PENGEMBANGAN USAHA MIKRO OLEH BAITUL MAA

PENGEMBANGAN USAHA MIKRO
OLEH BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)
DALAM PERSPEKTIF TEKNO-EKONOMI1
Vita Sarasi2
Abstrak
Pengembangan Usaha Mikro sebagai suatu bagian dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada saat ini
gencar dilaksanakan baik oleh pemerintah secara top-down maupun secara bottom-up melalui swadaya masyarakat,
misalnya melalui Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Adalah menarik untuk lebih mencermati keberadaan dan
kontribusi BMT ini terutama dikaitkan dengan pendekatan tekno-ekonomi.
Perspektif tekno-ekonomi dapat menjadi pertimbangan yang cukup strategis dalam upaya pengembangan usaha
mikro, terutama yang diperankan oleh BMT. Di samping berfungsi sebagai alat (tools) pengembangan usaha, teknoekonomi ini juga berperan sebagai pemicu kreativitas dan inovasi di kalangan pelaku usaha mikro dan BMT itu
sendiri. Dengan penerapan tekno-ekonomi ini diharapkan usaha mikro dan BMT yang mengembangkannya bisa
lebih meningkat produktivitas dan daya saingnya, apalagi dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas seperti
CAFTA.

Pendahuluan
Pengembangan Usaha Mikro sebagai suatu bagian dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) pada saat ini gencar dilaksanakan baik oleh pemerintah secara top-down maupun
secara bottom-up melalui swadaya masyarakat. Swadaya masyarakat tersebut diwujudkan
dengan pendirian institusi pembiayaan usaha mikro yang digolongkan oleh kalangan perbankan
sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Adalah menarik untuk lebih mencermati keberadaan

dan kontribusi swadaya masyarakat terutama dikaitkan dengan pendekatan tekno-ekonomi.
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) pada Saat Ini
Dalam ranah LKM berbasis syariah (LKMS) di Indonesia, pada saat ini setidaknya terdapat
sekitar 3000 BMT (Baitul Maal wat Tamwil) (Gambar 1), yaitu adalah suatu LKMS non-bank
yang mempunyai misi pemberdayaan masyarakat menengah ke bawah (sektor riil). Misi tersebut
dilaksanakan melalui fungsi gandanya yaitu sebagai lembaga sosial (baitul maal) dan lembaga
bisnis yang profit oriented (baitut tamwil).

1

Dipresentasikan pada Seminar Nasional Universitas Widyatama (Bandung) dengan tema “Techno-economy
dalam pembangunan ekonomi Indonesia” tanggal 25 Februari 2009
2 Staf Pengajar pada Konsentrasi Manajemen Syariah, Program Studi Manajemen, dan peneliti pada Pusat Studi
Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Bandung

1

Gambar 1. Distribusi BMT di Indonesia (Sumber: Pusat Inkubasi Usaha Kecil – PINBUK, 2005)

Sebagai lembaga keuangan, BMT ini memberikan pembiayaan dalam jumlah yang relatif kecil

pada setiap unit usaha yang menjadi anggotanya. Akibatnya pembiayaan oleh BMT ini lebih
mampu menyentuh kebutuhan pengusaha mikro yang secara struktur merupakan unit usaha
terkecil namun memiliki jumlah unit usaha paling besar di Indonesia (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Struktur dan kondisi saat ini Usaha Besar dan UMKM (Sumber: Kompas 12 Mei 2009)

Selain dari sisi permodalan, arti penting BMT bagi UMKM adalah berupa pendampingan usaha.
Peran ini menjadi signifikan mengingat banyak UMKM praktis hanya bermodalkan semangat,
kerja keras, dan kejujuran, namun mereka memiliki kelemahan pada sisi SDM, permodalan,
manajemen, dan legalitas. Sebagai gambaran dalam satu pasar tradisional dengan jumlah
2

pedagang sekitar 5000-an, keberadaan pedagang yang memiliki catatan dapat dibaca tidak lebih
dari 10 orang saja. Hal inilah yang sering digunakan sebagai alasan bahwa UMKM tidak
bankable, di samping alasan utama berupa kurang atau tidak adanya kolateral (Ramadhan,
2009) .
Bila dibandingkan dengan perbankan, BMT ini mampu mengatasi kebutuhan pembiayaan
pengusaha mikro dalam jumlah kecil yang tidak mengakibatkan biaya operasional pembiayaan
menjadi relatif tinggi. Pembiayaan oleh BMT ini juga tidak mensyaratkan adanya jaminan
(guaratee) kepada pengusaha mikro, sesuatu yang masih menjadi kendala perbankan pada

umumnya.
Tipe-tipe pembiayaan berbasis syariah yang dapat dilakukan oleh BMT antara lain sebagai
berikut:
1. Mudharabah: BMT menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh
berdasarkan prinsip bagi hasil, dimana keuntungan dari hasil usaha akan dibagi, sedangkan
risiko ditanggung penuh oleh BMT, kecuali kerugian karena kelalaian atau kesalahan dari
peminjam dana dalam mengelola usahanya;
2. Murabahah: adalah akad jual beli atas barang tertentu dengan memperoleh keuntungan, atau
layanan leasing dengan sistem angsuran flat;
3. Musyarakkah: adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak BMT dapat
dilibatkan dalam proses manajemennya;
4. Ijarah (sewa-menyewa). Pengertian Ijarah (sewa-menyewa) yang terdapat dalam perbankan
syariah berbeda dengan pengertian sewa-menyewa dalam praktek umum sehari-hari. Sewamenyewa dalam praktek sehari-hari mempunyai tiga unsur penting yaitu harga sewa, jangka
waktu/masa sewa, dan obyek sewa
BMT ini juga menjadi salah satu sarana dalam upaya mengoptimalkan peran qardhul hasan
(tabungan kebajikan, dana sosial) yang bisa diambil dari dana zakat, infak, dan shadaqah (ZIS)
(Faizi, 2008). Dana-dana tersebut dapat dikelola sedemikian sehingga sebagian digunakan untuk
keperluan konsumtif mendasar (sandang, pangan, dan papan) dan sebagian lagi dapat menjadi
dana produktif (pembiayaan usaha). Dana sosial tersebut bisa berwujud sebagai dana wakaf tunai
yang dapat digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan insfrastruktur atau fasilitas umat.

Dalam hal ini kita perlu belajar dari pengalaman Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola
wakaf tunai di Inggris) yang mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari
30 juta poundsterling atau hampir Rp 600 miliar melalui penerbitan sertifikat wakaf tunai senilai
890 poundsterling per lembar. Dana yang bisa dihimpun tersebut kemudian disalurkan kepada
lebih dari lima juta yang berada di 25 negara, bahkan di Bosnia mampu menciptakan lapangan
kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program 'Income Generation Waqf'.
Perspektif Tekno-Ekonomi
Melihat jumlah usaha yang begitu besar (Gambar 2 di atas), maka pengembangan usaha mikro
dapat dipandang sebagai suatu upaya membangun peradaban bangsa menuju kesejahteraan
masyarakat secara luas. Dengan paradigma tekno-ekonomi (techno-economic paradigm), maka
upaya pengembangan usaha mikro tersebut perlu diberi sentuhan atau campur tangan teknologi.
Implikasi dari paradigma ini adalah perlunya mengalihkan perhatian dari proses ekonomi yang
semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy atau RBE) menjadi ekonomi
yang berbasiskan teknologi (Technology Based Economy atau TBE). Pada RBE faktor primer
ekonomi untuk peningkatan daya saing adalah modal, lahan, atau persediaan energi, sedangkan
dengan TBE maka faktor primer tersebut menjadi teknologi.
3

Untuk mewujudkan landasan teknologi maka perlu dibangun ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) yang merupakan sumber terbentuknya iklim inovasi dan kreativitas sumberdaya manusia

(SDM), yang pada gilirannya dapat menjadi sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi.
Selain itu iptek juga dapat menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi proses transformasi
sumberdaya menjadi sumberdaya baru yang lebih bernilai. Dengan demikian peningkatan
kemampuan iptek sangat diperlukan untuk memberdayakan usaha mikro.
Dalam perspektif tekno-ekonomi, terdapat tiga pilar yang menentukan keberhasilan strategi
pengembangan usaha mikro yaitu penguasaan teknologi, peningkatan produktivitas, dan
peningkatan daya saing (Aroef dan Djamal, 2009). Maka pertanyaan selanjutnya adalah:
 Teknologi apa yang tepat guna untuk dikuasai dalam upaya pengembangan usaha mikro?
 Bagaimana pendefinisian produktivitas yang lebih sesuai dengan konteks BMT, khususnya
yang berkaitan dengan dua misinya?
 Apa saja yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan daya saing BMT?
 Bagaimana strategi global dalam meraih semua tujuan (tiga pilar) tersebut?
Penguasaan Teknologi Tepat Guna
Dalam era persaingan yang semakin hari semakin global ini peran teknologi menjadi sangat
mutlak dalam kemajuan suatu usaha atau bisnis. Dalam konteks pengembangan usaha mikro
teknologi yang perlu dikuasai adalah yang tepat (sesuai) dan berguna (bermanfaat) bagi usaha
mikro itu sendiri maupun bagi BMT.
Teknologi yang tepat guna tersebut tentunya spesifik untuk jenis usaha yang digelutinya. Namun
secara umum teknologi informasi dan komunikasi (TIK) harus menjadi tumpuan semua jenis
usaha, termasuk usaha mikro dan BMT yang mengembangkannya. Usaha mikro dan BMT

minimal perlu menguasai bagaimana pemanfaatan yang mendasar dari perangkat TIK seperti
telpon rumah, telpon seluler, mesin fax, komputer, dan bahkan internet.
Penguasaan TIK tersebut tidak hanya berkontribusi pada proses produksi sehingga dapat
berdampak meningkatnya produktivitas, namun akan memicu kreativitas dan inovasi yang
kemudian dapat dimanfaatkan untuk memperkuat daya saing usaha. Oleh karena itu sangatlah
penting untuk melakukan upaya-upaya edukasi untuk memanfaatkan perangkat TIK secara
mendasar serta untuk memasyarakatkan iptek sebagai sesuatu yang vital dalam suatu usaha.
Terkait dengan upaya penguasaan teknologi ini, insan yang bergerak dalam usaha mikro dan
BMT juga perlu membudayakan tiga unsur penguasaan teknologi yaitu kualitas (quality), biaya
(cost), dan waktu penyampaian (delivery time). Dengan budaya ini maka para insan tersebut
diharapkan mampu menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi, berbiaya produksi
yang efisien, dan waktu pengerjaan (produksi) yang lebih cepat.
Tolok Ukur Produktivitas BMT
Secara konseptual produktivitas diukur dengan memperbandingkan keluaran dan masukan dari
suatu usaha (Aroef dan Djamal, 2009), sehingga bentuk umum ukuran produktivitas adalah suatu
nisbah atau ratio. Produktivitas dapat dipandang sebagai rasio antara efektivitas penyampaian
produk suatu usaha kepada pelanggannya dan efisiensi penggunaan sumber-sumber daya untuk
menghasilkan suatu produk.

4


Produktivitas atau kinerja finansial suatu BMT dapat diketahui dan diuji melalui seperangkat
analisis keuangan yang disebut dengan istilah penilaian kesehatan. Asumsi yang digunakan
adalah bahwa tingkat kesehatan BMT semakin tinggi maka akan semakin produktif. Dasar
penilaian finansial ini adalah sejumlah analisis rasio yang diperoleh dari hasil perbandingan dari
satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan relevan dan
signifikan. Mengingat hingga saat ini belum ada peraturan khusus mengenai BMT maka acuan
yang dapat diadopsi adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9 Tahun 2007 tentang Sistem
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah serta Peraturan Bank
Indonesia No. 9/17/PBI/2007 mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Secara singkat, penilaian tingkat kesehatan finansial bank secara kuantitatif dilakukan terhadap
lima faktor, yaitu faktor Permodalan atau kecukupan modal (Capital), Kualitas Aktiva Produktif
(Asset), Kualitas Manajemen, Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini yang dikenal
dengan istilah Analisis CAMEL dapat menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan,
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip ekonomi dan manajemen syariah, serta aspek lainnya yang
berhubungan dengan usaha lembaga keuangan syariah.
 1.   Capital  (Aspek Permodalan)
Modal adalah sejumlah dana yang harus disediakan oleh lembaga keuangan, di luar biaya
pendirian dan harta tetap atau inventaris perusahaan. Kecukupan permodalan bertujuan untuk

mengantisipasi  resiko  keuangan  dan operasional  atas   perannya  dalam  penghimpunan  dan
penyaluran dana. 
Indikator yang digunakan misalnya CAR (Capital Adequacy Ratio) yang diperoleh dengan
membandingkan modal sendiri dengan aktiva tertimbang menurut resiko yang dihitung dari
BMT yang bersangkutan.
Modal Sendiri
CAR 
Aktiva Tertimbang
 2.   Assets  (Aspek Kualitas Aset atau Aktiva Produktif)
Aktiva Produktif adalah penanaman atau penempatan dana BMT dalam rupiah berdasarkan
prinsip syariah dalam bentuk pembiayaan, piutang, ijarah, dan penempatan dana pada BMT
lain. 
Aktiva   ini   meliputi   semua   aktiva   yang   dimiliki   oleh   BMT   dengan   maksud   untuk   dapat
memperoleh   penghasilan   sesuai   dengan   fungsinya.   Indikator   kualitas   aktiva   terdiri   dari
lancar,   kurang   lancar,   diragukan   dan   macet   atau   sering   disebut   dengan   kolektibilitas.
Indikator kualitas  aset yang dipakai misalnya rasio kualitas produktif bermasalah dengan
aktiva produktif (NPL).
Kualitas Produktif Bermasalah
NPL 
Aktiva Produktif

 3.   Management  (Aspek Kualitas Manajemen)
Kualitas manajemen dapat dilihat dari kualitas manusianya dalam bekerja, juga dapat dilihat
dari   pendidikan   serta   pengalaman   karyawannya   dalam   menangani   berbagai   kasus   yang
terjadi. 
Unsur­unsur penilaian dalam kualitas manajemen meliputi dua hal yaitu: (1) Manajemen
Umum yang meliputi strategi/sasaran, struktur, sistem dan kepemimpinan; (2) Manajemen
Risiko,   yaitu   risiko   likuiditas,   risiko   kredit,   risiko   operasional,   risiko   hukum,   dan   risiko
pemilik dan pengurus. Penilaian didasarkan pada jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
5

 4.   Earning  (Aspek Rentabilitas)
Indikator rentabilitas  bertujuan untuk  mengetahui  kemampuan  BMT dalam menghasilkan
laba selama periode tertentu, serta dapat juga dipakai untuk mengukur tingkat efektifitas
manajemen dalam menjalankan operasional perusahaannya. 
Indikator yang dipakai misalnya Rasio Efisiensi Operasional atau BO/PO yaitu perbandingan
biaya operasional/biaya intermediasi (BO) terhadap pendapatan operasional yang diperoleh
bank (PO). 
Total Beban Operasional
BO / PO 
Total Pendapatan Operasional

 5.   Liquidity  (Aspek Likuiditas)
Likuiditas adalah kemampuan LKS dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya terhadap
pihak ketiga berupa kewajiban segera harus dibayar dengan harta lancarnya. Selain itu juga
LKS harus mampu memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai.
Indikator   yang   digunakan   seperti  Loan   to   Deposit   Ratio   (LDR)  yang   diperoleh   dengan
membandingkan   antara   seluruh   penempatan   dan   seluruh   dana   yang   berhasil   dihimpun
ditambah dengan modal sendiri. 
Seluruh Penempatan Kredit
LDR 
Seluruh Dana yang Dihimpun + Modal Sendiri
Namun demikian, mengingat misinya yang tidak hanya berkontribusi pada aspek finansial suatu
usaha tetapi juga pada aspek sosial dalam masyarakat di sekitarnya, maka penilaian produktivitas
atau kesehatan suatu BMT haruslah lebih komprehensif.
Mislan Cokro and Ismail (2008) mengatakan bahwa tingkatan jangkauan (level of outreach)
dapat menjadi ukuran untuk keberlanjutan kontribusi BMT pada UMKM. Dengan demikian
aspek tersebut dapat digunakan pula sebagai tolok ukur aspek sosial dalam penilaian kesehatan
BMT yang menggambarkan tingkat kinerja bisnisnya secara komprehensif. Asumsinya adalah
bahwa peningkatan kinerja bisnis BMT harus disertai dengan peningkatan benefit sosial pada
masyarakat di lingkungannya dalam berbagai bentuk, termasuk pengembangan UMKM.
Penilaian kriteria ini dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran benefit sosial pada UMKM

sebelum dan setelah menjadi anggota atau nasabah BMT dengan menggunakan empat aspek
yaitu: kedalaman, lebar, panjang, dan lingkup jangkauan.
1. Kedalaman jangkauan (Depth of Outreach)
Kedalaman jangkauan adalah nilai sosial yang terkandung di dalam pendapatan bersih dari
klien BMT (Schreiner, 2002). Dalam hal ini penghasilan rumah tangga dari pengusaha mikro
dapat menjadi proksi untuk aspek ini.
Dengan memanfaatkan fasilitas BMT, banyak pengusaha mikro menyatakan bahwa mereka
dapat menabung, dapat memenuhi kebutuhan dasar, membayar kebutuhan sekolah anakanaknya, biaya kesehatan, dan bahkan meningkatkan aktivitas keagamaannya (Gambar 3).
Dengan demikian pembiayaan secara Islam yang ditawarkan BMT dapat meningkatkan
kualitas hidup mereka baik secara fisik maupun spiritual.
Penghasilan Sebelum Menjadi Anggota BMT
DO 
Penghasilan Setelah Menjadi Anggota BMT

6

Gambar 3. Jenis-jenis pemanfaatan pembiayaan mikro (modifikasi dari Rutherford, 2000)

2. Lebar jangkauan (Breadth of Outreach)
Luas jangkauan adalah jumlah partisipan (anggota), dimana semakin banyak anggota BMT
maka semakin banyak pula kontribusi BMT pada masyarakat.
Dengan demikian BMT turut berkontribusi dalam peningkatan kemampuan ekonomi
masyarakat luas, sekaligus membebaskan masyarakat dari sistem ribawi.
Jumlah Anggota BMT Tahun yang Lalu
BO 
Jumlah Anggota BMT Tahun Sekarang
3. Panjang jangkauan (Length of Outreach)
Panjang jangkauan adalah kerangka waktu pembiayaan mikro, walaupun relatif sulit diukur.
Dalam hal ini keuntungan (profit) BMT dapat menjadi proksi untuk aspek ini. Profit menjadi
sinyal kemampuan BMT untuk memperoleh sumberdaya pada pasar dan memberikan
harapan pada UMKM untuk keberlanjutan usaha mereka.
Jika kemampuan BMT untuk meraih profit dapat meningkat dari tahun ke tahun, maka BMT
diharapkan dapat meningkatkan aset dan profitnya di masa depan, sehingga BMT dapat
memperpanjang usia harapan hidupnya.
Profit BMT Tahun yang Lalu
LO 
Profit BMT Tahun Sekarang
4. Lingkup jangkauan (Scope of Outreach)
Lingkup jangkauan adalah jumlah variasi kontrak finansial (pembiayaan) yang diberikan
oleh BMT. Dari tipe-tipe pembiayaan syariah tidak semua dapat dilaksanakan oleh setiap
BMT yang sangat tergantung pada kemampuan SDM dan infrastruktur BMT itu sendiri.
Semakin banyak jenis pembiayaan yang disediakan oleh BMT maka semakin memungkinkan
tumbuhnya kesejahteraan ekonomis sebagaimana yang dituntunkan oleh Islam. Hal ini
sejalan dengan tujuan Islam yaitu etika persaudaraan dan keadilan untuk meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh komunitas muslim.
Lingkup jangkauan BMT juga meliputi aktivitas pengumpulan dan pendistribusian zakat,
infaq, dan shadaqah (ZIS), karena partisipasinya dalam proses ini turut berkontribusi dalam
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (falah).
7

Benefit sosial dari BMT yang lain, khususnya bagi pengusaha mikro, adalah mempermudah
prosedur dan persyaratan daam memperoleh pembiayaan.
Jumlah Jenis Pembiayaan Tahun yang Lalu
SO 
Jumlah Jenis Pembiayaan Tahun Sekarang
Konsep kedua yang dapat diadopsi adalah pendekatan kinerja sosial lembaga keuangan syariah
yang dikemukakan oleh Setiawan (2009). Komponen-komponen kinerja yang diperhitungkan
dalam penilaian kesehatan tersebut antara lain: Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE),
Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM), Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS), Peningkatan
Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) serta Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE).
Strategi Peningkatan Daya Saing Usaha
Pendampingan usaha secara efektif khususnya melalui program peningkatan manajemen usaha.
Aktivitas yang dapat dilakukan meliputi:
1. In House Training (pembekalan pengetahuan teoritis);
2. On the Job Training (magang penerapan kerja); dan
3. Pembinaan operasional BMT secara profesional.
Program In House Training merupakan tahapan awal peserta untuk memperoleh pengetahuan
teoritis tentang sistem kerja dan teknik operasi lembaga keuangan syariah. Program ini
dilanjutkan dengan program magang yang merupakan pelatihan dengan melibatkan peserta untuk
dapat melihat dan mencoba secara langsung (praktek kerja) sistem keuangan syariah pada bank
syariah yang menjadi mitra. Program magang tersebut mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Menguji kemampuan setiap peserta terhadap penguasaan materi yang diberikan pada
program teori di kelas agar peserta dapat mengaplikasikannya dalam praktek dan menjustifikasi setiap masalah-masalah yang ditemukan dalam pekerjaan;
2. Menguji kemampuan apakah setiap peserta sesuai dengan posisi pekerjaannya di BMT.
Program pembinaan operasional merupakan kelanjutan dari program teori dan magang yang
telah dilaksanakan oleh para pelaksana dari BMT untuk meyakinkan bahwa operasional BMT
telah sesuai dengan apa yang diperoleh dari program sebelumnya. Permasalahan yang muncul di
lapangan oleh para peserta pelatihan dapat dikonsultasikan secara langsung kepada tim
pembinaan yang ditunjuk oleh bank syariah. Jangka waktu pembinaan disepakati antara kedua
belah pihak, misalnya untuk waktu 3 atau 6 bulan yang dapat diperpanjang sesuai dengan
kebutuhan masing-masing lembaga.
Penutup
Perspektif tekno-ekonomi dapat menjadi pertimbangan yang cukup strategis dalam upaya
pengembangan usaha mikro, terutama yang diperankan oleh BMT. Di samping berfungsi sebagai
alat (tools) pengembangan usaha, tekno-ekonomi ini juga berperan sebagai pemicu kreativitas
dan inovasi di kalangan pelaku usaha mikro dan BMT itu sendiri. Dengan penerapan teknoekonomi ini diharapkan usaha mikro dan BMT yang mengembangkannya bisa lebih meningkat
produktivitas dan daya saingnya, apalagi dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas
seperti CAFTA.
Referensi
8

Azis Budi Setiawan (2009). Kesehatan Finansial dan Kinerja Sosial Bank Umum Syariah di
Indonesia. Presentasi Seminar Ilmiah Kerjasama Magister Bisnis Keuangan Islam,
Universitas Paramadina, Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan Masyarakat Ekonomi
Syariah (MES), Jakarta 30 Juli 2009.
Faizi (2008). Bank Syariah Entaskan Kemiskinan. Republika, 11 Februari 2008, dimuat dalam
warta STEI-SEBI, www.sebi.ac.id
Fandi Muhammad Ramadhan (2009). Baitul Maal wat-Tamwil, Sejarah Singkat dan Peranannya
dalam Pengembangan UMK. BMT Insan Cendikia (disarikan tulisan: Peranan Permodalan
BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK - Ir. H. Saat Suharto (Direktur PT Pemodalan
BMT). http://bmt.insancendekia.org/artikel/38/
Matthias Aroef dan Jusman Syafii Djamal (2009). Grand Techno-Economic Strategy: Siasat
Memicu Produktivitas untuk Memenangkan Persaingan Global. Editor: Hatim Ilwan,
Penerbit Mizan, Bandung
Mislan Cokro, Widiyanto and Ismail, Abdul Ghafar (2008). Sustainability of BMT Financing for
Developing Micro-enterprises. Munich Personal RePEc Archive, MPRA Paper No. 7434,
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/7434/
Rutherford, S., 2000. The Poor and Their Money. Oxford University Press, New Delhi, ISBN
019565790X

9

BIODATA
A. PERSONAL DATA
1.
2.
3.
4.

Nama Lengkap
Jenis Kelamin
Tempat/tanggal lahir
Alamat dan
Nomor telepon.
5. Alamat Email
6. Instansi :

:
:
:
:

Vita Sarasi
Perempuan
Balikpapan, 17 September 1968
Jalan Konstitusi No. 2, Cigadung, Bandung 40191
085220393399
: vitasarasi@yahoo.com
: Universitas Padjadjaran, Fakultas Ekonomi, Program Studi
Manajemen, Konsentrasi Manajemen Syariah

B. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
No.
1

Nama Institusi
Universitas Padjadjaran
Bandung
Institut Teknologi Bandung

2

Tahun
Masuk
Lulus
1987
1992
1993

1996

Gelar
Sarjana
Ekonomi
Magister
Teknik

Bidang Studi
Manajemen
Manajemen
Industri dan
Teknologi

C. LATAR BELAKANG AKADEMIK
1. Judul dari skripsi dan thesis :
Judul skripsi
: Analysis of Production Processes of FTWB-Gehause
in the Quality Control of PT INTI by Using P-Control Type
Judul thesis

: Preliminary Study of Development of Career Pattern for
Technical Officer in Universal Maintenance Center (UMC),
PT. IPTN

2. Proyek Penelitian dan posisi :
No Tahun
Judul Proyek
.
1
2002 Compromise Solutions of the Decision Making Problem with

Duration-Cost Criteria in the Indonesian Postal
2008 Transportation Network: A Case of the Primary Network of
Java-Kalimantan Islands
2

2001

3

2000

Model on Measurement of Quality Performance (Partnership
Excellence Research between Faculty of Economic UNPAD
with PT. POS Indonesia, funded by State Ministry Office of
Research and Technology)
Optimization Model of the Health Budgeting Allocation in
West Java (funded by World Health Organization and West
Java Regional Office of Health Department)

10

Posisi
Doctoral
Student at
Frankfurt
University,
Germany
Peneliti

Peneliti

3. Daftar publikasi ilmiah di jurnal
No Tahun
Judul Artikel
.
1
2003 A Time-Cost Optimization of Postal Delivery
Service in Indonesia

2

2001

3

2001

Management Science : Combining of
Science and Art in Business Decision
Making (Illustration in Application of TV
Media Selection)
Measuring Cost Effectiveness on
Probabilistic Television Audience with
Monte Carlo Simulation

4. Referensi akademik
No
Nama
.
1
Prof. Dr. Hans G. Bartels

2

Prof. Dr. Rainer Klump

3

Prof. Dr. Ernie Tisnawati
Sule

Nama Jurnal dan
Tempat Publikasi
Proceedings of 8th
Indonesian Students’
Scientific Meeting (ISSM)
2003. ISSN 0855 – 8692,
The Netherlands
Manajemen Usahawan
Indonesia Magazine,
07/XXX, July 2001,
Jakarta
Economic Journal, Faculty
of Economics Padjadjaran
University, Volume XVI,
Number 2, September 2001

Hubungan
Former advisor in Faculty of Economy
and Business Administration, Johann
Wolfgang Goethe-University (Frankfurt
am Main)
Dean of Faculty of Economy and
Business Administration, Johann
Wolfgang Goethe-University (Frankfurt
am Main)
Dean of Faculty of Economy,
Padjadjaran University Bandung

Negara
Germany

Germany

Indonesia

D. POSISI SAAT INI DAN TUGAS
1. Mata Kuliah yang Dibimbing
No
Mata Kuliah
.
1
Manajemen Operasi
2
Manajemen Kuantitatif
3
Manajemen dalam Perspektif Syariah
4
Teori Pengambilan Keputusan
5
Statistics for Business
6
Manajemen Logistik dan Distribusi
7
Manajemen Proyek
2. Tugas Manajerial:
Tahun
Posisi
2009
Secretary of Sharia Management Concentration, Management Study
Program, Faculty of Economy, Padjadjaran University Bandung
2009
Secretary of Study Program of Management, Faculty of Economy,
Padjadjaran University Bandung
2009
Treasurer and Research and Journal Division, Center for Sharia
11

Economic Study, Padjadjaran University, Bandung

12