Hubungan Konsumsi Susu Terhadap Kejadian Akne Vulgaris Pada Mahasiswa FK USU Angkatan 2011 – 2013

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai
dengan adanya komedo, papula, pustula, dan kista pada daerah-daerah predileksi,
seperti muka, bahu, bagian atas dari ekstremitas superior, dada, dan punggung,
yang biasanya menyerang remaja, meskipun dapat juga didapati pada semua usia
(Rathi, 2011; Harahap, 2013).
Hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka sering dianggap
sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Kligman mengatakan bahwa
tidak ada seorang pun (artinya 100%), yang sama sekali tidak pernah menderita
penyakit ini. Penyakit ini memang jarang terdapat pada waktu lahir, namun ada
kasus yang terjadi pada masa bayi. Betapa pun baru pada masa remajalah akne
vulgaris menjadi salah satu problem. Umumnya insidens terjadi pada umur sekitar
14 – 17 tahun pada wanita, 16 – 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang
predominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang
(Wasitaatmadja, 2011).
Dari penelitian di Inggris, angka kejadian skar akne hipotrofik pada pria 77%
lebih banyak daripada wanita 58%, hal ini menunjukkan pria di Inggris lebih
banyak terkena akne daripada wanita. Berdasarkan penelitian Goodman pada

tahun 1999, prevalensi akne tertinggi yaitu pada umur 16 – 17 tahun dimana pada
wanita berkisar 83 – 85% dan pada pria berkisar 95 – 100% (Kabau, 2012). Di
Australia, penyakit kulit yang paling sering adalah akne, eksema (9,7% remaja 13
– 14 tahun), dan psoriasis (prevalensi 0,3% - 2,5%) (Magin, Adams, Heading, dan
Pond, 2009). Di Indonesia sendiri, catatan kelompok studi dermatologi kosmetika
Indonesia, menunjukkan terdapat 60% penderita akne vulgaris pada tahun 2006

Universitas Sumatera Utara

dan 80% pada tahun 2007. Kebanyakan penderitanya adalah remaja dan dewasa
yang berusia antara 11 – 30 tahun (Kabau, 2012).
Di Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan selama periode Januari – Desember 2008,
dari total 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin,
107 pasien (1,91%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne
vulgaris. Pasien akne vulgaris berusia 13 – 35 tahun ditemukan sebanyak 90,6%
(Purba, 2013). Penelitian yang dilakukan Ravi (2011) di Klinik Dermatologi Dr.
Rointan Simanungkalit, Sp.KK(K) pada 60 orang pasien akne vulgaris
mendapatkan kelompok terbesar berada dalam kelompok usia 18 – 28 tahun, yaitu
50 orang (83,3%).

Etiologi yang pasti penyakit ini belum diketahui, namun ada berbagai faktor
yang berkaitan dengan patogenesis penyakit (Wasitaatmadja, 2011). Faktor-faktor
yang mempengaruhi timbulnya penyakit adalah bangsa atau ras, makanan, musim
atau iklim, kebersihan, faktor keturunan, infeksi, hormonal, kosmetik, dan
kejiwaan ataupun kelelahan (Siregar, 2005).
Meskipun mayoritas pasien melaporkan akne vulgaris dipicu oleh beberapa
makanan, aspek nutrisi dari akne vulgaris sendiri masih memiliki kontroversial di
beberapa literatur (Pontes, Trindade, Filho, dan Filho, 2013). Menurut Pindha,
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya akne adalah faktor diet. Tidak
ditemukan adanya hubungan antara akne dengan asupan total kalori dan jenis
makanan, walaupun beberapa penderita menyatakan akne bertambah parah setelah
mengkonsumsi beberapa makanan tertentu seperti coklat dan makanan berlemak
(Gurriannisha, 2010). Hal ini juga didukung oleh penelitian di Oslo bahwa tingkat
kejadian akne meningkat seiring dengan kebiasaan yang rendah dalam
mengkonsumsi sayuran (Halvorsen, Dalgard, Thoresen, Bjertness, dan Lien,
2009).
Hubungan antara akne vulgaris dengan faktor diet sebenarnya sudah diteliti
sejak 1887 dimana Bulkley menulis buku tentang hal tersebut sampai pada tahun

Universitas Sumatera Utara


1950, di Amerika, pembatasan konsumsi berbagai makanan, terutama produkproduk berbahan dasar susu, menjadi bagian dari terapi akne vulgaris di beberapa
buku dermatologi (Danby, 2011). Sulzberger, 1969, melakukan penelitian pertama
tentang efek coklat terhadap eksaserbasi akne vulgaris, dan tidak dijumpai adanya
perbedaan yang bermakna antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
tetapi belakangan penelitian ini ditolak karena kandungan coklat bar dan plasebo
yang digunakan sama (Bancin, 2011). Pada tahun 1971, Schaeffer, bekerja
diantara penduduk Inuit selama 30 tahun, mengobservasi bahwa akne vulgaris,
yang biasanya tidak ditemukan dalam populasi tersebut menjadi lazim sejak
populasi mereka mengubah kebiasaan diet mereka dari diet yang kaya akan ikan
menjadi kaya akan roti, gula, kue, dan minuman ringan (Treloar, 2012). Penelitian
ini terus dilanjutkan hingga dikatakan pada penelitian terbaru tahun 2013,
walaupun kesalahpahaman tentang makanan sebagai pemicu akne vulgaris telah
banyak ditentang, laporan-laporan terbaru, termasuk peninjauan secara sistematis
terhadap pengaruh diet pada akne vulgaris dan penelitian terkontrol secara acak
mengenai indeks glikemik dan tingkat keparahan akne vulgaris, menunjukkan
bahwa akne vulgaris memiliki hubungan dengan diet tinggi susu dan diet tinggi
indeks glikemik (Dawson dan Dellavalle, 2013). Pada tahun yang sama dilakukan
penelitian tentang insiden akne vulgaris pada pengguna suplemen protein whey,
protein yang berasal dari susu sapi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan

bahwa penggunaan suplemen tersebut harus dicegah karena efeknya yang besar
dalam memperburuk lesi akne (Pontes, Trindade, Filho, dan Filho, 2013).
Di Indonesia sendiri, khususnya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, penelitian-penelitian mengenai hubungan pola diet, khususnya konsumsi
susu terhadap timbulnya akne vulgaris masih belum banyak dilakukan. Pada
Agustus 2013, Margaretha melakukan penelitian mengenai hubungan konsumsi
produk-produk olahan susu dengan kejadian akne vulgaris pada mahasiswa FK
USU dengan metode kasus kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa halhal tersebut tidak memiliki hubungan, tetapi pada penelitian ini masih perlu
penambahan eksklusi lagi mengingat faktor-faktor etiologi dan faktor-faktor

Universitas Sumatera Utara

resiko akne vulgaris yang banyak. Oleh karena itu, berdasarkan data-data di atas
peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan konsumsi susu terhadap timbulnya
akne vulgaris pada mahasiswa FK USU dengan lebih teliti lagi.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi
permasalahan adalah apakah ada hubungan konsumsi susu dengan kejadian akne
vulgaris pada mahasiswa FK USU.


1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi susu terhadap kejadian
akne vulgaris pada mahasiswa FK USU.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.

Untuk mengetahui jumlah konsumsi susu pada mahasiswa FK USU
angkatan 2011 sampai dengan 2013.

2.

Untuk mengetahui jenis susu yang dikonsumsi mahasiswa FK USU
angkatan 2011 sampai dengan 2013.

3.

Untuk mengetahui kejadian akne vulgaris pada mahasiswa FK USU
angkatan 2011 sampai dengan 2013 yang mengkonsumsi susu dan

jenis susu yang dikonsumsi.

1.4.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya:
a. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
peneliti dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para dokter umum
maupun dokter spesialis kulit dalam terapi nonfarmakologis akne vulgaris
c. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat tentang
pengaruh susu terhadap timbulnya akne vulgaris.

Universitas Sumatera Utara