Hubungan antara Tidur Larut Malam dengan terjadinya Akne Vulgaris di kalangan Mahasiswa FK USU Angkatan 2011-2013

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Akne Vulgaris

2.1.1 Definisi
Akne Vulgaris adalah penyakit peradangan kronik folikel pilosebasea yang
ditandai dengan adanya komedo, papula, pustula, dan kista. Tempat predileksi
terjadi akne vulgaris adalah pada daerah yang padat kelenjar minyak seperti
wajah, bahu, bagian atas dari ekstremitas superior, dada, dan punggung. Akne
vulgaris menjadi masalah pada hampir semua remaja. Acne minor adalah suatu
bentuk akne yang ringan, dan dialami oleh 85% para remaja. Gangguan ini masih
dapat dianggap sebagai proses fisiologik. Lima belas persen remaja menderita
Acne major, yang cukup hebat sehingga mendorong mereka untuk berobat ke
dokter (Widjaja, 2013).

2.1.2

Epidemiologi

Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka sering

dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Kligman
mengatakan bahwa tidak ada seorang pun (artinya 100%), yang sama sekali tidak
pernah menderita penyakit ini. Penyakit ini memang jarang terdapat pada waktu
lahir, namun ada kasus yang terjadi pada masa bayi. Umumnya insidens terjadi
pada sekitar umur 14-17 tahun pada wanita, 16-19 tahun pria dan pada masa itu
lesi yang dominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang
(Wasitaatmadja, 2010).
Pada seorang gadis akne vulgaris dapat terjadi pada masa premenarche.
Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang. Namun kadang-kadang,
terutama pada wanita, akne vulgaris menetap sampai dekade umur 30-an atau
bahkan lebih. 12% pada wanita dan 5% pada pria diusia 25 tahun memiliki akne.
Bahkan pada usia 45 tahun, 5% pria dan wanita memiliki akne (Fulton, 2009).
Meskipun pada pria umumnya akne vulgaris lebih cepat berkurang, namun
pada penelitian diketahui bahwa justru gejala akne vulgaris yang berat biasanya

Universitas Sumatera Utara

terjadi pada pria. Diketahui pula bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih

jarang menderita akne vulgaris dibanding dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika),
dan lebih sering terjadi nodul-kistik pada kulit putih daripada negro. Akne
vulgaris mungkin familial, namun karena tingginya prevalensi penyakit hal ini
sukar dibuktikan. Dari sebuah penelitian diketahui bahwa mereka yang bergenotip
XYY mendapat akne vulgaris yang lebih berat (Wasitaatmadja, 2010).

2.1.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi banyak faktor yang berpengaruh.
1. Sebum
Sebum merupakan faktor utama penyebab timbulnya akne. Akne yang keras
selalu disertai pengeluaran sebore yang banyak (Widjaja, 2013).
2. Bakteria
Mikroba yang terlibat pada terbentuknya jerawat adalah Corynebacterium
acnes, Staphylococcus epidermis, dan Pityosporum ovale. Dari ketiga mikroba
ini, yang terpenting yakni C. acnes, yang bekerja secara tak langsung (Widjaja,
2013).
3. Herediter
Faktor herediter/genetik sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar
palit (glandula sebacea). Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas
akne, kemungkinan besar anaknya akan menderita akne (Widjaja, 2013).

4. Hormon, diantaranya
a) Hormon androgen
Hormon ini memegang peranan yang penting karena kelenjar palit sangat
sensitif terhadap hormon ini. Hormon androgen berasal dari testis dan
kelenjar anak ginjal (adrenal). Hormon ini menyebabkan kelenjar palit
bertambah besar dan produksi sebum meningkat (Widjaja, 2013).
b) Estrogen
Pada keadaan fisiologik, estrogen tidak berpengaruh terhadap produksi
sebum. Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari
kelenjar hipofisis. Hormon gonadotropin mempunyai efek menurunkan

Universitas Sumatera Utara

produksi sebum (Widjaja, 2013).
c) Progestron
Progestron, dalam jumlah fisiologik, tidak mempunyai efek pada efektifitas
terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama siklus menstruasi,
akan

tetapi


kadang-kadang

progestron

dapat

menyebabkan

akne

premenstrual (Widjaja, 2013).
5. Diet
Beberapa pengarang terlalu membesar-besarkan pengaruh makanan terhadap
akne akan tetapi dari penyelidikan terakhir ternyata diet sedikit atau tidak,
berpengaruh terhadap akne (Harahap,2000).
Walaupun beberapa penderita menyatakan akne bertambah parah setelah
mengkonsumsi makanan tertentu. Jenis makanan yang sering dihubungkan
dengan timbulnya akne adalah makanan yang tinggi lemak (kacang, coklat,
daging berlemak, susu, es krim), makanan tinggi karbohidrat (sirup manis),

makanan yang beryodida tinggi (makanan asal laut), makanan cepat saji dan
pedas. Pola makanan yang tinggi lemak jenuh dan tinggi glukosa susu dapat
meningkatkan konsentrasi insulin-like growth factor (IGF-I) yang dapat
merangsang produksi hormon androgen yang meningkatkan produksi jerawat.
6. Iklim
Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne bertambah parah
pada saat musim dingin dan akan membaik pada musim panas.
Sinar ultraviolet (u.v) mempunyai efek membunuh bakteri pada permukaan
kulit. Selain itu, sinar ini juga dapat menembus epidermis bagian bawah dan
bagian atas dermis sehingga berpengaruh pada bakteri yang berada di bagian
dalam kelenjar palit. Sinar u.v juga dapat mengadakan pengelupasan kulit yang
dapat membantu menghilangkan sumbatan saluran pilosebasea (Widjaja,
2013).
Menurut Cunliffe (1989), pada musim panas didapatkan 60 % perbaikan
akne, 20 % tidak ada perubahan, dan 20 % bertambah hebat. Bertambah
hebatnya akne pada musim panas bukan disebabkan oleh sinar ultraviolet,
melainkan oleh banyaknya keringat pada keadaan yang sangat lembab dan
panas tersebut (Widjaja, 2013).

Universitas Sumatera Utara


7. Psikis
Pada beberapa penderita, stres dan gangguan emosi dapat menyebabkan
eksaserbasi akne. Kecemasan menyebabkan penderita memanipulasi aknenya
secara mekanis, sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan timbul lesi
meradang yang baru (Widjaja, 2013).
Stres

psikis

akan

merangsang

hipotalamus

untuk

memproduksi


Corticotropin Releasing Factor (CRF), CRF inilah yang akan menstimulasi
hipofisis anterior, sehingga terjadi peningkatan kadar Adenocorticotropin
Hormon (ACTH). Terjadinya peningkatan kadar ACTH dalam darah akan
menyebabkan aktivitas korteks adrenal meningkat. Salah satu hormon yang
dihasilkan oleh korteks adrenal adalah hormon androgen, sehingga aktivitas
korteks yang meningkat akan mengakibatkan peningkatan kadar hormon
androgen. Jadi, peningakatan hormon androgen ini berperan penting dalam
timbulnya akne (Kurniawan, 2011).
8. Kosmetika
Pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu seperti lanolin, petrolatum, minyak
tumbuh-tumbuhan dan bahan-bahan kimia murni (butil stearat, lauril alkohol,
bahan pewarna merah D dan C, dan asam oleik), secara terus menerus dalam
waktu lama dapat menyebabkan suatu bentuk akne ringan yang terutama terdiri
dari komedo tertutup dengan lesi papulopustular pada pipi dan dagu (Widjaja,
2013).
9. Bahan-bahan kimia
Beberapa macam bahan kimia dapat menyebabkan erupsi yang mirip dengan
akne (acneiform-eruption), antara lain yodida, kortikosteroid, obat anti
konvulsan (difenilhidantoin, fenobarbital dan trimetandion), tetrasiklin, dan
vitamin B12 (Widjaja, 2013).


2.1.4 Patogenesis
Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne :
1. Kenaikan ekskresi sebum
Akne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu kelenjar

Universitas Sumatera Utara

minyak membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak. Pertumbuhan
kelenjar sebasea dan produksi sebum dipengaruhi oleh hormon androgen.
Pada penderita akne terdapat peningkatan hormon androgen dalam darah
yang akan diubah ke dalam bentuk metabolit yang lebih aktif (5-alfa
dihidrotestosteron). Hormon ini akan mengikat reseptor androgen di
sitoplasma yang akan menyebabkan proliferasi sel penghasil sebum (Widjaja,
2013).
Produksi sebum meningkat pada penderita akne disebabkan oleh respon
organ akhir yang berlebihan (end-organ hyperresponse) pada kelenjar sebasea
terhadap kadar normal androgen dalam darah. Terbukti bahwa, pada
kebanyakan penderita, lesi akne hanya ditemukan dibeberapa tempat yang
kaya akan kelenjar sebasea (Widjaja, 2013).

Akne mungkin juga berhubungan dengan komposisi lemak. Sebum
bersifat komedogenik tersusun dari campuran skualen, lilin (wax), ester dari
sterol, kolesterol, lipid polar, dan trigliserida. Pada penderita akne terdapat
kecenderungan mempunyai kadar skualen dan ester lilin (wax) yang tinggi,
sedangkan kadar asam lemak, terutama asam linoleik, rendah. Mungkin hal
ini ada hubungan dengan terjadinya hiperkeratinisasi pada saluran pilosebasea
(Widjaja, 2013).
2.

Keratinisasi folikel
Keratinisasi pada saluran pilosebasea disebabkan oleh adanya penumpukan
korneosit dalam saluran pilosebasea. Penumpukan ini dapat disebabkan oleh
peningkatan produksi korneosit, pelepasan korneosit yang tidak adekuat, atau
pun kombinasi dari kedua faktor tersebut.
Bertambahnya produksi korneosit dari sel keratinosit merupakan salah
satu sifat komedo. Terdapat hubungan terbalik antara sekresi sebum dan
konsentrasi asam linoleik dalam sebum. Menurut Downing, akibat dari
meningkatnya sebum pada penderita akne, terjadi penurunan konsentrasi
asam linoleik. Hal ini dapat menyebabkan defisiensi asam linoleik pada epitel
folikel, yang akan menimbulkan hiperkeratosis folikuler dan penurunan

fungsi barier dari epitel. Dinding komedo lebih mudah ditembus bahan-bahan

Universitas Sumatera Utara

yang menimbulkan peradangan. Walaupun asam linoleik merupakan unsur
penting dalam seramaid-1, lemak lain mungkin juga berpengaruh pada
patogenesis akne. Kadar sterol bebas juga menurun pada komedo sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara kolesterol bebas dengan kolesterol sulfat,
sehinggga adhesi korneosit pada akroinfundibulum bertambah dan terjadi
hiperkeratosis folikel (Widjaja, 2013).
3.

Bakteri
Tiga macam mikroba yang terlibat dalam patogenesis akne adalah
Corynebacterium

Acnes

(Proprionibacterium


Acnes),

Staphylococcus

epidermidis dan Pityrosporum ovale (Malassezia furfur). Tampaknya ketiga
macam bakteri ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis akne.
Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang hidup,
sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme mungkin memegang peranan
penting. Bakteri yang berdiam di dalam folikel (resident bacteria)
mengadakan eksaserbasi tergantung pada lingkungan mikro dalam folikel
tersebut. Menurut hipotesis Saint-Leger skualen yang dihasilkan oleh kelenjar
palit dioksidasi di dalam folikel dan hasil oksidasi ini menjadi penyebab
terjadinya komedo (Widjaja, 2013).
4.

Peradangan
Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan produk yang dihasilkan
oleh Corynebacterium Acnes, seperti lipase, hialuronidase, protease,
lesitinase, dan neuramidase, memegang peranan penting pada proses
peradangan.
Faktor kemotaktik yang berberat molekul rendah (tidak memerlukan
komplemen untuk bekerja aktif), bila keluar dari folikel dapat menarik lekosit
nukleus polimorfi (PMN) dan limfosit. Bila masuk ke dalam folikel, PMN
dapat mencerna Corynebacterium Acnes dan mengeluarkan enzim hidrolitik
yang bisa menyebabkan kerusakan dari folikel pilosebasea. Limfosit
merupakan pencetus terbentuknya sitokin.
Bahan keratin yang sukar larut, yang terdapat di dalam sel tanduk, serta
lemak dari kelenjar palit dapat menyebabkan reaksi non spesifik, yang

Universitas Sumatera Utara

disertai oleh makrofag dan sel-sel raksasa. Pada fase permulaan peradangan
yang ditimbulkan oleh Corynebacterium Acnes, juga terjadi aktivasi jalur
komplemen klasik dan alternatif (classical and alternative complement
pathways). Respon pejamu terhadap mediator juga amat penting. Selain itu
antibodi terhadap Corynebacterium Acnes juga meningkat pada penderita
akne hebat (Widjaja, 2013).

2.2

Hubungan Tidur Larut Malam dan Kejadian Akne Vulgaris
Tidur larut malam dapat menyebabkan terjadinya pengurangan waktu tidur

normal. Jika tubuh tidak mendapatkan cukup istirahat, seseorang akan rentan
terhadap stres. Terjadinya stres yang dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea, baik
secara

langsung

atau

melalui

rangsangan

terhadap

kelenjar

hipofisis

(Wasitaatmadja, 2010). Peningkatan produksi sebum berhubungan dengan
peningkatan asam lemak bebas yang bersifat komedogenik yang merupakan salah
satu dasar patogenesis akne. Stres juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh,
sehingga dapat memperlambat penyembuhan akne yang sudah ada (Sonkushre,
2011).
Selain itu, kurang tidur dapat menyebabkan peradangan sistemik. Laporan
Journal of Clinical Endocrinology dan Metabolisme, menyatakan bahwa tidur
yang tidak memadai memicu peningkatan inflamasi sitokin. Peningkatan tersebut
di dalam tubuh meningkatkan kecenderungan terjadinya peradangan. Seperti
diketahui, bahwa akne terjadi kerana adanya peradangan pada pori-pori yang
tersumbat. Peradangan akne semakin mudah timbul akibat peningkatan jumlah
sitokin dalam tubuh (Sonkushre, 2011).
Meningkatnya kadar ghrelin serta menurunnya kadar leptin dalam plasma
pada malam hari memiliki pengaruh untuk seseorang mengkonsumsi lebih banyak
makanan pada malam hari (Spiegel et al, 2004). Menurut Cordain (2002), diet
yang berlebihan bisa mengakibatkan keadaan hiperinsulinemia. Dan kondisi
hiperinsulinemia ini mengakibatkan meningkatnya kadar insulin-like growth
factor-1 (IGF-1) dan menurunnya insulin-like growth factor binding protein-3
(IGFBP-3). Kenaikan IGF-1 memiliki potensi yang tinggi untuk pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

semua jaringan, termasuk folikel yang kemudian dapat menimbulkan akne.
Insulin dan IGF-1 menstimulasi sintesis androgen pada jaringan testis dan
ovarium. Lebih lanjut, insulin dan IGF-1 menginhibisi sintesis sex hormone
binding protein (SHBP) di hepar sehingga bioavailability androgen meningkat
(Goklas, 2011).
Tidur larut malam juga menyebabkan perubahan kerangka mental dan
emosional yang dapat menyebabkan depresi. Depresi menciptakan sikap negatif
dalam pikiran seseorang yang menghambat keseluruhan kesejahteraan. Secara
keseluruhan, kesehatan yang buruk mengurangi kemampuan penyembuhan tubuh.
Dengan demikian, mempengaruhi akne dengan cara yang negatif (Wahyuningsih,
2011).
Meskipun tidur larut malam tidak memberikan kontribusi terhadap
pembentukan akne secara langsung, namun faktor-faktor yang dihasilkan
bertanggung jawab untuk pembentukan akne (Sonkushre, 2011).

2.3

Tidur

2.3.1 Fisiologi Tidur
Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya
(Guyton, 2007). Beberapa ahli berpendapat bahawa tidur diyakini dapat
memulihkan tenaga kerana tidur memberikan waktu untuk perbaikan dan
penyembuhan sistem tubuh untuk periode keterjagaan berikutnya (Potter, 2005).
Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu
Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS
di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat
mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual,
pendengaran, nyeri, dan sensori raba, serta emosi dan proses berfikir. RAS
melepaskan katekolamin pada saat sadar, sedangkan pada saat tidur terjadi
pelepasan serum serotonin dari BSR (Hidayat, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Tahapan Tidur
Tidur dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu fase Rapid Eye Movement (REM)
dan fase Non Rapid Eye Movement (NREM). Fase awal tidur didahului fase
NREM kemudian diikuti fase REM.
1.

Fase NREM
Menurut Andayani (2009), tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
Stadium 1: saat transisi antara bangun penuh dan tidur, sekitar 30 detik
sampai 7 menit dengan karakteristik gelombang otak low-voltage pada
pemeriksaan electroencephalografi (EEG).
Stadium 2 : Juga ditandai dengan gelombang otak low-voltage pada EEG.
Perbedaan dengan stadium 1 adalah adanya gelombang high voltage yang
disebut “sleep spindles” dan K complexes.
Stadium 3 & 4 : sering disebut tidur yang dalam atau “delta sleep”. EEG
menunjukkan gelombang yang lambat dengan amplitudo tinggi.
Fase tidur NREM biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit.
Setelah itu akan masuk ke fase REM.

2. Fase REM
Ditandai oleh periode autonom yang bervariasi, seperti perubahan detak
jantung, tekanan darah, laju pernapasan, dan berkeringat. Pada stadium
inilah mimpi saat tidur terjadi (Andayani, 2009).
Dua puluh lima persen waktu tidur dihabiskan pada status REM dan 75%
pada status non REM. Pada orang muda yang sehat waktu yang dibutuhkan dari
stadium 1 sampai dengan 3 hanya 45 menit. Stadium 4 berlangsung sekitar 70-120
menit, berulang sampai 6 kali sebelum terbangun. Pada tidur yang normal terdapat
kecenderungan perpindahan stadium dari tidur yang dalam menuju tidur yang
ringan. Empat jam pertama tidur terdiri atas pengulangan status non REM dan
kebanyakan berada pada stadium 3 dan 4, sedangkan 4 jam kedua lebih banyak
terjadi pengulangan pada stadium 1 dan 2 serta status REM (Andayani, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Kebutuhan Tidur Menurut Usia
Menurut National Sleep Foundation (2011), kebutuhan tidur menurut usia
diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2.1: Kebutuhan Tidur menurut Usia
Umur

Kebutuhan Tidur (jam/hari)

Bayi baru lahir (0-2 bulan)

10.5-18

Bayi (3-11 bulan)

14-15

Balita (1-3 tahun)

12-14

Anak usia prasekolah (3-5 tahun)

11-13

Anak usia sekolah (5-12 tahun)

10-11

Remaja (12-18 tahun)

8,5-9,5

Dewasa >18 tahun

7-9

2.3.4 Efek Kekurangan Tidur Pada Kesehatan
Kekurangan tidur merupakan hasil dari periode terbangun yang semakin
panjang atau menurunnya waktu tidur setiap harinya. Beberapa referensi
menyatakan penurunan jumlah tidur yang dimaksud adalah kurang dari 7 jam
(Watson et al, 2010).
Menurut American Academy of Sleep Medicine (2008), dampak dari
kekurangan tidur dapat terlihat pada berbagai aspek psikologis seperti terhadap
mood. Gangguan dalam mood ditunjukkan dalam bentuk lekas marah(Irritability),
kurang motivasi, cemas dan simtom depresi. Dampak dari kurang tidur bisa juga
mengakibatkan menurunnya fungsi kognitif dan gangguan pada respon refleks.
Gangguan pada fungsi kognitif dapat muncul dalam bentuk: kurang konsentrasi,
waktu reaksi yang lama, kurang energi, lelah, gelisah dan pengambilan keputusan
yang tidak baik. Kekurangan tidur juga meningkatkan kondisi medis seperti
tekanan darah tinggi, serangan jantung, dan obesitas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengurangan durasi tidur
memiliki beberapa pengaruh yang cukup nyata, yaitu: peningkatan sitokin
proinflamasi IL-6 dan/atau TNFα, dan penurunan konsentrasi kortisol pada pagi
hari dan meningkat pada malam hari (Vgontzas, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, durasi tidur mungkin memiliki efek pada fungsi endokrin.
Khususnya, durasi tidur yang pendek dikaitkan dengan kadar leptinnya menurun
(menekan asupan makanan) dan peningkatan bersamaan dalam kadar ghrelin
(merangsang nafsu makan). Temuan ini menunjukkan ada hubungan antara kurang
tidur dan obesitas (Rosenthal, 2009).

2.4

Gejala Klinik Akne Vulgaris
Lesi akne vulgaris terdiri dari lesi inflamasi dan non inflamasi. Lesi

inflamasi berupa papul, pustul, nodul atau kista. Sedangkan lesi non inflamasi
berupa komedo tertutup (white comedo) dan komedo terbuka (black comedo).
Menurut Wasitaatmadja (2010), komedo berwarna hitam (black comedo)
karena mengandung unsur melanin dan berwarna putih (white comedo) karena
letaknya lebih dalam sehingga tidak mengandung melanin. Lokasi lesi terutama
timbul di daerah yang banyak mempunyai kelenjar minyak seperti muka,
punggung, dan dada (Widjaja, 2013).

2.5

Gradasi Akne Vulgaris

Ada berbagai pola pembagian gradasi penyakit akne vugaris, diantaranya adalah:
a) Pada tahun 1982,di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN
Dr.Cipto Mangunkusumo membuat gradasi akne vulgaris sebagai
berikut: (Wasitaatmadja, 2010).
i. Ringan, bila : a) beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi
b) sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat
predileksi
c) sedikit lesi beradang pada 1 predileksi
ii. Sedang, bila : a) banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi
b) beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi
c) beberapa lesi beradang pada satu predileksi
d) sedikit beradang pada lebih dari 1 predileksi
iii. Berat, bila

: a) banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi
b) banyak lesi beradang pada 1 lebih predileksi

Universitas Sumatera Utara

Catatan: sedikit 10 lesi
Tak beradang: komedo putih, komedo hitam, papul
Beradang: pustule, nodus, kista
b) Menurat American Academy of Dermatology klasifikasi akne adalah sebagai
berikut:
Table 2.2 : Concensus Conference on Ane Clasification

2.6

Klasifikasi

Komedo

Papul/Pustul

Nodul

Ringan

10

Diagnosis Akne Vulgaris
Diagnosis akne vulgaris dibuat atas dasar klinis dan pemeriksaan

ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor
(sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat
seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna
hitam (Wasitaatmadja, 2010).
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik
berupa serbukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan massa
sebum di dalam folikel. Pada kista, radang sudah menghilang diganti dengan
jaringan ikat pembatas massa cair sebum bercampur dengan darah, jaringan mati,
dan keratin yang lepas (Wasitaatmadja, 2010).
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran
pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan laboratorium mikrobiologi
yang lengkap untuk tujuan penelitian, namun hasilnya sering tidak memuaskan
(Wasitaatmadja, 2010).
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids)
dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam lemak
bebas (free fatty acid) meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan
digunakan cara untuk menurunkannya (Wasitaatmadja, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.7

Diagnosis Banding Akne Vulgaris

a. Erupsi akneiformis
Disebabkan oleh induksi obat (kortikosteroid, INH, barbiturat, yodida,
bromida, difenil hidantoin, dll). Klinis berupa erupsi papulo pustul mendadak
tanpa adanya komedo di hampir seluruh bagian tubuh. Dapat disertai demam
dan dapat terjadi di semua usia (Wasitaatmadja, 2010).
b. Rosasea
Penyakit peradangan kronik di daerah muka dengan gejala eritema, pustul,
telangiektasi dan kadang-kadang disertai hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak
terdapat komedo kecuali bila kombinasi dengan akne (Wasitaatmadja, 2010).
c. Dermatitis perioral
Terutama pada wanita dengan gejala klinis polimorfi eritema, papul, pustula,
dan di sekitar mulut yang terasa gatal (Wasitaatmadja, 2010).
d. Akne venenata dan akne akibat rangsangan fisis.Umumnya lesi monomorfi,
tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul,dengan tempat predileksi di tempat
kontak zat kimia atau rangsangan fisisnya (Wasitaatmadja, 2010).

2.8

Penatalaksanaan Akne Vulgaris
Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah terjadinya

erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif).
2.8.1

Pengobatan Topikal

a) Retinoid topikal merupakan obat dengan efek komedolitik dan
antiinflamasi.
Obat ini menormalkan hiperkeratinisasi dan hiperproliferasi folikel yang
terjadi. Retinoid topikal ini mengurangi jumlah mikrokomedo, komedo,
dan lesi meradang. Obat ini dapat digunakan sendiri saja ataupun
kombinasi dengan obat-obat akne lainnya. Sediaan yang sering termasuk
adapalene, tazanotene, dan tretinoin (Fulton, 2009).
b) Antibiotik topikal terutama digunakan untuk melawan P.acnes. Obat ini
juga memiliki efek antiinflamasi. Antibiotik topikal tidak memiliki efek
komedolitik, dan resistensi dapat terjadi pada beberapa jenis obat ini.

Universitas Sumatera Utara

Resistensi dapat dikurangi jika dikombinasi dengan benzoil peroksida.
Sediaan obat yang sering dipakai adalah eritromisin dan klindamisin
(Fulton, 2009).
c) Produk-produk benzoil peroksida juga efektif digunakan untuk melawan
P.acnes, dan belum terbukti adanya resistensi pada obat ini (Fulton,
2009).
2.8.2 Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad
renik, dapat juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum dan
mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan ini terdiri atas:
a) Antibakteri sistemik : tetrasiklin (250mg-1 g/hari), eritromisin (4x250 mg/
hari), doksisiklin(50mg/hari), trimetoprim (3x100 mg/hari) efektif untuk
melawan P acnes (Wasitaatmadja, 2010).
b) Obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif
menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea misalnya estrogen
(50mg/hari selama 21 hari dalam sebulan) atau antiandrogen siproteron asetat
(2mg/hari). Pengobatan ini ditujukan untuk penderita wanita dewasa yang
gagal dengan pengobatan lain. Kortikosteroid sistemik seperti prednisone dan
deksametason diberikan untuk menekan peradangan dan menekan sekresi
kelenjar adrenal (Wasitaatmadja, 2010).
c) Vitamin A dan retinoid oral.
d) Obat lainnya, misalnya antiinflamasi non steroid ibuprofen (600mg/hari),
dapson (2 x100mg/hari),seng sulfat (2x200 mg/hari) diberikan untuk
menekan peradangan dan menekan sekresi kelenjar adrenal (Wasitaatmadja,
2010).
2.8.3 Bedah Kulit
Menurut Wasitaatmadja (2010), tindakan bedah kulit kadang-kadang
diperlukan terutama untuk memperbaiki jaringan parut akibat akne vulgaris
meradang yang berat yang sering menimbulkan jaringan parut,baik yang
hipertrofik dan hipotrofik. Jenis bedah kulit yang dipilih disesuaikan dengan
macam dan kondisi jaringan parut yang terjadi. Jenis tindakan bedah diantaranya

Universitas Sumatera Utara

adalah bedah scalpel, bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, dan dermabrasi.
Tindakan bedah ini dilakukan setelah akne vulgarisnya sembuh.

2.9

Pencegahan

1) Menghindari peningkatan jumlah sebum dan perubahan isi sebum
a) Diet rendah lemak dan karbohidrat.
b) Minum air putih minimal 8 gelas sehari, dengan air putih yang cukup kulit
akan lebih elastis dan metabolisme tubuh menjadi lancar dan normal dan
detokfikasi tubuh dalam keluar.
c) Melakukan perawatan kulit.
d) Mandi sesegera mungkin setelah aktifitas berkeringat.
e) Cuci muka dengan sabun dan air hangat 2 kali sehari. Jangan mencuci
muka berlebihan dengan sabun (6-8 kali sehari) karena dapat
menyebabkan akne detergen.
f) Dapat juga menggunakan cairan cleanser, tetapi hindari menggunakan
scrub yang malah dapat mengiritasi kulit dan dapat memperparah akne.
g) Hindari pemakaian anti septik atau medicated soap yang sering
mengakibatkan kulit menjadi iritasi.
2) Menghindari faktor pemicu terjadinya akne
a) Hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga sesuai kondisi tubuh,
hindari stres.
b) Penggunaan kosmetika secukupnya, baik banyaknya maupun lamanya.
c) Hindari bahan kosmetika yang berminyak, tabir surya, produk pembentuk
rambut atau penutup jerawat.
d) Menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalkan minuman keras, rokok,
polusi debu, lingkungan yang tidak sehat dan sebagainya.
e) Hindari penusukan, pemencetan lesi, mencongkel dan sebagainya karena
dapat menyebabkan infeksi, menimbulkan bekas, memperparah akne dan
bahkan membuat kesembuhan lebih lama (Wasitaatmadja, 2010).

Universitas Sumatera Utara