Pengaruh Walking Exercise Terprogram Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Samudera Kabupaten Aceh Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi diabetes mellitus
Menurut ADA (American Diabetes Association) (2010) diabetes mellitus

adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar
glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh kerusakan/gangguan
pada sekresi insulin, kerja insulin, atau akibat keduanya (PERKENI, 2011).
Definisi diabetes mellitus menurut Black dan Hawks (2009) adalah penyakit
kronik, progresif yang dikarakteristikkan dengan ketidakmampuan tubuh untuk
melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, serta awal terjadinya
hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah).
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak
cukup menghasilkan insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin yang dihasilkan (WHO, 2014), sedangkan menurut
Williams dan Hopper (2007) diabetes mellitus merupakan suatu penyakit
metabolik akibat kelainan sekresi dan aksi insulin yang menyebabkan peningkatan

kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diabetes mellitus
adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan kadar glukosa dalam darah
yang disebabkan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat

9
Universitas Sumatera Utara

10

gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau akibat keduanya yang dapat
menimbulkan berbagai komplikasi.
2. 1.2 Klasifikasi diabetes mellitus
Klasifikasi diabetes mellitus menurut Smeltzer dan Bare (2010)

dapat

dibagi menjadi : Diabetes Mellitus Tipe 1, Diabetes Mellitus Type 2, Diabetes
Gestasional, Diabetes yang berhubungan dengan keadaan atau sindrome tertentu,
dan Impaired Glucosa Tolerance (Gangguan toleransi glukosa).

Diabetes mellitus type 1 adalah diabetes yang disebabkan oleh kerusakan sel
beta pankreas. Faktor genetik, imunologi dan lingkungan merupakan juga faktor
yang berkontribusi terhadap kerusakan sel beta pankreas. Meskipun peristiwa
yang menyebabkan kerusakan sel beta tidak sepenuhnya dipahami, secara umum
kerentanan

genetik

merupakan

faktor

umum

yang

mendasari

dalam


pengembangan diabetes tipe 1. Diabetes tipe 1 ditandai dengan onset mendadak
yang biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
Diabetes mellitus Tipe 2 adalah diabetes yang disebabkan oleh resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin mengacu pada penurunan
sensitivitas jaringan terhadap insulin. Penyakit diabetes mellitus tipe 2 dialami
sekitar 90% sampai 95% dari seluruh penderita diabetes. Diabetes mellitus tipe 2
paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan
obesitas. Pada diabetes mellitus tipe 2, reaksi-reaksi intraseluler berkurang, yang
membuat

insulin kurang efektif merangsang penyerapan

glukosa

oleh

jaringan dan pada pengaturan pelepasan glukosa oleh hati. Meskipun mekanisme

Universitas Sumatera Utara


11

yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes
mellitus tipe 2 tidak diketahui, diduga faktor genetik memainkan peran.
Diabetes gestasional yaitu intoleransi glukosa yang terjadi selama
kehamilan. Hiperglikemia yang terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormon
plasenta yang menyebabkan resistensi insulin. Diabetes gestasional terjadi pada
14% dari wanita hamil dan hal ini meningkatkan resiko terjadinya hipertensi
selama kehamilan.
Diabetes yang berhubungan dengan keadaan atau sindrome tertentu
(sebelumnya diklasifikasikan sebagai diabetes sekunder) atau disertai dengan
kondisi yang diketahui atau diduga sebagai penyebab penyakit, seperti : penyakit
pankreas (tergantung pada kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin,
pasien mungkin memerlukan pengobatan dengan agen antidiabetik oral dan
insulin, kelainan hormonal, obat-obatan seperti kortikosteroid dan olahan yang
mengandung estrogen.
Impaired Glucosa Tolerance (IGT) kondisi menengah dalam transisi antara
normalitas dan diabetes. Orang dengan gangguan toleransi glukosa (IGT) beresiko
tinggi berkembang menjadi diabetes tipe 2.
2.1.3 Kriteria diagnostik

Kriteria untuk mendiagnosis DMT2 yang ditegakkan atas dasar pemeriksaan
kadar glukosa darah, yaitu jika ditemukan kondisi sebagai berikut : HbA1C
%, Kadar glukosa darah puasa

6,5

126 mg/dl (7,0 mmol/L), kadar glukosa darah

sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L), Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan

Universitas Sumatera Utara

12

atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTOG) 75 gram yang dilarutkan dalam air >
200 mg/dl (Ignatavicius & Workman, 2013; PERKENI, 2011).
2.1.4 Faktor risiko diabetes mellitus type 2
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DMT2 antara lain
adalah : riwayat keluarga diabetes (yaitu, orang tua atau saudara kandung dengan
diabetes), Obesitas (yaitu, Berat badan

atau BMI

20% dari berat badan yang diinginkan

27 kg / m2), lingkar pinggang

94 cm (laki-laki) atau

80 cm

(perempuan), ras / etnis (misalnya, Afrika Amerika, Hispanik, penduduk asli
Amerika, Asia Amerika, kepulauan Pasifik), Umur

45 tahun, sebelumnya

diidentifikasi gangguan glukosa puasa atau toleransi glukosa terganggu, hipertensi
( 140/90 mm Hg), kadar kolesterol HDL
tingkat trigliserida

35 mg / dL (0,90 mmol / L) dan / atau


250 mg / dL (2,8 mmol / L), riwayat diabetes gestasional

atau melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 9 pound atau lebih dari 4 kg,
inaktivitas (kurangnya aktivitas fisik) (Smeltzer & Bare, 2010; White, Duncan, &
Baumle, 2013).
2.1.5 Patofisiologi
Insulin disekresikan oleh sel-sel beta, yang merupakan salah satu dari empat
jenis sel dalam pulau Langerhans di pankreas. Ketika seseorang makan makanan,
sekresi insulin meningkat dan memindahkan glukosa dari darah ke sel-sel otot,
hati, dan lemak. Fungsi insulin antara lain yaitu mengangkut dan memetabolisme
glukosa untuk energi, merangsang penyimpanan glukosa dalam hati dan otot
(dalam bentuk glikogen) dan menghambat konversi glikogen menjadi glukosa,
meningkatkan penyimpanan lemak makanan dalam jaringan adiposa dan

Universitas Sumatera Utara

13

mencegah konversi lemak menjadi badan keton, mempercepat transportasi asam

amino (berasal dari makanan berprotein) ke dalam sel, Insulin juga menghambat
pemecahan glukosa, protein, dan lemak yang disimpan (Smeltzer & Bare, 2010;
White, Duncan, & Baumle, 2013).
Insulin adalah hormon anabolik (hormon pembangun), tanpa insulin, tiga
masalah metabolik mayor terjadi, yaitu : 1) Penurunan pemanfaatan glukosa, 2)
Peningkatan metabolisme lemak, dan 3) Peningkatan pemanfaatan protein,
sehingga akan mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat (Black & Hawks,
2009).
Kelainan dasar yang terjadi pada DMT2 yaitu 1) Resistensi insulin pada
jaringan lemak, otot dan hati menyebabkan respon reseptor terhadap insulin
berkurang sehingga ambilan, penyimpanan dan penggunaan glukosa pada jaringan
menurun, 2) Kenaikan produksi glukosa oleh hati mengakibatkan kondisi
hiperglikemia, 3) Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas menyebabkan
turunnya kecepatan transport glukosa ke jaringan lemak, otot dan hepar (Guyton
& Hall, 2007).
Dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin pada diabetes
mellitus tipe 2 adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi
insulin mengacu pada penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Biasanya,
insulin mengikat reseptor khusus pada permukaan sel dan memulai serangkaian
reaksi yang terlibat dalam metabolisme glukosa. Pada DMT2, reaksi-reaksi

intraseluler

berkurang, yang membuat insulin kurang efektif merangsang

Universitas Sumatera Utara

14

penyerapan glukosa oleh jaringan dan mengatur pembebasan glukosa oleh hati,
sehingga kadar glukosa naik dan DMT2 berkembang (Smeltzer & Bare, 2010).
2.1.6 Manifestasi klinik
Gejala yang lazim terjadi pada diabetes mellitus menurut Smeltzer dan Bare
(2010) adalah pada tahap awal gejala yang sering ditemukan antara lain :
glukosuria, poliuria, polidpsi, poliphagia, penurunan berat badan, luka pada kulit
yang lama sembuh dan gangguan penglihatan (pandangan kabur).
Glukosuria terjadi jika konsentrasi glukosa dalam darah tinggi, ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring, akibatnya glukosa
dikeluarkan melalui berkemih, sehingga urine mengandung glukosa. Poliuria
(banyak kencing), hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat,
glukosa yang berlebihan dieksresikan ke dalam urin, eksresi ini akan disertai

dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang disebut dengan diuresis osmotik,
pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih. Polidipsi (banyak minum),
hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan banyak kehilangan cairan
akibat poliuria, sehingga timbul rasa haus dan klien banyak minum. Poliphagia
(banyak makan), hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel, sel
mengalami starvasi (lapar), sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan,
tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya berada
sampai pada pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2010).
Manifestasi klinis lainnya adalah berat badan menurun, lemas, lekas lelah,
dan tenaga kurang. Hal ini disebabkan oleh defisiensi insulin yang mengganggu
metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan yang

Universitas Sumatera Utara

15

mengakibatkan menurunnya simpanan kalori sehingga timbul gejala kelemahan
dan lelah. Luka pada kulit yang lama sembuh dan kulit gatal

gatal serta


gangguan penglihatan (penglihatan kabur) juga bisa terjadi akibat hiperglikemia
(Tarwoto, Wartonah, Taufiq, & Mulyati, 2012).
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada DMT2 antara lain adalah: 1) komplikasi
akut diabetes mellitus yang meliputi: hiperglikemia, hipoglikemia, dan
ketoasidosis diabetik. 2) Komplikasi kronis yang meliputi : makrovaskuler dan
mikrovaskuler (Smeltzer & Bare, 2010).
Hiperglikemia terjadi akibat glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel
karena kurangnya insulin, tanpa tersedianya karbohidrat untuk bahan bakar sel,
hati mengubah simpanan glikogennya kembali ke glukosa (glikogenolisis) dan
meningkatkan biosintesis glukosa (glukoneogenesis). Respon ini memperberat
situasi dengan meningkatnya kadar glukosa darah. Hipoglikemia terjadi bila kadar
glukosa darah 50

60 mg/dl. Reaksi hipoglikemia mungkin terjadi akibat: 1)

Dosis insulin yang berlebihan. 2) Menghindari makanan atau makan lebih sedikit
dari biasanya. 3) Pemakaian tenaga yang berlebihan tanpa penambahan
kompensasi karbohidrat. 4) Ketidakseimbangan nutrisi dan cairan disebabkan
mual dan muntah. 5) Asupan alkohol (Black & Hawks, 2009).
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya jumlah insulin atau
secara nyata jumlah insulin tidak memadai. Defisit produksi insulin ini
mengganggu metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Tiga manafestasi klinis

Universitas Sumatera Utara

16

(fitur) utama ketoasidosis diabetik adalah : hiperglikemia, dehidrasi dan
kehilangan elektrolit serta asidosis (Smeltzer & Bare, 2010).
Komplikasi makrovaskuler meliputi : penyakit jantung koroner, Hipertensi,
penyakit

pembuluh

darah

perifer

dan

infeksi.

Sedangkan

komplikasi

Mikrovaskuler meliputi : retinopati, nefropati dan neuropati. Komplikasi vaskular
jangka

panjang

(mikroangiopati),

diabetes

mellitus

pembuluh

darah

melibatkan
sedang

dan

pembuluh

darah

kecil

pembuluh

darah

besar

(makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes mellitus yang
menyerang kapiler dan arteriol retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal
(nefropati diabetik), dan saraf perifer( neuropati diabetik) dan otot serta kulit.
Makroangiopati

diabetik

mempunyai

gambaran

histopatologis

berupa

aterosklerosis (Price & Wilson, 2005).
2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan diabetes mellitus adalah untuk menormalkan
aktivitas insulin dan kadar glukosa darah sebagi upaya untuk mengurangi
terjadinya komplikasi vaskuler dan komplikasi neuropatik (Smeltzer & Bare,
2010). Penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI (2011) dan Smeltzer
dan Bare (2010) terdiri dari lima komponen, yang terdiri dari : 1) Edukasi, 2)
Terapi Gizi Medis (TGM) atau perencanaan makan, 3) Latihan jasmani, 4) Terapi
farmakologis dan 5) Pemantauan kadar glukosa darah dan keton.
Kelima komponen penatalaksanaan DMT2 akan diuraikan sebagai berikut :
1) Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang memerlukan perilaku
penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Pasien harus belajar untuk

Universitas Sumatera Utara

17

mengatur keseimbangan berbagai faktor seperti diet, aktivitas fisik, stres fisik, dan
stres emosional yang dapat mempengaruhi pengendalian diabetes. Oleh karena itu
penderita diabetes memerlukan informasi dan edukasi tentang keterampilan untuk
merawat diri sendiri guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa
darah secara mendadak dan perilaku preventif dalam gaya hidup yang dapat
menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. (Smeltzer & Bare, 2010).
Terapi gizi Medis atau Perencanaan Makan. Terapi Gizi Medis (TGM)
merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan
TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Latihan (program aktivitas fisik terencana) sangat penting dalam
penatalaksanaan DMT 2 karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah
dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar
glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot. Sirkulasi
darah dan tonus otot juga dapat diperbaiki dengan latihan (olah raga) (Smeltzer &
Bare, 2010)
Latihan jasmani secara teratur (3- 4 kali seminggu selama kurang lebih 30
menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes melitus. Kegiatan
sehari

hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus

tetap dilakukan. Selain untuk menjaga kebugaran juga, latihan jasmani dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging,

Universitas Sumatera Utara

18

dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Pasien yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes melitus dapat
dikurangi (PERKENI, 2011).
Beberapa kegunaan latihan fisik secara teratur bagi penderita DMT2
menurut Arsa, Lima, Santos, Cambri, Campbell, Lewis, dan Simoes (2015) adalah
meningkatkan uptake glukosa oleh jaringan selama dan sesudah latihan/exercise,
menurunkan hiperglikemia, memperbaiki sensitivitas insulin dan meningkatkan
translokasi transpor glukosa, menurunkan tekanan darah dan resistensi pembuluh
darah perifer, serta meningkatkan enzim anti oksidan.
Terapi farmakologis atau pengobatan diabetes secara menyeluruh mencakup
diet yang benar, olah raga yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau
suntikan insulin. Penderita DMT2 umumnya perlu minum obat anti diabetes
secara oral atau tablet. Sedangkan suntikan insulin diperlukan pada kondisi
tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan tablet. Pada sebuah uji klinis
terkontrol-plasebo yang dilakukan oleh kelompok penelitian program pencegahan
diabates di Amerika Serikat didapatkan hasil bahwa program perubahan gaya
hidup intensif yaitu rekomendasi gaya hidup standar (diet rendah kalori, rendah
lemak dan aktivitas fisik sedang) ditambah metformin (850 mg, 2 x sehari) efektif
mengurangi risiko kejadian DMT 2 sebesar 50% (Black & Hawks, 2009).
Monitoring

keton

dan

gula

darah.

Ini

merupakan

komponen

penatalaksanaan yang dianjurkan kepada pasien DMT 2. Monitor level gula darah
sendiri dapat mencegah dan mendeteksi kemungkinan terjadinya hipoglikemia

Universitas Sumatera Utara

19

dan hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat pilar diatas untuk
menurunkan resiko komplikasi dari DMT2. Pemantauan kadar glukosa darah
dapat dilakukan secara mandiri/sendiri yang disebut dengan self-monitoring blood
glucose (SMBG). SMBG memungkinkan penderita DMT2 untuk mendeteksi dan
mencegah hiperglikemia atau hipoglikemia, serta berperan dalam memelihara
normalisasi glukosa darah sehingga pada akhirnya akan mengurangi komplikasi
diabetik jangka panjang. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan bagi penderita DMT2
yang tidak stabil dan cenderung untuk mengalami ketosis atau hiperglikemia,
serta hipoglikemia tanpa gejala ringan (Smeltzer & Bare, 2010).

2.2

Glukosa Darah

Glukosa darah adalah jumlah glukosa atau gula yang ada dalam darah manusia
yang disediakan oleh makanan yang kita makan. Ketika karbohidrat dimakan,
lalu dicerna menjadi gula, termasuk glukosa, kemudian diserap ke dalam aliran
darah (Williams & Hopper, 2007). Kadar gula darah adalah jumlah kandungan
glukosa dalam plasma darah (Dorland & Newman, 2010). Glukosa secara normal
bersirkulasi dengan jumlah tertentu di dalam darah. Sumber utama glukosa
berasal dari penyerapan makanan di

saluran pencernaan dan pembentukan

glukosa oleh hati dari zat makanan (Smeltzer & Bare, 2010).
2.2.1 Metabolisme pengaturan glukosa darah
Glukosa dapat memasuki sel hanya dengan bantuan insulin, hormon yang
diproduksi oleh sel-sel beta di pulau Langerhans pankreas. Glukosa adalah
sumber utama energi untuk sel-sel tubuh (Williams & Hopper, 2007).

Universitas Sumatera Utara

20

Glukosa adalah satu-satunya nutrisi yang dalam keadaan normal dapat
digunakan oleh otak, retina, dan epitel germinal dari gonad. Kadar glukosa darah
harus dijaga dalam konsentrasi yang cukup untuk menyediakan nutrisi bagi organ
organ tubuh. Namun sebaliknya, konsentrasi glukosa darah yang terlalu tinggi
juga dapat memberikan dampak negatif seperti diuresis osmotik dan dehidrasi
pada sel. Oleh karena itu, glukosa darah perlu dijaga dalam konsentrasi yang
konstan (Guyton & Hall, 2007).

2.3. Walking Exercise
Walking/berjalan merupakan tipe aktivitas fisik sederhana yang bisa
dilakukan hampir dimana saja dan merupakan bentuk aktivitas fisik yang paling
banyak dilaporkan dikalangan orang dewasa (Segar & Richardson, 2014).
Walking adalah salah satu jenis latihan aerobik yang mudah untuk dilakukan,
tidak memerlukan keahlian khusus dan peralatan mahal (Negri, Bacchi, Morgante,
Soave, Marques, Menghini, & Morghetti, 2010). Exercise/latihan merupakan
aktivitas fisik terstruktur yang direncanakan atau gerakan tubuh yang dilakukan
berulang-ulang untuk memperbaiki atau memelihara satu atau lebih kebugaran
komponen fisik (Zanuso, 2014). Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa walking exercise adalah suatu aktivitas fisik sederhana yang
dilakukan secara terstruktur dan terencana untuk mempertahankan atau
meningkatkan kesehatan dan kebugaran.

Universitas Sumatera Utara

21

2.4. Manfaat Walking Exercise
Penelitian yang dilakukan Asano, Sales, Browne, Moraes, Junior, & Simoes,
(2014) menjelaskan bahwa program latihan fisik (latihan aerobik walking
exercise) memberikan efisiensi terhadap kontrol diabetes mellitus dan program ini
disarankan sebagai salah satu perawatan non farmakologis terbaik bagi penderita
diabetes mellitus type 2. Program latihan ini dapat membantu dalam mengontrol
glikemia diabetes mellitus type 2, terutama selama dalam kegiatan latihan fisik
tersebut terjadi peningkatan kebutuhan konsumsi glukosa oleh otot rangka dan
efek hipoglikemik setelah latihan.
Beberapa manfaat kesehatan dengan walking exercise menurut Reents
(2016), antara lain: mengurangi risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler,
menghilangkan lemak tubuh, memperbaiki kebugaran aerobic (pada beberapa
orang), meningkatkan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) (kolesterol
baik),

memperbaiki

metabolisme

glukosa,

menurunkan

tekanan

darah,

meningkatkan fungsi mental dan memperbaiki mood.

2.5

Peran Exercise Bagi Penderita Diabetes Type 2
Exercise merupakan bagian yang penting dalam pengobatan penderita

diabetes karena bisa membantu penderita untuk meningkatkan kesensitifan
insulin, menurunkan risiko terkena gangguan jantung, mengontrol berat badan,
dan meningkatkan kesehatan mental. Pada saat exercise permeabilitas membran
sel terhadap glukosa meningkat pada otot yang berkontraksi sehingga gula darah
lebih mudah masuk ke dalam sel dan resistensi insulin berkurang, dengan kata
lain sensitivitas insulin meningkat (Kurniadi & Nurrahmani, 2014).

Universitas Sumatera Utara

22

2.6

Porsi Latihan Walking Exercise
Exercise yang baik untuk penderita diabetes adalah yang bersifat aerobik,

terus menerus, ritmikal dan progresif. Porsi latihan harus ditentukan supaya
latihan yang dilakukan oleh penderita DMT2 memberikan manfaat yang baik.
Latihan yang berlebihan akan merugikan kesehatan, sedangkan latihan yang
terlalu sedikit tidak akan bermanfaat. Porsi exercise untuk penderita diabetes
haruslah bergantung pada intensitas, durasi dan frekuensi (Kurniadi &
Nurrahmani, 2014).
Exercise yang direkomendasikan untuk penderita DMT2 adalah latihan
aerobik (walking exercise) dengan intensitas rendah
kapastas maksimal aerobik) dengan durasi 20

sedang (40% - 60% dari

30 menit minimal 3

5 kali

seminggu atau minimal 3 hari dalam seminggu dengan tidak lebih dari dua hari
berturut-turut antara aktivitas (Colberg, Sigal, Fernhall, Regensteiner, Blissmer,
Rubin, & Braun, 2010; Bowers, 2013).

2.7. Prinsip Pelaksanaan Walking Exercise
Sebelum memulai program Walking Exercise sebaiknya konsultasikan
kondisi penderita DMT2 dengan dokter, Exercise dilakukan antara 1 sampai 2 jam
setelah makan (jangan pada saat perut kosong), monitor kadar glukosa darah
sebelum dan setelah exercise, jangan lakukan exercise jika kadar glukosa < 100
mg/dL, bawalah makanan ringan yang mengandung karbohidrat untuk
menghindari terjadinya penurunan kadar glukosa darah saat Walking Exercise,
minum cukup air putih untuk menghindari dehidrasi, gunakan pakaian dan sepatu
yang nyaman. Kondisi lantai yang baik penting untuk memberikan keamanan

Universitas Sumatera Utara

23

selama melakukan latihan di rumah. Hentikan exercise jika penderita mengalami
nyeri atau sulit bernafas, pusing, mual dan muntah, hipoglikemia, peningkatan
tekanan darah, terlalu lelah atau denyut jantung terlalu cepat (APTA, 2007;
Kurniadi & Nurrahmani, 2014).

2.8 Tehnik Pelaksanaan Walking Exercise
Kegiatan exercise yang dianjurkan yaitu diawali dengan pemanasan
(warming up) dengan durasi 5-10 menit yang bertujuan untuk menaikkan suhu
tubuh, meningkatkan denyut nadi mendekati intensitas exercise, mengurangi
kemungkinan cedera. Exercise inti dilakukan dengan durasi 20

30 menit dengan

intensitas 40% - 60% dari target nadi maksimum dan denyut nadi diusahakan
mencapai THR (Target Heart Rate), pendinginan (cooling down) dilakukan
selama 5

10 menit yang bertujuan untuk mencegah timbulnya nyeri dan pusing

(Kurniadi & Nurrahmani, 2014).

2.9 Landasan Teori
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis dengan durasi seumur hidup
dan menjadi masalah kesehatan secara global. Faktor perilaku gaya hidup yang
tidak sehat dan perubahan sosial ekonomi telah memicu terjadinya peningkatan
angka kejadian DMT2. Modifikasi gaya hidup sangat penting untuk keberhasilan
pengelolaan DMT2 (Mohamed, 2014).
Strategi perilaku perawatan diri dapat membantu peningkatan perubahan
gaya hidup di antara penderita DMT2 dalam pengelolaan penyakit mereka
sehingga kontrol glikemik dapat dipertahankan mendekati normal.

Masalah-

Universitas Sumatera Utara

24

masalah yang dialami oleh penderita DMT2 dapat diminimalkan jika penderita
memiliki

pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk melakukan

pengontrolan terhadap penyakitnya dengan cara melakukan self- care. Teori
keperawatan yang akan diaplikasikan dalam penelitian ini adalah teori self-care
yang dikembangkan oleh Dorothea Orem (D Sauza,Karkada, Venkatesaperumal,
& Natarajan, 2015)
Teori self-care Dorothea E. Orem memandang pasien sebagai individu yang
memiliki potensi untuk merawat dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan
hidup, memelihara kesehatan, dan mencapai kesejahteraan (Tomey & Alligood,
2006). Upaya mandiri yang dilakukan oleh penderita DMT2 disebut juga dengan
self-care diabetes yang merupakan integrasi dari pendekatan teori self-care Orem
yaitu self care agency (Raziyeh, Simin, & Abdolail, 2013)
Self care agency adalah kemampuan

manusia atau kekuatan untuk

melakukan perawatan diri. Upaya peningkatan self care agency pada panderita
DMT2 dapat dilakukan dengan sistem suportif dan edukatif yaitu memberikan
bantuan berupa pemberian informasi dan dukungan pendidikan dengan harapan
penderita dapat melakukan perawatan secara mandiri. Perawat bekerjasama
dengan penderita diabetes untuk menetapkan tujuan manajemen diri (self care)
dan mendukung perilaku manajemen diri yang positif di bidang aktivitas fisik,
makan yang sehat, minum obat, self monitor glukosa, partisipasi aktif dalam
screening untuk komplikasi dan koping yang efektif (Hunt, 2013).
Self care diabetes dalam aplikasi klinik diartikan sama dengan self
management pada penderita diabetes. Self care diabetes merupakan kemampuan

Universitas Sumatera Utara

25

seseorang dalam melakukan perawatan diri dan penampilan tindakan self care
diabetes untuk meningkatkan pengaturan gula darah (Sousa & Zauszniewski,
2005)
Menurut ADA (American Diabetes Association) Kebanyakan penderita
diabetes membutuhkan dukungan dalam self management diabetes secara
berkelanjutan untuk mempertahankan perilaku self management sesuai tingkat
kebutuhan dalam mengelola diabetes secara efektif. Dukungan self management
tersebut dapat diperoleh penderita diabetes mellitus melalui penyedia pelayanan
kesehatan (Wong, Zheng, Haardofer, Kegler, Zhu, & Fu, 2013).
Kemampuan individu untuk melakukan self care dipengaruhi oleh basic
conditioning factors seperti; umur, jenis kelamin, status perkembangan, status
kesehatan, orientasi sosial

budaya, sistem perawatan kesehatan (diagnostik,

penatalaksanaan modalitas), sistem keluarga, pola kehidupan, lingkungan serta
ketersediaan sumber (Fawcett, 2006).

Universitas Sumatera Utara

26

2.10 Kerangka Teori Penelitian
Skema 2.1 Kerangka teori penelitian

Theory of Nursing
System

Orem s Self
Care Model

Theory of Self Care
Deficit

Supportive/
Educative System

Theory of Self Care

Self Care Agency

- Glukosa darah terkontrol
- Komplikasi minimal

Dikutip dari: Tomey & Alligood

Melakukan aktivitas fisik walking
exercise secara mandiri

(2006), PERKENI (2011), Smeltzer &

Bare (2010)

Universitas Sumatera Utara

27

Skema 2. 2 Kerangka Kerja Penelitian

Self care
agency

Pre test : Pengukuran
awal kadar glukosa
darah sewaktu
sebelum
walking
.
exercise

Supportive/
Educative
System

Intervensi :
Walking
exercise(Latihan
jalan kaki yang
dilakukan
selama 30 menit)
dengan frekuensi
4 kali seminggu

Theory of
Nursing
System :

Post test : kadar
glukosa darah
sewaktu setelah
diberikan
perlakuan/
walking exercise

Universitas Sumatera Utara

28

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa Tahun 2011

4 87 60

Perbandingan Kadar LDL Kolesterol pada DM tipe 2 dengan atau tanpa hipertensi

1 65 87

PENGARUH STRES TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2.

0 0 3

Pengaruh Walking Exercise Terprogram Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Samudera Kabupaten Aceh Utara

0 0 14

Pengaruh Walking Exercise Terprogram Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Samudera Kabupaten Aceh Utara

0 0 2

Pengaruh Walking Exercise Terprogram Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Samudera Kabupaten Aceh Utara

0 0 8

Pengaruh Walking Exercise Terprogram Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Samudera Kabupaten Aceh Utara

0 0 5

Pengaruh Walking Exercise Terprogram Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Samudera Kabupaten Aceh Utara Appendix

0 0 22

BRISK WALKING DAPAT MENURUNKAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI DESA KLUMPIT KECAMATAN GEBOG KABUPATEN KUDUS

0 2 18

PENGARUH SENAM DIABETES TERHADAP KADAR GULA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMPING 1 SLEMAN YOGYAKARTA

0 0 10