Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Apl

COMPULSORY EDUCATION OR
UNIVERSAL BASIC EDUCATION?
Pendahuluan
Sebuah Negara bisa maju, jika penduduknya memiliki kesadaran akan arti pentingnya
pendidikan. Dengan pendidikan maka akan tercipta manusia-manusia unggul yang akan
membangun bangsa dan negaranya. Hal ini di sadari oleh para pendiri bangsa ini, sehingga
dalam Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan bahwa “mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Dan ditegaskan batang tubuh, pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi
menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Amandemen UUD 1945, pasal 31 berbunyi :
1.

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;

2.

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya;

3.


Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang

4.

Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

5.

Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.
Pada kenyataannya, perjalanan pendidikan khususnya pendidikan dasar di

Indonesia masih memprihatinkan. Pada tahun ajaran 2009/2010 masih terdapat siswa yang
putus sekolah di tingkat SD dan SMP sekitar 768.960 orang, terdiri atas 527.850 siswa SD

dan 241.110 siswa SMP. Bahkan hasil Sakernas tahun 2009 menunjukkan siswa usia 7-14
tahun yang putus sekolah mencapai 1.496.362 siswa atau 4,92% dari jumlah siswa
sekolah. Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional
2009/2010 mencapai 98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar
1,89 persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian
Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa. Mereka putus

sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain itu, sekitar 920.000 lulusan SD tidak
bisa melanjutkan pendidikan ke SMP dengan beragam alasan. Adapun lulusan SMP yang
tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat lebih banyak lagi, yakni sekitar 30,1 persen
atau sekitar 1,26 juta siswa.
Di sisi lain perlu adanya rekonseptualisasi tentang makna pendidikan dasar. Apakah
yang disebut pendidikan dasar adalah compulsory education dengan rentang waktu 6-12
tahun? Apakah yang disebut

compulsory education yang lebih tepat digunakan?

Bagaimana pandangan negara-negara lain tentang konsep compulsory education?
Beberapa pertanyan diatas akan dikupas pada makalah berikut ini.
Sejarah dan Implementasi Compulsory Education di beberapa negara

Pengertian Compulsory education menurut Wikipedia adalah

“the system of public

education in which all children under a given age are required to obtain a general
education”
Suatu sistem pendidikan yang mewajibkan seluruh anak pada usia tertentu untuk
mendapatkan pendidikan umum.
Menurut para pakar pendidikan di Eropa, Plato adalah orang pertama yang
mempopulerkan compulsory education. Setiap orangtua di Judea telah diwajibkan untuk
mengajar anak sejak usia dini secara informal. Seratus tahun kemudian, sseiring dengan
perkembangan wilayah, didirikan sekolah guru yang diberi nama Rabbis. Pada abad
pertama Masehi, Ben Gamla mendirikan sekolah di setiap kota dan melakukan formalisasi
education compulsory bagi anak usia 6 atau 7 tahun. Berdasarkan Aztec Triple Alliance
yang diundangkan antara tahun 1428 – 1521, Suku Aztec telah mengimplementasikan “a
system of universal compulsory education”
Gerakan compulsory education di Amerika Serikat telah dimulai sejak 1850. Pada
1910 disetujui satu undang-undang yang melarang anak-anak usia sekolah bekerja pada
perusahaan atau pabrik-pabrik. Pemerintah (dalam hal ini pemerintah distrik dan
pemerintah negara bagian) wajib menyediakan semua fasilitas belajar bagi anak-anak usia

sekolah. Khusus bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin diberikan makan pagi
dan siang. Biaya sekolah dan buku-buku pelajaran diberikan secara gratis. Orang tua yang
sengaja melalaikan tugasnya tidak menyekolahkan anaknya, maka orang tua tersebut akan
dihukum. Batas compulsory education di Amerika rata-rata dari umur 6 tahun sampai 17

tahun, bahkan terdapat beberapa negara bagian yang membuat batas compulsory education
sampai 18 tahun.
Di Belanda, compulsory education berlangsung 11 tahun, yaitu sejak anak berumur
empat tahun sampai umur 15 tahun yaitu untuk menyelesaikan SD selama 6 tahun dan
SMP tiga tahun. Setelah seseorang menyelesaikan program SD dan SMP, maka murid
tersebut diharuskan mengikuti pendidikan wajib hanya dua hari seminggu selama satu
tahun dengan waktu penuh (fulltime). Kelas tambahan satu tahun disebut kelas transisi,
karena setelah mengikuti program tersebut anak dengan persetujuan orang tua akan
memilih jenis dan jenjang sekolah yang disukainya.
Di Jepang, compulsory education hanya ditetapkan untuk SD selama 6 tahun dan
ditambah SMP tiga tahun. Compulsory education dijadikan 9 tahun, termasuk anak-anak
cacat compulsory education pada sekolah-sekolah khusus. Biaya pendidikan pada usia
wajib belajar adalah gratis. Sekolah-sekolah swasta yang melaksanakan compulsory
education tidak memungut biaya karena hal tersebut dicantumkan dalam undang-undang
pendidikan tentang wajib belajar.

Compulsory Education di Jepang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses
penuh kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP)
dengan menggratiskan tuition fee, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan anak
(ditetapkan dalam Fundamental Law of Education). Untuk memudahkan akses, maka di
setiap distrik didirikan SD dan SMP walaupun daerah kampung dan siswanya minim (per
kelas 10-11 siswa). Orang tua pun tidak boleh menyekolahkan anak ke distrik yang lain,
jadi selama masa compulsory education, anak bersekolah di distrik masing-masing. Mutu
sekolah negeri di semua distrik sama, sebab Ministry of Education mengkondisikan
equality di semua sekolah. Sedangkan untuk SMA, siswa dibebaskan untuk memilih
sekolah di distrik lain.
Di Jepang Pendidikan dasar tidak mengenal ujian kenaikan kelas, tetapi siswa yang
telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua,
demikian seterusnya. Ujian akhir juga tidak ada, karena SD dan SMP masih termasuk
kelompok compulsory education, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di
tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP. Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat
memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka harus mengikuti ujian masuk SMA
yang bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh Educational Board.

Dalam pengertian negara maju seperti beberapa negara diatas, compulsory
education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya unsur paksaan agar peserta

didik bersekolah, (2) diatur dengan undang-undang compulsory education, (3) tolok
ukur keberhasilan compulsory education adalah tidak adanya orang terkena sanksi
karena telah mendorong anaknya bersekolah, dan (4) ada sanksi bagi orang tua yang
membiarkan anaknya tidak bersekolah. Konsekuensi adanya unsur paksaan beserta
sanksinya di negara-negara maju, pemerintah berkewajiban menyediakan segala fasilitas
pendidikan dan karena itu pendidikan berlangsung cuma-cuma sampai tingkat tertentu.
Ada dua karakteristik dalam sistem pendidikan. Salah satunya adalah saat memulai
compulsory education. Konstitusi Indonesia mengatakan "Semua anak, ketika mereka
datang dari usia enam, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan compulsory education
minimal selama enam tahun dan ketika mereka datang dari usia delapan tahun untuk
mendapatkan pendidikan minimal selama enam tahun".
Compulsory education di Indonesia belum seperti di negara-negara yang telah maju.
Compulsory education 9 tahun di Indonesia mengandung arti sebagai Universal Basic
Education yaitu terbukanya kesempatan secara luas bagi semua peserta didik untuk
memasuki Pendidikan dasar. Jadi, sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi
pendidikan orang tua dan peserta didik untuk memasuki pendidikan dasar. Jadi, sasaran
utamanya adalah menumbuhkan motivasi orang tua dan peserta didik yang telah cukup
umur untuk mengikuti pendidikan.
Adapun ciri-ciri compulsory education di Indonesia adalah (1) tidak bersifat
paksaan melainkan persuasif, (2) tidak ada sanksi hukum, dan yang lebih menonjol

adalah aspek moral, (3) tidak diatur dengan undang-undang tersendiri, dan (4)
keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar. Pendidikan dasar
mengandung arti bahwa pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi semua peserta
didik yang telah memenuhi persyaratan untuk memasuki jenjang pendidikan dasar, yaitu 6
tahun untuk tingkat SD dan tiga tahun untuk tingkat SLTP.
Permasalahan compulsory education di Indonesia
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2009 tercatat Angka Partisipasi Sekolah (APS) umur
13-15 tahun adalah 85,47% dan buta huruf usia 15 tahun plus (15 th +) adalah 7,4%, buta
huruf umur 10 tahun mencapai 6,95%. Angka-angka yang menunjukkan masih ada
hambatan dalam pelaksanaan wajar 9 tahun. Ini menunjukkan bahwa pemberian BOS
ternyata tidak membawa solusi bagi suksesnya wajar 9 tahun.

Penyebab ketidak berhasilan ini bukan pada peraturan atau program dari
pemerintah, tapi terletak pada implementasinya. Bagi warga miskin, Biaya Operasional
Sekolah (BOS) bukan jalan utama dalam menempuh haknya untuk memperoleh
pendidikan, yaitu buku sekolah. Pemerintah sangat lemah pengawasannya dalam
pelaksanaan BOS di sekolah-sekolah, serta kurangnya partisipasi aktif pemerintahan
daerah dalam menggerakkan warganya yang berada dalam usia wajar 9 tahun. Berbagai
macam penyelewengan dana BOS sering terjadi dan masih ditarik dana bagi para peserta
didik. Hal ini dikarenakan aturan yang mendua dari pemerintah berkenaan dengan dana

operasional sekolah, dimana sekolah diperbolehkan menutup biaya operasionalnya dengan
melibatlan partisipasi wali murid lewat Komite Sekolah. Aturan yang mengakibatkan
kurang terlindunginya warga miskin untuk mendapatkan haknya dalam memperoleh
pendidikan. Dan mahalnya buku sekolah, menjadikan kendala ketidaksukesan wajar 9
tahun. Walau Kemendiknas telah meluncurkan Buku BSE dengan harga murah, karena hak
ciptanya telah dibeli oleh pemerintah. Tapi masih banyak sekolah yang tak mau
menggunakan buku BSE, atau membelikannya dari dana BOS untuk buku.
Sebuah survei yang dilakukan di Indramayu oleh tim dari Institut Pertanian Bogor
(IPB) dan BAPPENAS pada tahun 2009 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari responden
(orang tua) tidak puas terhadap kualitas wajib belajar di Indonesia (SD dan SMP).
Sementara itu, 70% dari responden tidak puas dengan biaya sekolah. Hal ini terjadi karena
pendapatan banyak keluarga yang rendah. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk
menggunakan uang mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka daripada untuk
membayar biaya sekolah. Masalah ini menyebabkan tingginya angka putus sekolah.
Menurut survei, alasan utama mengapa mereka meminta anak mereka untuk berhenti
sekolah dapat dibagi menjadi dua kategori - ekonomi dan non-ekonomi. Faktor ekonomi
meliputi; mereka tidak mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi biaya sekolah
yang meningkat dari tahun ke tahun, jika mereka memiliki lebih dari dua anak, mereka
tidak mampu untuk membiayai biaya pendidikan mereka bersama-sama. Faktor non
ekonomi, misalnya, anak-anak mereka kehilangan semangat mereka dalam belajar, mereka

berpikir bahwa anak-anak mereka memiliki sudah mendapatkan pendidikan yang cukup.
Berdasarkan statistik yang dikeluarkan oleh Nation Master, posisi pendidikan
Indonesia adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Statistik Pendidikan Indonesia
Average years of schooling of adults
Children out of school, primary
Duration of compulsory education
Duration of education > Primary level
Duration of education > Secondary level
Education spending (% of GDP)
Education spending (% of total government expenditure)
Education, primary completion rate
Enrolment ratio > Secondary level
Geographical aptitude results
Hours of instruction for pupils aged 13
Hours of instruction for pupils aged 9
Public spending on education, total > % of government expenditure
Public spending per student > Primary level
Pupil-teacher ratio, primary

School life expectancy > Male
School life expectancy > Total
Teachers as percentage of labor force
Teaching weeks per year > Primary
Tertiary enrollment

5
245,614
9 years
6
6
1.2%
9%
101
47.5%
76.916
1,323 hours
1,064 hours
9.03 %
3.2

20.13
10.4 years
10 years
3%
44 weeks per year
14.6%

[66th of 100]
[27th of 126]
[88th of 171]
[95th of 181]
[116th of 181]
[130th of 132]
[90th of 96]
[23rd of 148]
[92nd of 135]
[35th of 191]
[3rd of 38]
[4th of 38]
[75th of 103]
[118th of 126]
[85th of 159]
[69th of 97]
[76th of 110]
[32nd of 36]
[2nd of 36]
[85th of 151]

Sumber : UNESCO
Penutup
Compulsory education yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan negara-negara maju.
Konsekuensi yang ditimbulkan adalah sulitnya orang miskin untuk mendapatkan
pendidikan dasar. Oleh karena itu perlu adanya aturan yang lebih tegas bagi orangtua dan
dunia usaha agar tidak mengeksploitasi anak usia sekolah. Disamping itu komitmen
pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai motor pembangunan harus senantiasa
diperkuat agar dunia pendidikan Indonesia menjadi core dalam kemajuan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Adman, dkk. 2007. Strategi Membaca Untuk Percepatan Penuntasan
Buta Huruf Bagi Masyarakat Dalam Menunjang Wajar Dikdas 9
Tahun. FP IPS UPI. Bandung, www.repository.upi.edu [10
Desember 2012]
Arianto, Fajar. 2011. Wajib Belajar, Sebuah Dilema Bagi Si Miskin.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/16/wajib-belajarsebuah -dilema-bagi-si-miskin/[5 Desember 2012]
International Labor Organization. 2011. Equivalent Education and Decent Work. Policy
Brief 2011. Jakarta
Nation Master, 2012. Education in Indonesia Data www.nationmaster.com [5 Desember
2012]

Reality of Our Education http://ordinaryguh24.blogspot.com/2012/02/reality-of-oureducation.html [5 Desember 2012]

http://www.shvoong.com/social-sciences/education/2073830-basic-educationindonesia/#ixzz2EhvLUyQt
Wikipedia, 2012. Compulsory Education. www.wikipedia.com [10 Desember 2012]

COMPULSARY EDUCATION OR
UNIVERSAL BASIC EDUCATION
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Problematika Pendidikan Dasar di Indonesia

Dosen : DR. H. Mubiar Agustin, M.Pd.

Oleh :

SUBUH ANGGORO/1201002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil’alamin kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga dapat menyelesaikan
makalah

yang berjudul “Compulsory Education Idelaita dan Realita” untuk

pemenuhan salah satu tugas Mata Kuliah Landasan Filosofis Pendidikan Dasar
yang diampu oleh Prof.DR. H. Ooong Komar, M.Pd. Secara garis besar makalah
ini berisikan uraian tentang definisi compulsory education, pengalaman
beberapa negara yang menerapkan sistem tersebut, serta bagaimana sistem
yang berlaku di Indonesia serta realita yang terjadi saat ini
Kami menyadari tulisan ini masih belum sempurna. Saran dan kritik
diharapkan untuk menjadikan hasil makalah ini selalu lebih baik. Semoga hasil
makalah ini dapat bermanfaat bagi khasanah pengetahuan kita.

Bandung, 20 Desember 2012

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65