'rifah, ), vol. 13, p. 7
Dinukil dari al-Wajiz ii Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat
ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230.

20

Lihat: Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7

kiblat

Ramadhan 1435 h

10

MUNAQOSYAH

I

Bagaimana
Menyikapi Dualisme
Kepemimpinan
Dalam Islam?

slam menghendaki umatnya bersatu
dalam jamaah dan satu pemimpin.
Karena itulah, Islam melalui lisan Nabi
n memberikan sanksi berat terhadap
upaya yang mengarah kepada dualisme
kepemimpinan. Hal ini tampak dalam haditshadits berikut:

‫ َو َث َم َر َة‬،‫َو َم ْن َبا َي َع اإِ َما ًما َفاَ ْع َطا ُه َص ْف َق َة َي ِد ِه‬
‫ َف إِا ْن َج َاء ا َآخ ُر‬،‫ َف ْل ُي ِط ْع ُه اإ ِِن ْاس َت َطا َع‬،‫َق ْل ِب ِه‬
‫ُي َنا ِز ُع ُه َفاضْ ِر ُبوا ُع ُن َق ا ْلا آ َخ ِر‬
"Barang siapa telah membaiat imam
serta memberikan kesetiaan dan
loyalitas kepadanya, maka hendaklah
dia menaatinya semampu mungkin,
kemudian bila datang orang lain
yang menyainginya maka penggallah
lehernya." (Riwayat Muslim).

‫ َفا ْق ُتلُوا ا ْلا آ َخ َر ِم ْن ُه َما‬، ِ‫اإِ َذا ُبويِ َع لِ َخ ِلي َف َت ْين‬
"Bila dilakukan baiat kepada dua
khalifah, maka bunuhlah yang paling
akhir dari keduanya." (Riwayat Muslim).

َ‫ات َف َم ْن َا َرا َد اَ ْن ي ُف ِرق‬
ٌ ‫َس َت ُكو ُن َه َن‬
ٌ ‫ات َو َه َن‬
‫الس ْي ِف‬
َ ِ‫َه ِذ ِه ا ْلا ُ َم ِة َو ِه َي ج ِمي ٌع َفاضْ ِر ُبوه ب‬
‫كَائِ ًنا َم ْن كَا َن‬
"Akan terjadi kekacauan dan kekacauan,
barang siapa ingin memecah persatuan
umat ini sedangkan umat itu sedang
bersatu, maka penggallah lehernya
dengan pedang siapa pun orangnya."
(Riwayat Muslim).

،‫َم ْن َا َتا ُك ْم َو َا ْم ُر ُك ْم َج ِمي ٌع َع َلى َر ُجلٍ َو ِاح ٍد‬
،‫ اَ ْو ُي َف ِرقَ َج َما َع َت ُك ْم‬،‫ُيرِي ُد اَ ْن َيشُ َق َع َصاكُ ْم‬
‫َفا ْق ُتلُو ُه‬
"Barang siapa datang kepada kalian
sedangkan urusan kalian itu bersatu
di bawah kepemimpinan seorang
pria, dan ia ingin membelah tongkat
(kepemimpinan) kalian atau memecah
barisan kalian, maka bunuhlah."
(Riwayat Muslim).
lll

kiblat

Ramadhan 1435 h

11

MUNAQOSYAH

perjalanan yang jauh.
Tetapi, Al-Juwaini melihat
kebolehan ini berada di luar
permasalahan yang telah
pasti hukumnya.
"Para ulama mazhab kami berpendapat
pelarangan penyematan imamah kepada dua
orang di semua penjuru dunia, sedangkan
menurut saya bahwa penyematan imamah
kepada dua orang di satu wilayah yang
berdekatan itu tidak boleh dan ijma telah
terjalin terhadap hal itu.

Para ulama menetapkan kaidah-kaidah
yang jelas pula dalam perkara ini. AlMawardi Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, "Dan
bila kepemimpinan disematkan kepada dua
imam di dua negeri, maka kepemimpinan
mereka itu tidak sah, dikarenakan tidak boleh
bagi umat ini ada dua imam di waktu yang
sama." (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal: 9).
Al-Qurthubi
menjelaskan
alasan
pelarangan tersebut, “Ini adalah dalil
yang paling jelas menunjukkan larangan
pengangkatan dua imam, karena itu bisa
menyebabkan
timbulnya
kemunaikan,
perselisihan, perpecahan, kekacauan dan
lenyapnya kenikmatan.” (Tafsir Al Qurthubi,
1/273).

Namun, menurut AlQurtubi juga dan beberapa
ulama lain, dualisme
kepemimpinan dibolehkan
bila wilayahnya berjauhan
dan dipisahkan oleh

Adapun bila jaraknya berjauhan dan
dua imam itu dipisahkan oleh perjalanan
yang sangat jauh, maka di dalam hal itu
ada kemungkinan (boleh). Dan ini di luar
permasalahan yang qath'i." (Lihat Al Irsyaad
Ilaa Qawathii'il Adillah Fi Ushulil I'tiqad).
Baiat dalam Kondisi Imam Belum Pasti
Ada yang menarik dalam hal ini. Abdullah
bin Umar adalah sahabat yang meriwayatkan
hadits ancaman mati jahiliyah bagi orang
yang tidak berbaiat kepada imam kaum
muslimin, seperti disebutkan sebelumnya.
Namun
bagaimana
sikapnya
ketika
kekhilafahan belum jelas? Mari kita lihat!
Diriwayatkan
bahwa
Muawiyah
menunaikan ibadah haji pada tahun 51 H.
Selain itu ia juga berkeinginan mengambil
baiat kaum muslimin untuk anaknya, Yazid.
Lalu ia mengirim utusan untuk memanggil
Ibnu Umar. Setelah bertemu, Muawiyah
mengucapkan syahadat dan berkata, “Wahai
Ibnu Umar! Kamu pernah berkata kepadaku
bahwa kamu tidak ingin tidur satu malam
pun tanpa ada pemimpin (khalifah). Aku

kiblat

Ramadhan 1435 h

12

MUNAQOSYAH
ingatkan kepadamu agar kamu mencegah
perselisihan kaum muslimin, atau kamu akan
menyebabkan pertikaian di antara mereka!
Ibnu Umar mengucapkan tahmid dan
memuji Allah, lalu berkata, "Amma ba’du,
sebelum dirimu, banyak khalifah yang
mempunyai anak, dan anakmu tidak lebih
baik daripada anak-anak mereka. Akan
tetapi mereka tidak melakukan untuk anakanak mereka sebagaimana yang kamu
lakukan untuk anakmu. Mereka membiarkan
kaum muslimin untuk memilih orang pilihan
mereka.
Engkau
mengingatkan
agar
aku
mencegah perselisihan kaum muslimin. Aku
tidak akan melakukan hal itu. Aku hanyalah
seorang dari kalangan kaum muslimin. Jika
mereka telah sepakat akan suatu perkara,
maka kau sepakat dengan mereka. Semoga
kamu dirahmati oleh Allah!’ Lalu Ibnu Umar
keluar.”1
Hal yang sama juga terjadi pada masa
lain. Abdullah bin Umar, pada mulanya tidak
berbaiat kepada Abdullah bin Zubair ataupun
Abdul Malik bin Marwan. namun ketika umat
sepakat kepada Abdul Malik bin Marwan,
beliau pun berbaiat kepadanya. Diriwayatkan
dari Abdullah bin Dinar, ia berkata, "Aku
melihat —pada saat umat berkumpul untuk
berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan
sebagai khalifah— Ibnu Umar berkata,
“Sesungguhnya aku menyatakan mendengar
dan taat kepada hamba Allah Jalla wa ‘ala,
Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas
ketetapan Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla
dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu,
dan sesungguhnya anak-anakku telah
menyatakan hal yang sama.”(HR. Al-Bukhari
no. 7203 dan 7205).
1

Imam Suyuti, Tarikh khulafa, hal: 150

Kisah lebih lengkap tentang baiat Abdullah
bin Umar RA ini, baca halaman 16.
lll

Menurut DR. Yahya Ismail, salah
satu karakteristik syariat Islam adalah
menghilangkan segala kesempitan dan
kesulitan dalam beribadah. Begitu juga
halnya dalam urusan baiat.

Seseorang tidak boleh
dipaksa untuk berbaiat
kepada salah seorang
imam jika mayoritas rakyat
belum setuju dengan
kepemimpinan tersebut.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan
beberapa alasan bahwa Islam membolehkan
seorang muslim untuk meninggalkan baiat
dan kepatuhan, apabila berada dalam kondisi
sebagai berikut:

1
2

Terjadi perebutan kekuasaan
antara dua penguasa yang sah
dan belum jelas siapakah di antara
keduanya yang lebih berhak menerima
baiat.
Terjadi itnah peperangan internal
umat Islam dan diyakini bahwa
hal itu bisa diredakan jika tidak
ada baiat.2

Baiat Zaman Fitnah
Sudah hampir satu abad, kaum muslimin
kehilangan kepimpinan Islam yang dikenal
2

Minhajul I'tidal, hal. 176, An-Nadhariah Siyasah
Islamiah, hal. 195, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Hal.
178

kiblat

Ramadhan 1435 h

13

MUNAQOSYAH
dengan kekhilafahan. Ahli hadits Basrah
dan yang lainnya menyatakan bahwa ketika
tidak ada pemimpin umum bagi umat Islam
maka zaman itu disebut zaman itnah.3
Dalam masa itnah, perintah Nabi n adalah,
“Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan
sunnah khulafaur rasyidin setelahku.”
Dari uraian sebelumnya, terlihat jelas
bagaimana petunjuk Islam dalam perkara
ini. Tidak ada perdebatan dalam baiat ketika
imam (khalifah) benar-benar ada dan diakui
3

Ibnu Taimiyah, Minhajus sunnah, Riyadh:Jami’ah
Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, 1986, vol
1, 144.

di tengah-tengah kaum muslimin. Namun
yang menjadi polemik adalah bagaimana
menyikapi seruan baiat dari suatu jamaah.
Apalagi ketika seruan baiat itu dikuatkan
dengan dalil-dalil baiat kubra, baik kewajiban
berbaiat maupun ancaman bagi yang
enggan melakukannya, seperti disebutkan
sebelumnya. Walhasil, yang terjadi ialah klaim
kebenaran dan kepemimpinan. Dampaknya
ialah perpecahan dan perselisihan. Maka
tujuan baiat sebagai elemen jamaah menuju
persatuan tidaklah terwujud n
(Fahruddin)

penyelewengan baiat
Baiat memang disyariatkan, baik
sughra apalagi kubra. Namun seringkali
baiat disalahgunakan. Di antara bentuk
penyelewengan dalam persoalan baiat
ini adalah:
Pertama, menyalahgunakan hadits
baiat kubra untuk melegitimasi baiat
sughra,
ditambah
lagi
kesalahan
dalam mengartikan kalimat “mitatan
jahiliyyatan”. Hasilnya, orang yang
tidak bergabung dianggap kair dan
syahadatnya tidak berguna. Tidak jarang
terjadi permusuhan antara orang tua
dan anak karena kesalahan ini. Orang
tua dikairkan karena tidak bergabung
dengan jamaahnya.
Tahun 2011 lalu, umat Islam
dihebohkan oleh banyaknya korban
baiat NII KW-9. Sejarah juga mencatat
jamaah LDII yang menganggap orang
tua, saudara, dan siapa pun di luar jamaah
mereka diyakini sebagai orang kair yang
najis. Maka, bekas tempat duduknya pun
dipel karena kenajisannya.

Karena pihak di luar jamaahnya
diyakini kair, maka harta dan properti
mereka halal diambil dan tidak ada dosa.
Kesalahan ini pun semakin kompleks
karena menggunakan dalil-dalil fa’i untuk
mengambil harta orang lain.
Kedua, memaksa kelompok lain agar
mau bergabung dan berbaiat kepada
pimpinannya. Baiat tidak boleh dipaksakan
kecuali dalam baiat kubra kepada imam
yang telah disepakati oleh Ahlul Halli
wal Aqdi maupun cara lain sesuai syariat.
Sedangkan dalam baiat kubra, sifatnya
adalah ajakan dan nasihat.
Pada dasarnya suatu kepemimpinan
akan sah jika telah diakui oleh mayoritas
umat karena salah satu syarat mutlak
dalam kepemimpinan adalah adanya
syaukah (kekuatan). Dan itu akan terwujud
jika mayoritas telah menyetujuinya.1
1

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,
“Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah,
pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang
memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam
hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang
dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan
kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat

kiblat

Ramadhan 1435 h

14

MUNAQOSYAH
Dalam kasus baiat dan proyek Daulah
Islam Irak dan Syam (ISIS) di Suriah
maupun di Irak, kelompok maupun faksifaksi jihad lain, seperti Ahrar Syam, Liwa
Tauhid dan lainnya, juga memiliki syaukah
(kekuatan). Maka pendekatan yang terbaik
adalah persuasif, selain bahwa baiat yang
diserukan adalah baiat sughra.2
Selain itu, ketika persetujuan mayoritas
umat tidak terwujud dalam kepemimpinan
tersebut maka akan timbul kekacauan
dan itnah di tengah-tengah umat. Dan
ini jelas terjadi di Suriah. Banyak tokoh
dari kedua pihak yang dibunuh tanpa ada
penyelesaian, dengan salah satu alasan
menolak tahkim karena daulah tidak
mungkin bertahkim kepada organisasi.3
Jadi prinsip Islam dalam pengangkatan
imam adalah adanya persetujuan mayoritas
umat —terukur dengan terwujudnya
syaukah— yang ditempuh melalui jalur
musyawarah bukan dengan pemaksaan.
Umar bin Khattab berkata, “Barang siapa
membaiat seseorang tanpa musyawarah
dari kaum muslimin maka ia tidak boleh
diikuti, dan tidak pula mengikuti para
terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka
jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan
itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia
menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya
berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki
kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya
terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi
ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla
perintahkan taat kepada mereka selama mereka
tidak memerintahkan kepada maksiat kepada
Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus
Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid
4/388)
2

3

Syaikh Abu Ja'far Al-Haththab, Anggota
Lajnah Syar'iyyah Pada Anshar Syari'ah
Tunisia, dalam bukunya Bai'atul Amshaar Lil
Imaam Al Mukhtaar, menyimpulkan bahwa
baiat kepada Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat
umum (baiat kubra). Namun pendapat ini
lemah dan dibantah oleh kenyataan dan para
ulama. Salah satunya ialah Syaikh Abu Laits
Al-Anshari dalam bukunya Tabyin Az-Zaif
wal Jahl wa izhharul Awar.
Lihat kembali catatan Syaikh Al-Maqdisi tentang
ISIS di mimbar tauhid dan jihad.

pendukungnya, karena khawatir mereka
akan dibunuh (yang berbaiat dan yang
dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442)
Bahkan lebih tegas lagi Umar a
berkata, “Barang siapa membaiat seorang
laki-laki tanpa didahului musyawarah
dengan umat Islam, maka tidak halal
bagi kalian kecuali membunuhnya.”
Pada hajinya yang terakhir, sebagaimana
yang disebutkan dalam Shahih Bukhari,
Umar berkata, “Sesungguhnya, sore ini
aku berdiri dan mengingatkan umat
Islam tentang orang-orang yang hendak
merampas pemerintahan mereka”. Umar
menganggap baiat yang dilakukan oleh
sebagian sahabat kepada sebagian
yang lain, tanpa didahului musyawarah
dengan umat adalah merupakan bentuk
perampasan hak umat. Tidak ada istilah
baiat kepada orang yang merampas,
apalagi kalau merampasnya dengan
pedang bukan dengan baiat, meskipun
hanya baiat minoritas.
Adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika
beliau diangkat menjadi khalifah beliau
berkata, “Wahai manusia aku telah diuji
dengan jabatan ini tanpa pernah dimintai
pendapatku tentangnya, bukan juga
karena aku yang memintanya dan bukan
juga berdasarkan hasil musyawarah
kaum muslimin. Sesungguhnya aku tidak
memaksa kalian untuk membaiatku. Oleh
karena itu, pilihlah orang yang pantas
memimpin kalian.”
Maka seketika itu juga mereka berkata,
“Sungguh kami telah memilih engkau
wahai amirul mukminin dan kami ridha
dengan kepemimpinanmu. Oleh karena
itu pimpinlah kami dengan adil dan baik.”4
(Fahruddin)
4

Ali Muhammad Ash-Sholabi, Umar bin Abdul Aziz,
terj: chep M.faqih FR, (Jakarta Timur: Yayasan Ashshilah: tt), hal: 64

kiblat

Ramadhan 1435 h

15

MUNAQOSYAH
J
EDA

Kisah Baiat Abdullah
bin Umar d
Kisah ini lebih lengkap diceritakan oleh
Ibnu Hajar sebagai berikut:
Dahulu dua pihak yang masingmasing mengklaim dirinya sebagai yang
berhak memegang tampuk kekhilafahan.
Keduanya adalah Abdul Malik bin Marwan
dan Abdullah bin Zubair. Pada saat itu,
Ibnu Zubair tinggal di kota Mekkah dan
berlindung di sana setelah Muawiyah
wafat.
Karena Ibnu Zubair menolak berbaiat
kepada Yazid bin Muawiyah, Yazid
mengirimkan tentaranya beberapa kali
untuk menyerang. Ketika tentaranya masih
dalam posisi mengepung Ibnu Zubair,
Yazid meninggal dunia pada bulan Rabiul
Awal 64 H. Menyusul kematian Yazid, umat
Islam berbaiat kepada Ibnu Zubair (dengan
wilayah kekuasaan di Hijaz), sedangkan
penduduk daerah-daerah lain berbaiat
kepada Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah
(Muawiyah II).
Kira-kira 40 hari kemudian, Muawiyah
II meninggal dunia. Maka sebagian besar
penduduk wilayah kekuasaan Muawiyah
II kemudian berbaiat pada Ibnu Zubair
dengan wilayah kekhalifahan meliputi
Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, seluruh bagian
timur dan seluruh negeri Syam, termasuk

Damaskus. Semua berbaiat kepada Ibnu
Zubair kecuali seluruh keturunan bani
Umayyah dan orang-orang yang masih
setia kepada mereka di Palestina. Dengan
serentak, mereka berbaiat kepada Marwan
bin Hakam untuk memegang kekuasaan.
Selanjutnya, orang-orang yang setia
kepada Marwan menyerang pengikut
Ibnu Zubair di Damaskus, sehingga terjadi
saling bunuh antara dua golongan di
tanah lapang. Setelah berhasil menguasai
Syam, Marwan menyerang Mesir dan
mengepung Abdurrahman bin Jahdar,
gubernur Ibnu Zubair di sana, dan berhasil
menguasai Mesir pada bulan Rabiul Akhir
tahun 65 H. Namun, pada tahun itu juga
Marwan wafat (memegang kekuasaan
hanya 6 bulan) dan digantikan putranya,
Abdul Malik bin Marwan dengan wilayah
kekuasaan meliputi Syam, Mesir dan
Maroko. Sementara itu, wilayah Hijaz, Irak
dan negeri bagian timur berada dalam
kekuasaan Ibnu Zubair.
Hanya kota Kufah yang dikuasai Mukhtar
bin Abu Ubaid, sang pemberontak yang
mengajak orang untuk setia pada Imam
Mahdi dan Ahlu Bait. Mukhtar memerintah
di sana selama kurang lebih dua tahun.
Kemudian Mus’ab bin Zubair dari pihak

kiblat

Ramadhan 1434
1435 h

16

J
EDA
MUNAQOSYAH

Masjid Umawiyah, Damaskus

(Ibnu Zubair) menyerang Mukhtar
pada bukan Ramadhan 71 H yang
mengakibatkan terbununya Mukhtar.

mengepung serta menyerang Hijaz selama
dua tahun. Pada April 73 H Ibnu Zubair
terbunuh.

Namun, keadaan segera berubah.
Abdul Malik bin Marwan menyerang
Mus’ab bin Zubair dan mengepungnya
sehingga Mus’ab gugur pada bulan
Jumadil Akhir tahun itu. Karena kekalahan
yang diderita dan wilayah yang mulai
menyusut dan hanya terdiri dari Hijaz,
Yaman dan wilayah timur. Puncaknya,
Abdul Malik menyiapkan pasukan di
bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf dan

Selama pertentangan itulah Ibnu Umar
menolak berbaiat pada Ibnu Zubair atau
Abdul Malik bin Marwan, sebagaimana
ia juga menolak berbaiat pada Ali atau
Muawiyah. Setelah Ibnu Zubair terbunuh
dan semua wilayah kerajaan berada di bawah
kekuasaan Abdul Malik, barulah Ibnu Umar
berbaiat kepada Ibnu Malik.1
1

Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah i Al-‘Alaqoh
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman
(Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.181-182

kiblat

Ramadhan 1434
1435 h

17

MUNAQOSYAH

ISIS
DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH?

S

yaikh Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari, dalam bukunya
Maddul Ayaadi bi Bai’ah Al-Baghdadi,1 menguatkan legalitas syar’i
Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islam Irak. Setelah
menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor
mendorong berdirinya Daulah Islam Irak, serta tinjauan syar’i berdirinya dan
realitas sejarah berdirinya sebuah negara, maka disimpulkan bahwa Daulah
Islam Irak sah secara syar’i.

Syaikh Abu Humam mengulas kelayakan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi
sebagai Amirul Mukminin, sahnya baiat sebagian orang dan sebagian Ahlul
Halli wal Aqdi, sahnya disebut Daulah meskipun belum mendapatkan wilayah
yang aman (tamkin), menjawab syubhat imam majhul, dan semua hal yang
menguatkan bahwa Syaikh Al-Baghdadi adalah amir sebuah Daulah Islam
memimpin jamaah muslimin, bukan amir sebuah imarah (kepemimpinan
Islam) dalam arti organisasi atau tanzim jihad.
Di lapangan dan media, hal tersebut dikuatkan oleh tentara dan ulama
pendukung ISIS bahwa baiat Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat pemimpin
1

http://www.tawhed.ws/r?i=05081301

kiblat

Ramadhan 1435 h

18

MUNAQOSYAH

tertinggi dalam Islam, sehingga siapa
yang menolak wajib diperangi. Dalil-dalil
yang dipakai adalah dalil-dalil Imamatul
Uzhma dan konsekuensi-konsekuensi yang
diterapkan pun berdasarkan pemahaman ini.
Contohnya hadits, “Barang siapa yang
mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di
pundaknya, maka ia mati dalam keadaan
jahiliah.” (HR Muslim).
Juga sabda Rasulullah n, “Siapa saja yang
datang kepada kamu sekalian, sedangkan
urusan kalian berada di tangan seorang
Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah
kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.”
(HR. Muslim)
Untuk mendudukkan masalah ini, kita
akan melihatnya dari pengertian Daulah dan
Khilafah terlebih dahulu.
Daulah, Imarah dan Khilafah
Secara bahasa kalimat Daulah oleh para
ulama diartikan: Sesuatu yang kadang
dihasilkan dari tangan ini atau dari tangan
lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau

peperangan.2
Penggunaan kata daulah digunakan
sebagai kata istilah, belum begitu merata
dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya
beberapa kitab yang sudah memakainya
seperti kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah.
Namun oleh para fuqaha zaman dulu,
pembahasan Daulah Islamiyah dalam kitab
iqh-iqh turats sudah dimasukkan ke dalam
sub tema kepemimpinan negara (al-ahkam
al-imamiyah) dengan menegaskan bahwa
Daulah adalah representasi dari sosok
kepemimpinan tinggi, atau istilah lainnya
Khalifah.
Imamah secara bahasa bisa diartikan
setiap orang yang harus diikuti baik dia itu
adalah seorang pemimpin atau tidak. Dalam
Lisanul Arab juga dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan imamah dan imam itu
adalah orang yang diikuti oleh suatu kaum
baik mereka berada di jalan yang lurus
maupun yang sesat.
2

Lihat : “Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal
36 juz 6

kiblat

Ramadhan 1435 h

19

MUNAQOSYAH
Sementara yang dimaksud dengan
imamah secara istilah ulama memberikan
deinisi secara beragam akan tetapi
semuanya itu bermuara pada satu tujuan.
Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam
Al-Sulthaniyah mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan imamah adalah posisi
khilafah nubuwwah–pengganti Nabi–untuk
menjaga agama serta mengatur dunia
dengan agama tersebut.3
Oleh para fuqaha tata negara Daulah
Islam dideinisikan sebagai:

ِ ‫َم ْج ُم ْو َع ُة ا ْل إِا ْيل‬
‫الس َيا َد ِة‬
ِ ِ‫َات َت ْج َت ِم ُع لِ َت ْح ِق ْيق‬
‫َع َلى اَ َقالِ ْي ٍم ُم َع َي َن ٍة لَ َها ُحد ُْو ُد ُها َو ُم ْس َت ْو ِط ُن ْو َها‬
‫َف َي ُك ْو ُن الْ َحا ِك ُم اَ ِو الْ َخ ِل ْي َف ُة اَ ْو اَ ِم ْي ُر الْ ُمؤ ِْم ِن ْي َن‬
ِ ‫الس ْل َط‬
‫ات‬
ِ ْ‫َع َلى َراأ‬
ُ ‫س ه ِذ ِه‬
“Gabungan
kelompok
masyarakat
yang menguasai kawasan tertentu,
mempunyai wilayah dan anggota
masyarakat tertentu, dan hakim atau
khalifah atau amirul mukminin yang
bertindak sebagai pucuk pimpinan
kekuasaan ini.”4

Dari definisi di atas dapat
diambil kesimpulan
bahwa daulah atau negara
terdiri dari tiga unsur,
yaitu wilayah, rakyat dan
pemerintahan.

tema hukum Darul Islam. Dr. Wahbah Zuhaili
berkata:
“Hijrahnya Nabi n dari kota Mekkah
menuju kota Madinah yang merupakan
titik awal berdirinya sebuah Daulah
Islamiyah oleh kalangan fuqaha di masa
awal-awal Islam belum digunakan sebagai
sebuah terminologi umum, melainkan
mengungkapkannya dengan istilah Darul
Islam, karena kalimat daulah belum banyak
digunakan ulama saat itu. Di sisi lain terdapat
korelasi makna yang bersifat talazum antara
istilah kalimat daulah dan Darul Islam.5
Para fuqaha menyatakan bahwa tugas
khilafah adalah menegakkan din Islam dan
melaksanakan hukum-hukumnya, serta
menegakkan politik Daulah di perbatasan
Islam.
Dalam aspek ini, Al-Mawardi menjelaskan
bahwa, “Apabila imam (kepala negara)
telah menjalankan semua tugas-tugasnya
dalam memenuhi hak-hak rakyatnya
dan menegakkan hak-hak Allah SWT di
antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya
memenuhi dua hak sang imam, yaitu hak
menaatinya dan hak membantu tugasnya.”6

Dalam mengkaji ketiga unsur pokok
sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli
tata negara telah menjabarkannya di dalam
3
4

http://id.shvoong.com/humanities/religionstudies/2171993-pengertian-imamah-imarohkhilafah-dan/#ixzz34g72bqoP
Ibid.

5
6

Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, VIII/6304
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 15

kiblat

Ramadhan 1435 h

20

MUNAQOSYAH
Bagaimana dengan Daulah Islam Irak dan
Syam (ISIS)?7
Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS)
mengklaim sebagai daulah Islam dan
memakai dalil-dalil baiat kubra untuk
menguatkannya. Syaikh Abu Bakar AlBaghadi juga dijuluki Amirul Mukminin.
Namun, pihak lain menyebutnya dengan
kata jamaah atau tanzim Daulah. Bahkan
Syaikh Aiman Al-Zawahiri juga menyebut
demikian.
Banyak hal yang menguatkan bahwa ISIS
adalah organisasi. Namun sebelumnya, kita
perlu memahami perbedaan antara tanzhim
dan daulah, terutama konsekuensi baiatnya.
Ini perkara mendasar yang membedakan
antara
keduanya
dan
konsekuensikonsekuensi di baliknya. Tabel berikut
merupakan beberapa konsekuensi baiat
keduanya:

Pemahaman dasar tersebut menjadi
penting untuk melihat apa yang harus
dilakukan Daulah Islam ketika ada pihak yang
keluar maupun menolak berbaiat, dalam
kapasitas Daulah sebagai tanzim maupun
7

Sebagaimana telah kami sebutkan dalam Pengantar,
makalah ini dirancang ketika ISIS masih menjadi
"Daulah," belum mendeklarasikan diri sebagai
"Khilafah."

daulah Islam dalam makna kepemimpinan
tertinggi Islam. Demikian pula menjadi
pandangan setiap umat Islam dalam masalah
ini.
Kembali ke persoalan sebelumnya, ISIS
tanzim ataukah daulah? Syaikh Athiyatullah
Al-Libbi ketika ditanya tentang Daulah Islam
Irak (ISI): Mengapa namanya Daulah, bukan
Imarah, apa bedanya? Beliau menjawab:
“Nama ’Daulah Islam Irak’ adalah julukan
bagi entitas politik dan sosial bagi mujahidin
dan kaum muslimin ahli sunnah di wilayah
ini sebagai bagian dari negeri-negeri Islam
lainnya. Ini hendaknya tidak hilang dari
ingatan kita.”
Beliau menjelaskan bahwa pemilihan
nama dan julukan itu sifatnya ijtihad. Makna
sesungguhnya berhubungan erat dengan
fakta dan kenyataan yang ada.

Contohnya, julukan Amirul Mukminin
dalam sebuah nama daulah. Maksudnya
adalah pemimpin dan pemegang otoritas
politik “Daulah”. Julukan ini sifatnya ijtihadi,
yaitu nama pemimpin dalam Daulah ini.
Tetapi, maksudnya bukanlah pemimpin
tertinggi (imam a’dzam) yang diangkat
berdasarkan baiat umum dari kaum

kiblat

Ramadhan 1435 h

21

MUNAQOSYAH
muslimin atau oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau
melakukan kudeta atas suatu negeri Islam
sampai akhirnya disebut Amirul Mukminin
dalam arti pemimpin tertinggi atau khalifah.
Meskipun penamaan dan julukan seperti
itu dibolehkan sesuai konteks ijtihad tadi,
Syaikh Athiyatullah Al-Libbi melihat bahwa
memilih nama lain lebih utama dan lebih
baik. Termasuk sebutan Amirul Mukminin
bagi Mulla Muhammad Umar sebelumnya.
Menurutnya, nama Amir saja tanpa
tambahan mukminin lebih baik sebab
kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin
suatu Daulah atau Imarah, dalam makna
bukan daulah khilafah. Mengapa bukan
Amirul Mukminin?
Sebab, masih menurut Syaikh, ini bisa
menimbulkan ilusi bahwa ia adalah imam
tertinggi (khalifah). “Itu bisa membuat
kerancuan bagi saudara-saudara kita,
mungkin akan mengira bahwa itu khalifah!
Sebab julukan Amirul Mukminin ini sudah
tertanam dalam benak kaum muslimin sejak
Umar bin Khathab a bahwa julukan Amirul

Nama "Amir" saja tanpa
tambahan mukminin lebih
baik sebab kesannya lebih
jelas. Yakni dialah pemimpin
suatu Daulah atau
Imarah, dalam
makna bukan
daulah khilafah.
Syaikh Athiyatullah Al-Libbi

Mukminin ini adalah untuk imam tertinggi
dan khalifah.”
Hal itu, menurut beliau, lebih menambah
kerancuan dengan kondisinya (Abu Bakar
Al-Baghdadi)—semoga Allah menjaganya—
adalah dari suku Quraisy8 dan keturunan
Husain. Ilusinya semakin kuat!9
Syaikh Athiyatullah termasuk ulama yang
menyetujui proyek Daulah Islam Irak, dan
tampak jelas bahwa beliau juga mendoakan
kebaikan bagi Syaikh Al-Baghdadi. Namun
beliau memahami bahwa Daulah Islam Irak
adalah imarah Islam yang tidak berbeda
dengan makna tanzhim.
Baiat Al-Baghdadi kepada Al-Zawahiri
Banyak
kalangan
mempertanyakan
hubungan antara Daulah Islam Irak dan
Syam (ISIS) dan Al-Qaidah serta status baiat
antara pemimpinnya. Bukan kalangan awam,
bahkan para ulama seperti Dr Thariq Abdul
Halim, Dr Hani As-Sibai dan lainnya juga
mempertanyakannya.
Pertanyaan Dr Thariq dan Dr Habi As-Sibai
tidak berbeda, yaitu urusan baiat Syaikh
Al-Baghdadi kepada Syaikh Al-Zawahiri
merupakan baiat yang belum ada kepastian,
baik sifat maupun hakikatnya.
Padahal jawaban tersebut sangat penting.
Untuk mendudukkan perkara sebenarnya.
Sekurang-kurangnya
pertanyaanpertanyaan berikut akan terjawab.
Penolakan Al-Jaulani atas deklarasi Daulah
Islam Irak dan Syam adalah penolakan yang
salah bila alasannya hanyalah karena AlJaulani tidak diajak bermusyawarah lebih
8
9

Lihat kembali syarat-syarat imam tertinggi.
http://www.muslm.org/vb/showthread.php?516157‫اذاـمل‬-‫ةلودلا‬-‫ةيماسإا‬-‫اذاملو‬-‫ريمأ‬-‫نينمؤملا‬-‫امو‬-‫اـهدودح‬-%28‫خيشلا‬‫ةيطع‬-‫ه‬-‫همحر‬-‫ه‬

kiblat

Ramadhan 1435 h

22

MUNAQOSYAH

dahulu, seperti disebutkan dalam pidatonya.10
Al-Jaulani juga (bisa dianggap) berdosa
karena telah melepaskan baiat dari AlBaghadi dengan alasan yang tidak
dibenarkan.
Semua arahan Syaikh Aiman, termasuk
perintah membekukan ISIS tidak mengikat
sebab hubungannya hanyalah kerja sama
dan saling menasihati sesama tanzim, bukan
perintah. Demikian, dan masih banyak lagi.
Ini adalah persoalan besar. Namun, saat
banyak pihak mempertanyakan hakikat
hubungan tersebut, Abu Mu’adz Asy-Syar’i
mengomentari pertanyaan Dr Habi As-Sibai
dan menyatakan bahwa esensinya bukan
pada masalah baiat. Tetapi ada persoalan lain
yang tidak diperdebatkan lagi yang menjadi
akar masalah antara JN dan ISIS, yaitu
penyimpangan manhaj Al-Qaidah. Al-Qaidah
(dianggap) kesusupan akidah sururiyah dan
lima poin lainnya tanpa menyebutkan bukti
apa pun.11
Dr. Thariq Abdul Halim menilai Abu Mu’adz
Asy-Syar’i telah menelanjangi Dr Aiman dan
Dr Hani Siba