BOOK Syafruddin Pohan Model Komunikasi Anak Autis

MODEL KOMUNIKASI ANAK AUTIS DI KOTA
MEDAN: STUDI KASUS PADA KURNIA
DAN KAHFI DENGAN PENDEKATAN
PARADIGMA KONSTRUKTIVIS
Syafruddin Pohan
Departemen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Sumatera Utara.
� pohansyafruddin@yahoo.co.id

Latar Belakang
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate)
hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari
seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering
kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para
ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan
kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku
menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat
dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasiikasikan sebagai low
functioning autism.
Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan
intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya
secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang

umum diklasiikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi
dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh
pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang
diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini
penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme
untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik
pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari
hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan
autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau
nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang
diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang
tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
329

Kolase Komunikasi di Indonesia

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam
mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah
ICD (International Classiication of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993
dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994

yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan
Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD):
Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang
mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial –
Komunikasi – Perilaku.

Permasalahan Penelitian
Penelitian komunikasi yang memfokuskan dirinya pada kajian
komunikasi manusia yang menyangkut disabilitas anak seperti anak
autis di Indonesia masih sangat jarang mendapat perhatian. Beberapa
permasalahan penelitian yang menjadi perhatian utama adalah:
1. Bagaimana komunikasi antar pribadi yang dilakukan orang tua
terhadap anaknya yang menyandang autis?
2. Bagaimana peran komunikasi guru dan sekolah dalam membimbing
dan mengarahkan potensi anak muridnya yang menyandang autis?
3. Bagaimana konsep diri anak autis dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya?

Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan penelitian tersebut, maka tujuan

penelitian ini menggunakan domain taksonomi Bloom (kognitif,
afektif dan psikomotor) sebagai berikut:
1. Untuk mengevaluasi komunikasi antar pribadi yang dilakukan orang
tua terhadap anaknya.
2. Untuk memetakan karakterisasi gaya hidup anak autisme.
3. Untuk mengeksplorasi penemuan hasil kreasi dan ciptaan murid autis.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan model studi kasus dengan pendekatan
kualitatif. Dalam hal ini kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas,
dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan
menggunakan berbagai prosesdur pengumpulan data berdasarkan
330

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

waktu yang telah ditentukan (Cresswell, 2010 : hal. 20). Secara lebih
spesiik penelitian studi kasus ini memfokuskan pada “konteks”, yang
menurut Denzin dan Lincoln bahwa kasusnya b tunggal (satu orang)
tapi bersifat mendalam misalnya tentang produksi, pemasaran, dan

penjualan). Kasus yang dipilih bersifat kontekstual, unik, dan kompleks
dalam konteks isik, ekonomi, etika, estetika, dan lainnya (Denzin dan
Lincoln, 2000: 441-440).
Penelitian ini menggunakan paradidma konstruktivisme atau
komunikasi berbasis diri. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak
hanya sekadara alat untuk memahami realitas objektif dan dipisahkan dari
subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap
subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubunganhubungan sosialnya (Ardianto, 2007: 153-154)
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
wawancara mendalam dengan Kurnia dan sejumlah orang yang dekat
dengannya seperti ayah dan ibu serta gurunya (Siti Rahmah, informan
kunci). Wawancara dengan Kurnia dilakukan dengan bantuan guru
dan orang tuanya karena ada kalanya Kurnia tidak bisa memahami
dengan baik apa yang ditanyakan peneliti. Wawancara juga dilakukan
terhadap orang tua Kahi, karena Kahi sedang ada kegiatan yang tidak
bisa diganggu. Selain wawancara, penelitian ini juga menggunakan
observasi di sekitar rumahnya dan di SLB TPI Medan Amplas.
Sedangkan untuk Kahi peneliti tidak melakukan observasi kepadanya
melainkan kepada ayahnya saja. Kedua teknik ini –wawancara dan
observasi—dimaksudkan sebagai upaya untuk memperoleh data yang

lebih baik dalam rangkaian teknik triangulasi data.
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif yang bersifat
kualitatif. Dalam hal ini data penelitian akan dideskripsikan secara
mendalam dan menyeluruh. Langkah berikutnya hasil data penelitian
yang didapatkan akan dianalisis dengan menggunakan teori -teori
komunikasi yang relevan.

Hasil Penelitian
Sebelum menjadi siswa Sekolah Luar Biasa Taman Pendidikan Islam
(SLB TPI) di Medan Amplas, Kurnia sempat menjalani pendidikan SD
Muhammadiyah selama 3 tahun (sampai kelas 3). Keseharian Kurnia

331

Kolase Komunikasi di Indonesia

di SD Muhammadiyah menunjukkan kesenangannya pada pelajaran
Matematika dan Kesenian. Dua bidang itu makin terasah dengan baik
dan sering mendapat nilai yang tinggi. Pada awalnya menurut ayahnya,
mungkin saja gurunya kasihan atau berempati dengan kondisi autis

yang dihadapi Kurnia sehingga diberi nilai bagus, khususnya pelajaran
Matematika dan Kesenian. Model pembelajaran berhitung matematika
Kurnia bertumpu pada kemampuan menghitung perkalian dan pembagian
dengan menggunakan jari-jarinya (manual) dan dilakukan berulang-ulang
(pervasif). Cara ini menjadi kebiasaannya dan Kurnia tidak mau diajarkan
gurunya dengan cara yang umum dilakukan oleh murid yang normal.
SLB TPI terletak di Jalan Sisingamangaraja KM 7 Medan
Amplas yang menempati areal seluas 6.000 meter persegi. Sekolah ini
didirikan tahun 1986 oleh sejumlah dermawan Islam di Kota Medan
yang bernaung dalam Perhimpunan Taman Pendidikan Islam yang
diketuai oleh Prof. H. Ismet Danial Nasution, Ph.D . Para murid yang
bersekolah di SLB TPI dibagi berdasarkan ketunaan yang terdiri dari
: Tuna Rungu (bisu/tuli), Tuna Grahita (cacat mental), Tuna Netra
(buta) dan Autis. Menurut Nurasiah, Kepala Sekolah SLB TPI, para
murid diberi pelajaran dalam dua bidang yakni: ilmu pengetahuan
di kelas dan keterampilan di luar kelas. Di kelas, murid autis belajar
secara individual/personal—seperti les privat—di mana setiap murid
sebelumnya sudah diberikan jadwal bergantia dan bukan bersifat kelas
seperti sekolah biasa. Pelajaran keterampilan diberikan di luar kelas
dalam bidang tataboga, merangkai papan bunga dan keterampilan

membuat perabot (kursi) dan cendera mata.
Sejumlah hasil karya ditunjukkan kepada peneliti di ruang tamu
Kepala Sekolah antara lain kursi tamu berikut meja yang terbuat dari
bambu yang kami gunakan untuk berbincang-bincang. Selain itu ada
beberapa hiasan dinding dan tempat tisu yang terbuat dari bambu yang
cukup rapi dan artistik. Ketika wawancara ini dilakukan, Kurnia sedang
merangkai papan bunga berukuran besar yang dipesan seseorang untuk
keperluan pesta. Menurut Kepala Sekolah, hasil kegiatan merangkai
papan bunga, perabot kursi tamu dan hiasan dinding terbuat dari
bambu tersebut dijual kepada toko atau telah memesan sebelumnya.
Khusus murid autis yang berjumlah 12 orang yang terdiri dari
10 laki-laki dan 2 perempuan, hanya Kurnia yang dapat dibaurkan

332

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

dengan kelompok tuna rungu dan tuna netra karena Kurnia dinilai
murid autis yang bisa berinteraksi dengan mereka. Sedangkan 11
murid autis lainnya belajar secara individual seperti belajar privat dan

mereka tidak dibaurkan dengan tuna rungu dan tuna netra. Begitu
juga Kurnia diperlakukan secara khusus dan diperbolehkan mengikuti
pelajaran setingkat SMP sesuai dengan perkembangan kognitif dan
behavioralnya. Dari ukuran kemampuan dan daya intelektualitas,
Kurnia yang paling baik di antara murid autis lainnya. Kurnia
mengikuti bobot pelajaran setingkat SD dan SMP sekaligus. Menurut
Kepala Sekolah, karena kebutuhan belajar Kurnia yang begitu tinggi,
tidak jarang Kurnia dibaurkan dengan setingkat SMA pada murid
tunarungu.
Kurnia pergi ke sekolah dengan cara diantar dan dijemput oleh
anggota keluarga. Sedangkan murid autis lainnya diantar, ditunggu
sampai selesai pelajaran dan pulang bersama anggota keluarga.
Menurut Saniah, salah seorang guru di sana, sebenarnya Kurnia bisa
pergi dan pulang sekolah sendiri tanpa didampingi keluarga. Tetapi
atas pertimbangan sekolah, Kurnia disarankan untuk diantar jemput
mengingat sekolah tersebut terletak dikawasan stasiun dan terminal
bus Medan Amplas yang hiruk pikuk di jalan lintas Sumatera. Di
sekolah, Kurnia dapat bergaul dan berinteraksi dengan murid lain
bahkan dengan murid normal yang sekolahnya terletak dalam satu
kompleks.

Kebiasaan Kurnia di kelas yang tidak dilakukan temannya
yang lain adalah Kurnia adakalnya menyampaikan kepada bagian
administrasi jika gurunya belum datang pada jam belajar yang sudah
ditentukan. Begitu juga kalau ada temannya yang tidak datang, Kurnia
akan bertanya pada gurunya mengapa tidak datang. Kepedulian Kurnia
ini memperlihatkan adanya stimulus-respons terhadap lingkungan.
Dalam teori pembelajaran sosial milik Bandura dikemukakan bahwa
banyak pembelajaran manusia terjadi dengan menyaksikan orang lain
yang menampilkan perikau yang beragam atau “ganjil” (1992: 331).
Bandura juga menekankan bahwa setiap manusia (normal dan tidak
normal) tidak dilahirkan dengan sikap, nilai, persepsi dunia, dan
perilaku yang sudah direncanakan (Tan, 1981: 204). Artinya Kurnia
sebagai penyandang autis mampu merespons terhadap lingkungan
sosialnya dan ini yang berbeda dengan murid autis lainnya.
333

Kolase Komunikasi di Indonesia

Kurnia dan Fenomena Autis
Kurnia diketahui ibunya secara pasti mengidap autis ketika ia

berumur 4 (empat) tahun. Waktu itu Kurnia dimasukkan ke sekolah
Taman Kanak-Kanak (TK). Di TK itu Kurnia selalu menutup diri,
tidak mau bergaul dengan teman-temannya. Sekitar delapan bulan
berada di TK, kedua orangtuanya memutuskan Kurnia untuk berhenti
di TK itu. Meski begitu kegiatan belajar Kurnia sama seperti murid
yang lain, mengikuti kegiatan bernyanyi dan belajar. Dari pengamatan
dan informasi yang diketahui ibunya dan dari berbagai sumber, salah
satu yang berbeda dengan ketiga saudaranya yang semuanya laki-laki
menunjukkan Kurnia waktu bayi sering mencret. Ternyata setiap bayi
autis awalnya ditandai sering buang air besar dengan ciri-ciri mencret.
Pada usia TK itu Kurnia di rumah sangat super aktif sehingga
keluarganya harus mengawasi secara ketat. Demikian super aktifnya,
Kurnia kerap meninggalkan rumah kalau tidak diawasi keluarganya.
Kurnia meloloskan diri dengan memanjat atap rumah setinggi empat
meter yang memungkinkan untuk melarikan diri. Untuk mengantisipasi
kejadian yang seperti itu, kedua orang tuanya sering berkomunikasi
dengan tetangga dan berkeliling kampung. Tujuannya adalah meminta
bantuan kalau sekiranya suatu hari menemukan Kurnia tersesat agar
dapat diantarkan ke rumahnya. Perilaku Kurnia yang super aktif ini
tentu saja memusingkan kepala orangtuanya.

Tidak mengherankan apa yang dialami dan dirasakan orangtua
Kurnia, bahwa begitu terbatasnya informasi mengenai autiisme di
Indonesia. Dari salah satu situs menyebutkan bahwa autisme adalah
kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan
diakibatkan oleh faktor hereditas. Autisme merupakan salah satu gangguan
perkembangan yang merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme
atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu
dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan Perkembangan
Pervasif (Pervasive Development Disorder/PDD). Autisme bukanlah
penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada
otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya
otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang
autisme (https://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-diindonesia/.). Sebagai gambaran pada Kurnia adalah sebagai berikut:

334

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

“Kalau 3x4...sebentar pak saya hitung (Kurnia terlihat menghitung
dengan tatapan mata yang tajam ke arah jari-jari tangannya). Ya,
dua belas pak... benar kan pak. Kurnia hitung lagi ya... supaya
benar...”
Data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya menbenai
fenomena autisme di Indonesia menurut Widodo Judarwanto, dokter
dan pakar autis di pediatrician clinical and editor in chief dari http://
www.klinikautis.com menduga seperti halnya di belahan dunia lainnya
terjadi peningkatan yang luar biasa penderita autis di Indonesia. Prediksi
penderita autis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sepuluh tahun
yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000
anak, tahun 2000 meningkat menjadi satu per 500 anak”. Diperkirakan
tahun 2010 satu per 300 anak. Sedangkan tahun 2015 diperkirakan satu
per 250 anak. Perkiraan di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan
terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme atau 134.000
penyandang spektrum Autis di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya
setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena
jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 200 juta lebih,
kira-kira berapa orang yang dicurigai mengalami gangguan spektrum
autisme (https://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autisdi-indonesia/.).
Melly Budhiman pakar autisme dan ketua Yayasan Autisma
Indonesia mengungkapkan: “Di Indonesia belum pernah ada survei
resmi sehingga tidak ada data jumlah pasti angka dan pertumbuhan
autisme di Indonesia. Namun kalau dari pengalaman saya praktIk pada
era 1980an, anak autis baru hanya tiga anak per tahun. Kemudian ketika
1994-1995, mulai terjadi kenaikan. Saat ini, anak autis datang setiap hari
ke tempat saya sampai-sampai saya harus membatasi untuk yang baru,
yaitu tiga anak per hari,” (Endro Priherdityo, CNN Indonesia.http://
www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160407160237-255-122409/
indonesia-masih-gelap-tentang-autisme/.). Melly menjelaskan, secara
teori mereka memang sudah mau terlibat dan mendukung, tetapi
aplikasi di lapangan masih berbeda. Menurutnya yang terpenting
adalah orangtua menerima anak dengan kondisi autis. Bahkan saat ini
masih banyak orangtua yang belum bisa menerima kenyataan, bahkan
malu ketika mengetahui anaknya menyandang autis.

335

Kolase Komunikasi di Indonesia

Setelah tidak lagi bersekolah di TK, Kurnia menjalai terapi
dengan dokter spesialis Simbolon, spesialis anak autis /hiperaktif
yang beralamat Jl Ampera. Di tempat praktik dokter ini selama dua
tahun Kurnia diterapi dan dilatih untuk berkomunikasi selama dua
jam sebanyak lima kali dalam seminggu. Menurut orangtuanya,
selama menjalani terapi tersebut, dokter Simbolon memperlakukan
Kurnia layaknya sekolah privat. Teknik dan cara komunikasi yang
dikembangkan dokter tersebut sangat memberikan efek positif dalam
bidang kognitif, afektif dan behavioral. Sejak itu kurnia tidak perlu
dikurung di rumah dan tidak lagi berkeinginan untuk melarikan diri
dari rumah. Kurnia juga mulai menyenangi menghafal surat-surat
pendek dalam Al Quran dan menggemari hal-hal yang bersifal hafalan.
Al-Quran, Puisi dan Desain Komunikasi Visual
Kemampuan intelektualitas dan interaksi sosial Kurnia jika
dibandingkan dengan murid autis yang berjumlah 14 orang di SLB TPI
Medan Amplas terbilang menonjol. Dari siswa penyandang autis yang
lain, pada umumnya mereka hanya memiliki satu kemampuan tertentu
misalnya melukis, menyanyi atau menggambar. Studi penelitian ini
menunjukkan bahwa Kurnia memiliki bakat dan kemampuan di
bidang yang bersifat kategoris: membaca dan menghafal Al-Quran,
membaca Puisi, dan membuat rancangan Desain Komunikasi Visual.
Sejak bersekolah di SD Muhammadiyah dan SLB TPI Medan
Amplas, Kurnia diketahui sudah menunjukkan kegemarannya membaca
Al-Quran. Kegemaran membaca Al-Quran ini juga disertai menghapal
surat-surat pendek. Menurut kedua orangtuanya, hingga saat ini
Kurnia telah berhasil menghatam Al-Quran sebanyak tiga kali, suatu
kemampuan yang sangat terpuji. Di kalangan murid-murid sekolah
SD dan SMP yang dalam keadaan normal saja barangkali jarang yang
bisa menyamai kemampuan “halam Quran”. Perlu ditambahkan bahwa
kemampuan Kurnia membaca Al-Quan, termasuk melafalkannya
tentu tidak sama kualitas kefasihan pengucapannya dengan orang
normal.
Kegemaran akan puisi pada Kurnia bukan sekadar hobi bersifat
personal atau pribadi. Potensi Kurnia di bidang puisi sudah dimulai
sejak dia bersekolah di SD Muhammadiyah. Di sekolah yang berdekatan
lokasinya dari kediamannya, Kurnia sering tampil di kelas untuk
336

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

membacakan puisi. Sekolahnya juga tercatat beberapa kali mengirim
Kurnia ke tempat acara-acara tertentu untuk membacakan puisi.
DI SLB TPI Medan Amplas Kurnia juga sering diminta untuk
dan juga membaca puisi dalam acara keagamaan. Dari pengakuan
gurunya SR dan juga ketika mewawancarai Kepala Sekolah, Kurnia ada
beberapa kali diundang Camat Medan Amplas untuk membaca Puisi
pada kegiatan kantor kecamatan tersebut. Dari penuturan Nurasiah,
Kepala Sekolah dan Saniah, gurunya yang lain SLB TPI Medan Amplas
merupakan ikon dan kebanggaan Camat Medan Amplas. Sekolah ini
kerap dikunjungi tamu-tamu Camat dan juga Yayasan Lions Club
tercatat beberapa kali melakukan aktivitas sosial.
Potensi dan kemampuan Kurnia dalam hal membaca puisi telah
dibuktikannya dengan mengikuti kompetisi di tingkat Kota Medan
dan Tingkat Provinsi Sumatera Utara. Tahun 2013 dia mendapat juara
III untuk tingkat Kota Medan dengan puisi berjudul “Aku Harus Bisa”
dan berhasil menempati juara ketiga. Tahun 2014 Kurnia mengikuti
kompetisi membaca puisi Tingkat Provinsi Sumatera Utara. Puisi
dengan judul “Wajah Kotaku” ini berhasil meraih peringkat kedua
(juara dua). Untuk bisa mencapai juara Kurnia diberi motivasi oleh ibu
Siti Rahmah sepeti wawancara berikut ini:
“Kurnia itu selalu saya beri motivasi, misalnya saya katakan nanti
kamu dapat juara dan diberi piala atau medali. Nanti ibu carikan
naskah puisinya ya. Terkadang dia merajuk juga, minta saya yang
buatkan puisinya. Puisi ”Aku Harus Bisa” yang menang juara ketiga
tingkat Kota Medan saya yang buat. Hahaha...”
Kegemaran yang menonjol lainnya yang ada pada Kurnia
adalah di bidang Desain Komunikasi Visual (DKV). Secara spesiik
bidang DKV yang diminati Kurnia saat ini masih terfokus pada
“perkeretaapian”. Sudah beberapa tahun belakangan ini Kurnia rutin
setiap minggu berkunjung ke stasiun keretaapi Medan yang terletak
sekitar 7 kilometer dari rumahnya. Untuk memenuhi keinginannya
melihat gerbong-gerbong dan lokomotif keretaapi, Kurnia bahkan
setiap hari menabung uang jajannya. Dari atas “Titi Gantung”, Kurnia
memotret aktivitas lalu lalang berbagai jenis gerbong dan loko dengan
menggunakan kamera telefon selulernya. Berikut kutipan wawancara
dengan Kurnia di rumahnya:

337

Kolase Komunikasi di Indonesia

“Saya suka ambil foto kereta api...saya pakai hp untuk ambil fotofoto kereta api di stasiun itu pak... saya pergi sendiri ke sana...uang
jajan saya tabung dua ribu tiap hari...”
Dari hasil pemotretannya itu, Kurnia memindahkannya ke
komputer. Dia tidak memiliki komputer di rumah, tetapi dengan
menyewa pemakaian komputer yang ada di sekitar rumahnya. Setelah
menemukan konsep desain yang sesuai dengan keinginannya, Kurnia
mencetak konstruksi rangkaian gerbong dan lokomotif dengan
desain visual tiga dimensi. Desain visual tiga dimensi dengan warnawarnanya itu kemudian digunting, ditempel dan dibentuk mirip
seperti bentuk miniatur kereta api. Kurnia dengan bangga Uang jajan
saya menunjukkan satu keranjang hasil karyanya kepada peneliti.
Kedua orangtuanya mengatakan siapapun tidak boleh meminjam atau
meminta koleksinya tersebut. Semua tersimpan rapi di kamarnya.
Muhammad Kahi
Muhammad Kahi (18) biasa dipanggil Kahi menurut Satrya
(orangtua Kahi) dapat dikategorikan sebagai penyandang autisme
tingkat tinggi (high level). Jika Kurnia mengikuti pendidikan di sekolah
luar biasa, Kahi justru mengikuti pendidikan di sekolah biasa dari
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) semuanya di lingkungan sekolah yang
dikelola Muhammadiyah. Kahi bergaul seperti siswa-siswa normal
lainnya.
Selain bersekolah di tempat umum, Kahi juga berkesempatan
menjalankan ibadah umroh ke tanah suci bersama ayah dan ibunya.
Menurut ayahnya, Kahi mengungkapkan sendiri keinginannya untuk
berangkat umroh. Semula istri Satrya, atau ibu Kahi, merasa tidak
percaya atas keinginannya tersebut. Alasan istrinya di tanah suci jumlah
manusia begitu banyak dan pasti bersinggungan atau berdesakan
dengan orang lain.
“Ketika menjalankan ibadah umroh, Kahi akan berhadapan
dengan ribuan manusia. Penyandang autisme itu biasanya sensitif
dan dikhawatirkan akan bermasalah nanti di tanah suci. Tapi
kenyataannya Kahi baik-baik saja dan dapat mengikuti semua
prosesi umroh dengan baik seperti tawaf yang mengelilingi
Kaabah sebanyak tujuh kali bersama puluhan ribu manusia di

338

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

sana. Demikian juga Kahi dapat mengerjakan berjalan dan berlari
kecil dari Safa dan Marwah juga sebanyak tujuh kali perjalanan
pulang-pergi sejauh kurang lebih 3 kilometer”. (ayah/orangtua
Kahi)
Perilaku Kahi juga tidak menunjukkan sikap amarah dan merusak
(destruktif) benda-benda atau barang-barang seperti yang dilakukan
oleh banyak penyandang autis lainnya. Namun sifat yang hampir sama
dengan perilaku autisme lainnya juga ada pada Kahi. Misalnya Kahi
akan mengungkapkan apa yang diinginkannya secara spontan. Dia
akan marah atau merajik kalau apa yang diinginkannya tidak dipenuhi.
Jadi ciri-ciri umum autisme masih tetap ada pada Kahi meskipun
kadarnya sangat kecil. Satrya tetap beranggapan Kahi masih tergolong
penyandang autisme dengan ciri-ciri umum seperti hambatan dalam
komunikasi, kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau
obyek di sekitarnya serta menggerakkan tubuh yang berulang-ulang
atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu.
Para penyandang autisme beserta spektrumnya sangat beragam
baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan
bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak ‘berbicara’
sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga
sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya
menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsepkonsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas
yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Model Komunikasi Kahi
Pada masa kanak-kanak Kahi sempat menjalani terapi selama
dua tahun yang disebut sebagai Komunikasi Visual Terapi (KOMVIT)
melalui seorang dokter di kota Medan. Menurut orang tua Kahi, terapi
model ini menekankan kemampuan komunikasi visual. Di rumah,
kedua orang tua Kahi melatih memperagakan isi pesan dengan cara
membuat gerakan tertentu agar Kahi kelak bisa mengekspresikan apa
yang ingin dia ungkapkan. Misalnya gerakan untuk menunjukkan
diri, maka orangtuanya mencontohkan dengan mendekapkan kedua
telapak tangannya ke dada. Dalam beberapa tahun terapi komunikasi
visual ini meberikan hasil positif pada Kahi. Hampir semua apa yang
339

Kolase Komunikasi di Indonesia

diinginkannya terlebih dahulu dengan menggunakan isyarat tangan
disertai kata-kata verbal yang terucap.
Menurut orang tua Kahi, model komunikasi visual (KOMVIT)
tersebut sangat sesuai dan cocok diterapkan pada Kahi. Model
komunikasi ini belum tentu cocok dengan penyandang autis lainnya.
Dari pembentukan model komunikasi inilah Kahi terus berkembang
dari waktu ke waktu sehingga antara komunikasi verbal dan komunikasi
non verbal bersifat saling melengkapi.
Daya Kreasi Kahi
Pada umumnya penyandang autisme kekhasannya adalah fokus
pada apa yang dilakukannya berdasarkan apa yang dikehendakinya. Hal
yang demikian juga ada pada diri Kahi seperti ketertarikannya akan
desain rumah dan robot. Dua bidang itu menjadi minat dan bakatnya.
Bahkan Kahi mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan
kuliah di Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informatika. Kedua
orangtuanya belum melakukan persetujuan akan keinginan Kahi ini
karena menurut mereka diperlukan pendapat psikolog atau psikiater
untuk mewujudkan keinginan Kahi ini.
Desain rumah dan robot yang dibuat Kahi tersimpan dengan cermat
dalam arsip komputernya. Dari waktu ke waktu apa yang dihasilkannya
tidak ingin diperagakannya kepada orang lain, hal ini lebih bersifat pribadi.
Inilah salah satu menurut ayahnya diperlukan hasil kajian atau pendapat
para ahli untuk menentukan apakah sudah tepat bidang studi yang
inginkan Kahi. Selain itu dikhawatirkan ada sifat kebosanan atau jenuh
Kahi nantinya, mengingat perbedaan antara sekolah di SMK dengan di
perguruan tinggi yang masa pendidikannya lebih lama.
Di sekolah, ketika mengikuti ujian, Kahi menunjukkan
keseriusannya dengan mengerjakan soal-soal ujian secara serius. Kahi
tidak pernah keluar terlebih dahulu dari teman-temannya di SMK
meskipun soal-soal ujiannya sudah selesai dikerjakan. Kahi akan
memeriksa dengan teliti jawaban atas soal-soal yang diberikan.
“Kahi sangat memperhatian ketelitian dalam mengerjakan soal-soal
ujian dan juga ketika mendesain rumah dan robot di komputer. Boleh
dikatakan Kahi termasuk tipe perfeksionis, artinya sesuatu yang
dibuat itu harus benar-benar sempurna. Apa pun yang dilakukannya
itu selalu memperlihatkan ketekunan dan ketelitian, tidak ingin
bersifat asal-asalan.” (ayah Kahi)
340

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

Diskusi dan Pembahasan
Kemampuan Kurnia sangat menonjol dibandingkan temantemannya sesama penyandang autis di SLB TPI Medan Amplas.
Bidang-bidang yang digemarinya seperti desain komunikasi visual,
khususnya desain kereta api dan kemampuannya membaca puisi
dengan meraih juara dua dan tiga. Sikap Kurnia yang responsif kepada
teman-teman dan gurunya, juga ditunjukkan Kurnia kepada peneliti
ketika berkunjung ke rumahnya. Kemampuan kurnia yang lain adalah
kesungguhannya membaca Al Quran dan di antaranya telah tiga kali
menghatam Quran merupakan pencapaian yang tidak biasa.
Dari berbagai bidang yang digelutinya hingga kini membuktikan
Kurnia memiliki bakat yang banyak (multi talenta) yang jarang dimiliki
penyandang autis lainnya yang pada umumnya hanya menekuni satu
bidang tertentu. Kurnia memiliki kemampuan untuk mengombinasikan
logika berpikir deduktif dan induktif seperti aktivitas menghapal,
mengerjakan soal-soal matematika dan dalam melahirkan karya-karya
kreatif. Kurnia memiliki keterbatasan sarana dan prasarana untuk
melahirkan hal-hal yang bersifat kreatif seperti membaca puisi dan
desain komunikasi visual. Dalam pengamatan peneliti di rumah dan di
sekolah Kurnia, peralatan untuk menunjang kreativitas Kurnia sangat
terbatas sederhana. Misalnya komputer dan alat untuk memotret objek
dan komputer yang dipakai Kurnia sebenarnya bukan produk yang
canggih, melainkan peralatan yang sederhana.
Komunikasi berbasis diri yang dipergunakan Kurnia adalah dalam
penggunaan saluran di dalam diri sebelum mengggunakan komunikasi
antarpribadi dengan orangtuanya dan gurunya. Dari penelitian ini
menunjukkan pola komunikasi berbasis diri yang dipergunakan Kurnia
dalam konteks komunikasi antar pribadi adalah model komunikasi
perpasif, persuasif dan koersif.
Model komunikasi antar pribadi yang berifat pervasif terlihat bahwa
setiap pesan yang ingin disampaikan kepada Kurnia harus berulang-ulang.
Model ini biasanya berlaku pada penyandang autis secara umum. Ketika
peneliti ingin berfoto pada Kurnia di rumahnya, peneliti mengulangnya
beberapa kali barulah Kurnia mengerti apa pesan yang ingin peneliti
sampaikan. Begitu juga di rumah dan di sekolah Kurnia baru bisa
merespons suatu pesan jika dilakukan berulang-ulang.
341

Kolase Komunikasi di Indonesia

Model komunikasi antar pribadi yang bersifat persuasif dilakukan
kepada Kurnia untuk memastikan dan meyakinkan dirinya untuk meraih
sesuatu keinginan atau harapannya. Dalam hal ini Kurnia diberi motivasi atau
bahkan dijanjikan sesuatu. Misalnya kalau selesai mengerjakan pekerjaan
rumah, Kurnia akan diberikan uang tambahan untuk pergi ke stasiun
kereta api keesokan harinya. Dengan cara persuasif yang seperti itu Kurnia
akan mengerjakannya sampai selesai (tuntas). Ketika akan mengikuti acara
atau lomba baca puisi ibu gurunya (Siti Rahmah) selalu memberi dorongan
dan motivasi kepada Kurnia, tetapi bedanya dengan orang tuanya tidak
berupa hukuman dan ganjaran (rewards and punishment).
Model komunikasi antar pribadi yang bersifat koersif hanya dapat
dilakukan oleh ibu guru Siti Rahmah. Hal ini misalnya dilakukan ketika
Kurnia berulah di rumah. Ada kalanya Kurnia terlalu fokus atau keasyikan
dalam merancang desain kereta api hingga larut malam. Kalau sudah begitu,
maka orang tuanya akan menghubungi sang ibu guru supaya Kurnia segera
tidur. Siti Rahmah segera mengirim layanan pesan singkat memalui tetepon
seluler yang berisi pesan supaya Kurnia segera tidur. Pesan itu segera
direspons Kurnia dengan mematikan komputer dan lampu penerangan
dan langsung tidur.
Masa-masa pubertas yang ada pada Kurnia merupakan salah satu
perkembangan yang terjadi setahun belakangan ini. Salah satu kebiasaan
Kurnia adalah mengintip orang di kamar mandi. Hal ini telah terjadi
berulang-ulang di sekolah. Perilaku mengintip di kamar mandi bukan
saja tertuju pada murid remaja perempuan sebayanya tetapi juga kepada
perempuan dewasa. Untuk mengatasi hal ini peran Siti Rahmah selaku guru
berperan penting. Menurut Siti Rahmah hal yang dilakukannya kepada
Kurnia adalah dengan komunikasi yang terbuka secara terbuka dan bukan
komunikasi koersif. Ibu guruya itu menyampaikan kepada Kurnia bahwa
perbuatan yang seperti itu merupakan hal yang dimurkai Tuhan, tidak
sopan dan berdosa. Kebiasaan buruk itu sekarang ini sudah sangat jarang
dilakukan Kurnia itupun kalau dilakukan dia mengaku takut berdosa.
Perilaku pubertas seperti lelaki remaja normal lainnya yang belakangan
ini terjadi pada Kurnia adalah menyenangi perempuan. Beberapa nama
perempuan murid SLB TPI yang disenangi Kurnia dipaparkan oleh
gurunya yang lain, Saniah. Saniah bahkan pernah menyebut salah satu
murid kepada Kurnia dan dia sangat senang mendengarnya. Perilaku
menyenangi perempuan sebaya atau berpacaran seprti yang ada gejalanya
pada diri Kurnia tentu merupakan hal yang menarik untuk dikaji.
342

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

Pola komunikasi antar pribadi yang diterapkan kepada Kurnia
adalah komunikasi terstruktur. Dalam hal Kurnia sebelum melakukan
sesuatu, selalu didahului dengan pesan terstruktur yang bersifat
komunikasi perpasif, komunikasi persuasif dan komunikasi koersif
yang disampaikan oleh guru (khususnya Siti Rahmah) dan juga oleh
kedua orang tuanya. Kurnia terikat dengan pesan komunikasi yang
bersifat terstruktur yang berulang-ulang (pervasif), bujukan (persuasif)
dan perintah (koersif).
Mengacu pada pendapat Leon Festinger dalam teori disonansi
kognitif (proses selektif), model dan pola perilaku komunikasi antar
pribadi yang diterapkan pada kasus Kurnia terdiri dari selective
exposure, selective retention, dan selective retention (Severin dan
Tankard, 2000: 64-65). Selective exposure adalah kecenderungan
seseorang untuk mengekspos diri sesuai dengan sikap dirinya; selective
attention adalah kecenderungan seseorang untuk memeperhatikan
bagian-bagian pesan yang diinginkannya; dan selective retention adalah
kecenderungan seseorang mengingat kembali suatu informasi yang
dipengaruhi oleh keinginan, kebutuhan dan faktor psikologis lainnya.
Teori Festinger tersebut memiliki persamaan dengan teori Bandura
dalm pembelajaran sosial yang menekankan pada aspek proses atensi
(attentional processes), proses pengingatan (retention processes), proses
reproduksi gerak (motor reproduction processes), dan proses motivasi
(motivasional processes) (Tan, 204).
Aspek komunikasi yang tidak terlihat (invisible aspect of communication)
pada dasarnya ada pada setiap manusia di dunia ini. Jadi pada hakekatnya
perilaku berkomunikasi, selain perilaku yang terlihat (interaksi, simbol, dan
media) aspek yang tidak terlihat juga adalah termasuk proses komunikasi.
Aspek komunikasi yang sangat penting tetapi tidak terlihat oleh mata
meliputi: arti, belajar, subjektivitas, negosiasi, budaya, konteks berinteraksi
dan tingkat, referensi diri, dan keniscayaan (Ruben, 1992: 99-108).

Penutup
Berbagai hal menarik yang dapat diperoleh dalam penelitian studi
kasus ini. Terutama jika dilihat dari jumlah penelitian yang masih sedikit
tentang murid penyandang autis di Indonesia, lebih khusus di Kota Medan.
Sejumlah kesimpulan, saran, dan rekomendasi yang bersifat induktif
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
343

Kolase Komunikasi di Indonesia

a. Kesimpulan
1. Kurnia memiliki potensi bakat yang bersifat multi talenta seperti
membaca puisi, membuat desain komuniikasi visual dan merangai
bunga papan. yang proses kreatifnya bertumpu pada komputer.
Sementara Kahi, tidak memiliki multi talent tetapi simple talenta
yaitu ketertarikannya hanya di bidang komputer dan teknologi
informatika.
2. Model komunikasi antar pribadi yang dipergunakan guru
dan orang tua Kurnia adalah komunikasi pervasif, komunikasi
persuasif, dan komunikasi koersif yang terstruktur. Sementara
Kahi lebih condong menggunakan model komunikasi visual
(KOMVIT)
3. Proses komunikasi antar pribadi Kurnia bersifat selektif dalam
mengekspos diri (selective exposure), hanya tertarik pada bagianbagian yang diinginkan (selective attention), dan mengingat pesan
dan informasi berdasarkan keinginan dan kebutuhan Kurnia
(selective retention). Sementara proses komunikasi yang terjadi
pada Kahi hanya tertarik pada hal-hal yang diinginkan saja
(selective attention)
b. Saran
1. Potensi diri Kurnia dan Kahi sebenarnya masih bisa berkembang
lebih maksimal apabila institusi pendidikan di sekolah mereka
memberikan fasilitas menyediakan tenaga guru di bidang multi
media beserta perangkat teknologinya.
2. Para penyandang autisme seperti Kurnia dan Kahi perlu
melibatkan Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai
mitra untuk bersama-sama mengembangkan masa depan anakanak autis yang berkebutuhan khusus.
c. Rekomendasi
1. Penelitian ini bersifat induktif dengan dua subjek penyandang
autisme melalui pendekatan studi kasus yang bersifat kualitatif.
Penelitian sejenis dan juga yang bersifat kuantitatif (deduktif)
sehingga penelitiannya bersifat melengkapi satu dengan yang
lainnya.
2. Keterbatasan informasi tentang autisme di Medan dan Indonesia
pada umumnya, maka penelitian semacam ini dapat dijadikan
bahan untuk pembuatan monograf tentang fenomena autisme di
Indonesia.
344

Syafruddin Pohan, Model Komunikasi Anak...

Datar Pustaka
Altman, Irwin & Dalmas A. Taylor.1973. Social Penetration: he
Development of Interpersonal Communication. New York: Hollt,
Rinehart and Winston, Inc.
Ardianto, dan Bambang Q-Anees (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Astutik, Puji Itsnaini. Penerapan Metode ABA (APPLIED BEHAVIOR
ANALYSIS) Dengan Media Kartu Bergambar dan Benda Tiruan
Secara Simultan Untuk Meningkatkan Pengenalan Angka
Pada Siswa Kelas II Di SDLB AUTIS HARMONY Surakarta
Tahun Pelajaran 2009/2010. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa Universitas
11Maret Surakarta.
Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of Educational Objectives:
Handbook 1, Cognitive Domain. New York: David McKay. 2010.
Berger, Charles R. & Stevan H. Chafee. 1987. Handbook of
Communication Science. (editors). Book One. Newburry Park,
California: Sage Publications, Inc.
Cresswell, John W. 2010. Research Design : Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed. Edisi Ketiga. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K., & Yvonna S. Lincoln. (2000). Handbook of
Qualitative Research.Second Edition. London-New Delhi: Sage
Publications, Inc.
Maulana, Mirza. 2007. Anak Autis (Mendidik Anak Autis dan Gangguan
Mental Lain Menuju Cerdas dan Sehat). Yogyakarta: Katahati.
Ruben, Brent D. 1992. Communication and Human Behavior. hird
Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Green, Gina. 2008. Autism and ABA. Jakarta: Gramedia.
Pamoedji, Gayatri. 2007. Seputar Autisme. Jakarta: Gramedia
Pohan, Syafruddin (2017). Self-Based Communication: A Case Study On
he Process Of Autistic Sudent’ Creativity In Taman Pendidikan
Islam, Medan, Indonesia. Dalam International Conference of
Computer, Environment, Engineering, Social Science, and
Technology (ICEST) 2017. Medan, 5-7 May 2017.

345

Kolase Komunikasi di Indonesia

Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr.(2000). Communication
heories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media. New York
& London : Longman.
Tan, Alexis S.1981. Mass Communication heories and Research.
Colombus, Ohio: Grid Publishing, Inc.
Priherdityo, Endro. CNN Indonesia. http://www.cnnindonesia.com/
gayahidup/20160407160237-255-122409/indonesia-masihgelap-tentang-autisme/. Diakses 12 Februari 2017.
https://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-diindonesia/. Diakses 10 Februari 2017.

346