Tinjauan Ketatanegaraan Pelaksanaan Pemilukada Serentak Dalam Penyelenggaraan Demokrasi Di Indonesia (Studi Pada Kpud Kabupaten Karo)

11

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara etimologis, negara berasal dari bahasa Latin, yaitu statum atau
“status” yang artiya “berdiri/ada”. Sedangkan dalam bahasa Inggris, negara
berasal dari kata “state” dan dalam bahasa Belanda adalah “staat”.
Perkembangan konsep negara pertama kali berasal dari Yunani Kuno pada abad
IV SM, yang lahir dari konsep “polis” atau “city of state” atau “negara kota” dan
lahir secara alami (menurut teori hukum alam). 2
Pada zaman modern, konsep negara dipelopori oleh Rogert Saltou (1961)
serta Harold J Lasky (1947), yang intinya menyatakan bahwa “negara adalah
organisasi bangsa” atau “state is an organization of nation”. Negara bertujuan
untuk melindungi warga negaranya berdasarkan atas kekuasaan yang dimilikinya.
Berdasarkan konsep negara pada zaman modern, maka konsep negara memiliki 2
(dua) pengertian yaitu: 3
1. Negara adalah organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya.
2. Negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah

tertentu yang memiliki lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai satu kesatuan politik dan berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya.
Negara merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Di dalamnya
terdapat hubungan antara rakyat, penguasa dan hukum yang mengaturnya. Negara
2

Budi Juliardi, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2015, hlm 52.
3
Ibid, hlm 53.

Universitas Sumatera Utara

12

memiliki otoritas yang besar dalam mengatur rakyat untuk kepentingan bersama
sehingga negara dapat melaksanakan kekuasaannya kepada rakyat sebagai alat
untuk mencapai tujuan bersama.
Konstitusi merupakan hal yang sangat penting diperlukan dalam rangka

menyusun politik dan strategi nasional suatu bangsa. Konstitusi digunakan
sebagai rambu-rambu untuk menetapkan serta melaksanakan politik dan strategi
nasional sebuah negara. Terdapat banyak bahasa untuk istilah konstitusi, seperti
dalam bahasa Inggris, yaitu constitution, dalam bahasa Belanda yaitu constitutie,
dalam bahasa Jerman yaitu konstitution, dan dalam bahasa Latin yaitu constitutio,
yang berarti Undang-Undang Dasar atau hukum dasar. Menurut L.J Van
Apeldoorn yang menyatakan, bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis
maupun peraturan tak tertulis. 4
Konstitusi merupakan hukum dasar yang mengatur pokok-pokok dalam
menjalankan negara. Konstitusi menjadi pegangan bagi warga negara dan
pemerintah. Konstitusi juga menjadi sumber dasar yang dirujuk oleh setiap
peraturan perundang-undangan. Di setiap negara modern, konstitusi disepakati
oleh seluruh elemen bangsa dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Seluruh aturan penyelenggaraan negara didasarkan pada konstitusi
yang dirumuskan. 5 Di banyak negara, konstitusi ditulis dalam bentuk Naskah
Undang-Undang Dasar. Tetapi ada juga negara yang tidak menuliskan
konstitusinya. Konstitusi juga memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat
fundamental untuk menegakkan bangunan besar yang bernama negara. Karena
4


Ibid, hlm 66.
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 63.
5

Universitas Sumatera Utara

13

sifatnya yang fundamental ini, maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah
berubah-ubah. Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal
17 Agustus 1945, maka secara bertahap dan berkesinambungan diusahakan
diciptakan seluruh peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan alam
kemerdekaan, dan sesuai pula dengan cita-cita bangsa sendiri. 6
Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat untuk
menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala
arti dan fungsinya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia sebagai
sesuatu “revolusi grondwet” telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang

dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang memuat 37
(tiga puluh tujuh) Pasal. Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia,
terdapat 4 (empat) macam Undang-Undang Dasar (konstitusi Indonesia) yang
pernah berlaku, yaitu: 7
1.

2.

Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 (UUD 1945)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, negara muda ini belum mempunyai Undang-Undang Dasar.
Sehari kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945 Rancangan UndangUndang disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.
Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 (UUD 1945)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Tahun 1945, ternyata Belanda
masih belum menyerah untuk menguasai Indonesia. Belanda kembali
mencoba untuk menguasai kembali Indonesia (Negara Boneka)
dengan tujuan untuk memecah belah persatuan Indonesia. Kondisi ini
mengakibatkan diadakannya berbagai perjanjian antara Indonesia Belanda yang kemudian melahirkan negara Republik Indonesia


6

Faisal Akbar Nasution, Dimensi Hukum dalam Pemerintahan Daerah, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 2003, hlm 17.
7
Budi Juliardi, Op. Cit., hlm 69-70.

Universitas Sumatera Utara

14

3.

4.

Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949 dan UUD yang berlaku
kemudian adalah UUD RIS.
Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 (UUDS 1950)
Indonesia sangat menghendaki sifat kesatuan, sehingga negara RIS
tidak bertahan lama. Selanjutnya, dicapai kata sepakat untuk kembali

mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu,
diperlukan suatu UUD baru sehingga dibentuklah suatu panitia
bersama yang akan menyusun rancangan UUD. Rancangan UUD ini
kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 dan berlaku pada
tanggal 17 Agustus 1950 dan berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
UUD baru ini dinamakan dengan UUD Sementara Tahun 1950
(UUDS 50).
Periode 5 Juli 1959 – sekarang (kembali ke UUD 1945)
UUDS 1950 dengan badan Konstituantenya tidak mampu
membentuk konstitusi yang baru, hingga muncul Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa UUDS 1950 dinyatakan
tidak berlaku lagi dan Indonesia kembali menggunakan UUD 1945,
karena dianggap UUD 1945 inilah yang paling baik untuk dijadikan
sebagai sistem konstitusi Indonesia. 8

Di samping adanya perubahan di tingkat UUD 1945, alasan yuridis lain
yang mengharuskan Kepala Daerah dipilih secara langsung adalah karena
pemilihan Kepala Daerah tidak lagi menjadi tugas dan wewenang DPRD.
Hilangnya tugas strategis DPRD ini dapat dilihat dalam Pasal 62 ayat (1) dan
Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 dijelaskan bahwa DPRD hanya diberi peran minimal yaitu sebatas
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah.
Pasca amandemen kedua UUD 1945 dan ketetapan MPR RI Nomor
IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pemerintah bersama DPRD membahas dan mengesahkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai Pengganti
8

Suharizal, Pemilukada Regulasi, dan Konsep Mendatang, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm 1.

Universitas Sumatera Utara

15

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu
tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dapat dibaca pada bagian konsideran menimbang, bahwa
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan

daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat serta meningkatkan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9
Sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diselenggarakan Pemilukada langsung.
Pemilukada langsung pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 di Kutai
Kertanegara. Pada Tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 (dua ratus tujuh)
kabupaten/kota dan 7 (tujuh) provinsi. Tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 (tujuh
puluh) kabupaten/kota dan 7 (tujuh) provinsi. Tahun 2007 berlangsung Pilkada di
35 (tiga puluh lima) kabupaten/kota dan 6 (enam) provinsi. Tahun 2008
dilaksanakan 160 (seratus enam puluh) Pilkada di 13 (tiga belas) provinsi, 147
(seratus empat puluh tujuh) kabupaten/kota. 10
Pemilukada langsung sesungguhnya sudah diintrodusir dalam produk
hukum yang mengatur pemerintahan di daerah jauh sebelum pembentukan
9

Ibid., hlm 3.

Ibid., hlm. 4.

10

Universitas Sumatera Utara

16

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah ditegaskan, Kepala Daerah yang karena jabatannya adalah
Ketua dan Anggota Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) yang berfungsi
menjalankan roda pemerintahan dipilih menurut Undang-Undang khusus yang
akan ditetapkan kemudian. Pada bahagian penyelesaian dikatakan, ketentuan
demikian karena Kepala Daerah adalah orang yang dekat dan dikenal baik oleh
rakyat di daerahnya, oleh karena itu harus dipilih langsung oleh rakyat. Karena
bentuk proses Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah tersebut lama, untuk sementara Kepala Daerah dipilih oleh
DPRD yang bersangkutan, yang kemudian disahkan oleh Presiden/Menteri Dalam

Negeri. Sampai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah dicabut, Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah
Langsung tidak lahir.
Perjalanan pilkada di Indonesia kerangka hukum rentang waktu pilkada
keterangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
KPU

Provinsi

dan

KPU

Kab/Kota

memiliki

otoritas

penuh


untuk

menyelenggarakan pilkada. KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota dalam pilkada
bertanggung jawab kepada DPRD. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Putusan MK Nomor 5/PUU/V/2007 tentang pengujian

Universitas Sumatera Utara

17

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam pilkada
bertanggung jawab ke KPU RI. KPU Provinsi dan Kab/Kota melaporkan
penggunaan anggaran pilkada kepada kepada pemerintah daerah. KPU RI
menyusun pedoman tata cara penyelenggaraan pilkada sebagai acuan KPU di
daerah. Pasangan calon dapat berasal dari unsur perseorangan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang. Pilkada menjadi
tanggung jawab bersama KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. KPU RI
menjadi penanggungjawab akhir pilkada. 11
Mulai bulan Juli 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil
Walikota, dipilih secara langsung oleh rakyat. Peristiwa itu menandai babak baru
dalam sejarah politik daerah Indonesia. Pemilihan secara langsung oleh rakyat 33
(tiga puluh tiga) Gubernur, 349 (tiga ratus empat puluh sembilan) Bupati, dan 91
(sembilan puluh satu) Walikota di berbagai provinsi, kabupaten dan kota di
seluruh Indonesia.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung
(selanjutnya disebut pilkada langsung) diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 jo Pasal 119 dan Peraturan
11

Gebril
Daulai,
Pilkada
Serentak
Tahun
Slideshare.Net/Gebrildaulai/Penyelenggaraan-Pilkada-Serentak-Tahun-2015,
(diakses
tanggal 20 Mei 2015).

2015,
pada

Universitas Sumatera Utara

18

Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Secara eksplisit ketentuan tentang pilkada langsung tercermin dalam cara
pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelengaraan pilkada. Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasang calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
Pilihan terhadap sistem pemilihan langsung merupakan koreksi atas
pilkada

terdahulu

yang

menggunakan

sistem

perwakilan

oleh

DPRD,

sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP No. 151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan,
Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Digunakan sistem pemilihan langsung menunjukan pengembangan penataan
format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik.
Liberalisasi politik digelar pada masa Presiden B. J. Habibie sebagai respon atas
tuntutan perubahan sistem dan format politik menyusul kejatuhan Presiden
Soeharto. Dengan demikian, sistem pemilihan langsung adalah hasil pergulatan
panjang untuk menemukan format demokrasi daerah.
Dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optimisme dan
pesimisme tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagi perwujudan pengembalian
hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh
dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendinamisir kehidupan

Universitas Sumatera Utara

19

demokrasi di tingkat lokal. Keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan
kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat
sangat tergantung pada kritisisme dan rasionalitas rakyat sendiri. Pada titik itulah,
pesimisme terhadap pilkada langsung menemukan relevansinya.
Keputusan politik untuk daerah selalu lahir dalam suasana tarik-menarik
antara berbagai kepentingan, seperti elit dan publik, pusat dan daerah, partai dan
non partai, dan sebagainya. Implementasi pilkada langsung juga tidak lepas dari
persoalan tersebut. Artinya antara harapan (das sein) dan kenyataan memiliki
jarak (das sollen). Problem utamanya adalah bagaimana mendekatkan jarak
tersebut dan bagaimana menemukan titik optimal. Keputusan politik di daerah
juga dipengaruhi perubahan politik nasional dan bahkan perubahan hukum
ketatanegaraan. Perubahan peta politik yang terjadi pada dalam Pemilu Legislatif
serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, dan arah perubahan hukum
ketatanegaraan, juga mempengaruhi proses demokrasi daerah.
Pilkada serentak 2015 sudah di depan mata karena mulai Juli nanti
tahapannya yang akan berpuncak pada kontestasi pilkada serentak pada Desember
2015 nanti sudah harus dimulai. Pilkada merupakan arena kontestasi politik yang
sangat penting bagi negeri ini untuk memperkuat basis politik lokal guna
melanjutkan komitmen desentralisasi dalam rangka mewujudkan amanat
konstitusi untuk membangun otonomi seluas-luasnya. Di titik inilah, pilkada

Universitas Sumatera Utara

20

serentak 2015 memiliki urgensi dan signifi kansi untuk dapat dikelola dengan baik
oleh KPU dengan didukung segenap elemen demokrasi di negeri ini. 12
Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan selain untuk menghemat
biaya, juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Optimasi penggabungan
Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar kriteria kontinuitas jalannya
pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul
terhadap dan efisiensi biaya merupakan alternatif yang memiliki skor terbaik,
yaitu Kepala Daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada
secara bersamaan. 13
Konseptualisasi penyelenggaraan Pemilu kiranya menjadi bagian penting
untuk memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh tentang Pemilu.
Pemahaman dimaksud dapat dijadikan sebagai acuan kendatipun sifatnya
sederhana. Pemahaman ini dibutuhkan sebagai dasar agar Pemilu yang
diselenggarakan dengan energi yang sangat besar itu dipahami tidak hanya
sebagai peristiwa rutin dan memberi kesan bagus. Dengan pemahaman ini
setidaknya akan memberikan ruang lebih luas untuk menyempurnakan
penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah di masa yang akan datang. 14
Sebagaimana dipahami di dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia, pada kurun waktu yang cukup lama, setidaknya selama lima dasawarsa
terakhir, pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
12

Budi Santoso, Pilkada Serentak 2015 bagi Partai-Partai Terbelah,
Budisansblog.Blogspot.Com/2015/04/Pilkada-Serentak-2015-Bagi-Partai.Html (diakses pada
tanggal 20 Mei 2015).
13
Syafran Sofyan, Permasalahan dan Solusi Pemilukada, Lemhannas.go.id/portal/daftarartikel/1634-permasalahan-dan-solusi-pemilukada.html (diakses pada tanggal 20 Mei 2015).
14
Samsul Wahidin, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala
Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm 21-22.

Universitas Sumatera Utara

21

Daerah (DPRD) sebagai lembaga representasi rakyat di daerah. Pada kurun waktu
yang cukup panjang itu, berbagai implikasi mengemuka yang intinya adalah tidak
dilibatkannya rakyat secara langsung untuk memilih pemimpinnya.
Pemilukada kali ini menarik untuk dikaji dan dicermati dalam proses
keberlangsungannya, khususnya di Indonesia. Penulis akan menelusuri bagaimana
persoalan pemilukada Calon Gubernur, Bupati dan Walikota yang akan
diselenggarakan serentak di Indonesia dalam upaya mengembangkan sistem
pemilukada di masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka skripsi ini diberi judul,
“Tinjauan

Ketatanegaraan

Pelaksanaan

Pemilukada

Serentak

dalam

Penyelenggaraan Demokrasi di Indonesia (Studi Pada KPUD Kabupaten Karo).”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan yang
menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana keefektifan pemilukada serentak di Indonesia dari segi biaya
dan kinerja penyelenggaranya?
2. Bagaimana pengaturan kewenangan Kepala Daerah Sementara selama
menduduki masa kekosongan Kepala Daerah?
3. Bagaimana kedudukan Kepala Daerah yang masa jabatannya kurang dari
satu periode dan lebih dari satu periode?

Universitas Sumatera Utara

22

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini

secara singkat adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui keefektifan pemilukada serentak di Indonesia dari segi
biaya dan kinerja penyelenggaranya.
b. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan Kepala Daerah Sementara
selama menduduki masa kekosongan Kepala Daerah.
c. Untuk mengetahui kedudukan Kepala Daerah yang masa jabatannya
kurang dari satu periode dan lebih dari satu periode.
2. Manfaat Penulisan
Adapun

manfaat

hasil

penulisan

skripsi

ini

terhadap

rumusan

permasalahan yang sudah diuraikan dapat dibagi menjadi dua jenis manfaat, yaitu:
a. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat
memberikan masukan sekaligus menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan dalam dunia akademis, khususnya mengenai hal yang
berhubungan dengan pemilukada Gubernur, Bupati dan Walikota serentak
dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
b. Manfaat praktis
Secara praktis, penulisan skripsi dapat memperjelas tentang pemilukada
yang dilakukan serentak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015.

Universitas Sumatera Utara

23

D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran
penulis secara pribadi dari awal hingga akhir. Berdasarkan hasil penelitian dan
pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah
dilakukan penulisan yang serupa mengenai Tinjauan Ketatanegaraan Pelaksanaan
Pemilukada Serentak dalam Penyelenggaraan Demokrasi di Indonesia (Studi Pada
KPUD Kabupaten Karo). Oleh karena itu, keaslian penulisan ini terjamin adanya,
walaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah
sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat
dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan.

E. Tinjauan Kepustakaan
Penulisan skripsi ini mengenai Tinjauan Ketatanegaraan Pelaksanaan
Pemilukada Serentak dalam Penyelenggaraan Demokrasi di Indonesia (Studi Pada
KPUD Kabupaten Karo). Adapun tinjauan kepustakaannya sebagai berikut:
1.

Demokrasi
Secara etimologi (bahasa), demokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni

demos yang berarti rakyat dan cratos/cratein yang berarti pemerintahan atau
kekuasaan. Sehingga secara bahasa, demokrasi adalah pemerintahan rakyat atau
kekuasaan rakyat. Konsep pemerintahan rakyat mengandung 3 (tiga) pengertian
berikut: 15

15

Budi Juliardi, Op. Cit., hlm 82.

Universitas Sumatera Utara

24

a. Pemerintahan dari rakyat (government of the people), yang
berhubungan dengan pemerintahan yang sah (dapat pengakuan dan
dukungan rakyat) dan tidak sah.
b. Pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dimana
kekuasaan yang dijalankan atas nama dan dalam pengawasan rakyat.
c. Pemerintahan untuk rakyat (government for the people), dimana
kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan
untuk kepentingan rakyat.
Secara terminologi (istilah), pada hakikatnya demokrasi merupakan suatu
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara memperjuangkan
kompetisi atas suara rakyat. Selain itu, demokrasi juga dapat diartikan dengan
bentuk pemerintahan dimana keputusan pemerintah yang penting secara langsung
atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara
bebas dari rakyat.
2.

Konstitusi
Secara etimologi kata konstitusi diartikan sebagai segala ketentuan dan

aturan mengenai ketatanegaraan. Dalam Bahasa Indonesia, konstitusi dikenal
dengan sebutan Undang-Undang Dasar (UUD), meskipun keduanya tidak berarti
sama. Undang-Undang Dasar hanyalah sebatas hukum dasar yang tertulis,
sedangkan konstitusi memuat hukum dasar yang tertulis dan mencakup hukum
dasar yang tak tertulis. 16
Carl J, Friedrich sebagaimana dikutip Budiardjo mendefinisikan
konstitusionalisme

sebagai

sebuah

gagasan

yang

menyatakan

bahwa

pemerintahan merupakan sekumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama

16

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm 521.

Universitas Sumatera Utara

25

rakyat, namun tetap tunduk pada beberapa pembatasan. Adanya pembatasan
tersebut dengan maksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang
diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh mereka yang dapat
tugas untuk memerintah. Adanya pembatasan itulah yang tertuang dalam sebuah
konstitusi.17
Pada beberapa negara, padanan dari istilah konstitusi juga berbeda-beda.
Dalam bahasa Inggris disebut constitution, dalam bahasa Belanda disebut
grondwet, dalam bahasa Prancis disebut constituir, sedangkan dalam bahasa Arab
disebut dengan istilah dustur. Perbedaan ini hanyalah perbedaan kebahasaan saja,
karena tiap-tiap negara pada kenyataannya menggunakan istilah sesuai dengan
bahasa yang dipakai masyarakatnya. Di negara-negara yang menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa nasional seringkali yang dipakai adalah istilah constitution
yang dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan artinya konstitusi. 18
Pengertian konstitusi dalam praktiknya dapat diartikan lebih luas daripada
pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan
Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik, istilah constitution
merupakan suatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik
yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara
bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. 19

17

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,

hlm 57.
18

Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm
29.
19
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 8.

Universitas Sumatera Utara

26

Konstitusi memiliki dua pengertian yaitu hukum dasar tertulis (konstitusi
tertulis) dan hukum dasar tidak tertulis (konstitusi tidak tertulis). Hukum dasar
yang tertulis disebut dengan Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang tidak
tertulis disebut dengan konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturanaturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara.
Satu-satunya negara yang konstitusinya tidak tertulis adalah negara Inggris karena
tidak berbentuk suatu naskah. Meskipun demikian, Inggris memiliki dokumendokumen tertulis yang tidak membedakan Undang-Undang Dasar dengan
Undang-Undang biasa karena parlemen sebagai badan tertinggi (parliamentary
supremacy) berhak untuk melakukan perubahan konstitusional dengan UndangUndang biasa. Ini berbeda dengan negara-negara lain, bahwa badan negara yang
lebih tinggi dari parlemen yang memiliki otoritas untuk melakukan perubahan
Undang-Undang Dasar. 20
3.

Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung
Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk republik,

demikian bunyi pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Ini berarti sebagai Negara yang
bersusunan Negara kesatuan, maka segenap kekuasaan/kewenangan serta
tanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia
berada di bawah kendali pemegang kekuasaan terpusat yang terdapat pada
pemerintah pusat. 21 Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dilatarbelakangi oleh berbagai ketidaksempurnaan dari
peraturan perundang-undangan yang lebih dulu terbit, yaitu terhadap Undang20
21

Suharizal, Op. Cit., hlm 69.
Faisal Akbar Nasution, Op. Cit., hlm 44.

Universitas Sumatera Utara

27

Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. 22
Kekurangan yang dapat dicatat dari dua Undang-Undang terdahulu adalah
perlunya mengatur pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung. Sebab diyakini, pemilihan langsung merupakan cara yang paling
demokratis untuk benar-benar menjamin terselenggaranya aspirasi rakyat. Dengan
metode

pemilihan

langsung

kemungkinan

kolusi

antar

DPRD

untuk

memenangkan calon Kepala Daerah tertentu yang tidak sesuai dengan kehendak
rakyat dieleminasi. 23
4.

Makna Pilkada Menurut Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berimplikasi luas terhadap sistem

ketatanegaraan

RI.

Salah

satunya

adalah

ketentuan

yang

menyangkut

pemerintahan daerah. Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 (Tahun
2000) menghasilkan rumusan baru Pasal-Pasal yang mengatur pemerintahan di
daerah, yakni Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B. 24
Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan menyangkut prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Pasal-Pasal baru Pasal 18 (hasil perubahan kedua
Undang-Undang Dasar 1945) adalah sebagai berikut:
a. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2))
b. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5))
22

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran
Negara Republik Indonesia 2004 Nomor 125.
23
Daniel S Salossa, Mekanisme, Persyaratan dan Tata Cara Pilkada Langsung,
Yogyakarta, 2005, hlm. 9.
24
Suharizal, Op. Cit., hlm 24.

Universitas Sumatera Utara

28

c. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1))
d. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2))
e. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (3))
f. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu (Pasal 18
ayat (3))
g. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras
dan adil (Pasal 18A ayat (2))

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen lebih
sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan
pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut dikatakan bahwa
asas dekonsentrasi adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau
ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari
sentralisasi. 25
Pasal

18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa,

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Dari rumusan Pasal ini,
dapat ditarik beberapa persoalan penting: 26
a.

25
26

Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengharuskan Kepala Daerah dipilih
secara langsung, dan calon Kepala Daerah tidak harus berasal dari
partai politik atau gabungan partai politik.

Bagir Manan menurut kutipan Suharizal, Ibid, hlm 25.
Ibid, hlm 26.

Universitas Sumatera Utara

29

Hal yang berbeda dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pada
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 bahwa dipilih langsung oleh
rakyat dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Rumusan ini dapat dibaca dalam Pasal 6A ayat (1) dan (2) yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
b. Frasa “dipilih secara demokratis” tidaklah dapat ditafsirkan bahwa
rekrutmen pasangan calon menjadi kewenangan mutlak partai politik
sebagai salah satu lembaga yang berfungsi melakukan rekrutmen politik
dalam pengisian jabatan publik melalui mekanisme yang demokratis
sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang partai politik, junto Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik, yang berbunyi sebagai
berikut:
1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
warga negara indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan
bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
4) Partisipasi politik warga negara indonesia; dan
5) Rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memerhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
c. Rumusan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan hasil amandemen kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan
sama dengan tata cara dan prosedural pemilu sebagaimana dinyatakan
dalam beberapa Pasal amandemen ketiga (tahun 2001). Artinya, pilkada
langsung, khususnya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan
rekrutmen calon Kepala Daerah, adalah lembaga yang juga menjadi
penanggung jawab pelaksanaan pemilu (pemilu presiden dan wakil
presiden serta pemilu legislatif ) yaitu KPU.
d. Pasal 18 ayat (4) tersebut hanya mengharuskan yang dipilih secara
demokratis adalah Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota).
Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati
dan Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan Kepala
Daerah. Ketentuan ini juga dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil Kepala
Daerah sesungguhnya dapat dihilangkan dalam sistem Pemerintahan
Daerah.

Universitas Sumatera Utara

30

5.

Tinjauan Mengenai Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah
daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan
pemerintahan. Dalam rangka penyelenggaraan hubungan kewenangan antara
pemerintah dan daerah, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan

Daerah

Pasal

10

menegaskan,

pemerintah

daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang kini ditentukan menjadi urusan
pemerintah.
Definisi Pemerintahan Daerah di dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal (1) ayat (2), adalah sebagai berikut: 27
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
27

Dian Chocho, Pengertian, Fungsi, dan Asas Pemerintahan Daerah,
www.dianchoco.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-fungsi-dan-asas-pemerintahan.html?m=1
(diakses pada tanggal 7 November 2015).

Universitas Sumatera Utara

31

Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di
atas, maka yang dimaksud pemerintahan daerah di sini adalah penyelenggaraan
daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi
dimana unsur penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau
Walikota dan perangkat daerah. Fungsi pemerintah daerah dapat diartikan sebagai
perangkat daerah menjalankan, mengatur dan menyelenggarakan jalannya
pemerintahan. 28
Fungsi pemerintah daerah menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
adalah:

29

1. Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
2. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang menjadi urusan pemerintahan dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.
3. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah.
Dimana hubungan tersebut meliputi wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, khususnya pemerintahan
daerah, sangat bertalian erat dengan beberpa asas dalam pemerintahan suatu
negara, yakni sebagai berikut: 30
1. Asas sentralisasi
Asas sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana segala
kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat.
2. Asas desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Asas dekonsentrasi
28

Ibid.
Ibid.
30
Miranda Laurensi, Asas Pemerintahan Daerah, www.brainly.co.id/tugas/83450
(diakses pada tanggal 05 November 2015)
29

Universitas Sumatera Utara

32

Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi
vertikal wilayah tertentu.
4. Asas tugas pembantuan
Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah
kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk tugas tertentu.
Asas desentralisasi dalam pemerintahan daerah di Indonesia dapat
ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, dimana terdapat penyerahan
sebagian hak dari pemilik hak kepada penerima sebagian hak, dengan obyek
tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah di tangan pemerintah, dan hak
pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah, dengan obyek hak
berupa kewenangan

pemerintah

dalam

bentuk

untuk

mengatur urusan

pemerintahan, dengan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 31
Ditinjau dari sudut penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi antara
lain bertujuan meringankan beban pekerjaan Pemerintah Pusat. Dengan
desentralisasi tugas dan pekerjaan dialihkan kepada Daerah. Pemerintah Pusat
dengan demikian dapat memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersangkutan
dengan kepentingan nasional atau Negara secara keseluruhan. 32
Dengan demikian, menurut desentralisasi merupakan asas yang
menyatukan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau
dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih
rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Untuk itu semua
31

Belda, Materi Pemerintahan Daerah, www.beeldaa.blogspot.co.id/2011/07/materipemerintahan-daerah.html?m=1 (diakses pada tanggal 10 November 2015).
32
Rio Handrio, Tugas PKN, www.academia.edu/11631507/Tugas_pkn (diakses pada
tanggal 10 November 2015).

Universitas Sumatera Utara

33

prakarsa, wewenang dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan
sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu. 33
Tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijaksanaan desentralisasi
yaitu tujuan politik dan tujuan administratif: 34
1. Tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai
medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan
secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara
nasional untuk mencapai terwujudnya civil society.
2. Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi
unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan
pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan ekonomis yang
dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik.
Sejalan dengan pendapat tersebut, ide desentralisasi yang terwujud dalam
konsep otonomi daerah sangat terkait dengan konsep pemberdayaan masyarakat.
Oleh karena itu dalam desentralisasi terdapat 3 (tiga) dimensi utama, yaitu: 35
1. Dimensi ekonomi, rakyat memperoleh kesempatan dan kebebasan
untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga mereka secara
relatif melepaskan ketergantungannya terhadap bentuk-bentuk
intervensi pemerintah, termasuk di dalamnya mengembangkan
paradigma pembangunan yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan.
Dalam konteks ini, eksploitasi sumber daya dilakukan untuk
kepentingan masyarakat luas, dilakukan oleh masyarakat lokal;
2. Dimensi politik, yakni berdayanya masyarakat secara politik, yaitu
ketergantungan organisasi-organisasi rakyat dari pemerintah;
3. Dimensi psikologis, yakni perasaan individu yang terakumulasi
menjadi perasaan kolektif (bersama) bahwa kebebasan menentukan
nasib sendiri menjadi sebuah keniscayaan demokrasi. Tidak ada
perasaan bahwa orang pusat lebih hebat dari orang daerah dan
sebaliknya.
33

Gus
Priyono,
Asas-Asas
Pemerintahan
Daerah,
http://www.tutorialut.web.id/2014/03/asas-asas-pemerintahan-daerah-1.html?m=1 (diakses pada
tanggal 10 November 2015).
34
Yeni, Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah
Daerah, http://www.kemendagri.go.id/news/2012/04/03/keterangan-pemerintah-atas-rancanganundang-undang-tentang -pemerintah.html (diakses pada tanggal 10 November 2015).
35
Muhammad Fahri, Asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
http://www.slideshare.net/mobile/fahriadja/asas-desentralisasi-dekonsentrasi-dan-tugaspembantuan.html (diakses pada tanggal 10 November 2015).

Universitas Sumatera Utara

34

F. Metode Penelitian
Metode penelitian sebagai suatu tipe pemikiran secara sistematis yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya
bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi
ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penulisan, maka jenis penelitian
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dipergunakan untuk
memecahkan suatu permasalahan dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu. 36
Penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada
penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma. Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
analitis. Dalam penelitian deskriptif analitis, data yang diperoleh (berupa katakata, gambar, perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka
statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif yang memiliki arti lebih kaya
dari sekedar angka dan frekuensi. 37
2. Sumber data
Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai
data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari
objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh
36

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hlm 45.
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta,
2006, hlm 94.
37

Universitas Sumatera Utara

35

pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun
nonkomersial. 38
Sumber data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi
surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumendokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah. 39 Data sekunder merupakan
data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka meliputi: 40
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri
dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan
hukum adat yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum
dari zaman penjajahan yang masih berlaku hingga kini. Dalam penulisan ini
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan kasus-kasus
yang

berkaitan

dengan

pelaksanaan

pemilukada

serentak

dalam

penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer seperti rancangan Undang-Undang, hasilhasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Dalam
penulisan skripsi ini yaitu buku-buku tentang pemilukada, buku-buku
tentang pemerintahan daerah, internet dan seterusnya.

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 33.
39
Ibid., hlm 24.
40
Ibid., hlm 12-13.

Universitas Sumatera Utara

36

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk- petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti: kamus hukum, kamus bahasa, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar,
ensiklopedia, indeks kumulatif dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat
dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan
skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
melalui penelitian kepustakaan 41 (Library Research), yaitu dengan mempelajari
peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus
yang dapat dijadikan sumber yang berkaitan dengan skripsi ini yang dapat
dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah
yang dihadapi. Penulis juga melakukan riset dan wawancara di KPUD Kabupaten
Karo untuk melengkapi penulisan skripsi ini.
Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan
dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan
menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya
melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar
sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan
bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna
mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan

41

Zainuddin Ali, Op. Cit., hlm 107.

Universitas Sumatera Utara

37

saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang
dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. 42

G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan
kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh
manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan satu dengan yang lain.
Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika
penulisan.

BAB II

TINJAUAN UMUM PEMILUKADA DAN PERATURANNYA
Bab ini berisikan mengenai pemilukada dan peraturannya, tujuan
dan fungsi pemilukada, dan sistem pelaksanaan pemilukada
serentak di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang.

42

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai
Bahan Ajar, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm 54.

Universitas Sumatera Utara

38

BAB III

KEDUDUKAN PEMERINTAH DAERAH

DAN KEPALA

DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN DEMOKRASI DI
INDONESIA
Bab ini berisikan pemilihan Kepala Daerah menurut UndangUndang yang pernah berlaku di Indonesia, tugas dan wewenang
Kepala Daerah, peran Kepala Daerah dalam menyelenggarakan
demokrasi di Indonesia
BAB IV

PELAKSANAAN

PEMILUKADA

SERENTAK

DALAM

PENYELENGGARAAN DEMOKRASI DI INDONESIA (STUDI
PADA KPUD KABUPATEN KARO)
Bab ini berisikan keefektifan pemilukada serentak di Indonesia dari
segi biaya dan kinerja penyelenggaranya, pengaturan kewenangan
Kepala Daerah Sementara selama menduduki masa kekosongan
Kepala Daerah, kedudukan Kepala Daerah yang masa jabatannya
kurang dari satu periode dan lebih dari satu periode.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang kesimpulannya
diambil dari pembahasan dalam skripsi ini dan diakhiri dengan
saran-saran.

Universitas Sumatera Utara