Karakteristik Penderita HIV AIDS yang Berobat Jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Defenisi
AIDS atau Acquirred Immune Deficiency Syndrome adalah suatu sindrom

penyakit defisiensi imunitas selular yang didapat, yang pada penderitanya tidak dapat
ditemukan penyebab defisiensi tersebut (Linuwih, 2015). Kerusakan progresif pada
sistem kekebalan tubuh akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi virus
HIV atau Human Immunodefciency Virus menyebabkan ODHA (Orang dengan HIVAIDS) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan
penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan
pasien sakit parah bahkan meninggal.
2.2

Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh

Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983) yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada
waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National

Institute of Health , USA 1984) menemukan virus HTLV-III (Human T Lymphotropic

Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan
bahwa kedua virus ini sama dan ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah
penyelidikan pada 200 monyet hijau Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus
tersebut, tanpa menimbulkan suatu penyakit.

10

Universitas Sumatera Utara

11

Sehingga berdasarkan hasil penemuan International Committee on Taxonomy of
Viruses (1986) WHO memberikan nama resmi HIV yang berupa agen viral yang

dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat
terhadap limfosit T (Duarsa,W.N, 2011).
2.3 Epidemiologi
2.3.1


Distribusi dan Frekuensi
Sejak tahun 1980 jumlah penderita terus meningkat dan melanda seluruh

negara. Bahkan tidak terbatas di benua Amerika saja melainkan telah meluas pula ke
daratan Eropa, Inggris, Asia Selatan, Asia Tengah, Cina, Jepang, dan Hongkong.
Berdasarkan data WHO, proporsi kasus HIV tertinggi berada di wilayah Sub-Sahara
Afrika yaitu 70% dari seluruh kasus baru di dunia. Walaupun jumlah penderita di
Afrika paling buruk, namun jumlah orang terinfeksi oleh HIV meningkat di sebagian
besar beberapa wilayah, khususnya Eropa Timur, dan Asia Tengah. Di India dan Cina
terjadi peningkatan epidemik dengan prevalensi 1-2 % pada wanita hamil. Namun,
walaupun demikian terdapat perbedaan jumlah penderita laki-laki dan perempuan di
Amerika Serikat (Subowo, 2010). Distribusi penderita HIV/AIDS menurut umur di
Amerika Serikat, Eropa, Afrika dan ASIA tidak berbeda jauh. Kelompok terbesar
adalah golongan umur 30-39 tahun, 40-49 tahun dan golongan umur 20-29 tahun
(Irianto, 2014).

Universitas Sumatera Utara

12


Berdasarkan data UNAIDS jumlah orang yang hidup dengan HIV meningkat
tiap tahunnya walaupun kematian akibat AIDS

menurun. Tahun 2012 terdapat

35,6 juta penderita HIV dengan jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,4 juta
(3,93%) dan tahun 2013 terjadi peningkatan penderita HIV menjadi 36,2 juta dengan
jumlah kematian akibat AIDS 1,3 juta ( 3,59%).
Menurut Ditjen PP&PL Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2015, sejak tahun 2008 – 2013 kasus AIDS di Indonesia mengalami peningkatan.
Angka kematian (CFR) HIV/AIDS menurun dari 3,79% pada tahun 2012 menjadi
0,46% pada bulan September tahun 2014. AIDS case rate nasional atau angka
kejadian kasus AIDS tahun 2015 sebesar 26,42%. Tahun 2014 Sumatera utara
merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak di Indonesia
setelah provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Bali. Dari 11
Provinsi

di


Indonesia,

Sumatera

Utara

merupakan

salah

satu

provinsi

dilaksanakannya Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011
dengan lokasi pelaksanaan survei di Kota Medan dan Deli Serdang. Menurut data
Dinas kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah
kasus HIV/AIDS tinggi tahun 2013 adalah adalah Kota Medan yaitu 421 kasus
(37,79%), Kabupaten Deli Serdang sebanyak 189 kasus (16,96%) dan Kota Pematang
Siantar sebanyak 100 kasus (8,97%) dari total seluruh penderita baru (Profil

Kesehatan Sumut, 2013).

Universitas Sumatera Utara

13

2.3.2

Determinan

a. Host
Kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi tertular HIV
adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas atau mereka yang sering
berganti-ganti

pasangan

seks,

yaitu


pelacur

dan

pelanggannya,

homoseksual/biseksual, waria, pengguna NAPZA suntik, wanita pekerja di panti
pijat/klab malam /diskotik, penerima transfusi darah/produk darah berulang dan anak
yang lahir dari ibu pengidap HIV. Distribusi penderita AIDS di negara-negara barat
menunjukkan kelompok homo/biseksual merupakan penderita terbesar, diikuti oleh
kelompok pengguna obat narkotika suntik. Di Afrika, AIDS banyak terjadi pada
kelompok heteroseksual. Di Amerika Serikat/Eropa Barat penderita kelompok ini
cenderung meningkat sejajar dengan makin banyaknya ‘reservoir’ HIV di masyarakat
seperti pada kelompok biseksual, IDU, dan pelacur (Irianto, 2014).
b. Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4.
Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun
yang lainnya, serta daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV
akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut. Selama infeksi primer jumlah limfosit

CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada
nodus limfa dan thymus yang membuat individu terinfeksi akan terkena infeksi

Universitas Sumatera Utara

14

opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan
jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam
tubuh. Untuk penderita AIDS yang sudah didiagnosa 3 tahun sebelumnya
menunjukkan CFR 75% dan CFR yang sudah menderita AIDS selama 5 tahun adalah
100% (Irianto, 2014).
c. Environment
Lingkungan fisik, kimia, biologis berpengaruh terhadap HIV. HIV tidak tahan
hidup lama di lingkungan luar seperti panas, zat kimia ( desinfektan), dan sebagainya.
Oleh karena itu, HIV relatif tidak mudah ditularkan dari satu orang ke orang lain jika
tidak melalui cairan tubuh penderita yang masuk ke dalam tubuh orang lain (Irianto,
2014). Faktor ekonomi, lingkungan, sosial budaya dan norma-norma dalam
masyarakat dapat mempengaruhi perilaku kelompok individu, baik perilaku seksual
maupun perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan tertentu. Bila lingkungan

memberikan peluang pada perilaku seksual yang “permisiveness” maka kelompok
masyarakat yang seksual aktif akan cenderung melakukan promiskuitas, sehingga
akan meningkatkan penyebaran HIV dalam masyarakat (Irianto, 2014).
2.4

Transmisi HIV/AIDS
Pola transmisi yang berhubungan dengan unsur tempat ke luar dan masuknya

agen adalah proses penularan virus HIV melalui berbagai cara yaitu: secara horizontal

Universitas Sumatera Utara

15

melalui hubungan seksual dan melalui darah yang terinfeksi, atau secara vertikal
penularan dari ibunya ke bayi yang dikandungnya (Murtiastutik, 2008).
a. Transmisi Seksual
Penularan utama dari HIV adalah melalui hubungan seksual dengan orang
terinfeksi. Virus HIV dapat memasuki tubuh melalui vagina, vulva, penis, rektum
atau mulut saat melakukan hubungan seksual. Hal ini karena pada area-area tersebut,

kulit sangat tipis dan dapat mudah robek sehingga menjadi pintu masuknya virus
HIV. Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa
alat pelindung bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air
mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur
atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah.
Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan
mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual
(Kurniawati, 2011).
Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse ) baik vaginal maupun oral
merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual pasif
yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkirakan ¾ dari jumlah pengidap
HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui
hubungan seksual dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria. Pada hubungan seksual
ano-genital, yang dilakukan oleh para homoseks, mukosa rektum mudah mengalami

Universitas Sumatera Utara

16

perlukaan karena lapisan mukosa tipis dan tidak diperuntukkan untuk hubungan

seksual seperti halnya dinding vagina. Tingkat risiko kedua adalah hubungan orogenital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Dan tingkat risiko
ketiga adalah hubungan genito-genito/ heteroseksual. Transmisi HIV melalui
hubungan heteroseks dapat terjadi dari pria-wanita maupun sebaliknya. Data yang ada
menunjukkan bahwa transmisi dari pria pengidap HIV/AIDS kepada wanita
pasangannya lebih sering terjadi dibandingkan dari wanita pengidap HIV kepada pria
pasangannya. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang melaporkan bahwa 10
wanita pasangan seks telah terinfeksi HIV yang berasal dari 55 pria pengidap HIV
dan hanya 2 pasangan seks terinfeksi HIV dari 25 wanita pengidap HIV.
b. Transmisi Non-seksual
Menurut Murtiastutik (2008), penularan virus HIV non seksual terjadi
melalui jalur pemidahan darah atau produk darah (seperti; transfusi darah, alat suntik,
alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dan melalui luka kecil di kulit), jalur transplantasi
alat tubuh, jalur transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan infeksi HIV
kepada janinnya. Transmisi melalui transfusi darah/produk darah telah di deteksi di
negara-negara barat sebelum tahun 1985 dan di negara-negara berkembang terutama
Afrika yang sampai saat ini umumnya belum melakukan pemeriksaan/donor darah
terhadap HIV. Penularan HIV melalui produk darah juga terjadi di negara yang
mendapatkan produk darah dari negara barat, terutama pada penderita hemofilia .

Universitas Sumatera Utara


17

HIV bisa ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi. Jarum suntik
yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna
narkoba (Injecting Drugs User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Pengguna
narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan dipakai bersama
merupakan salah satu jalur penularan. Penularan dapat berlangsung akibat terjadi
perpindahan sejumlah kecil darah yang tertinggal pada jarum/semprit dari satu orang
ke orang lain (Irianto, 2014). Bila ibu terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala
AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%. Penularan juga bisa
terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara
kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
Semakin lama proses persalinan, semakin besar risiko penularan. Transmisi lain
terjadi selama periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari
ibu yang positif sekitar 10% (Kurniawati, 2011).
2.5

Gejala Klinis
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4 tidak tersedia, dalam hal ini

seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan
gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan
sebagai infeksi HIV simptomatik. Gejala mayor terdiri dari: penurunan berat badan
>10%, demam yang panjang atau lebih dari 1 bulan, diare kronis, tuberkulosis. Gejala
minor terdiri dari: kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan,

Universitas Sumatera Utara

18

kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata,
limfadenopati generalisata, herpes zoster, infeksi herpes simplex kronis, pneumonia,
sarkoma kaposi (Widoyono, 2008).
Klasifikasi klinis HIV pada orang dewasa dibagi menjadi 4 stadium klinis,
yaitu :
a. Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Persisten
Generalized Lymphadenophaty (PGL): yakni pembesaran kelenjar getah bening di

beberapa tempat yang menetap.
b. Stadium II
Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun 50%, terjadi
HIV wasting syndrome , semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti
pneumonia pneumocystis carinii, toksoplasmosis otak, kriptosporidiosis dengan diare
lebih dari 1 bulan, terdapat penyakit infeksi cytomegalovirus (CMV) pada organ lain
selain hati, limpa, dan kelenjar getah bening Selain itu, terdapat kandidiasis
esophagus, TB ekstrapulmonar, limfoma, sarkoma kaposi, dan ensefalopati HIV.
2.6

Tahap Terapi Antiretroviral (ART)
Untuk memulai Terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan CD4 bila fasilitas

layanan kesehatan tersedia dan penentuan stadium klinis infeksi HIV. Tetapi
pemeriksaan CD4 tidak diharuskan karena biaya pemeriksaan yang mahal.
Pengobatan ARV diberikan pada penderita yang sudah positif terinfeksi HIV tanpa
memandang stadium klinis dan dianjurkan pengobatan ARV dini pada populasi
khusus yaitu, pasien TB aktif, Ibu hamil yang terinfeksi HIV, pasien dengan koinfeksi Hepatitis B kronik aktif tanpa memandang jumlah CD4. Dalam tahap terapi
ini sangat diperlukan adherence atau kepatuhan penderita terhadap aturan minum
obat meliputi dosis, cara dan waktu minum obat dan periode obat sangat dituntut
demi keberhasilan terapi ini. .Terapi ARV pada orang dewasa dimulai dengan
pemilihan obat yang akan dipakai. Pemerintah menetapkan panduan yang digunakan

Universitas Sumatera Utara

20

dalam pengobatan ARV berdasarkan pada aspek yaitu: Efektifitas, efek samping/
toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat. Tahap terapi ARV yaitu:
a. Lini Pertama
Anjuran pemilihan obat ARV pada lini pertama yang dianjurkan pemerintah
adalah kombinasi obat golongan 2 NRTI + 1 NNRTI. Satu atau lebih obat dalam
rejimen ini kemungkinan harus diganti (substitusi) karena masalah efek samping.
b. Lini Kedua
Bila terjadi kegagalan terapi akibat munculnya virus yang resisten yang
mengakibat kan toksisitas, sedikit nya dua obat dalam kombinasi harus diganti
(Switch) dengan obat baru. Kombinasi untuk Lini kedua yang baku di Indonesia
adalah 2 NRTI + booste- PI.
c. Stop
Keadaan saat pasien berhenti memakai ARV karena beberapa alasan yaitu:
pasien merasa efek samping obat terlalu menyulitkan atau efek obat tersebut begitu
berat sehingga pasien akan bahaya jika tidak berhenti minum obat, atau kemungkinan
stok ARV tertentu habis walaupun hal ini jarang terjadi.

Universitas Sumatera Utara

21

2.7

Pencegahan HIV/AIDS

2.7.1

Pencegahan Primer
a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman yaitu artinya

absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah,
tidak berganti-ganti pasangan, menghindari penggunaan jarum suntik secara
bergantian kepada orang lain, semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum
suntik, pisau cukur) harus disterilisasi dengan cara yang benar.
b. Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu ibu hamil
yang memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi kesehatan dan pencegahan
penularan HIV melalui pemeriksaan diagnosis HIV dengan tes dan konseling pada
saat asuhan antenatal dan menjelang persalinan. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat
dicegah dengan pemberian ARV selama kehamilan, penanganan persalinan secara
sectio dan penatalaksanaan selama menyusi untuk mengurangi risiko penularan.

2.7.2

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan kepada penderita yang sudah terinfeksi virus

HIV dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari kasus yang terjadi, yaitu
melalui diagnosis dini dan pemberian terapi ARV lebih dini sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No.21 tahun 2013 dalam program Inisiatif penggunaan ARV
untuk pengobatan dan pencegahan atau yang disebut dengan Strategic Use of ARV
(SUFA).

Universitas Sumatera Utara

22

Proses Tes Konseling HIV (KTHIV) pada orang dewasa untuk diagnosis
dimulai dengan mengikuti alur tes HIV di fasilitas layanan kesehatan yang berlaku
untuk Tes atas Inisiatif Petugas Kesehatan (TIPK) maupun Konseling & Tes HIV
Sukarela (KTS).
Gambar 2.1 Alur Tes Konseling HIV (KTHIV) pada orang dewasa
Pasien Rajal, Ranap
Terutama klinik IMS, TB
PTRM, LASS, KIA, Remaja,
Layanan populasi kunci

Klien datang sendiri
Ingin menjalani
pemeriksaan HIV

Sesi KIE Kelompok
di Ruang Tunggu dengan
video, selebaran,brosur, dsb

KTS

TIPK
Informasi Pra Tes
Oleh Petugas Kesehatan

Tidak setuju

Pasien setuju

Ambil Darah

Konseling Pra Test
Oleh Konselor

Klien setuju
Tes Darah

Pemberian Hasil

Konseling Pasca Tes

Universitas Sumatera Utara

23

Keterangan:
a. Konseling Pra Testing
Adapun yang dilakukan pada saat konseling pra testing adalah dengan
memberikan informasi edukasi tentang HIV meliputi:
1. Informasi dasar tentang HIV dan AIDS
2. Penularan dan pencegahan
3. Tes HIV dan konfidensialitas
4. Alasan permintaan tes HIV
5. Ketersediaan pengobatan pada layanan kesehatan yang dapat diakses
6. Keuntungan membuka status kepada pasangan dan atau orang dekatnya
7. Arti tes dan penyesuaian diri atas status baru
8. Mempertahankan dan melindungi diri serta pasangan/keluarga agar tetap
sehat

Universitas Sumatera Utara

24

b. Tes darah
Gambar 2.2 Alur pemeriksaan laboratorium infeksi HIV pada orang dewasa

Universitas Sumatera Utara

25

Tabel 2.1 Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes darah
Hasil
Interpretasi
Tindak lanjut
A1(-)
Non Reaktif
 Bila yakin tidak ada faktor risiko dan
Atau
atau perilaku berisiko dilakukan lebih
A1(-) A2(-) A3(-)
dari tiga bulan sebelumnya maka
pasien diberi konseling cara menjaga
agar tetap negatif
 Bila belum yakin ada tidaknya faktor
risiko dan atau perilaku dilakukan
dalam tiga bulan terakhir maka
dianjurkan untuk tes ulang dalam 1
bulan
A1(+) A2(+) A3 (-) Indeterminate
 Ulang tes dalam 1 bulan
Atau
 Konseling agar menjaga tetap negatif
A1(+) A2(-) A3(-)
kedepannya
A1 (+) A2(+) A3(+)
Reaktif atau
Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk
Positif
untuk mendapatkan paket layanan PDP
Pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan adanya infeksi HIV dapat dibagi
dalam 2 kelompok yaitu pemeriksaan yang mencari adanya virus tersebut dalam
tubuh penderita seperti biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetik dalam
darah penderita; dan pemeriksaan serologik yang mencari adanya antibodi terhadap
berbagai komponen virion HIV dalam serum penderita.
Pemeriksaan yang paling sering dipakai untuk menentukan adanya infeksi
HIV saat ini adalah pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi
terhadap HIV dalam darah penderita. Berbagai teknik dapat dipakai untuk
pemeriksaan darah tes HIV, diantaranya:

Universitas Sumatera Utara

26

b.1 Rapid test atau Enzyme immunoassay (EIA)
Rapid test HIV memegang peranan penting dalam membantu diagnosis dini

secara cepat seseorang yang terinfeksi HIV dan tidak membutuhkan sarana yang
rumit dan mahal. Rapid tes merupakan test yang paling sering digunakan khususnya
pada layanan kesehatan yang belum lengkap fasilitas pemeriksaan laboratoriumnya.
Test ini kurang dari 30 menit, sederhana, tidak invasif dan digunakan untuk
mendeteksi antibodi sehingga terapi dapat segera dilakukan dan mempunyai
keuntungan sebagai berikut:
a. Menentukan status infeksi dengan cepat, sehingga terapi dapat segera
dilakukan
b. Bermanfaat pada kunjungan konseling pasien, karena dapat segera
dilakukan terapi
c. Mudah penggunaannya dan tidak memerlukan peralatan yang canggih,
waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan relatif cepat sekitar 10-20
menit
d. Hasil reaktif atau nonreaktif
b.2 ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap
HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa
juga menunjukkan hasil positif.

Universitas Sumatera Utara

27

Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1 %-100%. Biasanya
tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Namun ELISA mempunyai
sensitivitas rendah untuk HIV-2 (Widoyono, 2008).
b.3 Western Blot
Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan

untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai
protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua
rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes Western Blot mungkin juga
tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes
harus diulang lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western
Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6

bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif (Kurniawati, 2011).
Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Pemerikasaannya

cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Widoyono, 2008). Tes
Western Blot merupakan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi

oleh HIV. Tes ini dilakukan jika pemeriksaan penyaringan menyatakan hasil yang
reaktif. Dengan kata lain, tes ini merupakan tes lanjutan dari pemeriksaan ELISA
(Djoerban, 2010).

Universitas Sumatera Utara

28

b.4 PCR (Polymerase chain reaction )
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas (Kurniawati,
2011). PCR digunakan untuk tes HIV pada bayi. Hal ini dikarenakan zat antimaternal
masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang
ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit
tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan
membuat hasil pemeriksaaan seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. Selain
itu, PCR juga digunakan untuk menetapkan status infeksi individu yang seronegatif
pada kelompok berisiko tinggi, tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi
serokonversi, dan tes konfirmasi untuk HIV-2 (Widoyono, 2008).
c. Konseling Pasca Testing
Konseling pasca tes membantu klien/pasien memahami dan menyesuaikan
diri dengan hasil tes. Hal-hal berikut dilakukan oleh petugas atau konselor pada saat
konseling pasca tes:
1. Membacakan hasil tes
2. Menjelaskan makna hasil tes
3. Memberikan informasi selanjutnya
4. Mendiskusikan strategi untuk menurunkan penularan HIV dan
rencanakan pengobatan
5. Merujuk klien/pasien ke fasilitas layanan kesehatan dan layanan lainnya

Universitas Sumatera Utara

29

2.7.3

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial untuk

mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif. Upaya ini dimaksudkan
untuk memperkecil penderitaan dan membantu penderita melakukan penyesuaian
terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi dan stigma masyarakat terhadap
ODHA dengan perawatan dan dukungan.

Universitas Sumatera Utara

30

2.8

Kerangka Konsep
Adapun Kerangka Konsep pada penelitian tentang karakteristik penderita

HIV/AIDS yang berobat jalan di RSUD Dr. Pirngadi Tahun 2015 adalah sebagai
berikut:
Karakteristik Penderita HIV/AIDS
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Suku/Etnik
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Status Pernikahan
Daerah Tempat Tinggal
2. Faktor risiko penularan
3. Infeksi Oportunistik
4. Jumlah CD4 terakhir penderita
5. Tahap Terapi Antiretroviral (ARV)

Universitas Sumatera Utara