RANTAI NILAI ROTAN CIREBON Rachman

KETIDAKSEIMBANGAN DISTRIBUSI NILAI TAMBAH DALAM RANTAI
NILAI (VALUE CHAIN) PERDAGANGAN ROTAN
Oleh :

Rachman Effendi*) dan Aan Sukanda**)
*)

Peneliti pada Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan
Peneliti pada Pusat Litbang Teknologi dan Pengolahan Hasil Hutan

**)

ABSTRAK

Nilai devisa yang dihasilkan dari ekspor produk rotan pada tahun 2010 sekitar 137,95 juta
dollar AS atau sekitar 6,8% dari nilai ekspor furniture dan kerajinan. Nilai ekspor tersebut menurun
dibandingkan tahun sebelumnya dikarenakan rendahnya daya serap industri rotan dalam negeri
mengakibatkan penerimaan pendapatan petani dan pengumpul cenderung rendah, petani hanya
menikmati sebagian kecil dari nilai tambah yang diciptakan. Tulisan ini bertujuan untuk
menganalisis distribusi nilai tambah sepanjang rantai nilai perdagangan rotan dan rekomendasi
kebijakan yang mendorong kelangsungan industri rotan. Pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara di Cirebon dan Banjarmasin. Hasil penelitian menunjukan peran para pelaku dalam rantai
nilai mebel rotan dalam melakukan proses dapat memberikan nilai tambah. Sayangnya nilai tambah
yang tercipta terdistribusi tidak seimbang antar pelaku yang terlibat, semakin ke hilir maka semakin
tinggi nilai tambah mebel rotan terwujud. Petani sebagai pemungut dan pemasok bahan baku, hanya
menikmati 7% bagian dari nilai tambah yang tercipta, demikian juga nilai tambah yang diterima oleh
industri pengolahan rotan skala kecil sebesar 8.9%. Penerimaan nilai tambah yang relatif sedikit
merupakan situasi yang bersifat dis-insentif bagi para pelaku usaha budidaya dan pemungutan rotan.
Agar nilai tambah yang diperoleh petani dan pemungut rotan dapat lebih meningkat, maka perlu
insentif kebijakan untuk mendorong minat petani/pemungut antara lain. (1) penghapusan ijin
pemungutan dan PSDH, (2) Penghapusan larangan ekspor untuk jenis rotan yang tidak diserap oleh
industri pengolahan, dan (3) Harga patokan yang mengacu pada harga domestik dan internasional.
Kata kunci : Rantai nilai, mebel rotan, nilai tambah
I. Pendahuluan
Permintaan akan rotan terus meningkat dan sebanyak-banyaknya serta ada permintaan jenis
baru sehingga jenis yang ditanam juga semakin banyak. Tingginya nilai jual rotan dan tingginya
permintaan semakin mendorong para petani untuk membudidayakan rotan secara besar-besaran
sampai pada tahun 1980-an (KPSHK 2010). Setelah tahun 1987 hingga sekarang harga rotan menjadi
tidak sebanding lagi akibat ditutupnya keran ekspor rotan ke luar negeri dan kebijakan Pemerintah
tentang ekspor rotan yang berganti-ganti dan cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu,
sedangkan petani merupakan pelaku dalam lembaga tata niaga yang paling dirugikan (KPSHK

2010). Hal ini akan berdampak terhadap penurunan minat petani baik dalam budidaya maupun
pemungutan rotan. Selain itu jalur pemasaran bahan baku rotan sampai ke pintu pabrik dinilai terlalu
panjang, sehingga distribusi nilai tambah yang terjadi dalam rantai nilai tersebut tidak sebanding
1

dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan petani dan pemungut rotan. Sebetulnya rotan Indonesia
mempunyai posisi yang dominan di pasar global, sehingga sudah selayaknya bila Indonesia
mengembangkan industri pengolahan melalui berbagai kebijakan yang kondusif.
Dalam rangka pengembangan industri furnitur rotan, pemerintah melalui Kementerian
Peridustrian bekerjasama dengan Pemerintah Daerah di beberapa daerah penghasil bahan baku yaitu
telah membangun Pusat Pengembangan Industri Rotan Terpadu di Pulau Sulawesi Tengah, di
Katingan (Kalimantan Tengah) dan di Kabupaten Pidie (Aceh). Sedangkan di daerah sentra industri
barang jadi rotan/furnitur bekerjasama dengan Pemerintah Daerah membangun Pusat Desain Furnitur
Rotan di Cirebon.
Secara umum prospek Industri rotan masih cukup potensial, mengingat pasar luar negeri akan
produk furnitur termasuk barang jadi rotan saat ini sudah mulai membaik. Disamping itu Indonesia
memiliki bahan baku rotan yang cukup potensial yang tersebar di beberapa wilayah, bahkan sekitar
80 % kebutuhan bahan baku rotan dunia dari Indonesia. Hasil studi ITTO dan Kementrerian
Kehutanan potensi produksi rotan lestari bahan baku rotan baik yang berasal dari hutan alam maupun
dari hasil budidaya sekitar 140 ribu ton.

Industri mebel dan kerajinan rotan Indonesia pernah menjadi produk terkenal di manca
neagara sekitar 25 tahun yang lalu. Karakter rotan yang kuat, lentur dan eksotik dapat tampil dengan
berbagai bentuk baik fungsional maupun dekoratif. Namun sejak dibukanya kran ekspor bahan baku
rotan, industri rotan Indonesia sedikit demi sedikit dilupakan pasar dunia, sekitar 40 % perusahaan
yang mengandalkan bahan baku rotan bangkrut (Kompas 7 April 2012).
Langkah pemerintah melarang ekspor rotan mentah terlihat mulai menuai hasil, dimana
pesanan produk kerajinan perabot rotan dari Eropa mulai berdatangan, ratusan pengusaha lokal
bertekad meningkatkan produksi dengan kualitas prima untuk memenuhi permintaan pasar.
Pemerintah, melalui Permendagri nomor 35 melakukan larangan ekspor terhadap bahan baku
rotan. Tak lama setelah kebijakan itu dibuat, industri kerajinan

rotan Kabupaten Cirebon, Jawa

Barat, kini mulai bergairah kembali. Saat ini dengan ditutupnya kran ekpor bahan baku rotan, para
pelaku industri bahwa mebel dan kerajinan rotan di sentra industri rotan di Cirebon masih optimis
bahwa kejayaan industri mebel dan rotan dapat diraih kembali. Pengembangan kebijakan
perdagangan dan industri rotan yang ada saat ini bertujuan untuk memperkuat daya saing global,
yaitu dengan pengembangan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, terutama didasarkan
pada keunggulan sumber daya alam dan manusia dengan menghilangkan segala bentuk diskriminasi
dan penghalang.


2

Rantai nilai mengacu kepada serangkaian kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengantar
suatu produk dari tahap konsep sampai ke pengguna terakhir. Pada umumnya rantai penjualan dan
perdagangan rotan dari petani rotan kepada pengumpul rotan lokal ke pengumpul besar selanjutnya
ke industri rotan di dalam maupun luar daerah. Analisis rantai nilai memungkinkan kita memahami
tantangan internasional yang kompetitif dan mengidentifikasi hubungan dan mekanisme koordinasi,
serta memahami bagaimana pelaku rantai berhubungan dengan kekuasaan.
Mengingat banyaknya pelaku yang terlibat di sepanjang perdagangan rotan, banyaknya
tenaga kerja yang kehidupannya tergantung dari keberlangsungan pasokan bahan baku rotan dan
peluang pasar rotan yang potensial, maka penting untuk melakukan kajian terhadap rantai nilai rotan
sehingga dapat dipahami bagaimana rantai nilai rotan terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis distribusi nilai tambah dalam rantai nilai perdagangan rotan dan rekomendasi kebijakan
yang dapat mendorong kelangsungan industri pengolahan rotan. Adapun lokasi penelitian
dilaksanakan di Kabupaten Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan dan Cirebon, Propinsi Jawa
Barat pada awal tahun 2012.
II. A. Perkembangan Perdagangan Mebel dan Kerajinan Rotan di Cirebon
Daerah Cirebon telah lama dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi besar dibidang
industri mebel serta kerajinan dengan bahan baku rotan. Daerah ini sebenarnya tidak memiliki

tanaman rotan tetapi karena banyaknya industri rotan dan pengrajin secara turun temurun berkarya di
wilayah tersebut menyebaban Cirebon sebagai daerah utama pengrajin dan produsen rotan terbesar di
Indonesia. Tetapi sejak SK Menteri Perdagangan No.12 Tahun 2005, yang berisi dibukanya kran
ekspor untuk bahan baku rotan, menyebabkan produsen lebih memilih mengekspor bahan baku rotan.
Harga bahan baku untuk mebel dan kerajinan rotan juga menjadi tinggi karena harga yang
diberlakukan untuk produsen lokal memakai patokan harga ekspor. Surat keputusan menteri ini
disatu sisi menguntungkan pengekspor tetapi disisi lain mematikan industri pengolahan rotan.
Usaha rotan kabupaten Cirebon sempat meningkat cukup pesat sebelum tahun 2005, namun
setelah itu pemerintah membebaskan ekspor bahan baku, pengrajin mulai kesulitan pesanan mebel
dari berbagai negara seperti Jerman, Belanda, Itali, Jepang karena mereka harus bersaing dengan
mebel produksi Cina dengan harga murah. Larangan ekspor bahan baku rotan oleh pemerintah,
disambut gembira oleh ratusan pengusaha mebel rotan yang memberdayakan ratusan ribu tenaga
kerja, harapannya pesanan dari berbagai negara Eropa kembali meningkat.
Industri mebel dan kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon mengalami fluktuasi, dimana
perkembangan industry rotan Kabupaten Cirebon 6 tahun terakhir disajikan pada Tabel 1 berikut ini :

3

Tabel 1. Data Perkembangan Industri Rotan Kab. Cirebon Tahun 2006 - 2012
No


Tahun

Unit
Usaha

1
1
2
3
4
5
6

2012
2011
2010
2009
2008
2007

2006

1.305
1.260
1.224
1.172
1.160
1.149
1.123

Tenaga
Kerja
56.296
54.291
54.184
52.414
65.519
64.898
54.180


Nilai
Investasi
(Rp. 1.000,-)

Kapasitas
Nilai Produksi
Produksi
(Rp. 1.000,-)
(Ton)

214.615.617
209.003.612
192.996.711
189.342.500
189.162.569
187.368.787
183.128.937

72.902
66.123

59.348
57.464
78.718
77.972
76.207

1.520.321.199
1.514.244.781
1.392.112.174
1.361.028.874
1.701.285.874
1.685.152.991
1.647.020.721

Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2013).

Kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan ini, diperkirakan dapat meningkatkan ekspor
mebel rotan dan kerajinan rotan ke depan. Dengan dihentikannya ekspor bahan baku rotan maka
kendala bahan baku yang dialami industri di dalam negeri akan teratasi. Industri mebel dan kerajinan
rotan di Kabupaten Cirebon tersebar di beberapa Sentra industri mebel dan kerajinan rotan seperti

disajikan pada Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Sentra Industri Mebel dan Kerajinan Rotan di Cirebon Tahun 2011 - 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama Sentra
Cangkring
Karangsari
Tegalsari
Tegalwangi

Bodesari
Bode Lor
Gombang
Lurah
Pamijahan
Marikangen
Non Sentra
Jumlah

2011
60
55
250
524
89
67
50
30
45
37
53
1.260

Unit usaha
2012
60
57
253
526
95
73
51
38
46
39
60
1.298

Pertumbuhan
Jumlah
%
2
3,64
3
1,2
2
0,38
6
6,74
6
8,95
1
2,00
8
26,6
1
2,20
2
5,40
7
13,20
38
3,02

Potensi kompetensi inti industri daerah kerajinan rotan di kabupaten Cirebon dari tahun 2011
sampai dengan tahun 2012 disajikan pada Tabel 3.

4

Tabel 3. Data Potensi Kompetensi Inti Industri Daerah Kerajinan Rotan Tahun 2011 Sampai
Dengan Tahun 2012.
Unit usaha
No

2011
1
2
3
4
5

Pertumbuhan

Jenis komoditi
2012

Jumlah

Unit Usaha
1.260
1.298
38
Tenaga kerja
54.291
56.269
1.978
Nilai investasi
209.003.612
214.615.617
5.612.005
(Rp 1.000)
Kapasitas produksi
66.348
72.902
6.554
(Ton)
Nilai produksi
1.514.244.781
1.520.321.199
6.076.410
(Rp 1.000)
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2013, data diolah).

%
3.02
3,64
2,68
9,89
0,40

Pertumbuhan industri kerajinan rotan di Cirebon dari tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami
peningkatan. Unit usaha usaha rotan meningkat 3,02 % pada tahun 2012 , serapan tenaga kerja
sebanyak 54.291 orang pada 2011

merangkak naik menjadi 56.269 orang pada 2012

(pertumbuhan mengalami peningkatan 3,26 %). Pertumbuhan kapasitas produksi rotan Kabupaten
Cirebon meningkat 9,89 % , kapasitas produksi 66.348 ton dengan nilai produksi 1,51 triliun dan
nilai investasi Rp 209 miliar meningkat sampai total produksi 72.902 ton dengan nilai produksi 1,52
triliun dan nilai investasi 214,6 miliar para 2012.

B. Perkembangan Nilai Ekspor dari Sentra Industri Rotan di Cirebon.
Nilai ekspor dari sentra industri rotan di Cirebon selama 7 tahun terakhir tidak stabil dan turun
naik. Perkembangan nilai ekpor 7 tahun terakhir disajikan pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Perkembangan Nilai Ekpor Sentra Industri Rotan dari Tahun 2005 s.d 2011.
No
Tahun
Nilai Ekspor (Rp 1.000)
1
2005
120.331.844
2
2006
116.800.093
3
2007
115.202.547
4
2008
130.726.860
5
2009
96.851.366
6
2010
112.182.360
7
2011
97.249.949
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2012).

5

Dari Tabel 4 terlihat bahwa nilai ekpor tidak stabil dan cenderung naik turun, dimana nilai
ekpor tertinggi dicapai pada tahun 2008. Industri kerajinan dan furnitur rotan paska pemulihan
perekonomian Amerika Serikat dan Eropa dan setelah ditutupnya ekspor rotan alam, pertumbuhan
dan nilai ekpor dapat meningkat. Untuk itu perlu langkah proaktif mencari pasar untuk
mengembangkan ekspor ke pasar Asia dan Timur Tengah.
C. Sumber dan Kebutuhan Bahan Baku Rotan
Sumber bahan baku dan jenis rotan local yang diproduksi adalah jenis CL yang berasal dari
Perum Perhutani Kab. Garut, Kab. Tasimalaya, Kab.Cilacap, Kab.Sukabumi dan Kab. Sumedang.
Sebagian besar bahan baku untuk industri mebel dan kerajinan rotan dipasok dari luar Jawa. Jenis
rotan dari luar jawa yang masuk ke sentra industri mebel dan kerajinan rotan Kabupaten Cirebon
didatangkan berdasarkan peruntukannya. Pasokan bahan baku dari luar Jawa agak sulit diperoleh, hal
ini disebabkan karena pasokan dari hutan alam mulai berkurang karena banyak hutan yang
dikonversi menjadi perkebunan sawit, karet dan tambang. Selain itu tenaga pencari rotan banyak
beralih menjadi pekeja kebun dan penyadap karet.
Kalimantan Tengah saat ini masih menjadi produsen bahan baku rotan yang paling banyak
berkontribusi bagi industri rotan di Cirebon. Untuk merekatkan hubungan kerjasama antara produsen
bahan baku dan pengusaha industri olahan rotan, maka para pengusaha melakukan penjajakan ke
Kalimantan Tengah dalam rangka mencari solusi pemenuhan bahan baku rotan yang selama ini
sering menjadi masalah bagi pengusaha rotan, karena pasokan bahan baku masih kurang. Selama ini
bahan baku yang dikirim ke Cirebon umumnya masih masih dalam bentuk bahan mentah dan belum
diolah menjadi bahan baku siap pakai. Jenis, peruntukan dan sumber bahan baku disajikan pada
Tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Jenis, Peruntukan dan Sumber Bahan Baku Rotan di Sentra Industri Mebel
dan Kerajinan Rotan di Cirebon.
No

Jenis

Peruntukan

Asal bahan baku

1
Manau
Rangka
Kalimantan
2
Semambu
Rangka
Sulawesi
3
Tohiti
Rangka
Sulawesi
4
Kubu
Anyaman
Kalimantan,Sumatera
5
Jawit
Anyaman
Kalimantan
6
Lacak
Anyaman
Kalimantan,Sumatera
7
Slimit
Anyaman
Aceh
8
Sarang buaya
Anyaman
Kalimantan, Sulawesi
9
CL
Anyaman
Kalimantan, Sumatera, Jawa
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2012).
6

Peraturan Menteri Perdagangan no. 35/2011 melarang ekspor rotan mentah, asalan, w/s dan
setengah jadi yang tergabung dalam pos tarif nomor 1401.20, mulai 1 Januari 2012. Peraturan
tersebut juga menetapkan ekspor produk mebel dan kerajinan rotan yang tergabung dalam pos tarif
nomor 4601—4602 dan pos tarif nomor 9401—9403 hanya bisa dilakukan oleh Eksportir Terdaftar
Produk Industri Kehutanan (ETPIK) setelah melalui proses verifikasi. Kebijakan tersebut diambil
pemerintah untuk mengatasi kelangkaan bahan baku untuk produksi mebel dan kerajinan rotan di
dalam negeri. Selain itu, Menteri Perdagangan menambahkan bahwa pemerintah akan membantu
dalam peningkatan kualitas desain dengan mendatangkan desainer-desainer mebel dunia.
Kelangkaan bahan baku rotan siap pakai terjadi pada Februari-Maret 2012, mengakibatkan
produksi di sentra industri rotan Cirebon mandeg. Berdsarkan hasil wawancara dengan Ketua
Komisariat Dewan Pengurus Asmindo Cirebon, mengatakan produksi di sentra industri rotan pada
awal tahun (Januari) 2012 untuk memenuhi permintaan ekspor mencapai 1.718 kontainer atau senilai
US$ 23,4 juta, meningkat drastis dari tahun lalu pada bulan yang sama, hanya senilai US$ 13,8 juta.
Kelangkaan bahan baku sempat menjadi pertanyaan, mengapa daerah produsen bahan baku
rotan tak mau memasok bahan baku rotannya, mungkin imbas dari aturan larangan ekspor rotan,
sehingga dalam beberapa bulan kemarin sentra industri kerajinan rotan kesulitan mencari bahan
baku. Para pengusaha rotan berharap ke depan bahan baku rotan siap pakai tersedia, karena hasil
produksi olahan rotan sangat diminati pasar luar negeri.
D. Harga Bahan Baku Rotan
Harga bahan baku rotan dari tahun ke tahun selalu meningkat, hal ini disebabkan beberapa
faktor diantaranya pasokan rotan dari hutan alam semakin berkurang, biaya operasional meningkat,
tarif PSDH mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Hasil wawancara dengan beberapa distributor
rotan di Cirebon mengenai harga rotan disajikan pada Tabel 6.

7

Tabel 6. Harga Bahan Baku Rotan di Sentra Idustri Cirebon Tahun 2013
No

Jenis Rotan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Rotan Batang
Mandola
Mandola
Mandola
Mandola
Mandola
Mandola
Manou
Manou
Tohiti
Tohiti
Tohiti
SE EL
SE EL
Rotan Lambang
Semambo Keling
Blukbuk
Suti
Kretes
Kubu
Kubu
Pitrit
Pitrir
Pitrit Lambang
Pitrit
Core
Lesio Bines

27
28
29
30
31
32
33

Kualitas
Bahan

Ukuran

Poles½ Poles

Harga
(Rp)

Satuan

AB
AB
AB
AB
BC
BC
AB
AB
AB
BC
AB
AB/BC
AB/BC
BC
BC

26-34
20-24
26-34
20-24
26-34
20-24
28-40
28-40
18-22
18-22
18-22
Standart
Standart
Standart
Standart

AB
AB
AB
AB
AB
BC
AB
AB

4-6
8-12
2 mm
3-4 mm

Poles
Poles
½ Poles
½ Poles
Poles
Poles
Poles
Asalan
Poles
Poles
Asalan
Poles
Asalan
Asalan
Asalan
Asalan
Asalan
Asalan
Asalan
Asalan

14.000
13.000
11.00
9.500
13.500
12.000
21.000
19.000
13.000
11.000
9.000
11.000
9.000
7.000
7.500
7.000
7.000
7.000
12.500
9.000
27.000
22.500
22.000
20.000
21.000
32.000

/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Batang
/Batang
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg

5-13
Standart

Jawit
BC
Standart
24.000
Jawit
AB
Mesin
25.000
Jawit
BC
Mesin
20.000
Jawit
AB
Manual
18.000
Jawit
BC
Manual
16.000
Sarang Buaya
18.000
(Asli)
Sarang Buaya
18.000
(Kubu)
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2013).

/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg
/Kg

Saat ini harga bahan baku cenderung tinggi, sehingga pelaku usaha industri rotan mengaku
lesu

akibat kenaikan harga bahan baku. Kehadiran Peraturan Menteri Perdagangan No.22/M-

DAG/PER/4/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan PSDH

8

membuat situasi industri rotan semakin rumit. Tarif pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) semakin membumbung tinggi, sehingga industri harus membayar PSDH rotan yang naik
rata-rata lebih dari sepuluh kali lipat dari tariff sebelumnya. Perubahan tarif PSDH lama ke tarif
PSDH yang baru disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perubahan Tarif PSDH Rotan Berdasarkan Permendag No 13 Tahun 2012.
No
1
2
3

Jenis Rotan
Rotan Batang
Rotan Lambang

PSDH Lama (Rp/Ton)
30.000
42.900

PSDH Baru (Rp/Ton)
385.000
427.500

54.000

397.500

Rotan Tohiti

Kenaikan tarif PSDH rotan berdasarkan harga patokan yang ditetapkan oleh Menteri
Perdaganagn melalui SK Mendag No 22 mengalami kenaikan sampai 10 kali lipat. Kebutuhan bahan
baku sesuai kapasitas produksi di sentra industri rotan di Cirebon mencapai 42.000.000 ton/tahun.
III. A. Rantai Nilai Perdagangan Rotan
Aliran bahan baku dan produk mebel dan kerajinan rotan sepanjang rantai nilai perdagangan
di Kabupaten Banjarmasin dan Cirebon, mulai dari petani sebagai pemasok bahan baku, pedagang
pengumpul, industri pengolah

rotan hingga pengguna akhir, secara umum dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 1 Rantai Pemasaran Rotan di Kalimantan Selatan dan Cirebon.

9

Pemasaran rotan melibatkan mata rantai yang cukup panjang dan bervariasi dari daerah ke
daerah. Secara umum dapat dijelaskan bahwa hampir seluruh rotan mentah berasal dari luar Jawa
(Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan NTB) dan sebagian besar diolah oleh industri rotan yang
terletak di pulau Jawa khususnya Cirebon. Pengolahan rotan di luar Jawa umumnya terbatas hanya
kepada pencucian dan pengasapan dengan belerang (washed and sulphurized (W&S). Beberapa
industri setengah jadi dengan produk-produk rotan seperti kulit rotan (rattan bark), hati rotan atau
fitrit (pith rattan), rotan bulat dipoles halus (polished round rattan) dan bahan anyaman (plaiting
materials) juga terdapat di Kalimantan Selatan. Pada tahun 80 an banyak juga terdapat industri lampit
rotan di Kalimantan Selatan yang tergolong di antara barang 1/2 jadi dan barang jadi rotan yang di
ekspor ke Asia dan Eropa.
Para petani dan pengumpul rotan menjual rotan asalan mereka kepada para pedagang
pengumpul di tingkat desa dan kemudian diteruskan kepada pedagang pengumpul antar pulau.
Sebagian dari pedagang pengumpul tingkat desa tersebut mengolah rotan asalan menjadi rotan W&S
atau rotan belah sebelum menjualnya kepada pedagang pengumpul antar pulau/propinsi. Sejumlah
kecil rotan mentah tersebut dijual ke para pengrajin anyaman rotan di Kalimantan Selatan. Para
pedagang pengumpul antar pulau mengirimkan sebagian besar rotan mereka ke industri pengolahan
rotan di pulau Jawa terutama di Cirebon dan Surabaya dalam bentuk rotan W&S. Sebagian rotan
(W&S dan rotan belah) dijual ke industri pengolahan rotan 1/2 jadi di Kalimantan Selatan.
B. Distribusi Nilai Tambah
Distribusi nilai tambah yang diperoleh setiap pelaku yang terlibat dalam rantai nilai rotan
dikaitkan dengan rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan oleh setiap lembaga tata niaga atau rantai
nilai antara lain :
a. Pengumpul dan petani rotan melakukan pengumpulan/pemanenan dan pengangkutan ke desa
dihasilkan rotan asalan (basah, dengan kadar air 90-100%)
b. Pedagang pengumpul (tingkat desa) dan jasa pengangkutan melakukan pengolahan I
(pencucian, pengeringan dan pengasapan) dan pengangkutan ke Pedagang di Banjarmasin
dihasilkan rotan mentah (W&S), kadar air 25-40%
c. Pedagang pengumpul, pabrik pengolah (skala kecil), jasa pengangkutan melakukan pengolahan
II (pengasapan, pengeringan, pembelahan) dan pengangkutan ke Cirebon dihasilkan rotan
setengah jadi (kulit dan hati rotan)
d. Pabrik pengolah (skala menengah dan besar) melakukan pengolahan (mebel dan anyaman),
pengangkutan ke Cirebon atau diekspor langsung ke konsumen di luar negeri dihasilkan produk
jadi berupa anyaman kulit rotan, anyaman hati rotan dan mebel rotan.
Semakin banyak perlakuan yang diterapkan oleh lembaga tata niaga akan diperoleh nilai
tambah semakin tinggi. Sebagai contoh, seorang petani atau pemungut menambah kegiatan
10

pencucian, pengeringan dan pengasapan terhadap rotan yang dikumpulkannya maka pendapatan
petani akan lebih besar.
Harga rotan di tingkat petani (farmgate price) bervariasi, tergantung kepada jenis rotan serta
lokasinya. Harga di tingkat petani dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan berkisar
antara Rp 300.000,- s.d Rp 400.000,- per kwintal. Harga jual di tingkat pengumpul berkisar antara
Rp 4.000,- s.d. Rp 6.000 per kg. Para pedagang pengumpul untuk mendapatkan rotan harus
mengorder 1 bulan sebelumnya baru barang akan dikirim, hal ini dikarenakan banyaknya permintaan
terhadap petani, akan tetapi stock yang tersedia tidak mencukupi. Keluhan dari para pedagang
pengumpul adalah bahwa mereka hanya bisa mendapatkan jenis rotan kecil saja, sedangkan rotan
yang berukuran besar mereka ekspor untuk mendapatkan keuntungan. Untuk itu pemerintah telah
melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi sejak 1 januari 2012. Demikian pula hal nya dengan
permintaan rotan yang ada di Pulau Jawa. Jadi pedagang yang ada di Kalimantan selatan dan di Jawa
berlomba mendapatkan rotan tersebut, ada istilah yang mereka biasa pakai adalah siapa cepat dia
dapat. Walaupun mereka sudah saling mengenal dengan petani tetapi sistem penjualan mereka masih
bagus.
Jenis rotan yang diperdagangkan sebagian besar (70%) adalah rotan batang berdiameter besar
dan sisanya (30%) berdiameter kecil. Jenis-jenis rotan berdiameter besar terdiri atas jenis-jenis
lambang (Calamus ornatus var. celebica ), umbul (C. sympysypus), noko (Daemonorops sp.), tohiti
(C. inops), uban, tarumpu, mandola, manau (C. manan), semambu (C. scipionum), seuti (C. ornatus)
dan sampang (Korthalsia junghuhnii Miq.), sedangkan jenis-jenis untuk rotan berdiameter kecil
meliputi sega (C. caesius), jahab, pulut (Daemonorops spp. dan Calamus spp.), locek, datuk,
jarmasin (C. leiocaulis) dan cacing (C. javanicus).
Distribusi dari nilai tambah dihitung berdasarkan nilai akhir dari produk mebel rotan berupa
kursi tamu yang terdiri dari 1 buah kursi panjang, 3 buah kursi single dan 1 buah meja tamu.
Berdasarkan hasil wawanwaca di lapangan, 1 kwintal rotan dapat dihasilkan 3 set kursi tamu,
sehingga 1 set kursi tamu rataan rotan batang yang diperlukan sebanyak 35 kg. Distribusi nilai
tambah yang tercipta dari rantai perdagangan rotan yang terbentuk disajikan pada tabel berikut :

11

Tabel 3.

Distribusi Nilai Tambah Para Aktor dalam Rantai Nilai (Rp/1 set kursi
tamu)

No

Aktor

1

Petani
Pembudidaya/Pemungut
Pedagang
Pengumpul/Perantara
Pedagang Pengolah
Rotan WS
Pedagang Antar Pulau
Industri Pengolah Kecil/
Pengrajin
Industri Pengolah
Menengah/Besar
Pedagang
Lokal/Regional
Eksportir

2
3
4
5
6
7
8

Pendapatan
(Rp/1 set
kursi tamu)

Pengeluaran
(Rp/5 liter)

Nilai Tambah
(Rp/5 liter)

Persentasi
(%)

140.000

70.000

70.000

4,77

185.000

150.000

35.000

2.39

210.000

170.000

40.000

2,73

450.000
845.000

350.000
640.000

100.000
205.000

6,82
13,97

1.330.000

1.008.000

322.000

21,95

1800.000

1.530.000

270.000

18,40

2.400.000

1.975.000

425.000

28,97

Jumlah Nilai Tambah Total

1.467.000

100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin ke hilir maka semakin tinggi nilai tambah
perdagangan mebel rotan terwujud. Dalam hal ini, petani pembudidaya/pemungut rotan sebagai
pemasok bahan baku mebel dan anyaman rotan (rotan kering), hanya menikmati nilai tambah sebesar
4,77% dari total nilai tambah yang tercipta, demikian juga nilai tambah yang diterima oleh pedagang
pengumpul tingkat desa dan pedagang pengolah rotan WS masing-masing sebesar 2,39% dan 2,73%.
Hal ini terjadi juga terhadap pengrajin rotan yang berlokasi di wilayah Cirebon dan bermitra dengan
industri pengolahan rotan besar, dimana pengrajin tersebut hanya menikmati nilai tambah sebesar
13,97% dari total nilai tambah yang tercipta. Sementara itu industri besar dan eksportir masingmasing menikmati nilai tambah sebesar 21,95% dan 28,97%. Ketidakseimbangan distribusi nilai
tambah dalam rantai nilai perdagangan mebel rotan ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap
keberlangsungan bisnis mebel dan anyaman rotan dari tanaman rotan budidaya ataupun hutan alam,
karena penerimaan nilai tambah yang relatif sedikit merupakan situasi yang bersifat dis-insentif bagi
para pelaku usaha tersebut, khususnya yang lembaga terlibat di sektor hulu.
Rendahnya nilai tambah yang diterima oleh petani antara lain disebabkan tidak adanya
keseimbangan informasi mengenai pasar rotan, ditutupnya kran ekspor rotan mentah dan setengah
jadi dan standar mutu rotan di tingkat petani sehingga membuat harga rotan lebih rendah dan petani
yang bersifat subsisten atau beralih kepada jenis pekerjaan lain seperti pekerja kebun dan penyadap
karet.
Sedangkan para pengrajin/industri kecil pengolah rotan umumnya menghasilkan produk
barang setengah jadi dengan kualitas sesuai dengan spesifikasi yang diminta oleh industri besar,
12

dimana seringkali harga jualnyapun lebih dikendalikan oleh industri besar sebagai pembeli. Hal ini
disebabkan terjadinya informasi yang asimetris mengenai informasi pasar sehingga para aktor yang
mendapatkan lebih banyak informasi cenderung mendapatkan lebih banyak keuntungan.
IV. Penutup
Industri mebel dan anyaman rotan di Kabupaten Cirebon memiliki potensi yang cukup besar
untuk dikembangkan. Rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan oleh setiap lembaga tata niaga atau
rantai nilai merupakan acuan dalam memperoleh nilai tambah setiap lembaga tata niaga. Dengan
mengetahui rantai nilai dari industri mebel dan anyaman tersebut, telah cukup jelas, bahwa industri
mebel dan anyaman di Kabupaten Cirebon saat ini memerlukan berbagai dukungan dari berbagai
pihak terkait (Kehutanan, Perdagangan, Perindustrian, Perbankan/Penanam Modal dan Pemda), agar
potensi industri yang ada dapat memberikan nilai tambah yang besar bagi pendapatan masyarakat,
daerah dan devisa negara. Kelangsungan industri mebel dan anyaman rotan sangat dipengaruhi oleh
jaminan kepastian pasar dan kelangsungan bahan baku. Beberapa rekomendasi kebijakan agar terjadi
keseimbangan nilai tambah di sepanjang rantai nilai perdagangan antara lain:
a.

Penghapusan kewajiban terhadap para pemungut, petani dan pedagang pengumpul rotan untuk
memiliki surat izin pemungutan rotan agar sumber daya rotan lestari.

b.

Penghapusan PSDH untuk seluruh jenis rotan (alam dan tanaman) sehingga diharapkan dapat
memotong ekonomi biaya tinggi dalam tataniaga rotan dan berimplikasi merangsang masyarakat
lokal untuk melestarikan dan membudidayakan rotan.

c.

Kebijakan penyerapan rotan yang dihasilkan oleh petani/pemungut rotan oleh industri
pengolahan berdasarkan harga patokan yang ditetapkan pemerintah yang mengacu dari hasil
perpaduan antara harga domestik dan harga ekspor.

d.

Penghapusan larangan ekspor untuk jenis rotan yang tidak diserap oleh industri pengolahan.

Daftar Pustaka
BAPPEDA dan BPS Kabupaten Cirebon. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten
Cirebon 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. Cirebon.
Barclay I, Dann Z, Holroyd P. 2000. New Product Development: A Practical Workbook for
Improving Performance. Butterworth - Heinemann: Oxford.
Dinas Perindag. 2013. Laporan Tahunan Evaluasi Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi. Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat Tahun 2012.
Cirebon, 2013.

13

Dinas Perindag. 2012. Laporan Tahunan Evaluasi Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi. Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat Tahun 2011.
Cirebon, 2012.
Grant E, Ellen KP, Sandra SL. 1997. Ecology and Natural Resource Management, System Analysis
and Simulation. Toronto: John Willey&Son, Inc.
Kaplinsky R, Readman J. 2001. Integrating SMEs in Global Value Chains towards Partnership for
Development. United Nations Industrial Development Organization. Viena.
Purnomo H. 2005. Teori sistem kompleks, pemodelan dan manajemen sumberdaya adaptif.
Kementerian Perdagangan. 2011. Permendag No
ekspor rotan dan produk rotan. Jakarta.

35 r/M-DAG/PER/12/2011 tentang ketentuan

Kementerian Perdagangan. 2012. Peraturan Menteri Perdagangan No.22/M-DAG/PER/4/2012
tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan PSDH. Jakarta.
KPSHK. 2010. Menilik Sejarah Rotan Indonesia. Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan.
http://kpshk.org/index.php/artikel/read/2010/10/08/1150/menilik-sejarah-rotanindonesia.kpshk.
Kompas. 2012. Usaha Rotan Bangkrut. Harian Kompas, 7 April 2012. Jakarta.
Muhammad
Natsir
Rini.
Masalah
pemasaran
rotan,
http://www.dephut.go.id/
INFORMASI/MKI/06VIPemasaran%20rotan.htm, , diakses 14 Juni 2011).

14