PENAFSIRAN AYAT AYAT AL QURAN TENTANG HI

PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG HIJAB PERSPEKTIF BUYA
HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

Rumi Harwiyanti1
Institut Agama Islam Negeri Kendari
Rumi Harwiyanti1997 @gmail.com
ABSTRAK
Artikel ini secara umum bertujuan untuk mengetahui makna jilbab dalam surat al-Ahzab ayat 59.
Secara lebih rinci tulisan ini menjelaskan pertama, makna jilbab menurut Buya Hamka Kedua,
mengetahui makna jilbab menurut M. Quraish Shihab. Ketiga, menjelas kan penyebab perbedaan
p maknaan jilbab antara perspektif Buya Hamka dan M. Quraish Shihab. Artikel ini merupakan
hasil kajian library research yang dimaksudkan untuk mengetahui perbeda an makna jilbab
menurut Buya Hamka dan M. Quraish Shihab dengan metode penafsiran muqarrin atau metode
komparatif. Buya Hamka mengatakan bahwa wanita Muslimah harus menutup tubuh mereka
,karena tubuh wanita adalah Aurat. , M. Quraish Shihab tidak cenderung mendukung pendapat
yang mewajibkan wanita menutup seluruh badannya atas dasar bahwa seluruh tubuh wanita
adalah aurat.Ini bukan saja karena lemah nya alasan-alasan yang mereka kemukakan, tetapi juga
dengan tampil seperti yang mereka wajibkan berarti gugurlah fungsi hiasan atau keindahan dalam
berpakaian, padahal al-Quran sendiri menyebutkan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah
hiasan. Adapun penyebab per bedaan para ulama dalam memaknai jilbab adalah penafsiran
mereka terhadap surat al-Nur ayat 31.

Kata-Kata kunci: jilbab, Buya Hamka, Quraish Shihab

A. Pendahuluan
Al-Quran adalah sumber dari segala sumber hokum. Semua hukum terdapat dalam AlQuran, termasuk urusan tentang hijab Al-Quran Q.S. al-Ahzab ayat 59 menjelaskan
bahwa:

‫َﻼ‬

Artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ketertarikan peneliti untuk meneliti judul ini, karena Jilbab adalah Kewajiban bagi
Seorang Muslimah Umat Islam yang harus di gunakan, karna Hukumnya adalah Wajib ,
namun masih banyak Wanita Muslimah ,yang belum menggunakan Jilbab padahal
1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Qur’an Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah

banyak dari mereka yang mengetahui bahwa hukumnya adalah Wajib untuk mengunakan

Hijab. Kebanyakan dari kalangan masyarakat salah menafsirkan hijab tersebut, dan juga
melihat keadaan di zaman yang semakin berkembang ini,kebanyakan wanita memakai
hijab karena fashion hanya sekedar ikut-ikutan. Sebab itulah,ketertarikan peneliti untuk
meneliti masalah tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengkaji tafsir Buya Hamka
dan Quraish Shihab, kedua penafsir tersebut merupakan penafsir terkenal di zaman
kontemporer ini.
.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Bahwa anak perempuan apabila telah
cukup umurnya, maka mereka tidak boleh dilihat akan dia melainkan mukanya dan kedua
telapak tangannya hingga pergelangan” (H.R. Abu Daud)”.
Tafsir Buya Hamka dan Qurais Shihab tentang Hijab ini sangat penting untuk
saya teliti, karena keduanya memiliki perbedaan penafsiran tentang Jilbab Padahal
keduanya sama-sama ulama Kontemporer tetapi keduanya bukan berarti tidak memiliki
perbedaan penafsiran., karna banyak terjadi kontroversi antara dua penafsiran tersebut di
dalamnya.Quraish Shihab mengatakan apabila mengunakan Hijab harus dari hatinya
terlebih dahulu dan Quraish Shihab mengatakan bahwa jilbab adalah Budaya
Arab.sedangkanBuya Hamka mengatakan bahwa wanita Muslimah harus menutup
tubuh mereka ,karena tubuh wanita adalah Aurat. Faktanya Masih banyak dari
masyarakat kita yang belum menggunakan Jilbab, padahal banyak dari mereka
mengetahui ,bahwa jilbab adalah kewajiban.

1. Pengertian Tafsir
Tafsir berasal dari kata al-fasr yang artinya menjelaskan atau mengetahui
maksud suatu kata yang sulit.

Artinya
Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak dating kepadamu (membawa) sesuatu yang
aneh, melainkan kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.
(QS. Al- Furqan (25) : 33)
2. Pandangan Ulama Klasik Terhadap Hijab
Menurut Ibnu Taimiyyah: Hijab berarti adab kesopanan bagi wanita dan
penggunaannya hanya dikhususkan bagi wanita merdeka serta tidak diwajibkan bagi
wanita budak, mereka boleh menampakkan tubuhnya. Jumhur Ulama’ (kebanyakakan
ulama’): Seluruh anggota badan wanita yang wajib ditutupi di hadapan lelaki lain yaitu semua
badannya adalah aurat wajib untuk ditutupi, kecuali muka dan dua telapak tangan, berdasarkan
surat an-Nur ayat 31. Madzab Maliki–Pertama: Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa,
seluruh tubuh wanita ditutup tak terkecuali menutup muka dan kedua telapak tangan. Kedua:
Tidak diwajibkan untuk menutup muka dan kedua telapak tangan, akan tetapi lelaki wajib
menundukkan pendangannya. Ketiga: Adanya perbedaan dalam kecantikan. Perempuan yang

cantik wajib menutup muka dan telapak tangannya, sedangkan yang tidak cantik disunatkan.

Madzhab Hanafi: Madzhab ini berpendapat bahwa wanita boleh membuka muka dan kedua
telapak tangan, namun laki-laki diharamkan melihatnya dengan syahwat.

3. Pandangan Ulama Kontemporer Terhadap Hijab
Menurut Abdul Halim Abu Syuqqoh: Hijab bermakna tabir, sebagai pembatas antara wanita
dan laki-laki. Hijab ini hanya berlaku pada isteri-isteri Nabi ketika mereka berbicara dengan lakilaki yang bukan muhrimnya dan ketika keluar rumah untuk suatu keperluan maka harus menutup
seluruh tubuhnya termasuk wajah, untuk membedakan antara wanita-wanita yang lain, bahwa
kedudukan wanita (istri-istri Nabi) lebih tinggi. Menurut Mahmud Muhamed Toha: Beliau
berpendapat bahwa ajaran murni Islam adalah Al- Sufur. Karena tujuan Islam adalah ketakwaan,
ketakwaan laki-laki dan perempuan bukan dengan menjatuhkan larangan dengan cara adanya
pemisah dan memakai jubah panjang. Hijab menurut beliau adalah sebuah hukuman akibat dari
adanya penyalahgunaan kebebasan dari Al-Sufur. Menurut Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah:
Hijab menurut beliau dibagi menjadi dua, yaitu hijab materi dan hijab rohani). Hijab Rohani adalah
hijab seorang wanita yang hidup ditengah masyarakat tidak berusaha untuk tampil dengan
dandanan yang menarik perhatian.Dan hijab bisa juga muncul dalam bentuk pembicaraan “maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya” (QS. Al- Ahzab:32) dan dalam bentuk prilaku yang lain. Hijab Materi adalah
kewajiban seorang wanita untuk menutup seluruh anggota tubuhnya selain wajah dan telapak
tangan. Muhamad Tharir bin Asyur seorang Ulama besar dari Tunis, yang diakui


otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam maqashid Al-Syari’ah sebagai
berikut: Kami percaya adat kebiasaan satu kaum tidak boleh-dalam kedudukannya sebagai adat
untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula
terhadap kaum itu.
Dari berbagai uraian di atas dapat di ketahui bahwa hijab mempunyai hubungan dengan
pendidikan akhlak.Hijab (jilbab) menyiapkan kondisi psikologis untuk memerangi pengaruh prilakuprilaku yang menyeret kepada penyimpangan di luar diri, dan mendatangkan imunisasi di dalam
diri pada pria dan wanita untuk melawan prilaku-prilaku yang menyimpang. Hijab bukanlah
masalah individual saja,tetapi menyangkut masalah sosial, sebab setiap hal yang dengan
sendirinya dapat menjaga individu dari keadaan terperosok dan penyimpangan, maka ia juga
dapat menjaga masyarakat.
Imam Ibnu Katsir berpendapat Jilbab adalah sejenis selendang panjang yang diletakkan
melapisi kerudung.Imam Ibn ‘Asyur memahami kata jilbab adalah dalam arti pakaian yang lebih
kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Imam Thabathaba’I

memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung
yang menutupi kepala dan wajah wanita.Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan
bahwa jilbab itu lebih luas dari selendang dan Sehelai kain Menutup seluruh badan.Ibnu
Abbas dan Ibnu bahwa Jilbab ialah rida’. Imam Ibnu Katsir berpendapat Hukum berhijab
ini merupakan perintah Ilahi yang ditujukan kepada segenap wanita-wanita mukmin
sekaligus ketetapan-Nya yang diarahkan untuk menjujung tinggi kehormatan suami-suami

mereka, komunitas hamba-hamba Allah yang briman.Perintah ini berfungsi membedakan
wanita-wanita mukmin dari sifat wanita-wanita jahiliyah dan perangai wanita-wanita
Musyrik Menurut Imam Ibnu Katsir Hijab merupakan Perintah Allah dan Rassulnya . Allah

berfirman memerintahkn Rasul-Nya agar menyuruh para wanita mukmin seluruhnyaKhusus istri-istri dan anak-anak beliau karena kemulian mereka untuk menjulurkan atau
menutupkan Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka2. Tujuannya agar mereka mudah untuk
dikenali dari para wanita jahiliyah dan hamba sahay sahaya perempuan.3‘ Ali bin Abi
Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘ Abbas ia berkata,” Allah memerintahkan para wanita
mukmin, bila mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk sebuah keperluan,
hendaknya mereka menutupi wajah-wajah mereka dari atas kepala mereka dengan Jilbab
kain yang menutupi seluruh tubuh . Muhamad bin sirin berkata, “ Aku bertanya kepada ‘
Ubaidah as-Salmani tentang firman Allah
“ Hendaknya mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka” Maka
“Ubaidah langsung menutup wajah dan kepalanya serta menampakan mata kirinya saja”.
Firman Allah ‘yang demikian itu supaya supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak digangu .’ .yakni, jika mereka menutupkan Jilbab
Keseluruh tubuh, niscaya ia akan mudah dikenal bahwa mereka itu adalah wanita-wanita
mukmin yang merdeka, mereka bukan hamba sahaya dan bukan pula pelacur. Firman
Allah; Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang,” atas segala dosa dan
kesalahan yang mereka lakukan di zaman jahiliyah, karena mereka melakukan itu semua

tanpa sepengetahuan Agama
3. Metode Muqaran (Perbandingan)
Metode penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan menemukan dan mengkaji
perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik dengan
menemukan unsur yang benar diantara yang kurang benar, atau untuk tujuan
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang dibahas dengan jalan
penggabungan unsur-unsur yang berbeda itu.
Tafsir Muqaran dilakukan dengan membandingkan ayat satu dengan ayat yang lain,
yaitu dengan ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau
kasus yang berbeda atau lebih, atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk kasus
yang sama, atau yang diduga sama, atau membandingkan ayat dengan hadis yang
tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut
penafsiran Al qur’an. Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek
kajian tafsir, yaitu membandingkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lain,
membandingkan ayat dengan hadits Nabi SAW (yang terkesan bertentangan), dan
membandingkan pendapat penafsiran ulama tafsir (baik ulama salaf maupun ulama
khalaf). Dari definisi yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode muqarrin
adalah (1) Membandingkan teks ayat-ayat al-qur’an yang memiliki kesamaan atau
kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang berbeda bagi
kasus yang sama. (2) Membandingkan ayat-ayat al-qur’an dengan hadits yang pada

2
3

Tafsir Ibnu Katsir hal 371-372.
Ibnu Katsir hal 371-372

lahirnya terlihat bertentangan. (3) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan.
B. Metode
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
(library research)yang memfokuskan pada penelusuran dan penelahan literature serta
bahan pustaka lainnya yang menggunakan metode kualitatif.4Ia merupakan penelitian
kualitatif berdasarkan metode analisisnya yakni datanya diteliti dengan analisa kualitatif.
2. Metode Muqarrin (Perbandingan)
Metode penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan menemukan dan mengkaji
perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik dengan
menemukan unsur yang benar diantara yang kurang benar, atau untuk tujuan
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang dibahas dengan jalan
penggabungan unsur-unsur yang berbeda itu.

C. Pembahasan
Makna jilbab dalam pandangan Al-Qur’an. Secara bahasa, kata al-jilbabsama
dengan kata al-qamish atau baju kurung yang bermakna baju yang menutupi seluruh
tubuh. Ia juga sama dengan al-khimar atau tudung kepala yang bisa dimaknai dengan apa
yang dipakai di atas baju seperti selimut dan kain yang menutupi seluruh tubuh wanita.
Asbabun Nuzul Surat al-Ahzab: 59 Pada suatu riwayat dikemukakan pada suatu riwayat
dikemukakan bahwa Siti Saudah (istri Rasulullah) keluar rumah untuk sesuatu keperluan setelah
diturunkan ayat hijab.Ia adalah seorang yang badannya tinggi besar sehingga mudah dikenali
orang. Pada waktu itu Umar melihatnya, dan ia berkata: “Hai Saudah. Demi Allah, bagaimana pun
kami akan dapat mengenalmu. Karenanya cobalah pikir mengapa engkau keluar?” Dengan
tergesa­ gesa ia pulang dan saat itu Rasulullah berada di rumah Aisyah sedang memegang tulang
sewaktu makan. Ketika masuk ia berk ata: “Ya Rasulullah, aku keluar untuk sesuatu keperluan,
dan Umar menegurku (karena ia masih mengenalku)”. Karena peristiwa itulah turun ayat ini (Surat
al­ Ahzab: 59) kepada Rasulullah Saw. di saat tulang itu masih di tangannya. Maka bersabdalah
Rasulullah:

“Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kau keluar rumah untuk sesuatu keperluan.”17
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa istri­ istri Rasulullah Saw. pernah keluar malam
untuk mengqada hajat (buang air). Pada waktuitu kaum munafiqin mengganggu mereka
dan menyakiti.Hal ini diadukan kepada Rasulullah Saw., sehingga Rasul menegur kaum

munafiqin. Mereka menjawab: “Kami hanya mengganggu hamba sahaya.”Turunnya ayat
ini (Surat al­ Ahzab: 59) sebagai perintah untuk berpakaian tertutup, agar berbeda dari
hamba sahaya

Dalam suatu riwayat juga mengatakan: “Para wanita mukminat pada malam hari
pergi keluar rumah untuk buang hajat. Di tengah per jalan an, mereka diganggu oleh
orang­ orang munafik (orang jahat) karena pen jahat itu tidak dapat membedakan antara
wanita merdeka (terhormat) dengan yang budak (sebab model pakaian yang mereka
pakai sama); sehingga bila mereka melihat seorang wanita me makai tutup kepala
(kerudung), maka mereka berkata, “Ini perempuan merdeka”, lalu mereka biarkan ber lalu
tanpa diganggu. Sebalikn ya, mereka melihat wanita tanpa tutup kepala lantas mereka ber
kata, “Ini seorang budak perempuan”, lalu mereka buntuti (dengan tujuan melakukan
pelecehan seksual).” Dalam peristiwa itu tampak dengan jelas bahwa ayat ini turun
bukan khusus berkenaan dengan konteks menutup aurat perempuan, tetapi lebih dari itu,
yakni agar mereka tidak diganggu oleh pria­ pria nakal atau usil. Dengan demikian, kita
dapat berkata dimana pun di dunia ini, baik dulu maupun sekarang bila dijumpai kasus
yang sama kriteria nya dengan peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat itu, maka
hukumnya adalah sama sesuai dengan kaedah ushul fiqih: “Hukum­ hukum syara’
didasarkan pada ‘illat (penyebabnya) “ada” atau “tidak ada” ‘illat tersebut. Jika ada, maka
ada pula hukumnya.Sebaliknya jika tidak ada ‘illat maka tidak ada hukumnya.Berdasarkan

kaedah itu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berjilbab hukumnya wajib.
Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak, yang
baik­ baik atau kurang sopan hampir dapat dikata kan sama. Karena itu lelaki usil
seringkali mengganggu wanita­ wanita khususnya yang mereka ketahui atau duga sebagai
hamba sahaya. Untukmenghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan kehormat
an wanita muslimah ayat di atas turun menyatakan: Hai Nabi katakan lah kepada istriistrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita keluarga orang-orang mukmin agar
mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab yakni keseluruh tubuh mereka. Yang
demikian itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal sebagai wanita­ wanita terhormat
atau sebagai wanitawanita muslimah, atau sebagai wanita­ wanita merdeka sehingga
dengan demikian mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang
PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB
Khusus Kaum Mukminat –bermula dari Istri Nabi Muhamad saw. diperintahkan untuk
kepada untuk menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkan pembinaan dan
pelecehan.
Sebelum turunya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak, yang
baik-baik atau yang kurang sopan, hampir dapat dikatakan sama. Karena itu, Lelaki usil
sering kali menganngu wanita-wanita, Khususnya yang mereka ketahui atau juga sebagai
hamba sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut serta menampakan
keterhormatan wanita Muslimah, ayat diatas turun menyatakan : Hai Nabi Muhamad
katakanlah kepada Istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita keluarga
orang-orang mukmin agar mengulurkan atas diri mereka, yakni keseluruh tubuh mereka,
jilbab mereka.yang demikian itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal sebagai wanita-

wanita muslimah, atau sebagai wanita-wanita merdeka, sehingga dengan demikian
mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha pengampun lagi Maha penyayang.
Kalimat : nisa’ al-mu’minin di terjemahkan oleh tim departemen oleh Tim
Departemen Agama dengan istri-istri orang mukmin .penulis ini lebih cenderung
menerjemahkannya dengan wanita-wanita orang-orang mukmin sehingga ayat ini
mencakup juga gadis-gadis semua orang mukmin, bahkan mereka keluarganya mereka
semuanya.
Kata ‘Jilbab diperselisihkan maknanya oleh ulama.Al-Biqa’i menyebut beberapa
pendapat. Antara lain, baju dan kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang
menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi
wanita. Semua pendapat ini, menurut al- Biqa’i, dapat merupakan makna kata tersebut.
Kalau yang dimaksud dengannya adalah baju, ia adalah menutupi tangan dan kakinya,
kalau kerudung, perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau
maknanya pakaian yang menutupi baju, perintah mengulurkannya adalah membuatnya
longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.
Kata ‘alaihinnadidi atas mereka mengesankan bahwa seluruh badan mereka
tertutupi oleh pakaian. Nabi saw. mengecualikan wajah dan telapak tangan atau dan
beberapa bagian lain dari tubuh wanita (baca QS. An-Nur (24:31), dan penjelasan Nabi
itulah yang menjadi penafsiran ayat ini.
Kata Jilbab diperselisihkan maknanya oleh Ulama.Al-Biqa’i menyebut beberapa
pendapat. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau
pakaian yang menutupi baju dan Kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang
menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqa’i dapat merupakan makna kata
tersebut. Kalau yang dimaksud dengannya adalah baju, ia adalah menutupi tangan dan
kakinya, lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, perintah
mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan
pakaian.
Thaba’i memahami kata Jilbab dalam arti pakaian yang menutup seluruh badan
atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita .
Ibn ‘Asyur memahami kata Jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah
tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah.
Kata Tudni terambil dari kata Dana yang berarti dekat dan menurut ibnu Asyur
,yang di maksud disini adalah memakai atau meletakan.
Ayat di atas memerintahkan wanita muslimah untuk wanita Muslimah memakai
Jilbab karena agaknya

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman tentang jilbab hanya di satu tempat, yaitu surat
Al-Ahzab ayat 59. Karena itu, selanjutnya ia populer dikenal dengan ayat jilbab. Ayat yang
dimaksud ialah:

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang
mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya
ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum
mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di
atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah
mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu
lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya.
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang.Hal
ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah,
meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita
Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan
oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan
hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita
adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an.
Tetapi apa hukumnya
M. Quraish Shihab juga membuat Sub babPendapat beberapa ulama kontemporer
tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapat ganjilnya
tersebut. Ia menulis:
Di atas semoga telah tergambar tafsir serta pandangan ulama-ulama
mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita.Tidak dapat
disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer.Namun
amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda dan
boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang
ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.

Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya
Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:

(91

)

Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya
sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak
dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang
memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:

:‫و ﻓ ﻰ ا ﻟ ﻘ ﺮ آ ن‬

19



Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anakanak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal
sehingga tidak diganggu.Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang
Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh
bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa
meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah
dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib.Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang
berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya”
bukan seharusnya.
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah
dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih.
Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak
memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti
telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para
ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki
pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab.Secara garis besar, pendapatnya
dapat disimpulkan dalam tiga hal.Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah

khilafiyah.Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang
pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut
batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan
keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.

PENAFSIRAN BUYA HAMKA TENTANG JILBAB

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang
mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
TAFSIR AL-AZHAR 59
Selangkah demi selangkah masyarakat Islam itu ditentukan bentuknya agar
berbeda dengan masyarakat jahiliyah.Terutama di tunjukan perbedaan pakaian
perempuan yang menunjukan adab sopan santun yang tinggi.
Sebelum peraturan ini turun adalah berbeda pakaian perempuan Islam dengan
perempuan musyrik.Tidak berbeda pakaian budak-budak perempuan pembantu rumah
tangga dengan pakaian perempuan merdeka. Oleh karena di masa itu orang belum
mempuyai kakus di dalam rumah sebagai sekarang, maka kalau perempuan hendak
membuang hajatnya, keluarlah mereka setelah hari mulai malam ke tempat yang agak
tersisih, di situlah mereka membuang hajat. Di waktu demikianlah kesempatan yang baik
bagi pemuda-pemuda jahat untuk mengganggu.Mereka sama-ratakan saja perempuan
baik-baik dengan budak-budak.Tetapi kalau perempuan yang diganggu itu bersorak-sorak
mereka pun lari.
Maka datanglah ayat ini
“ Wahai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isteri engkau dan anak-anak perempuan
engkau dan isteri-isteri orang-orang yang beriman: “ Hendaklah mereka melekatkan jilbab
mereka ke atas diri mereka.” (pangkal ayat 59).
Di dalam ayat ini Rasulullah diperintahkan oleh Tuhan supaya memerintahkan
pula kepada isteri-isterinya dan anak-anaknya yang perempuan.Setelah itu ialah kepada
isteri-isteri orang yang beriman.Supaya kalau mereka keluar dari rumah hendaklah
memakai jilbab.
Anak beliau yang laki-laki ialah Qasim, Thaher, Abdullah dan Thayyib. Ada juga
riwayat mengatakan bahwa Thaher dan Thayyib .ada juga riwayat yang mengatakan
bahwa Thaher dan Thayyib dan Abdullah hanya nama dari satu orang. Berdasar kepada

ini maka tiga orang anak laki-laki dari satu ibu, yaitu Khadijah yang agung.Setelah di
Madinah Lahir Ibrahim dari dayang beliau Mariah Qitbi. Kesemua anak laki-laki ini
meninggal di bawah umur . Qasim meninggal dalam usia dua tahun, Ibrahim usia 10
bulan. Nama Qasim dikekalkan jadi kunniyat Rasulluloh “ Abul Qasim” Menurut kebiasaan
orang Arab memanggil seorang yang telah berumur dengan kunyitnya memakai nama
anak itu adalah satu penghormatan.
Maka yang sampai dewasa hanyalah empat anak perempuan.Keempatnya dari
satu ibu, yaitu Khadijah.
Anak perempuan yang paling tua ialah zainab. Dia kawini oleh anak dari saudara
ibunya, yaitu Haalah binti Khuwailid yang berkunniyat Abul As bin Rabi ‘. (Sedang
Khadijah ialah binti Khuwailid pula) Zainab meninggal tahun kedepan hijrah.Suaminya
kemudian masuk Islam dari dia, sesudah ditebus oleh zainab dengan kalung pusaka
ibunya dari tawanan di perang Badar.
Anak Perempuan kedua ialah Ruqaiyah. Mulainya Ruqaiyah kawin dengan ‘Utbah
dan Abu Lahab sebelum Nbi MUhamad menyatakan dirinya sebagai utusan Allah .setelah
Nabi menyatakan diri sebagai utusan Allah maka pamanya Abu Lahab itulah salah
seorang yang sangat keras menentang da’wah beliau. Maka oleh karena sangat
marahnya kepada Rasulluloh s.a.w. dia bersumpah kepada anaknya” Kepalaku haram
bersentuh dengan Kepalamu sebelum anak si Muhamad itu engkau ceritakan.“ lantaran
paksaan ayah-ayah itu maka ‘ Utbah pun menceraikan Ruqaiyah sebelum mereka
serumah. Telah mengikuti langkah ibunya, dan turut berbai’at terhadap Rasulluloh
bersama perempuan-perempuan yang lain. Kemudian dia dikawini oleh Usman bin Affan.
Perempuan-perempuan Quraisy sangat senang atas perjodohan kedua orang ini,
sehingga jadi buah nyanyian mereka.
Dua bahagia dilihat Insan Isteri Ruqaiyah, suamiya Usman” Dua kali Usman hijrah
ke Hasbyi kedua kalinya Ruqaiyah ikut serta.Sekali Ruqaiyah keguguran dalam
mengandung. Setelah itu mereka beroleh putera diberi nama Abdullah. Tetapi setelah
Abdullah berusia enam tahun, dicocok ayam jantan matanya, maka meningalakan anak
itu dari sebab kesakitan, setelah itu Ruqaiyah tidak beranak lagi .setelah orang
berbondong-bondong hijrah ke Madinah Usman dan Ruqaiyah pun ikut berhijrah.ketika
Rosulluloh saw akan menghadapi peperangan badar yang terkenal ittu, Ruqaiyah sakit.
Usman diperintahkan oleh Rosulluloh menjaga istrinya.Sebab itulah maka dia tidak turut
dalam peperangan Badar.
Peperangan di Badar membawa kemenangan gemilang bagi Islam. Zaid bin
Haritsah disuruh pulang terlebih dahulu ke Madinah menyampaikan berita kemenangan
dan Nabi pulang kemudian dengan rombongan. Tetapi sesampai Zaid bin Haritsah di
Madinah, didaapatinya orang baru saja menimbuni kuburan Ruqaiyah, sehingga
kematiannya tidak tidak di hadiri oleh Rassulluloh. Ini kejadian tujuh belas tahun sesudah
Hijrah, atau termasuk dalam tahun kedua.

Ketiga ialah Ummi Kaltsum. Dia dikawini oleh ‘Utaiba bin Abu Lahab, adik pula
dari ‘ Utbah sebelum nubuwwat. Dia pun di pagsa oleh ayahnya menceraikan istrinya itu,
sebelum mereka bercampur. Dia pun memeluk Islam bersamaan dengan ibunya ketika
beliau menyatakan iman kepada Nabi dan Ummi Kaltsum pun turut berbai’at kepada Nabi
bersama-sama dengan perempuan-perempuan lain, seketika diadakan bai’at untuk
perempuan, dan dia pun turut hijrah ke Madinah menuruti ayahnya Rasullah s.a.w .
setelah Ruqaiyah meningeal dunia ,di kawinkanlah Ummi Kaltsum oleh Rasulluloh s.aw.
dengan Usman. Cara kaitanya ialah “ganti tikar”. Karena kawin dengan dua anak
Rasulluloh berturut-turut dua kali itulah maka Usman diberi orang gelar “ Dzin Nuraini “,
yang mempuyai dua cahaya. Diapun meninggal dalam bulan Sya’ban tahun kesembilan
hijriyah. Rasulluloh saw sendiri tegak memberikan kafan yang akan dipakaikan dirinya
dibalik dinding tempat mayatnya dimandikan. Rasullulah sendiri turut berdiri di pinggir
kuburnya ketika dimandikan. Rasullulah sendiri turut berdiri di pinggir kuburnya ketika ia
dimassukan ke liang lahad oleh Ali bin Abu Thalib dan Fadhal bin Abbas dan Usamah bin
Zaid.
Yang paling bungsu ialah Fatimah. Dialah dikawinkan Nabi dengan Ali bin Abu
Thalib. Fatimah dilahirkan lima tahun sebelum Nubuwwat. Dialah anak paling bungsu.Dia
dikawini oleh Ali pada bulan Ramadhan tahun kedua hijrah, dan mereka mulai serumah
pada bulan Dzul Hijjah tahun itu.Fatimah meningeal tidak berapa lama sesudah
Rasullulah meningeal. Fatimah sahajalah anaknya yang kemudian wafat dari pada saw.
Maka keempat anak perempuan inilah yang dimaksud dengan wahyu ini.Kalau
ayat tengah kita tafsirkan ini turun di sekitar tahun keempat atau kelima, maka Ruqaiyah
tidak ada lagi.
Kepada isteri-isteri beliau dan anak-anak beliau didahulukan perintah, sesudah itu
baru kepada isteri-isteri orang yang beriman, ialah isteri-isteri dan anak-anak perempuan
itulah yang lebih dahulu akan dicontoh oleh orang banyak.
Di samping kepada isteri-isteri dan kepada anak-anak perempuan beliau itu,
perintah ini pun hendaklah disampaikan pula kepada isteri-isteri dari orang-orang yang
beriman.Yaitu supaya mereka melekatkan jilbab keatas badan mereka.Kata jama’ dari
jilbab ialah jalaaibib.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa jilbab itu lebih luas dari
selendang.Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, keduanya sahabat Rasullulah yang terhitung
alim mengatakan bahwa jilba ialah rida, semacam selimut luas. Al-Qurtubi menjelaskan
sekai lagi: “yang benar ialah sehelai kain yang menutupi seluruh badan.”
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Jilbab ialah ditutupkan ke badan di atas dari pada
selendang.
Sufyan Tsauri memberikan penjelasan bahwa makanya isteri-isteri Nabi dan
anak-anak perempuan beliau dan orang-orang perempuan beriman disuruh memakai
jilbab di luar pakaian biasa, ialah supaya jadi tanda bahwa mereka adalah perempuanperempuan terhormat dan merdeka, bukan budak- budak, dayang dan bukan perempuan
lacur.

As –Suddi berkata: “ Orang-orang jahat di Madinah keluar pada malam hari
seketika mulai gelap, mereka pergi ke jalan-jalan di Madinah, lalu mereka ganggui
perempuan yang lalu-lintas. Sedang rumah-rumah di Madinah ketika itu berdesak-desak
sempit.Maka jika hari telah malam perempuan perempuan pun keluar kejalan mencari
tempat untuk membuangkan kotoran mereka.Di waktu itulah orang-orang jahat itu mulai
mengganggu. Kalau mereka lihat tidak memakai jilbab, mereka berkata: “ Ini budak!”, lalu
mereka kerumuni.
Itulah sebab maka lanjutan ayat berbunyi: “ yang demikian itu ialah supaya
mereka lebih mudah dikenal, maka tidaklah mereka tidak akan diganggu orang.”karena
dengan tanda Jilbab itu jelaslah bahwa mereka adalah orang-orang yang terhormat.
“Dan Allah adalah pemberi ampun dan penyayang.”( ujung ayat 59), Maksud
ujung ayat ialah menghilangkan keragu-raguan manusia atas kesalahan selama ini,
sebelum peraturan ini turun. Karena orang-orang terhormat, perempuan-perempuan
beriman berpakaian sama saja dengan budak dan perempuan lacur.
Sama saja dengan Koteka di Irian Jaya, yang khas hanya penutup alat kelamin
yang membuat malu orang yang beradab jika melihat orang berpakaian begitu. Jika
orang-orang Irian itu telah hidup dalam peradaban dan karena selama ini telah
membukakan seluruh tubuh di hadapan orang lain, kecuali yang “sedikit” itu saja yang
tertutup. Maka ujung ayat ini pun dapatlah mengenal diri mereka, bahwa Allah sudi
memberi ampun dan Allah itu Maha Penyayang kepada hambanya.Sebelum Syari’at
datang, cukuplah akal dengan sekedar kecerdasan yang terbatas itu saja jadi penimbang
buruk dan baik.
Jilbab Di Indonesia
Ketika penulis datang ke Tanjung pura dan Pangkaian Berandan dalam tahun
1926 penulis masih mendapati kaum perempuan di sana memakai Jilbab. Yaitu kain
sarung ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja di rumah lain, mereka
tetap menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu kedalam air sarung dan
salah satu dari kedua belah tangannya memegang kain itu dimuka, sehingga hanya
separuh yang terbuka, bahkan hanya mata saja.
Seketika penulis datang ke Makassar pada tahun 1931 sampai meninggalkannya
pada tahun 1934, perempuan-perempuan yang berasal dari Salayer berbondong-bondong
pergi ke tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang di pelabuhan
Makassar, memakai jilbab, persis seperti di Langkat itu pula.
Seketika penulis pergi ke Bhima pada tahun 1956 penulis masih mendapati
perempuan di Bhima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagai di Langkat
1927 dan di Makassar 1931 itu pula.
Seketika penulis pergi ke Gorontalo pada tahun 1967 ( 40 tahun sesudah ke
Langkat) penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya,
meskipun pakaian yang di dalam memakai rok Modem.
Pergerakan perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat
pakaian perempuan yang memegang kesopana Islam yang tidak mempergerakan badan.

Gerakan Aisyiyah di tanah jawa atas anjuran Kiyai H.A. Dahlan selain memakai Khimmar
(selendang) yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, dibawa untuk kepala.
Ketika saya mulai datang Ke Yogyakarta pada tahun 1924 ( tiga tahun sebelum Tanjung
Pura Langkat) kelihatan di samping Khimaar (selendang) Kelihatan di samping Khimaar
penutup kepala dan dada itu, Aisyiyah pun memakai jilbab diluarnya. Pakaian secara
begini menjalar keseluruh tanah air dalam pergerakan Islam.Almarhum Rangkayo
Rahmah El-Yunusiyah mempertahankan Khimaar dengan dililitkan pada muka dan kepala
dengan kemas sekali; muka tidak ditutup. Seorang perempuan pergerakan yang sama
penggunanya dengan Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah, Yaitu Rangkayo Hajah Rasuna
Said tidak pernah lepas Khimaar (Selendang) itu dari Kepala beliau.
Menjadi adat-istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari Haji, lalu
memakai Khimaar (selendang) yang lilitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak
dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan. Tetapi di Akhir zaman
akhir-akhir ini perempuan-perempuan moden yang mulai tertarik kembali kepada Agama,
lalu pergi naik haji, di Jakarta (1974) pernah mengadakan suatu Mode Show (peragaan
pakaian) di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaia moden yang sesuai
dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan (estetika). Beberapa tahun
yang lalu tukang-tukang Mode di Eropa membuat kaum perempuan setengah gila dengan
keluarnya Mode Rok mini, yaitu rok yang sangat pendek sehingga sebahagian besar paha
jadi terbuka.Tetapi kemudian mereka bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok
panjang atau longdress yaitu pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan
Moden yang telah haji lalu memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian
orang haji.
Dalam ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya
tidaklah ditentukan oleh Al-Qur’an.Yang jadi pokok yang di kehendaki al-Qur’an ialah
pakaian yang menunjukan iman kepada Tuhan, pakaian yang menunjukan kesopanan,
bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki.
Alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepda Tuhan,
bukan yang beriman kepada uang dan kepada daya tarik Syahwat nafsu (sex appeal).
“ Sesungguhnya jika tidak juga berhenti orang –orang yang munafik itu dan
orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau di Madinah,
niscaya akan kami kerahkan engkau terhadap mereka.” (pangkal ayat 60).

PERBANDINGAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISBAH TENTANG
JILBAB

1. . Mengunakan Metode dan Corak Tafsir yang sama
A. Perbedaan Pendapat Buya Hamka dan Quraish Shihab

1. Di dalam penafsiran Tafsir Al-Azhar menjelaskan Keadaan Jilbab di Indonesia
sedangkan Tafsir Al-Misbah tidak

B. Kelemahan dan Kelebihan Masing –masing penafsiran

1. Kelemahan dan Kelebihan Tafsir Al-Azhar
Kelemahan tidak menjelaskan Kalimat Nisa al-muminin , tidak menjelaskan kata
alaihinaldi,tidak menjelaskn Kata Jilbab yang diperselisihkan Oleh Ulama ,dan tidak
menjelaskan kata tudni

2. Kelebihan dari Tafsir Al-Azhar mencantumkan menjealskan Jilbab pakaian Sopan
,Pendapat Ulama terdahulu yang sama dengan pendapatnya dan Menjelaskan Keadaan
Wanita , sebelum turun ada perintah Jilbab,dan menjelaskan Jilbab di indonesia di dalam
kitab penafsirannya.
2. Kelemahan dan Kelebihan Tafsir Al- Misbah
1.Tidak menjelaskan secara jelas keadaan wanita sebelum turunnya penggunaan
Hijab
2. Kelebihan menjelaskan Kalimat Nisa al-muminin menjelaskan kata
alaihinaldi,tidak menjelaskn Kata Jilbab yang diperselisihkan Oleh Ulama ,dan
menjelaskan kata tudni
Kesimpulan
Dari Kesimpulan penafsiran yang lebih kuat ,adalah penafsiran Tafsir Al-Azhar
Karena Tafsir Al-Azhar karna Tafsir Al-Azhar menjelaskan Wanita pada Waktu
dulu.

DAFTAR PUSTAKA

Tafsir Al-Misbah jilid 10 hal 533
Tafsir Al-Azhar Jilid 10 hal 5799
Muhamad Quraish Shihab Wawasan Al-Qur’an ,Bandung 40124
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Al-Qurtubi
Tafsir As-Suyuti
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish.
Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan Pustaka, 2007.