MeRasul Edisi 06 (Jan – Feb 2015)

  No. 6 Januari - Februari 2015

Tahbisan Imamat Dua

Diakon CICM

  Gua Maria Puhsarang Ziarah Demi Keindahan Gereja Komunitas Mensyukuri Kegetiran Hidup Perjuangan Hidup Kegembiraan Itu Sederhana

  Pelatihan Opini Tiada Bersyukur Tanpa Peduli

  • - -

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  3 Daftar Isi Dongeng Anak

  50-51 Daftar Isi

  Surat Pembaca Opini Q uiz Kata

  5 36-37

  52 Dari Redaksi Perjuangan Hidup Siapa Dia/ Lomba Foto

  6 38-39

  53 Siapa Dia

  Lomba Foto

  Sajian Utama 8-17

  C erpen 54-55

  Gultom Resensi

  56 Komunitas 40-41

  Tahbisan Imamat Dua Diakon CICM

  Santo - Santa

  57 Profil Konsultasi Keluarga 18-19

  58 Berita Konsultasi Kesehatan 20-35

  43

  20 Donor Darah Paroki Sathora

  Bazar di Notre Dame

  Konsultasi Iman

  44 Kunjungan Kapolsek Cengkareng E

  21 Kegembiraan Itu Sederhana

  Pelantikan Pengurus Komunitas Lansia

  22 “Krontjong Toegoe” Ramaikan Natalan Konsultasi Karir

  45 Kebersamaan Seksi Katekese

  23 Semarak Tutup Tahun OMK Sathora

  Anak-anak pun Menghibur Opa-Oma

  Refleksi

  46

  24 Perayaan Natal Wilayah Yosef

  Natalan Lingkungan Matius 1

  25 Jadwal Baru Misa di Notre Dame Khasanah Gereja

  Dari Misa Hingga Kejutan Ulang Tahun

  47

  26 Raker WKRI Cabang Sathora

  27 Pembaptisan Sebelas Balita

  Pembentukan Forum Komunikasi LH

  Z iarah 48-49

  28 Tiada Bersyukur Tanpa Peduli

  29 Keluargaku, Surgaku

  30 Pelatihan Opini

  31 Nada Untuk Asa

  32 Selamat Ulang Tahun ke 31, Romo Aldo

  Banjir, Lokasi Tahbisan pun Pindah

  33 Terima Kasih Cinta

  34 Pengobatan Gratis PSE

  PSE Bagi-bagi Nasi Bungkus

  Gua Maria Puhsarang

  Putus Asa? Silakan Hubungi SOS Doa EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  • - -

  4 ASUL M E R F

Semakin Hidup dengan Dinamika Rubrik

Lagi, Proficiat untuk Merasul

  Majalah ini sangat menjangkau semua kalangan; dari usia remaja hingga usia tua karena artikel- artikelnya sangat beragam. Bagi pembaca yang sedang menapaki dunia kerja, ada rubrik “Konsultasi Karir” sehingga mereka bisa belajar untuk menjadi karyawan yang baik dan melihat kesempatan atau peluang dalam meniti karir. Ada rubrik “Konsultasi Kesehatan” yang berisi informasi penting untuk menjaga dan menghindari penyakit-penyakit berbahaya.

  Lifestyle Magazine) Ibu Stefani Ytk, dukungan Ibu sungguh menyemangati kami semua untuk bekerja dengan lebih baik dan baik lagi. Melihat profesi Ibu sebagai Vice editor-in-chief majalah Indodent (Indonesian Dentist Lifestyle Magazine), kami akan gembira sekali bila Ibu bersedia memperkuat tim Merasul kita ini. Terima kasih banyak atas dukungan doa dari Ibu.

  Stefanie Adityavarna Vice editor-in-chief Majalah Indodent (Indonesian Dentist

  Besar rasa optimisme saya terhadap Merasul agar dapat berkembang terus dan tetap konsisten dalam sajian-sajian tulisan maupun kreativitas yang membuat sebuah media dapat diterima dari masa ke masa, dari segala kalangan usia, maupun golongan. Proficiat atas kerja keras tim Merasul!

  Saya juga terkesan akan tampilan Merasul, yang semakin hidup dengan dinamika rubrik yang ada. Khususnya, pada Edisi November-Desember 2014, Merasul menghadirkan Kaleidoskop oMK Sathora 2014. Sungguh merupakan hal yang unik bagi sebuah sajian akhir tahun; menyoroti rangkaian kegiatan orang Muda Katolik yang merupakan masa depan Gereja. Rubrik lain yang mencuri perhatian saya adalah kisah perjuangan Ibu Atin dan Tongkatnya yang Setia. Kisah yang inspiratif, nyata, dan menggugah iman kita bahwa kehidupan tidak akan terlepas dari rasa syukur, perjuangan, dan pelayanan.

  SAYA sudah mengenal Majalah Merasul sejak edisi perdana hingga saat ini. Saya merasa sungguh bangga dengan majalah ini karena saya memahami bahwa hadirnya sebuah media, khususnya media cetak untuk menjadi wadah inspirasi dan pewartaan umat, bukanlah hal yang sederhana. Menghadirkan sebuah majalah dwibulanan untuk umat paroki, terlebih mempertahankan kesinambungannya, merupakan sebuah panggilan sekaligus tantangan tersendiri bagi setiap personil yang terlibat di dalamnya, baik secara langsung maupun tak langsung.

  Cecilia  Umat Lingkungan Klara V Usulan ibu Cecilia boleh juga. Kami akan mencoba meminta pihak penyelenggara seminar atau para narasumbernya untuk mengisi rubrik ini. Terima kasih banyak, bu Cecilia.

  Dengan hadirnya Majalah Merasul, warga Paroki St Thomas Rasul mendapatkan informasi-informasi penting seputar kegiatan-kegiatan di paroki kita. Pertahankan terus majalah ini dan tingkatkan apa yang sudah baik ini agar semakin menarik bagi pembaca.

  Jika Majalah Merasul memuat artikel tentang seminar tersebut, maka akan menjadi berkat bagi banyak orang yang membacanya.

  Secara garis besar, majalah ini sudah baik, tata letaknya juga sudah menarik. Saya mengusulkan agar Merasul memuat artikel mengenai seminar-seminar yang sering diadakan di Gereja St Thomas Rasul.  Seringkali saya ingin mengikutinya, misalnya Seminar Kitab Wahyu, tapi karena berbenturan waktu maka saya tidak bisa ikut.

  Saya senang membaca artikel- artikel yang disajikan oleh Merasul. Saya dapat mengetahui orang- orang yang berperan dalam Gereja, kegiatan-kegiatan yang ada di Gereja St Thomas Rasul, dan juga orang- orang yang sering kita lihat tetapi tidak kita kenal yang ada di sekitar paroki kita.

  E Surat Pembaca

  SECARA pribadi, saya mengucapkan selamat datang kepada Majalah Merasul dan proficiat bagi semua timnya. Walaupun usianya baru menginjak tiga tahun, isi majalah ini cukup beragam sehingga pembaca dapat memilih bacaan yang disukainya.

  Lingkungan Elisabeth-7 Terima kasih banyak, Ibu Virginia yang baik! Saran Ibu mengenai kisah dapur redaksi dapat kami usahakan dengan senang hati. Sekiranya Ibu mempunyai suatu tulisan entah berupa pengalaman pribadi yang berkesan, cerita pendek, humor, dll, untuk dibagikan pada teman-teman di Sathora, kami akan menerimanya dengan senang hati.

  Selamat berkarya! Virginia Lo

  Maka, seyogianya kita bersyukur akan hadirnya Gereja Sathora yang indah, aman, dan damai di Kompleks Bojong Indah. Mungkin sesekali dapat juga ditampilkan bagaimana persiapan para “koki” Merasul  ”memasak dan meramu” majalah ini sebelum sampai ke tangan pembaca.

  Pengalaman Romo Herman di Papua membuka mata kita akan kehidupan berparoki di daerah yang keadaannya sama sekali lain dengan paroki kita.

  Saya tergugah oleh kisah Atin yang berjuang dengan tongkatnya dalam ganasnya kehidupan Ibu Kota; sesuatu yang jarang disorot. Padahal Atin hidup dan tinggal di dekat kita.

  Tentu hal ini tidak luput dari kerja keras seluruh tim. Proficiat! Isinya memang sangat bervariasi, mulai dari berita kegiatan berbagai kelompok, profil tokoh, sorotan kelompok kategorial, dan tidak ketinggalan cerpen dan pengasah otak.

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  • - -

  M E R ASUL

  F Dari Redaksi Terus Menambah Jam Terbang

  Media Inspirasi & Pewartaan Paroki St. Thomas Rasul Bojong Indah

  Penasihat

  Rm. Gilbert Keirsbilck, CICM A Bobby Pr

  Pemimpin Umum / Pemimpin Perusahaan

  Albertus Joko Tri Pranoto

  E Pemimpin Redaksi

  TING ... “Hari ini raboan seperti biasa.” George Hadiprajitno

  Pesan singkat dari Berto selaku Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan MeRasul, selalu muncul setiap Rabu entah pagi atau siang hari. Biasanya dijawab oleh para anak buahnya dengan kata “Hadir” atau “Mohon maaf, saya ada

  Redaktur

  urusan…”. Jadi, setiap Rabu sekitar pukul 19.30 WIB, para anggota redaksi MeRasul Aji Prastowo berkumpul. Pada umumnya berkisar delapan sampai sepuluh orang yang datang.

  Antonius Effendy Perbincangan dalam setiap rapat raboan adalah dapur tempat mengolah naskah

  Anastasia Prihatini yang akan dimuat. Yang jelas, Patricia, yang paling belakang “mumet”. Sebab Astrid Septiana Pratama redaktur artistik ini kebagian menggarap paling akhir. oleh karena itu, kami semua

  Clara Vincentia Samantha bisa mengerti dengan penuh kasih sayang, bila ia berteriak-teriak di grup MeRasul Ekatanaya A menagih setoran tulisan.

Lily Pratikno

  Dalam pertemuan raboan lalu, Sinta Monika, salah satu redaktur, menyeritakan Maximilliaan Guggitz informasi yang diperoleh. “Ini ada yang cerita dari japri bahwa Quiz Kata

  Nila Pinzie menjembatani jalinan kasih antara suami dan istri, karena mereka berdua saling Penny Susilo berlomba memperoleh kata sebanyak mungkin dari quiz tersebut.” Huiii….!

  Sinta Monika Siapa yang menyangka, bahwa sekadar permainan kecil dapat berjasa bagi relasi sepasang suami-istri?

  Ada lagi kabar tak terduga, bahwa tulisan Anton tentang Perjuangan Hidup

  Redaktur Artistik

  tentang Atin ternyata berhasil menggugah perasaan banyak orang. Bahkan ada Patricia Navratilova yang berkeinginan berbuat sesuatu untuk Atin!

  Bagi kami kedua reaksi di atas menjadi kebahagiaan dalam menjalankan tugas penerbitan MeRasul. Reaksi positif dari para pembaca seakan menjadi vitamin

  Redaktur Foto penyegar yang menyemangati para redaktur MeRasul.

  Matheus Haripoerwanto Pembaca yang budiman, Sabtu, 7 Februari lalu, kami mengadakan pelatihan penulisan opini, khusus untuk awak redaksi saja. Tutorial ini diberikan oleh Ignatius Haryanto, kolomnis

Alamat

  di berbagai media nasional. Tujuannya adalah untuk terus meningkatkan GKP Paroki Santo Thomas Rasul kemampuan menulis sehingga dapat memberikan yang terbaik untuk Anda.

  Ruang 213 Jln. Pakis Raya G5/20 Bojong Indah Dalam pelatihan para peserta belajar tentang teori penulisan dan praktiknya. Cengkareng, Jakarta Barat 11740

  Hasil latihan para pesera tidak disia-siakan oleh Nila Pinzie, redaktur opini. Dia Telp. 021 581 0977, 021 581 1602; Fax. meminta bahan praktik itu untuk tabungan edisi-edisi mendatang. 021 581 0978, HP : 0818 876 692 (SMS)

  Kami menyadari untuk terus menerus menambah kemampuan kami. Selain dengan menambah jam terbang, kami juga perlu mengisi ketrampilan kami sebelum berbagi dengan Anda. Tentu segala masukan yang Anda berikan akan

  Email semakin menambah semangat kami untuk terus berkarya lewat MeRasul. Email : [email protected]

  Salam hangat dari kami selalu, Redaksi EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  • - -

  6 ASUL M E R

  • - -

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  7

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  Sajian Utama Sajian Utama

Tahbisan Imamat Dua

Diakon CICM

  M E R ASUL EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  Tahbisan Imamat dua diakon CICM [Foto: Ade]

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015 kamu akan melihatnya” (Yohanes 1 : 39), yang dalam bahasa Spanyol “Vengan y lo veran”. Tema ini memiliki arti penting bagi keduanya, yang diungkapkan dalam sharing pengalaman dan renungan mereka.

  Panitia mengundang 87 pastor untuk menghadiri tahbisan ini. Terlihat saat persiapan, sekitar 60 pastor yang sudah memakai stola dan kasula yang disediakan panitia, mengikuti prosesi Misa masuk menuju altar gereja. Begitu juga dengan umat yang hadir yang memenuhi kursi, seolah tidak terganggu oleh situasi yang terjadi akibat perubahan tempat. Umat hadir sebagai saksi dalam perhelatan tahbisan imamat. Mereka mengikuti Misa dengan antusias hingga acara selesai.

  Penumpangan tangan [Foto: Ressa]

  Saat Rinu duduk di bangku SD, wali kelasnya menanyakan kepadanya apa cita-citanya. Dengan tegas, Rinu kecil menjawab akan menjadi pastor. “... senang saja melihat seorang pastor memimpin Misa, dengan jubah dan kasula yang besar. Setidaknya, bisa dijadikan selimut pada malam hari. Maklum, kampung saya merupakan daerah yang lumayan tinggi dan dingin,” begitu Rinu menceritakan masa

  Sedangkan Pastor Florianus Rinu Matte adalah putra asli Toraja. Sejak kecil, ia sudah berminat menjadi imam.

  Satu hal yang membuat seorang misionaris bahagia dalam hidupnya, bertahan dalam panggilannya, dan sukses dalam karyanya, bukan soal pencapaian dan target tetapi semangat berjalan bersama dalam panggilan.

  Jawaban untuk bisa bergabung dengan CICM diterimanya pada Maret 2004. Dan 1 September 2004 adalah hari pertamanya mengikuti Tahun orientasi Rohani (ToR) CICM di Makassar. Setelah beberapa tahun menjalani pendidikan di Indonesia, Fr. Gusty menjalani program internship di Republik Dominika. Tahun 2015, ia kembali ke Indonesia; siap untuk ditahbiskan menjadi imam. Pasca tahbisan, Pastor Gusty akan kembali bertugas di Republik Dominika, dengan semangat iman, pelayan sebagai misionaris yang baik, tulus, handal, dan bersemangat.

  Namun, ia baru melamar pada Februari 2004. Ternyata, rentang waktu hampir setahun menghasilkan buah. Roh Kudus menuntun Gusty untuk meniti panggilannya sebagai calon imam.

  Semboyan yang dipilih oleh kedua diakon untuk tahbisan, “Marilah dan CICM bermula pada awal tahun 2003.

  Arti Penting

  Aksi Panitia Tahbisan Imamat yang cepat memindahkan lokasi merupakan keputusan yang tepat, dari berbagai pilihan untuk tetap melaksanakan atau menunda tahbisan. “Mendadak Tahbisan”, begitu barangkali judul yang cocok jika kisah ini dibuat film.

  Congregatio Immaculati Cordis Mariae atau Tarekat Hati Tak Bernoda Maria (CICM) menghantarkan dua diakonnya, yaitu Agustinus Panggul CICM dan Florianus Rinu Matte CICM menjadi imam. Peristiwa itu seolah menguatkan semboyan Tarekat CICM: “Cor unum et Anima una” atau Sehati dan Sejiwa, yang jika diterjemahkan berarti mengembangkan relasi antarsesama, yang menggambarkan persaudaraan, pelayanan kasih, kesatuan hati dan pikiran.

  Thomas Rasul Bojong Indah, Jakarta Barat. Apa yang terjadi ? Beberapa jam sebelum acara diselenggarakan, terjadi sesuatu yang luar biasa! Dengan gerak cepat tahbisan imamat berpindah lokasi. Ketua Panitia Tahbisan, Anna Tedjasukmana, disertai Dewan Paroki Sathora akhirnya mengambil keputusan memindahkan lokasi penahbisan ke Gereja Paroki St. Laurentius Alam Sutera, setelah mereka mempertimbangkan situasi terakhir; banjir sampai pagi. Dikhawatirkan kondisi ini dapat membatalkan acara.

  Mengapa acara berlangsung di Gereja Laurentius Alam Sutera? Padahal rencana semula di Gereja St.

  Ignatius Suharyo.

  Bertempat di Gereja St. Laurentius Alam Sutera, Serpong, Selasa, 10 Februari 2015, Diakon Agustinus Panggul CICM dan Diakon Florianus Rinu Matte CICM menerima tahbisan imamat dari Uskup Agung Jakarta, Mgr.

  TAHBISAN Imamat bagi para calon imam menjadi peristiwa yang dinanti. Momen yang tidak terlupakan seumur hidup, menjadi peristiwa manis, awal memasuki babak sebagai imam tertahbis, biarawan, penerus kabar gembira, dan pembawa warta sukacita.

  Pastor Agustinus Panggul adalah putra Manggarai, Flores. Ketertarikannya pada Kongregasi

  Siapakah Mereka?

  Pastor Daru CICM, salah satu undangan yang hadir, mengatakan bahwa tahbisan ini dihadiri oleh seluruh pastor CICM Indonesia yang berjumlah 30 orang. Sama seperti saat berlangsung tahbisan imamat tahun lalu, di Gereja Salvator Slipi, mereka juga hadir.

  Cuplikan dari semboyan yang sama juga diwujudkan oleh kedua Gereja; St. Laurentius Alam Sutera dan St. Thomas Rasul Bojong Indah dalam situasi itu, yaitu semangat yang didasari relasi persaudaraan antarumat Gereja wilayah kawasan Barat Jakarta dan Tangerang.

M E R ASUL

Sajian Utama kecilnya

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  Salah seorang frater CICM, Henry, mengatakan bahwa Pastor Gusty dan Pastor Rinu adalah orang yang sederhana. “Pergaulan kami dengan mereka sebagai saudara. Kami terus berkomunikasi dengan mereka melalui facebook”. Keduanya tetap menjalin komunikasi dengan para frater untuk menguatkan semangat panggilan mereka.

  Sesaat setelah tahbisan usai, Pastor Rinu merasa sangat senang bisa menjadi imam yang membahagiakan orangtuanya. Ia merasa tersentuh saat terlungkup di depan altar sebagai simbol kerendahan hati. “Saya bangga karena kami berasal dari keluarga sederhana. Peristiwa ini juga menjadi kebanggaan orang di kampung,” ungkapnya. Hal serupa dirasakan pula oleh Pastor Gusty.

  Sebelum menjadi imam, mereka melewati waktu sekitar sepuluh tahun; dari Tahun orientasi, studi filsafat, Tahun Novisiat, studi teologi, dan internship yang dijalaninya di negara misi di Republik Dominika. Hingga

  Pemberian Sibori kepada Pastor Gusty [Foto: Ressa] Pemberian Sibori kepada Pastor Rinu [Foto: Ressa]

  akhirnya, Diakon Gusty dan Rinu boleh menerima anugerah Tuhan dalam Sakramen Imamat.

  Dalam sambutannya, Kepala Paroki Sathora Romo Gilbert menyampaikan ucapan terima kasih kepada para romo Paroki Laurentius, yang pada pagi harinya sudah dikejutkan dengan permintaan lokasi tahbisan imamat secara mendadak. Duta Besar Vatikan, melalui surat yang dibacakan Pastor Gilbert, memberikan kenang-kenangan rosario bagi Pastor Gusty dan Pastor Rinu. Berto

  Tim Panitia berfoto bersama setelah acara Tahbisan Imamat [Foto: Ade]

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015 KATA persaudaraan adalah kata yang tepat dan penting. Demikian Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, mengawali homilinya dalam Misa Tahbisan Imam Agustinus Panggul CICM dan Florianus Rinu Matte CICM, di Gereja St. Laurentius Alam Sutera Serpong, Tangerang Selatan, pada Selasa petang, 10 Februari 2015.

  Jalinan kerjasama dan persaudaraan antara Gereja St. Thomas Rasul dan Gereja St. Laurentius, menjadikan Tahbisan Imamat ini terus berlangsung seolah tanpa ada kendala. “... sangat mengesankan, persaudaraan itu sudah cukup sebagai pesan homili,” puji Uskup yang langsung disambut dengan tawa umat.

  Lebih lanjut, Mgr. Suharyo mengupas tema Tahbisan Imamat “Marilah dan kamu akan melihatnya”. Ini menjadi kata kunci di mana Yesus mengatakan kepada kedua murid seperti dalam tema Injil (Yoh 1: 39). “Sapaan ini juga disampaikan kepada kedua diakon dan juga umat,” ujar Uskup.

  Kedua murid itu bertanya kepada Yesus, “Guru, di mana Engkau tinggal?” Kata tinggal menimbulkan tanda tanya.

  Dan Yesus menjawab, “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Jawabannya secara tersirat dimaknai dengan ajakan mari dan kalian akan mencari, tinggal, melihat, dan menemukan. Memang betul bahwa mereka bersama mendapatkan, melihat, dan tinggal bersama Yesus sampai keesokan harinya. Selanjutnya, salah satu dari murid tersebut berkata kepada Simon, “Kami telah menemukan Mesias, mencari, tinggal, melihat, dan menemukan.” Murid yang diceritakan itu ialah Filipus dan Andreas.

  Di tengah homilinya, Uskup bertanya, “Bagaimana sampai kedua murid itu melihat? Saat itu, mereka memang tinggal bersama Yesus.” Jawabannya sederhana, karena mereka tinggal bersama Yesus maka mereka melihat Yesus. Namun, tinggal yang dimaksud Yesus adalah seperti yang disampaikan- Nya, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu, sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri kalau dia tidak tinggal dalam pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah jika tidak tinggal dalam Aku.”

  Di mana Yesus tinggal? Tidak di sini, juga tidak di situ. Lalu, di mana juga kedua murid itu tinggal? “Mereka tidak tinggal di Nazareth, pun pula tidak tinggal di tempat lain. Tetapi, mereka tinggal di dalam Yesus,” tandas Uskup. Seolah cocok antara teks Tahbisan Imamat dengan kedua diakon yang ditahbiskan. Kedua diakon memiliki kesamaan dengan kedua murid tersebut. Andreas sebagai murid Yesus mirip dengan Diakon Agustinus Panggul dan Filipus mirip dengan inisial Diakon Florianus Rinu Matte. “Diotak- atik seperti itu kok nyambung,” canda

  Uskup.

  Uskup berharap, “Mudah-mudahan mereka mengalami perkembangan iman, dan pengalaman ini hanya bisa diperoleh dengan proses mencari- tinggal-melihat, dan menemukan.”

  Di akhir homilinya, Uskup memberikan renungan singkat tentang seorang pematung. Ada seorang pematung yang sangat terkenal. Dia sedang bekerja di studionya; menatah batu besar, bekerja dengan tekun menatah batu itu, dan dia terkena percikan-percikan batu. Perih kena kulit, namun sang pematung tetap menatah batu. Suatu kali, ada anak kecil masuk ke studionya dan melihat dia menatah. Si anak kecil itu terkena pecahan batu. Karena kulitnya perih terkena pecahan batu, akhirnya dia tidak tahan, lalu pergi. Selang beberapa bulan, si anak kecil datang kembali ke studio dan dia melihat ada patung singa yang sangat gagah dan tampan. Saat menatap patung singa tersebut, anak itu bertanya kepada sang pematung, “Bagaimanakah Bapak bisa melihat kalau ada singa di dalam batu besar yang ditatah itu?”

  Sebagai penutup, Uskup mengatakan, “Ceritanya sampai di situ, silakan ambil kesimpulan sendiri.” Sontak sebagian besar umat yang hadir tertawa. Baik juga pernyataan Mgr. Suharyo itu menjadi bahan permenungan bagi pembaca. Berto

  Mencari, Tinggal, Melihat, dan Menemukan

  Mgr. Ignatius Suharyo [Foto: Ade] oleh Mgr. Ignatius Suharyo

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  Sajian Utama Ketertarikan Awal “Si Anak Mama”

  SAYA dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Sebagai anak laki-laki tunggal, yang diapit oleh dua saudari, saya dibesarkan dengan penuh perhatian dan cinta dalam keluarga. Dari semua anggota keluarga, saya memiliki kedekatan dengan mama. Sampai-sampai ada yang menjuluki saya sebagai “si anak mama”. Meskipun sebagai “anak mama”, saya bukanlah anak yang alim dan pendiam, justru saya merasa sebagai anak yang lincah dan penuh energi (untuk tidak mengatakan sebagai anak nakal, hahahahahahahaha). Saya tidak pernah bisa diam, selalu ada saja yang saya lakukan hingga saya pun dikatakan sebagai “cacing kepanasan”. Hanya ada dua hal yang bisa membuat saya duduk diam, yaitu buku bacaan dan Lego, permainan bongkar-pasang. Itulah sebabnya, setiap kali ada orang yang bertanya tentang cita-cita, “si anak mama” selalu menjawab dengan lantang, bahwa ia ingin menjadi arsitek atau insiyur pembangunan, tidak pernah terbersit sedikitpun niat untuk menjadi imam.

  Namun, pada saat menginjak kelas

  IV SD, saya bertemu dengan seorang imam muda yang baru diutus ke paroki saya. Walau awalnya terkesan galak, ternyata imam itu bisa bergaul dan dekat dengan anak-anak. Kala itu “ si anak mama” pun sempat tertarik terhadap figur imam tersebut. Romo Wiryowardoyo kerap mengundang kami setiap minggu untuk bermain di

  

Ketertarikan Awal

“Si Anak Mama”

“non vos me elegistis sed ego elegi vos et posui vos ut eatis

et fructum adferatis et fructus vester maneat”

  

(John 15:16)

  pastoran. Banyak dari anak-anak yang senang datang ke pastoran untuk mengikuti Sekolah Minggu, karena selain belajar mereka juga dapat bermain dengan beberapa hewan peliharaan, ada burung, monyet, anjing, dll. Setelah menerima Komuni Pertama, saya diajak untuk masuk menjadi anggota Putra Altar. Namun, dengan pelbagai macam alasan saya selalu mengelak untuk mengisi formulir pendaftaran misdinar di paroki. Alhasil, setelah Komuni Pertama, saya jarang ikut kegiatan di Gereja.

  Setelah lulus dari Sekolah Dasar, saya melanjutkan pendidikan SLTP di daerah Jembatan Lima, Kota. Saya tinggal bersama kung-kung dan poh-poh (sebutan untuk kakek dan nenek). Tanpa pengawasan penuh dari orangtua dan hidup di daerah kota yang penuh tawaran yang menyenangkan, membuat saya melupakan ketertarikan awal terhadap figur imam. Sebagai remaja yang sedang mencari identitas, saya mulai dididik oleh papa untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab, khususnya terhadap diri sendiri.

  Pernah suatu hari saya ketahuan mengantongi sebuah rokok di saku baju sekolah. Saat itu papa tidak marah, dia hanya memanggil saya dan berkata: “Kamu tahu bahwa rokok itu tidak baik buat kesehatan, yah sudah, kamu seharusnya tahu apa yang kamu lakukan.” Entah mengapa sejak saat itu saya berhenti merokok. Bekal pengalaman tersebut membuat saya belajar untuk tidak asal ikut-ikutan arus pergaulan dengan teman-teman.

  Belajar menjadi orang yang memiliki sikap terhadap pelbagai tawaran, terlebih kehidupan kota yang sangat menggoda.

  Selepas SMP, saya kembali tinggal bersama kedua orangtua dan saudari saya. Selama SMA selain belajar di sekolah, saya pun mulai aktif dalam pelbagai kegiatan Gereja, baik di lingkungan maupun di paroki, sampai- sampai didaulat menjadi ketua mudika lingkungan saat itu. Selulus SMA, saya meneruskan pendidikan di Negeri Kanguru, Sydney, Australia. Saya sengaja memilih hidup sendiri, tidak tinggal bersama saudara, karena ingin mengembangkan bekal kemandirian yang sudah ditanamkan sejak kecil. Alhasil, saya menyewa kamar dan mulai bekerja sampingan (di McDonald) untuk mencukupi kebutuhan hidup harian saat itu.

  Sekembalinya dari masa belajar di UNSW, “si anak mama” meneruskan gairah studinya di Binus dengan mengambil jurusan Teknik Informatika. Saat itu, orangtua saya sudah pindah ke daerah Ciledug, sehingga saya tinggal di rumah sendiri. Untuk menambah pemasukan, saya bersama beberapa teman di kampus mulai mendirikan software house dan bekerja secara part time.

  Ketertarikan yang Dirahasiakan

  Setelah lulus dari Binus, saya semakin dilibatkan dengan banyak kegiatan Gereja, baik di paroki sebagai anggota EDISI 06 # Januari-Februari 2015 dewan kepemudaan maupun di keuskupan sebagai Sekretaris Sekami. Perkenalan dengan banyak imam dan biarawan/wati kembali menumbuhkan ketertarikan terhadap figur seorang imam. Saya mulai bertanya-tanya dan mencari informasi tentang hidup dan karya seorang imam. Berkat bimbingan romo di paroki pada waktu itu, saya mulai diarahkan untuk berani mengolah dan memutuskan ketertarikan saya terhadap jalan panggilan sebagai imam. Setelah melalui pertimbangan dan pengamatan yang cukup, saya memutuskan untuk melamar sebagai calon imam di Keuskupan Agung Jakarta.

  Pada saat pengumumam penerimaan disampaikan, perasaan saya saat itu bercampur aduk antara senang dan bingung. Senang karena diperkenankan masuk menjadi frater, bingung karena saya belum memberitahu orangtua tentang lamaran dan penerimaan ini. Di antara keluarga, hanya adik saja yang saya beritahu tentang hal ini. Saya masih merahasiakan berita penerimaan ini dari keluarga. Mendekati hari H, saat saya harus masuk seminari (pada 3 Agustus 2003), saya baru mengatakannya kepada orangtua. Papa membebaskan saya untuk memilih jalan hidup yang saya pilih. Namun, reaksi mama berbeda, beliau tidak setuju dengan pilihan saya. Bahkan ketidaksetujuan itu diungkapkan dengan tidak pernah hadirnya mama dalam pelbagai acara yang diadakan oleh seminari.

  Setiap kali ada kesempatan untuk pulang ke rumah, saya dengan berbagai cara berusaha untuk meluluhkan hati mama. Dengan pikiran dasar, orangtua mana yang tidak akan bahagia bila melihat anaknya bahagia, mulailah saya bercerita tentang hal-hal yang membahagiakan di seminari hingga pelbagai rencana saya bila menjadi imam kelak. Namun semuanya seakan-akan menjadi sia-sia, karena setiap itu pula mama selalu berusaha mengiming-imingi saya dengan pelbagai hal, mulai dari tawaran untuk mengambil kuliah di luar, diberi modal untuk membuka usaha warnet, hingga diperkenalkan dengan anak perempuan dari sepupunya yang sudah beranjak dewasa.

  Ketertarikan yang Dimurnikan

  Proses tarik-menarik antara saya dengan mama, membuat jalan panggilan yang saya lalui terasa berat. Saya merasa terperangkap dalam situasi yang serba salah. Di satu sisi, saya ingin membuktikan bahwa ini adalah panggilan hidup saya, namun di sisi lain, saya pun tidak ingin melepaskan bakti saya kepada orangtua.

  Akibat ketegangan yang tak terolah secara baik, saya mulai memandang imamat sebagai usaha pribadi, lepas dari rahmat Allah. Dengan usaha manusiawi yang rapuh, saya berjuang menjalani lika-liku panggilan ini. Namun, semakin saya berjuang, semakin pula saya terperosok dalam lubang kesalahan. Hidup panggilan saya perlahan mulai kacau dan tidak lagi mencerminkan sebagai orang yang memperjuangkan panggilan. Hubungan saya dengan komunitas menjadi renggang, saya ribut dengan teman angkatan, dan tergoda untuk menjalin relasi dengan lawan jenis. Beruntung, dalam segala keterpurukan tersebut, saya tetap mengindahkan Ekaristi dan bimbingan rohani. Dua hal inilah yang menyadarkan saya akan kesalahan yang telah saya lakukan.

  “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16a).

  Perkataan Yesus inilah yang terus menggema dalam diri saya sehingga saya berani untuk kembali memasrahkan diri dalam jalan panggilan ini. Saya mulai menata kembali hidup panggilan saya, mencoba untuk berelasi secara sehat, baik dengan komunitas maupun dengan teman perempuan. Memandang imamat pertama-tama sebagai anugerah Allah dan bukan melulu usaha manusia belaka.

  Saya sungguh bersyukur dalam segala kesalahan yang telah saya lakukan, saya masih diperkenankan untuk melanjutkan formasi pendidikan jenjang Tahun orientasi Pastoral (ToP). Masa ToP sungguh saya rasakan sebagai ajang pemurnian panggilan saya. Pada masa ini, selain saya dihadapkan secara langsung pada realitas kehidupan umat, baik di seminari maupun di paroki, saya juga diajak untuk mengolah segala kekurangan saya secara terbuka dan jujur.

  Terlebih pada kali kedua masa ToP, yang saya cecap di Paroki Cililitan, Jakarta. Pada masa ini, mama telah mulai dirawat secara rutin di rumah sakit. Dan atas izin yang diberikan oleh romo paroki, saya diperbolehkan untuk menjaga mama tiga hari dalam seminggu. Dalam kebersamaan dengan mama itulah saya mulai terbuka dan mau mendengarkan segala curahan isi hatinya. Kami pun kerap bertukar cerita tentang segala hal, antara lain terkait dengan panggilan sebagai imam. Kebersamaan ini sungguh menjadi waktu yang membebaskan kami berdua, saya menyebutnya sebagai

  Misa Perdana RD Antonius Yakin di Gereja St. Thomas Rasul (Foto : Matheus Hp.)

M E R ASUL

Sajian Utama moment of truth

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  Dalam keterbukaan itulah, mama menjadi bersuka bila ada umat di Cililitan yang datang menjenguk dan bercerita tentang kehidupan saya sebagai seorang frater di sana. Mama terlihat sangat bangga dengan kisah tentang anaknya yang sudah diterima dan hidup bahagia di antara umat paroki. Hal ini jelas tampak melalui cerita yang dikisahkan kembali oleh mama, baik kepada saya maupun keluarga, setiap kali ada umat Cililitan yang datang.

  Ketertarikan yang Membebaskan

  Kanker pankreas yang diderita mama ternyata sudah menyebar dan sulit untuk disembuhkan. Masih teringat dengan jelas, kala itu Senin malam, 5 Januari 2009, saya mendapat giliran menjaga mama. Sambil memandang kaca rumah sakit, mama bercerita tentang indahnya kembang api di malam tahun baru. Lalu, mama memalingkan wajahnya kepada saya dan berkata dengan suara lirih: “Kim (panggilan kecil saya), kalau kamu benar mau jadi romo ya sudah, nggak apa-apa. Yang penting, kamu bisa bahagia. Kamu mau jadi romo atau tidak, kamu tetap anak kesayangan mama.” Saat itu, saya tidak terlalu mengindahkan perkataan mama karena saya sibuk membereskan tempat tidur untuk istirahat. Saya hanya mengiyakan saja dan mengajak mama untuk segera beristirahat. Setelah mama merebahkan diri, dia sempat menceritakan kembali apa yang dikatakan oleh beberapa umat dari Cililitan tentang saya, saat mereka mengunjunginya. Walau terdengar perlahan, mama kembali berkata: “Kim, jadi romo yang benar ya, kamu anak mama yang baik.” Lalu, mama memejamkan mata dan tidur.

  Saat mendengar hal itu saya hanya termangu-mangu, lalu menyusul tidur. Saya baru tersadar akan perkataan mama saat siang harinya. Pada keesokan harinya, saya bertemu dengan dokter yang lebih senior di rumah sakit tersebut untuk meminta second opinion tentang kondisi mama. Dokter itu mengatakan bahwa mama sudah tidak mungkin tertolong.

  Pernyataan dokter ini membuat saya menjadi lemas dan tidak punya tenaga untuk berdebat dengannya. Saya menerima semua yang dianjurkan dokter ini. Beliau menyarankan agar kami semua sekeluarga menuruti kemauan mama, bila ia ingin pulang jangan ditolak. Dan sebisa mungkin mama diberitahu tentang kondisinya, siapa tahu mama mempunyai pesan terakhir yang ingin disampaikan kepada kami semua. Saat dokter itu mengungkapkan saran tersebut, saya baru tersadar akan arti perkataan mama pada malam hari tadi. Sebuah pesan yang telah membebaskan saya.

  Setelah berdiskusi dengan keluarga dan sesuai dengan keinginan mama, kami sekeluarga sepakat membawa mama pulang. Hari Rabu, 7 Januari 2009, saya dan adik menjemput mama dari rumah sakit menuju rumah. Dua hari kemudian, Jumat, 9 Januari 2009, saya masih sempat menjenguk mama di rumah. Setelah makan siang, saya pamit kepada mama untuk kembali ke paroki. Saat saya baru memarkir mobil di garasi paroki, saya mendapat telepon dari papa yang menyampaikan pesan bahwa mama sudah kembali ke pangkuan Bapa di Surga. Segera setelah mendapat izin romo paroki, saya kembali menuju rumah. Selama menyetir, saya kembali teringat perkataan dan pesan terakhir mama, saya sungguh merasakan kasih mama melalui pesan yang membebaskan tersebut. Pesan itulah yang membuat saya semakin mencintai dan berani memperjuangkan jalan panggilan ini. Sejak saat itu, saya sungguh menghayati panggilan Tuhan ini sebagai anugerah.

  Ketertarikan yang Membuahkan

  “Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16b). Selama menghidupi jalan panggilan ini, saya sungguh merasakan kasih dan penyertaan Tuhan. Diri saya semakin terolah baik dalam aspek kepribadian, rohani, intelektual, pastoral, dan komunitas. Saya meyakini bahwa inilah buah rahmat yang diberikan Allah. Semoga melalui rahmat tahbisan imam yang saya terima, saya semakin dimampukan untuk belajar menjadi pengikut Kristus yang setia, menjadi buah Ekaristi, buah yang diambil, diberkati, dipecah-pecah, dan dibagikan bagi sesama. Semoga Allah yang telah memulai karya baik di dalam diri saya, berkenan menyelesaikannya pula. Amin.

  RD Antonius Yakin Imam asal Paroki St. Thomas Rasul Bojong Indah

  RD Antonius Yakin foto bersama ayah dan adiknya (Foto : Matheus Hp.)

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015 SETIAP manusia yang dilahirkan di bumi menjalani panggilan Tuhan untuk hidup. Bahkan sejak bertemunya sperma sang ayah dan sel telur ibu, di situlah terjadi kehidupan.

  Tuhan menciptakan manusia se-“citra” dengan-Nya (Kejadian 1:26).

  Sejak bayi dilahirkan, dia hidup, bergerak, dan ada karena cinta Allah melalui cinta kasih orangtuanya. Setelah itu, Allah mempunyai rencana lain dengan panggilan hidup yang unik bagi setiap orang. Abraham dipanggil Tuhan untuk meninggalkan tanah asalnya menuju Kanaan. Dia tabah dengan segala ujian Tuhan dan

  Panggilan Hidup Kudus,

Meniti Jalan Tuhan

Sejak kelas 2 SD, saya sudah tertarik menjadi biarawati. Waktu itu, saya dijadikan malaikat dalam prosesi Sakramen Mahakudus dari sekolah saya, SD Katolik Kridadharma, menuju Gereja St. Pius X Blora.

  lewat Iskhak anaknya yang lahir dari rahim Sara istrinya pada masa tuanya. Abraham menjadi Bapa Segala Bangsa.

  Musa dipanggil Tuhan dengan jalan yang berliku-liku, juga melalui pelbagai ujian, tantangan hidup yang keras untuk memimpin dan membebaskan bangsa Israel keluar dari perbudakan di Tanah Mesir.

  Samuel dipanggil Tuhan hingga tiga kali untuk menjadi pelayan di Bait Allah (I Samuel 3:11).

  Perawan Maria gadis sederhana Anawim hamba Yahwe, dipilih Tuhan untuk menjadi Bunda Sang Penebus.

  Maria setia dengan fiat-nya ketika Malaikat Gabriel mendatanginya dan memberitahukan bahwa dia akan mengandung, padahal dia belum bersuami, dan ketika Malaikat menjelaskannya, dia menyanggupinya dengan berkata : Aku ini hamba Tuhan jadilah padaku menurut perkataanmu. Dan kata-kata fiat-nya itu dibuktikannya dengan kesetiaan sampai di kaki salib dan memangku jasad Putranya, Sang Penebus Dunia. Maka, dia pantas disebut: Putri Allah Bapa, Bunda Allah Putra, dan Mempelai Allah Roh Kudus. Tiga gelar sekaligus yang menghubungkan kesucian, kekudusan, serta kesederhanaannya dalam hubungan dengan Allah Trinitas.

  Panggilan Umum

  Dalam menjalani kehidupan, setiap orang menanggapi panggilan Allah secara umum, dalam mengungkapkan hobi dan pekerjaannya dalam hidup. Luar biasa memang, dengan tes sidik jari telah diketahui bahwa sejak dilahirkan setiap manusia dibekali bakat kemampuan, talenta yang akan menunjang hidupnya entah itu sebagai guru, dokter, insinyur, pengkhotbah, penulis, penari, olahragawan, dll.

  Para biarawan / wati di Philippina dari pelbagai kongregasi saat kursus dan City Tour di Pulau Cebu (Foto : dok. pribadi)

Sajian Utama

  Dengan berjalannya waktu, cita-cita saya juga macam-macam. Saya pernah bercita-cita ingin menjadi Polwan, hakim, guru, dan saya memang masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang saat itu calon muridnya disaring sangat ketat. Saat saya kelas

  “Soal Bapak itu urusan Ibu. Yang penting, kamu sekolah yang baik ya,”

  “Lalu, bagaimana dengan Bapak yang tidak mengijinkan saya?” jawabku.

  Saya mendekati ibu dan bertanya, ”Bu bagaimana? Apa Ibu mengijinkan saya?” Ibu merangkul dan menciumku. ”Ya kalau itu yang menjadi kehendak Tuhan, ya pasti kamu bisa jadi suster,” katanya.

  Setelah Sr. M. Lusia pulang, sore itu menjadi saat yang sangat menyedihkan bagi saya. Malamnya, bapak duduk di beranda tidak mau makan malam. Mungkin sampai pagi bapak duduk di beranda. Saat itu, memang masa liburan sekolah. Pagi harinya, saya membuat kue dan membantu di dapur. Tak saya duga, bapak mendekati saya dan bertanya, “Nduk apa benar kamu mau jadi suster? Apa alasanmu?” Saya sungguh tidak bisa menjawab pertanyaan bapak, karena saya melihat bapak menangis tersedu- sedu. Lalu, bapak bilang, ”Bapak tidak mengijinkan kamu.” Serasa halilintar kata-kata bapak menyambar hati saya. Tapi, entahlah ada perasaan tegar untuk mewujudkan keinginan hati saya, begitu kuat terasa, saya harus menjadi seorang biarawati.

  Tidak saya duga, sore itu Sr. Lusia datang ke rumah saya. Saya sedang disuruh ibu berbelanja dengan adik saya. Ketika saya masuk rumah, saya dapati nenek saya menangis keras seperti ada orang yang meninggal. Sambil menangis, nenek saya bilang, “ Mengapa kok kamu mau jadi suster? Apa tidak cinta lagi dengan nenek, dengan ibu bapakmu, dan adik- adikmu? Nenek pengin mati saja… kalau kamu menjadi suster. Apa kamu tidak tahu bahwa menjadi suster itu seperti orang yang mati, tidak boleh bertemu dengan keluarga, seperti buliknya nenek dulu jadi suster juga tidak pernah pulang.” Oh, saya baru tahu kalau adiknya buyut saya juga jadi suster tapi suster kontemplatif.

  Paginya, saya pergi ke susteran. Saya bertemu Sr. M. Lusia dan menceritakan segala yang saya alami. Suster mengajak saya berdoa di kapel. Setelah itu, kami duduk berdua dan saya masih meneruskan curhat kepadanya. Suster bilang, soal minta ijin kepada bapak dan ibu saya merupakan urusan suster. Yang penting, saya menyelesaikan sekolah dengan baik.

  Di situlah muara suara hati saya menggebu ingin menjadi seorang biarawati. Saya menceritakan segala gejolak hati saya kepada Mbak Anik, tetangga dan sahabat saya. Dia bilang, “Mbak Puji, pasti Om To (demikian dia memanggil bapakku) tidak mengijinkan karena dikau anak pertama.” Memang saya dan dia sama-sama anak pertama. Malam itu, hari Minggu bapak dan ibu saya pergi kondangan sehingga saya dan Mbak Anik bebas bercerita dan menangis bersama.

  1 SPG, pada Kamis Legi, tiga malam berturut –turut saya tidak dapat tidur. Ingatan saya senantiasa terbayang akan kesengsaraan Yesus di salib. Entah mengapa seperti ada sesuatu yang mengusik hati saya. Ada kata yang selalu terngiang, “ Aku telah menderita untukmu, apa yang akan kau perbuat untuk-Ku?”

  M E R ASUL

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015

  Dalam perjalanan waktu, panggilan yang tertanam di hati saya itu timbul dan tenggelam. Setelah lulus SD Katolik Kridadharma, saya melanjutkan ke SMP Katolik Adi Sucipto. Sebagai remaja, saya juga senang bergaul dan punya bayak teman. Bahkan saya punya “gang” yang saya beri nama “Pendawi” karena terdiri dari lima remaja putri. Saya bersama teman- teman suka menjelajah, bertualang mendaki gunung, masuk keluar gua yang terkenal di hutan dan desa-desa sekitar Blora.

  Raya Tubuh dan Darah Kristus, selalu diadakan prosesi lewat jalan utama kota.

  Panggilan hidup seseorang adalah misteri, apalagi panggilan hidup relegius. Saya merasa tertarik untuk menjadi suster ketika kelas 2 SD, sewaktu saya dipilih menjadi malaikat untuk berprosesi Sakramen Maha kudus dari sekolah saya; SD Katolik menuju ke gereja. Memang menjadi adat paroki saya yang dipimpin oleh para romo CM dari Itali, setiap Hari

  Pikiran saya memutar kembali perjalanan hidup saya sebagai seorang suster. Rasa syukur pun melambung manakala mengingat kembali tuntunan Tuhan dalam hidup panggilan saya. Tuhan telah memanggil saya dengan nama saya dan saya merasa itu suatu identitas bagi saya untuk memikul suatu tanggung jawab. Dan itulah identitas panggilan saya.

  21 November 2015, Gereja Katolik yang diwakili oleh Bapa Suci Paus Francis telah mengumumkan bahwa tahun ini merupakan “Tahun Hidup Bakti”, secara khusus diintensikan kepada para religius yang membaktikan hidup secara khusus dalam menghidupi kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan.

  Sejak 21 November 2014 hingga

  Panggilan Khusus

  Maka, apa pun pekerjaan kita yang positif dan memberi hikmah bagi diri sendiri dan menjadi berkat bagi sesama adalah jalan menuju kekudusan untuk bersatu dengan Tuhan.

  Allah telah memberi bekal tidak hanya satu keterampilan, namun multi talenta, tergantung kita yang menyadari dan mengembangkannya. Melaksanakan tugas kita dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran bahwa pekerjaan atau tugas kita adalah jalan kekudusan kita untuk menuju Tuhan. Semua itu akan membantu kita untuk selalu belajar, berefleksi, dan memulai lagi, serta setia terus-menerus melaksanakannya untuk memuliakan Tuhan. Soli Deo (Semua hanya untuk Tuhan) atau AMDG = Ad Mayorem Dei Gloriam (Semua hanya untuk Kemuliaan Tuhan).

  Tiga Malam

  EDISI 06 # Januari-Februari 2015 kata ibu sambil terus menciumiku. Hari besar saya diperbolehkan liburan di rumah oleh Sr. M. Lusia.

  Pada 10 Mei saya berangkat ke Pekalongan diantar oleh nenek, adik- adik, dan teman-teman saya, serta Sr.

  Para biarawan / wati di Philippina dari pelbagai kongregasi saat kursus dan City Tour di Pulau Cebu (Foto : dok. pribadi)

  Sr. Maria Monika SND, Formator Novisiat SND Internasional di Balanga, Bataan, Filipina

  Saya masuk biara pada 22 Juni 1980, hari peringatan Yulie Billiart menjadi Santa. Saya tidak pernah bermimpi telah merayakan Pesta Perak dan kini, sudah 35 tahun saya hidup membiara. Semuanya adalah kesetiaan rahmat Tuhan yang memampukan saya untuk memuji dan mengadi Dia yang mencintai saya tanpa syarat.

  Saya lega mendengar jawaban bapak, sepertinya bapak juga sakit rindu dengan saya. Hari itu, bapak minta mangga padahal sudah berkeliling tidak ada mangga, karena memang bukan musim mangga. Malam harinya, ada suster yang membawakan mangga dan menyajikannya kepada bapak dan ibu saya. Bapak melihat hal ini sebagai suatu mukjijat. Dan menurut penuturan adik saya, keluarga saya selalu mengalami hal-hal di luar dugaan dan bapak selalu mensharingkan pengalaman keajaiban Tuhan pada saat doa di lingkungan.

  ”Bapak ‘kan masih sakit mengapa kok makan pedas?” celetuk saya. Jawabnya, “Sekarang, Bapak tidak sakit lagi karena telah bertemu dengan kamu, dan melihat keadaanmu senang tinggal di biara.”

  Pada 31 Mei berlangsung upacara penerimaan saya sebagai postulan SND. Pemimpin saya meminta supaya bapak dan ibu saya hadir. Beliau berdua datang dari Blora naik travel. Bapak saya tampak begitu kurus, namun amat ceria sewaktu bertemu dengan saya. Menurut ibu, selama ini bapak makan bubur karena masih sakit. Anehnya, sepulang dari Misa pagi, bapak, ibu, saya, dan teman saya yang akan masuk biara berkeliling kota Pekalongan. Dan bapak mengajak makan di restoran. Saya heran bapak memilih makanan yang pedas.

  Lusia dan Romo Marto Kusumo CM. Bapak dan ibu tidak mengantarku karena bapak saya sakit. Menurut dokter, bapak menderita typhus. Meskipun bapak sakit, tapi hati saya tetap tegar untuk berangkat. Saya serahkan semua kepada Tuhan. Jika Tuhan memanggil saya, pasti Tuhan akan menyediakan jalan yang paling baik bagi hidup saya.