Analisis nilai tambah dan ketercukupan bahan baku industri pemanfaatan rotan di Kabupaten Cirebon

(1)

DONATUS BAGAS PRAMUDIARTO

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

DONATUS BAGAS PRAMUDIARTO (E 24101081). Analisis Nilai Tambah dan Ketercukupan Bahan Baku Industri Pemanfaatan Rotan di Kabupaten Cirebon, di bawah bimbingan Dr.Ir. Bramasto Nugroho, MS.

Rotan merupakan komoditi hasil hutan non kayu yang sangat penting bagi Indonesia sebab Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia (80 % dari perdagangan rotan dunia). Puncak kejayaan ekspor rotan jadi dimulai tahun 1986 sejak dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.274/Kp/XI/1986 tentang Pelarangan Ekspor Rotan Asalan yang telah dibersihkan dan diasapi diikuti dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.190/Kpts/VI/1988 tentang Pelarangan Ekspor Rotan Asalan. Pada tahun 2004 pemerintah kembali membuat kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan rotan dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 355/MPP/Kep/5/2004. Surat Keputusan ini berisi tentang pengaturan pelarangan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Namun ternyata peraturan tersebut tidak bertahan lama sebab pada tahun 2005 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan mengenai ekspor rotan asalan dan setengah jadi dengan Peraturan Menperindag Nomor 12/M-Dag/Per/6/2005 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 2005. Peraturan tersebut dipersepsikan oleh masyarakat sebagai pembukaan kembali kran ekspor rotan asalan dan setengah jadi sehingga menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya stok bahan baku dari para pelaku industri pengolahan rotan terutama di Kabupaten Cirebon.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketercukupan bahan baku yang diperlukan bagi industri rotan dalam negeri terutama di kabupaten Cirebon, mengetahui nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan industri rotan, serta menetapkan strategi pengembangan usaha industri pengolahan barang jadi rotan yang perlu ditetapkan.

Obyek dari penelitian ini adalah industri pengolahan rotan yang terdapat di Kabupaten Cirebon. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode survey dimana pengambilan contohnya secara purposive dan dipilih 9 industri pengolahan rotan secara acak sebagai obyek penelitian yang mewakili kategori industri kecil, menengah dan besar (masing-masing 3 industri). Selanjutnya perhitungan nilai tambah dilakukan dengan analisis nilai tambah metode Hayami sedangkan strategi pengembangan usaha dilakukan dengan analisis SWOT.

Berdasarkan analisis nilai tambah didapatkan koefisien tenaga kerja rata-rata sebesar 0,08 artinya untuk setiap 100 kilogram bahan baku rotan yang dikerjakan sampai menjadi barang jadi dibutuhkan 8 hari kerja (HK). Faktor konversi sebesar 1,35 yang berarti bahwa 100 kilogram bahan baku menghasilkan 135 kilogram output. Faktor konversi lebih besar dari 1 disebabkan adanya penambahan bahan-bahan penolong seperti paku, tripleks atau kayu dan lain sebaginya. Untuk nilai produk didapat dari hasil perkalian antara faktor konversi yaitu 1,35 dengan harga rata-rata produk yang besarnya Rp 16.936,55 sehingga nilai produk yang didapatkan adalah sebesar Rp 22.928,58. Nilai produk dapat diartikan juga sebagai besarnya penerimaan kotor perusahaan.

Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan rotan sebesar Rp13.553,29. Nilai tambah ini merupakan nilai tambah kotor, karena masih mengandung pendapatan tenaga kerja yaitu sebesar Rp1.607,47. Sementara keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil kegiatan pengolahan perkilogram bahan baku perbulan adalah Rp 11.945,82 . Nilai ini merupakan keuntungan bersih perusahaan, karena sudah memperhitungkan biaya pemasaran dan penyusutan serta imbalan tenaga kerja. Keuntungan ini juga dapat diartikan sebagai nilai tambah bersih dari pengolahan rotan setengah jadi menjadi barang jadi rotan.

Besarnya marjin atau selisih nilai output dengan harga bahan baku sebesar Rp 15678.58 per kilogram bahan baku. Marjin ini selanjutnya didistribusikan kepada imbalan tenaga kerja, imbalan input lain dan keuntungan perusahaan. Balas jasa yang paling besar didapat oleh keuntungan perusahaan sebesar 76,19 persen. Artinya kegiatan pengolahan rotan mampu memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Balas jasa yang kedua terbesar adalah sumbangan input lain sebesar 13.56 persen.


(3)

terdiri dari kekuatan dan kelemahan, dimana kekuatan yang teridentifikasi adalah: (1) Mantapnya jaringan pemasaran dan produk; (2) Alat produksi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar; (3) Penyerapan tenaga kerja; (4) Sumbangan (pajak, retribusi) terhadap daerah; (5) Perbandingan keuntungan dengan Investasi (ROI); (6) Memberi nilai tambah; (7) Ketrampilan tenaga kerja; (8) Penciptaan lapangan usaha lain; (9) Dukungan terhadap upaya pengembangan pemanfaatan HHNK. Sementara kelemahan yang teridentifikasi adalah: (1) Kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku; (2) Tidak memiliki mitra pemasok bahan baku; (3) Belum ditemukannya cara untuk mengantisipasi kelangkaan bahan baku; (4) Teknik produksi yang belum efisien; (5) Rendahnya disiplin dan produktifitas tenaga kerja; (6) Produksi tergantung pesanan dari luar negeri; (7) Kesulitan melayani permintaan dengan desain produk baru; (8) Kemampuan permodalan.

Sedangkan faktor stategis eksternal yang teridentifikasi sebagai berikut, peluang: (1) Peningkatan permintaan pasar dari tahun ke tahun; (2) Mutu produk yang diakui di dalam maupun diluar negeri; (3) Peningkatan harga produk rotan dari tahun ke tahun; (4) Peran asosiasi (ASMINDO); (5) Peran pemerintah dalam membantu masalah ketercukupan bahan baku; (6) Fasilitas promosi pemerintah dan asosiasi terhadap produk industri rotan; (7) Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UKM dengan membuka akses pendanaan; (8) Melimpahnya tenaga kerja yang terampil; (9) Melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini; (10) Banyaknya sub-kerja (sub-kontraktor) yang dapat diikutsertakan dalam produksi. Sementara ancaman yang dihadapi adalah: (1) Lobby (tekanan) Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI); (2) Budidaya rotan sebagai alternatif sumber bahan baku belum berkembang; (3) Tingginya biaya pengurusan ijin, pajak, retribusi, Terminal Handling Charge (THC), dan lain sebagainya; (4) Ancaman dari negara-negara pesaing seperti China, Vietnam, dan Thailand; (5) Banyaknya produsen baru yang bermunculan; (6) Hambatan-hambatan dalam perdagangan.

Setelah dilakukan analisis dengan matriks IE didapatkan bahwa industri rotan berada pada sel V sehingga menggunakan strategi pertumbuhan dengan konsentrasi melalui integrasi horisontal atau stabilitas, diagram SWOT menunjukkan bahwa industri terletak pada sel 2 yang mendukung strategi diversifikasi. Berdasarkan pertimbangan hal tersebut dan matriks SWOT maka diketahui industri memiliki kekuatan internal yang cukup besar namun menghadapi berbagai ancaman sehingga strategi yang sebaiknya diterapkan adalah) Membuat produk dengan memanfaatkan bahan baku pengganti yang lebih murah harganya seperti enceng gondok, pelepah pisang dsb serta mempertahankan dan membina hubungan baik dengan konsumen yang sudah ada.

Kapasitas produksi industri rotan seluruh Indonesia tercatat sebesar 233.986 ton per tahun, namun kemampuan potensi bahan baku rotan lestari yang hanya sebesar 140.150 ton per tahun tetap dapat mencukupi industri barang jadi rotan dalam negeri karena produksi riilnya sebesar 250.000-600.000 ton per tahun.


(4)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN KETERCUKUPAN BAHAN BAKU

INDUSTRI PEMANFAATAN ROTAN DI KABUPATEN CIREBON

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA KEHUTANAN

Pada Sub Program Studi Pemanenan Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

DONATUS BAGAS PRAMUDIARTO

E24101081

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Mei 1983 di Cilacap sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Yoseph Ciptadi dan Elisabeth Sri Suprihatin.

Pada tahun 1988 penulis memulai pendidikan formal di TK PGRI,Kesugihan,Cilacap dan lulus pada tahun 1989, pendidikan dasar di SDN Kuripan Kidul 03, Kesugihan, Cilacap dan lulus pada tahun 1995, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan menengah di SMP Pius Cilacap dan lulus pada tahun 1998, serta pendidikan lanjutan dijalani di SMU Kolese De Britto, Yogyakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Sub Program Studi Pemanenan Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di organisasi UKM Keluarga Mahasiswa Katholik IPB (KEMAKI) dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan. Penulis juga menjadi asisten luar biasa pada mata kuliah Pendidikan Agama Katolik program TPB IPB. Kegiatan praktek yang pernah dilakukan adalah Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Barat dan KPH Ngawi Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada bulan Juli-Agustus 2004, serta Praktek Kerja Lapangan (PKL) di HPH. PT. Sarmiento Parakantja Timber, Sampit, Kalimantan Tengah pada bulan Februari-April 2005.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Analisis Nilai Tambah dan Ketercukupan Bahan Baku Industri Pemanfaatan Rotan di Kabupaten Cirebon”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, berkah dan karunianya-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.

Selama melakukan penelitian maupun dalam penyusunan skripsi, penulis mendapatkan bantuan baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Keluarga Yoseph Ciptadi tercinta (Bapak, Ibu, mas Kris dan Cindy) yang senantiasa memberikan doa dan dorongannya kepada penulis untuk segera menyelesaikan studinya.

2. Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. selaku pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan dan saran kepada penulis.

3. Bapak Ir. Sudaryanto sebagai dosen penguji wakil dari Departemen Manajemen Hutan dan Bapak Ir. Endes N. Dahlan, MS sebagai dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan.

4. Segenap pimpinan dan staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon dan ASMINDO Kabupaten Cirebon khususnya Ibu Nita dan Ibu Esti.

5. Cicilia Takasari atas doa, kasih sayang, dan dorongan semangat kepada penulis.

6. Rendy, Yames, Lucky, Reza, Pramu atas pinjaman komputernya.

7. Teman-teman Fahutan 38 pada umumnya dan khususnya untuk teman-teman THP 38 atas kebersamaannya selama ini.

8. Teman-teman dari KEMAKI atas persahabatan dan dukungannya.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Mei 2006


(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rotan ... 3

A. 1. Umum. ... 3

A. 2. Pemanfaatan ... 3

A. 3. Industri Rotan ... 4

A. 4. Perdagangan Komoditi Rotan ... 6

B. Nilai Tambah ... 8

C. Analisis SWOT ... 8

D. Permintaan dan Penawaran ... 9

III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

B. Obyek Penelitian ... 11

C. Jenis dan Sumber Data ... 11

D. Metode Pengambilan Contoh ... 11

E. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 12

E. 1. Analisis Nilai Tambah ... 12

E. 2. Analisis Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja ... 13

E. 3. Analisis SWOT ... 14

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN SEJARAH A. Keadaan Umum ... 19

B. Sejarah Industri Rotan Tegalwangi ... 20

V. PEMBAHASAN A. Karakteristik Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon ... 22

B. Keadaan Industri Rotan di Kabupaten Cirebon... 23

C. Penyerapan Tenaga Kerja dalam Industri Rotan ... 25

D. Analisis Nilai Tambah Industri Pengolahan Rotan ... 26

E. Analisis Lingkungan dan Penetapan Strategi Industri... 28


(8)

ii

E. 2. Identifikasi Faktor Eksternal ... 31

F. Penerapan Strategi Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon ... 34

F. 1. Matriks Faktor Strategis Internal ... 34

F. 2. Matriks Faktor Strategis Eksternal ... 36

F. 3. Matriks Internal Eksternal ... 37

F. 4. Diagram SWOT ... 39

F. 5. Matriks SWOT ... 39

F. 6. Penentuan Strategi ... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 45

B. Saran ... 45

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 46


(9)

DAFTAR TABEL

1. Kerangka Analisis Nilai Tambah... 12

2. Matriks EFAS ... 15

3. Matriks IFAS ... 15

4. Penentuan Bobot pada Matriks EFAS/IFAS ... 16

5. Matriks SWOT ... 18

6. Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Rotan Tahun 1997-2004 ... 25

7. Analisis Nilai Tambah Industri Pengolahan Rotan ... 26

8. Kekuatan dan Kelemahan Industri pengolahan Rotan ... 29

9. Peluang dan Ancaman Industri Pengolahan Rotan... 32

10. Matriks IFAS Industri Pengolahan Rotan ... 35

11. Matriks EFAS Industri Pengolahan Rotan ... 37


(10)

iv

DAFTAR GAMBAR

1. Keterkaitan Pasar dalam Perdagangan Rotan Indonesia ... 7 2. Pertumbuhan Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon ... 24 3. Perkembangan Volume Produksi Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten

Cirebon ... 24 4. Matriks Internal Eksternal Industri Rotan di Kabupaten Cirebon ... 38 5. Diagram SWOT Industri Rotan di Kabupaten Cirebon ... 39


(11)

1. Perkembangan Industri Rotan di Kabupaten Cirebon ... 48

2. Karakteristik Tenaga Kerja Kabupaten Cirebon Tahun 1999-2003 ... 48

3. Perhitungan Kekuatan ... 49

4. Perhitungan Kelemahan ... 49

5. Perhitungan Peluang ... 50

6. Perhitungan Ancaman ... 50

7. Perhitungan Faktor Strategis Internal ... 51

8. Perhitungan Faktor Strategis Eksternal ... 52

9. Pengambilan Bahan Baku Bulan Februari ... 53

10.Pengambilan Bahan Baku Bulan November ... 55

11. Perhitungan Output ... 57

12. Sumbangan Input Lain ... 57

13. Perhitungan Harga Produk Rata-rata ... 58


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rotan merupakan komoditi hasil hutan non kayu yang sangat penting bagi Indonesia sebab Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia. Pada tahun 1994 Indonesia mampu memasok sekitar 80 % dari perdagangan rotan dunia. Indonesia mampu memasok dalam jumlah tersebut karena memiliki sekitar 56 persen dari seluruh jenis rotan dunia atau sekitar 306 jenis rotan. Sementara potensi produksinya mencapai sekitar 600 ribu ton per tahun dari luas areal hutan rotan sebesar 10 juta hektar yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara terutama Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi (Subraja, 1997). Seiring dengan hal tersebut industri pengolahan rotan pun semakin berkembang dengan sentra industri terbesar di daerah Cirebon, Jawa Barat.

Puncak kejayaan ekspor rotan jadi dimulai tahun 1986 sejak dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.274/Kp/XI/1986 tentang Pelarangan Ekspor Rotan Asalan yang telah dibersihkan dan diasapi diikuti dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.190/Kpts/VI/1988 tentang Pelarangan Ekspor Rotan Asalan. Namun saat ini produk jadi rotan kalah bersaing di pasar internasional dengan produk dari negara lain yang sumber rotannya berasal dari Indonesia tetapi mampu menjual dengan harga yang lebih murah. Keadaan ini terjadi sejak dibukanya kembali kran ekspor rotan alam dan budidaya pada tahun 1998, sehingga menyebabkan kenaikan volume ekspor rotan mentah dan kelangkaan bahan baku bagi industri dalam negeri (Anonimous, 2004).

Perubahan kebijakan mengenai ekspor rotan asalan pada tahun 1998 terjadi karena dengan pelarangan tersebut menyebabkan penurunan harga jual rotan di tingkat petani penghasil rotan. Petani yang mengekspor rotan asalan akan mendapatkan nilai jual yang lebih besar daripada menjual pada pasar dalam negeri. Jadi berkebalikan dengan industri pengolahan rotan, dengan diadakannya larangan ekspor rotan asalan maka semakin mengurangi pendapatan petani. Di sini terjadi dilema yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak.

Pada tahun 2004 pemerintah kembali membuat kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan rotan dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 355/MPP/Kep/5/2004. Surat Keputusan ini berisi tentang


(13)

pengaturan pelarangan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi yang berasal dari hutan alam. Namun ternyata peraturan tersebut tidak bertahan lama sebab pada tahun 2005 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan mengenai ekspor rotan asalan dan setengah jadi dengan Peraturan Menperindag Nomor 12/M-Dag/Per/6/2005 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 2005. Peraturan tersebut dipersepsikan oleh masyarakat sebagai pembukaan kembali kran ekspor rotan asalan dan setengah jadi sehingga menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya stok bahan baku dari para pelaku industri pengolahan rotan terutama di Kabupaten Cirebon.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui ketercukupan bahan baku yang diperlukan bagi industri rotan dalam negeri terutama di kabupaten Cirebon.

2. Mengetahui nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan industri rotan. 3. Menetapkan strategi pengembangan usaha industri pengolahan barang


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Rotan A. 1. Umum

Rotan termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Palmales dan famili Palmae. Sampai sekarang di dunia sudah ditemukan sebanyak 22 genera dan 8 genera di antaranya terdapat di Indonesia. Dari 8 genera tersebut ditemukan sebanyak 306 jenis, namun

masih sangat sedikit yang diperdagangkan, yaitu tidak lebih dari 10 jenis saja ( Rachman, 1990 dalam Kurniawaty, 1998).

Berdasarkan cara pertumbuhan rotan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang tumbuh berumpun dan yang tumbuh tunggal. Rotan yang tumbuh berumpun yaitu rotan kecil seperti rotan sega, jahab, jermasin dan lain-lain yang tumbuh berkelompok di tepi sungai. Bagian batang yang tertutup lumpur dapat bertunas dan menghasilkan batang baru pada setiap bukunya. Rotan manau merupakan salah satu contoh rotan tunggal hanya menghasilkan satu batang selama hidupnya ( Rachman, 1990 dalam Kurniawaty, 1998).

A. 2. Pemanfaatan

Karena kekuatan, kelenturan dan keseragamannya, batang polos rotan dimanfaatkan secara komersial untuk mebel dan anyaman rotan. Umumnya diameter batang rotan bervariasi antara 3-60 mm atau lebih, bergantung pada spesiesnya. Di daerah pedesaan, banyak spesies rotan telah digunakan selama berabad-abad untuk berbagai tujuan seperti tali-temali, konstruksi, keranjang, atap dan tikar (Dansfield, 1996).

Sementara itu Heyne (1927), Burkill (1935) dan Corner (1966) dalam

Dansfield (1996) telah mendaftar berbagai penggunaan lokal rotan. Penggunaan itu begitu banyak sehingga perhitungan yang lengkap adalah mustahil. Rotan dibuat untuk membuat keranjang, tikar, mebel, tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, perangkap ikan, tirai, kurungan burung, dan untuk hampir semua tujuan lain apapun yang menuntut kekuatan dan kelenturan yang digabung dengan keringanan. Ikatan pada rumah, pagar, jembatan dan bahkan perahu dibuat dengan rotan. Pinak-pinak daun rotan tua dianyam untuk atap, pinak daun muda digunakan sebagai kertas rokok, tunas muda dimakan, buah rotan digunakan beragam sebagai buah dan obat, dan ‘darah naga’ yang


(15)

diperoleh dari kulit buah beberapa spesies pernah digunakan sebagai zat warna, pernis dan jamu lokal.

Jenis-jenis rotan di Indonesia yang memegang peranan penting dalam perdagangan adalah:

1. Rotan manau (Calamus manan Miq) dari Sumatera dan Kalimantan. 2. Rotan sega (Calamus caesius Bl) dari Sumatera dan Kalimantan. 3. Rotan semambu (Calaus scipionum) dari Sumatera dan Kalimantan. 4. Rotan irit (Calamus trachyoleus) dari Kalimantan.

5. Rotan umbulu (Calamus simphysipus) dari Maluku dan Sulawesi.

6. Rotan cacing (Calamus ciliaris), seuti (C. ornatus), seel (Daemonorops melanochaetes) dari Jawa.

7. Rotan suwei ( Calamus papuanus Becc.) dari Irian Jaya.

8. Rotan jermasin ( C. leioucaulis), tarumpu (C. muricetus), batang (C. zollingerii) dan tohiti ( C. inops) dari Sulawesi.

Selain jenis-jenis rotan diatas, sebenarnya ada beberapa jenis rotan yang juga berpotensi tinggi tetapi belum termasuk dalam kelompok jenis rotan komersial. Sedangkan bahan baku rotan yang digunakan pada industri kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon adalah rotan manau, rotan sega, rotan seel, rotan seutu, rotan balukbuk, rotan escot, rotan pulut dan sebagainya.

A. 3. Industri Rotan

Khatib (1986) mengemukakan bahwa industri mempunyai pengertian sebagai kelompok kegiatan usaha yang menciptakan benda ekonomis. Industri kehutanan dan pertanian memiliki persamaan yaitu masing-masing bersumber dari alam dengan pemanfaatan sumber-sumber yang dapat diperbaharui.

Industri kerajinan rotan merupakan suatu bentuk usaha yang membuat barang-barang kerajinan dengan bahan utama rotan. Industri kerajinan rotan ini akan meningatkan nilai tambah rotan, dari rotan batangan menjadi berbagai macam perabot rumah tangga. Industri rotan digolongkan menurut tingkat pengolahan dan hasil produksinya sebagai bertikut :

1. Industri bahan baku

Mengolah rotan mentah menjadi rotan W (washed) dan S (sulphurized). Industri ini merupakan usaha pengawetan rotan bulat sebagai bahan baku.


(16)

5

2. Industri barang setengah jadi

Mengolah rotan W dan S menjadi produk antara yang siap dipergunakan bagi industri barang jadi.

3. Industri barang jadi

Mengolah produk-produk setengah jadi serta rotan W dan S menjadi barang yang siap dikonsumsi.

Sementara itu menurut Fariyati (1995) berdasarkan skala usaha, dalam operasinya terdapat dua pola industri produk jadi rotan, yaitu pola pabrik tunggal dan pola sub-kontrak. Pola pabrik tunggal yang selanjutnya disebut sebagai pola lokal, tidak terdapat keterkaitan dalam segala bidang antara industri produk jadi rotan skala kecil dengan skala menengah/besar, sehingga masing-masing industri berjalan sendiri-sendiri. Dengan demikian industri yang berskala kecil akan mengelola usaha baik yang menyangkut pengadaan bahan baku, proses produksi dan pemasaran dilakukan tanpa berhubungan dengan industri rotan skala menengah/besar. Sebagaimana diketahui bahwa pada industri kecil/rumah tangga mempunyai banyak keterbatasan. Secara umum Fariyanti (1995) menyebutkan beberapa aspek yang menjadi keterbatasan, yaitu:

1. Kurang akses kepada modal dari sektor keuangan formal sehingga menggunakan modal sendiri atau meminjam dari sektor informal dengan tingkat bunga tinggi.

2. Rata-rata lemah dalam pemasaran : dari segi pengalaman pasar (segmen pasar dan selera tempat ), penentuan harga (keuntungan dan biaya) dan negoisasi (metode bahasa, jalur distribusi dan penjualan). 3. Berhubungan dengan produksi : rata-rata menghadapi masalah tingkat

efisiensi (penggunaan bahan baku, proses dan biaya), mutu dan rancangan (penampilan dan finishing), kapasitas mesin (penggunaan optimal) dan penguasaan teknologi dan packaging (penampilan dan keamanan).

4. Berhubungan dengan manajemen, kelemahan yang dihadapi adalah segi administrasi dan ketrampilan dalam pengelolaan usaha.

Sementara itu industri produk jadi rotan skala menengah/besar memiliki teknologi produksi yang tinggi, informasi pasar, manajemen dan analisis keuangan yang baik. Dengan melihat keadaan fisik masing-masing kedua industri terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan yang sangat jauh di antara


(17)

keduanya. Perbedaan tersebut berdampak pada suatu persaingan yang sebagian besar dimenangkan oleh industri yang berskala menengah/besar.

Untuk mengantisipasi keterbatasan yang dihadapi oleh industri produk rotan skala kecil/rumah tangga dan usaha untuk tetap menumbuh kembangkannya maka dikembangkan pola sub-kontrak antara industri produk rotan menengah/besar dengan skala kecil/rumah tangga. Dalam pola ini terdapat pengalihan kerja dari satu unit usaha (perusahaan) kepada unit lain. Perusahaan yang mengalihkan pekerjaannya dikenal sebagai pemberi pesanan atau kontraktor, sedang yang menerima pesanan dikenal dengan sub-kontraktor. Dari kenyataan di lapangan pemberi pesanan secara umum memberikan bantuan berupa bahan baku (vertical subcontracting). Dengan demikian pemberi pesanan dalam hal ini industri produk jadi rotan skala menengah/besar tinggal melakukan kegiatan finishing saja, sementara itu kegiatan proses produksi dilakukan oleh sub-kontraktor.

A. 4. Perdagangan Komoditi Rotan

Perdagangan komoditi rotan terdiri atas beberapa pasar yang berkaitan (Gambar 1.). Kegiatan produksi pertama yang dilakukan adalah pengolahan rotan pohon menjadi rotan mentah. Pengolahan pada tahap ini meliputi pencucian, pembelerangan dan pemolesan secara kasar. Bahan (input) yang diolah adalah rotan pohon yang berasal dari hutan dan diperoleh melalui ketentuan yang ditetapkan pemerintah, kegiatan ini melahirkan pasar rotan mentah. Tahap berikutnya adalah pengolahan rotan mentah menjadi rotan setengah jadi. Kegiatan pengolahan pada tahap ini meliputi pemolesan secara halus, pembelahan untuk mendapatkan kulit dan hati rotan, dan pembuatan barang setengah jadi seperti bagian dari kursi atau tempat duduk lain. Pengolahan ini menggunakan input rotan mentah dan tahap ini melahirkan pasar rotan setengah jadi. Tahap terakhir adalah pengolahan rotan setengah jadi menjadi barang jadi seperti kursi, lampit dan furniture. Kegiatan pengolahan rotan ini menghasilkan pasar barang jadi rotan.


(18)

7

Pasar

Permintaan input

Penawaran Output

Permintaan Input

Penawaran Output

Permintaan Input

Penawaran Output

Gambar 1. Keterkaitan Pasar dalam Perdagangan Rotan Indonesia

Tahap Produksi

Barang Jadi Rotan

Pengolahan rotan pohon menjadi rotan mentah : pencucian, pembelerangan, pemolesan kasar.

Rotan Pohon Rotan Mentah

Ekspor

Ekspor Domestik

Domestik Pengolahan rotan mentah

menjadi rotan setengah jadi : pemolesan halus,

pembelahan, pembuatan bagian kursi.

Pengolahan rotan setengah jadi menjadi barang jadi rotan: kursi, lampit, furniture, dll.

Rotan Setengah Jadi

Ekspor Domestik


(19)

Keterkaitan ketiga tahap pengolahan dan pasar yang lahir daripadanya adalah satu tahap pengolahan menggunakan input dari tahap pengolahan sebelumnya dan menghasilkan output untuk tahap berikutnya. Dari sudut pasar hal ini berarti bahwa satu tahap pengolahan melahirkan permintaan input

terhadap tahap pengolahan sebelumnya dan penawaran output bagi tahap berikutnya.

B. Nilai Tambah

Dalam industri nilai tambah berarti ukuran untuk menyatakan sumbangan proses produksi terhadap nilai jual suatu barang. Nilai tambah tersebut dapat dinyatakan untuk tiap meter kubik kayu bulat, setiap dolar modal, setiap orang kerja, dan sebagainya (Widarmana, 1978 dalam Tarigan, 1998).

Nilai tambah menurut Gittinger (1986) dalam Tarigan (1998) adalah nilai output dikurangi input yang dibeli dari luar. Dalam tiap satuan produksi, nilai tambah diukur dengan perbedaan antara nilai output perusahaan dan nilai seluruh input yang dibeli dari luar perusahaan.

Nilai tambah = Nilai penjualan (output) – Nilai Pembeliaan (Input)

Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai tambah adalah penyusutan, yaitu biaya penggantian untuk keausan dan kelapukan modal dalam produksi, penyusutan dalam arti ini yaitu konsumsi modal dan pemakaian modal. Dengan memperhatikan penyusutan tersebut, ada 2 konsep nilai tambah yaitu nilai tambah netto dan nilai tambah brutto. Nilai tambah netto adalah nilai yang memperhitungkan penyusutan yang terjadi, sedangkan nilai tambah brutto

adalah nilai yang tidak memperhatikan penyusutan ( Sicat dan Arndt, 1991).

C. Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis (Strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini ( Rangkuti, 2001).


(20)

9

Penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisi SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengts dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan

Threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan.

D. Penawaran dan Permintaan

Dalam Ensiklopedia Indonesia (Ichtiar Baru, 1984 dalam Dewi, 1998) disebutkan definisi yang berkaitan dengan permintaan adalah berbagai jumlah suatu barang tertentu yang hendak dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga pada waktu tertentu.

Ada 4 faktor yang berpengaruh terhadap permintaan berbagai jenis barang, yang pertama adalah harga barang itu sendiri. Harga barang itu sendiri mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah yang diminta, artinya jika harga naik maka jumlah yang diminta berkurang dan sebaliknya. Faktor kedua yang berpengaruh adalah harga barang lainnya. Kenaikan harga barang lainnya akan berpengaruh negatif atau positif, tergantung dari hubungan penggunaan barang yang bersangkutan apakah barang subtitusi (bersifat mengganti) atau barang komplemen (saling melengkapi). Faktor ketiga adalah pendapatan, perubahan besarnya pendapatan akan berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta. Kenaikan pendapatan akan menambah permintaan bila barang tersebut adalah normal atau mahal dan sebaliknya permintaan akan berkurang bila barang itu adalah murahan. Terakhir yang mempengaruhi permintaan adalah selera konsumen, selera ini tidak dapat diperhatikan dalam teori perilaku konsumen dan merupakan sasaran empuk para pengusaha untuk meningkatkan jumlah penjualan melalui periklanan ( Syahruddin, 1990).

Penawaran suatu komoditi barang atau jasa adalah jumlah barang atau jasa yang ingin dijual oleh perusahaan pada suatu waktu tertentu. Hubungan antara jumlah atau kuantitas yang ditawarkan dan harga jika faktor lainnya tetap sama digambarkan dalam suatu kurva penawaran. Kurva penawaran memiliki kemiringan positif yang menunjukkan bahwa kuantitas atau jumlah yang ditawarkan bervariasi dalam arah yang sama dengan harga. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penawaran dari suatu barang menunjukkan berbagai


(21)

kuantitas barang tersebut yang akan dijual di pasar oleh seseorang atau beberapa orang penjual selama periode waktu tertentu pada berbagai macam kemungkinan harga, ceteris paribus ( Lipsey et al, 1997).


(22)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Cirebon. Pemilihan obyek dilakukan karena daerah tersebut merupakan sentra industri rotan yang terbesar di Indonesia. Waktu penelitian dilakukan selama tiga minggu dimulai pada tanggal 5 September sampai dengan 24 September 2005.

B. Obyek Penelitian

Obyek penelitian adalah industri pengolahan rotan yang terdapat di Kabupaten Cirebon beserta dengan usaha-usaha lain yang terpengaruh oleh industri rotan tersebut.

C. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara secara langsung dengan pengusaha industri pengolahan rotan serta pekerja yang terkait dengan industri tersebut, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang diperoleh dengan pencatatan serta pengumpulan data dari literatur-literatur dan instansi-instansi yang ada seperti Kantor Kecamatan, Kantor Kabupaten, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Biro Pusat Statistik dan lain sebagainya. Adapun data-data tersebut yaitu:

1. Data kedaan lingkungan, kependudukan, dan sosial ekonomi masyarakat di tempat penelitian.

2. Data statistik industri pengolahan rotan.

3. Pemasukan-pemasukan yang didapatkan oleh Pemerintah Daerah dari industri rotan.

4. Data tentang ekspor rotan.

D. Metode Pengambilan Contoh

Metode penelitian adalah metode survey, pengambilan contoh dilakukan secara purposive dan dipilih 9 industri pengolahan rotan secara acak sebagai obyek penelitian yang mewakili kategori industri kecil, menengah dan besar (masing-masing 3 industri). Penetapan unit sampel dikonsultasikan dengan instansi yang berwenang dalam pengembangan industri rotan di Kabupaten


(23)

Cirebon. Responden merupakan pemilik industri, pegawai, serta masyarakat yang bersangkutan dengan industri tersebut.

E. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis nilai tambah, daya serap tenaga kerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pekerja pada industri pengolahan rotan akan diuraikan secara kualitatif dan kuantitatif. Data akan dikelompokkan sesuai dengan keperluan analisis.

E. 1. Analisis Nilai Tambah

Analisis nilai tambah pada penelitian ini menggunakan metode nilai tambah Hayami ( Hayami, Y. et al, 1987 dalam Firdous, 2001). Metode pengolahan analisis nilai tambah Hayami dilakukan seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kerangka Analisis Nilai Tambah

No Variabel Nilai

Output, Input dan Harga

1 Output A

2 Bahan Baku B

3 Tenaga Kerja (HOK/bulan) C

4 Faktor Konversi D = A/B

5 Koefisien Tenaga Kerja Langsung E = C/B 6 Harga Output (Rp/buah) F 7 Upah Rata-rata Tenaga Kerja (Rp/HOK) G

Pendapatan dan Keuntungan

8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) H

9 Sumbangan Input Lain I

10 Nilai Output J = D x F

11.a Nilai Tambah K = J - I - H 11.b Rasio Nilai Tambah L% = (K/J) x 100% 12.a Imbalan Tenaga Kerja M = E x G 12.b Bagian Tenaga Kerja N% = (M/K) x 100%

13.a Keuntungan O = K - M

13.b Tingkat Keuntungan P% = (O/J) x 100%

Balas Jasa Pemilik Faktor-faktor Produksi

14 Marjin Q = J - H

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung R% = (M/Q) x 100% b. Sumbangan Input Lain S% = (I/Q) x 100% c. Keuntungan Perusahaan T% = (O/Q) x 100%


(24)

13

Adapun kelebihan dari analisis nilai tambah Hayami adalah:

1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output dan produktivitas produksi 2. Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi. 3. Prinsip analisis nilai tambah menurut Hayami dapat diterapkan pula untuk

subsistem lain diluar pengolahan, misal untuk kegiatan pemasaran.

Konsep pendukung dalam analisis nilai tambah metode hayami untuk subsistem pegolahan adalah:

1. Faktor konversi, menunjukkan jumlah output yang dihasilkan satu satuan input.

2. Koefisien tenaga kerja langsung, menunjukkan jumlah tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input.

3. Nilai output, menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input. 4. Rasio nilai tambah, menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk. 5. Imbalan tenaga kerja, menunjukkan upah yang diterima tenaga kerja

langsung untuk mengolah satu satuan bahan baku.

6. Bagian tenaga kerja, menunjukkan persentase pendapatan tenaga kerja langsung dari nilai tambah yang diperoleh.

7. Keuntungan, menunjukkan bagian yang diterima/ diperoleh perusahaan. 8. Tingkat keuntungan, menunjukkan persentase keuntungan dari nilai produk. 9. Marjin, menunjukkan besarnya kontribusi pemilik faktor-faktor produksi selain

bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.

10. Pendapatan tenaga kerja langsung (14.a), menunjukkan persentase pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin.

11. Sumbangan input lain (14.b), menunjukkan persentase input lain terhadap marjin.

12. Keuntungan perusahaan (14. c), menunjukkan persentase keuntungan perusahaan terhadap marjin.

E. 2. Analisis Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja

Tingkat penyerapan tenaga kerja adalah untuk mengetahui kemampuan suatu industri dalam menyerap tenaga kerja dari seluruh angkatan kerja dari daerah yang bersangkutan. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya tingkat penyerapan tenaga kerja adalah:


(25)

Kontribusi Penyerapan T. K =

Kerja Angka

Jumlah

Diserap yang

Kerja Tenaga Jumlah

tan x 100%

E. 3. Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan pendekatan diagnosisis dari analisis strategis yang terdiri atas faktor internal dan eksternal untuk mengidentifikasi masalah (potensi) secara konseptual yaitu dengan mengoptimasi sumber daya yang dimiliki atau pemecahan masalah suatu unit kerja pada potensi dari setiap segmen kegiatannya ( Hubeis, 1997 dalam Fathiyah, 2001).

Analisi SWOT dapat digunakan untuk memformulasikan dan membuat rekomendasi serta memperoleh pemahaman yang jelas terhadap manajemen yang tepat dan konkret. Analisis SWOT juga diperlukan untuk menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman eksternal perusahaan untuk kemudian disesuaikan dengan kekuatan dan ancaman yang dimilikinya. Dalam melakukan analisis SWOT perlu melakukan pengelompokan data yaitu data yang termasuk faktor internal dan faktor eksternal serta data pendukung lainnya. Data yang termasuk faktor eksternal kemudian dimasukkan dalam Matrik Faktor Strategis Eksternal (EFAS), data yang termasuk dalam faktor internal kemudian dimasukkan ke dalam Matriks Faktor Strategis Internal (IFAS). Adapun yang termasuk dalam faktor-faktor strategis tersebut adalah:

1. Faktor strategis eksternal a. Faktor ekonomi.

b. Faktor sosial, budaya, demografi dan lingkungan. c. Faktor politik, pemerintah dan kekuatan hukum. d. Faktor teknologi.

e. Kekuatan persaingan. 2. Faktor strategis internal

Pearce dan Robinson(1991) dalam Taufik (2002), mengungkapkan lingkungan internal perusahaan menggambarkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, fisik, finansial perusahaan dan juga dapat memperkirakan kelemahan dan kekuatan struktur organisasi maupun manajemen perusahaan.


(26)

15

Matrik EFAS

Tabel 2. Matrik EFAS Faktor-faktor strategis

eksternal (1)

Bobot (2)

Rating (3)

Skor (4)

Peluang

Ancaman

Total

Setelah matriks dibuat, kemudian dilakukan pengisian data pada matriks tersebut. Pengisian tersebut dengan cara sebagai berikut :

a) Dalam kolom 1 disusun peluang dan ancaman.

b) Dalam kolom 2 masing-masing faktor diberi bobot, nilai bobot mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

c) Dalam kolom 3 ditentukan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan. Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor). Pemberian nilai rating untuk peluang bersifat positif (semakin besar peluang semakin besar nilai rating yang diberikan). Sedangkan untuk ancaman pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya (semakin besar ancaman semakin kecil nilai ratingnya).

d) Kolom 4 diisi hasil perkalian bobot dengan rating. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing factor.

Matriks IFAS

Tabel 3. Matriks IFAS Faktor-faktor internal

(1)

Bobot (2)

Rating (3)

Skor (4)

Kekuatan

Kelemahan

Total

Setelah matriks dibuat, kemudian dilakukan pengisian data pada matriks tersebut. Pengisian tersebut dengan cara sebagai berikut :

a) Dalam kolom 1 disusun kekuatan dan kelemahan.

b) Dalam kolom 2 masing-masing faktor diberi bobot, nilai bobot mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Semua bobot


(27)

tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00. Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

c) Dalam kolom 3 ditentukan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan. Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor). Pemberian nilai rating untuk kekuatan bersifat positif (semakin besar kekuatan semakin besar nilai rating yang diberikan). Sedangkan untuk kelemahan pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya (semakin besar kelemahan semakin kecil nilai ratingnya).

Peringkat kekuatan :

1 : Kekuatan yang kecil 3 : Kekuatan yang besar 2 : Kekuatan yang sedang 4 : Kekuatan yang sangat besar Peringkat kelemahan :

1 : Kelemahan yang sangat berarti 3 : Kelemahan yang kurang berarti 2 : Kelemahan yang cukup berarti 4 : Kelemahan yang tidak berarti Peringkat peluang :

1 : Peluang kecil 3 : Peluang tinggi

2 : Peluang sedang 4 : Peluang sangat tinggi Peringkat tantangan/ancaman

1 : Ancaman sangat besar 3 : Ancaman sedang 2 : Ancaman besar 4 : Ancaman sedikit

d) Kolom 4 diisi hasil perkalian bobot dengan rating. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor.

e) Penentuan bobot.

Berdasarakan pendapat responden melalui kuisioener dan wawancara terdapat faktor-faktor strategis terpilih dibuat tabulasi data sebagai berikut:

Tabel 4. Penentuan Bobot pada matriks EFAS/IFAS

Faktor-faktor strategis

Bobot menurut pendapat responden Bobot rata-rata

Bobot pada matriks EFAS/IFAS responden 1 responden 2 responden i

faktor 1 X11 … … Bf1

faktor 2 X21 … … Bf2

faktor y Xy1 … Xyi Bfy


(28)

17

Bobot pada kolom 2 matriks EFAS dan IFAS ditentukan sebagi berikut:

i Xyi Bfy=

Bfy = bobot rata-rata faktor strategis y

Xyi = bobot faktor strategis yang menurut responden i i = jumlah responden

Bobot pada matriks EFAS/IFAS dihitung sebagai berikut:

=

Bf Bfy Bmy

Bmy = bobot faktor strategis y pada matriks EFAS/IFAS

∑Bf = total rata-rata bobot

Matriks SWOT

Diagram SWOT merupakan perpaduan antara perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai kekuatan (S) - kelemahan (W) pada sumbu x, dan menempatkan selisih antara peluang (O) - ancaman (T) pada sumbu (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel dari diagram SWOT. Letak nilai S-W dan O-T dalam diagram SWOT akan menentukan arah strategi pengembangan industri.

Matriks SWOT digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Matriks ini mengambarkan bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi organisasi disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal yang dimilikinya. Matriks ini menghasilkan empat kemungkinan srategi.

Strategi kekuatan-peluang (S-O) adalah strategi yang disusun berdasarkan jalan pikiran perusahaan yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi kekuatan-ancaman (S-T) adalah strategi dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan untuk mengatasi ancaman. Strategi kelemahan-peluang (W-O) adalah strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi kelemahan-ancaman (W-T) adalah strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat


(29)

defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Rangkuti, 2000).

Tabel 5. Matriks SWOT

Kekuatan (S)

Tentukan 1-10 faktor-faktor kekuatan internal

Kelemahan (W) Tentukan 1-10 faktor-faktor kelemahan internal

Peluang (O) Tentukan 1-10

faktor-faktor peluang lingkungan

Strategi S-O Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan

untuk memanfaatkan peluang

Strategi W-O Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan

untuk memanfaatkan peluang Ancaman (T)

Tentukan 1-10 faktor-faktor ancaman

lingkungan

Strategi S-T Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi W-T Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan

untuk menghindari ancaman

Setelah dilakukan analisa menggunakan model-model analisa tersebut kemudian dilakukan formulasi strategi. Formulasi strategi dilakukan untuk menetapkan strategi pengembangan usaha dan alternatif strateginya.


(30)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN SEJARAH

INDUSTRI ROTAN DI KABUPATEN CIREBON

A. Keadaan Umum

Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak dibagian timur dan merupakan batas sekaligus sebagai pintu gerbang Propinsi Jawa Tengah. Letak daratannya memanjang dari Barat Laut ke Tenggara. Dilihat dari permukaan daratannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, pertama daerah dataran rendah umumnya terletak di sepanjang pantai utara pulau Jawa, yaitu Kecamatan Gegesik, Kaliwedi, Kapetakan, Arjawinangun, Panguragan, Klangenan, Cirebon Utara, Cirebon Barat, Weru, Astanajapura, Pangenan, Karangsembung, Waled, Ciledug, Losari, Babakan, Gebang, Palimanan, Plumbon, Depok dan Kecamatan Pabedilan. Sedangkan sebagian lagi termasuk pada daerah dataran tinggi.

Berdasarkan letak geografisnya, wilayah kabupaten Cirebon berada pada posisi 108040’-108048’ Bujur Timur dan 6030’-70000’ Lintang selatan, yang dibatasi oleh:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu

b. Sebelah barat laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka c. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan

d. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten Brebes

Faktor iklim dan curah hujan di kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai dan perbukitan terutama daerah bagian utara, timur, dan barat, sedangkan daerah bagian selatan merupakan daerah perbukitan.

Wilayah kecamatan yang terletak sepanjang jalur pantura termasuk pada dataran rendah yang memiliki ketinggian antara 0 – 10 mdpl, sedangkan wilayah kecamatan yang terletak di bagian selatan memiliki letak ketinggian antara 11 – 130 mdpl.

Kabupaten Cirebon dilalui oleh 18 aliran sungai yang berhulu di bagian selatan. Sungai-sungai yang ada di daerah Cirebon tergolong besar antara lain Cisanggarung, Ciwaringin, Cimanis, Cipager, Pekik dan Kalijaga. Pada umumnya sungai-sungai besar tersebut dipergunakan untuk pengairan pesawahan disamping untuk keperluan mandi, cuci dan kakus umum.


(31)

B. Sejarah Industri Rotan Tegalwangi

Industri kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon sudah ada sejak tahun 1930-an di Desa Tegalwangi Kecamatan Weru, yang saat ini menjadi sentra industri kerajinan rotan termaju di kabupaten Cirebon. Jenis produk yang dihasilkan adalah perabot rumah tangga berupa meja, kursi, rak, sketsel dan lain lain serta produk anyaman lainnya dengan wilayah pemasaran di Desa Tegalwangi dan sekitarnya sampai ke kota Cirebon dengan cara dijajakan dari rumah ke rumah. Perintis usaha kerajinan rotan adalah warga Desa Tegalwangi bernama Semaun. Dia menggunakan peralatan produksi yang sangat sederhana, sehingga kualitas dan kuantitas produksinya sangat terbatas. Sejak saat itu ketrampilan membuat mebel tersebar luas di Tegalwangi.

Pada tahun 1940-an banyak permintaan mebel rotan dari toko-toko Cina di Cirebon, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Belanda yang bekerja di Cirebon dan sekitarnya. Kemajuan perdagangan ini meningkatkan pula perdagangan dan pengolahan bahan baku yang berasal dari hutan sekitar Magelang, Banjarnegara dan Sumatera.

Pada akhir dasawarsa 1950-an beberapa pengusaha Tegalwangi memprakarsai kerjasama untuk mengatasi pengusaha Cina di Cirebon yang menguasai perdagangan bahan baku. Bank Rakyat membantu permodalan dengan memberi pinjaman sebesar Rp 75.000,00 dari pinjaman ini Rp 22.500,00 digunakan untuk membeli rotan, Rp 50.000,00 didepositkan dan sisanya sebagai modal kerja. Dengan modal tersebut mereka membeli bahan baku dari Banyuwangi dan Semarang. Di antara anggota kelompok usaha itu sekarang sudah ada yang menjadi pengusaha besar, bahkan beberapa orang anak mereka mengikuti jejak orang tuanya menjadi pengusaha atau tokoh desa (Iskandar, 1991).

Pada awal tahun 1980-an produk kerajinan rotan dari Kabupaten Cirebon memasuki sejarah baru dalam bidang pemasaran, yakni produk kerajinan tersebut dapat diekspor dan diterima oleh konsumen dari luar negeri, tepatnya pada tahun 1982. Sampai saat ini grafiknya cenderung naik bila dilihat dari volume dan nilai ekspornya. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan industri kerajinan rotan tersebut antara lain :


(32)

21

1. Dukungan bahan baku yang cukup banyak yang merupakan sumber daya alam di dalam negeri.

2. Tersedianya sumber daya manusia terampil.

3. Adanya deregulasi dari pemerintah yang menyangkut kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan tahun 1986.

4. Jenis produksinya banyak disenangi oleh konsumen dari luar negeri. Melihat perkembangan industri kerajinan rotan yang cenderung meningkat banyak investor yang menanamkan modalnya di sektor industri tersebut, sehingga industri kerajinan rotan di kabupaten Cirebon yang ada saat ini bukan hanya industri kecil, menengah, tetapi termasuk industri besar dengan teknologi yang lebih maju. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon tahun 2004, terdapat kurang lebih 1.060 unit usaha yang terdiri dari 943 industri kecil, 82 industri menengah dan 44 unit usaha industri besar.


(33)

A. Karakteristik Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon

Industri pengolahan rotan yang dimaksud adalah industri kecil/rumah tangga, industri menengah dan industri besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Disperindag Kabupaten Cirebon tahun 2004, diketahui bahwa jumlah industri kecil sebanyak 934 unit usaha, industri menengah 82 unit usaha dan industri besar 44 unit usaha.

Industri kecil pada umumnya berbentuk perseorangan dengan jumlah pekerja antara 7 sampai 8 orang. Sedangkan industri menengah dan besar pada umumnya berbentuk CV yang digerakan oleh orang-orang yang pada umumnya masih berhubungan keluarga. Di Kabupaten Cirebon industri kecil banyak berkembang karena tidak perlu akte pendirian hanya perlu izin dari pemerintah setempat, selain itu industri kecil juga tidak perlu khawatir akan adanya saingan dari industri yang lebih besar, sebab justru industri ini saling bekerja sama dengan sistem sub-kontrak.

Sistem sub-kontrak yang umum digunakan pada industri pengolahan rotan di Kabuapten Cirebon ternyata cukup efektif menumbuhkan industri kecil dengan hubungan kerja yang saling menguntungkan. Dalam sistem sub-kontrak terdapat pengalihan kerja dari satu unit usaha (industri menengah/besar) kepada unit usaha lain (industri kecil). Industri kecil berperan sebagai industri pembuat produk setengah jadi, sedangkan industri mengah/besar hanya melakukan

finishing saja. Hal ini menguntungkan bagi industri menengah/besar karena dapat menghemat biaya produksi seperti tenaga kerja, dimana terdapat perbedaan tingkat upah antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil. Selain itu tanpa sub-kontraktor maka industri besar dapat kewalahan dalam menyelesaikan pesanan ekspor dalam jumlah besar. Sebaliknya tanpa industri besar maka industri kecil akan kesulitan dalam mencari pasar bagi produk yang mereka hasilkan.

Pelaksanaan sistem sub-kontrak dimulai dari pemberian order dari perusahaan menengah/besar kepada perusahaan kecil. Perusahaan pemberi order bisa memiliki 30-35 sub-kontraktor dengan spesifikasi masing-masing sehingga jika pemberi order mendapat pesanan dari importir maka dia dapat menentukan mana sub-kontraktor yang kira-kira mampu mengerjakan pesanannya. Pihak industri menengah/besar rata-rata memberikan bahan baku


(34)

23

kepada sub-kontraktornya, dengan memberi keleluasaan pada subkontraktor untuk mengambil bahan baku dengan ukuran dan jenis yang dibutuhkan. Jika industri menengah/besar tidak memiliki persediaan bahan baku yang dibutuhkan maka dapat memberikan memo kepada sub-kontraktor untuk mengambil bahan baku di perusahaan bahan baku yang ditunjuknya. Biaya bahan baku ini akan dibayar oleh pemberi order setelah produk selesai. Walaupun demikian sebenarnya pihak sub-kontraktorlah yang membeli bahan baku tersebut sebab pembayaran kepada sub-kontraktor dari industri menengah/besar dengan cara mengurangi nilai order yang diterimanya dengan nilai pembelian bahan baku.

B. Keadaan Industri Rotan di Kabupaten Cirebon

Sejak tahun 1988 dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.190/Kpts/VI/1988 tentang Pelarangan Ekspor Rotan Asalan, Indonesia tidak lagi mengekspor rotan asalan kecuali untuk hal-hal tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Semenjak itu industri pengolahan rotan semakin berkembang di dalam negeri, semakin tahun jumlah usahanya semakin meningkat dengan sentra industri yang terbesar terletak di daerah Cirebon.

Pada tahun 2004 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan mengenai ekspor rotan dengan mengeluarkan SK Menperindag No. 355/MPP/Kep/5/2004, dalam SK tersebut disebutkan bahwa rotan asalan dan setengah jadi dari tanaman budidaya boleh di ekspor. Keputusan tersebut mendapatkan tantangan keras terutama dari kalangan pengusaha industri produk jadi rotan karena dengan dibukanya ekspor rotan asalan dan setengah jadi dikhawatirkan akan mengurangi stok bahan baku untuk industri dalam negeri sehingga industri dalam negeri akan mengalami kemunduran.

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini didapatkan bahwa dari tahun 1997 sampai dengan 2004 industri pengolahan rotan di dalam negeri terutama di sentra industri Kabupaten Cirebon terus mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 30 industri per tahun (Gambar 2.). Bahkan selama tahun 2004 di Kabupaten Cirebon dapat tumbuh 41 pabrik baru dengan jumlah total pada tahun tersebut sebanyak 1060 unit usaha.


(35)

0 200 400 600 800 1000 1200

Jumlah Unit Usaha

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

Gambar 2. Pertumbuhan Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon

Sementara jika dilihat dari volume bahan baku yang dibutuhkan untuk keseluruhan industri pengolahan rotan di Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 jumlah total kebutuhan bahan baku sebesar 113.976 ton. Jumlah ini mengalami kenaikan setiap tahun, jika dihitung sejak tahun 1997 maka jumlah kenaikan volume kebutuhan bahan baku rotan di Kabupaten Cirebon rata-rata sebesar 7.720 ton per tahun (Gambar 3.), sementara jumlah total kebutuhan bahan baku untuk industri rotan di seluruh Indonesia sebesar 233.986 ton per tahun (Depperindag, 2005). Jumlah tersebut ternyata melebihi potensi bahan baku rotan lestari dari seluruh daerah penghasil rotan di Indonesia, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman yang hanya memiliki kemampuan sebesar 140.150 ton per tahun. Walaupun demikian kebutuhan bahan baku untuk industri barang jadi rotan di Indonesia tetap dapat tercukupi karena produksi riil untuk bahan baku rotan berkisar antara 250.000 sampai dengan 600.000 ton per tahun (Erwinsyah, 1999).

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

V

ol

u

m

e

(

ton)

Gambar 3. Perkembangan Volume Produksi Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon


(36)

25

C. Penyerapan Tenaga Kerja dalam Industri Rotan

Berdasarkan penyerapan tenaga kerjanya, maka industri pengolahan rotan dapat digolongkan dalam industri padat karya, dimana industri pengolahan ini pada umumnya tidak membutuhkan peralatan yang mahal dan berteknologi tinggi tetapi cukup dengan tenaga kerja yang banyak. Hasil yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta BPS Kabupaten Cirebon tahun 2004 menyebutkan bahwa pada tahun 2004 indutri rotan di Cirebon dapat menyerap sebanyak 61.140 orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2004 rata-rata sebesar 2.228 orang per tahun dengan peningkatan terbanyak terjadi pada tahun 2003 sebesar 5.294 orang. Sementara itu rata-rata penyerapan tenaga kerja per industri untuk rentang waktu tersebut adalah 56 orang/industri. Jika dihitung dari jumlah angkatan kerja Kabupaten Cirebon pada tahun 2003 maka persentase penyerapan tenaga kerja dari sektor industri rotan di daerah tersebut adalah sebesar 3,62%.

Tabel 6. Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Rotan Tahun 1997-2004.

Tahun Jumlah Tenaga Kerja

Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja per Industri

1997 45544 852 53.45

1998 47794 864 55.32

1999 49530 892 55.53

2000 50644 909 55.71

2001 51432 923 55.72

2002 54267 952 57.00

2003 59561 1019 58.45

2004 61140 1060 57.68

D. Analisis Nilai Tambah Industri Pengolahan Rotan

Penelaahan nilai tambah yang dilakukan ini dimulai dari bahan baku rotan setengah jadi sampai tahap barang jadi rotan dilakukan pada CV. Anggun Rotan. Nilai tambah industri barang jadi rotan dihitung dengan menggunakan metode nilai tambah Hayami pada Tabel 7.

Dari hasil perhitungan nilai tambah Hayami dapat diperoleh keterangan sebagai berikut:

1. Nilai tambah pengolahan dalam industri rotan. 2. Tingkat keuntungan, dalam rupiah dan persen.


(37)

Tabel 7. Analisis Nilai Tambah Industri Pengolahan Rotan

No Uraian Nilai

Output, input, Harga

1 Output(Kg/bln) 38477.5

2 Input Bahan Baku (Kg/Bln) 28422 3 Input Tenaga Kerja (Hari Kerja/Bln) 2400

4 Faktor Konversi (1)/(2) 1.35

5 Koefisien TK (3)/(2) 0.08

6 Harga Produk Jadi (Rp/kg) 16936.55 7 Upah Rata-rata TK (Rp/HK) 19036.46

Pendapatan dan Keuntungan

8 Haga input BB (Rp/Kg) 7250

9 Sumbangan input Lain (Rp/kg) 2125.292 10 Nilai Produk (4) x (6) 22928.58 11 Nilai Tambah (10)-(8)-(9) 13553.29 Rasio Nilai Tambah (11/10) x 100% 59.11 12 Pendapatan TK (5) x (7) 1607.47 Bagian TK (12)/(11) x 100% 11.86 13 Keuntungan (11)- (12) 11945.82 Tingkat Keuntungan (13)/(10) x 100% 52.10

Balas Jasa Untuk Faktor Produksi

14 Margin (10)-(8) 15678.58

a. Pendapatan TK (12)/(14) x 100% (1.607,05) 10.25 b. Sumbangan Input Lain (9)/(14) x 100% (2.126,01) 13.56 c. Keuntungan Perusahaan (13)/(14) x 100% (11.945,51) 76.19

Nilai-nilai dalam perhitungan nilai tambah ini merupakan nilai rata-rata per bulan yang diambil dari CV. Anggun Rotan. Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri tersebut adalah 110 orang dengan tenaga kerja langsung sebesar 100 orang. Dalam satu bulan rata-rata terdapat 24 hari kerja sehingga input tenaga kerja yang terjadi untuk industri tersebut adalah 2400 Hari Kerja.

Koefisien tenaga kerja yang digunakan adalah banyaknya tenaga kerja langsung (HK/bulan) dibagi oleh bahan baku (Kg/bulan). Dari perhitungan diperoleh koefisien tenaga kerja rata-rata sebesar 0,08 artinya untuk setiap 100


(38)

27

kilogram bahan baku rotan yang dikerjakan sampai menjadi barang jadi dibutuhkan 8 hari kerja (HK). Faktor konversi menunjukkan perbandingan antara input dengan output perusahaan, dalam penelitian ini didapatkan faktor konversi sebesar 1,35. Angka ini menunjukkan bahwa 100 kilogram bahan baku menghasilkan 135 kilogram output. Faktor konversi lebih besar dari 1 disebabkan adanya penambahan bahan-bahan penolong seperti paku, tripleks atau kayu dan lain sebaginya.

Untuk nilai produk didapat dari hasil perkalian antara faktor konversi yaitu 1,35 dengan harga rata-rata produk yang besarnya Rp 16.936,55 sehingga nilai produk yang didapatkan adalah sebesar Rp 22.928,58. Nilai produk dapat diartikan juga sebagai besarnya penerimaan kotor perusahaan.

Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan rotan sebesar Rp13.553,29. Nilai tambah ini didapat dari selisih nilai produk per kilogram bahan baku dengan harga bahan baku dan sumbangan input lain. Nilai tambah ini merupakan nilai tambah kotor, karena masih mengandung pendapatan tenaga kerja yaitu sebesar Rp1.607,47. Pendapatan tenaga kerja menyatakan imbalan yang diperoleh tenaga kerja untuk mengolah setiap kilogram bahan baku rotan. Besarnya rasio nilai tambah terhadap nilai produk rata-rata adalah 59.11 persen, sedangkan besarnya persentase imbalan tenaga kerja terhadap nilai tambah adalah 11.86 persen.

Keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil kegiatan pengolahan perkilogram bahan baku perbulan adalah Rp 11.945,82 atau sebesar 52,10 persen dari nilai output. Nilai ini merupakan keuntungan bersih perusahaan, karena sudah memperhitungkan biaya pemasaran dan penyusutan serta imbalan tenaga kerja. Keuntungan ini juga dapat diartikan sebagai nilai tambah bersih dari pengolahan rotan setengah jadi menjadi barang jadi rotan.

Berdasarkan analisis nilai tambah diperoleh besarnya marjin atau selisih nilai output (Rp 22.928,58) dengan harga bahan baku (Rp 7.250,00) sebesar Rp 15678.58 per kilogram bahan baku. Besarnya marjin ini selanjutnya didistribusikan kepada imbalan tenaga kerja, imbalan input lain dan keuntungan perusahaan. Balas jasa yang paling besar didapat oleh keuntungan perusahaan sebesar Rp 11.945,51atau 76,19 persen. Artinya kegiatan pengolahan rotan mampu memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Balas jasa yang kedua terbesar adalah sumbangan input lain sebesar Rp 2.126,01 atau 13.56


(39)

persen. Sementara itu balas jasa yang paling rendah adalah untuk sumbangan imbalan tenaga kerja yaitu sebesar Rp 1.607,05 atau 10.25 persen.

E. Analisis Lingkungan dan Penetapan Strategi Perusahaan

E. 1. Identifikasi Faktor Internal

Aspek-aspek yang ditinjau untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan antara lain faktor sumberdaya manusia, faktor managemen usaha, faktor produksi dan faktor finansial. Dari hasil analisis lingkungan internal menunjukkan beberapa hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan industri. Kekuatan dan kelemahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.

Faktor Sumberdaya Manusia

Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat penting bagi suatu industri, kekuatan yang dimiliki oleh industri rotan di kabupaten Cirebon dari faktor ini adalah ketrampilan tenaga kerjanya. Rata-rata tenaga kerja di Kabupaten Cirebon sudah terampil dalam pembuatan rotan karena mereka telah berpengalaman selama bertahun-tahun. Hal ini terbukti dengan mutu dan desain produk yang bagus sehingga 50% responden menyatakan 75-100% produk dapat diterima oleh pasar. Selain itu kekuatan lain dari faktor ini adalah adanya penyerapan tenaga kerja yang cukup besar sebab industri pengolahan merupakan industri padat karya yang membutukan banyak tenaga kerja dalam pelaksanaanya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Disperindag Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 tenaga kerja yang dapat diserap dari sektor ini sebanyak 61.140 orang. Jumlah tersebut belum termasuk penyerapan yang diambil dari pengaruh industri rotan terhadap usaha lainnya seperti usaha warung makan, tempat kos, transportasi dan lain sebagainya.

Kelemahan yang dihadapi dari faktor sumberdaya manusia adalah rendahnya disiplin dan produktifitas tenaga kerja. Hal tersebut dapat mempengaruhi target produksi yang ditetapkan perusahaan. Permasalahan ini dapat diatasi oleh pihak perusahaan dengan upaya pembenahan dan pengawasan yang intensif sehingga produktifitas dan disiplin tenaga kerja dapat ditingkatkan. Kadang kala juga terjadi kesulitan dalam melayani pesanan dengan desain produk baru, tenaga kerja umumnya kurang paham dalam hal pembuatan desain baru sebab yang mereka lakukan selama ini adalah membuat barang


(40)

29

yang sudah ada contohnya. Untuk mengatasi masalah ini seringkali perusahaan merekrut tenaga profesional dibidang desain untuk membuat produk yang baru tersebut.

Tabel 8. Kekuatan dan Kelemahan Industri Pengolahan rotan

Faktor Strategis Internal

Kekuatan Kelemahan

1. Sumberdaya Manusia

1) Ketrampilan tenaga kerja

2) Penyerapan tenaga kerja

1) Rendahnya disiplin dan produktifitas tenaga kerja

2) Kesulitan melayani permintaan degan desain produk baru 2. Managemen

Usaha

3) Mantapnya jaringan pemasaran dan produk

3) Kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku

4) Tidak memiliki mitra pemasok bahan baku 5) Belum ditemukan cara

untuk mengatasi

kelangkaan bahan baku 6) Produksi tergantung

pesanan dari luar negeri 3. Faktor produksi 4) Alat produksi yang

memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar

7) Teknik produksi yang belum efisien

4. Finansial

5) Memberi nilai tambah 6) Perbandingan

keuntungan dengan investasi

7) Sumbangan terhadap daerah

8) Penciptaan lapangan usaha lain

9) Dukungan terhadap upaya pengembangan pemanfaatan HHNK 8) Kemampuan permodalan Managemen Usaha

Industri pengolahan Rotan yang terdapat di Kabupaten Cirebon pada umumnya adalah industri keluarga yang telah dijalankan selama puluhan tahun sehingga memiliki jaringan pemasaran yang mantap. Mantapnya jaringan pemasaran ini ditandai dengan pernyataan resonden dimana 70% responden memiliki pelanggan-pelanggan yang setia terutama dari luar negeri (importir).


(41)

Setiap industri memiliki pelanggan-pelanggan tetap dari berbagai negara terutama Asia, Eropa dan Amerika.

Bahan baku adalah salah satu faktor yang sering menjadi kendala dalam pengelolaan industri rotan di Kabupaten Cirebon karena Cirebon bukanlah kota penghasil rotan mentah. Bahan baku pada umumnya di datangkan dari daerah luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kesulitan muncul karena industri tidak memilik mitra pemasok bahan baku yang kontinyu sehingga setiap kali harus berganti-ganti mencari pemasok bahan baku. Ditambah lagi setelah dikeluarkan Peraturan mengenai pembukaan ekspor rotan asalan dan setengah jadi bahan baku semakin sulit dicari, terutama untuk jenis-jenis tertentu.

Faktor Produksi

Industri pengolahan rotan merupakan industri padat karya yang membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak namun tidak memerlukan alat produksi yang berteknologi tinggi. Alat produksi yang digunakan dalam industri pengolahan merupakan peralatan sederhana karena sebagian besar pembuatan produk menggunakan ketrampilan tangan dari para pekerjanya. Namun hal tersebut bukan berarti alat produksi tidak diperlukan. Saat ini teknik produksi yang digunakan belum cukup efisien padahal dilihat dari segi teknologi dan peralatan sudah cukup memadai.

Faktor Finansial

Kabupaten Cirebon merupakan sentra industri pengolahan rotan yang terbesar di Indonesia, industri ini tumbuh subur dan berkembang di Cirebon sejak puluhan tahun lalu. Industri ini dapat memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan daerah terutama dari pajak, retribusi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon sangat mendukung berkembangnya industri ini yaitu dengan mempermudah pertumbuhan industri kecilnya. Industri kecil di kabupaten Cirebon tidak perlu memiliki akte pendirian usaha sehingga dapat tumbuh dengan baik.

Selain bermanfaat bagi pertumbuhan daerah industri rotan juga sangat berpengaruh terhadap penciptaan lapangan usaha lain. Banyak usaha-usaha di daerah Cirebon yang tumbuh karena imbas dari industri rotan. Usaha tersebut yaitu usaha warung makan, disekitar pabrik rotan banyak sekali berdiri warung-warung makan yang target konsumennya adalah tenaga kerja dari pabrik-pabrik


(42)

31

industri rotan. Usaha penginapan juga salah satu yang terkena imbasnya, baik penginapan berupa hotel maupun usaha rumah kontrakan. Karena secara tidak langsung akan banyak orang-orang dari luar daerah Cirebon yang datang karena mempunyai kepentingan dengan industri rotan.

Namun demikian masih terdapat kendala dalam menjalankan industri ini seperti kendala permodalan. Kendala permodalan terutama dialami oleh industri kecil dan rumah tangga oleh karena itu jalan yang mereka tempuh adalah dengan menjadi sub-kontraktor dari industri-industri menengah dan besar. Dengan begitu maka kendala permodalan dapat sedikit teratasi karena mendapat bantuan dari industri yang lebih besar. Sedangkan untuk industri menengah dan besar biasanya mengatasi kendala tersebut dengan melakukan peminjaman dari lembaga keuangan yang berbunga rendah dengan agunan.

E. 2. Identifikasi Faktor Eksternal

Hasil analisis terhadap faktor lingkungan eksternal menunjukkan peluang dan ancaman yang dihadapi oleh industri pengolahan rotan. Aspek-aspek yang ditinjau antra lain faktor ekonomi, sosial budaya, lingkungan industri, pemerintah dan kekuatan hukum, teknologi serta kekuatan persaingan. Peluang dan ancaman tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Faktor Ekonomi

Dari segi ekonomi terdapat peluang pendapatan bagi industri pengolahan rotan terutama dengan melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini, sebab harga penjualan rotan dihitung dalam satuan dollar Amerika sedangkan bahan bakunya diperoleh dari dalam negeri dengan nilai pembelian dalam Rupiah. Meskipun demikian berdasarkan wawancara yang dilakukan tidak terdapat peningkatan permintaan dari konsumen sebab pada umumnya tiap industri pengolahan rotan sudah memiliki konsumen sendiri-sendiri, dengan permintaan yang kurang lebih sama dari tahun ke tahun sehingga produksi yang dihasilkan juga tidak semakin bertambah. Penambahan jumlah ekspor rotan dari tahun ke tahun secara umum di sebabkan oleh penambahan unit usaha baru yang mengincar pasar baru.


(43)

Tabel 9. Peluang dan Ancaman Industri Pengolahan Rotan

Faktor Strategis Eksternal

Peluang Ancaman

1. Ekonomi 1) Peningkatan permintaan pasar dari tahun ke tahun 2) Peningkatan produk rotan

dari tahun ke tahun 3) Melemahnya nilai tukar

rupiah akhir-akhir ini

2. Sosial budaya 4) Melimpahnya tenaga kerja

terampil

5) Banyaknya subkontraktor yang dapat diikutsertakan dalam produksi 3. Politik, Pemerintah dan kekuatan hukum

6) Peran asosiasi (ASMINDO)

7) Peran pemerintah dalam membantu masalah ketercukupan bahan baku 8) Fasilitas promosi

pemerintah dan asosiasi terhadap produk industri rotan

9) Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UKM

1) Tingginya biaya pengurusan ijin, pajak, retribusi, THC dan lain-lain.

2) Hambatan-hambatan dalam perdagangan

4. Teknologi 10) Mutu produk yg diakui di dalam maupun luar negeri

3) Budidaya rotan sebagai alternatif sumber bahan baku belum berkembang 5. Kekuatan

Persaingan

4) Lobby (tekanan) APRI 5) Ancaman negara-negara

pesaing (Cina, Vietnam, Thailand)

6) Banyaknya produsen baru yang bermunculan

Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya di Kabupaten Cirebon sangat mendukung perkembangan industri pengolahan rotan, karena di daerah ini banyak terdapat tenaga kerja terampil. Hal tersebut disebabkan karena industri rotan sudah berkembang di daerah ini sejak lama terutama di Desa Tegalwangi, yang kemudian berkembang ke desa-desa tetangganya seperti Desa Tegalsari dan Plumbon. Di desa-desa tersebut hampir setiap keluarga memiliki ketrampilan dalam menganyam rotan yang digeluti baik sebagai pekerjaan tetap maupun pekerjaan sambilan.


(44)

33

Bagi sebagian orang yang memiliki cukup modal dan dirasa telah memiliki ketrampilan serta pengalaman dapat berusaha sendiri sebagai sub-kontraktor dari perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Sistem usaha sub-kontraktor ini adalah sistem usaha yang saling menguntungkan antara industri kecil dengan industri menengah/besar.

Faktor Politik, Pemerintah dan Kekuatan Hukum

Suatu usaha tidak akan berkembang baik jika kebijakan pemerintahnya tidak mendukung perkembangan industri yang bersangkutan. Demikian juga dengan industri rotan dimana perkembangannya juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan kekuatan politik lainnya.

Bantuan pemerintah dalam pengembangan industri rotan terutama dalam pengembangan industri kecilnya yaitu dengan memberikan dana pinjaman yang mudah diperoleh dan berbunga ringan. Hal ini sangat penting bagi industri sebab dengan mendapatkan modal yang lebih banyak maka industri jadi lebih mudah dalam melebarkan sayapnya.

Suatu industri tidak dapat berkembang bila produknya tidak dikenal oleh masyarakat atau konsumen. Untuk itu perlu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen dengan cara promosi kepada publik. Pemerintah Daerah Cirebon sangat perduli dengan industri rotan oleh karena itu pemerintah selalu memberikan fasilitas promosi kepada industri ini, kurang lebih dilakukan dua kali promosi dalam satu tahun dengan mengadakan pameran-pameran produk jadi rotan baik di dalam maupun di luar negeri.

Namun demikian tidak semua kebijakan pemerintah mendukung perkembangan industri rotan. Kebijakan yang merugikan antara lain adalah tingginya pengurusan ijin dan biaya pengiriman barang. Biaya pengiriman barang (THC) oleh pemerintah indonesia dirasa sangat tinggi yaitu sebesar US$ 260 per kontainer, hal ini sangat berbeda dari kebijakan yang dikeluarkan oleh negara tetangga yaitu Malaysia sebesar US$ 68, Singapura US$ 160, Thailand US$ 75 dan Myanmar hanya US$ 50.

Faktor Teknologi

Teknologi yang digunakan oleh industri rotan sudah berkembang namun pada dasarnya pengguanaan alat-alat tidak terlalu dominan karena produk jadi rotan sebagian besar dikerjakan dengan ketrampilan para pekerjanya terutama


(45)

dalam hal menganyam. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dimana 55,56% responden menyebutkan bahwa alat produksi yang memenuhi kualitas dan permintaan pasar hanya sebesar 50-75%.

Kekuatan Persaingan

Lingkungan eksternal yang sangat berpengaruh saat ini adalah faktor persaingan dari negara tetangga (81,82% responden menyatakan tingginya ancaman ini). Negara-negara seperti China, Thailand dan Vietnam sangat berpotensi untuk menggeser dominasi produk rotan dari Indonesia karena selain dapat menghasilkan produk rotan yang kualitasnya tidak jauh dari Indonesia, produk dari negara-negara tersebut juga dapat dijual dengan harga yang lebih murah. Sementara itu dari dalam negeri perusahaan-perusahaan yang lebih dulu berdiri mendapat ancaman berupa munculnya perusahaan-perusahaan baru.

F. Penerapan Strategi dalam Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon

Setelah melakukan pemisahan antara kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada maka dapat dibuat Matrik Faktor Strategis Internal (IFAS) yang berisi kekuatan dan kelemahan industri serta Matriks Faktor Strategis Eksternal (EFAS) yang berisi peluang dan ancaman industri.

F. 1. Matriks Faktor Strategis Internal

Berdasarkan penilaian terhadap industri pengolahan rotan di kabupaten Cirebon (Tabel 10.), dapat disusun sembilan faktor yang merupakan kekuatan industri dengan matriks IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary), faktor-faktor tersebut yaitu : (1) Mantapnya jaringan pemasaran dan produk; (2) Alat produksi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar; (3) Penyerapan tenaga kerja; (4) Sumbangan (pajak, retribusi) terhadap daerah; (5) Perbandingan keuntungan dengan Investasi (ROI); (6) Memberi nilai tambah; (7) Ketrampilan tenaga kerja; (8) Penciptaan lapangan usaha lain; (9) Dukungan terhadap upaya pengembangan pemanfaatan HHNK.

Delapan faktor yang merupakan kelemahan perusahaan juga diidentifikasi, yaitu : (1) Kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku; (2) Tidak memiliki mitra pemasok bahan baku; (3) Belum ditemukannya cara untuk mengantisipasi kelangkaan bahan baku; (4) Teknik produksi yang belum efisien;


(46)

35

(5) Rendahnya disiplin dan produktifitas tenaga kerja; (6) Produksi tergantung pesanan dari luar negeri; (7) Kesulitan melayani permintaan dengan desain produk baru; (8) Kemampuan permodalan.

Tabel 10. Matriks IFAS Industri Pengolahan Rotan

Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor Kekuatan

1. Mantapnya jaringan pemasaran dan produk 0.066 4 0.26 2. Alat produksi yang memadai untuk memenuhi

kebutuhan pasar 0.055 3 0.17

3. Penyerapan tenaga kerja 0.055 3 0.17 4. Sumbangan (pajak, retribusi) terhadap daerah 0.062 3 0.19 5. Perbandingan keuntungan dengan Investasi (ROI) 0.059 3 0.18 6. Memberi nilai tambah 0.058 2 0.12 7. Ketrampilan tenaga kerja 0.064 3 0.19 8. Penciptaan lapangan usaha lain 0.057 3 0.17 9. Dukungan terhadap upaya pengembangan pemanfaatan

HHNK 0.053 2 0.11

Total 0.529 1.54

Kelemahan

1. Kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku 0.06 2 0.12 2. Tidak memiliki mitra pemasok bahan baku 0.057 3 0.17 3. Belum ditemukannya cara untuk mengantisipasi

kelangkaan bahan baku 0.063 4 0.25

4. Teknik produksi yang belum efisien 0.057 2 0.11 5. Rendahnya disiplin dan produktifitas tenaga kerja 0.058 2 0.12 6. Produksi tergantung pesanan dari luar negeri 0.063 4 0.25 7. Kesulitan melayani permintaan dengan desain produk

baru 0.054 2 0.11

8. Kemampuan permodalan 0.059 3 0.18

Total 0.471 1.31

Kekuatan - Kelemahan 0.23

Kekuatan + Kelemahan 1.000 2.85

Berdasarkan hasil skor yang didapatkan dari perkalian antara bobot dengan rating terhadap faktor strategis diketahui bahwa kekuatan yang utama dari industri pengolahan rotan di Kabupaten Cirebon adalah mantapnya jaringan pemasaran dan produk (skor 0,26). Sementara itu kelemahan yang paling berpengaruh bagi perusahaan adalah produksi tergantung pesanan dari luar negeri dan belum ditemukannya cara untuk mengantisipasi kelangkaan bahan baku (skor 0,25).


(47)

Matriks IFAS memberikan nilai skor total 2,85 yang menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi internal perusahaan, maka posisi industri pengolahan rotan di Kabupaten Cirebon cukup kuat (diatas rata-rata 2,5), dimana kekuatan yang dimiliki industri dapat menutupi kelemahannya.

F. 2. Matriks Faktor Strategis Eksternal

Identifikasi peluang dan ancaman industri rotan di Kabupaten Cirebon dengan menggunakan matriks EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary). Tabel 11. memperlihatkan faktor peluang yang dihadapi perusahaan yaitu : (1) Peningkatan permintaan pasar dari tahun ke tahun; (2) Mutu produk yang diakui di dalam maupun diluar negeri; (3) Peningkatan harga produk rotan dari tahun ke tahun; (4) Peran asosiasi (ASMINDO); (5) Peran pemerintah dalam membantu masalah ketercukupan bahan baku; (6) Fasilitas promosi pemerintah dan asosiasi terhadap produk industri rotan; (7) Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UKM dengan membuka akses pendanaan; (8) Melimpahnya tenaga kerja yang terampil; (9) Melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini; (10) Banyaknya sub-kerja (sub-kontraktor) yang dapat diikutsertakan dalam produksi.

Ancaman merupakan hal yang selalu ingin diantisipasi oleh suatu industri karena semakin besar ancaman maka semakin besar industri mengalami kemunduran. Ancaman yang dapat diidentifikasi dari industri rotan di Kabupaten Cirebon adalah sebagai berikut : (1) Lobby (tekanan) Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI); (2) Budidaya rotan sebagai alternatif sumber bahan baku belum berkembang; (3) Tingginya biaya pengurusan ijin, pajak, retribusi, Terminal Handling Charge (THC), dan lain sebagainya; (4) Ancaman dari negara-negara pesaing seperti China, Vietnam, dan Thailand; (5) Banyaknya produsen baru yang bermunculan; (6) Hambatan-hambatan dalam perdagangan.

Peluang terbesar yang dimiliki oleh industri pengolahan rotan di Kabupaten Cirebon adalah banyaknya sub-kerja (sub-kontraktor) yang dapat diikut sertakan dalam produksi (skor 0,28). Sementara ancaman paling berbahaya yang sedang dihadapi industri dengan nilai skor 0,29 adalah ancaman dari negara-negara pesaing seperti China, Vietnam dan Thailand. Matriks EFAS menunjukkan nilai total sebesar 2,66 (diatas rata-rata 2,5) yang berarti industri tersebut mampu merespon dan memanfaatkan peluang yang ada, serta dapat merespon ancaman yang dihadapi dengan baik.


(48)

37

Tabel 11. Matriks EFAS Industri Pengolahan Rotan

F. 3. Matriks Internal Eksternal (IE)

Berdasarkan matriks EFAS dan IFAS tersebut diatas maka dapat dibuat matriks Internal-Eksternal (matriks IE) yang bertujuan untuk mengetahui posisi industri rotan saat ini dalam kaitannya untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluangnya serta mengatasi ancaman dan masalah. Adapun skor total untuk faktor strategis internal adalah 2,85 sedangkan untuk faktor strategis eksternal adalah 2,66 sehingga matriks IE nya dapat dibuat sebagai berikut.

Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor Peluang

1. Peningkatan permintaan pasar dari tahun ke tahun 0.06 2 0.12 2. Mutu produk yang diakuui di dalam maupun diluar negeri 0.07 2 0.14 3. Peningkatan harga produk rotan dari tahun ke tahun 0.053 2 0.11 4. Peran asosiasi (ASMINDO) 0.059 3 0.18 5. Peran pemerintah dalam membantu masalah

ketercukupan bahan baku 0.062 2 0.12 6. Fasilitas promosi pemerintah dan asosiasi terhadap

produk industri rotan 0.065 3 0.20 7. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UMKM

dengan membuka akses pendanaan 0.064 2 0.13 8. Melimpahnya tenaga kerja yang terampil 0.062 3 0.19 9. Melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini 0.063 2 0.13 10. Banyaknya sub-kerja (sub-kontraktor) yang dapat

diikutsertakan dalam produksi 0.07 4 0.28

Total 0.628 1.58

Ancaman

1. Lobby (tekanan) Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia

(APRI) 0.07 3 0.21

2. Budidaya rotan sebagai alternatif sumber bahan baku

belum berkembang 0.053 2 0.11

3. Tingginya biaya pengurusan ijin, pajak, retribusi, Terminal

Handling Charge (THC), dan lain sebagainya 0.065 3 0.20 4. Ancaman dari negara-negara pesaing seperti China,

Vietnam, dan Thailand 0.073 4 0.29

5. Banyaknya produsen baru yang bermunculan 0.053 3 0.16 6. Hambatan-hambatan dalam perdagangan 0.057 2 0.11

Total 0.371 1.08

Peluang - Ancaman 0.51


(1)

Lampiran 11. Perhitungan Output

Keterangan Jumlah (Kg)

Bulan Februari

container 1 3230 container 2 3000 container 3 3000 container 4 3379 Container 5 3050 container 6 3152 container 7 2565 container 8 3065 container 9 2775 container 10 3740 container 11 3650 container 12 3185 container 13 3100 container 14 3550 container 15 3200 container 16 3230 container 17 3818 container 19 3800 container 20 1795 container 21 3078 container 22 1669.8 container 23 3290 container 24 3000 jumlah 71322 Bulan November

Container 1 2233 container 2 2276.8 Container 3 1123 jumlah 5632.8 total 76955

Lampiran 12. Sumbangan Input lain

1. kain 1875000 2. melamik 42336000 3. thinner 4624620 4. pemeliharaan 290000 5. penyusutan 320000 6. listrik 2000000 7. bahan lain 5000000 jumlah 56445620 Sumbangan input lain/kg 2125.292


(2)

Lampiran 13. Perhitungan Harga Produk Rata-rata

no harga $ harga Rp Kg Rp/kg

1785 4428 39852000 1795 22201.67

1784 6579 59211000 3800 15581.84

1783 5801 52209000 4000 13052.25

1781 4760 42840000 3230 13263.16

1780 3440 30960000 3200 9675

1779 4832 43488000 3550 12250.14

1778 4708 42372000 3100 13668.39

1777 6290 56610000 3185 17773.94

1776 5544 49896000 3650 13670.14

1775 5971.4 53742600 3740 14369.68

1774 4298.4 38685600 2775 13940.76

1773 4716 42444000 3065 13847.96

1772 5580 50220000 2565 19578.95

1771 4484.59 40361310 3152 12804.98 1770 5456.06 49104540 3050 16099.85

1769B 5722 51498000 3379 15240.6

1769A 5797.5 52177500 3000 17392.5

1768 6160 55440000 3000 18480

1767 5018 45162000 3230 13982.04

1786 4181.25 37631250 3078 12225.88

1789 5250 47250000 3000 15750

1790 5440 48960000 3230 15157.89

1871 4840 43560000 2233 19507.39

1772 10408.77 93678930 2276.75 41145.9 1773 4093.96 36845640 1123 32810.01

jumlah 75406.75 423470.9


(3)

Lampiran 14. Analisis Hasil Kuesioner

Faktor Strategis Jawaban Prosentase Jawaban

Kekuatan jumlah %

1. Mantapnya jaringan pemasaran dan produk a 7 70

b 2 20

c

d 1 10

total 10 100

2. Alat produksi yang memadai untuk memenuhi a 2 22.22

kebutuhan pasar b 2 22.22

c 5 55.56

d

total 9 100

3. Penyerapan tenaga kerja a 6 66.67

b 1 11.11

c 1 11.11

d 1 11.11

total 9 100

4. Sumbangan (pajak, retribusi) terhadap daerah a 2 25

b 6 75

c d

total 8 100

5. Perbandingan keuntungan dengan Investasi (ROI) a

b 2 66.67

c 1 33.33

d

total 3 100

6. Memberi nilai tambah a

b 1 25

c 3 75

d

total 4 100

7. Ketrampilan tenaga kerja a 3 30

b 5 50

c 2 20

d

total 10 100

8. Penciptaan lapangan usaha lain a 2 18.18

b 7 63.64

c 1 9.09

d 1 9.09

total 11 100

9. Dukungan terhadap upaya pengembangan a

pemanfaatan HHNK b 6 60

c 1 10

d 3 30


(4)

Lampiran 14. Analisis Hasil Kuesioner

Faktor Strategis Jawaban Prosentase Jawaban

Kelemahan jumlah %

1. Kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku saat a

ekspor rotan dilarang b

c 7 70

d 3 30

total 10 100

2. Tidak memiliki mitra pemasok bahan baku a

b 7 63.64

c 4 36.36

d

total 11 100

3. Belum ditemukannya cara untuk mengntisipasi a 9 90

kelangkaan bahan baku b

c 1 10

d

total 10 100

4. Teknik produksi yang belum efisien a

b 2 18.18

c 4 36.36

d 5 45.45

total 11 100

5. Rendahnya disiplin dan produktifitas tenaga kerja a 0

b 6 54.55

c 4 36.36

d 1 9.09

total 11 100

6. Produksi tergantung pesanan dari luar negeri a 9 81.82

b 2 18.18

c d

total 11 100

7. Kesulitan melayani permintaan dengan desain produk a

baru b 3 27.27

c 8 72.73

d

total 11 100

8. Kemampuan permodalan a

b 8 88.89

c 1 11.11

d


(5)

Lampiran 14. Analisis Hasil Kuesioner

Faktor Strategis Jawaban Prosentase Jawaban

Peluang

1. Peningkatan permintaan pasar dari tahun ke tahun a

b

c 5 62.5

d 3 37.5

total 8 100

2. Mutu produk yang diakui di dalam maupun diluar negeri a

b 5 62.5

c 1 12.5

d 2 25

total 8 100

3. Peningkatan harga produk rotan dari tahun ke tahun a

b 5 50

c 3 30

d 2 20

total 10 100

4. Peran asosiasi (ASMINDO) a 3 27.27

b 4 36.36

c 1 9.09

d 3 27.27

total 11 100

5. Peran pemerintah dalam membantu masalah ketercukupan a

bahan baku b 2 20

c 2 20

d 6 60

total 10 100

6. Fasilitas promosi pemerintah dan asosiasi terhadap produk a 3 27.27

industri rotan b 1 9.09

c 6 54.55

d 1 9.09

total 11 100

7. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UMKM dengan a

membuka akses pendanaan b 5 55.56

c 3 33.33

d 1 11.11

total 9 100

8. Melimpahnya tenaga kerja yang terampil a 2 18.18

b 9 81.82

c d

total 11 100

9. Melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini a 2 18.18

b 2 18.18

c 2 18.18

d 5 45.45

total 11 100

10. Banyaknya sub-kerja (sub-kontraktor) yang dapat a 7 63.64


(6)

Lampiran 14. Analisis Hasil Kuesioner

c d

total 11 100

Ancaman

1. Lobby (tekanan) Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) a 1 9.09

b 6 54.55

c 3 27.27

d 1 9.09

total 11 100

2. Budidaya rotan sebagai alternatif sumber bahan baku belum a

berkembang b 3 33.33

c 5 55.56

d 1 11.11

total 9 100

3. Tingginya biaya pengurusan ijin, pajak, retribusi, Terminal a 1 20

Handling Charge (THC), dan lain sebagainya b 2 40

c 1 20

d 1 20

total 5 100

4. Ancaman dari negara-negara pesaing seperti China, Vietnam, a 9 81.82

dan Thailand b 2 18.18

c d

total 11 100

5. Banyaknya produsen baru yang bermunculan a 3 27.27

b 3 27.27

c 3 27.27

d 2 18.18

total 11 100

6. Hambatan-hambatan dalam perdagangan a 1 11.11

b 3 33.33

c 4 44.44

d 1 11.11