Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014

(1)

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN DEPRESI

DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN HIV/AIDS

DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2014

TESIS

Oleh

ROMAULI PAKPAHAN

127046030 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN DEPRESI

DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN HIV/AIDS

DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROMAULI PAKPAHAN

127046030 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 11 September 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.PH Anggota : 1. Dr.Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si 2. Iwan Rusdi, S.Kp,. MNS


(5)

Judul Tesis : Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan

Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014

Nama Mahasiswa : Romauli Pakpahan

Program Studi : Megister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kualitas hidup adalah istilah yang populer digunakan untuk menyampaikan rasa keseluruhan kesejahteraan dan meliputi aspek-aspek seperti kebahagian dan kepuasan dengan kehidupan secara keseluruhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga yaitu dukungan informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan emosional, dukungan jaringan sosial dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014. Jenis penelitian kuantitatif dengan studi pendekatan cross sectional. Sampel penelitain berjumlah 92 orang dengan tehnik pengambilan sampel purposive sampling. Berdasarkan analisa univariat mayoritas dukungan keluarga buruk sebanyak 70 orang (76,1%), depresi ringan 54 orang (58,7%) dan kualitas hidup yang buruk sebanyak 67 orang (72,8%). Berdasarkan analisa bivariat dengan uji chi square hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel dukungan keluarga berhubungan dengan kulitas hidup pasien HIV/AIDS


(6)

di RSUP.H. Adam Malik Medan dengan nilai p=0,000<0,05 dan nilai PR=0,49 (95% CI = 0,29-0,82). Berdasarkan analisa multivariate dengan uji multiple correlation, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan informasi, dukungan keluarga total dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan. Disarankan kepada pihak RSUP.H. Adam Medan agar bidang pelayanan keperawatan memiliki manajemen family center pasien HIV/AIDS sehingga seluruh kelurga dapat memberikan dukungan keluarga yang baik.


(7)

Thesis Title : Correlation of Family Support and Depression with the Quality of Life in HIV/AIDS Patients in RSUP H. Adam Malik, Medan, in 2014

Name : Romauli Pakpahan

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Nursing Surgical Medical

Year : 2014

ABSTRACT

Quality of life is a popular term which is used to express the entire prosperity which includes happiness and satisfaction with life as a whole. The objective of the research was to find out the correlation of family support which included information support, assessment support, instrumental support, emotional support, social network support, and depression with the quality of life in HIV/AIDS patients in RSUP H. Adam Malik, Medan, in 2014. The research was quantitative with cross sectional design. The samples were 92 respondents, taken by using purposive sampling technique. The result of univatriate analysis showed that 70 respondents (76.1%) had bad family support, 54 respondents (58.7%) had mild depression, and 67 respondents (72.8%) had bad quality of life.The result of bivatriate analysis with chi square test showed that the variable of family support was correlated with the quality of life in HIV/AIDS patients in RSUP H. Adam Malik, Medan, at p = 0.000 < 0.05 and PR-value = 0.49 (95% CI = 0.29-0.82). Based on the result of multivariate analysis with multiple correlation tests, it was


(8)

found that there was the correlation of information support, total family support, and depression with the quality of life in HIV/AIDS patients in RSUP H. Adam Malik, Medan. It is recommended that the management of the hospital in nursing care department should have family center management for HIV/AIDS patients so that all their families will give good support.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014”. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Setiawan, S.Kp, MNS, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH, selaku Pembimbing I dalam penulisan tesis ini.

5. Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB, selaku Pembimbing II dalam penulisan tesis ini.

6. Dr.Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si dan Iwan Rusdi, S.Kp, MNS, selaku anggota tim penguji yang telah banyak memberikansaran dan kritik yang sangat berharga, bimbingan dan perhatian selama penulisan tesis ini. 7. Para dosen dan staf Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas


(10)

8. Dr. Lukmanul Hakim Nasution, SpKK, selaku Direktur RSUP.H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian.

9. Dr. Purnamawati, MARS, selaku direktur SDM dan Pendidikan, yang telah memberikan izin penelitian.

10.Seluruh perawat, dokter, staf PUSYANSUS, Rindu A1 dan Rindu A2 di RSUP.H. Adam Malik Medan yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis.

11.Orang tua dan keluarga yang telah banyak memberikan dorongan moril dalam penyelesaian tesis.

12.Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2013 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberi dorongan untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan sehingga penulis sangat berharap mendapat bimbingan dari berbagai pihak untuk memberikan masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahauan khususnya profesi keperawatan.

Medan, 11 September 2014


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Romauli Pakpahan

Tempat/Tanggal Lahir : Semangat Baris, 27 Nopember 1985

Alamat : Kompleks Medistra, Jln. Sudirman No. 38 Lubuk

Pakam Kabupaten Deli Serdang

Email : pakpahanroma579@yahoo.co.id

No. Telp./Hp : 081370703223

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus SD Negeri No.095555 Pematang Siantar 1996 SLTP Negeri 11 Pematang Siantar 1999 SMA HKBP Pematang Siantar 2002 D3 Keperawatan Pemkab Dairi 2005 S1 Keperawatan STIKes Deli Husada Deli Tua 2010 Profesi Ners STIKes Deli Husada Deli Tua 2011 S2 Keperawatan Magister Keperawatan USU 2014

Riwayat Pekerjaan

Tahun 2006 -2011 Staf Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2011 sampai sekarang Dosen STIKes Medistra Lubuk Pakam


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... ... i

ABSTRACT... ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP... . vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... . xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 14

1.3 Tujuan Penelitian ... 15

1.3.1 Tujuan Umum ... 15

1.3.2 Tujuan Khusus ... 15

1.4 Hipotesis ... 16

1.5 Manfaat Penelitian ... 16

1.5.1 Bagi Pelayanan ... 16

1.5.2 Bagi Pendidikan ... 16

1.5.3 Bagi Penelitian ... 17

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS ... 18

2.1 Dukungan Keluarga ... 18

2.1.1 Pengertian Dukungan Keluarga ... 18

2.1.2 Fungsi Keluarga ... 19

2.1.3 Jenis Dukungan Keluarga ... 20

2.1.4 Sumber Dukungan Keluarga ... 21

2.1.5 Manfaat Dukungan Keluarga ... 21

2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Kelurga ... 22

2.2 Depresi ... 23

2.2.1 Pengertian Depresi ... 23

2.2.2 Penyebab Depresi ... 23

2.2.3 Gejala Depresi ... 24

2.2.4 Alat Ukur (Skala) Depresi ... 26

2.3 Kualitas Hidup ... 27

2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup ... 27

2.3.2 Hubungan Kesehatan dengan Kualitas Hidup ... 29

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi ... 29

2.3.4 Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS ... 30

2.3.5 Cara Pengukuran Kualitas Hidup ... 32

2.4 HIV/AIDS ... 33


(13)

2.4.2 Etiologi ... 33

2.4.3 Patogenesis ... 36

2.4.4 Pemeriksaan HIV ... 39

2.4.5 Tanda dan Gejala ... 40

2.5 Teori Keperawatan ... 41

2.5.1 Konsep Self-Care Dorothea Orem... 41

2.5.2 Teori Self-Care... 42

2.6 Kerangka Teori ... 45

2.7 Kerangka Penelitian ... 46

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian ... 47

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.3 Populasi dan Sampel ... 47

3.3.1 Populasi ... 47

3.3.2 Sampel ... 47

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.4.1 Data Primer ... 49

3.4.2 Data Sekunder ... 50

3.4.3 Validitas dan Reabilitas Kuesioner ... 50

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 54

3.5.1 Variabel Independen ... 54

3.5.2 Variabel Dependen ... 55

3.6 Metode Pengukuran Data ... 55

3.7 Metode Analisis Data ... 57

3.8 Pertimbangan Etik Penelitian ... 60

BAB 4 HASIL PENILITIAN... .. 62

4.1Deskripsi Lokasi Penelitian... . 62

4.2Karakteristik Responden... 64

4.3 Analisis Univariat... 66

4.4 Analisa Bivariat... 79

4.5 Analisis Multivariat... 87

BAB 5 PEMBAHASAN... . 94

5.1 Karakteristik Responden Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan... 94

5.2 Dukungan Informasi Pasien HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan... 97

5.3 Dukungan Penilaian Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan... 99

5.4 Dukungan Instrumental dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan... 101

5.5 Dukungan Emosional dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan... 102 5.6 Dukungan Jaringan Sosial dengan kualitas hidup pasien


(14)

HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan... 104

5.7 Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan... 106

5.8 Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan... 108

5.9 Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan... 110

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 115

6.1Kesimpulan... 115

6.2 Saran... 121

DAFTAR PUSTAKA... .. 123


(15)

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 3.3 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13

Beck Depression Scale... Reliabilitas Kuesioner Dukungan Informasi,

Penghargaan, Instrumen, Emosional dan Jaringan Sosial... Metode Pengukuran Data... Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Jawaban Pernyataan Dukungan Keluarga Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Jawaban Pernyataan Depresi Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Jawaban Pertanyaan Kualitas Hidup Pasien

HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekwensi Dukungan Informasi Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Dukungan Penilaian Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekwensi Dukungan Instrumental Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekwensi Dukungan Emosional Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekwensi Dukungan Jaringan Sosial Paien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekwensi Dukungan Keluarga Paien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Distribusi Frekwensi Depresi Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92).... Distribusi Frekwensi Kualitas Hidup Pasien

HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Hubungan Dukungan Informasi Dengan Kualitas

27 53 54 64 66 68 72 75 76 76 77 77 78 78 79


(16)

Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 4.19 Tabel 4.20 Tabel 4.21 Tabel 4.22 Tabel 4.23 Tabel 4.24

Medan Tahun 2014 (n=92)... Hubungan Dukungan Penilaian dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Hubungan Dukungan Instrumen Dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Hubungan Dukungan Emosional Dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Hubungan Dukungan Jaringan Sosial Dengan

Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun (n=92)... Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun (n=92)... Hubungan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun 2014 (n=92)... Hasil Analisi Bivariat Dukungan Informasi,

Dukungan Penilaian Dukungan Instrumental, Dukungan Emosional, Dukungan Jaringan Sosial, Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan (n=92)... Hasil Analisis Multiple Corelation Antara Dukungan Informasi, Dukungan Penilaian, Dukungan

Instrumental, Dukungan Emosional, Dukungan Jaringan Sosial, Dukungan Keluarga dan Dan

Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan (n=92)... Hasil Analisis Multiple Correlation Antara Dukungan Informasi, Dukungan Penilaian, Dukungan

Instrumental, Dukungan Emosional, Dukungan Jaringan Sosial, Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di

RSUP.H.Adam Malik Medan (n=92) ... Hasil Analisis Multiple Correlation Antara

Dukungan Informasi, Dukungan Instrumental, Dukungan Jaringan Sosial, Dukungan Keluarga Dan Depresi Dengan Kualitas Hidup Pasien... HIV/AIDS Di RSUP.H.Adam Malik Medan (n=92).. Hasil Analisis Multiple Correlation Antara

Dukungan Informasi, Dukungan Jaringan Sosial, Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik

80 81 82 83 84 85 86 88 89 90 91


(17)

Tabel 4.25

Medan (n=92)... Hasil Akhir Analisis Multiple Correlation Antara Dukungan Informasi,Dukungan jaringan sosial, Dukungan Keluarga Total dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan (n=92)...

92


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1

Gambar 2.2 Gambar 2.3

Struktur HIV... Kerangka Teori... Kerangka Penelitian...

35 45 46


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Instrumen Penelitian... 129

Lampiran 2. Biodata Expert untuk Masing-masing instrumen... 143


(20)

Judul Tesis : Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan

Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014

Nama Mahasiswa : Romauli Pakpahan

Program Studi : Megister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kualitas hidup adalah istilah yang populer digunakan untuk menyampaikan rasa keseluruhan kesejahteraan dan meliputi aspek-aspek seperti kebahagian dan kepuasan dengan kehidupan secara keseluruhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga yaitu dukungan informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan emosional, dukungan jaringan sosial dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014. Jenis penelitian kuantitatif dengan studi pendekatan cross sectional. Sampel penelitain berjumlah 92 orang dengan tehnik pengambilan sampel purposive sampling. Berdasarkan analisa univariat mayoritas dukungan keluarga buruk sebanyak 70 orang (76,1%), depresi ringan 54 orang (58,7%) dan kualitas hidup yang buruk sebanyak 67 orang (72,8%). Berdasarkan analisa bivariat dengan uji chi square hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel dukungan keluarga berhubungan dengan kulitas hidup pasien HIV/AIDS


(21)

di RSUP.H. Adam Malik Medan dengan nilai p=0,000<0,05 dan nilai PR=0,49 (95% CI = 0,29-0,82). Berdasarkan analisa multivariate dengan uji multiple correlation, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan informasi, dukungan keluarga total dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan. Disarankan kepada pihak RSUP.H. Adam Medan agar bidang pelayanan keperawatan memiliki manajemen family center pasien HIV/AIDS sehingga seluruh kelurga dapat memberikan dukungan keluarga yang baik.


(22)

Thesis Title : Correlation of Family Support and Depression with the Quality of Life in HIV/AIDS Patients in RSUP H. Adam Malik, Medan, in 2014

Name : Romauli Pakpahan

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Nursing Surgical Medical

Year : 2014

ABSTRACT

Quality of life is a popular term which is used to express the entire prosperity which includes happiness and satisfaction with life as a whole. The objective of the research was to find out the correlation of family support which included information support, assessment support, instrumental support, emotional support, social network support, and depression with the quality of life in HIV/AIDS patients in RSUP H. Adam Malik, Medan, in 2014. The research was quantitative with cross sectional design. The samples were 92 respondents, taken by using purposive sampling technique. The result of univatriate analysis showed that 70 respondents (76.1%) had bad family support, 54 respondents (58.7%) had mild depression, and 67 respondents (72.8%) had bad quality of life.The result of bivatriate analysis with chi square test showed that the variable of family support was correlated with the quality of life in HIV/AIDS patients in RSUP H. Adam Malik, Medan, at p = 0.000 < 0.05 and PR-value = 0.49 (95% CI = 0.29-0.82). Based on the result of multivariate analysis with multiple correlation tests, it was


(23)

found that there was the correlation of information support, total family support, and depression with the quality of life in HIV/AIDS patients in RSUP H. Adam Malik, Medan. It is recommended that the management of the hospital in nursing care department should have family center management for HIV/AIDS patients so that all their families will give good support.


(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh masuknya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dapat menular dan mematikan (Sudoyo, dkk, 2007). Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga individu yang terinfeksi akan mengalami penurunan daya tahan tubuh yang ekstrim sehingga mudah terjangkit penyakit-penyakit infeksi dan keganasan yang dapat menyebabkan kematian (Price & Wilson, 2006).

Epidemi HIV/AIDS saat ini telah melanda seluruh negara di dunia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan. Hawari (2006) menyebutkan masalah HIV/AIDS sudah menjadi masalah global dengan kecepatan penyebaran yang sangat pesat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyakit ini sebagai wabah paling mematikan sepanjang sejarah, sehingga untuk mengantisipasinya WHO membentuk organisasi khusus penanggulangan HIV/AIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS) dan menetapkan tanggal 1 Desember sebagai hari AIDS sedunia.

Sejak pertama kali kasus infeksi virus yang menyerang kekebalan tubuh ini ditemukan di New York pada tahun 1981, diperkirakan virus telah mengakibatkan kematian lebih dari 25 juta orang di seluruh dunia (Uvikacansera, 2010). Disepanjang tahun 2008, dilaporkan terdapat 2 juta kematian terkait AIDS


(25)

dan tercatat 33,4 juta ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tersebar diseluruh dunia, termasuk 2,7 juta kasus orang yang baru tertular HIV. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 kasus baru perhari, dengan estimasi 5 juta pasien baru terinfeksi HIV setiap tahunnya di seluruh dunia (UNASAIDS, 2009).

Penelitian Honghong Wang (2009) mengenai pengaruh kunjungan rumah dan kepatuhan pengobatan pasien HIV/AIDS di Cina, menemukan bahwa kunjungan rumah dan panggilan telepon yang efektif dalam mempromosikan kepatuhan terhadap pengobatan antiretroviral dapat meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS dan penurunan depresi pada pasien. Hal ini penting bagi perawat untuk mengenali isu-isu ketidak patuhan terhadap pengobatan antiretroviral pada pasien HIV/AIDS yang diakibatkan oleh heroin.

Penelitian Festus (2010) mengenai kualitas hidup orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Niger Delta Region, Nigeria. Dalam penelitian pada 265 responden ditemukan laki-laki yang seks bebas sebanyak 152 orang dan 113 orang perempuan. Kurangnya dukungan informasi mengenai kesehatan seksual dan penggunaan kondom dalam seks bebas. Dengan meningkatkan dukungan informasi akan meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS karena keluarga membantu orang dengan HIV/AIDS dalam perawatan dan terapi HIV/AIDS.

Penelitian Basavaraj (2010) mengingat umur panjang dicapai dengan strategi profilaksis yaitu ARV dan terapi saat ini untuk orang dengan HIV, kualitas hidup (QOL) telah muncul sebagai ukuran hasil medis yang signifikan, dan peningkatan yang memiliki tujuan penting. Ulasan ini menyoroti relevansi


(26)

dan kompleksitas fisik, psikologis, dan faktor sosial sebagai penentu kualitas hidup terkait kesehatan pada orang yang terinfeksi HIV.

Penelitian Azwidihwi R (2009) mengenai pengalaman keluarga yang merawat pasien HIV/AIDS di Nigeria Selatan. Penelitian dilakukan dengan kualitatif dengan studi fenomenologi yang dilakukan pada keluarga yang merawat pasien dengan HIV/AIDS. Menemukan peningkatan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Dan diharapkan keluarga dapat memberikan proteksi pencegahan penularan HIV/AIDS tanpa melakukan diskriminasi.

Penelitian Sushil Yaday (2010) mengenai studi kasus dukungan sosial, harapan dan kualitas hidup orang-orang dengan HIV/AIDS di Nepal menemukan bahwa orang yang hidup dengan HIV/AIDS dengan dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan sosial dan dukungan jaringan sosial membantu meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Dan hasil penelitian ini memiliki implikasi untuk menyediakan perawatan, pengobatan, dan psiko-sosial untuk mempertahankan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS.

Penelitian Racmawati (2013) yang meneliti kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang mengikuti terapi Anti Retroviral Virus yang mengemukakan menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang komplek selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang diskriminatif. Hal ini yang menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA. Dukungan penilaian dari keluarga sangat dibutuhkan saat terjadi diskriminasi.


(27)

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing, menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan dan perhatian.

Peter Williams (2012) dalam penelitiannya terhadap pasien HIV/AIDS di Ontario Canada menunjukkan sebanyak 297 (54,2%) orang mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Kinyanda (2012) pada 618 pasien HIV/AIDS sebanyak 358 (57.9%) dengan mayor depresi disorder.

Depresi adalah salah satu masalah kesehatan mental yang dilaporkan di antara orang-orang dengan HIV/AIDS. Dalam populasi HIV positif, prevalensi depresi besar diperkirakan mencapai 22%-45% (Penzak, Reddy & Grimsley, 2010) dan prevalensi sedang berkisar antara 21%-97% (Eller, 2010). Beberapa bukti menunjukkan bahwa gejala depresi dikaitkan dengan hasil buruk antara orang-orang dengan HIV/AIDS, termasuk penyakit HIV/AIDS yang lebih cepat perkembangan dan tingkat kematian yang lebih tinggi (Ickovics et, al, 2011).

Penelitian yang dilakukan di India, dua puluh tujuh persen dari ODHA telah mengalami stigma yang parah dalam bentuk stigma pribadi (28,8 %), citra diri yang negatif (30,3%), persepsi sikap publik (18,2 %) dan kekhawatiran pengungkapan (26 %). ODHA mengalami depresi berat adalah 12% dan yang mengalami kualitas hidup yang buruk adalah 34% (BMC Public Health 2012).

Menurut World Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa Negara seperti Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan Tren penurunan untuk infeksi baru HIV, hal ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya


(28)

program pencegahan HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP).

Trend kematian yang disebabkan oleh AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda disetiap bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang meninggal karena AIDS meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga meningkat dari 24.000 menjadi 56.000 (WHO, Progress Report 2011).

Di Indonesia, sejak pertama kali kasus AIDS ditemukan di Bali pada tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV maupun AIDS cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada 10 tahun pertama, penularan HIV masih tergolong rendah. Akhir tahun 1987, jumlah penderita AIDS kumulatifnya hanya 153 orang dan HIV positif 486 orang. Namun, pada akhir abad ke-20 terlihat kenaikan jumlah kasus HIV/AIDS yang sangat berarti dan dibeberapa daerah pada populasi tertentu, angka prevalensinya mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara dengan endemi terkonsentrasi (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).

Data terbaru dari Departeman Kesehatan RI (2013), laporan perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sampai bulan Maret 2013, jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.369 orang. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 29-49 tahun (74,2%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (14,0%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (4,8%). Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Sementara jumlah AIDS baru yang dilaporkan sebanyak 460 orang. Persentase AIDS tertinggi adalah pada kelompok umur 30-39 tahun (39,1%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (26,1%), dan


(29)

kelompok umur 40-49 tahun (16,5%). Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (Depkes RI, 2013).

Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan melalui data yang diperoleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara sejak tahun 1994 hingga Maret 2013, jumlah AIDS mencapai 2580 orang dan jumlah penderita HIV (+) mencapai 1417 orang, hingga totalnya ada sebanyak 3997 (Depkes, RI, 2013). Demikian, halnya di kota Medan, kasus HIV/AIDS terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Medan, dari Januari 2006 sampai Juli 2013, jumlah penderita HIV/AIDS yang terdata adalah 3.369 orang (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2012).

Penyakit HIV/AIDS ini telah menimbulkan masalah yang cukup luas pada individu yang terinfeksi yaitu meliputi masalah fisik, sosial, dan emosional (Bare & Smeltzer, 2005). Masalah secara fisik terjadi akibat penurunan daya tahan tubuh progresif yang mengakibatkan ODHA rentan terhadap berbagai penyakit terutama penyakit infeksi dan keganansan seperti TB paru, pneumonia, herpes simpleks/zoster, diare kronik, hepatitis, sarcoma kaposi, limpoma, dan infeksi /kelamin (Ignativicius & Bayne, 1998). Bahkan serangan penyakit yang biasanya tidak berbahayalam a-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal.

Selain masalah fisik, pasien HIV/AIDS juga menghadapi masalah sosial yang cukup memprihatinkan sebagai dampak dari adanya stigma terhadap penyakit ini. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit ini identik dengan akibat dari perilaku-perilaku tidak bermoral seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba,


(30)

dan seks sesama jenis (homoseksual) sehingga pasien dianggap pantas untuk mendapatkan hukuman akibat perbuatannya tersebut. Selain itu stigmanya juga muncul karena pemahaman masyarakat yang kurang terhadap penyakit HIV/AIDS. HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit mematikan yang mudah sekali menular, hal yang menyebabkan pasien sering sekali dikucilkan dan mendapatkan prilaku diskriminatif dari masyarakat (Purnama & Haryati, 2006).

Berdasarkan pendekatan Psychoneuroimunology dapat dijelaskan bahwa keadaan stress atau depresi yang dialami pasien HIV/AIDS akan memodulasi sistem imun melalui jalur HPA (Hipothalamic-Pituarity-Adrenocortical) axis dan

system limbic (yang mengatur emosi dan learning process). Kondisi stress tersebut akan menstimulasi hyphotalamus untuk melepaskan neuropeptida yang akan mengaktivasi ANS (Autonomic Nerve System) dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin yang merupakan hormon-hormon yang bereaksi terhadap kondisi stress. Peningkatan kadar glukokortikoid akan mengganggu system imunitas, yang menyebabkan pasien akan rentan terhadap infeksi opportunistik (Gunawan & Sudirman, 2007).

Hal tersebut didukung oleh penelitian Robinson (2003) yang melaporkan bahwa penderita ODHA yang mengalami depresi akan mengalami penurunan yang tajam dalam jumlah sel CD4. Hal ini yang memperburuk derajat kesehatan fisik pasien. Selain itu kondisi pasien depresi juga mempengaruhi motivasi pasien untuk melakukan self care secara adekuat (Rubin & Peyrot, 2001). Depresi ini dapat berkontribusi pada penurunan kesehatan fisik dan mental yang


(31)

menyebabkan seseorang malas untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara rutin.

Penelitian Williams dkk (2005) tentang prevalensi, korelasi, dan biaya depresi pasien dengan HIV/AIDS di Ontario menemukan bahwa depresi mempengaruhi kualitas hidup, dukungan sosial dan status serta pengggunaan layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS. Hasil penelitian Azwiddihwi dkk (2009) yang meneliti tentang pengalaman keluarga yang merawat pasien dengan HIV/AIDS di provinsi Limpopo, Afrika Selatan menjelaskan anggota keluarga mengalami perasaan negatif yang dicirikan oleh kesedihan, rasa sakit, kemarahan, depresi, dan frustasi.

Penelitian Rotheram dkk (2009) di Thailand menunjukkan bahwa hubungan keluarga dan sosial merupakan dukungan struktural yang penting yang mempengaruhi kesehatan dan kesehatan mental seseorang dengan HIV. Dukungan sosial berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih baik dan gejala depresif yang lebih kecil. Penelitian Basavaraj dkk (2010) di India tentang kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS menemukan kualitas hidup merupakan konsep multidimensi yang defenisi dan penilaiannya tetap menjadi kontroversial. HIV/AIDS menghadirkan dampak ekonomi yang sangat tinggi dari sudut pandang masyarakat. Karena HIV/AIDS merupakan penyakit yang parah, memiliki efek besar pada semua aspek kehidupan, sehingga evaluasi terhadap kualitas hidup menjadi sangat penting.


(32)

Penelitian Simoni dkk (2010) tentang depresi pada pasien HIV menunjukkan bahwa depresi merupakan salah satu co-morbiditas infeksi HIV, dengan perkiraan prevalensi gangguan depresi utama diantara orang-orang dengan HIV sebesar 20% sampai dengan 37%. Angka ini tiga kali lebih besar daripada depresi yang dialami masyarakat biasa. Penelitian yang dilakukan Monahan dkk (2007) tentang depresi pada pasien HIV/AIDS di Kenya bagian barat menunjukkan bahwa lebih dari 70% dari kematian berkaitan dengan HIV/AIDS di Afrika dan 61% orang dewasa penderita HIV mengalami depresi. Studi yang dilakukan Basavaraj dkk (2010) tentang kualitas hidup pada HIV/AIDS menunjukkan penyakit psikiatris termasuk depresi merupakan hal umum yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV. Prevalensi depresi pada populasi klinik yang terinfeksi HIV mencapai 22% sampai dengan 38%. Pasien dengan HIV berusia diatas 35 tahun kemungkinan mengalami depresi, kecemasan, kebingungan, dan keletihan.

Saragih (2008) meneliti tentang sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dengan menggunakan BDI (Beck Depression Inventory) di RS Haji Adam Malik menemukan bahwa hasil mean untuk skor BDI pada subjek dengan sindrom depresif sedang (22,7), depresif ringan (12,9) dan tidak depresi (6,4) dan sindrom depresi berat (33,1). Gaynes (2005) dalam penelitiannya melakukan perbandingan pasien depresi dengan HIV menggunakan IDS, QIDS dan HRS-D. Selain depresi, hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam penanganan pasien HIV/AIDS adalah dukungan keluarga. Dalam hal ini, keluarga merupakan unit sosial kecil yang berhubungan dengan pasien. Keluarga menjadi


(33)

unsur penting dalam kehidupan seseorang karena keluarga merupakan system yang di dalamnya terdapat anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan dan saling ketergantungan dalam memberikan dukungan, kasih sayang, rasa aman, dan perhatian yang secara harmonis menjalankan perannya masing-masing untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Oleh karena itu dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS sebagai support system atau sistem pendukung utama sehingga dapat mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stressor maupun depresi pasien HIV/AIDS.

Penelitian Lakshmi M G (2013) dalam penelitian pengaruh pshyco-education pada kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Sebuah sampel kenyamanan dari 120 orang yang hidup dengan HIV/AIDS antara usia 20-40 tahun yang memiliki skor kualitas hidup yang rendah dalam skala QOL, dipilih dan dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kontrol setelah pemeriksaan awal. Kelompok eksperimen diberi psiko-education dengan pendekatan dukungan emosional, menunjukkan peningkatan kualitas hidup.

Dukungan keluarga sangat penting bagi pasien HIV/AIDS dalam rangka upaya pencegahan dan penanggulangan. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat mempunyai tugas penting dan sangat mulia sebagai benteng pertama dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Ketahanan keluarga dalam arti yang sesungguhnya perlu tetap diupayakan dan ditingkatkan. Selain itu keluarga mampu memberikan lingkungan yang kondusif bagi pasien HIV/AIDS dengan berempati dan menjauhkan sikap diskriminatif terhadap mereka (Depkes


(34)

RI, 2010). Pada penelitian Li, et al (2004) ditemukan bahwa orang yang hidup dengan HIV/AIDS sangat membutuhkan bantuan dan dukungan dari keluarga karena penyakit ini bersifat kronis dan membutuhkan penanganan yang komprehensif. Dukungan keluarga tersebut meliputi dukungan finansial, dukungan informasi, dukungan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, dukungan dalam kegiatan pengobatan dan perawatan serta dukungan psikologis. Lebih lanjut diketahui bahwa dukungan keluarga dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup bagi pasien HIV/AIDS (Nirmal, et al, 2008). Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS sebagai support system atau sistem pendukung utama sehingga pasien dapat mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stressor yang dihadapi terkait penyakit baik fisik, psikologis maupun sosial (Lasserman & Perkins, 2005).

Penelitian Richard (2011) menemukan adanya pengaruh dukungan keluarga terhadap program pengobatan HIV/AIDS di POSYANSUS Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011 yang dibuktikan dari uji chi square dimana nilai P= 0,003 (P<0,05), dengan uraian yang lebih rinci ada pengaruh dukungan informasional keluarga dengan nilai P= 0,040 (P<0,05), dukungan penilaian keluarga dengan nilai P= 0,001 (P<0,05), pengaruh dukungan instrumental keluarga dengan nilai P= 0,041 (P<0,05), pengaruh dukungan emosional keluarga dengan nilai P= 0,003(P<0,05).

Hasil penelitian yang dilakukan Nojomi, Anbary dan Ranjbar (2008) didapatkan bahwa mayoritas dari pasien dengan HIV baik yang simptomatik


(35)

maupun non-simptomatik serta pasien AIDS masih memiliki kualitas hidup yang rendah. Hasil yang sama juga diketahui dari penelitian Douaihy (2001) yang juga mendapatkan 62,6% pasien HIV memiliki kualitas hidup yang buruk. Bahkan menurut Rachmawati (2013) yang meneliti kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang mengikuti terapi anti retroviral mengemukakan menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat diskriminatif. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA.

Penelitian Abiodun (2008) mengenai hubungan antara depresi dan kualitas hidup pada orang dengan infeksi HIV di Nigeria dengan HIV Infeksi (n=87) menyelesaikan kuesioner sosiodemografi dan variabel terkait HIV. Subyek dinilai untuk diagnosis depresi menggunakan Wawancara Mini Internasional Neuropsikiatrik (MINI) dan kesehatan subyektif mereka terkait kualitas hidup (QOL) dinilai menggunakan versi pendek dari skala kualitas hidup WHO (WHOQOL-BREF). Ditemukan 27,8% pasien HIV mengalami depresi seluruhnya memiliki kualitas hidup yang buruk.

Penelitian Ginting (2009) yang mengkaji hubungan konstruk kepemimpinan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Rujukan Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 menyebutkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS sewaktu-waktu dapat memburuk karena, penyakit HIV berubah menjadi penyakit kronis, adanya dampak mengkonsumsi obat Anti Retro


(36)

Viral (ARV) seumur hidup, kegagalan terapi, infeksi oportunistik, depresi, dijauhi masyarakat, semua hal tersebut di atas mempengaruhi kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti di RSU.P.H.Adam Malik Medan selama 3 bulan terakhir yaitu bulan Oktober sampai dengan Desember 2013 jumlah pasien HIV/AIDS sebanyak 120 orang yang dirawat inap, sebanyak 20 orang setiap hari. Dari 120 orang pasien HIV/AIDS sebanyak 80 orang setelah mengetahui diagnosa penyakit HIV/AIDS keluarga tidak datang lagi ke rumah sakit. Sebagian besar pasien HIV/AIDS mempersepsikan tingkat kualitas hidupnya rendah. Oleh karena itu, hal ini memerlukan perhatian khusus dari keluarga dan tenaga kesehatan.

Pelaporan dan pencatatan VCT PUSYANSUS RSUP.H. Adam Malik Medan, pada tahun 2011 penderita positif HIV sebanyak 381 orang laki-laki dan 167 orang perempuan dan yang didampingi kelurga saat konseling hanya 125 orang. Pada tahun 2012 penderita positif HIV sebanyak 337 orang laki-laki dan 195 orang perempuan dan yang didampingi saat konseling hanya 150 orang. Dan pada tahun 2013 penderita positif HIV sebanyak 409 orang laki-laki dan perempuan sebanyak 181 orang dan yang didampingi keluarga sebanyak 110 orang.

Dari beberapa kajian riset sebelumnya, belum ada penelitian yang mengkaji secara khusus mengenai hubungan dukungan keluarga dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Maka, belum diketahui secara jelas faktor mana diantara dukungan keluarga dan depresi yang mempengaruhi


(37)

kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Sedangkan hal tersebut sangat diperlukan sebagai acuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan yang dapat lebih berkontribusi positif untuk pasien HIV/AIDS khususnya yang menjalani perawatan di RSUP.H.Adam Malik Medan. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk meneliti fenomena masalah ini.

1.2 Permasalahan

Aspek kualitas hidup pasien HIV/AIDS sangat penting untuk diperhatikan karena penyakit ini bersifat kronis dan progresif sehingga berdampak luas pada masalah fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Masalah psikososial depresi merupakan faktor yang berpengaruh pada penurunan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Selain itu, dukungan keluarga yang non suportif juga dapat menyebabkan kualitas hidup yang rendah bagi pasien HIV/AIDS. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui faktor mana di antara depresi dan dukungan keluarga yang paling mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Hal ini diharapkan dapat memberikan acuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan yang lebih berkontribusi positif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Mengacu kepada fenomena diatas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan dukungan keluarga dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan.


(38)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi karakteristik pasien HIV/AIDS di RSUP. H.Adam Malik Medan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status marital, pekerjaan, penghasilan, suku, lama menderita penyakit.

b. Untuk mengetahui hubungan dukungan informasi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan.

c. Untuk mengetahui hubungan dukungan penilaian dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan.

d. Untuk mengetahui hubungan dukungan instrumental dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan.

e. Untuk mengetahui hubungan dukungan emosional dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP. H.Adam Malik Medan

f. Untuk mengetahui hubungan jaringan sosial dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP. H.Adam Malik Medan.

g. Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan

h. Untuk mengetahui hubungan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan


(39)

1.4. Hipotesis

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan dukungan keluarga dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Pelayanan

a. Menambah pengetahuan dan kesadaran perawat tentang pentingnya memperhatikan aspek psikososial pada penanganan pasien HIV/AIDS sehingga pelayanan yang diberikan semakin berkualitas dan professional. b. Sebagai bahan masukan agar perawat memberikan asuhan keperawatan

secara holistic bio-psiko-sosio-spiritual sehingga akan meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS secara menyeluruh.

c. Sebagai bahan acuan dalam mengemban intervensi keperawatan yang dapat lebih berkontribusi positif pada pasien HIV/AIDS khusus masalah psikososial (dukungan keluarga dan depresi) untuk dapat meningkatkan kualitas hidup secara optimal.

1.5.2 Bagi Pendidikan

Penelitian ini dapat menambah keilmuan keperawatan tentang hubungan antara aspek psikososial (dukungan keluarga dan depresi) dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.


(40)

1.5.3 Bagi Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang sama.


(41)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Dukungan Keluarga

2.1.1 Pengertian Dukungan Keluarga

Keluarga merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, dimana masing-masing mempunyai peranan didalamnya (Hurlock, 1999). Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998).

Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat, serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis (Soetjiningsih, 1995). Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 1995).

Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan


(42)

membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Friedman, 1992).

2.1.2 Fungsi Keluarga

Menurut Friedman, Bowden dan Jones (2003), ada lima fungsi keluarga yaitu : a) Fungsi afektif : Gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga lain, saling menghargai dan kehangatan di dalam keluarga. b) Fungsi sosialisasi : Interaksi atau hubungan dalam keluarga, bagaimana keluarga belajar disiplin, norma, budaya dan perilaku. c) Fungsi kesehatan : Sejauhmana keluarga menyediakan pangan, perlindungan dan merawat anggota yang sakit, sejauhmana pengetahuan tentang masalah kesehatan, kemampuan keluarga untuk melakukan 5 tugas kesehatan dalam keluarga serta kemauan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan yang sedang dihadapi. d) Fungsi ekonomi : Keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan. Keluarga memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan keluarga. Hal yang menjadi pendukung keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas mencakup fasilitas fisik, fasilitas psikologis atau dukungan dari masyarakat setempat. e) Fungsi perawatan kesehatan, yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga.


(43)

2.1.3 Jenis Dukungan Keluarga

Caplan (1964 dalam Friedman, 1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa jenis dukungan yaitu: 1) Dukungan informasional : Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. 2) Dukungan penilaian : Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian. 3) Dukungan instrumental : Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. 4) Dukungan emosional : Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. 5) Dukungan jaringan sosial (Network support) : Dukungan ini tampil dalam kondisi dimana seseorang menjadi bagian dari komunitas yang memiliki kesamaan dalam bentuk minat, perhatian, kepentingan dan kegiatan yang disukai (Cohen dan Wills,1997). Dukungan ini merupakan berfungsi dalam keluarga yang bertujuan


(44)

untuk mengembangkan dan tempat melatih anggota keluarga untuk berkehidupan sosial (Friedman, Bowden, & Jones 2003)

Dukungan keluarga berperan dalam menjaga dan mempertahankan integritas seseorang baik fisik maupun psikologis. Orang dalam keadaan stres akan mencari dukungan sosial dari orang lain sehingga dengan adanya dukungan sosial dapat mengurangi stres dan depresi (Deux & Wrightman, 1998 dalam Taylor, 2006).

2.1.4. Sumber Dukungan Keluarga

Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).

2.1.5. Manfaat Dukungan Keluarga

Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan


(45)

berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998). Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek-efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan & Austin dalam Friedman, 1998).

2.1.6. Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

Menurut Feiring dan Lewis (1984) dalam Friedman (1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman perkembangan anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian dari pada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orang tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia. Menurut Friedman (1998), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau


(46)

pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari pada orang tua dengan kelas sosial bawah.

2.2 Depresi

2.2.1 Pengertian Depresi

Depresi merupakan salah satu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga, merasa kosong, dan tidak ada harapan, berpusat pada kegagalan dan menuduh diri, dan sering disertai iri dan pikiran bunuh diri, klien tidak berminat pada pemeliharaan diri dan aktivitas sehari-hari (Keliat, 1996). Salah satu masalah emosional terbesar yang dihadapi ODHA adalah depresi (Douaihy, 2001).

2.2.2 Penyebab Depresi

Etiologi depresi yang pasti belum diketahui. Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan terjadinya depresi adalah 1) berbagai penyakit fisik, 2) faktor psikis, 3) faktor sosial dan lingkungan, 4) faktor obat, 5) faktor usia, dan 6) faktor genetik.

Kelainan fundamental dan kelompok gangguan alam perasaan yang membedakan dengan kelompok gangguan kejiwaan lainnya adalah adanya perubahan suasana perasaan (mood), biasanya ke arah depresi (dengan atau tanpa


(47)

anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi. Perubahan efek ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktifitas, dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut. (Muslim, 2001)

Depresi yang pada pasien HIV/AIDS disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : 1). Invasi virus HIV ke susunann saraf pusat, yang bakan menghasilkan perubahan neuropatologis pada basal ganglia, talamus, nukleus batang otak yang memyebabkan disfungsi dan akan terjadi gangguan mood dan motivasi. 2). Efek samping penggunaan anti retroviral virus. 3). Komplikasi HIV/AIDS. 4). Perubahan psikologis setelah menderita HIV/AIDS mengalami reaksi penolakan dari keluarga, pekerjaan dan bahkan masyarakat.

2.2.3 Gejala Depresi

Untuk menegakkan diagnosa depresi seseorang, maka yang dipakai pedoman adalah ada tidaknya gejala utama dan gejala penyerta lainnya, lama gejala yang muncul, dan ada tidaknya episode depresi ulang (Rusdi Maslim, 2001). Sebagaimana tersebut berikut ini : 1). Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat yang mencakup: a) afek depresi, b) kehilangan minat dan kegembiraan, c) berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan yang mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. 2). Gejala penyerta lainnya mencakup: a) konsentrasi dan perhatian berkurang, b) harga diri dan kepercayaan diri berkurang, c) gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, d) pandangan masa depan yang suram dan pesimistis,


(48)

e) gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, f) tidur terganggu, g) nafsu makan berkurang.

Untuk episode depresi dan ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis depresi ringan, sedang dan berat hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresi berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresi berulang.

1) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Ringan adalah (1) sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas,(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya, (3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu, (4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya. 2) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Sedang adalah (1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama. (2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya. (3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu. (4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga. 3) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik adalah (1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada, (2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat, (3) Bila ada gejala penting (misal retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu


(49)

untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan, (4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. 4) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik

biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.

Hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan hubungan yang sangat kompleks, disatu sisi depresi dapat timbul karena HIV/AIDS dan di sisi lain depresi terjadi karena proses perjalan dari penyakit HIV/AIDS sendiri.

2.2.4 Alat Ukur (Skala) Depresi

Skrining rutin psikiatrik pada pasien HIV/AIDS dapat dilakukan. Beck Depression Inventory (BDI) dikembangkan untuk mengukur manifestasi prilaku depresi pada remaja dan dewasa, dan telah didesain untuk menstandarisasi penilaian keparahan depresi sehingga dapat dimonitor sepanjang waktu. BDI diperoleh dari observasi pasien depresi dalam sepanjang perjalanan psikoterapi psikoanalitik.


(50)

BDI terdiri dari 21 item yang masing-masing dengan empat pernyataan dan pernyataan tersebut menjelaskan keparahan simtom depresi. Keperahan simtom depresi diurutkan dari nilai 0 tidak, nilai 1 ringan, nilai 2 sedang dan nilai 3 berat. Tingkat nilai keparahan depresi diklasifikasikan berdasarkan simtom yang dirasakan oleh pasien, Srokoring : Beck Depression Scale:

Tabel 2.1: Beck Depression Scale

NILAI TOTAL TINGKATAN DEPRESI

1-10 Naik turunnya perasaan ini tergolong wajar

11-16 Gangguan “mood” atau perasaan murung yang ringan 17-20 Garis batas depresi klinis

21-30 Depresi sedang 31-40 Depresi parah 40 Ke atas Depresi ekstrim

2.3. Kualitas Hidup

2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup

Pemahaman mengenai kualitas hidup akan semakin baik dengan terlebih dahulu menelaah apa sebenarnya defenisi dari kualitas hidup tersebut. Sampai sekarang ini, kualitas hidup masih menjadi satu permasalahan, dan pengertian dari kualitas hidup sampai sekarang belum dapat diterima secara universal untuk menilai kualitas hidup seseorang. Kinghorn dan Gamlin (2004) mendefenisikan kualitas hidup sebagai suatu ide yang abstrak dan tidak terkait dengan tempat atau waktu, bersifat situasional dan meliputi berbagai konsep yang saling tumpang


(51)

tindih. Pandangan lain dikemukakan oleh Cella (1998) bahwa kualitas hidup seseorang tidak dapat didefenisikan dengan pasti, hanya orang tersebut yang dapat mendefenisikannya, karena kualitas hidup merupakan yang bersifat subjektif.

Pemahaman yang lebih jelas akan kualitas hidup adalah seperti yang dikemukakan oleh Ventegodt (2003), bahwa kualitas hidup dapat berarti kehidupan yang baik dan kehidupan yang baik mempunyai kualitas yang tinggi. Pandangan yang lebih umum terkait dengan kualitas hidup dikemukakan oleh Donner dkk (1997) bahwa kualitas hidup secara umum adalah keadaan individu dalam lingkup kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dan menjalankan macam-macam perannya secara memuaskan.

Kualitas hidup adalah keadaan yang dipersepsikan terhadap keadaan seseorang sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan dan niatnya. Dikutip dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999), Kualitas hidup mencakup : a) gejala fisik, b) kemampuan fungsional (aktivitas), c) Kesejahteraan keluarga, d) spiritual, e) fungsi sosial, f) kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan), g) orientasi masa depan, h) kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri, i) fungsi dalam bekerja.

Kualitas hidup (QOL) adalah istilah yang populer digunakan untuk menyampaikan rasa keseluruhan kesejahteraan dan meliputi aspek-aspek seperti kebahagian dan kepuasan dengan kehidupan secara keseluruhan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendefenisikan kualitas hidup sebagai “persepsi


(52)

individu dari posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan kaitannya dengan tujuan mereka, standar, harapan dan kekhawatiran (Basavaraj, M.Navya & Rashmi, 2010).

2.3.2 Hubungan Kesehatan dengan Kualitas Hidup

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No.23/1992 tentang kesehatan). Kesehatan adalah kebutuhan dasar dan modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang terbaik. Menurut Basavaraj, Navya, dan Rashmi (2010) menjelaskan dukungan sosial bagi penderita HIV/AIDS memiliki menunjukkan potensi yang kuat untuk mempengaruhi HRQOL. Tiga komponen utama dari dukungan sosial emosional, nyata, dan dukungan informasi. ARV mampu meningkatkan kelangsungan hidup, mengurangi terjadinya infeksi oportunistik terkait HIV, dan meningkatkan kualitas hidup pasien dan bahkan denial telah terbukti berkorelasi dengan harga diri rendah dan depresi pada pasien HIV. Memang, mengatasi oleh penolakan mungkin merupakan ekspresi ketidak berdayaan, kemarahan, atau depresi, dan pasien ini mungkin, pada kenyataannya, membutuhkan intervensi psikologis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi

Ada beberapa faktor yang menentukan kualitas hidup yakni jenis kelamin, umur, etnis/ras, status pernikahan, pendidikan, penghasilan, status


(53)

pekerjaan, asuransi kesehatan serta faktor kesehatan (Nazir, 2006). Faktor yang disebutkan diatas dapat dibagi menjadi dua yakni faktor internal dan eksternal.

Faktor internal yang berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah sebagai berikut :1) jenis kelamin, wanita memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibanding laki-laki, 2) umur, penduduk dengan usia >75 tahun (33,2%) mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan dengan usia muda 18-24 tahun, 3) etnis/ras, 4) faktor kesehatan yakni adanya penyakit kronis yang dialami penderita (Nazir, 2006).

2.3.4. Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS

Kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.

Loren, et al (2010) melakukan penelitian mengenai gejala penyakit dengan kualitas hidup penderita HIV dan menyimpulkan bahwa gejala fisik seperti mual, selera makan yang menurun, batuk lama, sesak nafas, penurunan berat badan, nyeri di perut, diare, nyeri di mata memperburuk kualitas hidup. Dalam hal ini diketahui bahwa penderita HIV dengan gejala yang dialami memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibanding dengan penderita HIV tanpa gejala.


(54)

Dalam penelitian Nojomi, Anbary, dan Ranjbar (2008) diketahui juga bahwa dari beberapa karakteristik demografi yang diteliti secara signifikan berhubungan dengan kualitas hidup yaitu jenis kelamin, perempuan dengan HIV/AIDS memiliki kualitas hidup lebih buruk dibandingkan dengan pria, status marital, tingkat pendidikan, dan bekerja mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, lama menderita penyakit, semakin lama menderita sakit kualitas hidupnya semakin buruk, serta nilai korelasinya paling tinggi adalah derajat klinis penyakit.

HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga individu rentan terhadap serangan infeksi opportunistik. Anti Retroviral Virus (ARV) bisa diberikan pada klien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi opportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan klien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup klien HIV/AIDS. Gambaran klinik yang berat, yang mencerminkan kriteria AIDS, baru timbul sesudah jumlah CD-4 kurang dari 200/mm3 dalam darah (Yayasan Spiritia, 2006).

Kondisi umum pada ODHA adalah kelelahan baik secara fisik ataupun psikologis. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi dengan adanya dukungan sosial yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu. Kondisi ini dijelaskan oleh


(55)

Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan me-ngurangi potensi munculnya stress baru atau stress yang berkepanjangan.

2.3.5 Cara Pengukuran Kualitas Hidup

Ada beberapa instrumen yang dikembangkan untuk menilai kualitas hidup, diantaranya ada yang bersifat umum dan ada yang khusus, yaitu sebagai berikut 1) WHO QOL-BREF, 2) SF-36 Health Survey dan 3) WHQOL-HIV BREF.

Untuk pengukuran kualitas hidup penderita HIV/AIDS dalam penelitian ini menggunakan WHQOL-HIV BREF. Ini merupakan instrumen yang dikembangkan oleh WHO untuk mengkaji kualitas hidup pada penderita HIV/AIDS yang disesuaikan dengan kondisi penderita. Instrumen ini terdiri dari 31 item pertanyaan yang meliputi dua pertanyaan tentang kualitas hidup, dan kesehatan secara umum dan sisanya mencakup 6 domain yakni 1) domain fisik terdiri dari 4 pertanyaan (nyeri dan discomfort, energi dan fatique, tidur dan istirahat, gejala penyakit), 2) domain psikologis (mencakup 5 pertanyaan (perasaan positif dan negatif, harga diri, proses berpikir, proses belajar, memori dan konsentrasi, bodyimage), 3) tingkat kemandirin (meliputi 4 pertanyaan (kemandirian mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada pengobatan, kapasitas kerja), 4) hubungan sosial (terdiri dari 4 pertanyaan (hubungan personal, dukungan sosial, aktivitas seksual, penerimaan sosial), 5) lingkungan (yang terdiri dari 8 pertanyaan (keamanan fisik, lingkungan rumah, sumber finansial, pelayanan kesehatan, kemudahan mendapat informasi, kesempatan untuk


(56)

aktivitas rekreasi, lingkungan fisik; polusi, bising, transportasi) dan 6) spiritual/religi/keyakinan personal (yang terdiri dari 4 pertanyaan (spiritual, pengampunan, kepedulian terhadap masa depan dan kematian).

2.4 HIV/AIDS

2.4.1 Pengertian HIV/AIDS

AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome merupakan gejala penyakit akibat menurunya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh masuknya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retrovirdae ke dalam tubuh seseorang (Sudoyo, dkk, 2007). Price dan Wilson (2006) menyebutkan bahwa AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh faktor luar (bukan dibawa sejak lahir). AIDS diartikan sebagai bentuk yang paling berat dari keadaan sakit terus-menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) mulai dari kelainan ringan dalam respons imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian.

2.4.2 Etiologi

Kasus AIDS pertama kali ditemukan Centre of Disease Control (CDC) Amerika serikat tahun 1981 pada lima pemuda homoseksual yang menderita peradangan paru pneumocystic carinii di California. Pada tahun 1983, Luc Montagnier dkk dari Institut Pasteur Perancis, telah menemukan penyebab AIDS


(57)

yang disebut Lymphadenophaty Associated Virus (LAV) karena virus ini dapat menyebabkan limfadenopati pada penderita. Penelitian mengenai virus penyebab AIDS kemudian dilanjutkan oleh Robert Gallo, pada Maret 1984, yang menemukan adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung dan produktif pada pasien setelah terinfeksi virus, sehingga disebut Human T-cell Lymphotropic Virus Type III (HLTV-III). Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga pada bulan Mei tahun 1986, Komisi Taksonomi WHO (The International Community on Taxonomy of Viruses) sepakat untuk memberikan nama baru ntuk virus penyebab AIDS, yaitu HIV.

HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan kelumpuhan sistem kekebalan tubuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS.

Virus ini berbentuk sferikal dengan diameter 120 nanometer dan sekitar 60 kali lebih kecil dibandingkan sel eritrosit. HIV terdiri atas dua bagian besar yaitu; bagian inti yang terdiri atas rantai RNA, protein inti, dan enzim reverse transcriptase yang memungkinkan virus untuk mengubah informasi genetiknya


(58)

yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang (memanfaatkan sel limfosit untuk menggandakan diri menghasilkan virus baru); dan bagian selubung virus yang terdiri dari lipid, dan glikoprotein gp120 dan gp41.

Gambar 2.1 : Struktur HIV

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein gp120 pada molekul CD4, yang kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41, yang juga terdapat pada permukaan membran virus. Terjadilah awal mula infeksi HIV pada tubuh hospes. (Merati, 1999)

HIV dapat ditemukan pada darah, semen, ASI, dan sekret vagina. Pada cairan-cairan inilah virus dapat ditularkan. Selain itu, HIV juga dapat ditemukan pada saliva, air mata, urin, cairan serebrospinal, dan cairan amnion, tetapi tidak


(59)

bersifat menularkan. Transmisi HIV dapat terjadi melalui kontak atau pencampuran dengan cairan tubuh yang mengandung virus, seperti: melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan pengidap HIV, menggunakan jarum suntik atau alat tusuk lain (akupuntur, tindik, tato) yang telah terkontaminasi virus HIV, kontak kulit atau membran mukosa dengan darah dan produk darah yang telah terkontaminasi HIV, menerima transplantasi organ atau jaringan termasuk tulang atau transfusi darah dari penderita HIV, dan penularan dari ibu hamil pengidap HIV kepada janin saat kehamilan, proses kelahiran, maupun saat menyusui. (Merati, 1999)

2.4.3 Patogenesis

Menurut The Center of Disease Control (CDC), setelah terpapar HIV, penderita tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis AIDS. Ada beberapa tahapan infeksi HIV sampai timbulnya manifestasi klinis; yaitu tahap infeksi HIV akut, infeksi HIV asimtomatik (masa laten) yang tidak menimbulkan gejala, limfadenopati (radang kelenjar getah bening) yang persisten dan menyeluruh, sampai akhirnya timbul tanda-tanda penyakit yang menakutkan pada pasien, yaitu tahap AIDS.

a. Infeksi HIV akut

Sekitar dua sampai enam minggu setelah terinfeksi (biasanya dua minggu), akan terjadi sindrom retroviral akut. Lebih dari setengah orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer yang bervariasi seperti demam, adenopati, faringitis, kelainan kulit, diare, sakit kepala, mual dan muntah,


(60)

hepatosplenomegali, penurunan berat badan, gangguan jamur di rongga mulut, dan gejala neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang kepala, depresi). Gejala ini tidak spesifik pada infeksi HIV saja, tetapi juga akan terjadi pada infeksi retrovirus lain. Setelah dua sampai enam minggu gejala dapat menghilang disertai serokonversi, dengan atau tanpa pengobatan. Setelah terinfeksi HIV, ada saat dimana pemeriksaan serologi antibodi HIV terhadap pasien menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam tubuh hospes. Fase ini disebut periode jendela (window period), yaitu penderita sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodinya menunjukkan hasil negatif. Periode ini dapat berlangsung selama tiga sampai dua belas minggu. b. Infeksi HIV asimtomatik (masa laten)

Terdapat jeda waktu yang panjang pada pasien, yang mana pasien tidak mengalami manifestasi fisik dari infeksi, tapi tetap anti-HIV positif. Sebagian besar pengidap HIV berada pada fase laten ini tidak terlihat gejala pada pasien. Penderita terlihat sehat, dapat melakukan aktivitas secara normal, namun sudah dapat menularkan virus kepada orang lain. Jumlah virus di dalam darah dan jaringan limfoid pasien berada dalam batas rendah dan jumlah CD4 limfosit masih berada dalam batas normal. Masa laten klinis ini dapat terjadi selama dua minggu sampai delapan tahun atau lebih.

c. Limfadenopati persisten yang menyeluruh

Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan dengan adanya nodus limfe yang berdiameter lebih dari satu sentimeter pada dua atau beberapa daerah ekstra inguinal selama lebih dari tiga bulan, tetapi tidak


(61)

terdapat penyakit atau kondisi lain selain infeksi HIV yang menjelaskan alasan dari keadaan tersebut.

d. Infeksi HIV simtomatik (AIDS)

Pada fase ini terjadi perubahan progresif dalam pengaturan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh limfopenia sel-T, dan berkurangnya fungsi T-cell helper ini yang mengakibatkan AIDS berkembang sepenuhnya. Penyakit ini ditandai oleh infeksi-infeksi oportunistik dan kerentanan terhadap bentuk–bentuk kanker tertentu. Jumlah CD4 pasien sudah berada pada taraf kritis, hingga dibawah 200sel/ul darah. Beberapa penyakit yang dapat timbul pada pasien seperti di bawah ini : a) Subgrup A : Penyakit Konstitusional : Gejala-gejala seperti demam atau diare yang persisten selama lebih dari satu bulan atau penurunan berat badan yang lebih dari 10% dari berat ideal pasien sebelum sakit, yang tidak terdapat infeksi atau penyakit lain yang dapat menjelaskan alasan keadaan tersebut, selain infeksi HIV/AIDS. b) Sub grup B : Penyakit Neurologi : Banyak pasien yang mengalami simtom neurologi sebelum mengalami tanda infeksi HIV lainnya. Pada mulanya pasien akan mengalami kehilangan memori, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan letargi. Tanda awal tersebut sering dianggap sebagai suatu depresi dan biasanya diabaikan, sampai akhirnya berkembang menjadi gangguan yang lebih dramatis seperti demensia yang hebat dan keterbelakangan psikomotor. Gangguan motoris pada mulanya terlihat dari hilangnya koordinasi, tremor, langkah yang goyah, dan bahkan dapat berkembang menjadi ataksia dan paraplegia yang hebat. c) Sub grup C : Penyakit Infeksi Sekunder (Infeksi Oportunistik) : Organisme yang relatif nonvirulen dalam tubuh


(62)

dapat mengakibatkan infeksi yang hebat dan mengancam jiwa pada pasien yang sistem imunnya sudah rusak akibat HIV. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai antara lain Pneumonia pneumositis cranii, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, tuberkulosis, kandidiasis rongga mulut, dan lain sebagainya. D) Sub grup D : Kanker Sekunder : Diagnosis dari satu atau beberapa kanker yang terbukti mempunyai hubungan dengan infeksi HIV merupakan indikator dari hilangnya imunitas sel sebagai mediator. Infeksi kanker sekunder yang sering terjadi adalah Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, atau limfoma primer dari otak. E) Sub grup E : keadaan lain pada Infeksi HIV : Tanda klinis dari penyakit, yang tidak diklasifikasikan seperti di atas, dapat berperan pada infeksi HIV dan merupakan indikator dari cacat pada imunitas sel sebagai mediator pasien, simtom yang berhubungan dengan infeksi HIV termasuk Pneumositis interstisial limfoid kronis dan simtom-simtomnya, dan penyakit infeksi sekunder dan neoplasma lain yang tidak tercantum di atas. (Merati, 1999)

2.4.4 Pemeriksaan HIV

Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV. Mendeteksi adanya virus HIV didalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus deteksi materi genetik dalam darah pasien (Sudoyono,dkk,2007). 1). ELISA metode yang biasanya digunakan di Indonesia. Sebagai penyaring digunakan tehnik ELISA, aglutinasi, atau dot-blot immunobinding assay. Untuk pemeriksaan antibodi HIV. 2).Western Blot (WB), pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi HIV, biasanya setelah


(63)

penyaringan hasilnya reaktif lalu dilakukan WB. 3). Tes anti bodi HIV adanya masa jendela. Masa jendela waktunya sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbul antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk 4-8 minggu setelah terinfeksi. Jika hasil tes negatif pada seseorang yang terinfeksi HIV, maka perlu dilakukan pemeriksaan pengulangan 3 bulan berikutnya. 4). Adanya konseling pra tes pada seseorang yang ingin menjalani tes HIV, agar mendapatkan informasi yang jelas mengenai infeksi HIV/AIDS. 5).Untuk memberi hasil diberikan konseling pasca tes, baik hasil negatif ataupun positif. Jika hasil positif diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa hidup tanpa gejala serta pencegahan penularan. Bila negatif diberikan informasi untuk mempertahankan prilaku yang tidak beresiko.

2.4.5 Tanda dan Gejala

Pada pasien HIV primer akut lamanya 1-2 minggu pasien akan merasakan flu. Dan pada fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit, limpadenopati, penurunan kognitif, dan lesi oral (Price & Wilson, 2006) Fase infeksi HIV menjadi AIDS (bervariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala oportunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carrinii (PCC), pneumonia, meningitis, kandidiasis, cytimegalovirus, mikrobakterial, dan tipikal (Price & Wilson 2006). Secara umum gejala AIDS dibagi menjadi 2 kelompok yaitu mayor dan minor, oleh WHO


(64)

diagnosis AIDS dapat ditegakkan bila ditemukan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor (Merati, 1999).

2.5 Teori Keperawatan

Keperawatan merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang profesional, bersifat holistik dan komprehensif yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik dalam keadaan sehat maupun sakit melalui kiat-kiat keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Pelayanan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat sangat mempengaruhi mutu asuhan keperawatan yang akan diterima oleh klien. Oleh karena itu untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas maka perawat perlu mengembangkan ilmu dan praktik keperawatan salah satunya melalui penggunaan model konseptual dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien (Muhlisin & Irdawati, 2012).

Berbagai model konseptual keperawatan yang telah dikembangkan oleh para ahli, salah satunya adalah Self Care Defisit oleh Dorothea Orem. Fokus utama dari model konseptual ini adalah kemampuan seseorang untuk merawat dirinya sendiri secara mandiri sehingga tercapai kemampuan untuk mempertahankan kesehatan dan kesejahteraannya.

2.5.1. Konsep Self-Care Dorothea Orem

Selama tahun 1958-1959 Dorothea Orem sebagai seorang konsultan pada bagian pendidikan Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan dan


(65)

berpartisipasi dalam suatu proyek pelatihan peningkatan praktek perawat (vokasional). Pekerjaan ini menstimulasi Orem untuk membuat suatu pertanyaan : “Kondisi apa dan kapan seseorang membutuhkan pelayanann keperawatan?” Orem kemudian menekankan ide bahwa seorang perawat itu adalah “Diri sendiri”. Ide inilah yang kemudian dikembangkan dalam konsep keperawatannya “Self Care”. Pada tahun 1959 konsep keperawatan Orem ini pertama sekali dipublikasikan. Tahun 1965 Orem bekerjasama dengan beberapa anggota fakultas dari Universitas di Amerika untuk membentuk suatu Comite Model Keperawatan (Nursing Model Commitee, 2006).

Orem Kemudian mengembangkan konsep keperawatanya “self care” dan pada tahun 1971 dipublikasikan Nursing; Concepts of Practice. Pada edisi pertama fokusnya terhadap individu, sedangkan edisi kedua (1980), menjadi lebih luas lagi meliputi multi person unit (keluarga, kelompok dan masyarakat). Edisi ketiga (1985) Orem menghadirkan General Theory Keperawatan dan pada edisi keempat (1991) Orem memberikan penekanan yang lebih besar terhadap anak-anak, kelompok dan masyarakat.

2.5.2. Teori Self-Care

Untuk memahami tentang teori perawatan diri, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri (self-care agency), faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic conditioning factors), dan terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care demand).


(66)

Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah kemampuan individu untuk terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan diri (basic conditioning factor) yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi.

Teori self-care tidak terlepas dari syarat perawatan diri (self-care requisites), yaitu aspek yang menentukan tingkat pemenuhan perawatan diri. Self-care requisites terdiri dari tiga kategori ;

1. Universal self-care requisites

Aspek universal ini berhubungan dengan proses hidup atau kebutuhan dasar manusia, yaitu : a) Pemeliharaan kebutuhan udara/oksigen, b) Pemeliharaan kebutuhan air, c) Pemeliharaan kebutuhan makanan, d) Perawatan proses eliminasi dan ekskresi, e) Pemeliharaan keseimbangan aktivitas dan istirahat, f) Pemeliharaan keseimbangan privasi dan interaksi sosial, g) Pencegahan resiko yang mengancam kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan, h) Peningkatan kesehatan dan pengembangan potensi dalam hubungan sosial

2. Developmental self-care requisites

Berbeda dengan universal self-care requisites, developmental self-care requisites terbentuk oleh adanya : a) Perbekalan kondisi yang meningkatkan pengembangan, b) Keterlibatan dalam pengembangan diri, c) Pengembangan pencegahan dari efek yang mengancam kehidupan. Pengembangan aspek


(67)

perawatan diri berhubungan dengan pola hidup individu yang dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya.

3. Health deviation self-care

Perawatan diri berkaitan dengan penyimpangan kesehatan. Timbul akibat adanya gangguan kesehatan dan penyakit. Hal ini menyebabkan perubahan kemampuan individu dalam proses perawatan diri.


(68)

2.6 Kerangka Teori

Sumber : Diadopsi dan dimodifikasi dari konsep dukungan keluarga (2000, dalam Smet, 2004) dan kualitas hidup (Nazir, 2006).

Informasi tentang HIV/AIDS Cara penularan Terinfeksi Virus

Pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS

Stigma Masyarakat Daya tahan tubuh berkurang

Diskriminasi pada masyarakat

Support System

Dukungan keluarga Kondisi stressful

Self Care

Kehilangan minat beraktivitas

Mekanisme koping

Kepatuhan pada terapi

Cenderung menarik diri

Depresi

Usia, jenis kelamin, status marital, pendidikan, pekerjaan, penghasilan

Ketidak mampuan membangun hubungan interpersonal

Modulasi sitem imun

Kesejahteraan sosial, psikologis dan spiritual terganggu

CD4, sel NK, semakin menurun, viral meningkat

Perubahan Jumlah Leukosit

Kualitas Hidup Kesejahteraan

fisik terganggu

Kondisi fisik memburuk

Percepatan

perjalanan penyakit menjadi lebih singkat


(69)

2.4.7.Kerangka Penelitian

Untuk menggambarkan hubungan variabel independen terhadap variabel dependen digambarkan dalam alur penelitian, digambarkan pada gambar 2.3.

Gam

Gambar 2.3. Kerangka Penelitian

Dukungan Keluarga:

1. Dukungan Informasional 2. Dukungan Penilaian 3. Dukungan Instrumental 4. Dukungan Emosional

5. Dukungan Jaringan Sosial Kualitas Hidup

Depresi

Karakteristik Responden: 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Agama 4. Pendidikan 5. Status Marital 6. Suku

7. Pekerjaan 8. Penghasilan 9. Lama Terinfeksi


(70)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional yang menekankan pada proses pengambilan data variabel independen dan dependen yang hanya satu kali pada waktu yang sama.

3.2 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan, yang beralamat di Jalan Bunga Lau Medan. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juni s/d Juli 2014.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Alimul, 2003). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah pasien HIV/AIDS yang dirawat di RSUP.H.Adam Malik Medan. Populasi penelitian ini adalah semua pasien HIV/AIDS sebanyak 120 orang selama 3 bulan terakhir.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi yang akan diteliti yang dapat ditentukan melalui metode sampling, sedangkan metode sampling adalah


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)