Rantai Nilai Pascapanen dan Nilai Tambah Penyimpanan Dingin Bawang Merah (Studi kasus : Kabupaten Cirebon)

!"#$

%

&

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rantai nilai pascapanen
dan nilai tambah penyimpanan dingin bawang merah di Cirebon adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

NIM F152120041

SAZLI TUTUR RISYAHADI. Rantai Nilai Pascapanen dan Nilai Tambah
Penyimpanan Dingin Bawang Merah Studi Kasus Kabupaten Cirebon. EMMY

DARMAWATI dan Y. ARIS PURWANTO.
Teknologi penyimpanan dingin bawang merah menjadi peluang untuk
menjamin pasokan karena dapat menyelamatkan susut bawang pada panen raya
dan menggunakannya pada saat kekurangan di musim hujan. Rantai nilai
dilakukan untuk menentukan pelaku mana yang tepat untuk menggunakan
teknologi tersebut. Penelitian bertujuan menganalisis rantai nilai bawang merah
dan mengkaji nilai tambah penyimpanan dingin bawang merah di Cirebon.
Metodologi penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner deskriptif,
analisis nilai tambah menggunakan metode hayami dan analisis biaya pokok.
Respondennya merupakan
bawang merah dari petani, koperasi,
pedagang pengirim hingga pedagang pasar induk. Analisis rantai nilai dilakukan
pada jenis bawang merah ikatan, lepasan dan askip
Hasil analisis rantai nilai menunjukkan bahwa petani mendapatkan
keuntungan pascapanen lebih rendah daripada pengirim dan pedagang bawang
merah baik bawang merah ikatan, lepasan maupun askip. Keuntungan pascapanen
pada petani sebesar Rp 85 per kg sedangkan pascapanen sampai askip
sebesar Rp 235 per kg. Dengan keuntungan dan nilai RC yang paling rendah pada
petani, teknologi penyimpanan dingin lebih sesuai dilakukan di wilayah produsen
oleh petani dibandingkan dengan pelaku lainnya bila ingin meningkatkan RC

petani.
Hasil analisis menunjukkan bahwa biaya pokok operasional
yaitu Rp 472 per kg per bulan dengan asumsi bunga modal 10 % per tahun, lama
operasional 3 bulan dan kapasitas terpakai 600 ton. Kapasitas tersebut akan
tercapai bila penyimpanan dingin dikelola koperasi. Semakin tinggi bunga modal
semakin tinggi biaya pokoknya. Namun biaya pokok akan semakin rendah bila
kapasitas dan lama operasional meningkat. Terjadi peningkatan keuntungan petani
yang menggunakan penyimpanan dingin dari Rp 439 menjadi Rp 2945 per kg
dengan penyimpanan 2 bulan. Peningkatan tersebut diperoleh dengan asumsi
harga sebelum disimpan Rp 10000 per kg, susut penyimpanan dingin 15% dan
harga jual setelah disimpan Rp 16500 per kg. Harga pasar berfluktuatif berkisar
antara Rp 12000 sampai Rp 17000 per kg dengan rata;rata Rp 14500 per kg.

Kata kunci:

SAZLI TUTUR RISYAHADI. Postharvest value chain and coldstorage added
value of shallout (Case Study: Cirebon District). EMMY DARMAWATI and Y.
ARIS PURWANTO.
Coldstorage technology of shallout has a potential aspect to ensure market
supply because its able to reducing losses when stock up and used for off season.

But those technology are highly cost and need to know who the apropiate actor
applying coldstorage. Because of that, this study aimed to investigate supply chain
of shallot, analyze value chain and compile an economic comparison of
conventional storage and cold storage.
This present study conducted in Cirebon. Primary data were collected by
surveys quasionare from 30 responden of farmers, 20 responden of collecting
trader and 30 responden a wholeseller. Beside that, data collected by deep
interviewed by cooperation manager. Data was calculated by Hayami methods
and cost analysis. Shallot were examined in three groups according to their
postharvest processing. Bulb with only curing process were categorized as bind
bulbs, bulb with curing and trimming leaf were categorized as single bulbs and
bulb with extend curing process were categorized as askip bulbs.
The result showed that majority of shallot were being disposed off through
inner island collecting trader followed by outer island trader, wholesaler and local
market. The marjin profit were found higher for collecting trader and wholeseller
as compared to farmer. The analyses Hayami showed that curing process of bind
bulbs and single bulbs has 85 IDR per kg, but askip bulbs has 235 IDR per kg.
Cost analyses study showed that the basis cost of operational coldstorage
was 472 IDR per kg per month with asumption rate 10% annual, 3 month
operational time per year and 600 ton capacity used. The higher of rate was the

higher operational cost but the higher capacity and operational time was the lower
operational basis cost. There were increasing profit marjin of farmer using
coldstorage from 439 IDR to 2945 IDR per kg with 2 month storaging time. That
profit would be obtained by asumption 10000 IDR per kg price before storaging,
15% losses of coldstorage and 16500 IDR per kg price of shallot after storaging .
Coldstorage technology were more apropriate for farmers than collecting
trader and wholeseller. That capacity of coldstorage will be easier if coldstorage is
managed by cooperation of farmers. Higher profit marjin of coldstorage may help
the farmers to increase their income.

Key Word:

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang;Undang

! "

! "

'


( ) *+

,*(-+

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

!"#$

Judul Tesis : Rantai Nilai Pascapanen dan Nilai Tambah Penyimpanan Dingin
Bawang Merah (Studi kasus : Kabupaten Cirebon)
Nama
: Sazli Tutur Risyahadi
NIM
: F152120041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Y. Aris Purwanto MSc
Anggota

Dr Ir Emmy Darmawati MSi
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr Ir Sutrisno. M.Agr

Dr. Ir. Dahrul Syah. MSc.Agr

Tanggal Ujian : 05 Februari 2015


Tanggal Lulus :

%

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR TABEL

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Rantai Nilai
Analisis Rantai Nilai pada Pertanian
Penelitian;Penelitian Mengenai Rantai Nilai
Nilai Tambah Produk Pertanian
Pascapanen Bawang Merah
Penyimpanan Bawang Merah

3
3
4

5
7
8
8

METODE
Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode penelitian

10
10
10
10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Rantai Nilai
Analisis Biaya Pokok Penyimpanan Dingin
Nilai Tambah Penyimpanan Dingin


13
13
23
29

KESIMPULAN

31

SARAN

32

DAFTAR PUSTAKA

32

%
Gambar 1 Harga, produksi dan kebutuhan bawang merah tahun 2012 .............. 1
Gambar 2 Luas panen tanaman sayuran kabupaten Cirebon .............................. 3

Gambar 3 Diagram alir Penelitian..................................................................... 11
Gambar 4 Rantai pasok bawang merah ............................................................. 13
Gambar 5 Jenis bawang merah ......................................................................... 13
Gambar 6 Rantai Nilai Bawang Merah Ikatan .................................................. 17
Gambar 7 Rantai Nilai Bawang Merah Lepasan.............................................. 19
Gambar 8 Rantai nilai bawang merah askip ..................................................... 21
Gambar 9 Bangunan luar gudang bawang merah berpendingin ....................... 23
Gambar 10 Tataletak ruang pendingin ............................................................. 24
Gambar 11 Perubahan biaya pokok terhadap perubahan asumsi bunga
modal (a), kapasitas terpakai (b) dan lama operasional (c) ......................... 28

%
Tabel 1 Data produksi, konsumsi, surplus dan impor bawang merah ................ 2
Tabel 2 Kerusakan penyimpanan bawang digedeng dan penjemuran ................ 8
Tabel 3 Kondisi penyimpanan direkomendasikan bawang bombay ................... 9
Tabel 4.Analisis nilai tambah metode hayami (1987) ...................................... 12
Tabel 5 Analisis nilai tambah Hayami bawang merah ikatan ........................... 16
Tabel 6 Analisis rantai nilai bawang merah lepasan ......................................... 19
Tabel 7 Analisis rantai nilai bawang merah ikatan ........................................... 21
Tabel 8 Biaya;biaya tetap Penyimpanan Dingin ............................................... 25
Tabel 9 Biaya;biaya tidak tetap Penyimpanan Dingin ...................................... 26
Tabel 10 Data perhitungan biaya total penyimpanan dingin ............................ 27

, *. ' +/
Bawang merah merupakan komoditi yang dibutuhkan oleh masyarakat
Indonesia sehari;hari sehingga bila terjadi fluktuasi pasokan akan menyebabkan
fluktuasi harga. Bawang merah dapat diproduksi sepanjang tahun namun sebaran
per bulan tidak merata (Gambar 1), sedangkan bagi individu konsumen bawang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit, kontinu dan tidak tergantikan oleh komoditi
lain. Seringkali petani sayuran di sentra produksi pada saat panen raya berada
dalam posisi yang lemah. Hal ini karena harga yang rendah bila ingin dijual atau
mengalami susut yang tinggi bila disimpan dan akan dijual pada saat harga stabil.
Menurut Dirjen P2HP Kementerian Pertanian (2006) susut pada komoditas
bawang mencapai 30;40%. Walaupun tidak saat panen raya pun, tingginya harga
bawang ditingkat pengecer dan pasar modern tidak terdistribusi dengan baik ke
tingkat petani sehingga petani memperoleh porsi pendapatan terkecil dan
fluktuatif (Nurasa dan Darwis, 2007).

Gambar 1 Harga, produksi dan kebutuhan bawang merah tahun 2012
Sumber : Kemendag dan Dewan Bawang Merah Nasional

Disisi lain, pemerintah seringkali mngeluarkan izin impor setiap tahunnya,
padahal jumlah produksi lebih besar daripada konsumsi dari tahun 2008 hingga
2012 (Tabel 1). Seharusnya dengan adanya penyimpanan yang baik akan mampu
menyelamatkan surplus produksi sehingga dapat mencegah impor bawang merah
yang dapat merugikan petani bawang merah.

2
Tabel 1 Data produksi, konsumsi, surplus dan impor bawang merah
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012

Produksi Konsumsi Surplus Impor
(Ton)
(Ton)
(Ton)
(Ton)
853.615
630.258 223.357
127.830
965.164
590.688 374.476
67.330
1.048.934
601.887 447.047
73.270
893.124
568.850 324.274
89.700
964.221
695.128 269.093
96.992

Sumber : BPS 2013

Penggunaan teknologi pascapanen yang baik dan dilakukan oleh
yang tepat akan mengurangi susut serta memberikan keadilan
keuntungan dalam rantai distribusi produk buah dan sayur (Perdana dan
Kusnandar, 2012). Teknologi penyimpanan menjadi hal krusial dalam
mengendalikan pasokan bawang merah dan berpotensi untuk meningkatkan nilai
tambah. Penyimpanan yang baik dapat memperpanjang umur simpan sehingga
dapat menyelamatkan kehilangan bawang pada panen raya dan menggunakannya
pada saat kekurangan. Penyimpanan suhu rendah mampu menghambat terjadinya
susut bobot, mempertahankan kadar air serta mempertahankan kualitas dan
memperpanjang masa simpan. Bawang merah ikatan yang dimasukkan ke dalam
refrigerator selama 2 bulan pada suhu 5°C dan RH 65;70% paling baik karena
susut rendah, kadar air tetap tinggi dan kekerasan masih baik selain itu mampu
) dibandingkan dengan
mempertahankan kadar VRS (#
suhu ruang (Mutia
2014). Namun demikian, teknologi penyimpanan dingin
memerlukan biaya investasi yang tinggi (Syafriel, 2009).
Analisis rantai nilai diperlukan untuk mengetahui pelaku
mana
yang perlu perbaikan masukkan teknologi dan peningkatan sumberdaya manusia
untuk meningkatkan nilai tambah (Stephen, 2008). Pendekatan rantai nilai
membantu memahami bagaimana kondisi pembentukan nilai sepanjang rantai,
melakukan identifikasi siapa yang menanganinya, menjawab pertanyaan yang luas
dan spesifik, serta melakukan pendekatan membangun hubungan kemitraan
(Bahtiar dan Kindangen, 2011)
Kabupaten Cirebon berada di Jawa Barat yang merupakan propinsi ketiga
terbesar penghasil bawang merah setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada
tahun 2013 (BPS, 2014). Selain itu, luas panen bawang merah di kabupaten
Cirebon terbesar diantara sayuran lainnya hingga mencapai 80% (BPS Cirebon,
2014). Berikut Gambar 2 yang memperlihatkan luas panen tanaman sayuran di
kabupaten Cirebon. Di Kabupaten Cirebon pun terdapat koperasi petani Nusantara
Jaya yang mendapatkan bantuan pendirian penyimpanan dingin oleh Kementerian
Pertanian.

3

Gambar 2 Luas panen tanaman sayuran kabupaten Cirebon
Sumber: BPS Cirebon, 2014

*, 0

+

. 1

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang
diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana rantai pasok dan rantai nilai bawang merah di Cirebon?
2. Bagaimana menentukan
yang tepat untuk melakukan
penyimpanan dingin sepanjang rantai distribusi bawang merah?
3. Berapa besar nilai tambah yang dihasilkan dari penerapan penyimpanan
dingin bawang merah?
2

+ *+*.

+

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis rantai nilai bawang
merah (2) menganalisis biaya operasional penyimpanan dingin (3) mengkaji nilai
tambah penyimpanan dingin bawang merah
+3

*+*.

+

Manfaat penelitian adalah memberikan informasi gambaran peluang
peningkatan nilai tambah pada
bawang merah sepanjang rantai
distribusi dan sebagai masukan bagi pemerintah dalam penerapan bantuan
penyimpanan dingin.

+

.

Analisis rantai nilai menurut Kaplinsky (1999) harus mengacu pada
serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk mengadakan suatu komoditas produk
yang dimulai dari tahap konseptual, dilanjutkan dengan beberapa tahap produksi,
hingga pengiriman ke konsumen akhir. Rantai nilai terbentuk ketika semua pelaku
dalam rantai tersebut beraktifitas sedemikian rupa sehingga memaksimalkan

4
terbentuknya nilai sepanjang rantai tersebut. Definisi ini dapat diartikan secara
sempit maupun luas. Pada definisi dalam arti sempit, suatu rantai nilai mencakup
serangkaian kegiatan yang dilakukan di dalam suatu perusahaan untuk
menghasilkan keluaran tertentu. Sedangkan definisi rantai nilai berdasarkan
pendekatan yang luas melihat berbagai kegiatan kompleks yang dilakukan oleh
berbagai pelaku (produsen utama, pengolah, pedagang, penyedia jasa) untuk
membawa bahan baku melalui suatu rantai hingga menjadi produk akhir yang
dijual. Rantai nilai ini dimulai dari sistem produksi bahan baku yang akan terus
terkait dengan kegiatan usaha lainnya dalam perdagangan, perakitan, pengolahan,
dan lain;lain.
Rantai nilai merupakan alat yang dapat digunakan
untuk
menentukan sumber keunggulan kompetitif. Porter (1985), menyatakan bahwa
perlunya
meningkatkan
keunggulan
kompetitif
perusahaan
dengan
membandingkan dua strategi utama yaitu strategi pengurangan harga dan strategi
diferensiasi. Pada strategi pengurangan harga yaitu bagaimana menentukan suatu
kegiatan dapat memberi konsumen nilai yang setara dari produk pesaing namun
diperoleh dengan biaya yang lebih murah sedangkan strategi diferensiasi yang
menentukan kegiatan menghasilkan produk lebih mahal tapi konsumen mau
membayar lebih. Analisis rantai nilai membantu kegiatan atau strategi yang akan
dipilih oleh pelaku usaha agar memperoleh keunggulan kompetitif.
+ .

+

.

)

*, + +

Menurut ACIAR (2012 ) dalam mengkaji rantai nilai pada sektor pertanian
terdapat empat aspek yang dianggap penting untuk dapat dianalisis. Pertama,
suatu analisis rantai nilai melakukan pemetaan secara sistematis para pelaku yang
berpartisipasi dalam produksi, distribusi, pemasaran, dan penjualan suatu produk
atau komoditas pertanian. Pemetaan ini mengkaji ciri;ciri berbagai pelaku,
struktur laba;rugi, aliran barang di sepanjang rantai, ciri ketenagakerjaan, serta
tujuan dan volume penjualan lokal dan nonlokal (Kaplinsky dan Morris 2001).
Data dan informasi tersebut dapat dikumpulkan dari kegiatan atau gabungan
kegiatan berupa kegiatan survei langsung, diskusi kelompok terfokus, pengkajian
pedesaan secara partisipatif (PRA), wawancara informal, dan data sekunder.
Kedua, analisis rantai nilai dapat memainkan peran utama dalam
mengidentifikasi distribusi manfaat bagi para pelaku dalam rantai nilai. Melalui
analisis margin dan laba ataupun dengan
$
di dalam rantai
nilai, dapat dilihat siapa saja yang memperoleh manfaat dari partisipasi dalam
rantai nilai dan pelaku mana yang dapat memperoleh manfaat dari dukungan
teknologi atau pengorganisasian yang lebih baik.
Ketiga, analisis rantai nilai dapat digunakan untuk mengkaji peran
peningkatan dalam rantai nilai. Peningkatan dapat mencakup peningkatan dalam
hal kualitas, umur simpan dan desain produk, atau diversifikasi dalam lini produk
yang dilayani, yang memungkinkan produsen mendapatkan nilai yang lebih
tinggi. Beberapa kasus peran peningkatan rantai nilai komoditas pertanian
dilakukan dengan mengurangi
pada saat pascapanen dengan menggunakan
teknologi yang memadai. Suatu analisis terhadap proses peningkatan mencakup
adanya kajian atas seberapa besar laba yang dapat diperoleh para pelaku di dalam
rantai nilai, serta informasi tentang keterbatasan yang ada.

5
Keempat, analisis rantai nilai mengkaji peran tata kelola dalam rantai nilai,
yang dapat bersifat internal maupun eksternal. Tata kelola dalam suatu rantai nilai
mengacu pada struktur hubungan dan mekanisme koordinasi yang terjadi antara
para pelaku dalam rantai nilai. Tata kelola merupakan konsep yang luas yang pada
dasarnya memastikan bahwa interaksi antara para peserta di dalam rantai nilai
telah terorganisir, dan bukan hanya sekedar terjadi secara acak. Umumnya, tata
kelola dalam rantai nilai terjadi ketika beberapa pelaku bekerja dengan memenuhi
kriteria yang ditetapkan oleh pelaku lainnya dalam rantai nilai tersebut. pada
kasus cabe dalam FAO (2012), terdapat standar mutu atau waktu pengiriman,
insentif dan volume yang ditetapkan oleh industri pengolahan cabe pada koperasi
petani serta hubungan tatakelolanya terhadap para petani cabe.
ACIAR (2012) menyatakan bahwa alat analisis rantai nilai terbagi menjadi
tiga jenis yaitu alat umum, alat kualitatif dan alat kuantitatif. Setiap jenis alat
memiliki beberapa aktivitas. Alat umum aktivitasnya meliputi penentuan prioritas
rantai nilai yang akan dianalisis dan setelah itu melakukan pemetaan rantai nilai.
Alat kualitatif terdiri dari analisis tata kelola (koordinasi, regulasi dan kendali),
analisis keterkaitan dan kepercayaan, serta analisis pilihan untuk peningkatan
berdasarkan permintaan baik pengetahuan, ketrampilan, teknologi maupun
layanan pendukung. Alat kuantitatif aktivitasnya meliputi analisis biaya dan
marjin, analisis distribusi pendapatan dan analisis distribusi lapangan pekerjaan.
Setiap aktivitas pada setiap jenis alat memilki langkah;langkah yang harus
dilakukan dalam menganalisis rantai nilai. Pada aktivitas penentuan prioritas
langkahnya yaitu penentuan kriteria, penentuan bobot kriteria, identifikasi daftar
produk/kegiatan dan penetapan produk/kegiatan. Sedangkan untuk aktvitas
pemetaan rantai nilai aktivitasnya terdiri dari pemetaan proses inti, identifikasi
dan pemetaan pelaku utama yang terlibat, pemetaan aliran produk, pemetaan
pengetahuan dan alur informasi, pemetaan volume dan jumlah pelaku, pemetaan
alur geografis produk, pemetaan nilai pada berbagai tingkatan dalam rantai nilai,
pemetaan hubungan keterkaitan antara pelaku rantai nilai, pemetaan layanan dan
pemetaan hambatan serta solusinya. Pada jenis alat kuantitatif terdapat aktivitas
analisis biaya dan marjin yang memiliki langkah;langkah penghitungan biaya
peluang dan biaya keuangan, penghitungan biaya investasi yang diperlukan,
penghitungan penerimaan per pelaku, penghitungan rasio keuangan, perubahan
keuangan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, posisi keuangan relatif para
pelaku dan penetapan
. Setelah aktivitas analisis biaya dan marjin,
lalu melakukan analisis distribusi pendapatan yang meliputi penetapan kategori,
penghitungan pendapatan per unit keluaran, penghitungan pendapatan bersih di
tiap tingkatan rantai nilai serta penghitungan distribusi pendapatan upah dan
distribusi nilai tambah.
*+*.

+4 *+*.

+

*+/*+

+

.

(2004) terdapat keunggulan ekonomis yang jelas
Menurut Kumar
dalam produksi sayuran bila dibandingkan dengan produk lain namun kekurangan
fasilitas marketing telah menjadi hambatan utama. Biaya transportasi dan marjin
pemasaran baik retailer maupun pasar induk diidentifikasi sebagai penyebab
utama tingginya biaya pemasaran sayuran yang berdampak pada keuntungan
produk. Navadkar
(2005) telah mengangkat isu tingginya biaya pengemasan,

6
tingginya komisi, tingginya biaya transportasi dan penundaan pembayaran ke
petani serta adanya malpraktek dalam pemasaran sayuran seperti tindakan
spekulatif penimbunan. Khunt
(2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan
negatif yang signifikan antara kedatangan pasar dengan harga sayuran. terdapat
variasi dalam
petani berdasarkan perbedaan saluran pemasarannya.
Sidhu
(2010) telah melakukan penelitian rantai pasok bawang bombay
di Punjab, India dengan melakukan analisis biaya dan pendapatan ditingkat petani.
Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa umumnya petani memasok bawang
ke agen/pengumpul (lebih dari 90%, diikuti ke pengecer dan ke konsumen
langsung. Menurutnya efisiensi pemasaran dapat ditingkatkan melalui kompetisi
antar rantai pengecer dan perubahan harga disuatu tempat mempengaruhi
perubahan harga ditempat lain. Terdapat tiga saluran pemasaran bawang merah,
Sidhu
(2010) menggunakan analisis RC rasio dan marjin dalam penelitiannya
dengan hasil 2,5 untuk RC rasionya dan 74.547 rupee atau setara Rp 11.000 untuk
marjin petaninya.
Selain di India, Departemen Pertanian pemerintahan Nepal pada tahun 2008
telah melakukan analisis rantai nilai yang dimulai dari pemetaan rantai pasok,
penghitungan rantai nilai kuantitatif dengan analisis marjin dan rasio RC serta
melakukan analisis SWOT untuk penyusunan strategi peningkatan nilai tambah.
Analisis dilakukan pada tingkat petani, pengumpul, pasar induk dan retailer. Dari
hasil analisis rantai nilai tersebut terdapat beberapa rencana aksi yaitu
membangun pusat pengumpulan bawang bombay, gudang dan
.
Selain itu perlu membangun atau memperbaiki kondisi pasar, memperbaiki faktor
budidaya dan pascapanen terutama metode
. Rencana aksi tersebut akan
dibiayai melalui subsidi maupun sektor swasta.
Pemerintah Afrika Selatan tahun 2010 telah melakukan analisis rantai nilai
bawang yang menyatakan bahwa rantai nilai dapat dibagi berdasarkan beberapa
level yaitu Petani (produksi bawang merah), Pemilik rumah kemasan (sortasi,
grading dan pengawasan mutu), Penyimpanan dingin dan fasilitas transportasi
oleh petani, pedagang bawang, Processors (yang memberikan nilai tambah dan
diproses menjadi bentuk yang dapat digunakan dan Konsumen (pengguna akhir)
Prihatinningsih (2007) telah melakukan penelitian mengenai efisiensi
saluran pemasaran bawang merah dikota Bogor, menurutnya terdapat 16 saluran
pemasaran bawang merah di Kota Bogor. Dari hasil penelitiannya terdapat saluran
pemasaran yang paling efisien karena selisih harga petani dengan harga konsumen
hanya sebesar Rp 1800. Saluran pemasaran ini terdiri dari pengirim, pedagang
besar di Pasar Induk Kemang dan pedagang pengecer di Pasar Baru Bogor. Model
menghasilkan alokasi bawang merah yang meminimalkan biaya
pasokan bawang merah ke pasar;pasar di Kota Bogor.
Endrasri dan Prayudi (2011) telah menginventarisi teknologi penanganan
bawang merah beserta pengolahannya untuk meningkatkan nilai tambah. Salah
satunya adalah pengeringan diatas para;para dan dibalik setiap dua hari.
Menurutnya pengeringan ini dilakukan setelah pemanenan hingga bawang merah
mencapai kondisi askip sehingga kondisi kering mempunyai daya tahan simpan 2;
3 bulan. Hal ini dapat mengurangi susut sehingga mampu memberikan
meningkatkan nilai tambah.

7
.

0( 1 ,-

' *, + +

Menurut Agricultural Development International (2008), sebelum
memutuskan untuk memasuki pasar baru terlebih dahulu menentukan bisnis yang
paling menguntungkan. Pendapatan, biaya, dan marjin harus dibandingkan dalam
rantai nilai (kedua saluran pemasaran yang berbeda dan rantai produk yang
berbeda), selain itu juga potensi
dan investasi yang diperlukan harus
diselidiki pada saat melakukan pemasaran.
Menurut Hayami
. (1987) ada dua cara untuk menghitung nilai
tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran.
Faktor;faktor yang mempengaruhi nilai tambah pengolahan dapat dikaterogikan
menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh
adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja.
Faktor pasar yang berpengaruh adalah harga
, upah tenaga kerja, harga
bahan baku dan nilai
lain selain bahan baku dan tenaga kerja. Besarnya nilai
tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan
lain terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja.
Salah satu metode analisis nilai tambah pengolahan yang sering digunakan
adalah yang dikemukakan oleh Hayami
. (1987). Kelebihan dari model
analisis yang digunakan oleh Hayami
. (1987) adalah: (1) lebih cepat
digunakan untuk proses pengolahan produk;produk pertanian, (2) dapat diketahui
produktivitas produknya, (3) dapat diketahui balas jasa bagi pemilik;pemilik
faktor produksi dan (4) dapat dimodifikasi untuk analisis nilai tambah selain sub
sistem pengolahan..
Nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan dalam
proses pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan ketrampilan serta
kualitas bahan baku. Penerapan teknologi yang cenderung padat karya akan
memberikan proporsi terhadap tenaga kerja dalam jumlah lebih besar dari pada
melihat langsung keuntungan bagi perusahaan, sedangkan apabila yang diterapkan
padat teknologi yang berpengaruh terhadap modal maka besarnya proporsi bagian
pengusaha lebih besar dari pada proporsi bagian tenaga kerja. Besar kecilnya
proporsi tersebut tidak berkaitan dengan imbalan yang diterima tenaga kerja.
Besar kecilnya imbalan tenaga kerja tergantung pada kualitas tenaga kerja itu
sendiri seperti keahlian dan ketrampilan. Kualitas bahan baku juga berpengaruh
terhadap pemasaran nilai tambah apabila dilihat dari produk akhir. Jika faktor
konversi bahan baku terhadap produk akhir semakin lama semakin kecil, artinya
pengaruh kualitas bahan baku semakin lama semakin besar.
Menurut Balk (2002), nilai tambah diperoleh dari perbedaan antara
penerimaan dan biaya;biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya
, biaya energi
dan biaya material. Menurut Coltrain
. (2000) nilai tambah adalah menambah
nilai produk dengan mengubah tempat, waktu dan bentuk menjadi lebih disukai
oleh konsumen dalam pasar. Terdapat dua jenis nilai tambah, yaitu inovasi dan
koordinasi. Kegiatan inovasi merupakan aktivitas yang memperbaiki proses yang
ada, prosedur, produk dan pelayanan atau menciptakan sesuatu yang baru dengan
menggunakan atau memodifikasikan konfigurasi organisasi yang telah ada,
sedangkan pengertian dari koordinasi merupakan harmonisasi fungsi dalam
keseluruhan bagian sistem. Hal tersebut merupakan peluang dalam meningkatkan
koordinasi produk, pelayanan informasi dalam proses produksi pertanian untuk

8
menciptakan imbalan yang nyata dan meningkatkan nilai produk dalam setiap
tahap proses produksi pertanian. Konsep nilai tambah bukan hanya terbatas pada
fisik produk, tetapi juga pelayanan (
) yang diciptakan (Boade 2003).
5 ) +*+

6 +/

*, 1

Nugraha
(2010) telah menganalisis perbedaan nilai kerusakan pada 2
metode penjemuran yang mempengaruhi nilai tambah. Terdapat kerusakan yang
lebih besar ketika bawang merah dijemur daripada digedeng (diikat) selama
penyimpanan (Tabel 2).
Tabel 2 Kerusakan penyimpanan bawang digedeng dan penjemuran
Kerusakan (%) dalam minggu
Perlakuan
Penyimpanan
4
6
8
Digedeng
2.20
8.11
10.66
Penjemuran
4.14
11.28
14.38
Sumber: Nugraha,
(2010)

10
13.22
16.08

12
15.23
14.54

14
15.51
21.05

Selain penyimpanan diatas para dan digedeng terdapat beberapa penelitian
mengenai penanganan pascapanen bawang merah untuk meningkatkan nilai
tambah seperti cara panen,
, sortasi dan grading serta penyimpanan suhu
rendah. Bawang merah setelah dari lahan akan dibawa ke ruang penyimpanan.
Namun sebelumnya akan melewati tahapan
terlebih dahulu untuk
menyembuhkan luka pada bawang. Selanjutnya dilakukan sortasi untuk
memisahkan antara umbi yang bagus dan yang busuk. Terakhir dilakukan
pengeringan untuk mengeringkan umbi sehingga umur simpan menjadi lebih
lama.
Menurut Dinas Pertanian DI Yogyakarta (2012), umumnya masyarakat
dikabupaten gunung kidul melakukan proses
(pelayuan) dan pengeringan
dengan cara menjemur bawang merah dibawah sinar matahari selama 2;3 hari
atau diangin;anginkan selama 2;4 minggu sampai daun menjadi setengah kering.
Sedangkan pengeringan prosesnya hampir sama dengan proses pelayuan hanya
waktunya lebih lama 7;10 hari atau juga bisa dilakukan dengan cara menggantung
diatas para;para dan dibalik setiap dua hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Triyono
2010 menyatakan bahwa
petani di Brebes hanya sebanyak 66,67% yang melakukan sortasi. Sortasi
memiliki peranan penting untuk memisahkan umbi yang rusak dengan umbi yang
masih bagus sehingga memperkecil kemungkinan untuk penularan penyakit pada
umbi tersebut.
*+7 0) + +

6 +/

*, 1

Petani bawang merah masih menyimpan secara tradisonal yaitu
menyimpannya pada para;para di atas tungku dimana kondisi ruangan dijaga pada
temperatur 26;29°C dengan RH 70;80%. Penyimpanan menggunakan para bila
dilakukan secara benar dengan suhu dengan RH yang tercukupi dapat tahan
selama 6 bulan. Namun kadangkala para;para tidak konstan mencapai suhu dan
RH yang diinginkan sehingga terjadi kerusakan. Beberapa alternatif penyimpanan

9
bawang merah adalah penyimpanan di ruang berventilasi, penyimpanan pada suhu
rendah dan penyimpanan di ruang termodifikasi. (Nurkomar
, 2001)
Penyimpanan pada suhu rendah memiliki beberapa fungsi diantaranya
efektif mengurangi kehilangan air dan pelayuan, mengurangi proses penuaan,
mengurangi laju respirasi dan mengurangi proses pertumbuhan yang tidak
dikehendaki seperti pertunasan sehingga penyimpanan ini dianggap efektif apabila
diterapkan pada bawang merah yang memiliki laju respirasi yang tinggi dan
mudah mengalami kerusakan.
Saat ini sudah mulai dikembangkan penyimpanan pada suhu rendah untuk
skala penelitian, diantaranya dilaporkan oleh Nurkomar
(2001), melakukan
penyimpanan bawang merah pada suhu 10°C dengan RH 75;80% dapat disimpan
selama 3 bulan dengan kehilangan berat yang hanya 3,59% dibandingkan
penyimpanan pada suhu 20°C yang mencapai kehilangan sebanyak 7,76%. Selain
itu pada suhu rendah dapat mengalami susut bobot sebanyak 5;10% dibandingkan
penyimpanan konvensional yang dapat mencapai 30;40% hingga konsumsi
(Dirjen P2HP,2006). Bawang akan tumbuh jika suhu penyimpanan terlalu hangat,
dan kadang umbi yang membusuk, dengan menjaga kondisi penyimpanan yang
baik maka akan menjaga kualitas dan dapat bertahan selama beberapa bulan.
Menurut Agblor dan Doug (2001) bahwa suhu optimum untuk penyimpanan
jangka panjang bawang merah adalah 00C dengan RH 65;70%. Kondisi
penyimpanan refrigerator yang direkomendasikan untuk bawang bombay dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rekomendasi kondisi penyimpanan untuk bawang bombay
1 8
9
0
*+7 0) + +
(;2);(;0,6)
75;80
6 bulan
0
65;70
6;8 bulan
0
70;75 atau 90;95
Sampai 120 hari
1;2
80;85
30;35 minggu
4
;
170 hari
8
;
120 hari
12
;
Sekitar 90 hari
20
;
25 Hari
Sumber: Thompson (1996)

Menurut Mutia
(2014), Perlakuan suhu memberikan pengaruh nyata
terhadap susut bobot, kadar air, kerusakan, VRS dan kekerasan sedangkan
perlakuan kadar air memberikan pengaruh nyata pada susut bobot, kadar air,
kerusakan dan VRS, berbeda dengan perlakuan interaksi antara suhu dan kadar air
berpengaruh pada susut bobot dan kerusakan. Mutu bawang merah selama
penyimpanan 12 minggu atau 3 bulan dapat dipertahankan dengan penyimpanan
pada kadar air awal 80% pada suhu 5°C dengan mutu akhir yaitu kadar VRS
sebesar 23.36 µEq/g, susut bobot sebesar 12.49%, kadar air sebesar 78.32%,
kerusakan 1.71% dan kekerasan sebesar 3.493 kgf.

10

*+*+

+ -'

+

'

*+*.

+

Penelitian dilakukan di Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon Jawa
Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (
), dengan
pertimbangan bahwa Kecamatan yang dipilih merupakan salah satu sentra
produksi bawang merah yang memiliki jumlah produksi bawang merah tinggi di
Kabupaten Cirebon. Pada tingkat rantai distribusi, dilakukan penelitian pada
pengirim dan pedagang pasar induk di Jakarta dan Bekasi. Pasar tersebut
merupakan tujuan utama pengiriman bawang merah. Pelaksanaan kegiatan
penelitian dilakukan pada bulan Maret;Mei 2014.
*+

+

0(*,

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi),
pengisian kuisioner dengan petani, pedagang pengirim, pedagang pasar induk dan
pengurus koperasi Nusantara Jaya. Koperasi tersebut mengelola penyimpanan
dingin bawang merah.
Data primer yang bersumber dari petani bawang merah mengenai luas
tanam, produktivitas, biaya produksi, jumlah bawang merah yang diproduksi,
jumlah yang dihasilkan dari
, jumlah yang sudah melalui pengeringan
askip, susut disetiap tindakan pascapanen, harga jual, biaya tenaga kerja untuk
pengeringan askip. Data primer yang diperoleh dari pengirim dan pedagang
berupa biaya transportasi, susut transportasi, susut renstan, biaya tenaga kerja dan
biaya sewa lapak Data primer juga diperoleh dari pengurus koperasi pengelola
penyimpanan dingin berupa kapasitas, biaya operasional, biaya investasi, susut
dan biaya sewa penyimpanan dingin. Data sekunder diperoleh dari berbagai
sumber literatur meliputi laporan Dewan Bawang Merah Nasional, jurnal dan
berbagai literatur pendukung
* - * )*+*.

+

Penelitian dibagi menjadi tiga aktivitas yaitu pemetaan rantai pasok,
analisis rantai nilai, analisis biaya operasional dan nilai tambah penyimpan dingin
Diagram alir penelitian disajikan dalam Gambar 3. Pemetaan rantai pasok
dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada petani, pengurus koperasi,
pengirim dan pedagang pasar induk. Responden terdiri dari 30 orang petani, 2
orang pengurus koperasi, 20 orang pengirim dan 30 orang pedagang pasar induk
Kramat jati dan pasar induk Cibitung.

11

Gambar 3 Diagram alir penelitian
Analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami. Data;data yang
diperlukan pada metode Hayami untuk menghitung nilai tambah berupa jumlah
, bahan baku dan tenaga kerja per periode. Selain itu data harga
,
upah rata;rata, harga bahan baku dan biaya sumbangan
lain juga diperlukan.
Adapun istilah yang digunakan dalam metode Hayami tersebut disesuaikan
dengan istilah yang ada dalam proses penyimpanan dan perdagangan bawang
merah. Sebagai contoh yaitu istilah faktor konversi dalam Hayami disesuaikan
menjadi persentasi hasil setelah dikurangi susut penyimpanan.
Beberapa variabel yang terkait dalam analisis nilai tambah, yaitu:
1. Faktor konversi, menunjukkan banyaknya ouput yang dihasilkan dari satu
satuan
.
2. Koefisien tenaga kerja langsung, menunjukkan tenaga kerja langsung yang
diperlukan untuk mengolah satu satuan
.
3. Nilai
, menunjukkan nilai
yang dihasilkan dari satu satuan
.
Analisis nilai tambah pada subsistem pengolahan, akan menghasilkan
informasi keluaran sebagai berikut:
1. Nilai tambah (Rp),
2. Rasio nilai tambah (%), menunjukkan persentase nilai tambah dari produk,
3. Balas jasa tenaga kerja (Rp), menunjukkan upah yang diterima oleh tenaga
kerja langsung untuk memperoleh satu;satuan bahan baku,
4. Bagian tenaga kerja (%), menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari
nilai tambah,
5. Keuntungan (Rp), menunjukkan bagian yang diterima oleh pemilik faktor
produksi karena menanggung resiko usaha,
6. Tingkat keuntungan (%), menunjukkan persentase keuntungan terhadap nilai
tambah.
7. Marjin menunjukkan besarnya kontribusi pemilik faktor produksi selain
bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.

12
Tabel 4. Analisis nilai tambah metode hayami (1987)
:
1
2
3
4
5
6
7
*+

)

+
8
9
10
11a.
b.
12a.
b.
13a.
b.

.
14
a.
b.
c.
15

+
,/
%
(kg/periode)
Bahan Baku (kg/periode)
Tenaga Kerja (HOK/periode)
Faktor Konversi (Kg
/Kg bahan baku)
Koeefisien tenaga kerja (HOK/Kg Bahan Baku)
Harga %
(Rp/Kg)
Upah rata;rata tenaga kerja ( Rp/HOK)
+ * + +/ +
Harga bahan baku (Rp/Kg)
Sumbangan
lain ((Rp/Kg)
Nilai
(Rp/Kg)
Nilai tambah (Rp/Kg)
Rasio Nilai tambah (%)
Imbalan tenaga kerja (Rp/Kg)
Bagian tenaga kerja (%)
Keuntungan (Rp/Kg)
Tingkat keuntungan (%)
,
+/40 +/ 3 ' -, ,Marjin (Rp/Kg)
Imbalan tenaga kerja (%)
Sumbangan
lain (%)
Keuntungan (%)
RC rasio

A
B
C
D=A/B
E=C/B
F
G
H
I
J=DxF
K=J;I;H
L%= (K/J)x100%
M=ExG
N%=(M/K)x100%
O=K;M
P%=(O/J)x100%

'
Q=(J;H)
R%=(M/Q)x100%
S%=(I/Q)x100%
T%=(O/Q)x100%
U = J/(H+I+M)

Sumber: Hayami (1987)

Analisis biaya meliputi biaya tetap, biaya tidak tetap, total biaya, kapasitas
dan biaya pokok. Biaya tetap adalah jenis;jenis biaya yang selama satu periode
kerja tetap jumlahnya seperti penyusutan
dan bunga modal. bunga
modal dihitung menggunaan persamaan [1] Total Biaya dihitung menggunakan
persamaan [2] dan biaya pokok dihitung dengan persamaan [3]. Biaya tidak tetap
adalah biaya;biaya yang dikeluarkan pada saat
beroperasi dan
jumlahnya bergantung pada jumlah jam kerja pemakaian seperti biaya listrik
, biaya solar genset dan biaya tenaga operator. Biaya total merupakan
biaya keseluruhan yang diperlukan untuk mengoperasikan
yang
merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya pokok
adalah biaya yang diperlukan
untuk setiap kg bawang merah. Berikut
rumus perhitungannya (Gittinger JP, 1972):

............[1] .

..........[2]

.............[3]

B = Biaya Total (Rp/Bulan); BT = Biaya Tetap (Rp/Tahun); BTT = Biaya
Tidak Tetap (Rp/Bulan); x = Perkiraan bulan kerja per tahun; k = Kapasitas alat
(kg/bulan); Bp = Biaya pokok (Rp/kg) ; I = total bunga modal yang dikeluarkan
(Rp), P = harga awal peralatan (Rp) N = umur ekonomis alat (Tahun).

13

+

.

Rantai pasok bawang merah yang ada di wilayah Cirebon seperti pada
Gambar 4,
bawang merah terdiri dari petani, pengumpul/perantara,
pengirim dalam pulau, pengirim luar pulau, bandar pasar induk, agen luar pulau,
lapak pasar induk, lapak pasar lokal dan pengecer. Hasil penelitian Nurasa dan
Darwis (2007) bahwa aliran rantai pasok pemasaran bawang merah di Brebes
tidak berbeda dengan Gambar 4
terdiri dari petani, pengumpul,
pedagang pengirim dalam pulau, pedagang pengirim luar pulau hingga pasar
induk.

Gambar 4 Rantai pasok bawang merah

Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 3 jenis bawang merah yang
masing;masing memiliki rantai distribusi yang berbeda yaitu bawang merah
ikatan, lepasan dan askip. Jenis bawang merah tersebut memiliki tingkatan
pascapanen berbeda pada saat pengirimannya. Bawang merah ikatan memiliki
tahapan pascapanen sampai
saja, sedangkan bawang merah lepasan melalui
dan pemotongan daun. Bawang merah askip tidak dilakukan pemotongan
daun namun dilakukan penjemuran lanjutan hingga mencapai askip. Gambar 5
berikut menampilkan ketiga jenis bawang.

Ikatan

Lepasan

Gambar 5 Jenis bawang merah

Askip

14
Analisis rantai nilai pascapanen telah dilakukan dengan menggunakan
metode Hayami yang menunjukkan marjin, nilai tambah dan keuntungan setiap
aktor dalam rantai pasok bawang merah dari petani, pengumpul, pengirim dan
pedagang pasar induk. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya petani melakukan
pascapanen
dan askip, pengirim melakukan perdagangan dengan distribusi
ke pasar induk dan pedagang pasar induk melakukan proses jual beli kepada
pengecer. Setiap aktivitas;aktivitas pascapanen tersebut memiliki harga, biaya dan
susut yang menentukan keuntungan para aktor dalam rantai pasok. Kementerian
Pertanian Pemerintah Nepal (2008 ) telah melakukan kajian peranan setiap aktor
dalam rantai pascapanen bawang bombay. Hasilnya menunjukkan bahwa petani
melakukan aktivitas pascapanen penjemuran, pengumpul berperan menghimpun
bawang merah dengan membeli ke petani, pengirim melakukan perdagangan ke
pasar induk.
+

+.

( 6 +/ 0*, 1 '

+

Berdasarkan pengamatan dan wawancara kuesioner, bawang merah ikatan
salurannya memiliki tiga pola. Pola pertama yaitu petani;pengumpul;pengirim
dalam pulau;bandar pasar induk;lapak pasar induk;pengecer. Pola kedua yaitu
petani;pengirim dalam pulau;bandar pasar induk;lapak pasar induk;pengecer.
Pola ketiga yaitu petani;bandar pasar induk;lapak pasar induk;pengecer.
Berdasarkan pengamatan dari ketiga pola tersebut, pola kedua paling banyak
ditemukan dalam pemasaran bawang merah ikatan dengan tujuan pasar induk
Kramat jati. Pada pola kedua petani tidak memasarkan ke pengumpul. Menurut
Nurasa dan Darwis (2007) tujuan utama pemasaran bawang merah lebih dominan
ke pengirim. Hal ini didukung oleh Agustian
(2005) menyatakan bahwa telah
ada sebagian petani yang memasarkan komoditas bawang merah ke pedagang
besar. Senada dengan Setiawati (2014), rantai pasok yang efisien bagi petani yaitu
yang menjual langsung produk ke pedagang besar lalu ke pasar induk, dibanding
pola rantai pasok melalui pengumpul kecil.
Analisis rantai nilai pada Tabel 5 menunjukkan harga, biaya dan
keuntungan setiap pelaku dalam rantai pasok bawang merah ikatan. Terlihat
bahwa terjadi perbedaan hasil perhitungan yang diperoleh karena berbeda
peranan. Aktivitas petani melakukan proses curing, pedagang pengirim
melakukan distribusi pasar induk dan pedagang pasar induk melakukan proses
jual beli kepada pengecer.
Dari hasil wawancara dengan kuesioner, diperoleh data, harga dan biaya;
biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk melakukan proses
. Data tersebut
merupakan hasil rata;rata responden petani. Faktor yang mempengaruhi nilai
tambah ada dua yaitu faktor teknis dan faktor nonteknis. Data faktor teknis berupa
jumlah bahan baku, nilai konversi dan penggunaan tenaga kerja sedangkan data
faktor non teknis berupa biaya dan harga.
Pada nilai tambah curing yang dilakukan oleh petani, jumlah bahan baku
merupakan hasil panen sebelum di
. Berdasarkan data kuesioner rata;rata
petani memanen 1300 kg dengan luas panen seperdelapan hektar. Nilai
diperoleh dari susut curing sebesar 20% sehingga jumlah
sebesar 1040 kg.
Susut tersebut menentukan nilai faktor konversi menjadi 0,8 dalam perhitungan
Hayami ini. Jumlah tenaga kerja sebanyak 4 orang diperlukan untuk membolak;

15
balikkan bawang pada siang hari serta menutupnya pada malam hari selama 3;4
hari sehingga jumlah hari orang kerja sebanyak 12 HOK
Biaya;biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk melakukan proses curing
terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan sumbangan
lain. Biaya
bahan baku dalam hal ini merupakan harga bawang tebasan sebesar Rp 10.000 per
kg, biaya tenaga kerja sebesar Rp 30.000 per HOK dan biaya sumbangan
lain berupa plastik penutup Rp 38 per kg. Harga jual bawang setelah dicuring
sebesar Rp 13000 per kg.
Setelah melakukan perhitungan Hayami (Tabel 5), didapatkan hasil bahwa
nilai tambah sebesar Rp 342 atau 3,48% dari nilai
. Nilai tambah tersebut
merupakan pengurangan nilai
dengan harga bahan baku dan sumbangan
lain. Rasio nilai tambah termasuk kedalam golongan rendah. Menurut
Hubeis (1997) rasio nilai tambah kurang dari 15% termasuk kedalam golongan
rendah. Keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 85 per kg dengan RC rasio
1,008. Rendahnya keuntungan yang diperoleh pada proses
disebabkan oleh
tingginya susut
20%. Hal ini didukung oleh penelitian Woldetsadik dan
Workneh (2010) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan hasil yang
signifikan antara bawang merah yang telah di
dengan yang tidak
.
Perbedaan tersebut yaitu bawang yang tidak di
memiliki bobot lebih besar
hingga 17% daripada yang telah di
. Dirjen P2HP (2006) telah menyatakan
susut bawang merah dari petani hingga konsumsi mencapai 30;40%. Nurasa dan
Darwis (2008) menambahkan bahwa petani hanya menerima pembayaran 75 kg
dari pembeli setiap penjualan 100 kg. Hal itu menunjukkan bahwa susut sebesar
25% ditanggung petani. Susut tersebut dapat berupa pengurangan kadar air
maupun adanya kerusakan bawang setelah
.
Selain susut tinggi, rendahnya keuntungan disebabkan biaya tenaga kerja
cukup tinggi hingga 69% dari marjin. Tingginya biaya tenaga kerja karena
aktivitas
yang dilakukan petani mempunyai sifat padat tenaga kerja.
Menurut Rusastra
(2005), usaha tani bersifat padat tenaga kerja. Walaupun
rendahnya keuntungan
, petani yang tidak melakukan proses
akan
mengalami kerugian karena bawang akan mengalami kerusakan dalam beberapa
hari setelah panen dan jarang sekali pembeli yang menginginkan bawang tanpa
proses
terlebih dahulu. Bawang merah yang tidak di
akan
mengalami kerusakan dalam waktu 1 minggu (Woldetsadik dan Workneh, 2010).
Setelah melakukan proses
, bawang merah didistribusi oleh
pengirim dalam pulau dari Cirebon ke pasar induk Kramat dengan menggunakan
truk berkapasitas sekitar 7 ton. Hasil wawancara kuesioner dengan pengirim
diperoleh data biaya;biaya dan susut selama pengiriman. Nilai tambah pedagang
pengirim dipengaruhi oleh faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis berupa susut
transportasi, jumlah bahan baku yang dikirim dan tenaga kerja pengangkutan
bawang. Faktor non teknis berupa biaya transportasi, harga bawang dan komisi
penjualan ke bandar pasar induk.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengirim, susut transportasi dari
Cirebon sampai pasar induk sebesar 2%. Hal ini dapat terjadi karena penempatan
bawang pada moda transportasi yang dapat menyebabkan suhu tinggi dalam
tumpukan bawang. Kajian pemerintah Nepal (2008), susut bawang merah yang
dialami oleh pengirim sebesar 2%. Soleimani dan Ahmad (2014) menyatakan
bahwa terjadi kerusakan selama tranportasi disebabkan oleh getaran dipengaruhi

16
oleh kondisi jalan, kecepatan serta suspensi kendaraan. Dengan susut sebesar 2%
tersebut maka faktor konversi dalam metode Hayami sebesar 0,98.
Biaya komisi penjualan dikeluarkan oleh pengirim kepada bandar pasar
induk agar dapat memasuki pasar induk tersebut. Biaya;biaya tersebut dalam
metode Hayami termasuk kedalam sumbangan
lain yang mencapai 30% dari
marjin (Tabel 5). Menurut Kumar
(2004) biaya transportasi dan pemasaran
baik retailer maupun pengirim diidentifikasi sebagai alasan tingginya biaya
pemasaran dan berpengaruh terhadap keuntungannya. Harga bawang yang
diterima oleh pengirim sebesar Rp 15.000 per kg.
Tabel 5 Analisis nilai tambah Hayami bawang merah ikatan

Uraian
A. %

!
%

2

Bahan Baku kg/periode)

3

Tenaga Kerja
(HOK/periode)
Faktor Konversi (Kg
output/Kg bahan)
Koefisien tenaga kerja
(HOK/Kg Bahan)
Harga %
(Rp/Kg)

5
6

Pasar
Kramat Jati
(Pedagang)

1040

6860

5419

1300

7000

6860

12,00

8,00

5,00

0,80

0,98

0,79

0,009

0,001

0,001

13000

15000

21000

30000

30000

70000

10000

13000

15000

38

523

569

10400

14700

16590

362

1177

1021

3,48

8,01

6,15

277

34

51

dan Harga

1

4

Bawang Merah Ikatan
Pasca
panen
curing
Distribusi
(Petani) (Pengirim)
(kg/periode)

7

Upah rata;rata tenaga kerja
(Rp/HOK)
B. Pendapatan dan Keuntungan

8

Harga bahan (Rp/Kg)

9
10

Sumbangan
lain
(Rp/Kg)
Nilai
(Rp/Kg)

11a.

Nilai tambah (Rp/Kg)

b.

Rasio Nilai tambah (%)

12a.
b.

Imbalan tenaga kerja
(Rp/Kg)
Bagian tenaga kerja (%)

13a.

Keuntungan (Rp/Kg)

b.

Tingkat keuntungan (%)

76,50

2,91

5,00

85

1143

970

0,82

7,77

5,85

400

1700

1590

Imbalan tenaga kerja(%)

69,23

2,02

3,21

Sumbangan lain (%)

9,50

30,77

35,78

21,27
1,0082

67,21
1,084

61,01
1,0621

C. Balas Jasa dari Masing;masing faktor Produksi
14
a.
b.
c.

Marjin (Rp/Kg)

Keuntungan (%)
D. Ratio RC

Setelah melakukan perhitungan dengan Hayami (Tabel 5), pengirim
memiliki keuntungan dengan menjual ke pasar induk Kramat Jati sebesar Rp 1143

17
per kg. Keuntungan pengirim tersebut sekitar 5% dari harga jual akhir sebesar Rp
(2010) menyebutkan
21000 per kg. Tidak berbeda dengan kajian Sidhu
bahwa keuntungan yang diperoleh pengirim sebesar 3,5% dari harga akhir
pengecer. Berbeda dengan petani, persentase imbalan tenaga kerja dalam
pengiriman hanya 2% dari marjin. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas pengirim
bukanlah padat karya.
Pedagang pasar induk berperan mendistribusikan bawang merah ke
pengecer. Faktor yang mempengaruhi nilai tambah pedagang pasar induk berupa
susut, harga bawang ikatan dan biaya operasional pedagang. Komponen biaya
yang dikeluarkan berupa biaya sewa lapak dan biaya pemotongan daun sebelum
lain
dijual ke pengecer. Biaya;biaya tersebut termasuk kedalam sumbangan
sebesar Rp 596 per kg. Biaya tenaga kerja dikeluarkan untuk proses jual beli ke
pengecer.
Selama penjualan bawang di pasar induk terdapat susut renstan yang
merupakan susut yang terjadi karena penyimpanan di pasar induk selama bawang
belum dibeli oleh pengecer. Kondisi pasar yang tidak terkendali RH dan suhu
dapat menyebabkan susut bobot tersebut. Menurut Rustini dan Prayudi (2011)
Kenaikan susut bobot dapat disebabkan kelembaban (RH) lingkungan dan suhu
serta lama umbi bawang disimpan. Susut pemotongan daun sebesar 19% dan susut
renstan 2% sehingga susut yang ditanggung oleh pedagang menjadi 21%.
Berdasarkan biaya, harga dan susut yang terjadi dipasar induk dan dihitung
dengan menggunakan Hayami, pedagang pasar induk mendapatkan keuntungan
sebesar Rp 970 per kg bawang merah ikatan. Keuntungan tersebut sebesar 61%
dari marjin. Keseluruhan hasil perhitungan Hayami sepanjang rantai pasok
bawang merah ikatan digambarkan pada Gambar 6. Berdasarkan ketiga analisis
nilai tambah bawang merah ikatan, petani memiliki nilai tambah, marjin,
keuntungan dan rasio RC yang paling rendah dibandingkan dengan pelaku
lainnya. Padahal petani memiliki peranan penting mencegah susut lebih besar
dengan melakukan curing terlebih dahulu.

Gambar 6 Rantai Nilai Bawang Merah Ikatan

+

+.

( 6 +/ 0*, 1 .*)

+

Saluran pemasaran bawang merah lepasan memiliki tiga pola. Pola
pertama yaitu petani;pengumpul;pengirim dalam pulau;bandar pasar induk;lapak
pasar induk;pengecer. Pola kedua yaitu petani;pengirim dalam pulau;bandar pasar
induk;lapak pasar induk;pengecer. Pola ketiga yaitu petani;bandar pasar induk;
lapak pasar induk;pengecer. Berdasarkan pengamatan dari ketiga pola bawamg

18
merah