Makna kekerasan pada anak usia sekolah dasar - USD Repository

  MAKNA KEKERASAN PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Oleh: Maria Lourdes W. NIM: 059114080 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

  

i

MAKNA KEKERASAN PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Maria Lourdes W.

NIM: 059114080

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010 ii

iii

  

iv

MOTTO

  “ Don’ t Never Give Up,

You Can Do It”

HALAMAN PERSEMBAHAN

  

Skripsi ini saya persembahkan kepada orang-orang yang saya cintai yakni

kedua orangtuaku tercinta P.C Soedjarwo dan Maria Maripah,

dan kelima saudaraku yang terkasih. I love U Full, Muah..

  

 

Anak ‐anak belajar dari yang mereka alami 

By  Dorothy Law 

 

  Bila  anak‐anak hidup dengan kritikan, mereka akan belajar untuk menyalahkan  Bila  anak‐anak hidup dengan permusuhan, mereka akan belajar untuk bermusuhan  Bila  anak‐anak hidup dengan rasa takut, mereka akan belajar untuk mudah gelisah 

Bila   anak‐anak  hidup  dengan  dikasihani,  mereka  akan  belajar  untuk  menyesali

kehidupannya   Bila  anak‐anak hidup dengan ejekan, mereka akan belajar untuk rendah diri  Bila  anak‐anak hidup dengan rasa iri, ia akan belajar untuk mudah iri hati pula  Bila  anak‐anak hidup dengan dipermalukan, ia akan belajar untuk merasa bersalah 

Bila  anak‐anak hidup dengan dorongan, mereka akan hidup dengan penuh percaya

diri   Bila  anak‐anak hidup dengan toleransi, mereka akan belajar untuk menjadi sabar  Bila  anak‐anak hidup dengan pujian, mereka akan belajar untuk menghargai 

Bila  anak‐anak hidup dengan penerimaan lingkungannya, mereka akan belajar untuk 

mencintai

Bila   anak‐anak  hidup  dengan  diterima orang lain,  ia  akan  belajar  untuk  menyukai

dirinya  

Bila  anak‐anak belajar dengan pengakuan, ia akan belajar untuk memiliki tujuan hidup

Bila

  

 anak‐anak hidup dengan berbagi, mereka akan belajar untuk menjadi murah hati  Bila  anak‐anak hidup dengan kejujuran, mereka akan belajar kebenaran  Bila  anak‐anak hidup dengan kejujuran, mereka akan belajar keadilan 

Bila   anak‐anak  hidup  dengan  kebaikan hati  dan  pertimbangan,  mereka  akan  belajar  untuk  menghargai  Bila  anak‐anak hidup dengan rasa aman, mereka akan belajar untuk yakin diri

Bila   anak‐anak  hidup  dengan persahabatan,  mereka  akan  belajar  bahwa  dunia ini adalah tempat yang baik untuk hidup

v vi

  

MAKNA KEKERASAN PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Maria Lourdes W.

  

ABSTRAK

Ada keprihatinan tentang perilaku kekerasan di kalangan anak-anak baik anak sebagai

pelaku ataupun korban. Anak dapat mempelajari kekerasan dari lingkungan di sekitarnya.

Kekerasan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah semua tindakan yang disengaja maupun

tidak disengaja yang menyebabkan orang lain terluka tidak hanya secara fisik. Kekerasan sama

sekali tidak dapat diterima oleh masyarakat karena sifatnya yang destruktif. Dalam banyak kasus

kekerasan yang melibatkan anak-anak sebagai korban dan pelaku tampak bahwa sesungguhnya

anak tidak paham apa yang mereka lakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengungkap

makna kekerasan yang dipahami anak-anak, darimana dan bagaimana anak-anak mempelajari

kekerasan, dan sikap anak terhadap kekerasan melalui interaksi anak dengan lingkungan sosialnya.

  Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma

representasi sosial. Penelitian ini melibatkan 34 siswa dari tiga sekolah dasar di Yogyakarta.

Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara terbuka dengan menggunakan dua buah

gambar netral untuk memancing jawaban anak-anak tentang kekerasan.

  Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa obyektivikasi dalam penelitian adalah

kekerasan pada anak adalah cara untuk mendidik, bermain, hiburan, dan pembelaan diri.

Pemahaman anak diperoleh dari proses interaksi anak-anak dengan lingkungan sosial terdekat

anak yang sarat dengan perilaku kekerasan. Sedangkan anchoring kekerasan dalam penelitian ini

adalah kekerasan dianggap wajar oleh anak karena prakteknya yang terselubung dalam praktek

pendidikan, permainan, hiburan, dan pembelaan diri. Kultur Jawa pun secara tidak langsung turut

memberi ruang praktek kekerasan terus terjadi dalam masyarakat. Kultur Jawa yang mendukung

adanya senioritas memberi peluang orangtua untuk menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki

untuk mendidik anaknya. Anak pun hanya dapat patuh karena dalam kultur Jawa anak harus

hormat dan patuh kepada orang yang lebih tua. Televisi juga terus saja menayangkan kekerasan

dalam bentuk tayangan yang menghibur sehingga melanggengkan kekerasan terjadi di masyarakat.

Implikasi dari praktek kekerasan yang terselubung adalah kekerasan bisa terulang tanpa pernah

bisa dihentikan siklusnya.

  Kata kunci : kekerasan, kultur Jawa, representasi sosial, agresi, televisi

vii

  

THE MEANING OF VIOLENCE ON ELEMENTARY SCHOOL

CHILDREN

Maria Lourdes W.

  

ABSTRACT

There is a concern about violence behavior which happens to children either as an actor

or a victim of violence. Children can learn violence from their surrounding area. In this research,

definition of violence is every intentional or unintentional behavior which can hurt anybody not

only physically but also psychology. Violence absolutely cannot be accepted by society. It is

because violence is characterized as a destructive behavior. In many cases of violence, there are a

lot of children involved not only as an actor but also the victim of the violence but actually they do

not understand what they did. This research would like to reveal the meaning of violence in which

the children understand the violence, how the children learn the violence and the attitude of

children to violence through children interaction to their social environment.

  This research used qualitative approach and social representative paradigm. This

research involved 34 students of three elementary schools in Yogyakarta. Data collection was

done by using open interview method which utilizing two neutral pictures in discovering the

children’s answers about violence.

  The result of this research revealed that the violence objectifications to children are the

way to educate, play, entertain, and do self defense. Children understanding toward violence are

taken from children interaction to their closer social environment which is full of violence

behavior. The anchoring of violence is considered natural by the children. It is because violence

happens in education practice, children games, entertainment, and self defense. Javanese culture

gives indirectly space to continue violence practice in society. Javanese culture which supports

seniority aspect, gives the chance for parents to misuse their authority to educate their children.

Children who live in Javanese family culture can only obey to older people as like as the rule in

Javanese culture for being an obedience person. Television also keeps showing violence which can

entertain the audience. So that it can preserve violence in society. The implication of veiled

violence practice is that violence can happen repeatedly and nobody can stop the cycle.

  Keywords: violence, Javanese Culture, social representation, aggression, television.

viii ix

KATA PENGANTAR

  

x

  Penulis menghaturkan puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa

atas segala rahmat dan anugerah yang telah diberikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan

membantu dengan sabar dan tekun selama proses pengerjaan skripsi ini : 1.

  Ibu Dr. Christina S. Handayani yang telah mendukung, membimbing, dan mengarahkan, dan memotivasi saya selama pengerjaan skripsi ini.

  2. Ibu Maria Laksmi Anantasari, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah juga turut memotivasi saya lewat pesan singkatnya.

  3. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

yang telah memberikan wawasan dan ilmunya kepada penulis selama kuliah.

  4. Mas Gandung dan Mba Nanik, Mas Muji, Mas Doni terima kasih atas segala bantuannya.

  5. Seluruh keluargaku tercinta terutama ibu yang tidak lelah mengingatkan untuk segera menyelesaikan kuliah.

  6. Teman-teman seperjuangan Repsos (Arya, Tiwi, Alma, Wida, Sinta, Bela, dan Luki) dan temen-teman bimbingan Ibu Siwi yang lain (Wira, Gita, Mbak Nana, Iin) yang telah menjadi Keluarga Cemara terima kasih atas segala supportnya dan segala cerita suka duka selama kita berjuang bersama.

  7. Tris Saputra, makasih dah jadi tempatku berkeluh kesah, marah, nangis, dan lain-lain serta dukungannya untuk tidak menyerah. xi 8. Ika, Yandu, dan Puput. Trims buat dukungan, diskusi, dan waktu-waktu yang sudah kita habiskan bersama selama kuliah. Semoga persahabatan kita terus berlanjut sampai kapan pun.

  9. Sahabat-sahabatku di Banjarbaru yang juga mendukungku dan mengingatkan untuk segera menyusul mereka menjadi sarjana.

  10. Kepala Sekolah SD Negeri Timbulharjo, SD Muhammadiyah, dan SD BOPKRI Gondalayu serta siswa-siswa di tiga sekolah dasar tersebut. Terima kasih atas ijin dan dukungan selama proses pengambilan data.

  11. Teman-teman di kos yang juga selalu mendukungku. Terima kasih.

  12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah berperan dalam proses studi khususnya dalam penyelesaian skripsi ini.

  Penulis menyadari karya ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati dan keterbukaan, penulis menerima kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

  

Yogyakarta, 10 Februari 2010

Penulis

  DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ..................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................................. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................ vi

ABSTRAK ................................................................................................................. vii

ABSTRACT .............................................................................................................. viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................. ix

KATA PENGANTAR ................................................................................................. x

DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xvii

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Paradigma Representasi Sosial .......................................................................... 9 B. Kekerasan ........................................................................................................ 12 B.1 Definisi Kekerasan .................................................................................... 12 B.2 Tipe Kekerasan ......................................................................................... 15 C. Konteks Penelitian : Anak Sekolah Dasar ....................................................... 15 C.1 Kontribusi Kultur dan Media Dalam Pemaknaan Kekerasan Oleh Anak 15 C.2 Tahapan Perkembangan Anak ................................................................. 17 1) Perkembangan Kognitif ....................................................................... 17 2) Perkembangan Psikososial .................................................................. 18 D. Representasi Sosial Anak Tentang Kekerasan ................................................ 19 xii

  xiii D.1 Proses Terbentuknya Pemaknaan Kekerasan Pada Anak ......................... 19 D.2 Makna Kekerasan pada Anak Usia Sekolah Dasar .................................. 26 E.

  Skema Tinjauan Teoritis .................................................................................. 28

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ................................................................................................ 29 B. Responden Penelitian ...................................................................................... 31 C. Batasan Istilah ................................................................................................. 31 D. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 32 D.1 Penelitian Pendahuluan ............................................................................. 32 D.2 Proses Pengambilan Data ......................................................................... 34 D.2.a Wawancara ..................................................................................... 34 D.2.b Observasi ........................................................................................ 39 E. Teknik Analisis Data ....................................................................................... 39 F. Kredibilitas Penelitian ..................................................................................... 41 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian .................................................................................... 43 A.1 Tahapan Pemilihan Responden ................................................................ 43 A.2 Tahapan Pengambilan Data ...................................................................... 44 B. HASIL PENELITIAN ..................................................................................... 45 B.1 Data Demografi Responden ...................................................................... 45 B.1.a Demografi Responden .................................................................... 45 B.1.b Deskripsi Data Demografi Responden ........................................... 45 B.2 Hasil Analisis Data ................................................................................... 46 B.2.a Pengalaman Responden Tentang Kekerasan .................................. 47 1) Responden sebagai Korban ........................................................ 48 a.

  Pelaku dan Tipe Kekerasan Terhadap Responden ................. 48 b. Alasan Pelaku Melakukan Kekerasan Kepada Responden .... 51 c. Perasaan Responden sebagai Korban ..................................... 60 2)

  Responden sebagai Pelaku ......................................................... 63 a.

  Korban dan Tipe Kekerasan Responden ................................ 63 b. Alasan Responden Melakukan Kekerasan ............................. 66

  c.

  Perasaan Responden sebagai Pelaku ...................................... 70 3) Sikap Responden Terhadap Kekerasan ...................................... 72 a.

  Sikap Responden Terhadap Orangtua yang Melakukan Kekerasan ............................................................................... 72 b.

  Sikap Responden Terhadap Teman yang Melakukan Kekerasan ............................................................................... 75 c.

  Sikap Responden Terhadap Kakak yang Melakukan Kekerasan ............................................................................... 77 B.2.b Sumber Anak Belajar Kekerasan ................................................... 78 B.2.c Pengalaman Kekerasan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 80

  1) Responden sebagai Korban ........................................................ 80 2) Responden sebagai Pelaku ......................................................... 83

  B.2.d Hasil Metode Observasi ................................................................. 84 C. PEMBAHASAN .............................................................................................. 87 C.1 Makna Kekerasan: Kekerasan Selalu Terselubung .................................. 88

  C.1.a Kekerasan Terselubung Atas Nama Pendidikan ............................ 89 C.1.b Kekerasan Terselubung dalam Bentuk Permainan dan Hiburan .... 93 C.1.c Kekerasan Terselunung sebagai Cara untuk Membela Diri ........... 94 C.2 Sikap Anak Tentang Kekerasan ................................................................ 96

  C.3 Kekerasan sebagai Representasi Sosial dan Hasil Belajar Anak .............. 97 D. Skema Pembahasan ....................................................................................... 100

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................................... 101 B. Saran .............................................................................................................. 102 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

  DAFTAR TABEL Tabel 1 : Pedoman Pertanyaan Awal untuk Mengetahui Pengalaman Kekerasan Responden .................................................................................................. 37 Tabel 2 : Pedoman Pertanyaan untuk Mengetahui Lebih Dalam Pengalaman Responden Terhadap Kekerasan ................................................................. 38

Tabel 3 : Demografi Responden ............................................................................... 45

Tabel 4 : Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Respon ........................ 48

Tabel 5: Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Responden ................... 50

Tabel 6 : Alasan Orangtua Melakukan Kekerasan Berdasarkan Jumlah Respon ...... 51

Tabel 7 : Alasan Orangtua Melakukan Kekerasan Berdasarkan Jumlah Responden 53

Tabel 8 : Alasan Teman Melakukan Kekerasan ....................................................... 54

Tabel 9 : Alasan Kakak Melakukan Kekerasan ......................................................... 56

Tabel 10: Alasan Adik Melakukan Kekerasan ......................................................... 58

Tabel 11: Alasan Guru Melakukan Kekerasan ......................................................... 59

Tabel 12: Perasaan Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Respon ........ 60

Tabel 13: Perasaan Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Responden .. 62

Tabel 14: Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Respon ......................... 63

Tabel 15: Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Responden ................... 64

Tabel 16: Alasan Responden Melakukan Kekerasan kepada Teman ....................... 66

Tabel 17: Alasan Responden Melakukan Kekerasan Kepada Adik ......................... 68

Tabel 18: Alasan Responden Melakukan Kekerasan Kepada Kakak ....................... 69

Tabel 19: Perasaan Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Respon ........... 70

Tabel 20: Perasaan Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Responden .... 71

Tabel 21: Alasan Orangtua Boleh Melakukan Kekerasan ......................................... 72

Tabel 22: Alasan Orangtua Tidak Boleh Melakukan Kekerasan ............................... 73

Tabel 23: Alasan Kekerasan Tidak Boleh Dilakukan Teman .................................... 75

Tabel 24: Alasan Kekerasan Boleh Dilakukan Teman ............................................. 75

Tabel 25: Alasan Kekerasan Tidak Boleh Dilakukan Kakak ................................... 77

Tabel 26: Alasan Kekerasan Boleh Dilakukan Kakak ............................................... 77

xv

  Tabel 27: Sumber Informasi Anak Mempelajari Kekerasan Berdasarkan Jumlah Respon ...................................................................................................... 78 Tabel 28: Sumber Informasi Anak Mempelajari Kekerasan Berdasarkan Jumlah Reponden ................................................................................................... 79

Tabel 29: Responden sebagai Korban Kekerasan Berdasarkan Jumlah Respon ....... 80

Tabel 30: Responden sebagai Korban Kekerasan Berdasarkan Jumlah Responden .. 81

Tabel 31: Responden sebagai Pelaku Kekerasan Berdasarkan Jumlah Respon ......... 83

Tabel 32: Responden sebagai Pelaku Kekerasan Berdasarkan Jumlah Responden .... 83

xvi

  DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Gambar untuk Pengambilan Data........................................................ 108

Lampiran 2 : Deskripsi Data Demografi Responden ................................................ 109

Lampiran 3 : Tabulasi Kategori Responden Sebagai Korban ................................... 110

Lampiran 4 : Tabulasi Kategori Responden Sebagai Pelaku .................................... 127

Lampiran 5 : Tabulasi Demografis Responden Sebagai Korban .............................. 131

Lampiran 6 : Tabulasi Demografis Responden Sebagai Pelaku ............................... 139

xvii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan kasus kekerasan anak

  di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terjadi 1.926 kasus kekerasan sepanjang tahun 2008 di Indonesia. Dari jumlah tersebut 28% diantaranya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan pekerjaan. Selain itu, KPAI pun mencatat dari 28% kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, 42% diantaranya dilakukan oleh teman sekolah (“28 %”, 2008). Sementara itu, lembaga Rifka Annisa dari tahun 2000-2008 mencatat terjadi 266 kasus kekerasan seksual pada anak di Yogyakarta. Dari 266 kasus tersebut, 64 kasus diantaranya dilakukan oleh anak- anak (“Awas Kekerasan Anak”, 2008). Meninggalnya Resa Ikhzan Fadillah (9) setelah bermain

  

smackdown dengan temannya pada tahun 2008 (Mardiana, 2006) dan Edo Rinaldo

  (8), setelah dikeroyok oleh empat temannya pada tahun 2007 (“Murid Kelas II SD”, 2007) menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini. Data dan kasus di atas juga menunjukkan adanya pergeseran usia pelaku dimana anak-anak menjadi pelaku kekerasan.

  Sementara itu, anak-anak pun menjadi korban kekerasan dari orang- orang terdekat anak di lingkungan keluarga dan sekolah. Ketua dan Komisi Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengungkapkan bahwa sekitar 70% kasus kekerasan terhadap anak ternyata dilakukan oleh orangtua karena ketidaktahuan

  2 cara mengasuh anak. Seringkali orangtua tidak sadar telah bersikap keras meskipun lebih dimaksudkan untuk mengajarkan ke disiplinan dan kesopanan (“70

  Persen Kekerasan”, 2005). Orangtua tampaknya semakin jarang menerapkan bentuk hukuman yang tidak melibatkan kekerasan seperti pengurangan hak (uang saku dikurangi, tidak boleh makan, tidak boleh diajak ke rumah makan), penambahan tugas (menyapu halaman, mencuci piring, harus menyalin tulisan berkali-kali), dan pengurangan kenikmatan (tidak boleh bermain, tidak boleh menonton televisi) (Familia, 2004). Di samping itu, dari kacamata orangtua hukuman diterapkan kepada anak demi kebaikan anak (Gordon, 1985). Pandangan ini dapat muncul karena sebagai orangtua, orangtua merasa paling tahu apa yang terbaik bagi anak. Orangtua menggunakan kekuasaan yang dimiliki sebagai orangtua untuk mempermudah mereka mengajarkan kedisiplinan dan kesopanan kepada anak. Ketidaktahuan orangtua dalam mendidik anak dapat pula terlihat dalam praktek pendidikan di sekolah.

  Data survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia selama Januari hingga April 2008 menyatakan jumlah kasus kekerasan terhadap anak berusia 0

  • – 18 tahun di Indonesia, terdata 95 kasus. Dari jumlah itu, persentase tertinggi yaitu 39,6 % diantaranya, dilakukan oleh guru (“39,6 % kekerasan”, 2008). Hasil survei tersebut menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh guru sebagai pengajar dan pendidik. Guru masih menggunakan cara-cara yang mengandung kekerasan untuk mendidik siswanya. Selain guru, pelaku kekerasan di sekolah adalah senior atau kakak kelas.

  3 Para senior turut menunjukkan kuasanya pada junior yang biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi dari pihak pengajar. Tindakan senioritas dapat terjadi saat Orientasi Studi dan Perkenalan Siswa (OSPEK), saat jam-jam istirahat, atau saat jam pulang sekolah. Senior merasa lebih berkuasa, dominan dan merasa punya hak-hak istimewa untuk mensubordinasi dan mengeksploitasi juniornya dalam berbagai aspek. Menurut pengakuan Miko, siswa kelas II IPS SMA Pangudi Luhur, tindakan kekerasan yang dia dan teman-temannya lakukan untuk melatih mental junior agar tidak bermental lembek. Miko bahkan kemudian menganalogikan tindakan kekerasan yang dia dan teman-temannya lakukan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua. Selain itu, dalam perspektif para senior, junior memang harus menghormati senior sebagai orang yang lebih tua di sekolah (“Senioritas Makan”, 2007). Berdasarkan pengakuan senior ini tampak bahwa kekerasan yang dilakukan kepada junior bertujuan memperlihatkan dominasi, mengatasnamakan pendidikan dan dipelajari dari tindakan kekerasan yang dilakukan orangtua.

  Selain keluarga dan sekolah, dunia yang dekat dengan kehidupan anak adalah media massa, televisi salah satunya. Menurut analisis yang dibuat pada pertengahan 2007 oleh Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak, televisi menjadi salah satu penyumbang terbesar yang menimbulkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi, 62% diantaranya mengedepankan adegan-adegan kekerasan (Wattimena, 2008). Selain televisi ada media video games. Seiring majunya perkembangan teknologi, permainan tradisional anak-anak tergantikan

  4 dengan permainan virtual. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 menunjukkan bahwa anak-anak menghabiskan waktu 10 jam bermain video games (“Info Lengkap Hari”, 2009). Banyak games bertema kekerasan menjadi game favorit anak-anak. Dalam game-game ini membunuh musuh dan menjadi pemenang menjadi sebuah ketertarikan kenikmatan tersendiri. Disamping itu, anak-anak bermain menjadi penguasa dengan cara kekerasan. Bahayanya dari games adalah anak-anak tidak diberi kesempatan berpikir dan merefleksikan apa yang dimainkan karena game bersifat teknis-mekanis interaktif (Wattimena, 2008).

  Sebuah penelitian di Amerika terhadap anak berusia 0-15 tahun menyatakan bahwa anak-anak pada usia tersebut yang melihat atau membaca tindakan kekerasan di internet atau media lain seperti televisi, film, video games, dan musik menunjukkan tindakan kekerasan terhadap orang lain (Ybarra, Diener- West, Markow, Leaf, Hamburger, Boxe, 2008). Di Indonesia sebuah penelitian tentang kekerasan terhadap 750 remaja di Yogyakarta menyatakan bahwa remaja yang sering menonton tayangan kekerasan cenderung bertindak agresif (Parwadi, 2005). Sebuah penelitian lain di Amerika terhadap 134 orangtua dan anak mereka yang berusia 10-15 tahun menyebutkan bahwa hukuman badan yang dilakukan orangtua sebagai metode disiplin berkorelasi positif terhadap niat anak untuk melakukan kekerasan (Ohene, Ireland, McNeely, Borowsky, 2006). Penelitian- penelitian tersebut menyatakan adanya peran media dan orangtua dalam munculnya tindakan kekerasan oleh anak.

  5 Di samping itu, beberapa penelitian lain terhadap anak dan remaja menyatakan bahwa jenis kelamin, kondisi psikologis pelaku dan korban, dan jaringan sosial dapat menyebabkan terjadinya pelaku kekerasan di kalangan anak dan remaja (Gini, Pozzoli, 2006; Moutappa, Valente, Gallaher, Rohrbach, Unger, 2004; Seals, Young, 2003; van der Wal, de Wit, Hirasing, 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih berpotensi melakukan kekerasan daripada anak perempuan, anak yang memiliki harga diri tinggi dan tindakan nakal (delinquent) menunjukkan tindakan kekerasan, dan anak-anak yang memiliki teman yang agresif berpotensi melakukan kekerasan.

  Berdasarkan seluruh uraian di atas, tindakan kekerasan sangat dekat dalam kehidupan keseharian anak- anak baik di rumah, sekolah, maupun televisi dan sarana permainan. Anak-anak tidak hanya menjadi korban kekerasan melainkan juga menjadi pelaku kekerasan. Di samping itu, selama ini penelitian tentang kekerasan hampir selalu mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya tindakan kekerasan seperti media massa, jenis kelamin, kondisi psikologis, dan jaringan sosial. Penelitian tentang kekerasan belum mengungkap pemaknaan anak tentang kekerasaan. Dengan demikian, penelitian ini penting dilakukan untuk mengungkap bagaimana pemaknaan anak mengenai kekerasan terutama dari pengalaman anak tentang kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.

  Setelah mengetahui pemaknaan anak-anak usia sekolah dasar terhadap kekerasan maka diharapkan penelitian ini bisa menjawab keprihatinan dan mengidentifikasi penyebab anak melakukan kekerasan. Urgensi penelitian ini didorong oleh adanya indikasi dari kasus yang telah dipaparkan di atas bahwa anak menganggap

  6 kekerasan sebagai cara untuk bermain dan tidak mengerti ada konsekuensi yang berakibat fatal dari tindakannya.

  Penelitian ini dilakukan untuk menjawab keprihatinan pada permasalahan anak-anak yang melakukan kekerasan seperti yang dipaparkan di atas dengan melihat bagaimana pemaknaan anak tentang kekerasan ditinjau dari pengalaman anak, darimana mereka belajar melakukan kekerasan, dan sikap anak terhadap kekerasan. Penelitian ini nantinya dapat memberikan gambaran tentang pemaknaan kekerasan yang dimiliki oleh anak sehingga orangtua dapat memberikan informasi tentang kekerasan yang tepat sesuai pemahaman anak.

  Kekerasan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tindakan yang disengaja ataupun tidak disengaja yang menyebabkan orang lain terluka.

  Kekerasan tidak bersifat bawaan, selalu bersifat destruktif, dan bukan merupakan pertahanan diri terhadap suatu ancaman. Berdasarkan pengertian tersebut tindakan kekerasan tidak dapat diterima oleh masyarakat karena didasarkan pada niat dan akibat yang merugikan atau menyebabkan orang lain terluka. Berbeda dengan kekerasan, agresi tidak selalu bersifat destruktif seperti kekerasan tetapi juga bersifat konstruktif. Agresi yang bersifat konstruktif ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan diri. Selain agresi yang bersifat konstruktif, ada pula agresi prososial yang diatur oleh norma sosial dan dianggap sebagai tindakan agresi yang baik. Misalnya disiplin yang ditegakkan orangtua, bawahan patuh pada atasan, dan lain-lain. Agresi konstruktif sebagai upaya pertahanan diri dan agresi prososial masih dapat diterima oleh masyarakat karena kedua tindakan agresi ini dilakukan untuk sesuatu yang dianggap baik yaitu mempertahankan diri

  7 dan mendidik. (Poerwandari, 2004; Fromm, 2008; Sears, Freedman, Peplau, 2004). Dengan adanya perbedaan mendasar antara agresi dan kekerasan maka penelitian ini akan fokus pada agresi yang bersifat destruktif atau kekerasan dan bukan agresi kostruktif karena tindakan yang dilakukan anak pada kasus kekerasan anak mengarah pada tindakan kekerasan yang menyebabkan orang lain terluka.

  Representasi sosial adalah salah satu paradigma yang akan digunakan untuk mengungkap permasalahan ini karena dapat membantu mengungkap pengetahuan sehari-hari anak tentang kekerasan sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh, berkembang, dan dikomunikasikan dalam masyarakat. Representasi sosial merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek- praktek yang membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Melalui paradigma ini peneliti akan mengungkap makna kekerasan yang dipahami anak- anak melalui pengalaman anak tentang kekerasan, darimana dan bagaimana anak- anak mempelajari kekerasan, dan sikap anak terhadap kekerasan melalui interaksi anak dengan lingkungan sosialnya.

B. RUMUSAN MASALAH

  1) Bagaimana pengalaman anak-anak tentang kekerasan dalam kehidupan sehari-hari?

2) Bagaimana dan darimana anak-anak mempelajari indakan kekerasan?

  3) Bagaimana sikap anak terhadap tindakan kekerasan yang terjadi di sekitar mereka?

  8

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan makna kekerasan melalui pengalaman anak-anak tentang kekerasan, cara dan sumber anak-anak mempelajari kekerasan, dan sikap anak terhadap tindakan kekerasan.

  D. MANFAAT PENELITIAN

  Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

  a. Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi tentang kekerasan dalam perspektif anak khususnya pemaknaan anak tentang kekerasan.

  b. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada orangtua dan guru tentang kekerasan dalam perspektif anak khusunya pemaknaan anak tentang kekerasan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS Dalam bab ini akan disajikan beberapa teori yang dapat membantu

  mengungkap makna kekerasan dari perspektif anak. Oleh karena penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial maka bab ini akan dimulai dengan pengertian representasi sosial. Kemudian dilanjutkan dengan deskripsi mengenai definisi dan tipe kekerasan. Teori perkembangan kognitif anak juga dipaparkan sebagai konteks yang diteliti dalam penelitian ini. Peneliti juga akan memaparkan tentang paradigma representasi sosial sebagai perspektif yang membantu mengungkap makna kekerasan pada anak.

A. Paradigma Representasi Sosial

  Representasi sosial merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah konsensual diantara fenomena dan memungkinkan terjadinya komunikasi antar anggota kelompok (Moscovici, 2001; Walmsley, 2004). Paradigma ini merupakan kerangka berpikir konsep-konsep dan ide-ide psikologis dalam dunia sosial dalam rangka mempelajari fenomena psikososial dalam masyarakat modern (Wagner,dkk., 1999). Representasi sosial meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga identitas sosial individu tersebut dapat diketahui sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004). Dengan demikian, dalam konsepsi representasi sosial, konsep apapun yang berkembang dalam masyarakat merupakan representasi sosial yang dibentuk melalui pengalaman, diartikan, dan

  10 diinterpretasikan dalam ingatan tentang representasi mental, objek dan kejadian dalam dunia sosialnya sehingga individu dapat membuat dunianya bermakna dan fokus pada proses komunikasi interpersonal (Wagner, dkk., 1999).

  Inti dari representasi sosial adalah keyakinan yang menyatakan bahwa kondisi psikologis individu merupakan produk sosial yang berfungsi sebagai pedoman tindakan bagi individu-individu yang tergabung dalam lingkungan sosial yang sama. Representasi tidak "secara individual dihasilkan melalui replika dari data persepsi" tetapi dilihat sebagai ciptaan sosial. Oleh karena itu, representasi sosial dilihat sebagai bagian dari realitas sosial. Moscovici (dalam Walmsley, 2004) mengatakan bahwa representasi sosial dirumuskan melalui tindakan dan komunikasi di masyarakat, memahami serta mengkomunikasikan apa yang sudah kita pahami dengan cara tertentu. Tujuannya yakni untuk mempelajari hubungan yang terjadi antara pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; pembiasaan akan hal- hal baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial (Jodelet, 2006).

  Makna adalah hasil interaksi sosial yang dinegosiasi melalui bahasa (Blumer dalam Mulyana, 2002). Makna dalam representasi sosial merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia. Hal ini mempelihatkan bahwa makna tidak hanya berada pada level individu saja tetapi makna yang berada pada level masyarakat (Blumer, dalam Sunarto, 2000). Makna kekerasan oleh anak dalam penelitian ini bukan makna sebagai hasil dari produk

  11 individual anak melainkan makna sebagai hasil produk sosial interaksi anak dengan masyarakat.

  Dalam rangka mempelajari pengetahuan yang bersifat umum dan pengetahuan keilmuan, ada dua konsep sentral dari proses representasi sosial, yakni anchoring dan objectification. Anchoring merupakan sebuah proses yang hendak menemukan akar dari suatu ide atau pengetahuan, untuk mereduksinya ke dalam suatu kategori dan gambaran asal, sehingga menjadikannya berada dalam konteks yang familiar (Moscovici, 2001). Objectification merupakan sebuah proses menerjemahkan ide-ide dan konsep-konsep abstrak ke dalam sebuah gambaran konkrit ataupun menghubungkannya ke dalam suatu objek konkret (Moscovici, 2001).

  Hasil proses objecification nantinya akan terkait dengan empat fungsi representasi sosial (dalam Walmsley, 2004) yaitu : (a) fungsi pengetahuan, (b) fungsi identitas, (c) fungsi orientasi, dan (d) fungsi pembenaran. Fungsi pengetahuan memungkinkan suatu realita untuk dipahami dan dijelaskan. Fungsi identitas meletakkan individu dan kelompok dalam suatu areal sosialnya dan memungkinkan perkembangan sebuah identitas sosial selaras dengan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Fungsi orientasi mengarahkan sikap dan praktek, dan fungsi pembenaran mengijinkan sesudah fakta pembenaran posisi dan perilaku. Penelitian ini sendiri menggunakan representasi sosial dengan menitikberatkan pada fungsi pengetahuan dan fungsi orientasi. Representasi sosial yang berfungsi sebagai pengetahuan akan mengungkap realitas yang dipahami anak tentang kekerasan, sedangkan fungsi orientasi akan mengarah pada sikap dan

  12 praktek yang dimiliki anak terkait kekerasan.

  Sikap dalam representasi sosial adalah sikap sosial, yakni suatu hasil konstruksi dan evaluasi terhadap suatu obyek pikiran. Sikap sosial terbentuk dari interaksi sosial yang dialami individu. Sikap sosial anak tentang kekerasan akan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan sosial, baik itu berupa informasi tentang kekerasan yang dimilik anak sendiri dan dibagikan anak pada anggota kelompok lain, atau informasi tentang kekerasan dari anggota kelompoknya yang dapat mempengaruhi sikap anak terhadap kekerasan (lihat Wagner, 1999).

B. Kekerasan B.1 Definisi Kekerasan

  Kekerasan sering diidentikkan dengan agresi. Banyak orang menganggap agresi sama dengan kekerasan sehingga terbentuk opini bahwa agresi sama destruktifnya dengan kekerasan. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa agresi tidak sama dengan kekerasan. Dalam tindakan agresi tidak selalu melibatkan kekerasan, tetapi dalam tindakan kekerasan hampir selalu melibatkan tindakan agresi (Poerwandari, 2004). Dalam hal ini kekerasan adalah tindakan yang disengaja ataupun tidak disengaja yang menyebabkan orang lain terluka bahkan sampai meninggal (Poerwandari, 2004). Seperti kekerasan, tindakan agresi pun tindakannya sama-sama disengaja ataupun tidak disengaja yang merugikan orang lain atau menyebabkan orang lain

  13 terluka bahkan kematian (Sears, Freedman, Peplau, 2004; Baron and Byrne, 2006; Fromm, 2008)

  Pembedaan dasar antara agresi dan kekerasan adalah pada tindakan dua sifat agresi yaitu agresi yang bersifat destruktif dan agresi yang bersifat konstruktif. Tindakan agresi bisa bersifat konstruktif ketika dilakukan sebagai upaya pembelaan diri atau melindungi diri (misalnya dari binatang buas, penjahat dan sebagainya) (Fromm, 2008; Poerwandari, 2004; Sears, Freedman, Peplau, 2004).