Rembang Melawan atau Krisis Pangan

Rembang: Melawan atau Krisis Pangan
Oleh Mirza Ahmad

Konflik agraria memang selalu beraroma sengar nyinyir. Lahan yang sejatinya menjadi
penghidupan bagi rakyat –terutama sekali petani- telah berubah menjadi sebuah komoditas
–barang yang dapat diperjualbelikan. Alhasil konflik agraria yang beraroma segar nyinyir ini
berimplikasi langsung pada hilangnya mata pencaharian, pengangguran dan –apa yang
Revolusi Industri inginkan- perubahan pada mode of production.
Kabupaten Rembang berada persis pada kaki Pegunungan Kendeng ini sebagian besar
warganya bekerja sebagai petani, hal ini dapat ditunjukkan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terbaru (2014) Kabupaten Rembang 44,75% ditunjang dari sektor pertanian. Ribuan hektar
lahan menghijau dimusim tanam –seperti apa yang Koes Plus nyanyikan- dari ketinggian 3000
kaki terlihat seperti Zamrud Khatulistiwa. Petani –terutama sekali- memilih hidup mandiri,
sederhana dan tidak konsumtif. Alasan rasionalnya adalah bahwa alam telah memberi
mereka penghidupan yang tidak ternilai dengan rupiah sehingga memiliki daya beli yang
tinggi bukan jadi impian mereka, sudah mendarah daging bagi mereka untuk bekerja dari dan
untuk alam. Altruism Ratio –atau yang akhir-akhir ini sering disebut Local Wisdom- tersebut
kini terancam oleh berdirinya korporasi yang akan membeli lahan mereka, karena
Pegunungan Kendeng adalah tumpukan gamping yang jauh lebih bernilai daripada hanya
menjadi mozaik Zamrud Khatulistiwa yang terbuat dari sawah.
Menelan liurnya sendiri, kiasan yang cocok untuk pemerintahan yang lalai ini –

dulunya- sempat menggaungkan soal kedaulatan pangan ternyata kini hanya tinggal bualan
belaka. Pemerintah Jateng memberikan izin lingkungan kepada PT. Semen Indonesia Tbk.
untuk menambang Pegunungan Kendeng beserta melanjutkan seluruh tahap Pra-Konstruksi
untuk seluruh infrastruktur pabrik, termasuk akses jalan dengan total luasan wilayah
menembus 900 hektar. Batuan gamping (karst) muda memang cocok untuk bahan olahan
semen apalagi dengan visi terbaru PT. Semen Indonesia Tbk. yang ingin memperlebar sayap
produksi. Pabrik semen di Rembang ini akan diproyeksikan mampu menghasilkan produksi
sebanyak 30 Juta Ton/Tahun. Padahal penambangan karst ini akan menghancurkan 300 mata
air dan 4 sungai bawah tanah –dibawah Pegunungan Kendeng- yang menghidupi ribuan
hektar lahan pertanian. Petani terancam lahannya kering dan meninggalkan sawah untuk
bekerja sebagai lumpen proletariat pabrik semen.
Negara tidak hadir dalam memberikan penghidupan yang layak –khususnya pada
petani Rembang. Hal ini adalah contoh pembiaran negara terhadap faktor utama kemiskinan,
yakni hilangnya lahan. Keberpihakan pemerintah terbukti hanya pada pemilik modal raksasa,
bukan pada rakyat kebanyakan. Rakyat Rembang yang menolak pendirian pabrik semen
berusaha di-depolitisasi dengan uang receh agar mulutnya terbungkam. Mereka yang tetap
menolak pun juga harus menghadapi represifitas aparat yang tidak manusiawi –membuang
demonstran (ibu-ibu) ke parit.
Negara telah mengizinkan pengrusakan tatanan sosial dan ekonomi rakyat Rembang
oleh pabrik semen. Devide et Impera menjadi ujung tombak pabrik untuk memecah

konsentrasi kekuatan warga. Sawah yang dulu jadi sumber penghidupan kini terancam hilang
airnya, karena Pegunungan Kendeng telah ditetapkan oleh Pemerintah pada Keppres No.26
Tahun 2011 dan Perda RTRW Jateng No. 6 Tahun 2010 Pasal 63, serta Perda RTRW Rembang

No.14 Tahun 2011 Pasal 19 sebagai kawasan imbuhan air, lindungan air dan lindungan
geologi.
Wacana kelestarian lingkungan yang diusung oleh rakyat Rembang ini membuktikan
bahwa Altruism Ratio mereka menjadi kesadaran paling utama untuk menentang praktik
ketidakadilan terhadap alam dan manusia. Salah besar jika kita sebagai akademisi –setidaknya
orang yang menempuh pendidikan formal yang cukup- tidak berpihak dan tidak mengabdikan
diri kepada rakyat, kepada para petani yang sadar, kepada rantai produksi paling vital di
negeri ini. Seperti pesan sastrawan besar Indonesia –Pramoedya Ananta Toer- Manusia
berpengetahuan harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam tindakan. Merdeka !!!

*** Tulisan ini adalah Term of Refference yang disampaikan pada Diskusi Akbar
#RembugRembang pada 11 April 2015 di Hall Utama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.