Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Kabupaten Tapanuli Utara Periode 2003-2015

4

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Penutupan Lahan di Sumatera Utara
Sekitar 100.000 Ha hutan di Sumatera Utara diperkirakan rusak setiap
tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena
pengalihan lahan menjadi areal perkebunan dan pembangunan infrastruktur jalan.
Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian cenderung terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian.
Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut.
Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka
dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara
progresif. Secara nyata luas hutan di Sumatera Utara terus mengalami penurunan,
terutama disebabkan oleh konversi hutan menjadi areal non hutan (tidak
berhutan) seperti permukiman, sawah, perkebunan, ladang dan areal terbuka.
(Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2016).
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2016) juga menyatakan bahwa
permasalahan utama yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan hutan di
Sumatera Utara adalah perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan yang
tidak terkendali, baik perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi
permukiman, ataupun hutan yang dirambah menjadi perkebunan kelapa sawit dan

lahan kritis akibat penebangan (ilegal logging) dan kebakaran hutan (forest fire)
pada beberapa wilayah di Sumatera Utara. Dari data kerusakan dan konversi hutan
diketahui bahwa penyebab utama kerusakan hutan di Sumatera Utara adalah
perambahan. Sedangkan konversi hutan terjadi terutama karena alih fungsi hutan
menjadi perkebunan.

Universitas Sumatera Utara

5

Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (Land Use) diartikan sebagai setiap bentuk interaksi
(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dibagi ke
dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan
lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas
penyediaan air dan komoditi yang diusahan dan dimanfaaatkan atau atas jenis
tumbuhan atau tanaman yang terdapat atas lahan tersebut. Penggunaan lahan
bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman),
industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 2006).

Merosotnya kualitas lingkungan dan sumberdaya alam diikuti oleh
peningkatan perubahan lahan, khususnya dari hutan ke pertanian dan dari lahan
pertanian ke permukiman. Transformasi perubahan lahan dan tutupan lahan, tahap
pertama terjadi sebagai hasil dari kebijakan pemerintah untuk memperoleh kayu
(logging) dan pajak ekspor kayu sehingga mengijinkan usaha penebangan hutan,
yang kemudian diikuti oleh perluasan pertanian, baik secara terencana maupun
spontanitas dari masyarakat (Nugroho dan Prayogo, 2008).
Grubler

(1998)

mengatakan

ada

tiga

hal

bagaimana


teknologi

mempengaruhi pola tata guna lahan. Pertama, perubahan teknologi telah
membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas
lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi
transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam
meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat
meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah.

Universitas Sumatera Utara

6

Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan
berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai
dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan
sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh
untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem
klasifikasi


penutup/penggunaan

dilatarbelakangi

oleh

lahan

kepentingan

yang

tertentu

telah
atau

dikembangkan,
pada


waktu

yang

tertentu

(Sitorus, 2006).
Pemetaan penggunaan lahan dan penutup lahan sangat berhubungan
dengan studi vegetaasi, tanaman pertanian dan tanah dari biosfer. Karena data
penggunaan lahan dan penutup lahan paling penting untuk planner yang harus
membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan,
maka data ini sangan bersifat ekonomi (Lo, 1995).

Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor Yang Mempengaruhinya
Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material
cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan
penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari.
Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua

berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik
(Mansuri, 1996).
Kerusakan hutan dan lahan telah menimbulkan dampak negatif terhadap
kehidupan masyarakat antara lain dengan terjadinya banjir, tanah longsor,

Universitas Sumatera Utara

7

erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversity maupun menurunnya pendapatan
negara dari hasil kayu. Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya perubahan
penutupan hutan di Indonesia. Kegiatan yang menyebabkan pengurangan
luas hutan antara lain berupa konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan
sektor lain yaitu untuk perkebunan, pertanian, pemukiman/transmigrasi;
perdagangan kayu ilegal (illegal trading), ataupun penebangan liar (illegal
logging);

perambahan,

dan


okupasi

lahan

serta

kebakaran

hutan

(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
Beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor
faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Nastain dan Purwanto
(2003) menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan
penggunaan lahan antara lain :
1. Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di
pedesaan.
2.


Meningkatnya

jumlah

kelompok

golongan

berpendapatan

menengah

hingga atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan
terhadap pemukiman (komplek-komplek perumahan).
3. Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada
gilirannya akan menggeser kegiatan pertanian/ lahan hijau khususnya di
perkotaan.
4. Terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha
dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien.
Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan

penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian,

Universitas Sumatera Utara

8

aksesibilitas, dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah.
Tingginya tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah telah mendorong
penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman
ataupun lahan-lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah
berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut.
Perubahan penduduk yang bekerja di bidang pertanian memungkinkan terjadinya
perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang
pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong
penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan.

Keterkaitan antara Faktor Sosial Ekonomi dan Ekologi
Perubahan Lahan

terhadap


Faktor sosial-budaya masyarakat merupakan salah satu faktor penting
yang ikut memberikan kontribusi bagi penentuan pemanfaatan lahan. Pada
umumnya pola-pola pemanfaatan lahan yang ada di suatu wilayah tidak
bertentangan dengan kondisi sosial-budaya masyarakatnya (Komarsa, 2001).
Faktor sosial budaya tersebut meliputi: tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
tingkat usia, motivasi, persepsi dan interpretasi, pandangan/sikap hidup, adatistiadat, idiologi dan tradisi lokal, hubungan dan jaringan sosial, institusi lokal.
Secara rinci perubahan penggunaan lahan terakit dengan perkembangan
sosial ekonomi masyarakat yang tercermin pada: (i) peningkatan jumlah
penduduk; (ii) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan
pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur)
dan tersier (jasa); (iii) meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan
menengah ke atas yang berakibat tingginya permintaan terhadap pemukiman

Universitas Sumatera Utara

9

(kompleks-kompleks perumahan); (iv) terjadinya fragmentasi pemilikan lahan
menjadi satuan-satuan usaha dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien

(Hariyatno, dkk. 2014).
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus
berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi,
pengelolaan

sumberdaya

lahan

seringkali

kurang

bijaksana

dan

tidak

mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga
kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas
tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya
lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi
pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran
yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya (Rustiadi, 2001).
Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik
lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada
di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis,
sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara
berkelanjutan. Masyarakat pedusunan memiliki keunikan khusus seperti
kesederhanaan, ikatan emosional tingi, kesenian rakyat dan loyalitas pada
pimpinan kultural seperti halnya konsep-konsep yang berkembang di pedusunan
(Nasruddin dan Sudarsono, 2008)

Sistem Informasi Geografis
Penggunaan Sistem Informasi Geografis dalam melakukan analisis
perubahan tutupan lahan sangat dibutuhkan dalam tindakan pencegahan terhadap

Universitas Sumatera Utara

10

kegiatan eksploitasi maupun konversi lahan hutan yang menyebabkan terjadinya
degradasi lingkungan dan dengan menggunakan data yang diperoleh dari Sistem
Informasi Geografis dapat memprediksi luas perubahan lahan yang terjadi pada
masa yang akan datang sehingga dapat digunakan sebagai gambaran dalam
melakukan antisipasi terhadap berkurangnya luas lahan hutan (Ginting dkk, 2012).
Indentifikasi perubahan penggunaan lahan memerlukan suatu data spasial
temporal. Data-data spasial tersebut bersumber dari hasil interpretasi citra satelit
maupun dari instansi-instansi pemerintah dan dianalisis dengan menggunakan SIG
(Sistem Informasi Geografi). Pemanfaatan SIG dan data satelit merupakan suatu
tekhnologi yang baik dalam mengelola data spasial-temporal perubahan
penggunaan lahan. Mengetahui perubahan pengggunaan lahan tidak hanya
berguna untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, tetapi juga dapat
dijadikan suatu informasi dalam merencanakan tata ruang di masa yang akan
datang (As-Syakur, 2011).
Sistem Informasi Geografis adalah perangkat lunak yang memadai untuk
melakukan analisis perubahan tutupan lahan. Proses yang penting dalam
melakukan analisis adalah koreksi geometrik, penajaman citra, identifikasi
tutupan, dan konstruksi perubahan tutupan. Studi kasus TAHURA menunjukkan
bahwa terjadi perubahan tutupan lahan ke tutupan lahan lainnya disemua
desa/kelurahan yang diamati. Perubahan tutupan lahan hutan ke non hutan 5.90%,
dan 5.40% berubah dari non hutan ke hutan (Bode, 2015)
Kebutuhan teknologi penginderaan jauh yang dipadukan dengan Sistem
informasi Geografi (SIG) untuk tujuan inventarisasi dan pemantauan sangat
penting terutama bila dikaitkan dengan pengumpulan data yang cepat dan akurat.

Universitas Sumatera Utara

11

Disamping itu pengumpulan data dengan teknologi penginderaan jauh dapat
mengurangi bahkan menghilangkan pengaruh subyektivitas. Mengingat luasnya
dan banyaknya variasi wilayah Indonesia, sejalan dengan kemajuan teknologi
informasi, maka aplikasi penginderaan jauh dan SIG sangat tepat. Kedua
teknologi tersebut dapat dipadukan untuk meningkatkan kemampuannya
dalam hal pengumpulan data, manipulasi data, analisis data serta menyediakan
informasi secara terpadu (Wahyunto, 2004).
Hasil penelitian Ginting, dkk (2012) menggunakan SIG dengan tujuan
untuk mengetahui perubahan tutupan lahan di Kabupaten Karo. Pada selang
waktu 1997-2000-2003-2006-2009 perubahan luas tutupan lahan terbesar di
Kabupaten Karo terjadi pada pertanian lahan kering yang menjadi lahan sawah
dan diikuti oleh lahan hutan yang menjadi pertanian lahan kering.
Sementara Sitompul, dkk (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
Kota Pematangsiantar dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013) mengalami
penurunan luas tutupan lahan pertanian lahan kering, semak belukar, persawahan
dan

perkebunan

dengan

faktor

utama

aktifitas

pembangunan.

Kota

Pematangsiantar mengalami penurunan tutupan lahan penghijau sebesar 6,67 %,
dan saat ini memiliki luas sebesar 55,47% lahan penghijau.

Analytical Hierarchy Process (AHP)
Fasilitas AHP dalam pengambilan keputusan dengan mengadakan
persepsi, perasaan, penilaian, dan memiliki nilai sejarah menjadi struktur hierarki
dengan kekuatan yang mempengaruhi keputusan sebuah kasus yang paling umum.
Pada struktur hierarki menunjukkan keterkaitan antara interaksi tujuan, kriteria,

Universitas Sumatera Utara

12

sub kriteria, dan alternatif pada seluruh sistem. Untuk tujuan ini, pengukuran
mutlak dan pendekatan pengukuran relatif digunakan dalam penerapan AHP.
Hasil perbandingan umumnya digunakan ketika peringkat alternatif sesuai dengan
standar yang dikembangkan oleh pengalaman ahli (Saaty, 1980). Namun,
perbandingan relatif memerlukan prioritas untuk tujuan hierarki dengan membuat
perbandingan berpasangan secara sistematis.
Hasil penelitian Hartati dan Adi (2012) menyatakan kombinasi
penggunaan metoda AHP (yang difasilitasi perangkat lunak Expert Choice 11)
dengan perangkat-perangkat lunak SIG seperti ArcGIS, ArcView, dan sebagainya.
Sesungguhnya memungkinkan para pengambil keputusan dapat melakukan
pengambilan keputusan dengan baik dan berkualitas (meskipun data yang
dimilikinya bersifat deskriptif dan kualitatif).
Penelitian yang dilakukan oleh Ritonga (2012) di Tangkahan yang
bertujuan untuk mengetahui bentuk pemanfaatan Gajah (Elephas indicus) jinak
yang paling sesuai di Tangkahan dengan menggunakan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian yang dilakukan adalah kriteria
kesejahteraan dan keamanan masyarakat sebagai yang paling prioritas karena
seluruh responden beranggapan bahwa kepentingan dari bentuk pemanfaatan
Gajah (Elephas indicus) jinak yang ada di Tangkahan sudah seharusnya untuk
kepentingan peningkatan kesejahteraan dan keamanan masyarakat.
Mendefenisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, pada
tahap ini untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan harus secara jelas,
detail, dan mudah dipahami. Tahapan Metode AHP dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

13

1. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama
2. Mendefenisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah
penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya
elemen yang dibandingkan
3. Menghitung nilai eigen dengan menguji konsistensinya
4. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki
5. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan
merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen- elemen
pada tingkat hierarki terendah sampai mencapai tujuan.
6. Memeriksa konsistensi hierarki
Konsistensi yang diharapkan adalah mendekati sempurna agar menghasilkan
keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai sempurna,
rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10 %.
Pada struktur hirarkis AHP memberikan informasi untuk menguji antara
interaksi tujuan, kriteria, sub kriteria, dan alternatif pada seluruh sistem. Tahaptahap dalam menuyusun struktur hirarkis yaitu :
1. Dekomposisi yang diterapkan untuk struktur masalah yang kompleks dalam
hirarki.
2. Pengambilan keputusan yang diterapkan untuk membangun perbandingan
berpasangan pada semua elemen dalam sebuah hierarki.
3. Sintesa prioritas yang diterapkan untuk menghasilkan prioritas keseluruhan
sepanjang Hierarki dengan mempertimbangkan prioritas secara umum.
(Saaty, 1980).

Universitas Sumatera Utara