Suara-suara di balik kesenyapan : studi eksploratif ingatan perempuan dan anak-anak dalam konflik Poso - USD Repository
“Suara-suara di Balik Kesenyapan” :
Studi Eksploratif tentang Ingatan Perempuan dan Anak-anak
dalam Konflik Poso Sulawesi TengahN e r l i a n G o g a l i 04632205 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2006
S a l u t e
Rasa syukur yang tak terhingga atas penyertaan Sang Yang Tak Terkatakan, dan pada seluruh alam semesta yang memungkinkan langkah saya sejak awal pencarian hingga menemukan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan dan perjuangan saya. Penulisan tesis ini adalah perjalanan spiritual saya, karena alih-alih dilakukan sekedar untuk menyelesaikan studi S2 di Magister Ilmu Religi dan Budaya, mengerjakannya membuat saya tidak hanya belajar banyak hal tentang kehidupan tetapi menemukan hal-hal ajaib yang memperjelas visi diri saya. Secara tidak terduga, penelitian, proses penulisan hingga selesainya tesis ini “menarik” saya ke dalam pengalaman yang luar biasa dalam merefleksikan kembali kehidupan.
Karena itu, lembar ini bukanlah sekedar ucapan terima kasih (apalagi untuk sekedar basa- basi demi “kebiasaan” yang turun temurun) melainkan pertama-tama lembar penghormatan, s a l u t e saya pada semua orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam tesis ini; semua orang yang “menunjukkan” kepada saya (lebih banyak diantara mereka tanpa sadar melakukannya) “jalan” yang mengubah haluan hidup saya (sesuatu yang mungkin hanya bisa saya mengerti sendiri) kemana dan akan bagaimana saya. Tesis dengan topik ini diawali ketika Pak Nardi “meminjamkan” saya buku Sisi Balik
Senyap: Suara-Suara dalam Pemisahan di India
karya Urvashi Butalia yang kemudian sangat menginspirasi saya untuk menulis (dengan tegas mengakui) versi dalam konflik Poso. Celetukan pak Nardi di kelas maupun dalam diskusi informal juga telah menginspirasi dan membentuk karakter intelektual saya (dalam pengertian sederhana). Kuliah yang diberikan Pak Budiawan dalam “Kekerasan dan Politik Ingatan” memperjelas langkah saya. Awalnya sekedar membuat saya ‘lega’ karena menemukan topik yang ‘kira- kira’ menarik dalam rangka memenuhi standar S2. Tetapi, pendampingan yang diberikan Pak Budiawan sebagai pembimbing pertama tesis jauh melampaui hal tersebut (bahkan kemungkinan besar tanpa disadari oleh beliau sendiri). Alih-alih menyadarkan saya untuk setidaknya “bertanggungjawab” secara “intelektual” terhadap masyarakat Poso yang nota bene korban, saya di”tarik” pada pertanyaan-pertanyaan sederhana sekaligus kritis yang menghantar saya pada perspektif yang sangat berbeda (dari selama ini) dalam memandang konflik Poso. Proses pendampingan pak Budiawan memungkinkan saya untuk mengembangkan pemikiran dan menemukan banyak hal yang luar biasa yang memperkaya tesis ini. Dengan kata lain, tesis ini dimungkinkan bentuknya seperti ini karena diskusi- diskusi yang inspiratif dengan pak Budiawan. Ditambah lagi dengan diskusi-diskusi bersama bapak Yapi Thaum, selaku pembimbing kedua, yang sering melontarkan pertanyaan yang mengingatkan saya pada hal-hal penting yang terabaikan.
Isi tesis ini lebih tidak mungkin menjadi seperti ini tanpa “kesediaan yang luar biasa” dari para perempuan dan anak-anak yang membagi kekayaan pengalaman dan pemaknaan mereka terhadap beragam peristiwa luar biasa yang dialami selama konflik hingga masa- masa pengungsian (yang sampai sekarang saya masih berusaha belajar memahaminya). Secara sadar saya telah “mengusik” mereka dari kehidupan yang mereka jalani saat itu. Kepada mereka yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya, saya mengangkat topi tinggi-tinggi dengan rasa hormat dan kekaguman sambil berharap ungkapan terima kasih kepada mereka adalah membuat isi tesis ini memungkinkan untuk di’dengar’ lebih banyak orang dan ‘mendorong’ sesuatu yang lebih baik (jika tidak mau bermuluk- muluk disebut “perubahan” bagi masyarakat korban) Salute yang tak terkatakan, melampaui ucapan terima kasihku, rasa hormat kepada Kawan- kawan di Poso, Palu yang memungkinkan saya menjalani dan menelusuri hampir seluruh wilayah konflik di Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-una, Kabupaten Morowali dan Donggala (terutama Mohamad Fadly dan Daud Somba). Mereka tidak hanya menemani dan memberikan informasi selama penelitian tapi juga “melindungi” saya dari segala kemungkinan yang memang setiap saat bisa terjadi. Selain itu perjalanan penelitian menjadi sangat menyenangkan. Tidak dipungkiri, perjalanan penelitian ini menjadi awal dari visi baru dalam hidup yang saya putuskan kemudian.
Terima kasih kepada kawan-kawan di Institute DIAN/Interfidei Jogjakarta dengan segala permaklumannya sehingga memungkinkan saya merasa nyaman untuk ‘sedikit’ meninggalkan aktivitas program di kantor, bahkan mendorong saya untuk secepatnya memprioritaskan studi, serta sesekali memberikan stimulan diskusi (mbak elga, mbak listia, eko, vony, dian, amin, kak ji, fian, rini, sus). Terutama diskusi yang menarik dengan pak leo (beberapa jam kantor menjadi jam ‘kuliah’ he he) dan mbak listia. Hal yang sama dialami bersama kawan-kawan IRB lainnya, khususnya melati, joko, romo agus - cepat sembuh yah - , ayik, sujud dan wahyudi (lanjutkan perjuangan pak!). Tak terlupa diskusi menarik dengan kawan Ngurah Suryawan (kapan bikin buku bareng?- aduh ya... ) Terima kasih kepada Pak George Junus Aditjondro yang mengenalkan saya pada penelitian dan mengajarkan saya sejak awal dengan analisis-analisis ekonomi politik yang tajam tentang konflik Poso, juga untuk ka erna. Juga rasa terima kasihku (yang entah bagaimana menyampaikannya) kepada para pejuang-pejuang kemanusiaan yang sempat menuliskan pikiran dan perasaan mereka dalam buku-buku, memoar-memoar yang inspiratif yang selalu mengganggu pikiran dan menyadarkan betapa masih banyak hal yang harus dikerjakan dan belum saya kerjakan. Menyelesaikan kuliah di IRB, apalagi hingga tahap penelitian dan menghasilkan tesis seperti ini tidak mungkin terjadi tanpa dukungan dana dari litbang KOMPAS, IIEF, dan PUSDEP. Karena itu terima kasih kepada pihak-pihak yang memungkinkan saya menerima beasiswa dan secara tidak langsung memacu saya untuk serius dan sungguh-sunguh menyelesaikan kuliah selama dua tahun. Dengan cara yang berbeda keluarga telah “mengisi” ruang hidup dan mewarnai proses perjalanan saya; Mama dalam kesabaran yang hampir tak terbatas, (Alm.) papa yang pertama-tama mengajarkan saya tentang “perjuangan pada yang diyakini”, Kak Ina, Kak Nini, Kak Deni, adikku Lily Eriaty yang sedang “belajar” dan harusnya terus belajar, Ika, para keponakan yang menyemangati dengan keceriaan mereka (Iver, Melan, Mery yang manies). Terima kasih untuk dukungannya
Untuk Aam ... Terima kasih, untuk semuanya...andil yang terjalani hingga sekarang, semoga selamanya Tetap semangat! Untuk Sophia, ....keajaibanku..
Saya telah diberi banyak hal oleh banyak orang, berharap saya bisa mempersembahkan sesuatu yang paling bisa saya lakukan. Tesis ini (semoga) salah satunya. Sambil “mengingat” merekalah saya menulis tesis ini.
Jogjakarta, (sejak)14 September 2006 Lian Gogali
ABSTRAK
Konflik, dimanapun mengorbankan kemanusiaan. Pun ketika hal itu terjadi di kota kecil, Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah yang kemudian melebar ke hampir semua wilayah di sekitarnya dan tidak kunjung usai hingga saat ini. Tetapi, sejarah mengenai konflik seringkali hanya mencatat statistik korban dan mengekspos satu dua tokoh dalam konflik, selain kronologis konflik itu sendiri. Kecenderungan ini menutup ruang bagi kemungkinan sejarah yang terangkum dari narasi-narasi pelaku dan korban yang lebih bersifat psikologis. Dengan kata lain, sejarah seringkali mengabaikan hal-hal yang sulit ditangkap secara faktual-ilmiah seperti perasaan kehilangan, kepedihan, penyesalan, kenangan, dendam bahkan trauma. Padahal, tanpa disadari pengalaman-pengalaman tersebut mengendap dalam memori, membentuk perilaku dan citra seseorang, dan dalam skala yang lebih besar mengkonstruksi identitas suatu komunitas (Butalia, 2002). Pengalaman-pengalaman itu menentukan bagaimana identitas sebuah komunitas dibentuk (LaCapra, 2004) pasca konflik.
Tesis ini ingin melihat konflik Poso dari perspektif korban, khususnya dari apa dan bagaimana perempuan dan anak-anak mengingat dan memaknai konflik tersebut dalam kehidupan mereka hingga saat ini.
Mengingatkan kembali mengenai ingatan individu dari korban menjadi penting dalam pembicaraan tentang sebuah peristiwa yang tertutupi oleh narasi besar. Dengan kata lain, mempertimbangkan ingatan-ingatan individu sebagai proses yang unik dan bermakna dalam konstruksi sosial, membantu mendekonstruksi sebuah peristiwa yang berakar dari mereka yang hidup dalam peristiwa tersebut jika tidak bermaksud ‘menyelamatkan’ ingatan agar tidak begitu saja (meskipun hal ini sulit dilakukan) diklaim menjadi ingatan sosial/bersama (social memory/collective memory).
Mengapa perempuan dan anak-anak? Bukan saja karena mereka adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan dalam konflik sekaligus rentan terabaikan suaranya. Mendengarkan, menulis dan membaca kembali kisah-kisah individual pertama dari para perempuan, membawa pada penemuan bahwa ada perbedaan yang jelas dan mencolok antara kisahan para perempuan dengan laki-laki. Para perempuan mengenal rincian sekecil-kecilnya saat-saat peristiwa kekerasan itu terjadi pada atau di sekitar mereka dan memaknainya lengkap dalam penghayatan penataan kehidupannya pasca- konflik. Sebagian besar laki-laki cenderung membicarakan konflik Poso dalam narasi besar di seputar apa yang mereka anggap sebagai akar konflik, relasi antar komunitas, realitas politik yang menyertai konflik dan sebabnya. Bagi perempuan, dampak dari peristiwa konflik itu terasa lebih dekat dengan urat nadi kemanusiaan. Tuturan para perempuan tentang hilangnya sebuah kehidupan, bukan sekedar konflik itu sendiri.
Jika perempuan adalah pihak yang rentan dalam konflik karena keperempuanannya, anak-anak adalah pihak yang rentan karena usianya yang belia. Dalam diri anak-anak melekat ketidakberdayaan yang tak berteman, sendirian dan senyap. (ter)Bungkam. Anak- anak adalah sisi yang ironis. Mendengarkan kisah-kisah mereka hampir bisa membayangkan masa depan sebuah komunitas, di mana peristiwa konflik terus membayangi. Mereka tidak “berteman” dalam konflik, sekaligus terabaikan. Mereka diharuskan lebih cepat dewasa daripada yang seharusnya, jika tidak mereka tidak bisa “bertahan”. Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak tidak mempunyai gambaran pemahaman mengenai konteks sosial dan politik. Cara praktis bagi anak-anak yang polos dan tidak berteman ini untuk memahaminya dengan cepat adalah pada kata-kata dan simbol-simbol dominan.
Tesis ini menggambarkan bahwa tuturan perempuan dan anak-anak adalah “ruang negosiasi” itu sendiri karena menggambarkan keberkorbanan kehidupan. Tuturan mereka menunjukkan bahwa keberkorbanan tersebut tidak sekedar seperti yang selama ini dibicarakan dalam narasi besar konflik Poso yang membuat kotak berhadap-hadapan terutama antara Islam dan Kristen. Narasi dari ingatan para perempuan dan anak-anak yang hidup di antara ingatan bersama komunitas setidaknya “membuyarkan” sebagian besar ingatan yang secara tegas menghayati konflik Poso sekedar seperti yang ada dalam wacana-wacana dominan.
Tetap Semangat……!!!
untuk semua korban dan pengungsi dalam konflik Poso, 1998 – sekarang (detik ini) untuk semua pejuang perdamaian (“yang sesungguhnya”) untuk papa . . . (1999) untuk sophia ..(2007)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Daftar Singkatan
Bedup = Bekal hidup BKO = Bawah Komando Operasi CC-GKST = Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah DPR = Dewan Perwakilan Daerah DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah GPST = Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah GKST = Gereja Kristen Sulawesi Tengah Jadup = Jaminan hidup KWI = Konferensi Wali Gereja Indonesia KUT = Kredit Usaha Tani KODIM = Komando Distrik Militer KPKP-ST = Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah KOOPSKAM = Komando Operasi Keamanan Sulawesi Tengah LPMS = Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil MUI = Majelis Ulama Indonesia Ornop = Organisasi Non-Politik POLRI = Kepolisian Republik Indonesia PGI = Persekutuan Gereja Indonesia PDI-P = Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PRKP = Pusat Resolusi Konflik Poso Pindad = Perindustrian Angkatan Darat TNI = Tentara Nasional Indonesia YTM = Yayasan Tanah Merdeka
Daftar Peta
Sketsa Kota Poso ...............................................................................................................xv Lokasi Konflik dan Tempat Pengungsian ....................................................................... xvi Denah Propinsi Sulawesi Tengah (lokasi markas TNI/Polri) .........................................xvii
D A F T A R
I S I Lembar Pengesahan .............................................................................................. i Salute .....................................................................................................................iii Abstrak .................................................................................................................vii Motto .......................................................................................................................x Lembar Persembahan ..........................................................................................xi Pernyataan ...........................................................................................................xii
Daftar Isi ..............................................................................................................xiii
Daftar Singkatan .................................................................................................xiv
Daftar Peta ...........................................................................................................xv B A BI P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang ..........................................................................................................1
1.2. Rumusan dan Batasan Permasalahan....................................................................5
1.3. Tujuan.........................................................................................................................6
1.4. Tinjauan Kepustakaan tentang Konflik Poso..........................................................6
1.5. Kerangka Pemikiran ...............................................................................................11
1.6. Metodologi Penelitian...............................................................................................22
6. 1. Pendekatan Penelitian....................................................................................22 6. 2. Metode Pengumpulan Data............................................................................23 6. 3. Lokasi dan Narasumber Penelitian................................................................24
6.3.1. Lokasi ..................................................................................................24
6.3.2. Narasumber ………………………………………………………….25
1.7. Sistematika Penulisan ..............................................................................................26
BAB II WACANA – WACANA KONFLIK POSO
2.1. Pengantar .................................................................................................................29
2.2. Konflik “Antar Agama”..........................................................................................31
2.2.1. Kronologi Konflik Poso..................................................................................32 2.1.2. “Isu” dan Munculnya Kelompok Agama yang Bersenjata.............................35
2.1.3. Pemberitaan di Media Massa..........................................................................40
2.1.4. Pertemuan Tokoh – tokoh agama...................................................................41
2.1.5. Lokasi Pengungsian........................................................................................44
2.3. Kecemburuan Sosial dan Kesenjangan Ekonomi.................................................46
2.4. Konflik Kepentingan Elit Lokal ............................................................................48
2.5. Korupsi Bantuan Pengungsi...................................................................................52
2.5.1. Modal dan Militer............................................................................................57
2.5.2. Peredaran Senjata Api dan Remiliterisasi........................................................61
2.5.3. Anggaran Militer dan Pungutan Liar ..............................................................64
2.7. Kontestasi Wacana Konflik ..................................................................................66
Bab III Ingatan-Ingatan Perempuan dan Anak-anak dalam Konflik Poso
3.1. Pengantar ..................................................................................................................70
3.2. Posisi Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso ................................................71
3.2.1 Perempuan ........................................................................................................71
2.1.1 Penghancuran Institusi Keluarga .............................................................73
a. Perempuan sebagai “pelindung” ......................................................75
b. Perempuan sebagai “tumpuan” ekonomi .........................................76
c. Dampak Perpecahan Keluarga .........................................................77
2.1.2. Pelecehan Seksual .................................................................................79
a. Kehamilan yang Tak Diinginkan dan Ingkar Janji; Pemerkosaan....83
b. Dampak Kehamilan Tidak diinginkan; Pemerkosaan.......................87
3.2.2 Anak - anak........................................................................................................91
2.2.1. Kekerasan Terhadap Hak Anak...............................................................92
a. Hak Pendidikan...................................................................................93
b. Hak Kesehatan....................................................................................94
c. Hak Pangan dan Papan.......................................................................94
2.2.2. Pelecehan Seksual; Pemerkosaan ..........................................................95
3.3. Perempuan dan Anak-anak: Sebagai yang Menderita Apapun..........................97
3.4. Ingatan-Ingatan Perempuan dan Anak-anak dalam Konflik Poso.....................98
3.4.1. “Dorang” dan “Kitorang”: Penanda Konflik Poso........................................100
3.4.2. Pengkhianatan ‘Mereka’, Penyesalan ‘Kami’................................................107
3.4.3. Keberkorbanan .............................................................................................113
3.4.4. Anak-Anak Yang (ter)Bungkam: Tak Ber’teman’ .......................................121
3.5. Perempuan dan Anak – anak: Yang Mengingat Apapun.................................129
Bab IV “ Hantu” Ingatan dan Imajinasi Hidup Bersama
4.1. Pengantar ..............................................................................................................131
4.2. “Hantu” Ingatan ……………………………………………………………......1344.2.1. “Hati Orang Siapa Tahu?”; Hilangnya Kepercayaan ................................134
4.2.2. Lokalitas Berbasis Agama ......................................................................147
4.2.3. Mengingat, Melupakan: Sebuah Lingkaran Setan...................................155
a. Menyimpan ingatan dalam kotak pandora ........................................159
b. “Melupakan”: sebuah “Penyerahan” .................................................163
c. Mengingat: sebuah “peringatan” .......................................................166
4.3. Imajinasi Hidup Bersama ....................................................................................169
4.3.1. “Pertemuan”.............................................................................................170
4.3.2. Re-interpretasi .........................................................................................174
4.4. Narasi Perempuan dan Anak-anak:
“Ruang” untuk Masa Depan Poso .......................................................................176
BAB V CATATAN REFLEKTIF .................................................................................178
DAFTAR REFERENSI ...................................................................................190
LAMPIRAN ......................................................................................................xviiiBAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Dalam berbagai konflik kekerasan, perempuan dan anak-anak paling rentan menjadi
korban utama. Begitu pula dalam konflik Poso yang terjadi sejak Desember 1998. Konflik
1
yang bermula di kota Poso ini, pada tahun 2000 menyebar ke hampir seluruh wilayah
2 Kabupaten Poso bahkan hingga Kabupaten Morowali . Tercatat ratusan perempuan telah
3
menjadi janda dan hampir seribu anak menjadi piatu akibat serangkaian konflik di daerah itu. Dalam laporan akhir tahun 2004, Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan
1 Kabupaten Poso merupakan salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Tengah yang secara yuridis formal
dibentuk berdasarkan peraturan pem erintah Nomor 33 tahun 1952 tentang pembentukan Daerah Otonom
Sulawesi Tengah yang terdiri Onderafdeeling Luwuk Poso dan Kolonodale dengan ibukotanya Poso, serta
daerah otonom meliputi Onderafdeeling Palu, Parigi dan Toli-toli dengan ibukotanya Palu. Selanjutnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Yahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di
Sulawesi, secara resmi wilayah Kabupaten Poso dibagi menjadi dua: Kabupaten daerah tingkat II Poso
dengan ibukotanya di Poso dan Kabupaten Luwuk Banggai dengan ibukotanya Luwuk. Pada tahun 1999
daerah Kabupaten Poso dipecah menjadi 2 (dua) daerah kabupaten , yaitu kabupaten Poso dengan
ibukotanya Poso dan Kabupaten Morowali dengan ibukotanya Kolonodale. Dalam tahun 2004 Kabupaten
Poso dipecah kembali menjadi 2 (dua) daerah kabupaten, yaitu kabupaten Poso dengan ibukotanya di Poso
dan kabupaten Tojo una-una dengan ibukotanya di Ampana. Sampai saat ini, jumlah kecamatan yang ada
di Kab.Poso berjumlah 12 kecamatan. Luas wilayah: 8.712,25 Km2 atau 871.225 Ha. Untuk batas wilayah,
sebelah utara berbatasan dengan Teluk Tomini dan Kabupaten.Parigi Moutong. Sebelah Selatan berbatasan
dengan Propinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Morowali. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Tojo Una-una, sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong. Pada
belahan utara wilayah Kabupaten Poso terdiri dari Kecamatan Poso Pesisir, Poso Kota dan Lage di mana
sebagian wilayahnya berbatasan dengan pantai Teluk Tomini. Di belahan timur adalah sebagian Pamona
Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Morowali dan sebagian Lage berbatasan dengan Kabupaten
Tojo Una-una. Pada belahan barat terdiri dari Kecamatan Lore Utara, Lore Tengah dan Lore Selatan yang
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong. Sedangkan
2 Kecamatan Pamona dan Lore Selatan sebagian wilayahnya berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten Morowali merupakan Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Poso berdasarkan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pemekaran Kabupaten Morowali, Kabupaten Buol dan Kabupaten
Banggai Kepulauan. Kabupaten Morowali masih merupakan bagian dari Kabupaten Poso ketika konflik
tahun 1998 terjadi. Kabupaten Morowali terdiri dari 12 kecamatan, yaitu Menui Kepulauan, Bungku
Selatan, Bungku Tengah, Bungku Barat, Bungku Utara, Bumi Raya, Wita Ponda, Petasia, Lembo, Mori
3 Atas, Soyo Jaya dan Mamosalato.
Direktur Pokja Resolusi Konflik Poso, Darwis Waru menyebutkan kurang lebih 500 perempuan menjadi
janda dan lebih dari seribu anak-anak menjadi piatu, dengan perkiraan seorang ayah meninggalkan 2 orang Sulawesi Tengah (KPKP–ST) menggambarkan bahwa konflik Poso telah diwarnai kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai pola. Kekerasan yang paling menonjol sepanjang 2004 melibatkan pelaku aparat keamanan yang di Bawah Komando Operasi (BKO)-kan di wilayah Poso. Dilaporkan bahwa mereka telah menghamili dan atau memperkosa para gadis Poso dan meninggalkannya begitu saja. Ironisnya dalam kasus- kasus ini masyarakat justru memojokkan para korban, dengan tuduhan bahwa mereka telah melakukan “aib” bagi masyarakat (Re-viktimisasi).
Walaupun dipojokkan, perempuan tidak begitu saja larut dalam penderitaan. Dalam keadaan serba penuh permusuhan justru perempuanlah yang tampil sebagai pendamai. Hal ini tampak di wilayah pengungsian, dimana kaum perempuanlah yang pertama kali turun gunung atau keluar dari hutan untuk melihat kondisi desa lalu memulai aktivitas ekonomi di pasar. Dalam situasi ini, konflik kekerasan membuka “peluang” bagi perempuan dan anak-anak untuk masuk ke dalam wilayah publik. Namun, ini sama sekali bukan pembenaran etis terhadap konflik kekerasan itu sendiri. Konflik kekerasan tetap meninggalkan perempuan sendirian untuk bertahan hidup (Butalia 2002). Selain itu berbagai pelecehan dan diskrimiasi terhadap perempuan menggoreskan suatu trauma yang membuat mereka kehilangan harga diri, kurang percaya diri dan stigma yang dilekatkan pada diri mereka telah mengisolasi mereka dalam kehidupan masyarakat luas (Campbell dkk, 2001).
Sementara itu, masa depan ribuan anak menjadi terabaikan karena terlepasnya mereka dari praktik kehidupan normal, serta terus menanggung ingatan mereka yang traumatis sehingga secara psikologis mengganggu proses kehidupan mereka sebagai generasi penerus (Butalia 2002). Dalam pendampingannya terhadap pengungsi di Palu, Sulawesi Tengah, Kelompok Pemerhati Perempuan dan Anak (KPPA) menunjukkan bahwa trauma anak-anak korban konflik kekerasan di Poso terlihat pada bagaimana reaksi mereka yang berlebihan pada simbol-simbol agama, simbol kemiliteran termasuk suara- suara gemuruh atau bunyi pukulan tiang listrik. Kondisi ini jelas mengganggu kehidupan mereka.
Dalam banyak hal perempuan maupun anak-anak kesulitan atau bahkan tidak bisa mengartikulasikan penderitaan mereka secara publik sehingga pengalaman mereka menjadi sejarah yang (di)bungkam. Demikian halnya dalam narasi sejarah konflik kekerasan di Poso, pengalaman penderitaan perempuan dan anak-anak seringkali hanya tergambar
4
dalam deretan angka-angka dan kalkulasi kerugian sehingga perasaan mendalam yang menyertai semua kepedihan mereka terabaikan. Selama ini, kajian tentang konflik Poso sibuk menganalisis dan mencatat sejarah dalam rangkaian statistik korban, pertarungan kepentingan aktor-aktor utama, serta exposure satu-dua orang pahlawan. Sejarah yang demikian tidak berarti tidak penting, tetapi cenderung menutup ruang bagi narasi-narasi pelaku dan korban yang lebih bersifat psikologis, terutama yang hidup dalam ingatan di kalangan perempuan dan anak. Dengan kata lain, sejarah seringkali mengabaikan hal-hal yang sulit ditangkap secara faktual-ilmiah seperti perasaan kehilangan, kepedihan, penyesalan, kenangan, dendam bahkan trauma. Padahal, tanpa disadari pengalaman- pengalaman tersebut mengendap dalam memori, membentuk perilaku dan citra seseorang, dan dalam skala yang lebih besar mengkonstruksi identitas suatu komunitas (Butalia 2002).
Konstruksi identitas ini berkaitan erat dengan pembicaraan tentang Poso dari tahun 4 ke tahun yang memproduksi wacana tentang apa yang dianggap sebagai penyebab / akar
Bandingkan tulisan-tulisan di media massa yang lebih menekankan berapa jumlah korban, disertai identitas konflik Poso. Wacana-wacana tersebut adalah wacana konflik Poso sebagai konflik antar agama, konflik kepentingan elit politik lokal, konflik kepentingan ekonomi politik, korupsi dana bantuan pengungsi dan adanya kecemburuan sosial serta kesenjangan ekonomi antar komunitas masyarakat. Wacana ini memproduksi gagasan, konsep atau efek (Foucault 1972) dalam masyarakat konflik. Dengan kata lain, wacana tersebut ditafsirkan , dimaknai oleh korban dan selanjutnya mempengaruhi bagaimana korban merespon dan memberi makna berbagai peristiwa kekerasan di Poso termasuk bagaimana mereka berelasi dengan yang lain. Pemberian makna ini “melengkapi” ingatan masyarakat korban dalam mengkonstruksi identitasnya. Beragamnya wacana tentang konflik Poso tidak serta merta menunjukkan pilihan alternatif korban dalam memaknai wacana, karena kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu hingga menjadi wacana yang dominan. Dengan demikian wacana-wacana lain menjadi wacana yang “terpinggirkan”. Wacana yang dominan, selanjutnya akan mendesakkan ingatan bersama masyarakat korban. Dalam konflik Poso, wacana konflik antar agama adalah hal yang dominan.
Alih-alih ingin membicarakan ingatan bersama tentang konflik Poso yang hidup dalam masyarakat korban, tesis ini bermaksud untuk mendekonstruksi ingatan bersama tersebut dengan membuka ruang bagi ingatan-ingatan dari kalangan perempuan dan anak- anak. Membicarakan ulang ingatan-ingatan ini menjadi bagian penting ketika berbicara tentang prospek kehidupan bersama di Poso yang sedang diupayakan berakar dari mereka yang hidup dalamnya. Kehidupan bersama yang dimaksudkan adalah kehidupan bersama tanpa dendam dan rasa curiga. Menarasikan ingatan korban, khususnya perempuan dan anak-anak diharapkan dapat memberikan gambaran tentang imajinasi masyarakat Poso tentang kehidupan bersama di masa depan sembari menguraikan kepentingan-kepentingan kekuasaan di balik berkelanjutannya rasa tidak aman di Poso, khususnya, dan Sulawesi Tengah pada umumnya. Narasi perempuan dan anak adalah narasi “lapisan ter-bawah” yang (ter)bungkam dari para korban konflik, apalagi dalam wacana dominan.
Selanjutnya penulisan tesis ini diharapkan menjadi bahan evaluasi kebijakan penanganan konflik di Poso (dan tidak menutup kemungkinan di beberapa tempat lain di Indonesia) dan terutama membuka wacana alternatif bagi terjadinya proses rekonsiliasi damai untuk masa depan masyarakat yang dilanda konflik dengan mempertimbangkan faktor ingatan-ingatan perempuan dan anak-anak. Studi ini memfokuskan diri pada wilayah kajian semacam itu.
2. Rumusan dan Batasan Permasalahan
Kegelisahan mengenai bagaimana memori kolektif di kalangan masyarakat dan bagaimana ingatan-ingatan di kalangan perempuan dan anak-anak dalam konflik Poso bisa diartikulasikan secara publik, membawa pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah konfigurasi wacana yang mempengaruhi apa yang diingat dan yang dilupakan di kalangan perempuan dan anak-anak tentang konflik? b. Apakah yang diingat oleh perempuan dan anak-anak tentang konflik di Poso, dan bagaimanakah ingatan tersebut dikelola, serta sejauh mana ingatan tersebut mempengaruhi imajinasi mereka tentang kehidupan bersama di masa depan?
c. Adakah “ruang negosiasi” dalam ingatan kolektif di kalangan perempuan dan anak- anak yang dapat memungkinkan kehidupan bersama antar komunitas di Poso?
3. Tujuan
Penulisan Tesis ini bertujuan :
a. Menganalisis dan mendeskripsikan konfigurasi kekuasaan dan bagaimana pengaruhnya terhadap konstruksi ingatan kolektif masyarakat tentang konflik Poso.
b. Mengupayakan penarasian ingatan para korban perempuan dan anak-anak tentang konflik Poso dan mengeksplorasi ingatan tersebut sehingga membuka ruang bagi terakomodasinya suara-suara korban yang selama ini tersembunyi oleh narasi-narasi besar yang lebih menonjolkan kronologi kejadian, statistik jumlah korban, dan peta konflik kepentingan
c. Menemukan “ruang negosiasi” yang lahir dari para korban yang memungkinkan terdekonsruksikannya ingatan masyarakat tentang konflik, yang pada gilirannya memungkinkan kehidupan bersama antar komunitas tanpa dendam dan rasa curiga melalui suara-suara perempuan dan anak-anak.
4. Tinjauan Kepustakaan tentang Konflik Poso
Sejak konflik pertama terjadi di Poso, beberapa buku, artikel, dan laporan telah ditulis untuk menggambarkan bagaimana dan mengapa konflik terjadi serta berbagai tanggapan yang menyertainya. Sayangnya, hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada tulisan yang secara spesifik memberi perhatian terhadap pengalaman para korban terutama kaum perempuan dan anak-anak. Sebagian besar buku, artikel, maupun makalah yang berkaitan dengan konflik Poso lebih terfokus pada analisis sebab / akar permasalahan konflik Poso beserta argumentasinya. Kesemuanya ini tidak berarti tidak penting. Buku-buku semacam itu jelas mengisi ruang wacana tentang konflik Poso. Tetapi di lain sisi, tulisan-tulisan itu cenderung mengabaikan apa yang disebut oleh sejarahwan lisan sebagai sejarah yang (di)bungkam, terutama dari perspektif perempuan dan anak-anak.
Buku-buku, artikel, paper, serta laporan yang ditulis para pemerhati konflik kekerasan di Poso berusaha menyusun argumentasi tentang kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam konflik Poso dengan menggunakan perspektif ekonomi politik, sosial budaya, serta sebagian lagi sekedar mengambarkan kronologi kejadian konflik Poso.
Buku pertama yang berusaha menjelaskan tentang konflik Poso ditulis oleh S.Sinansari Encip dan Darwis Waru (2000) dengan judul Kerusuhan Poso yang
Sebenarnya
. Buku ini berisi kronologi konflik kekerasan di Poso, disertai penjelasan mengenai pihak-pihak yang terlibat serta sarat data-data jumlah kerugian materiil dan perkiraan kerugian non-materiil dengan mengelompokkan kerugian tersebut ke dalam kategori agama. Buku ini merupakan semacam laporan jurnalistik perjalanan kedua penulis yang saat itu adalah wartawan, sehingga perspektif yang dimunculkan dalam buku menunjukkan wacana konflik Poso yang dominan saat itu dengan asumsi konflik Poso sebagai konflik agama. Buku selanjutnya yang ditulis keduanya (2001) dengan judul Rusuh
Poso Rujuk Malino
tidak jauh berbeda dengan buku pertama. Kalaupun ada yang baru yang ditambahkan dalam buku selanjutnya karena buku ini memuat jasa pemerintah (dalam hal ini Jusuf Kalla) yang telah berinisiatif melakukan pertemuan di Malino yang mempertemukan tokoh-tokoh dari dua komunitas agama yang berbeda.
Suriadi Mappangara (2000) bersama timnya menerbitkan buku dengan judul Respon Militer terhadap Konflik Sosial di Poso.
Hampir sama dengan buku Sinansari dan Darwis, kronologi konflik Poso juga menjadi perhatian peneliti dari Yayasan Bina Warga apa yang telah dilakukan oleh militer dalam konflik Poso. Hal lain yang penting untuk dilihat dalam buku ini adalah analisis tim peneliti bahwa akar konflik Poso merupakan hasil dari akumulasi masalah budaya, hukum, politik dan ekonomi yang saling terkait tetapi terutama karena akar budaya, yaitu suku dan agama. Pada beberapa bagian buku, tim peneliti menggambarkan pertentangan antara suku asli dan suku pendatang, di mana suku asli hampir sebagian besar beragama Kristen sementara suku pendatang dari selatan Sulawesi hampir sebagian besar beragama Islam. Lebih lanjut, tim peneliti menuliskan bahwa masalah suku dan agama hanyalah sebuah picu yang efektif dari skenario besar yang telah direncanakan jauh sebelumnya. Skenario besar tersebut berkaitan dengan pembentukan sebuah wilayah khusus “Toraja Raya” yang dicita-citakan oleh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) melalui program dan strategi “ethnic cleansing” dan “Moslem Massacre”.
Buku yang berusaha mengangkat perspektif korban ditulis oleh Pdt. Damanik Rinaldy (2003) dengan judul Tragedi Kemanusiaan Poso: Menggapai Surya Pagi melalui
Kegelapan Malam
. Keseluruhan buku ini menunjukkan pembelaan Damanik terhadap masyarakat korban agar tidak terus-menerus menjadi tertuduh dan melupakan akumulasi kepentingan sosial, politik ekonomi yang meledak dalam konflik Poso. Meskipun beberapa kali mengutip pengalaman bersama para korban yang saat itu didampingi dan diadvokasinya, penulis buku ini lebih banyak menceritakan pengalamannya sebagai seseorang yang terlibat dalam upaya mengevakuasi para korban konflik, sekaligus menggambarkan apa yang dilakukannya saat konflik terjadi. Selain itu, buku ini lebih mengungkapkan perasaan dan pengalaman penderitaan korban dari komunitas Kristen, daripada pengalaman korban secara keseluruhan. Ini bisa dimaklumi karena buku ini ditulis untuk menangkis tuduhan bahwa dia membawa puluhan senjata yang dikaitkan dengan
5 kepemimpinannya di Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah (CC-GKST) .
Sebagian besar buku dan artikel yang diterbitkan sesudah tahun 2000 membahas tentang berbagai kepentingan di balik terus berlangsungnya konflik kekerasan di Poso yang kemudian melebar ke wilayah Palu. Laporan dari Koalisi Damai Sulawesi Tengah, misalnya menyebutkan pengawetan kondisi yang tidak aman di Poso lebih banyak disebabkan oleh banyaknya pihak yang mengambil keuntungan dari berbagai proyek kemanusiaan atau korupsi. Masih berkaitan dengan korupsi, Laporan Panitia Khusus Masalah Kerusuhan Poso dalam rapat paripurna DPR RI 28 Juni 2005 menyebutkan bahwa awal dari kerusuhan atau kekerasan di Poso erat kaitannya dengan teror-teror yang terjadi di Poso pasca kesepakatan Malino. Panitia Khusus kemudian merekomendasikan penyelesaian masalah korupsi sebagai hal penting yang paling perlu diatasi untuk membuat Poso kembali aman.
6 Arianto Sangaji, direktur Yayasan Tanah Merdeka dalam Kertas Posisi No. 3
(2005) yang menggambarkan bahwa hal yang memperparah keadaan di Poso dan sekitarnya adalah peredaran senjata ilegal di kalangan masyarakat Poso. Ini terjadi pertama-tama karena masyarakat tidak memperoleh jaminan keamanan dari aparat keamanan. George Junus Aditjondro, salah satu peneliti dan konsultan di Yayasan Tanah Merdeka, misalnya, juga mengemukakan kepentingan politik ekonomi militer di Poso dan sekitarnya. Dalam jurnal Wacana edisi 17 tahun 2004, dia mengungkapkan salah satu kepentingan ekonomi militer dalam konflik Poso adalah bisnis pengawalan, pungutan di 5 pos-pos penjagaan, bisnis proteksi asset pengusaha dan eks-pejabat tertentu, bisnis proteksi 6 Buku ini ditulis saat Damanik menjalani hukuman di dalam penjara.
Yayasan Tanah Merdeka adalah salah satu Lembaga Organisasi Non Politik yang berkantor di Palu dengan operasi maskapai-maskapai besar dan perdagangan senjata ilegal dan amunisi (Aditjondro,2004)
Salah satu upaya untuk memberikan gambaran mengenai perempuan di wilayah konflik ditampakkan dalam tema besar “Perempuan di Wilayah Konflik” di Jurnal
Perempuan
edisi 24, 2002. Artikel mengenai perempuan Poso dalam jurnal ini kurang menganalisis bagaimana memaknai pengalaman perempuan korban dalam konflik Poso.
Selain karena keterbatasan halaman untuk menganalisis kompleksitas masalah perempuan dalam konflik Poso, tulisan ini juga hanya mengutip wawancara dengan beberapa perempuan pada komunitas pengungsi tertentu serta menganalisis trauma perempuan dalam keterbatasan tersebut.
Uraian tersebut di atas menunjukkan kurangnya narasi berkenaan dengan konflik kekerasaan di Poso dan sekitarnya dari perspektif korban terutama perempuan dan anak- anak. Tesis ini merupakan usaha sederhana untuk membuka “ruang kecil” bagi penarasian suara-suara perempuan dan anak-anak dalam konflik kekerasan di Poso.
5. Kerangka Pemikiran
Diskriminasi terhadap perempuan dan pengabaian terhadap anak-anak berlangsung secara universal dan manifestasinya dalam berbagai budaya sangat bervariasi. Namun ada satu prinsip yang tetap, yaitu dominasi laki-laki. Itulah sebabnya, menurut Cynthia Cockburn, kendati penjenderan peran dan posisi dalam situasi konflik bersenjata berlangsung melalui proses “negosiasi” sehingga berbagai peran dan posisi yang selama ini dikuasai oleh laki-laki mulai diambil alih dan atau mulai melibatkan peran perempuan, dominasi laki-laki tidaklah bergeser. Dengan kata lain, bandul dalam relasi kekuasaan tetap jatuh kepada laki-laki (Moser dkk, 2001) Salah satu hal yang menggambarkan argumentasi tersebut di atas adalah kenyataan bahwa tiada perang/konflik kekerasan tanpa perkosaan. Itulah sebuah biaya yang mesti ditanggung perempuan dalam situasi konflik kekerasan (Campbell, 2001). Berkaitan dengan perkosaan sebagai salah satu kekerasan yang dialami oleh perempuan di wilayah konflik, Susan Brownmiller memberikan gambaran mengenai fenomena perkosaan tersebut. Menurutnya ada pandangan yang salah dalam memahami perkosaaan sebagai sebuah aktivitas seksual ketimbang aktivitas kekerasan; berkembangnya asumsi-asumsi tentang seksualitas lelaki dan kodrat kecenderungan aktivitasnya, khususnya ketika lelaki sedang mengalami ketegangan; keyakinan bahwa tingginya aktivitas seksual lelaki sangat esensial dalam membangun kesan tentang maskulinitas lelaki dan diterima dengan begitu saja pemahaman bahwa ada hubungan antara masa perang dan kepemilikan perempuan di tangan lelaki (Campbell, 2001: 99).
Selain persoalan perkosaan, konflik kekerasan di manapun selalu menyebabkan perempuan menjadi sendirian (Butalia, 2002). Kesendirian tersebut terutama ketika mereka menanggung beban sebagai penerus kehidupan karena ditariknya kehidupan mereka dari kehidupan sebelumnya, dan pada saat yang sama mengalami diskriminasi. Kesendirian itu dipertajam dalam sistem masyarakat yang patriarkhis. Pengalaman perempuan di Ambon dan Aceh menggambarkan bagaimana perempuan dijadikan sebagai ‘target
7
8
9
10 7 antara/sandera’ , ‘obyek seks’ , penjaga identitas dan moralitas kelompok dan ‘tameng’
Konflik bersenjata diasumsikan sebagai urusan kaum laki-laki, karena dianggap sebagai “ruang publik”.
Karena itu pula, target utama dalam konflik adalah kaum laki-laki, karena lawan diidentikkan dengan laki-
laki. Dalam berbagai konflik bersenjata, perempuan dijadikan “target antara/sandera” untuk meneror, untuk jaminan keamanan keluarga hingga menjadi ‘penanggung beban’(Hutabarat, 2003 : 214).
Laporan Tim Kemanusiaan Timor Barat memberikan gambaran bahwa pengungsi perempuan sangat rentan terhadap kekerasan ekonomi. Ketika bantuan kemanusiaan tidak cukup, pengungsi perempuanlah yang pertama menghadapi beban kerja untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya dengan cara menjual sayur-sayuran, buah-buahan atau makanan kecil yang dibuat sendiri. Kekerasan ekonomi itu termasuk diantaranya ketika sebagian perempuan terpaksa menjadi pekerja seks komersial guna memenuhi kebutuhan hidup dan atau sebagai ekspresi ‘keterlanjuran’ mengalami kekerasan seksual seperti perkosaan atau perlakuan asusila dari aparat keamanan. Pengungsi perempuan juga sangat rentan dengan berbagai tindak kekerasan yang merusak kesehatan, karena tidak adanya
11
situasi kondusif bagi kebutuhan khusus perempuan . Jenis kekerasan lainnya adalah kekerasan sosial yang ditandai dengan menggejalanya trauma yang diekspresikan dalam bentuk kemarahan yang berlebihan dan dilimpahkan pada anak-anak (Campbell, 2001:177).
Anak-anak adalah pihak lain yang sangat rentan mengalami tindak eksploitasi, kekerasan, penelantaran dan lain-lain. Ini dikarenakan anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial (Farid dkk, 2003 : 46). Kekerasan 8 Dalam konflik bersenjata, perempuan sebagai obyek seks dianggap sebagai “dalil yang berlaku universal”.
Kehadiran militer dalam konflik bersenjata dan obyektifitas (seksual) perempuan dianggap sejalan. Dalam
konflik di Bosnia, misalnya, seksualitas perempuan dihubungkan dengan strategi pembersihan etnik (etnic