Deskripsi interaksi sosial pada anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga - USD Repository

  

DESKRIPSI INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK

YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

  

Program Studi Psikologi

Oleh :

Agustin Dwi Widowati

  

039114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  “Anak Belajar dari Kehidupannya” Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

  Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri

  Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

  Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

  Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar percaya

  Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,

  Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan… Dorothy Law Nolte

  

Se d ikit ra sa ke ma nusia a n sung g uh ja uh le b ih b e rha rg a d a rip a d a

se luruh p e ra tura n ya ng a d a d i d unia ini.

  (Jean Piaget)

  Sebuah karya kecil ini kupersembahkan untuk : Kedua orang tuaku sebagai tanda bakti dan cintaku Kakak dan adikku, teman-teman yang selalu mendukungku Serta,para pembaca karya ini

  

ABSTRAK

  Agustin Dwi W. (2008). Deskripsi Interaksi Sosial Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan Dalam Keluarga. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika interaksi sosial anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarganya. Perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak, yang dalam penelitian ini difokuskan pada masalah interaksi sosial anak dengan lingkungannya. Interaksi sosial terdiri dari kontak sosial yang berarti predisposisi sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, dan ada atau tidaknya komunikasi yang merupakan proses transmisi tanda atau pesan untuk dapat mengerti pandangan atau sikap dan pikiran orang lain yang berinteraksi, baik secara verbal maupun non-verbal.

  Penelitian ini merupakan penelitian kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian berjumlah tiga anak yang menjadi korban tindak kekerasan oleh keluarganya dan termasuk dalam rentang usia akhir masa kanak- kanak hingga memasuki masa pubertas. Data diperoleh dengan wawancara terhadap subjek dan significant other-nya, serta observasi terhadap perilaku subjek. Data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial anak cenderung terhambat saat berhadapan dengan orang dewasa yang tidak mereka percaya, walaupun anak sudah mengenal orang tersebut. Ketiga subjek menunjukkan bahwa mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun permasalahan yang mereka hadapi pada guru kelas dan pengasuh karena adanya perasaan takut dalam diri mereka. Hal tersebut menunjukkan adanya hambatan dalam hal komunikasi. Permasalahan subjek dalam hal kontak sosial salah satunya muncul dalam bentuk keengganan subjek untuk melakukan kontak fisik dengan orang dewasa. Di sisi lain, interaksi sosial anak dengan teman sebayanya tidak menemui hambatan yang berarti, baik dalam hal kontak sosial maupun komunikasinya. Jika berada di situasi atau tempat yang baru, subjek cenderung mengalami kesulitan beradaptasi dan menarik diri dari lingkungan barunya karena menyimpan kegugupan dan bahkan rasa takut.

  Kata kunci : interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, kekerasan terhadap anak

  Widowati, Agustin D. (2008). Social-Interaction Description Of Child Abuse’ Victim In The Family. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Psychology Program, Department of Psychology, Sanata Dharma University.

  This study aimed to represent the description of social interaction of children who experienced abuse in their family. It was possible that the abuse caused torment to them. It was not only physical and psychological, but also sexual which was able to obstruct their development process. That was why the writer focused this study on the problem of their social interaction with the surroundings. Social interaction consisted of social contact which meant predisposition of behavior that showed the children’ willingness in having contact with others, and the existence or non-existence of communication both verbal and non-verbal as a sign or massage of transmission process that helped to understand the others’ attitude and thought during the interaction.

  This was a case study which used qualitative approach. The subjects were three children at the age between child phase and puberty who experienced abuse in their family. The data was obtained through interview with the subjects and their significant other, and an observation of their behavior. It was then analyzed by arranging data systematically, coding, and interpretation in order to get deeper understanding.

  The final result showed that it occurred obstruction in social interaction of the subject when they were facing adults whom they did not trust, even they had known them. The three subjects showed that they did not able to express their thought, feeling, or even to tell the problem they were facing their teacher or nursemaid. It happened because of their anxious feeling. This showed the obstruction in communication. One of the social contact problems is the reluctance of subject in doing physical contact with adult. In contrast, it did not occurred great obstruction in the social interaction of three subjects with the peer, except when they were in a new place or new situation. They became have difficulty in adaptation and avoid themselves from the new situation. It happened also because of their anxious feeling.

  Key words : social interaction, social contact, communication, child abuse.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penulis menyadari bahwa selama penulisan karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan berupa bimbingan, dorongan, serta pengarahan dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

  1. Allah swt. yang selalu melimpahkan berkat dan anugerah-Nya, serta yang setiap saat selalu memberikan pengharapan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

  2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penulisan ini.

  3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah membantu dan membimbing penulis secara akademik baik di dalam maupun di luar kelas.

  4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi., M. Si., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, masukan, kritik, saran dan dukungan moril yang telah membuat penulis siap

  5. Bapak T. Priyo Widiyanto, M. Si. Selaku dosen pembimbing akademik sekaligus sebagai Kepala P2TKP, tempat penulis bekerja. Terima kasih atas segala bantuan dan bimbingan serta dukungan moril yang senantiasa menjadi kekuatan bagi penulis selama penulis kuliah dan bekerja di P2TKP.

  6. Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama studi di Fakultas Psikologi ini, terutama pada bu Ari dan bu Tanti yang telah menjadi dosen penguji hasil karya peneliti. Terima kasih atas kritik dan saran serta bimbingan dan arahannya yang dapat membantu peneliti meningkatkan kualitas hasil penelitian ini.

  7. Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan sabar membantu dan memberikan kemudahan bagi penulis selama proses studi penulis di Fakultas Psikologi.

  8. Mas Muji selaku petugas Laboratorium Fakultas Psikologi. Terima kasih untuk segala bantuan yang sudah diberikan pada penulis selama proses praktikum yang harus ditempuh penulis. Maaf mas Muj’ kalau saya banyak merepotkan selama jadi asisten praktikum.

9. Bapak Pranowo, S.H dan mbak Nita selaku staff dari Lembaga Perlindungan

  Anak Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LPA-DIY) dan semua pihak yang terkait di dalamnya yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan pada penulis selama proses penelitian skripsi ini berlangsung.

  10. Bapak dan ibuku tersayang atas segala doa, kesabaran dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis. Terima kasih juga atas rasa percaya yang diberikan dapat belajar untuk dapat lebih mandiri dan lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu. Skirpsi ini kupersembahkan untuk kalian berdua. I love u.

  11. Kakakku, Itha..makasie banyak buat semua dukungan yang kamu kasie, baik moril maupun materiil..he..terimakasie juga buat Ovien, adekku satu-satunya, untuk keceriaan yang kamu kasih ke aku selama aku ngerjain skripsi di rumah. Kamu salah seorang yang bisa membangkitkan semangatku karena bersedia jadi ‘tempat pelampiasan’.

  12. Anggota keluarga besarku, terutama eyang putri…terima kasih untuk doa, dukungan, perhatian yang selalu diberikan padaku.

  13. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2003, baik yang sudah lulus maupun yang belum lulus. Terima kasih atas pertemanan yang indah yang kita bangun selama ini. Aku juga akan berkata, “Sudah saatnya kita pindah dunia dan memperjuangkan masa depan kita di dunia yang baru, SYEMANGAT untuk kita semua!!!” 14. Teman-teman terbaikku di Psikologi: There, Poke, Noniek, Di2, Oied, Ana.

  Terima kasih atas jalinan indah yang telah kita rangkai bersama selama kita ada di Psikologi. Semoga mata rantai itu tidak akan pernah putus walaupun kita sudah punya jalan masing-masing.

  15. Teman-teman terbaikku di kos Pelangi: Us_teen, Aiu, Budheoja, Rista, Luchia Santi. Terima kasih atas pertemanan yang indah beserta keanehan-keanehan yang udah kalian tunjukkin ke aku. Berbagai masalah yang kita hadapi bersama sedikit banyak telah membantuku dalam proses pendewasaan diri.

  16. Teman-teman relawan gempa dari Fakultas Psikologi USD: Ana, Raniy, Nice, Andrian Liem, Astin, Jean, Baka, Om Ben, Melati, Miya dan semua nama relawan yang belum aku sebutin, termasuk juga bu Agnes dan Pak Adi sebagai koordinatornya. Terima kasih atas keakraban yang terjalin di antara kita dan semua proses pembelajaran yang sudah kita lalui bersama. Semua itu menjadi pengalaman berharga buatku.

  17. Teman-teman RASS baik angkatan lama seperti Haksi, maupun baru seperti Devi, termasuk juga Pak Heri dan Bu Titik selaku pembimbing. Terima kasih karena kalian telah bersedia bertukar pikiran denganku dan menambah wawasanku.

  18. Karyawan P2TKP: Pak Toni dan Bu Tiwi. Terima kasih untuk semua hal yang telah kalian ajarkan pada saya. Terima kasih juga pada mbak Tia yang bersedia mendengarkan curahan hati saya sebagai asisten dan memberikan masukan. Hal-hal itu dapat menjadi bekal yang berguna pada saat saya menginjakkan kaki di tempat yang lebih luas lagi.

  19. Asisten P2TKP angkt’06: Mas Adi, Mas Dezta, Mas Kobo, Mbak Lisna, Mbak Katrine, dll. Terima kasih atas berbagai hal tentang pekerjaan yang telah kalian tunjukkan padaku dan juga waktu yang telah kalian luangkan untuk bertukar pikiran denganku.

  20. Asisten P2TKP angkt’07: AB, Mas Obeth, Mbak Elvine, Mbak Ina, Tita, Ipoet. Terima kasih atas proses pembelajaran yang udah kita lalui bersama, walaupun kebersamaan kita relatif singkat (kecuali AB&maz Dezta yang

  21. Asisten P2TKP angkt’08: Ronce-Maronce, Budi, Astin, Weni, Lia, Tinul, Badai, Vania, Fani, Sri, Mita, Oied, Gothe, Atiek, Wulan, Betty. Terima kasih untuk kebersamaan yang indah dan menyenangkan selama kita bekerja bersama.

  22. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih pada teman-teman kecil di Trauma

  Centre (TC) dan juga para pembimbing, mbak Tanti, mbak Rini, mbak Gesti

  serta Bu Ana selaku kepala panti. Kalian telah mengajariku banyak hal yang berharga di luar kemampuan akademis dan kalian membuatku belajar memahami arti kesabaran dan hikmah dari setiap masalah dan penderitaan. Hal itu memberiku dorongan yang besar dalam hal pengembangan diri.

  23. Semua pihak yang belum disebutkan satu per satu di sini. Terima kasih atas dukungan dan perhatian kalian selama ini.

  Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca yang dapat menjadi masukan bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis menjadi lebih baik. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca dan bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan

  Penulis

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………….…………...ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….……………..iii HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………….…………...iv ABSTRAK ………………………………………….............................................……v ABSTRACT …………………………………………………………...……………...vi KATA PENGANTAR …………………………………………………..……………vii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………....……….…...xii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.........xiii DAFTAR ISI ……………………………………………………………..…………..xiv DAFTAR TABEL ………………………………………………………..……….....xvii DAFTAR GAMBAR...................................................................................................xviii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..…………..xix

  BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………...........1 A. Latar Belakang Masalah………………………………………….....………..1 B. Rumusan Masalah ……………………………………………….....………...7 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….....…………7 D. Manfaat Penelitian ………………………………………….....……………..8 BAB II. KAJIAN PUSTAKA ………………………………………….............……….9 A. Perkembangan Sosial Pada Anak……………………………………...……9 1. Definisi dan Karakteristik Akhir Masa Kanak-kanak..……………….....9

  B. Interaksi Sosial.............. ………………………………………….......……..14 1.

  Definisi Interaksi Sosial........ ……………………………………………14 2. Aspek Interaksi Sosial........………………………………………………16 3. Faktor-faktor yang Turut Membentuk Interaksi Sosial…………………..20

  C. Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) …………………………………...25 1.

  Pengertian Child Abuse...............................................................................25 2. Jenis-jenis Child Abuse...............................................................................27 3. Ciri-ciri Child Abuse...................................................................................32 4. Dampak Penyiksaan Terhadap Aspek Kehidupan Anak............................36

  D. Interaksi Sosial pada Korban Child Abuse…………………………………..38

  E. Pertanyaan Penelitian.......................................................................................44

  BAB III. METODE PENELITIAN …………………………………………..……….....45 A. Jenis Penelitian ………………………………………………..……….......45 B. Subjek Penelitian......................................................………………….........46 C. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional...………………..…............47 D. Metode Pengumpulan Data………………………………………..…….....49 E. Analisis Data …………………………………............................................54 F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data……………………..…….....56 1. Kredibilitas ……………………………………………………..……......56 2. Dependability ……………………………………………………....…....59 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………….………..…......…60 A. Persiapan Penelitian ………………………………………………...............60

  1. Alat Pengumpulan Data ………………………………………..…......…60

  C. Hasil Penelitian ..…………………………………………….….…......…….65

  1. Subjek 1 ………………………………………………………........……...65 a.

  Identitas……………………………………………………........……..65 b.

  Latar Belakang……………………………………………........……...66 c. Kontak Sosial……………………………………………….....…...….72 d.

  Komunikasi…………………………………………………........……81 e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial…......……….....……..….85

  2. Subjek 2 …………………………………………………….........…..…...88 a.

  Identitas……………………………………………………...........…..88 b.

  Latar Belakang……………………………………………….......…...89 c. Kontak Sosial……………………………………………….......…….93 d.

  Komunikasi………………………………………………….......…...101 e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial………………........…....105

  3. Subjek 3 ………………………………………………………......….….107 a.

  Identitas…………………………………………………......…….…107 b.

  Latar Belakang……………………………………………......….….108 c. Kontak Sosial……………………………………………….......…...116 d.

  Komunikasi………………………………………………......….…..128 e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial……………......….…...133

  D. Pembahasan ……………………………………………………......……..141

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………..…………….....….165 A. Kesimpulan …………………………………………..………….....…….165 B. Keterbatasan Penelitian..............................................................................166

  DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Panduan Wawancara..................................................................................51Tabel 3.2. Kode Organisasi Data................................................................................55Tabel 4.1. Proses Pengambilan Data …………………………………………….....63Tabel 4.2. Ringkasan Analisis Hasil Penelitian Subjek 1, Subjek 2, dan

  Subjek 3............................…………………..................................………135

  DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Terhambatnya Interaksi Sosial Anak Korban Child Abuse................43Gambar 4.1. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 1.............................................................152Gambar 4.2. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 2.............................................................158Gambar 4.3. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 3.............................................................164

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 1 …………………………………168 Lampiran 2. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 1……………………………...184 Lampiran 3. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 1………………………….192 Lampiran 4. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 2 ………………………………….209 Lampiran 5. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 2……………………………....223 Lampiran 6. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 2…………………………..232 Lampiran 7. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 3 …………………………………..252 Lampiran 8. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 3……………………………....272 Lampiran 9. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 3…………………………..287

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini semakin banyak kasus kekerasan terhadap anak yang telah

  terungkap walaupun di balik itu masih banyak pula yang tidak terlihat sama sekali. Hal tersebut merupakan fenomena masalah sosial kritis di Indonesia yang beritanya telah banyak beredar di berbagai media. Hal tersebut menggambarkan betapa tragisnya kondisi anak-anak dengan berbagai macam kasus tindak kekerasan, penganiyayaan dan pengabaian. Dalam hal ini telah banyak pula pakar hukum, psikologi dan pekerja sosial yang angkat bicara seperti Drs. Soetarso, MSW (dalam Huraerah, 2006), seorang Pakar Profesi Pekerjaan Sosial:

  Permasalahan anak sangat dramatis dan memilukan, karena dialami oleh manusia yang kemampuan fisik, mental, dan sosialnya masih terbatas untuk merespon berbagai risiko dan bahaya yang dihadapinya. Lebih tragis lagi jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogianya berperan mengasuh dan melindungi anak, terutama orang tua/ keluarga .

  Keluarga merupakan tempat berlindung paling aman bagi anak, tempat anak dapat bebas bermain, belajar, bercanda dalam keceriaan, dan kasih sayang. Namun di sisi lain, keluarga dapat berubah menjadi tempat yang paling berbahaya, tersembunyi, dan aman bagi tindak kekerasan terhadap anak. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk kekerasan mencerminkan kasih sayang terhadap anak. Tindakan kekerasan ini dapat menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak. Kekerasan terhadap anak biasanya berupa memarahi secara berlebihan, memaki, membentak dan menghina, bahkan sampai melakukan hubungan seksual dan membunuh (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

  Dari waktu ke waktu tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga semakin bertambah jumlahnya. Menurut sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YCAI), sebatas yang terekspos di media massa, ditemukan kecenderungan terjadinya peningkatan secara kuantitas tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Pada tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995 meningkat menjadi 421 kasus, dan pada tahun 1996 melonjak menjadi 476 kasus (Suyanto, dkk; dalam Ikawati dan Rusmiyati, 2003). Hasil identifikasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur pada tahun 2000, menemukan dalam tiga tahun terakhir paling tidak telah terjadi 300 lebih kasus child abuse. Yang mengherankan, justru sebagian besar pelakunya adalah orangtua korban. Jadi, keluarga dapat menjadi tempat paling berbahaya bagi kelangsungan hidup, perkembangan, dan perlindungan anak (Suyanto, 2005).

  Pola pengasuhan otoriter yang mendisiplinkan anak dengan tindakan kekerasan masih sering ditemukan dalam tatanan masyarakat modern. Mereka adalah para orang tua yang merasa berhak untuk mendisiplinkan anak dengan tatanan masyarakat cara ini memang masih bisa diterima selama anak yang dinilai nakal membuat orang tua tidak memiliki pilihan lain untuk mendisiplinkannya selain dengan tindakan kekerasan, tentu saja tindakan kekerasan pada tahap ini menjadi alternatif terakhir bila seorang anak sulit didisiplinkan.

  Namun, dalam banyak kasus tindak kekerasan sering dijadikan alasan sebagai penyelesaian utama untuk mendisiplinkan seorang anak, terlebih bila para orang tua menganut pola asuh otoriter yang keras. Hal ini mengantarkan penelitian pada fakta tentang bagaimana seharusnya seorang anak diperlakukan. Berdasarkan suatu alasan tertentu seorang ibu, ayah atau pengasuh lain memukul anak secara terus-menerus sebagai pelampiasan beban mental yang dialaminya. Keberadaan seorang anak yang belum memiliki cukup banyak daya untuk melawan, dipilih dan dijadikan sasaran tindakan kekerasan, seperti yang telah diungkapkan oleh Valerie Bivens (dalam Huraerah, 2006) yang merupakan seorang Pekerja Sosial sekaligus anggota

  , California:

  Sosial Worker for Child Protective Service

  Bagaimanapun kita tidak boleh melupakan puluhan ribu anak lain yang tidak mampu bertahan mengalami perlakuan buruk, dan jutaan anak lainnya yang sampai saat ini masih menderita. Satu-satunya obat bagi wabah child abuse ini adalah mencegahnya agar tidak terjadi.

  Banyak kasus kekerasan yang terjadi saat ini termasuk juga kekerasan pada anak seperti yang sudah disebutkan di atas. Kekerasan pada anak bisa bermacam-macam jenisnya antara lain, dipukul, ditampar, dihina, diancam, diacuhkan, tidak dibiayai, dilempar dengan benda, dibatasi pergaulannya, tidak boleh berhubungan dengan keluarga lain, dan diperkosa.

  Efek psikologis tindak kekerasan terhadap anak dapat mengakibatkan terjadinya trauma psikologis seperti ketegangan, kecemasan, timbulnya rasa takut dan malu, tidak bersemangat, tidak dapat konsentrasi sehingga ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya. Anak juga dapat merasa tertekan, stres bahkan pada tingkat depresi, anak bisa mencederai diri bahkan bunuh diri. Selain itu, anak akan merasa tidak aman sehingga lari dari rumah atau berperilaku nakal (delinquent) sebagai bentuk penyaluran rasa aman.

  Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah anak tidak mau keluar rumah karena mengalami kesulitan dalam berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain khususnya teman sebaya. Dampak psikologis lainnya adalah adanya perubahan perilaku pada anak seperti pasif, anak menjadi pendiam, penurut, apatis atau sebaliknya anak menjadi agresif. Gangguan tidur, mimpi buruk, takut pada benda tertentu atau tempat tertentu juga sering menyertai anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

  Keadaan-keadaan tersebut di atas apabila dibiarkan akan menghambat tumbuh kembang anak secara wajar. Sementara itu, menurut teori perkembangan, pembentukan kepribadian seseorang dimulai sejak ia masih anak-anak dan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah perlakuan yang diterimanya pada masa anak-anak. Sehubungan dengan hal itu, anak selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik dengan memenuhi berbagai terpenuhinya kebutuhan anak dapat menyebabkan terganggunya perkembangan kepribadian mereka. Jika perkembangan pembentukan kepribadian mereka terhambat, maka aspek perkembangan lainnya dalam diri anak tersebut juga ikut terhambat misalnya aspek perkembangan sosialnya.

  Hal tersebut disebabkan kepribadian yang terbentuk mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku pada saat ia berinteraksi dengan lingkungannya. Namun, pada kenyataannya masih banyak warga masyarakat belum menyadari tentang hal tersebut dan melakukan tindakan menyakiti anak, sehingga mengakibatkan anak tidak terpenuhi kebutuhannya, bahkan anak juga mendapatkan perlakuan buruk dari orangtua atau orang dewasa lainnya (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

  Kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari hubungan antar individu karena kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa orang lain. Interaksi sosial antara individu satu dengan individu lain dapat ditimbulkan oleh adanya pembandingan diri dengan orang lain (Sugiarto, Prambahan, dan Pratiti, 2004). Terjalinnya hubungan sosial sangat penting bagi tumbuh kembang anak karena dari sanalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam diri mereka berkembang. Seperti yang juga diungkapkan oleh Singgih (1980) bahwa anak usia 6-11 tahun merupakan usia kritis baik menyangkut masalah psikologis, fisik maupun sosial. Anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan dari kebutuhan akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain, dan oleh karena itu akan terganggu hubungan sosialnya di kemudian hari.

  Dalam bukunya, Santrock (2002) menyebutkan bahwa anak-anak harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang-orang dewasa di luar keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, interaksi dengan orang-orang dewasa di luar keluarga melibatkan orientasi pengendalian dan prestasi yang lebih formal.

  Jika seorang anak tidak dapat ‘menerima’ tindak kekerasan yang ia alami maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan merasakan ketakutan yang menyebabkan ia tidak mau bertemu dan berinteraksi dengan orang lain terutama orang dewasa yang dapat mengingatkannya pada peristiwa kekerasan tersebut. Selain itu, mungkin juga bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk berteman dengan anak-anak sebayanya karena ia merasa malu dan berbeda dengan yang lain apalagi jika ia mendapat cacat yang permanen pada tubuhnya. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika ia mengalami trauma akibat peristiwa itu, akan semakin sulit baginya untuk dapat percaya pada orang lain dan lingkungannya, apalagi sampai berinteraksi dan berkomunikasi terutama dengan banyaknya media massa yang terus menerus menyiarkan berita tentang peristiwa yang ia alami tersebut.

  Dalam penelitian ini, ditemukan tiga orang anak sebagai subjek. Mereka merupakan anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan dari pihak masa kanak-kanak, kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial dengan orang lain sangatlah penting dan dalam masa pubertas, anak diharapkan sudah memiliki relasi sosial yang baik dengan orang lain.

  Melihat besarnya pengaruh negatif yang dapat timbul pada anak korban kekerasan, maka peneliti tertarik mengangkat tema tersebut untuk melihat bagaimana interaksi anak yang menjadi korban kekerasan dengan orang lain dan lingkungannya sebagai salah satu aspek perkembangan yang dapat terganggu, dengan harapan agar kasus kekerasan pada anak dapat dihindari.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah interaksi sosial yang ditunjukkan oleh anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga?” C.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian kasus ini bertujuan untuk memahami dan memberikan penjelasan mengenai interaksi sosial yang muncul pada anak korban kekerasan dalam keluarga dengan sekitarnya (teman sebaya, saudara, orang tua atau orang dewasa lain di sekitarnya).

D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini dikelompokkan dalam :

  1. Manfaat Teoretis Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi, yaitu psikologi sosial dan psikologi perkembangan khususnya mengenai interaksi sosial pada anak yang mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.

  2. Manfaat Praktis Secara khusus, manfaat praktis di bagi menjadi dua bagian yaitu: a. Bagi masyarakat umum

  Dipandang dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dampak yang dialami anak korban kekerasan terutama mengenai interaksi sosialnya, sehingga bisa menjadi referensi bagi orang-orang yang mengalami ataupun mengetahui adanya kasus serupa, supaya child dapat dicegah atau dikurangi frekuensinya.

  abuse b.

  Bagi lembaga terkait (Lembaga Perlindungan Anak Propinsi DIY) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu petugas LPA dalam menangani suatu kasus kekerasan terhadap anak dan lebih khusus lagi, pada saat berhadapan dengan korban atau yang disebut klien, dalam memberi perlakuan terhadap klien berhubungan dengan interaksi klien dalam lingkup sosialnya.

BAB II DASAR TEORI A. Perkembangan sosial pada anak 1. Definisi dan karakteristik akhir masa kanak-kanak Masa akhir anak-anak (late childhood) ialah periode perkembangan

  yang merentang dari usia kira-kira 6 hingga 11 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar; periode ini kadang-kadang disebut “tahun-tahun sekolah dasar”. Keterampilan-keterampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaannya (Santrock, 2002). Hurlock (1980) menyebutkan bahwa akhir masa kanak- kanak (late childhood) berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhirnya, masa kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.

  Pada masa ini, perkembangan kognitif anak sudah semakin matang, yang ditandai oleh perubahan kemampuan intelektual. Atensi (perhatian) meningkat secara dramatis. Memori jangka panjang bertambah seiring dengan pertambahan usia. Informasi yang diterima anak dapat diorganisasikan secara spontan untuk diingat. Kemampuan berbahasa anak semakin maju. Penalaran logis dan keterampilan analitis yang dimiliki Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Akhir masa kanak-kanak merupakan periode pertumbuhan yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum anak secara seksual menjadi matang pada saat mana pertumbuhan berkembang pesat (Santrock, 2002). Berakhirnya masa kanak-kanak dan mulai masuknya anak pada masa pubertas berbeda pada anak laki-laki dan anak perempuan. Rata-rata anak perempuan memasuki masa pubertas pada usia 9-11 tahun sementara anak laki-laki memasuki masa pubertas pada usia 12-15 tahun. Pada masa ini, perkembangan sosial anak ditunjukkan salah satunya dengan hubungan antar teman sebaya yang sudah lebih intim (Papalia, Olds & Feldman, 2004)

  Ketegangan emosional merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik. Anak yang hidup dengan tenang tumbuh lebih cepat daripada anak yang mengalami gangguan emosional, meskipun gangguan emosional lebih banyak mempengaruhi berat badan daripada tinggi badan. Sebagai tambahan, pada tahap selanjutnya, yaitu tahap pubertas akan ditandai dengan adanya krisis (Hurlock, 1980).

2. Tugas perkembangan

  Setiap tahap perkembangan yang dialami oleh seorang anak dari bayi hingga dewasa memiliki tugas perkembangan masing-masing yang tersebut pada saat ini. Kegagalan dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit diterima oleh kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman-teman sebaya yang sudah menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut.

  Menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1980) tugas-tugas perkembangan pada anak-anak di kelompok umur 6-12 tahun yaitu: a.

  Belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar bisa melaksanakan permainan atau olahraga yang biasa b.

  Membentuk sikap-sikap tertentu terhadap dirinya sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang c.

  Belajar bergaul dengan teman-teman seumurnya d. Mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung e.

  Mengembangkan nurani, moralitas dan skala nilai f. Memperoleh kebebasan pribadi g.

  Membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan institusi Anak-anak diharapkan mampu melewati dan menyelesaikan tugas- tugas perkembangannya. Dalam penelitian ini, difokuskan pada tugas perkembangan yang berkaitan dengan interaksi sosial anak. Setelah memasuki masa pubertas, interaksi sosial masih dipandang sebagai faktor penting dalam proses pertumbuhannya dan pada masa ini, anak diharapkan

3. Aspek emosi dan sosial pada anak

  Akhir masa kanak-kanak sering disebut sebagai “usia berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya (Hurlock, 1980).

  Di akhir masa kanak-kanak ini, relasi keluarga dan teman-teman sebaya memainkan peran yang sangat penting, anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, yaitu lingkungan sekolah serta teman-temannya. Anak mulai mengembangkan ketrampilan interpersonal, misalnya dengan menjalin hubungan persahabatan yang intim.

  Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolah raga dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin kuat. Hal ini berlaku baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.

  Hurlock (1978) dalam bukunya yang berjudul Child Development mengungkapkan bagaimana emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Dua diantara yang disebutkan adalah bahwa emosi mewarnai peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia. Selain itu, disebutkan juga bahwa emosi mempengaruhi interaksi sosial. Semua emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui emosi, anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial.

  Pada anak usia sekolah, pengalaman emosi menjadi semakin spesifik dan rumit. Pengalaman emosi menjadi semakin beragam seperti kecemasan, kemarahan, agresi, kegembiraan, humor dan cinta. Keluarga dan teman sebaya merupakan agen penting dalam sosialisasi. Interaksi anak dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk membagikan pengalaman, bekerja sama, mencapai tujuan. Pada masa ini pula anak belajar untuk mengendalikan reaksi emosinya dengan cara atau tindakan yang dapat diterima oleh lingkungan. Moral dan pemahaman dirinya mulai berkembang. Oleh karena itu, sudah memungkinkan bagi orang tua untuk mengajarkan anak tentang pengendalian perilaku, disiplin, maupun tentang tanggung jawab. Orang tua dapat menuntun anak untuk memantau perilakunya sendiri, menghadapi standar-standar perilaku yang sesuai, dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan (Hurlock, 1978).

  Anak-anak harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang- orang dewasa di luar keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi anak-anak. Dari perspektif kognitif sosial, anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif sosial yang memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (Kelly & de Armas, 1989; Weisberg, Caplan, & Sivo, 1989 dalam Santrock, 2002).

  Satu investigasi mencoba menyelidiki kemungkinan bahwa anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif sosial yang diperlukan bagi interaksi sosial yang positif (Asarnow & Callan; dalam Santrock, 2002).

  Hurlock (1978) membahas mengenai perkembangan sosial pada masa puber. Dengan dimulainya masa puber timbullah perubahan pada sikap sosial, kemunduran minat terhadap aktivitas kelompok, dan kecenderungan untuk menyendiri. Pada masa puber, kemajuan dan perubahan meningkat, serta sikap dan perilaku sosial semakin meningkat ke arah antisosial. Pada masa ini pola perkembangan sosial terganggu.

B. Interaksi Sosial 1. Definisi Interaksi sosial

  Dalam pengertian secara umum, interaksi merupakan satu relasi antara dua sistem dan sistem yang terjadi sedemikian rupa sehingga kejadian yang berlangsung pada satu sistem akan mempengaruhi kejadian yang terjadi pada sistem lain, dapat pula didefinisikan sebagai satu pertalian sosial antar individu sedemikian rupa sehingga individu yang sedangkan interaksi sosial menurut Mar’at (1982) adalah suatu proses perhatian dan respon seseorang terhadap rangsangan atau stimulus dari orang lain. Bonner (dalam Gerungan, 1996) menyebutkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu/ lebih sehingga individu yang satu akan mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku yang lain atau sebaliknya.