Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Lansia yang Menderita Penyakit Kronis di RSUP Haji Adam Malik

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
2.1.1

Konsep Kualitas Hidup
Definisi Kualitas Hidup

Chung, Killingworth, dan Nolan (2012) menyatakan bahwa kualitas hidup
adalah keadaan bagaimana individu merespon secara fisik dan emosinal serta
seberapa baik individu memfungsikan secara psikologis, sosial, pekerjaan dan
fisik. Tsitsis dan Lavdanity (2015) menjelaskan bahwa kualitas hidup
berhubungan dengan perhatian pada emosi sosial dan kesejahteraan fisik yang
digambarkan sebagai pengaruh dari kesehatan individu sehari-hari. Kualitas hidup
merupakan bentuk pilihan individu dan pengalaman di lingkungan sekitar, yang
secara subjektif bergantung pada beberapa faktor seperti kesehatan, pendapatan,
status pekerjaan dan keadaan keluarga (Rokicka, 2014).
Kinghron (2006) dalam Mardiyaningsih (2014) mengatakan bahwa
kualitas hidup memiliki dua komponen dasar yaitu subjektifitas dan multidimensi,
subjektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari
salah satu sudut pandang klien itu sendiri dan ini hanya dapat diketahui dengan

bertanya langsung pada klien dan multidimensi yang bermakna kualitas hidup
dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek
biologi, fisik, psikologis, sosial dan lingkungan.
WHOQoL (1994) dalam Mollon (2012) memaknai kualitas hidup sebagai
persepsi individu terkait posisi mereka dikehidupan didalam konteks budaya dan

8
Universitas Sumatera Utara

sistem nilai dimana mereka hidup dan berhubungan dengan tujuan, pandangan,
standar dan perhatian mereka. Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa kualitas hidup sebagai kepuasan hidup seseorang bersifat subjektif dengan
multidimensi yang dipandang secara holistik yakni meliputi aspek biologi, fisik,
psikologis, sosial dan lingkungan.
2.1.2

Domain Kualitas Hidup

Model konsep kualitas hidup dari WHOQol-Brief menurut skevington
(2004) dalam Mardiyaningsih (2014) terdiri atas 4 domain, yaitu a. Dimensi

kesehatan fisik yang terdiri dari rasa nyeri, energy dan istirahat, tidur, mobilitas,
aktivitas, pengobatan dan pekerjaan, b.

Dimensi psikologis yang terdiri dari

perasaan positif dan negative, cara berfikir, harga diri, body image, dan spiritual,
c. Dimensi hubungan sosial terdiri dari hubungan individu, dukungan social, d.
Dimensi lingkungan meliputi sumber keuangan, informasi dan keterampilan,
rekreasi dan bersantai, lingkungan rumah, akses ke perawatan kesehatan dan
sosial, keamanan fisik, lingkungan fisik dan transportasi.
Bowling (2013) membagi kualitas hidup dalam 7 dimensi kualitas hidup
yang terdiri dari keseluruhan hidup (kepuasan hidup), kesehatan (kesanggupan
melakukan aktifitas), hubungan sosial (hubungan lansia terhadap keluarga, teman,
dan aktifitas sosial yang diikuti), kemandirian (melakukan suatu hal tanpa bantuan
orang lain), di rumah dan bertetangga (perasaan nyaman dan tenang di rumah dan
lingkungan terdekatnya), psikologi dan emosional (persepsi lansia terhadap
kehidupannya), keuangan (biaya hidup).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3

Pengukuran kualitas hidup

Pengukuran kualitas hidup menggunakan skala pengukuran OPQOL-Brief
(Older People Quality of Life-Brief) untuk mengukur kualitas hidup lansia yang
dibuat oleh Ann Bowling (2013). Instrumen OPQOL-Brief ini telah digunakan di
Italia yaitu pada penelitian Bilotta, et al., (2011). Penelitian ini dilakukan pada
210 responden untuk melihat hubungan antara dua health outcomes. Nilai
validitas penelitian ini adalah 0.01 dan nilai reliabilitas dengan cronbach alpha of
internal consistency 0.90.
Kuisioner OPQOL-Brief terdiri dari 13 pertanyaan yang mencakup
kepuasan dan live overall. Jawaban dari pertanyaan kepuasan berdasarkan skala
Likert yaitu sangat baik = 5, baik = 4, sedang = 3, buruk = 2, dan sangat buruk =
1. Sedangkan untuk live overall yaitu sangat setuju = 5, setuju = 4, sedikit tidak
setuju = 3, tidak setuju = 2, sangat tidak setuju = 1. Nilai tertinggi untuk kualitas
hidup adalah 65 dan terendah 13, semakin tinggi nilai kuisioner, semakin baik
kualitas hidup lansia.
2.2
2.2.1


Konsep Dukungan Keluarga
Definisi Keluarga

Kelurga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan
kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari
keluarga (Friedman, 2010). Menurut Wong (2007) keluarga merupakan
sekelompok orang yang hidup

bersama atau berhubungan erat, yang saling

memberikan perhatian dan memberikan bimbingan untuk anggota keluarga

Universitas Sumatera Utara

lainnya. Mubarak, et al., (2006) mendefinisikan keluarga sebagai suatu sistem
yakni terdiri dari ayah, ibu dan anak atau semua individu yang tinggal didalam
rumah tangga tersebut dimana anggota keluarga tersebut saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan bersama.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang defenisi keluarga maka dapat

disimpulkan bahwa keluarga adalah dua orang atau lebih yang memiliki hubungan
erat, saling memberi perhatian dan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan
bersama.
2.2.3 Fungsi Keluarga
Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (1999) dalam Ali (2010)
adalah sebagai berikut: (a) Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama
untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga
berhubungan dengan orang lain. (b) Fungsi sosialisasi adalah fungsi
mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum
meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain diluar rumah. (c)
Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga. (d) Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk
memenuhi

kebutuhan

keluarga

secara


ekonomi

dan

tempat

untuk

mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. (e) Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan
adalah fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktivitas tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Fungsi keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992 PP No. 21 tahun 1994
dalam Ali (2010) adalah sebagai berikut:
1) Fungsi keagamaan: (a) Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar
dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga. (b) Menerjemahkan agama dalam
tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga. (c)

Memberikan contoh konkrit

dalam hidup sehari-hari dalam pengamalan

dalam ajaran agama. (d) Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar
anak tentang keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau
masyarakat. (e) Membina rasa, sikap dan praktik kehidupan keluarga
beragama sebagai fondasi menuju keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
2) Fungsi budaya: (a) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk
meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin
dipertahankan. (b) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk
menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai. (c) Membina tugastugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya mencari pemecahan
masalah dari berbagai pengaruh negatif globalisasi dunia. (d) Membina tugastugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berperilaku yang baik
sesuai dengan norma Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi. (e)
Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras, dan seimbang dengan budaya
masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil
bahagia dan sejahtera.
3) Fungsi cinta kasih: (a) Menumbuh kembangkan potensi kasih sayang yang
telah ada antar anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara


Universitas Sumatera Utara

optimal dan terus menerus. (b) Membina tingkah laku saling menyayangi
baik antar anggota keluarga secara kuantitatif atau kualitatif. (c) Membina
praktik kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan rohani dalam keluarga
secara serasi, selaras, dan seimbang. (d) Membina rasa, sikap,dan praktik
hidup keluarga yang mampu memberikan dan menerima kasih sayang sebagai
pola hidup ideal menuju keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
4) Fungsi perlindungan: (a) Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga
baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga.
(b) Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai
bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar. (c) Membina dan
menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga
kecil bahagia dan sejahtera.
5) Fungsi reproduksi: (a) Membina kehidupan keluarga sebagai wahana
pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi
keluarga disekitarnya. (b) Memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah
pembentukan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik, maupun mental. (c)
Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan
waktu melahirkan, jarak antara 2 anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan

dalam keluarga. (d) Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai
modal yang kondusif menuju keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
6) Fungsi

sosialisasi:

(a)

Menyadari,

merencanakan

dan

menciptakan

lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama
dan utama. (b) Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan

Universitas Sumatera Utara


keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari berbagai
konflik dan permasalahan yang dijumpainya baik lingkungan sekolah maupun
masyarakat. (c) Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang halhal yang diperlukan untuk meningkatkan kematangan dan kedewasaan (fisik
dan mental), yang kurang diberikan lingkungan sekolah maupun masyarakat.
(d) Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga
sehingga tidak saja dapat bermanfaat perkembangan dan kematangan hidup
bersama menuju keluarga kecil dan sejahtera.
7) Fungsi ekonomi: (a) Melakukan kegiatan ekonomi baik diluar maupun
didalam lingkungan keluarga dalam rangka menopang kelangsungan dan
perkembangan kehidupan keluarga. (b) Mengelola ekonomi keluarga
sehingga terjadi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara pemasukan
dan pengeluaran keluarga. (c) Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua
diluar rumah dan perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan serasi,
selaras, dan seimbang. (d) Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga
sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
8) Fungsi pelestarian lingkungan: (a) Membina kesadaran, sikap dan praktik
pelestarian lingkungan keluarga. (b) Membina kesadaran, sikap dan praktik
pelestarian lingkungan keluarga. (c) Membina kesadaran, sikap dan praktik
pelestrian lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang antara lingkungan

keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya. (d) Membina
kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan hidup sebagai pola hidup
keluarga menuju keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3

Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Friedman (2010) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang

harus dilakukan, yaitu:
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya. Perubahan sekecil apapun
yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan
tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu
segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa
besar perubahannya.
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.
Tugas ini merupakan upaya keluarga untuk mencari pertolongan yang tepat
sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa keluarga yang
mampu untuk memutuskan penentuan tindakan keluarga maka segera
melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi
hingga teratasi.
3) Memberikan perawatan pada anggotanya yang sakit. Hal ini dapat dilakukan
dirumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk
pemberian pertolongan pertama atau pelayanan kesehatan agar masalah yang
lebih parah tidak terjadi.
4) Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).

Universitas Sumatera Utara

Keluarga sebagai salah satu aspek terpenting terhadap kesehatan anggota
kelompoknya juga sebagai pemberi asuhan keperawtan pada unit keluarga.
Friedman (2010) menguraikan alasan keluarga sebagai unit pemberi asuhan
keperawatan.
1) Keluarga adalah unit utama dari masyarakat dan merupakan lembaga yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat, hubungan yang
erat antara anggotanya dengan keluarga sangat menonjol sehingga keluarga
sebagai lembaga/unit layanan perlu diperhitungkan.
2) Keluarga sebagai suatu kelompok individu di dalam keluarga dapat
menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah kesehatan
individu di dalam keluarga mulai dari awal sampai akhir akan dipengaruhi
oleh keluarga. Keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan
kesehatan seluruh anggota keluarganya dan bukan individu itu sendiri yang
mengusahakan tercapainya tingkat kesehatan yang diinginkannya.
3) Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. penyakit pada salah satu
anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh keluarga tersebut. peran
anggota keluarga akan mengalami perubahan apabila salah satu anggota
keluarganya menderita sakit. Di lain pihak, status kesehatan klien juga
sebagian besar ditentukan oleh kondisi keluarganya.
4) Dalam perawatan klien sebagai individu, keluarga berperan sebagai pengambil
keputusan. Bukan hanya anggota keluarga inti saja yang mengambil
keputusan, anggota keluarga yang jauh juga ikut serta dalam pengambilan
keputusan pada keluarga berpenghasilan rendah karena ketidakmampuannya,

Universitas Sumatera Utara

biasanya penyakit dalam keluarga ditangani sendiri oleh keluarga dengan
membeli obat di warung.
5) Keluarga merupakan perantara yang efektif dan efisien untuk berbagai usaha
kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa keluarga dalam hal ini
tidak dipandang dari jumlah anggotanya, tetapi kesatuannya yang unik dalam
menghadapi masalah. Keunikannya terlihat dengan cara berkomunikasi,
mengambil keputusan, sikap, nilai, hubungan dengan masyarakat luas dan gaya
hidup yang tidak sama antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya.
2.2.4

Definisi Dukungan Keluarga

Anggota kelurga masing-masing memberikan dukungan pada anggota
keluarga lainnya dengan cara yang bervariasi dan dukungan itu dapat diberikan
dengan arahan yang berbeda-beda (Parker, 2015). Dukungan keluarga menurut
Friedman (1998) dalam Pratiwi (2011) merupakan sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit. Dukungan keluarga
bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana
persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan tersebut (Friedman, 2010).
Taylor (2006) dalam Fadillah (2013) berpendapat bahwa dukungan
keluarga adalah semua bantuan yang diberikan oleh keluarga sehingga
memberikan rasa aman secara fisik dan psikologis pada individu yang sedang
merasakan tertekan atau stress. Dari beberapa pengertian dukungan keluarga
menurut para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa dukungan keluarga

Universitas Sumatera Utara

adalah semua tindakan berupa sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
anggota keluarga yang bermasalah, baik itu anggota keluarga yang sakit maupun
tertekan atau stress.
2.2.5

Dimensi Dukungan Keluarga

Setiadi (2008) menjelaskan bahwa dukungan keluarga terdiri dari 4 dimensi,
yaitu:
1) Dukungan instrumental, yaitu keluarga menerapkan sumber pertolongan
praktis dan konkrit diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan
makan dan minum, istirahat dan terhindarnya penderita dari kelelahan.
Dukungan instrumental keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan
penuh dari keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, dana, maupun
meluangkan waktu untuk membantu atau melayani dan mendengarkan
anggota keluarga menyampaikan perasaanya.
2) Dukungan informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor
dan penyebar informasi yang meliputi pemberian saran, informasi yang bisa
digunakan untuk mengungkapkan sebuah masalah. Manfaat dari dukungan ini
adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang
diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu.
Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasihat, usulan, saran, petunjuk dan
pemberian informasi.
3) Dukungan penilaian (appraisal), yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah
umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai

Universitas Sumatera Utara

sumber validator identitas keluarga diantaranya menerima keterbatasan yang
dialami salah satu anggota keluarga, memberikan support, penghargaan dan
perhatian.
4) Dukungan emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan
damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap
emosi. Dukungan emosional merupakan bentuk dukungan atau bantuan yang
dapat memberikan rasa aman, cinta kasih, membangkitkan semangat dan
mengurangi putus asa.
2.3

Konsep Penyakit Kronis Pada Lansia

2.3.1 Konsep Lansia
2.3.1.1 Definisi Lansia
Noorkasiani dan Tamber (2009) berpendapat bahwa lansia adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Hawari (2001) dalam
Makhfudli dan Efendi (2009) lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress
fisiologis, kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk
hidup serta meningkatkan kepekaan secara individual.
Depkes RI (2014) sependapat dengan Noorkasiani dan Tamber (2009) yang
menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sebagai seorang lansia dengan usia 60
tahun ke atas Berdasarkan defenisi lansia yang dikemukakan oleh para ahli,
peneliti menyimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60

Universitas Sumatera Utara

tahun ke atas yang ditandai oleh penurunan daya kemampuan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis.
2.3.1.2

Klasifikasi Lansia

Klasifikasi lansia dalam Dewi (2014) berdasarkan WHO yaitu Elderly (6074 tahun), Old (75-89 tahun), Very Old (>90 tahun). Sedangkan menurut Maryam,
et al., (2008) ada 5 klasifikasi lansia, yakni:
1) Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2) Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI,
2003).
4) Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa (Depkes RI, 2003).
5) Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
2.3.1.3

Perubahan – Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Lansia pada umumnya mengalami perubahan secara fisiologis, perubahan
kognitif, dan perubahan psikososial (Potter & Perry, 2005). Perubahan secara
fisiologis yaitu kulit kehilangan kelenturan dan kelembapan pada lansia yang
menyebabkan keriput pada kulit lansia, ketajaman penglihatan lansia menurun,
penurunan fungsi pendengaran, penurunan massa dan tonus otot, peningkatan

Universitas Sumatera Utara

jumlah jaringan lemak pada tubuh dan abdomen yang mengakibatkan penurunan
peristaltik, perubahan hormonal dan siklus tidur memendek.
Perubahan secara kognitif meliputi demensia yang mengakibatkan
penurunan fungsi intelektual, perubahan kepribadian, dan kerusakan penilaian.
Delirium yang terjadi pada lansia berupa kurang perhatian, ilusi, halusinasi,
kadang – kadang bicara inkoheren gangguan siklus tidur – bangun, dan
disorientasi. Perubahan yang terjadi pada lansia selanjutnya adalah perubahan
psikososial yang meliputi pensiun, isolasi sosial yang terdiri dari isolasi sikap
yang terjadi karena nilai pribadi atau budaya dan isolasi penampilan seperti citra
tubuh, higiene, tanda penyakit yang terlihat dan kehilangan fungsi. Tempat tinggal
dan lingkungan dimana terjadi perubahan pada peran sosial, tanggung jawab
keluarga, dan status kesehatan mempengaruhi rencana kehidupan lansia (Potter &
Perry, 2005). Peneliti menyimpulkan bahwa perubahan – perubahan yang terjadi
pada lansia membuat lansia harus menyesuaikan diri terhadap penurunan fungsi
baik secara fisiologis, kognitif, dan psikososial dengan menemukan cara untuk
mempertahankan kualitas hidup.
2.3.1.4 Penyakit pada Lansia
The National Old People’s Welfare Council di inggris (Nugroho, 2008),
penyakit atau gangguan umum pada lanjut usia ada 12 macam, yaitu depresi
mental, gangguan pendengaran, bronkitis kronis, gangguan pada tungkai/sikap
berjalan, gangguan pada koksa/sendi panggul, anemia, demensia, gangguan
penglihatan, ansietas, dekompensasi kordis, diabetes melitus, osteomalasia,
hipertiroidisme dan gangguan defekasi, sedangkan penyakit lansia di Indonesia

Universitas Sumatera Utara

meliputi penyakit sistem pernapasan, penyakit kardiovaskular dan pembuluh
darah, penyakit pencernaan makanan, penyakit sistem urogenital, penyakit
gangguan metabolik/endokrin, penyakit pada persendian dan tulang serta penyakit
yang disebabkan oleh keganasan.
Menurut Potter dan Perry (2005) hampir 80% lansia dengan usia 65 tahun ke
atas mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan. Potter dan perry membagi
masalah kesehatan lansia menjadi dua yaitu masalah kesehatan fisiologis dan
masalah kesehatan psikososial. Masalah kesehatan fisiologis terdiri dari masalah
kardiovaskular (hipertensi, angina pektoris, infark miokard, dan cedera
serebrovaskular), kanker, arthritis, kerusakan sensori, masalah gigi, dan penyakit
paru obstruktif menahun. Masalah psikososial pada lansia yang biasanya terjadi
karena transisi peran pada lingkungan sosial, kehilangan, perubahan pada
fisiologis dan kematian. Penyebab kematian yang biasa terjadi pada lansia adalah
penyakit jantung, neoplasma maligna, penyakit serebrovaskular, dan penyakit
paru obstruksi menahun (Potter & Perry, 2005).
2.3.2

Konsep Penyakit Kronis

2.3.2.1

Definisi Penyakit Kronis

Penyakit kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan
dengan kumpulan beberapa gejala atau ketidakmampuan yang terjadi selama 3
bulan atau lebih (Smeltzer & Bare, 2009). Menurut US Department of Health and
Human Services (2010, dalam Goodman 2013) penyakit kronis adalah suatu

Universitas Sumatera Utara

kondisi yang membutuhkan perawatan dan pengobatan yang berlanjut yang terjadi
lebih dari 1 tahun yang berdampak pada keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari.
Sedangkan menurut WHO (2014) penyakit kronis memiliki onset yang
secara umum bertahap dan sering tersembunyi, disebabkan oleh banyak faktor
dengan perubahan yang terjadi sewaktu-waktu, masalah kesehatan dengan jangka
waktu yang lama seperti diabetes, penyakit jantung, mental yang progresif dan
gangguan neurologi, gangguan muskuloskeletal, dan penyakit keganasan lainnya.
Dari beberapa definisi penyakit kronis tersebut peneliti dapat menyimpulkan
bahwa penyakit kronis adalah suatu kondisi penyakit yang lebih dari 3 bulan,
membutuhkan perawatan dan pengobatan secara berlanjut, onset yang pada
umumnya bertahap dan tersembunyi.
2.3.2.2

Fase-Fase Penyakit Kronis

Menurut Corbin dan Cherry (1997, dalam Smeltzer & Bare, 2009) penyakit
kronis terdiri dari 9 fase, yakni:
1) Fase pre trajectory. Individu berisiko terhadap penyakit kronis karena faktorfaktor genetic atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap
penyakit kronis.
2) Fase trajectory. Adanya gejala-gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis.
Fase ini sering tidak jelas karena gejala sedang dievaluasi dan pemeriksaan
diagnostic sedang dilakukan.
3) Fase stabil. Ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit terkontrol.

Universitas Sumatera Utara

4) Fase tidak stabil. Adanya ketidakstabilan dari penyakit kronis, kekambuhan
gejala-gejala dari penyakit-penyakit.
5) Fase Akut. Ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak dapat pulih
atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk
menanganinya.
6) Fase krisis. Ditandai dengan situasi krisis atau mengancam jiwa yang
membutuhkan pengobatan dan perawatan kedaruratan.
7) Fase pulih. Pulih kembali pada cara hidup yang diterima pada batasan yang
dibebani oleh penyakit kronis.
8) Fase penurunan. Terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang dan disertai
dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejalagejala.
9) Fase kematian. Ditandai dengan penurunan bertahap atau cepat fungsi tubuh
dan penghentian hubungan individual.
2.4

Desain Korelasi
Peneliti menggunakan desain korelasi untuk menguji hubungan variabel-

variabel. Korelasi adalah sebuah hubungan atau gabungan antara dua variabel,
yang cenderung pada variasi satu variabel dihubungkan dengan variasi yang lain
(Polit & Beck, 2012). Menurut Ludico et al., (2006), suatu penelitian dengan dua
variabel dikatakan berhubungan ketika adanya gabungan antara variabel-variabel
yang berbeda jumlah atau level dari satu variabel dengan variabel yang berbeda
jumlah atau level dari variabel lain secara sistematik.

Universitas Sumatera Utara

Suatu

penelitian

dengan

menggunakan

desain

korelasi

harus

mempertimbangkan apakah ada hubungan antara variabel-variabel yang
digunakan, apa petunjuk hubungan dari variabel-variabel, seberapa kuat hubungan
antara variabel-variabel dan apa yang mendasari hubungan antara variabelvariabel tersebut (Polit & Beck, 2012). Desain nonexperiment korelasi meiliki
kelebihan yang memuaskan, tetapi desain ini juga memiliki beberapa kekurangan.
Kelemahan dari desain korelasi adalah pada interpretasi atau tafsiran dari hasil
desain korelasi yang dipertimbangkan untuk sementara, terutama jika penelitian
tidak memiliki dasar secara teoritis dan jika penelitian menggunakan desain crosssectional, sedangkan kelebihan desain korelasi yaitu pada masalah pengumpulan
data dalam jumlah besar yang sering efesien, penelitian korelasi akan tepat bila
dilanjutkan pada penelitian dalam bidang keperawatan karena banyak masalahmasalah yang menarik yang tidak dapat dilakukan untuk suatu percobaan atau
eksperimen (Polit & Beck, 2012).

Universitas Sumatera Utara