Keanekaragaman Jenis Parasit Dari Feses Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Liar, Rehabilitasi, Dan Reintroduksi Di Sumatera Utara

16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Orangutan

Orangutan adalah salah satu satwa liar yang paling dikenal dan membuat kagum
hampir semua orang di dunia, termasuk di Indonesia. Morfologi dan perilaku yang
mirip dengan manusia merupakan daya tarik pemerhati primata maupun turis lokal
dan internasional. Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang merupakan
hewan arboreal yang soliter dan mempunyai ciri-ciri yaitu bertubuh besar, rambut
berwarna coklat kemerahan, tidak berekor dan secara genetik orangutan memiliki
kemiripan dengan manusia 97,4 % (Galdikas, 1978).
Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili
Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia


Phylum

: Chordata

Subphylum

: Vertebrae

Kelas

: Mamalia

Ordo

: Primata

Family

: Homonidae


Subfamily

: Pongonidae

Genus

: Pongo

Species

: Pongo abelii

(Orangutan Sumatera)

Universitas Sumatera Utara

17

2.2 Reproduksi Orangutan


Tahapan perkembangan kehidupan orangutan di alam dapat dibedakan dalam
beberapa kategori, morfologi dan tingkah laku. Menurut Mac Kinnon (1974), Rikjsen
(1978), dan Galdikas (1984) tahapan perkembangannya adalah:
a.

Bayi (infant); Kisaran umur 0-2,5 tahun, dengan berat badan 2-6 kg. Warna
tubuh umumnya jauh lebih pucat dari pada individu dewasa dengan bercakbercak putih di seluruh tubuhnya. Mempunyai rambut panjang-panjang dan
berdiri di sekitar muka, kulit di sekitar mata berwarna pucat. Seluruh tingkah
lakunya masih tergantung induk dan tidur bersama-sama induk dalam sarang.

b.

Kanak-kanak (juvenile); Kisaran umur 2,5-7 tahun dengan berat badan

6-

15 kg. Warna tubuh lebih gelap dari individu bayi dengan bercak-bercak putih
pada tubuh yang hampir pudar, tetapi wajahnya masih menyerupai bayi. Dalam
beberapa aktivitas sudah dapat melakukan sendiri, tetapi masih bersama-sama
induknya. Tidur masih dalam satu sarang bersama induknya, tetapi kemudian

akan membuat sarang sendiri dekat sarang induknya.
c.

Remaja (adolescent); Kisaran umur 7-10 tahun dengan berat badan
15-30 kg. Warna tubuh lebih pucat dari individu dewasa dengan ukuran tubuh
yang lebih kecil. Rambut di sekitar muka masih panjang dan berdiri.

d.

Betina pra-dewasa; Kisaran umur 10-12 tahun dengan berat badan 30-40 kg.
Warna tubuh agak gelap.

e.

Betina dewasa; Kisaran umur 12-35 tahun dengan berat badan 30-50 kg. Warna
tubuh sangat gelap kadang-kadang berjengot.

Orangutan betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 15 tahun dan
beranak tiap 8 tahun sekali, karena anak orangutan akan tinggal bersama dan
tergantung pada induknya sampai ia berumur 7-8 tahun (Popowati et al, 1997).


Universitas Sumatera Utara

18

Selanjutnya dijelaskan bahwa, seekor induk orangutan tidak akan pernah memberikan
bayinya kepada siapapun, sehingga untuk mendapatkan satu ekor anak orangutan
minimal harus membunuh induknya lebih dahulu.

2.3

Ekologi

2.3.1 Habitat Orangutan
Hewan ini hidup di hutan-hutan tropik yang basah dalam batas-batas alam yang tidak
dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari

2.000

m. Hewan ini dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus

perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa
gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di
Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut
(dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan
pegunungan pada 1.000 m dpl (Hoeve, 1996).

Daya dukung habitat orangutan ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang
menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang
aman (Meijaard, 2001). Pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh orangutan tersebut
tergantung pada keberadaan hutan hujan tropis, orangutan dianggap sebagai wakil
terbaik dari struktur keanekaragaman hayati, karena memilki daerah jelajah dan
persyaratan habitat yang luas (Hoeve, 1996). Kekurangan makanan akan
menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus
mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber
makanan alternatif. Apabila dijadikan fokus pengelolaan perlindungan, maka seluruh
keanakaragaman hayati asli di dalam area jajahan orangutan akan ikut terlindungi
(Hoeve, 1996). Selanjutnya

Meijaard (2001) menyatakan jika kebutuhan dasar


lainnya (air, makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka

Universitas Sumatera Utara

19

aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung
untuk kehidupannya ditentukan oleh ketersediaan.

2.3.2

Rehabilitasi Orangutan

Rehabilitasi orangutan merupakan suatu kegiatan meliarkan kembali orangutan bekas
peliharaan ke habitat aslinya. Sistem rehabilitasi ini untuk meningkatkan daya
adaptasi orangutan yang sudah terbiasa hidup dalam lingkungan manusia agar dapat
kembali kelingkungan habitat hutan. Orangutan yang akan dikembalikan ke habitat
alam akan mempunyai permasalahan dalam kesehatan, pakan serta sosialisasi dengan
individu orangutan lainnya. Dari segi pembagian pakan, pusat rehabilitasi tersebut
perlu mengarahkan oranguatan agar cepat beradaptasi terhadap jenis pakan dan

perilaku mencari pakan dengan cepat di alam. Dalam masa rehabilitasi ini kesehatan
satwa sangat diperhatikan agar tidak bermasalah setelah diliarkan. Orangutan yang
telah positif menderita suatu penyakit perlu pertimbangan yang sanagt mendalam
untuk di terima sebagai satwa yang akan direhabilitasi. Hal ini mengingat
kemungkinan penularan maupun berbaliknya penyakit pada saat berada dalam
kondisi alam yang ekstrim (Schurmann, 1982).

Menurut laporan dari pusat rehabilitasi di Bahorok (1983), enam orangutan
mati karena gejala anemia dan enteritis dan empat diantaranya helminthiasis
(kecacingan). Infestasi parasit mengakibatkan kondisi tubuh lemah dan mudah
terserang penyakit ikutan lainnya. Selain itu, biaya perawatan kesehatan akan
semakin tinggi apabila orangutan yang diadopsi menderita penyakit serius. Lama
waktu rehabilitasi sangat bervariasi tergantung pada umur dan kesehatan orangutan.
Orangutan baru dapat dilepasliarkan setelah berusia 4 tahun dan dalam keadaan sehat.
Di Wanariset samboja biaya adopsi orangutan bisa mencapai Rp. 3.487.500,- per ekor
/tahun (Orangutan Reintroduction Project, 1992)

Universitas Sumatera Utara

20


2.4

Kondisi Parasitologi Orangutan

2.4.1 Parasitologi Secara Umum

Pada dasarnya ilmu parasitologi adalah mempelajari mengenai “simbiosis”, terutama
bentuk suatu organisme yang bersifat parasit. Dua organisme yang hidup bersama dan
menguntungkan bagi salah satu atau kedua simbiont tersebut. Biasanya kedua
simbiont adalah merupakan organisme yang berbeda spesies, tetapi juga dapat dari
spesies yang sama (Noble & Noble, 1992).

Siklus hidup parasit sebagian besar sangat majemuk. Untuk kelangsungan
hidup diperlukan persyaratan kondisi fisik dan biologis yang optimum. Siklus hidup
pada umumnya terbagi dua tipe yaitu per-OS atau melalui mulut tertelan bersama
makanan atau minuman, dan per-Cutan atau melalui kulit. Pada siklus hidup tipe
langsung, parasit hanya membutuhkan satu inang (hospes), yaitu hospes defenitif dan
tidak memerlukan hospes perantara. Parasit yang bersiklus langsung memiliki atau
mengalami bentuk mandiri. Sedangkan untuk siklus tidak langsung, parasit

membutuhkan hospes defenitif sebagai hospes akhir dan disamping itu diperlukan
hospes perantara satu atau lebih untuk tumbuh. Dalam hospes perantara, parasit
tumbuh dan berbiak aseksual menjadi bentuk infektif. Selanjutnya di dalam tubuh
hospes defenitif, parasit tumbuh menjadi bentuk dewasa dan berbiak secara seksual (
Sri, 2004).
.
Rianawatit & Prastowo (2003), beberapa jenis simbiosis dapat dikelompokkan
dalam kategori yang berbeda menurut hubungan antara kedua simbiont tersebut.
Sehingga ada beberapa jenis simbiosis tersebut yaitu:

Universitas Sumatera Utara

21

a. Phoresis:
Adalah sistem simbiosis dimana satu simbiont membawa simbiont lainnya
dan secara fisiologik mereka saling bergantung. Biasanya salah satu “phoront” lebih
kecil dari lainnya. Misalnya : spora jamur menempel pada kaki lebah.

b. Mutualisme:

Adalah simbiosis yang saling menguntungkan, dimana organisme satu secara
fisiologik bergantung pada organisme lainnya dimana satu organisme tidak dapat
hidup terpisah dari organisme lainnya. Misalnya: Protozoa dan fauna yang hidup
didalam usus rayap.

c. Commensalisme
Adalah simbiosis dimana salah satu organisme hidup dalam organisme
lainnya tetapi tidak mempengaruhi secara fisiologik pada organisme yang ditempati
(hospes), tetapi organisme tersebut tidak dapat hidup diluar hospes. Ada dua bentuk
yaitu: ektocommensalisme (hidup diluar tubuh hospes) dan endocommensalisme
(hidup didalam tubuh hospes). Misalnya: Entamoeba ginggivalis, hidup dalam mulut
orang. Organisme tersebut memakan bakteri, sisa makanan, sel epitel yang mati,
tetapi tidak menyebabkan sakit pada hospes. Organisme tersebut tidak dapat hidup
ditempat lain.

d. Parasitisme
Organisme yang hidup di dalam hospes dan menyebabkan sakit pada hospes.
Ada dua bentuk yaitu ektoparasit dan endoparasit.

Universitas Sumatera Utara

22

2.4.2

Hospes (Inang) Parasitologi

Menurut Clure (1971), Organisme parasit adalah organisme yang hidupnya bersifat
parasitis yaitu hidup yang selalu merugikan organisme yang ditempatinya (hospes).
Predator adalah organisme yang hidupnya juga bersifat merugikan organisme lain
(yang dimangsa). Pada umumnya, predator ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari
yang dimangsa, bersifat membunuh dan memakan sebagian besar tubuh mangsanya.
Sedangkan parasit, selain ukurannya jauh lebih kecil dari hospesnya juga tidak
menghendaki hospesnya mati, sebab kehidupan hospes sangat essensial dibutuhkan
bagi parasit yang bersangkutan.

Beberapa jenis hospes dalam parasitologi adalah sebagai berikut:
a.

Hospes definitive

yaitu hospes dimana parasit hidup dapat mencapai

kedewasaan dan bereproduksi.
b.

Hospes intermediate

yaitu hospes dimana parasit hidup tidak mencapai

kedewasaan (sebagian dari daur hidupnya).
c.

Paratenik yaitu Parasit yang masuk dalam hospes, tetapi tidak berkembang dan
tetap hidup dan dapat menginfeksi ke hospes definitif (Dioctophyma renale).

d.

Hospes spesifik yaitu Parasit dapat hidup dan berkembangbiak hanya dalam
satu atau dua hospes saja (Taenia solium).

e.

Hospes reservoir yaitu Hewan yang secara normal terinfeksi parasit (tidak
sakit), tetapi parasit tersebut dapat menginfeksi orang dan menimbulkan sakit.

2.4.3 Ekologi Parasit
Ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan
lingkungan habitatnya, terutama mengenai distribusi parasit dengan sumber

Universitas Sumatera Utara

23

makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Parasit yang terdapat
di dalam tubuh inang, mungkin terdapat di dalam sistem pencernaan, sistem sirkulasi,
sistem respirasi atau alat-alat dalam tubuh seperti hati, ginjal, otak dan limpa.
Biometeorologi

adalah

ilmu

tentang

atmosfer

dan

segala

fenomena-

fenomenanya/ilmu tentang cuaca yang berhubungan dengan data kehidupan. Faktor
meteorologi yang berpengaruh pada kelangsungan hidup parasit adalah:
a. Data biometeorologi
b. Penguapan air
c. Kandungan air dalam tanah.

Pengaruh faktor cuaca seperti curah hujan dan temperatur terhadap siklus
hidup parasit serta kelangsungan hidup suatu jenis parasit tertentu. Sebagai contoh,
Nematoda parasit membutuhkan lebih sedikit curah hujan dibandingkan dengan
Trematoda. Trematoda membutuhkan jumlah air yang lebih banyak dibandingkan
dengan Nematoda sebab untuk menetaskan miracidium diperlukan genangan air.
Demikian juga pada telur cacing nematoda umumnya lebih tahan terhadap temperatur
yang lebih tinggi daripada Trematoda dan Cestoda, tetapi sebagai larva infektif
sebaliknya, yaitu larva Nematoda lebih tahan dingin daripada larva Trematoda dan
Cestoda. Diduga bagian sinar matahari yang berpengaruh besar pada siklus hidup
parasit adalah sinar ultraviolet. Dalam bereaksi terhadap tantangan dari faktor-faktor
cuaca tersebut parasit bereaksi secara gabungan dan bukan bereaksi terhadap faktor
itu satu demi satu (Noble & Noble,1992).

2.4.4 Ruang Lingkup Parasitisme
Daerah-daerah tropis yang basah dan temperatur optimal bagi kehidupan
parasit merupakan tempat ideal bagi kehidupan parasit baik pada manusia atupun

Universitas Sumatera Utara

24

hewan. Daerah subtropis yang pendek musim panasnya, dan daerah beriklim dingin
serta daerah yang sangat panas dapat menghambat perkembangan, kehidupan, dan
penyebaran parasit (Soedarto, 2008). Selanjutnya, Noble & Noble (1992)
menambahkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan parasit
antara lain air, temperatur, sinar matahari, waktu, flora dan fauna. Semua makhluk
hidup itu bereaksi terhadap banyak faktor-faktor tersebut secara bersama-sama, tidak
terhadap faktor satu demi satu. Selanjutnya dalam mencegah dan mengobati penyakit
secara umum dengan tindakan praktis, khususnya dalam pencegahan serta
pemberantasannya.

2.5

Protozoa Parasit Pada Jaringan
Protozoa parasit jaringan merupakan protozoa parasit yang hidup berparasit

di dalam jaringan hospesnya. Protozoa parasit ini merupakan penyebab penyakit bagi
manusia dan hewan khususnya dan berperan penting dalam dunia kesehatan pada
umumnya. Protozoa yang bersifat parasit pada jaringan hospes ini meliputi 2 kelas
yaitu kelas Flagellata dan Sporozoa. Pada kelas Flagellata berupa genus Leishmania
sedangkan pada kelas Sporozoa berupa genus Toxoplasma. Dari genus Leishmania
ini hanya terdapat 3 spesies penting terutama bagi kesehatan manusia yaitu dapat
menyebabkan penyakit leishmaniasis. cara infeksinya adalah bukan dengan melalui
vektor, tetapi dengan berbagai cara yaitu per-os, transplantasi, transfusi ataupun
dengan kista, trophozoit atau ookista selama melakukan penelitian di laboratorium (
Sri, 2004).
a.

Trematoda Usus

Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan
alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menjadi

Universitas Sumatera Utara

25

satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai batil
isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior tubuh.
Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai hospes
perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air
sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat menjadi
hospes definitifnya. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif bermacammacam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Macam-macam spesies
Trematoda

usus

adalah:

Fasciolopsis

buski,

Heterophyidae

heterophyes,

Metagonimus yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum dan Gastrodiscus. Manusia
menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan lain seperti mamalia (anjing, kucing)
dan burung dapat menjadi hospes reservoir (Rianawatit & Prastowo, 2003).

Gejala klinis tergantung jumlah parasit dalam usus, pada infeksi ringan gejala
tidak nyata, sedangkan pada infeksi berat gejala yang timbul adalah sakit perut, diare,
dan akibat terjadinya malabsorpsi bisa timbul edema. Diagnosis dilakukan dengan
menemukan telur dalam tinja penderita. Bila bentuk telur hampir sama maka perlu
menemukan cacing dewasanya dalam tinja penderita (Sri, 2004).
b.

Cestoda Usus
Cestoda merupakan cacing berbentuk seperti pita memanjang. tubuh terdiri

dari kepala (skolek), dan segmen tubuh (proglottid) yang terdiri dari: proglottid
immature, mature, dan gravid. Proglotid gravid dapat digunakan untuk identifikasi
spesies berdasarkan bentuknya dan bentuk uterus di dalamnya

c.

(Sri, 2004).

Nemathoda usus

Pada Nematoda, akibat utama yang ditimbulkan bila menginfeksi manusia
atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena cacing tambang

Universitas Sumatera Utara

26

menyebabkan perdarahan di usus akibat luka yang ditimbulkan juga cacing tambang
mengisap darah hospes. Penyakit cacing tambang tersebar luas di daerah tropis,
pencegahan tergantung pada sanitasi lingkungan, kebiasaan berdefikasi, dan memakai
alas kaki. Strongyloides stercoralis merupakan cacing Nematoda usus yang hidup
parasit pada manusia, namun dalam siklus hidupnya terdapat fase hidup bebas di
tanah. Bentuk telurnya sulit dibedakan dengan telur cacing tambang. Diagnosis
dengan menemukan larva dalam tinja atau dalam sputum penderita (Flynn, 1973).

2.6 Nematoda Saluran Pencernaan Pada Pongo abelii

Kecenderungan menurunnya populasi primata telah dilakukan upaya pelestariannya
melalui berbagai cara. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
permasalahan pelestarian primata antar lain dengan cara melindungi jenis-jenis primata
diluar habitat aslinya, misalnya di kebun binatang. Pada mulanya satwa ini mempunyai
habitat di alam bebas kemudian di pindahkan ke alam buatan. Di alam buatan yang baru
ini hewan tersebut mengalami perubahan seperti perlakuan, ruang gerak, pakan, air
minum, tempat berteduh dan sebagainya. Akibat perubahan lingkungan hidup ini dapat
menyebabkan berbagai permasalahan pada satwa, antara lain penyakit saluran
pencernaaan dan infeksi cacing nematoda (Sasmita dkk, 1983).

Menurut Soulsby (1986), penyakit yang disebakan oleh Cacing menyebabkan
banyak kerugian jika metode pencegahan dan pengendaliannya tidak dilaksanakan
dengan terencana. Hal ini disebabkan karena banyak spesies cacing yang menyebabkan
gangguan kesehatan atau bahkan menyebabkan kematian hewan penderita. Karena
primata sangat erat hubungannya dengan manusia maka primata peka terhadap penyakit
manusia dan juga sebaliknya primata dapat membawa penyakit yang membahayakan
manusia.

Universitas Sumatera Utara

27

Parasit cacing di temukan pada hampir semua jenis satwa. Secara umum parasit
cacing dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu cacing gilik Nematoda, cacing daun
(Trematoda), dan cacing pita (Cestoda). Interaksi populasi primata dengan parasit akan
berakibat negatif terhadap pertumbuhan dan ketahan populasi (Odum,1971).
Parasit akan berakibat pada penurunan efisiensi energi metabolisme dari satwa
inang, dan menurunya fungsi dari sistem yang ada pada tubuh, seperti sistem peredaran
darah dan keseimbangan panas tubuh, sehingga akibatnya kondisi tubuh induk semakin
menjadi lemah dan mudah terinfeksi oleh agen penyakit lain (Moen, 1973).
Menurut

Lapage (1959), Secara umum setiap spesies parasit cacing dapat

menimbulkan kerugian tertentu pada inangnya, tetapi dapat juga mengakibatkan
kombinasi beberapa kerugian yaitu menyerap bahan makanan, menghisap, memakan
jaringan, menyebabkan obstruksi mekanik pada pembuluh darah, pembuluh limfe,
saluran empedu dan saluran pencernaan, merusak jaringan (menimbulkan luka),
menyebabkan berbagai bentuk reaksi dalam jaringan induk semang, menyebabkan
tumor, mengeluarkan substansi toksik seperti racun, hemolotik, enzim dan anti
koagulan, menyebabkan bakteri atau virus dapat masuk kedalam tubuh innduk semang,
dan menyebabkan beberapa spesies parasit lainnya mudah masuk kedalam tubuh induk
semang.

Jenis parasit cacing saluran pencernaan yang menyebabkan penyakit pada satwa
primata adalah Oesohagostomum sp, Trichostronggylus sp., dan Gastrodiscoides sp.
Penyakit tersebut biasanya menyebabkan diare (Sajuti, 1984), dan penyebab utama
kematian satwa primata selama masa karantina adalah penyakit saluran pencernaan
(Clure,1971).

Universitas Sumatera Utara