Makian dalam Bahasa Melayu Palembang : studi tentang bentuk , referen, dan konteks sosiokulturalnya - USD Repository

  

MAKIAN

DALAM BAHASA MELAYU PALEMBANG:

Studi tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya

  

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

  

Oleh

Hanu Lingga Purnama

NIM: 044114034

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

  

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

Skripsi

MAKIAN

DALAM BAHASA MELAYU PALEMBANG:

  

Studi tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya

Oleh

Hanu Lingga Purnama

  

NIM: 044114034

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. Tanggal 17 September 2008

Pembimbing II

  

Skripsi

MAKIAN

DALAM BAHASA MELAYU PALEMBANG:

  

Studi tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya

Dipersiapkan dan ditulis oleh

Hanu Lingga Purnama

  

NIM: 04114034

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

Pada tanggal 25 September 2008

Dan dinyatakan memenuhi syarat

  

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ………………...

  

Sekretaris Drs. Hery Antono, M.Hum. ………………...

Anggota : 1. Drs. Paulus Ari Subagio, M.Hum. ………………...

  2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. ………………...

  3. Drs. Hery Antono, M.Hum. ………………... Yogyakarta, 25 September 2008 Fakultas sastra Universitas Sanata Dharma Dekan,

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan penuh kesadaran bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana lazimnya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 17 September 2008 Hanu Lingga Purnama

  044114034

KATA PENGANTAR

  Pertama-tama peneliti mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa karena berkat kasih-Nya, tugas ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul Makian Dalam Bahasa Melayu Palembang: Studi tentang Bentuk, Referen,

  

dan Konteks Sosiokulturalnya ini, merupakan salah satu syarat untuk memeroleh

  gelar Sarjana Sastra pada Prodi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Besarnya tantangan yang dihadapi, menyebabkan peneliti memohon bantuan dari berbagai pihak. Dengan segala hormat, peneliti hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat. Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Pembimbing I.

  2. Drs. Hery Antono, M.Hum., selaku Pembimbing II.

  3. Susilawati Endah Peni Adji,S.S., M.Hum., selaku dosen pembimbing akademik angkatan 2004.

  4. Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku Kaprodi Sastra Indonesia.

  5. Linny Oktovianny, S.Pd., selaku staf Balai Bahasa Palembang.

  6. Taufik Wijaya (TW), penulis dan wartawan DETIK.COM.

  7. Para dosen dan staf pengajar pada Prodi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.

  8. Masyarakat Palembang yang memandang positif penellitian ini, serta sumbangan kata-kata makiannya.

  9. Seluruh mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma angkatan 2004.

  10. Athalia Wika Ningtyas, pemberi semangat peneliti dalam merampungkan kajian ini.

  Akhirnya dengan penuh kesadaran, peneliti menyadari segala kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu, demi perbaikan skripsi ini, kritik dan saran yang membangun akan peneliti tampung dengan senang hati.

  Penulis

  Daftar Lambang Lambang fonetis

  e [ ] : berapo [ ] berapa [ ] : cega [c ga] cegah ng [ ] : ngacau [ aca ] mengacau i [i] : babi [babi ] babi

  [ ] : pikir [p k ] pikir ny [n ] : nyanyi [nani] menyanyi k [k] : kampang [kampa ] anak haram

  [ ] : bukak [buka ] buka o [o] : batako [batako ] batako [ ] : berapo [b ap ] berapa r [ ] : rai [ ai] wajah u [u] : guru [gu u] guru

  [ ] : guyur [g y ] guyur [ ] : menunjukkan ejaan fonetis

  • : menunjukkan bentuk yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasan

  

Abstrak

Purnama, Hanu Lingga. 2008. Makian Dalam Bahasa Melayu Palembang: Studi

tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya. Skripsi.

  Yogyakarta. Program Studi Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

  Skripsi yang berjudul Makian Dalam Bahasa Melayu Palembang: Studi

  

tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya ini bertujuan

  mendeskripsikan bentuk, referen, dan konteks sosiokultural makian dalam bahasa Melayu Palembang. Dalam pada itu, masalah yang dikaji dalam penelitian ini mencakup tiga hal, yakni bagaimana bentuk-bentuk makian, referen, dan konteks sosiokulturalnya.

  Dalam Penelitian ini, data diperoleh dengan dua metode, yakni metode simak dan metode cakap. Metode simak dengan teknik sadap, mencakup penggunaan bahasa secara lisan dan tertulis. Secara tertulis dilakukan dengan menyimak naskah

  

Kamus Bahasa Palembang , novel yang berudul Juaro, dan novel yang berjudul

Buntung. Penyimakan secara lisan, dilakukan dengan mendengar percakapan di

  beberapa lingkungan masyarakat Palembang. Dalam metode cakap, peneliti menggunakan teknik pancing, yakni dengan melakukan percakapan dan memberi stimulasi agar informan memberi informasi tentang makian.

  Analisis data dilakukan dengan menggunakan tiga metode. Metode padan dengan sub-jenisnya, yakni metode padan translasional, metode padan fonetis artikulatoris, dan metode padan referensial. Ketiga sub-jenis metode padan tersebut menggunakan teknik pilah unsur penentu. Metode reflektif-instropektif digunakan dalam mengkreasikan makian ke dalam kalimat. Metode korelatif, digunakan dalam mengkaji konteks sosiokultural makian.

  Hasil penelitian ini berupa deskripsi tentang bentuk-bentuk makian, referen pelbagai referen makian, yakni keadaan, sifat, etnis, binatang, makhluk halus, benda, bagian tubuh, aktifitas, dan profesi. Studi konteks sosiokultural, memperoleh konteks sosiokultural makian, yakni agama, adat, status sosial, dan kondisi sosial.

  

Abstract

Purnama, Hanu Lingga. 2008. The Curse in Palembang Malayan Language:

Study of Form, Referent, and Socio-cultural Context. Thesis. Yogyakarta. Indonesian Literature Study Program. Faculty of Literature. Sanata Dharma University.

  The thesis entitled The Curse in Palembang Malayan Language: Study of

  

Form, Referent, and Socio-cultural Context aimed to describe form, referent, and

  socio-cultural context of curse in Palembang Malayan language. Hence problems investigated by this research include three points, these are, curse form, referent, and its socio-cultural context.

  In this research, data was obtained by two methods; they are listening and speaking method. The listening method used tap method; involve using of language by oral and written. Written language was done by listening text of Palembang

  

Language Dictionary, novel entitled Juaro, and novel entitled Buntung. Listening by

  oral was done by conversation and gives some stimulus so that the informant gave some information about curse.

  Data analysis was done by three methods. The matching method with its sub- type, these are translational matching method, articulatory phonetic matching method, and referential matching method. The three sub-types of the matching method above use defining elements classification technique. The reflective-instrospective method was used in creating the curse into sentence. Correlative method, was used in investigating socio-cultural context of curse.

  The results are description about form curse, referent, and socio-cultural context of curse. The study about form, obtained the curse in the word, phrase, clause, and minor sentence form. The study about referent, obtained some forms of referent, these are situation, characteristic, ethnic, animal, spiritual being, object, a part of body, activity, and profession referent. The study of socio-cultural context, obtained socio-cultural context of curse, these are religion, custom, social status, and social

  

Daftar Isi

  Halaman

  HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i

  ……………………………. ii

  LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI …………………………………… iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………………….. iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................................... v

KATA PENGANTAR ……..……………………………………………… vi

DAFTAR LAMBANG ……………………………………………………. viii

  ………………………………………………………………… ix

  ABSTRAK

ABSTRACT ………………………………………………………………... xi

DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..

  1

  1. Latar Belakang …………………………………………………

  1 2. Rumusan Masalah ……………………………………………...

  6

  3. Tujuan Penelitian ………………………………………………

  6 4. Manfaat Penelitian ……………………………………………..

  6

  5. Tinjauan Pustaka ………………………………………………

  7 6. Landasan Teori ………………………………………………...

  8 6.1 Bahasa Melayu Palembang..……………………………..

  8

  6.2 Makian ……………………………………………………

  10

  6.3 Referen ……………………………………………………

  11 6.4 Bentuk-bentuk Makian ………………………………….

  12 6.5 Konteks Sosiokultural Makian ………………………….

  15 7. Metode Penelitian ……………………………………………...

  16

  8. Sistematika Penyajian …………………………………………

  19 BAB II BENTUK-BENTUK MAKIAN DALAM BAHASA MELAYU PALEMBANG ………………………………………………….

  21 2.1 Makian Berbentuk Kata …..………………………………….

  21 2.2 Makian Berbentuk Frase ……………………………………..

  25 ……………………………………

  35

  2.3 Makian Berbentuk Klausa 2.4 Makian Berbentuk Kalimat Minor …………………………..

  39 BAB III REFEREN MAKIAN BAHASA MELAYU PALEMBANG .. .

  44 3.1 Keadaan ………………………………………………………..

  45

  3.4 Binatang ……………………………………………………….

  49 3.5 Makhluk Halus ………………………………………………..

  51 …………………………………………………………..

  52

  3.6 Benda 3.7 Bagian Tubuh ………………………………………………….

  53 3.8 Aktifitas ………………………………………………………..

  55 3.9 Profesi ………………………………………………………….

  56 BAB IV KONTEKS SOSIOKULTURAL MAKIAN BAHASA MELAYU

   PALEMBANG ……………………………………………………

  57

4.1 Agama …………………………………………………………...

  57

4.2 Adat ……………………………………………………………...

  58

4.3 Status Sosial ……………………………………………………..

  59

4.4 Kondisi Sosial …………………………………………………...

  61 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………

  64

  

5.1 Kesimpulan ………………………………………………………

  64 …………………………………………………………….

  65

  5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

  67 DAFTAR SUMBER DATA ………………………………………………..

  70 LAMPIRAN ………………………………………………………………...

  73

  Kembali Menuju Timur

jika kau mengikuti semua anak manusia berlari menuju Barat

cobalah kembali ke Timur banyak permata yang ditinggalkan Tuhan, jangan biarkan aku tersesat untuk mencoba kembali ke Timur dan semoga perjalananku tak sia-sia ….

  Hanu Lingga, 2008

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

  Orang Melayu memiliki folkbelief tentang asal usul mereka. Hal ini, telah lama diketahui oleh para peneliti asing dan akrab dicantumkan dalam penelitian- penelitiannya tentang kebudayaan bangsa Melayu, seperti yang dicantumkan oleh Hollander (1948: 221) berikut ini: Rupanya pulau Sumatera lah yang boleh dianggap tanah air orang Melayu.

  Menurut tradisi mereka sendiri – di sini bagaimanapun juga pengaruh Islam nampak jelas – mereka agaknya keturunan beberapa orang yang selama Air Bah Besar meninggalkan bahtera Nabi Nuh dan menetap di Pantai Timur Sumatera, antara muara sungai-sungai di Palembang dan Jambi.

  Berdasarkan kutipan tersebut, sangatlah wajar apabila orang Melayu menganggap bahwa merekalah penghuni asli pulau Sumatera. Dalam hal ini, tidak ada kebenaran pasti karena folkbelief tidak bersifat faktual dan diceritakan turun-temurun secara lisan. Di samping itu, tentang asal-usul nama Malajoe (Melayu) pun telah diadakan bermacam-macam terkaan; tetapi belum mendapat kepastian.

  Dalam kitab Sadjarah Malajoe yang bagian sejarahnya yang benar mulai dengan perpindahan Sang Sapoerba dari Palembang ke Bintan, nama Soengai

  Malajoe (sungai deras), sebuah sungai kecil di Palembang dicantumkan.

  Daerah alirannya lalu bernama Tanah Malajoe, sedangkan penduduknya bernama orang Malajoe dan bahasa mereka disebut bahasa Malajoe (Wijk, 1985: XX).

  Bahasa Melayu memiliki posisi penting pada beberapa abad silam, seperti yang dinyatakan oleh Collins (2005: 32), “Kontak bahasa selama berabad-abad dari pelabuhan-pelabuhan yang menggunakan berbagai bahasa di Mediterania, pengembara bangsa Eropa dari zaman itu menggambarkan bahasa Melayu bukan sebagai bahasa Latin, melainkan sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara.” Apa yang dinyatakan oleh Collins, sama sekali tidak berlebihan. Bahasa Melayu, selain digunakan sebagai bahasa perdagangan, digunakan pula sebagai bahasa resmi dalam surat-surat perjanjian antara bangsa Eropa dengan pihak kerajaan-kerajaan di Tanah Melayu.

  Perihal eksistensi geografis bahasa Melayu, dinyatakan pula oleh Wijk (1985:

  XVIII), “Bahasa Melayu adalah bahasa yang dituturkan oleh penduduk Sumatera Tengah dari pantai timur ke pantai barat, Jazirah atau semenajung Malaka (Malaya) dengan dua kepulauan yang terletak di selatannya dan di pemukiman-pemukiman Melayu di Pantai Barat Kalimantan.” Berdasarkan kutipan tersebut, maka masyarakat kota Palembang termasuk dalam cakupan wilayah penutur bahasa Melayu – bahasa Melayu Palembang.

  Palembang merupakan Ibu Kota Propinsi Sumatera Selatan. Dalam buku

  Profil Propinsi Republik Indonesia

  , Rudini menyatakan eksistensi Kota Palembang, sebagai berikut: Kotamadya Palembang adalah kota yang bersejarah. Sudah berumur ribuan tahun. Kota ini sudah dikenal sejak zaman dahulu, baik sebagai kota dagang maupun sebagai pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya. Dalam jajaran kota Dalam kajian ini, peneliti memandang bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Palembang bukan sebagai salah satu dialek bahasa Melayu. Hal ini dikarenakan bahasa Melayu Palembang telah diteliti morfologi dan sintaksis bahasanya oleh Aliana dkk, dengan judul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Melayu

  Palembang.

  Penelitian tersebut telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1987. Di samping itu, dalam ilmu bahasa batas-batas antara bahasa dan dialek hingga kini belum memperoleh rumusan yang memuaskan (Ayatrohaedi, 2002: 1).

  Pada esensinya, bahasa Melayu Palembang berfungsi sebagai alat talimarga (= komunikasi) intraetnis. Dalam konteks ini, bahasa Melayu Palembang sejajar dengan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa daerah lain di Indonesia.

  Bahasa Melayu Palembang – oleh masyarakat Palembang disebut Baso Plembang – memiliki dua tingkatan. Perihal tingkatan tersebut, P.D. Dunggio dkk (1983: 3) menyatakan, ”Bahasa Palembang mempunyai dua tingkatan. Pertama baso

  Palembang Alus

  (bahasa Palembang Halus) dan kedua, baso Palembang Sari-sari (bahasa Palembang Sehari-hari).”

  Dalam pernyataan Husin (1973: 5), “Baso Palembang Alus dipakai sejak zaman raja-raja (kesultanan) Palembang. Menurut sejarahnya, raja-raja Palembang itu berasal dari Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, dan Kerajaan Pajang.” Berdasarkan kutipan di atas, dapatlah ditarik garis semu apabila dikaji dengan berkiblat pada kajian sejarah bahasa, perihal kemiripan baso Palembang Alus dengan

  “Bahasa Melayu Palembang Halus tidak banyak lagi dipakai dalam pergaulan sehari- hari (boleh dikatakan hampir mati).” Sekarang, dua puluh satu tahun telah berlalu dari pernyataan tersebut; bahasa Melayu Palembang Halus pun tetap belum pernah dijadikan objek penelitian. Ada dua kendala jika hendak meneliti bahasa tersebut: tidak adanya kamus bahasa Melayu Palembang halus, dan minimnya jumlah penutur yang masih hidup.

  Baso Palembang Sari-sari

  dipakai dalam percakapan sehari-hari – pada umumnya digunakan saat situasi tidak resmi. Dalam hal ini, baso Palembang Sari-

  

sari merupakan alat bertalimarga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat

  Palembang. Oleh sebab itu, baso Palembang Sari-sari memiliki eksistensi yang kokoh daripada baso Palembang Alus.

  … baso saghi-saghi ‘bahasa sehari-hari’ yaitu bahasa Melayu Palembang yang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Pada masa lampau, baso

  saghi-saghi digunakan oleh orang kebanyakan (bukan golongan bangsawan),

  dan pada masa kini baso saghi-saghi digunakan baik oleh etnik Palembang maupun bukan sebagai alat komunikasi sehari-hari (Oktovianny, 2005: 15).

  Berdasarkan kutipan di atas, bahasa sehari-hari lebih akrab digunakan dalam bertalimarga di semua golongan masyarakat Palembang. Dengan demikian, tujuan penutur dalam membentuk tuturan pun beragam. Misalnya, saat penutur mempertanyakan sesuatu kepada mitra tutur akan berbeda bentuk tuturannya ketika penutur sedang marah kepada mitra tutur. Bahkan, tuturan saat marah pun akan berbeda antara penutur satu dengan penutur lain. Ada yang mengutarakan marah

  Dalam bahasa sehari-hari, makian lazim digunakan penutur sebagai sarana pengungkap emosi. Makian inilah yang dijadikan objek penelitian. Mengenai masalah, apakah makian dalam bahasa Melayu Palembang ini terdapat kemiripan atau bahkan kesamaan dengan bahasa lain – baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah lain – tidak dipermasalahkan. Dalam pada itu, asumsi peneliti bahwa urgensi yang esensial dalam mengkaji makian dalam bahasa Melayu Palembang adalah dengan menyatakan eksistensi kebahasaannya, yakni sebagai milik masyarakat Palembang. Hal ini disebabkan, misalnya kata jembut, kontol, bandit, babi, dan kere dapat ditemui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Baso Palembang. Dengan tanpa mempermasalahkan hal itu, makian dalam bahasa Melayu Palembang akan digolongkan berdasarkan bentuk, referen, dan dikaji konteks sosiokultural yang melandasinya.

  Alasan peneliti memilih topik makian dalam bahasa Melayu Palembang adalah: (1) makian akrab digunakan penutur untuk mengekspresikan segala bentuk rasa tidak senang atau untuk menyatakan rasa ketidakpuasan terhadap situasi yang sedang dihadapi, (2) makian merupakan salah satu sarana verbal yang lazim digunakan untuk mengungkapkan emosi, (3) peneliti memandang makian merupakan sarana penting untuk membentuk tuturan dalam mengungkapkan emosi, dan (4) makian dalam bahasa Melayu Palembang merupakan objek yang menarik untuk dikaji. Bagi peneliti, empat alasan di atas merupakan dasar yang menumbuhkan urgensi untuk meneliti makian dalam bahasa Melayu Palembang. Selain itu,

  2. Rumusan Masalah

  Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

  2.1 Apa saja bentuk-bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang?

  2.2 Apa saja referen makian bahasa Melayu Palembang?

  2.3 Apa saja konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang?

  3. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan :

  3.1 Mendeskripsikan bentuk-bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang.

  3.2 Mendeskripsikan referen makian bahasa Melayu Palembang.

  3.3 Mendeskripsikan konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang.

  4. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini berupa deskripsi tentang bentuk-bentuk makian, referen makian, dan konteks sosiokultural makian dalam bahasa Melayu Palembang. Dalam pada itu, diperolehlah antara lain: (1) empat bentuk makian, yakni makian bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat minor, (2) sembilan referen makian, yakni keadaan, sifat, etnis, binatang, makhluk halus, benda, bagian tubuh, aktifitas, dan profesi, dan (3) konteks sosiokultural, yakni agama, adat, status sosial, dan kondisi sosial.

  Dari uraian hasil penelitian di atas, bentuk makian, referen, dan konteks sosiokulturalnya merupakan tiga dimensi esensial yang saling berhubungan dalam menentukan makna tuturan makian. Tiga dimensi esensial yang saling berhubungan tersebut dapat memberi manfaat teoritis bagi perkembangan kajian sosiolinguistik, dan penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka di bidang sosiolinguistik. Secara praktis, penelitian ini dapat memberi sumbangan entri dalam pembuatan

  Kamus Bahasa Palembang

  , karena terdapat beberapa makian yang belum tercatat dalam naskah Kamus Bahasa Palembang.

5. Tinjauan Pustaka

  Baryadi (1983) pernah melakukan penelitian mengenai umpatan. Dalam artikelnya yang berjudul “Kata-kata Pisuhan atau Makian dalam Bahasa Jawa,” dibahas mengenai tiga hal, yaitu (1) ciri-ciri kata makian dalam hubungannya dengan kata-kata afektif dalam bahasa Jawa, (2) satuan lingual yang biasa digunakan untuk memaki, dan (3) jenis-jenis kata pisuhan dalam bahasa Jawa.

  Skripsi yang berjudul “Kata-kata Umpatan Bahasa Jawa: Tinjauan Semantik dan Pragmatik,” karya Mujiwarti (1999) juga membahas umpatan yang sering digunakan dalam bahasa Jawa. Dalam skripsinya ini, Mujiwarti berhasil (1) mengumpulkan sebanyak dua puluh tujuh kata umpatan bahasa Jawa yang sering digunakan oleh para penutur bahasa Jawa di Muntilan, (2) mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis kata-kata umpatan tersebut dalam tiga jenis, yaitu berdasarkan relasi makna, berdasarkan maksud penutur kepada lawan tutur, dan berdasarkan suasana hati yang timbul akibat penggunaan kata-kata umpatan bahasa Jawa.

  Sukarsa (2000), dalam sripsinya yang berjudul “Umpatan dalam Bahasa Sunda” membahas jenis umpatan dalam bahasa Sunda dan mendeskripsikan tingkat kekasaran umpatan dalam bahasa Sunda. Dalam pembahasannya dapat dilihat: (1) penggunaan umpatan dalam bahasa Sunda yang didasarkan pada konteks tuturan, hubungan antara penutur dan mitra tutur, serta suasana hati penutur dan (2) pembagian tingkat kekasaran umpatan dalam bahasa Sunda dalam dua kategori, yakni tingkat kekasaran rendah dan tingkat kekasaran tinggi.

  Ketiga penelitian di atas dapat memberikan konfirmasi bahwa penelitian terhadap makian dalam bahasa Melayu Palembang, khususnya yang mengkaji bentuk, referen, dan konteks sosiokulturalnya merupakan hal baru. Sejauh pengamatan peneliti, publikasi penelitian mengenai makian dalam bahasa Melayu Palembang belum dijumpai.

6. Landasan Teori

6.1 Bahasa Melayu Palembang

  Menurut Oktovianny dkk (2004: ii), “Secara historis bahasa Palembang merupakan salah satu dialek Melayu. Bentuk dan struktur sebagian besar mempunyai kemiripan dengan dialek-dialek Melayu yang lain. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi ciri khas bahasa Melayu Palembang ini.” Ciri khas paling menonjol yang dimaksud dalam kutipan tersebut terletak pada: selalu ditemuinya vokal / / pada akhir kata yang berkorespondensi dengan vokal /a/ dalam bahasa Indonesia, misalnya kata

  apo

  [ap ] dalam bahasa Melayu Palembang sepadan dengan kata apa [apa] dalam bahasa Indonesia, dan bunyi getar uvular / / pada semua posisi, misalnya jubur [j

  b] yang bermakna ‘lubang pada ujung bawah usus’ dan sepadan dengan kata

  anus dalam bahasa Indonesia.

  Bahasa Melayu Palembang, disingkat Bahasa Palembang, oleh orang Palembang disebut baso Plembang. Bahasa Palembang mempunyai dua tingkatan. Pertama baso Palembang Alus (bahasa Palembang halus) dan kedua, Baso Palembang Sari-sari (bahasa Palembang sehari-hari). Baso

  Palembang Alus

  dipakai dalam percakapan dengan orang-orang tua, pemuka- pemuka masyarakat atau orang-orang yang dihormati, terutama dalam upacara-upacara adat (perkawinan, kelahiran, penghitanan, dsb). Baso

  Palembang Sari-sari

  dipakai dalam percakapan dengan orang-orang yang seumur atau sederajat atau orang yang lebih muda usianya dari si pembicara, baik dalam upacara-upacara adat maupun dalam pergaulan sehari-hari (Dunggio dkk: 1983).

  Pernyataan-pernyataan di atas, menjadi landasan peneliti dalam memahami eksistensi bahasa Melayu Palembang. Esensinya, peneliti memperoleh informasi perihal tingkatan dalam bahasa Melayu Palembang. Baso Palembang Sari-sari dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan baso Palembang Alus dipakai dengan mempertimbangkan nilai kesopanan dan dalam situasi tertentu – sekarang tidak dipakai lagi oleh penuturnya.

6.2 Makian

  Kata makian berasal dari kata dasar maki dan mendapat akhiran –an. Dalam

  

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:548), maki berarti mengeluarkan kata-kata

  (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel, dan sebagainya, sedangkan kata makian bermakna sebagai kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya. Memaki, dalam bahasa Palembang sepadan dengan kata carut. Dalam naskah Kamus Bahasa Palembang–Indonesia A–K (2003: 47), carut merupakan kata kerja yang berarti mengumpat. Mencarut berarti mengucapkan kata-kata yang tidak sopan.

  Guna menjalankan fungsinya sebagai wahana pengungkap perasaan, bahasa memerlukan berbagai sarana. Bentuk-bentuk makian adalah sarana kebahasaan yang dibutuhkan oleh para penutur untuk mengekspresikan ketidaksenangan dan mereaksi berbagai fenomena yang menimbulkan perasaan seperti itu (Wijana dan Rohmadi, 2006: 125).

  Menurut peneliti, pemikiran Wijana dan Rohmadi tentang makian bukan sekadar mencari titik positif dan menghapus citra taboo yang memaknai makian.

  Esensi yang harus digarisbawahi ialah makian merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh penutur untuk mengungkapkan emosi – mencakup perasaan ketidaksenangan. Di sinilah letak kekuatan yang dijadikan mainstream dalam penelitian ini.

6.3 Referen

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 826), referen berarti unsur luar adalah referen dari kata rumah). Perihal hubungan antara kata dengan konsep atau maknanya dan hal yang dirujuk, diutarakan pula oleh Chaer (1990: 31), “ … dalam pembicaraan tentang semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal yang dirujuk oleh makna yang berada di luar dunia bahasa. Hubungan antara ketiganya disebut hubungan referensial.” Untuk memberi kejelasan tentang hubungan tersebut, digambarkan pula oleh Chaer dalam bagan berikut.

  (b) konsep/ makna (referens)

  (a) kata/leksem (c) sesuatu yang dirujuk (referen)

  Berdasarkan kutipan di atas, penelitian ini juga akan membahas referen makian dalam bahasa Melayu Palembang. Dalam konteks ini, peneliti akan menggolongkan makian berdasarkan hal yang dirujuk oleh satuan lingualnya – sesuatu yang berada di luar bahasa. Seperti halnya Wijana dan Rohmadi dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis menemukan delapan referen makian dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) keadaan, (2) binatang, (3) mahluk halus, (4) benda-benda, (5) bagian tubuh, (6) kekerabatan, (7) aktifitas, dan (8) profesi.

  Wijana dan Rohmadi (2006: 125) menyatakan, “Secara formal bentuk-bentuk makian yang menempati kluasa bukan inti, ada yang berwujud kata (monomorfemik atau polimorfemik), frasa, dan klausa yang secara kategorial dapat berjenis adjektiva, nomina, dan interjeksi.” Berdasarkan kutipan tersebut, sangatlah penting untuk memahami: kata monomorfemik, kata polimorfemik, frasa, dan klausa.

  Kata monomorfemik dapat pula disejajarkan dengan morfem bebas. Asumsi tersebut dapat dibuktikan dengan memahami hakikat morfem bebas. Aliana (1987: 20) menyatakan, “Morfem dalam bahasa Melayu Palembang dapat digolongkan ke dalam morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas ini ditandai oleh kemampuan yang dapat berdiri sendiri sebagai pendukung arti penuh, sedangkan morfem terikat ditandai oleh sifat ketergantungan pada morfem lain” Dalam rangka memperkuat asumsi tersebut, Verhaar (2004: 97) juga menyatakan, “ Bentuk bebas secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk bebas lainnya di depannya dan di belakangnya.” Dengan bertumpu pada pernyataan- pernyataan tersebut, makian dalam bahasa Melayu Palembang yang berbentuk kata monomorfemik memiliki eksistensi yang sejajar dengan morfem bebas.

  Kata polimorfemik ialah kata yang terbentuk dari proses-proses morfemik. Aliana dkk (1987: 54) menyatakan, “… yang dimaksud proses morfemik adalah prosedur pembentukan kata dengan cara menggabungkan morfem terikat dengan morfem bebas atau morfem bebas dengan morfem bebas lainnya.” Verhaar, dalam

  (1) Pengimbuhan atau pengafiksan, artinya peleburan imbuhan atau afiks pada morfem dasar. (2) Pengklitikaan, yaitu penambahan klitika pada morfem dasar. (3) Pemajemukan, yaitu penggabungan dua morfem dasar atau lebih untuk membentuk satu kata (majemuk). (4) Reduplikasi, artinya penggabungan dua morfem dasar yang sama (atau sebagian daripadanya dengan morfem utuh).

  Verhaar (2004: 291) menyatakan, “Frasa adalah kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang.” Ramlan (2005: 138) mengemukakan, “Frase ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.” Pada dasarnya pengertian frase dari dua pakar tersebut sama, yang membedakan hanyalah sudut pandang. Verhaar mengartikan frase dari satuan gramatik yang lebih besar, sementara Ramlan mengartikan frase berdasarkan batasan fungsi. Dalam hal ini, makian yang berupa frase dalam bahasa Melayu Palembang lazim dibentuk dengan cara, yakni: dasar +

  makian

  . Cara tersebut telah digunakan oleh Wijana dan Rohmadi dalam mengkaji bentuk makian dalam bahasa Indonesia. Wijana dan Rohmadi menemukan dua cara pembentukan makian berupa frase dalam bahasa Indonesia, yakni: dasar + makian dan makian + -mu. Keunikan makian yang berbentuk frase dalam bahasa Melayu Palembang ialah terdapat pula cara, yakni woi + makian. Pada umumnya penutur – masyarakat Palembang – lazim menggunakan dua cara dalam membentuk ‘tuturan makian’ yang secara sintaksis berbentuk frase, yakni: dasar + makian, dan woi +

  makian .

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 508) dijelaskan, klausa ialah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat. Begitu pula Ramlan (2005: 79) mengutarakan bahwa, “Dengan ringkas, klausa ialah S P (O) (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada, boleh juga tidak ada.” Dalam bahasa Melayu Palembang, makian yang berbentuk klausa dibentuk dengan menambahkan pronomina kau di belakang makian.

  Kalimat minor dapat pula diasumsikan sebagai kalimat tak berklausa. Dalam

  KBBI

  , makna dari kalimat ialah ‘sepatah kata atau sekelompok kata yang merupakan suatu kesatuan yang mengutarakan suatu pikiran atau perasaan (atau pikiran dan perasaan); sementara minor, bermakna ‘kecil’. Dalam Buku Morfologi dan Sintaksis

  Bahasa Melayu Palembang

  , Aliana dkk berhasil menemukan empat tipe kalimat minor dalam Bahasa Melayu Palembang yakni: (1) kalimat yang terdiri atas predikat tanpa subjek, (2) kalimat yang menyatakan seruan, (3) kalimat aforistis, dan (4) kalimat fragmen. Makian yang berbentuk kalimat minor dalam Bahasa Melayu Palembang akan dibedakan pula berdasarkan empat tipe kalimat minor tersebut.

6.5 Konteks Sosiokultural Makian

  Dalam bahasa, tuturan patut dilandasi oleh konteks. Mengenai hal ini, Baryadi (2002) dalam Dasar-dasar Analisis Wacana Dalam Ilmu Bahasa-nya, perihal wacana SPEAKING. Setiap huruf pada akronim tersebut bila dipanjangkan satu-persatu, ialah: S (setting and scene), P (participants), E (end), A (act sequences), K (key), I (instrumentalities), N (norms), dan G (genres). Baryadi menyatakan (2002: 40), ”Dari delapan butir konteks tersebut, sebenarnya yang mendasar hanyalah tiga jenis, yaitu pembicara (speaker/addresser/writer), isi bicara (topic/information, dan mitra bicara (listener/hearer/reader/addressee).” Begitu pula makian, juga membutuhkan setidaknya tiga butir konteks yang mendasar tersebut; meskipun makian lazim dipandang sebagai disfungsi bahasa.

  Aminuddin (2002: 36) mengutarakan, “Konteks ujaran merupakan konteks pertuturan berupa situasi, lokasi, persona yang terlibatkan, kondisi saat pertuturan berlangsung dan berbagai situasi dan kondisi pada umumnya yang memungkinkan terjadinya peristiwa tuturan.” Apa yang dinyatakan oleh Aminuddin dan Baryadi memacu kerangka pikir peneliti dalam memandang konteks tuturan. Dalam hal ini, konteks bersifat luas dan dinamis.

  Istilah sosiokultural merupakan gabungan dari istilah sosial dan kultural (kebudayaan). Sosial mencakup masyarakat dalam sebuah habitat hidup, sementara kultural atau kebudayaan merupakan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Dalam KBBI edisi ketiga (2005: 1085), sosial bermakna ‘berkenaan dengan masyarakat,’ dan kultural bermakna ‘berhubungan dengan budaya’.

  Tentang masalah sosial, Widy (2004: 20) mengutarakan, “Dalam kehidupan sosial melalui dan bersama manusia lain, hubungan dan interaksi antarmanusia peperangan.” Apa yang diutarakan Widy sangat membantu peneliti. Dalam situasi percekcokan atau bahkan peperangan, makian berpotensi digunakan penutur.

  Menurut Heraty (1984: 38), “Budaya sebagai jawaban manusia kepada lingkungan dan tantangan hari depan merupakan hasil proses belajar manusia yang berkepanjangan, yang sekaligus merupakan suatu penerapan nilai, sebagai hasil penerapan etik.” Apa yang dikutip ini, sangat baik untuk melandasi keberadaan bahasa. Dengan demikian, bahasa mutlak dijajarkan dalam unsur budaya karena merupakan hasil proses belajar dan digunakan dalam proses belajar manusia. Di samping itu, mengkaji bahasa dalam konteks sosiokultural atau sosial budaya termasuk salah satu masalah utama yang dibahas dalam, sosiolinguistik (Nababan 1984: 3). Dengan begitu, pantas bila makian dalam bahasa Melayu Palembang dikaitkan pada konteks sosikultural yang melandasinya sebab kajian ini berkiblat pada disiplin ilmu sosiolinguistik.

7. Metode Penelitian

  Data dikumpulkan lewat penyimakan naskah Kamus Bahasa Palembang A-K tahun 2003 dan naskah Kamus Bahasa Melayu Palembang L-Z tahun 2004, yang merupakan hasil proyek Balai Bahasa Palembang. Data yang diperoleh dari kedua naskah kamus tersebut berupa kata-kata bermakna kasar – yang sering digunakan untuk memaki. Selain itu, data juga diperoleh dari penyimakan dua novel yang bernuansa lokal berjudul Juaro terbitan Pustaka Melayu tahun 2005 dan Buntung karya ‘putra daerah’ Palembang (Taufik Wijaya). Dalam novel Juaro dan Buntung juga terdapat pemakaian makian dalam percakapan sehari-hari – beserta konteksnya.

  Selain itu, peneliti juga melakukan pengumpulan data dengan metode cakap. Mahsun (2005: 93) mengemukakan, “Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan.” Teknik yang digunakan, yakni teknik pancing – sebagai teknik dasarnya. Peneliti memancing informan agar berbicara secara lisan, disebut pula sebagai teknik lanjutan dari metode cakap, yakni teknik cakap semuka. Dilakukan pula teknik rekam dan teknik catat, yang termasuk teknik lanjutan dari metode cakap (Sudaryanto, 1993: 139).

  Informan yang dimaksud adalah masyarakat kota Palembang dengan status sosial yang beragam. Adapun nama-nama Informan, yakni: Kemas Andi Syarifudin (pengurus Masjid Agung Palembang), Masayu Noncik (Ibu Rumah Tangga), Nyimas Laili Yulita, S.Pd. (PNS), Ki Agus Usman (Pengurus Masjid Ki Merogan), dan Nyayu Radiah, S.Pd. (guru). Selain itu, Linny Oktovianny, S.Pd. (Peneliti bahasa, pemerhati budaya Sumsel dan staf Balai Bahasa Palembang) dan Taufik Wijaya

  

DETIKOM

  (penulis novel dan wartawan ) merupakan informan, sekaligus pembimbing lapangan yang mendukung secara aktif.

  Tidak hanya nama-nama di atas, masih banyak nama – yang tidak diketahui peneliti – yang secara tidak sengaja telah membantu peneliti dalam memperoleh data.