Pertanggungjawaban Orang Tua Terhadap Anak Incest Menurut Hukum Islam

29

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU INCEST MENURUT HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Tinjauan Umum Tentang Incest
1.

Pengertian, Ruang Lingkup dan Sejarah Incest
Incest berasal dari bahasa Latin estus yang berarti murni. Sementara

incestus berarti tidak murni, dan dalam bahasa Inggris incest berarti hubungan
sedarah, dan dalam bahasa Indonesia terkadang di gunakan dengan istilah
hubungan sumbang. Selanjutnya, incest didefinisikan sebagai hubungan badan
atau hubungan seksual yang terjadi di antara dua orang yang mempunyai ikatan
pertalian darah atau dalam istila genetiknya disebut in breeding.60
Secara singat incest adalah hubungan seksual yang terjadi antar anggota
keluarga, terjadi karena adanya perasaan saling suka atau saling cinta. Akan tetapi
dapat terjadi karena adanya paksaan. Incest dalam bentuk kedua ini biasanya
dilakukan oleh orang-orang yang sudah dewasa (lebih berkuasa) terhadap anakanak. Incest adalah hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang

masih terkait hubungan darah.61
Barda Nawawi Arif, mendefiniskan incest sebagai persetubuhan anggota
keluarga sedarah dalam garis lurus atau samping sampai derajat ketiga.62
Sedangkan Margaret Mead yang dikutip majalah intisari, memaparkan incest

60

Admin, Hubungan Darah, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan-Sedarah,
diakses pada tanggal 5 November 2015.
61
Tim Penyusunan Diknas RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
hal. 435.
62
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 261.

29

29


Universitas Sumatera Utara

30

“sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota
keluarga inti, kecuali hubungan seksual suami istri”seperti : hubungan seksual
yang dilakukan antara Bapak dan anak, sesama saudara kandung, atau juga yang
dilakukan oleh ibu dengan anaknya. Dampaknya dapat ditebak, bagaimana
traumatisnya baik terhadap si pelaku maupun si korban, sehingga pelaku incest
cenderung memilih bungkam daripada aibnya diketahui oleh publik. Singgih
Wijaya, menegaskan bahwa tindakan incest dapat dibedakan kepada beberapa
kategori:63
a. .......................................................................................................... P
raktek pedophilic incest; yang dilakukan oleh seorang ayah yang tidak
matang sikoseksualnya atau mengalami kesulitan seksual; untuk
memenuhi fungsi seksualnya ia berhubungan dengan anak gadisnya;
b. .......................................................................................................... P
sycopathic incest adalah prilaku incest yang dilakukan seorang pendrita
sakit jiwa (psycopat) yang menganggap kebanyakan orang, termasuk
anaknya sendiri sebagai objek seksual. Karena, pelaku incest semacam

ini hampir tidak pernah menunjukan rasa bersalah atas perbuatannya,
bahkan cenderung nekat, tak segan melakukan perkosaan terhadap
orang lain yang bukan penghuni rumahnya; seperti sepupuan atau
terdapat hubungan saudara lainnya.
c. .......................................................................................................... F
amili generated incest; seorang ayah yang fasif sementara sang isteri
63

Dadang Hawari, Perlindungan Korban Perkosaan, (Solo: Pt. Dana Bhakti, 1991), hal.

12-13.

30

Universitas Sumatera Utara

31

terganggu kepribadiannya, akibatnya kehidupan perkawinan bagi
mereka hambar dan anak-anak menjadi sasaran seksual, si anak

dijadikan semacam gundik ayahnya sendiri.64
Sejarah hubungan intim dengan anggota keluarga sudah ada bahkan
sebelum Rasullah SAW., dilahirkan. Salah satu Negara adi kausa yang sudah
ada sebelum kelahiran Rasullah SAW adalah Persia. Diantara falsafah
Zoroaster yang dianut oleh bangsa Persia ketika itu adalah mengutamankan
perkawinan seorang dengan ibunya, anak perempuannya atau saudara
perempuannya. Sehingga Yasdasair II yang memerintah Persia pada
Pertengahan Abad V Masehi tercatat sebagai salah seorang raja yang pernah
kawin dengan anak perempuannya.65 Praktek incest selanjutnya bukan
merupakan hal yang baru lagi. Di Tel Aviv yang merupakan kota Metropolis di
Israel pernah terjadi perkawinan dengan sesama saudara seayah. Hal ini terjadi
akibat teknologi kedokteran yang bernama inseminasi buatan dengan sperma
donor. Sofyan Dahlan menceritakan kejadian ini dan menulisnya:66
Sekalipun hal ini kecil kemungkinannya, namun pernah terjadi di Tel
Aviv, seorang remaja yang kawin karena menginginkan kebahagian
rumah tangga, tetapi mereka dapatkan adalah kenyataan pahit, karena
ternyata mereka berasal dari donor yang sama. Harus ceraikah mereka
menurut undang-undang.67
Di indonesia sendiri sampai saat ini perilaku incest masih ada pada
kelompok masyarakat tertentu.


64
65

Ibid.
Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh Sirah Nabawiyah, (Damaskus: Dar al-kutub al- ilmiyah)

, hal. 4.
66

Ibid.
M. Shaleh Tahar, Inseminasi Buatan Menurut Hukum Islam, cet. Ke-1, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1987), hal. 67.
67

31

Universitas Sumatera Utara

32


2.

Faktor

Penyebab

Terjadinya

Incest

dan

Dampaknya
Pada dasarnya seseorang manusia merupakan anggota dari kelompok
masyarakat yang memerlukan pertemuan biologis atau sosial, setiap kelompok
itu adalah normatif, artinya, terpaut didalamnya tumbuh norma-norma dari
tingkah laku sesuai dengan keadaan yang terbentuk dari aktivitas khusus dari
kelompok, dengan demikian menurut A. Lacassagne teori lingkunganlah yang
memberikan kesempatan sebagai penyebab timbulnya suatu kejahatan.68

Menurut Bonger salah satu penyebab sumber terjadinya kejahatan (termasuk
perkosaan sedarah) adalah kemiskinan dan kesengsaraan, artinya pengaruh
keadaan terhadap jiwa manusia; kesengsaraan membuat fikiran menjadi
tumpul, kebodohan dan ketidak beradaban.69 Bonger menekankan bahwa
sumber dari segala kejahatan adalah kemiskinan dan kesengsaraan. Pengaruh
keadaan terhadap jiwa manusia, kesengsaraan membuat fikiran menjadi
tumpul, kebodohan dan tidak biadaban merupakan penganut-penganutnya.
Faktor ini merupakan yang berkuasa atas timbulnya kejahatan khususnya
incest. 70
Selain itu faktor lain yang menyebabkan terjadinya incest yaitu :71

68

B. Bosu, Sendi-sendi Kriminologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hal. 24.
Ibid,hal. 25
70
Ibid
71
Www. Islam Masa kini, Blogspot.com, diakses tanggal 20 November 2015.
69


32

Universitas Sumatera Utara

33

a.

Kebodohan terhadap ajaran dinul Islam. Sehingga akhirnya
merehkan aturan-aturan baik perintah maupun larangan yang telah
ditetapkan oleha Allah dan Rasul-Nya.

b.

Tidak dipisahnya antara ranjang orang tua dengan anak-anak
mereka, dan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Karenanya
Rasullullah SAW telah memerintahkan kepada para orang tua,
apabila anak-anak mereka telah mencapai umur tujuh tahun,
diperintahkan


untuk

mengerjakan

shalat

dan

memisahkan

ranjangnya. Namun, karena kasih sayang dan kecintaan yang
berlebihan kepada anak-anak, tidak sedikit orang tua yang masih
tidur dengan anak-anak mereka, meskipun anak-anak mereka telah
besar dan berumur baligh.
c.

Meremehkan penjagaan aurat.

d.


Pendidikan seks yang berlebihan.
Kenekatan pelaku melakukan perbuatan incest ini merupakan suatu

kebodohan yang nayat terlebih lagi tanpa ditopang oleh pengetahuan dan
keyakinan ajaran agama yang dimiliki.72
Socrates mengungkapkan bahwa manusia masih melakukan kejahatan
karena pengetahuan tentang kebijakan tidak nyata baginya karenanya
pendidikan yang dilaksanakan di rumah dan di sekolah memegang perananan
yang sangat penting dalam membentuk kepribadian seorang, dan pendidikan
yang jelek atau kegagalan di sekolah lalu dikembangkan di rumah akan
72

Soedjono Djirosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi (Bandung: Armico, 1995), hal.

167.

33

Universitas Sumatera Utara


34

mengakibatkan timbulnya suatu kejahatan, dan oleh Van Hamel ditambahkan
lagi dengan keadaaan lingkungan yang mendorong seseornag melakukan
kejahatan, meliputi keadaan alam (geografis, dan klimatologis), keadaan
ekonomi dan tingkat keberadaban.73
Perkawinan incest diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan
yang secara biologis, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letak
(mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan
tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat dalam pada anak-anaknya.
Akumulasi gen-gen pembawa sifat lemah dari kedua tertua pada satu individu
(anak) terekspresikan karena genotipenya berada dalam kondisi homozigot.74
Perkawinan incest tidak dikhendaki pada hampir semua masyarakat dunia.
Semua agama besar dunia melarang perkawinan incest. Di dalam aturan agama
Islam (fiqih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan
sosial di antara individu-individu yang masih sekrabat. Bagi seseorang tidak
diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang
tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat).75
3.

Incest dalam Pandangan Hukum Islam
Incest dalam bahasa arab juga disebut ghisyan al-maharim Sifah al-

qurba atau zina al-maharim yaitu hubungan seksual antara orang yang
diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah, karena kekerabatan atau

73
74

Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 71-73.
Ibid, Hubungan Sedarah, http;//id.wikipedia.org/wiki/. Diakses tanggal n7 November

75

Ibid.

2015.

34

Universitas Sumatera Utara

35

sedarah.76 Incest ini kadang dilakukan dengan sukarela di antara mereka dan
ada pula yang dilakukan dengan paksaan (pemerkosaan).
Terlepas dari apakah dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, dampak
dari incest ini adalah rusaknya makna bapak, ibu, anak, saudara, pamam,bibi
dan seterusnya. Karena itu, tindakan ini bukan saja haram, sebagaimana
haramnya perzinaan, tetapi juga merupakan tindakan yang sangat keji. Incest
ini bukan saja terkena keharaman zina, melainkan juga keharaman hubungan
seksual dengan mahram. Dengan kata lain, tindakan incest ini dikatakan telah
melakukan dua keharaman sekaligus: keharaman zina dan keharaman menodai
hubungan sedarah (mahram).77
Pertama: fakta incest ini adalah adalah fakta zina, karena hubungan
seksual tersebut dilakukan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Menurut para
fukaha.78

ِ
ِ ِ ِ
ِ
‫ِ فَ ْر ِج َها ِم ْن َغ ِْْ نِ َكاَ ٍح َواَ ُشْب َه ِة‬
ْ ً‫اَ ِلز ََ ا ْس ٌم ل َو ْطء ا لَر ُج ِل ا ْمَر أَ ة‬
‫نِ َكاَ ِح‬
Artinya: “Zina adalah istilah persenggaman seorang pria dengan wanita pada
kemaluan (vagina)-nya tanpa didasari ikatan pernikahan, maupun
syubhat pernikah”

Karena itu, dalil tentang keharaman incesti dalil yang menyatakan tentang
keharaman zina. Dengan tegas, zina telah diharamkan oleh nash Al-Qur’an
maupun Al-Hadist. Dalam Al- Qur’an, Allah SWT berfirman: 79

76

Http://hizbut-tahrir.or.id/2010/03/09/hukum-syariah-seputar-incest/, diakses tanggal 17
November 2015.
77
Ibid.
78
Perkawinan Sedarah (incest) Dalam Pandangan Syari’at Islam Oleh Tengku Azhar,
Lc. Http:// New-ydsui.blogspot.co.id,diakses tanggal 17 November 2015.
79
Qur’an Surat An-Nisa Ayat 22-23

35

Universitas Sumatera Utara

36

ِ َ‫وا تَْنكِحوا ما نَ َكح آبا ُؤُكم ِمن النِس ِاء إِا ما قَ ْد سلَف إِنَه َكا َن ف‬
‫اح َشةً َوَم ْقتًا‬
ُ َ َ
َ
َ
َ َ ْ َ َ َ ُ
‫َخ َواتُ ُك ْم َو َع ََاتُ ُك ْم‬
ْ ‫) ُح ِرَم‬٢٢( ‫َو َساءَ َسبِيا‬
َ ‫ت َعلَْي ُك ْم أَُم َهاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأ‬
ِ ‫اأخ وب نَات اأخ‬
ِ ‫ت َوأَُم َهاتُ ُكم‬
‫َخ َواتُ ُك ْم‬
َ ‫الات أ َْر‬
ْ ُ َ َ ِ ‫ات‬
ُ َ‫َو َخااتُ ُك ْم َوبَن‬
َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأ‬
ُ
ِ ‫ِمن الَرض‬
ِ ‫الات ِِ ُح ُُوِرُك ْم ِم ْن نِسائِ ُكم‬
ِ ‫ات نِسائِ ُك ْم َوَربَائِبُ ُكم‬
‫الات‬
َ َ َ
ُ َ
ُ
َ ُ ‫اعة َوأَُم َه‬
ِ َ‫دخ ْلتم ِِِ َن فَِإ ْن ََ تَ ُكونُوا دخ ْلتم ِِِ َن فَا جناح علَي ُكم وحائِل أَب نائِ ُكم ال‬
‫َن‬
‫ي‬
ْ
ُْ َ َ
ُْ َ َ
َ ُ َْ ُ َ َ ْ ْ َ َ َ ُ
ِ
ِ ْ َ‫اأخت‬
‫ور َارِحي ًَا‬
َ ‫ف إِ َن‬
َ َ‫ْ إِا َما قَ ْد َسل‬
ْ ْ
َ ْ َ‫َصابِ ُك ْم َوأَ ْن ََْ ََعُوا ب‬
ْ ‫م ْن أ‬
ً ُ‫اََ َكا َن َغ‬
)23:‫ان نساء‬
)

Artinya :“Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang tekah dikawini oleh
ayahmu, kecuali pada masa yang telah lalu. Sesunguhnya perbuatan itu
amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak
perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian; anak-anak
perempuan dari saudara-saudara laki-laki kalian; anak-anak perempuan
dari saudara-saudara perempuan kalian; ibu-ibu mu yang menyusui
kalian; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kalian (mertua);
anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kaliaan dari istri yang
telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri
kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian
mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) sitri-istri anak kandung
kalian (menantu); dan
mengumpulkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu
(jahiliah). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. An-Nisa:22-23)”
Selain itu Allah SWT juga berfirman:80

‫َولَ ْدنَ ُه ْم‬
‫ور‬
ٌ ُ‫َغ‬

ِ َ‫الَ ِيَن َظ‬
ِ‫اهرو َن ِمْن ُكم ِمن نِسائِ ِهم ما ه َن أَُمهاِِِم إِ ْن أَُمهاتُهم إِاالائ‬
ُ
ُ
َ
َ
َ
ْ
ْ
ْ
ْ َ
ْ
ُ َُ
ِ
ِ
ِ
‫اََ لَ َعُ ٌو‬
َ ‫ورا َوإِ َن‬
ً ‫َوإنَ ُه ْم لَيَ ُقولُو َن ُمْن َكًرا م َن الْ َق ْول َوُز‬

Artinya :“Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian,
(menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri
mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah wanita
yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh80

Qur’an Surat Al- Mujadilah Ayat 2

36

Universitas Sumatera Utara

37

sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS
Al- Mujadilah ayat 2)
Jika Allah mengharamkan Zhihar, yaitu menganggap istri sama seperti
ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih sekadar anggapan,
yaitu berhubungan badan dengan ibunya, jelas lebih diharamkan lagi.
Kesimpulan ini merupakan bentukan penarikan dari dalalah iltizam, yaitu
tanbih al- adna ala al-a’la.81
Dengan demikian, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang status keharamannya incest ini. Hanya saja, tetap harus dibedakan,
antara orang yang melakukan incest suka sama suka, atau dengan terpaksa.
Bagi yang melakukan karena suka sama suka, secara qath’i jelas haramm.
Adapun bagi yang melakukannya karena terpaksa, misalnya, anak perempuan
dipaksa bapaknya, atau saudara lelakinya dengan disertai ancaman fisik dan
kekerasan, maka status perempuan yang menjadi korban incest tersebut
diberlakukan kepadanya hadist Shallallahu’Alaihi wa Sallam:

ِ
‫استُ ْك ِر ُه ْوا َعلَْي ِه‬
ْ ‫ َوَما‬،‫َسيَا َن‬
ْ ‫إ َن ا ه ََاَ َوَز َع ْن أَُم ِ ِْ ا َْْطَأ َوا لن‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah meninggalkan (untuk tidak mencatat) dari
umatku: kekhilafan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada
mereka (HR.Ibn.Hibban)”
Dengan demikian, status pelaku incest yang terpaksa atau dipaksa ini,
meski tetap haram, keharamannya diabaikan oleh Allah SWT karena dipaksa.

81

Ibid.

37

Universitas Sumatera Utara

38

B. Pertanggungjawaban Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian
Hukum Islam menjelaskan, pertanggungjawaban berarti manusia harus
bertanggung jawab atas akibat dari perbuatan haram yang dilakukannya ketika ia
memiliki kebebasan berkhendak (tidak dipaksa) dan mengetahui arti serta akibat
perbuatan tersebut. A. Hanafi mendefiniskan pertanggungjawaban Pidana dalam
syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya.82
2. Kemampuan Bertanggung Jawab
Pertanggungjawaban

pidana

dalam

syariat

Islam

diartikan

sebagai

pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan)
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksudmaksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.83 Pembebanan tersebut
dikarenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah telah menimbulkan sesuatu yang
bertentangan dengan hukum, dalam arti perbuatan yang dilarang secara syar’i,
baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga karena
perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang timbul

82
83

A.Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 121.
Ibid. hal. 154.

38

Universitas Sumatera Utara

39

dalam dirinya bukan dorongan yang timbulkan oleh orang lain secara paksa
(dipaksakan).84
Dalam hukum Islam pertanggungjawaban hanya dibebankan pada orang yang
masih hidup serta orang tersebut sudah mukallaf, jika seseorang belum mencapai
umur pada mukallaf atau belum baligh maka hukum tidak membebankan apapun
kepadanya, hukum Islam juga tidak membebankan hukum terhadap orang yang
hilang akal sehatnya dikarenakan bukan sebab sengaja seperti mabuk karena
meminum minuman khamar atau minuman yang memabukkan lainnya.85
Dapat dianggap adanya pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam, jika
seseorang itu memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: pertama: adanya perbuatan
terlaranga, kedua: mempunyai keinginan dan kemauan, dan ketiga: mengetahui
akibatnya. Namun jika tidak terdapat ketiga hal tersebut dinyatakan tidak ada
pertanggungjawaban baginya, pembebasan ini didukung oleh hadist yang
riwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud86

‫ر فع ا لقلم عن ثا ثة عن ا لنا ئم حى َستيقظ و عن ا مبى َر أ و‬
‫عن ا لصي حى َكر‬
Artinya : dihapuskan ketentuan dari tiga hal: dari orang tidur sampai ia bangun,
dari orang gila sampai ia sembuh dari anak kecil sampai ia dewasa

84

Ibid.
S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet 4,
(Jakarta : Alumni Ahaem-Petehaem, 1996), hal. 245.
86
Jalaluddin As Sayuhuti, Al Jami’ Ash Shagir Juz II, Dar Al –Fikr, Beirut, t.t, hal. 24.
85

39

Universitas Sumatera Utara

40

Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban,
apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban.

87

Secara

hukum, paksaan baru dianggap manakala dipenuhi syarat-syarat terpaksa, yaitu:
(1) ancaman bersifat mulji yakni yang akan mengakibatkan bahaya yang besar
(ancaman yang menyangkut keselamatan nyawa dan anggota badan) sehingga
dapat menghapus kerelaan, (2) Ancaman harus berupa perbuatan yang dilarang
oleh syara’ , (3) Ancaman harus seketika (mesti hampir terjadi saat itu juga) yang
dikhawatirkan akan dilakukan jika orang yang dipaksa tidak melaksanakan
perintah pemaksa, (4) Orang yang memaksa harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakan ancamannya, (5) Orang yang menghadapinya harus berkeyakinan
bahwa orang tersebut akan benar-benar melaksanakan ancaman.88 Disamping itu
yang paling penting adalah perbuatan yang dikerjakan diketahui pasti oleh orang
yang melakukan akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu.89
Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan adalah salah satu perbuatan yang mencakup semua unsur-unsur fisik
dari kejahatan tersebut, karnanya pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam
tidak dapat dilakukan jika secara tidak menimbulkan atau tidak menampakan
unsur-unsur tersebut sebagai faktor penentu. Di samping itu perbuatan tersebut
dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang bebas
untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut, yang lebih penting
lagi bahwa si pelaku tersebut mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.

87

Ibid.
Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana
Islam, Jilid II, (Jakarta; Kharisma Ilmu, 2008), hal. 233.
89
Ibid.
88

40

Universitas Sumatera Utara

41

Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara’ maka larangan laranganlarangan tadi harus ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya
orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima pangggilan (khithab) dan oleh
sebab itu mampu memahami pembebanan (taklif) dari syara’90.
Pertanggungjawaban dalam hukum Islam hanya membebankan hukuman
pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga mengampuni anakanak dari hukum yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali ia ialah
baligh. Hal ini didasarkan pada dalil Al-Qur’an:91

‫َن اَلَ ِي َْ َن ِم ْن‬
)59: ‫(ان نر‬

‫َو أِ َذ ا بَلَغ ا أَ طْ َُ ُل ِمْن ُك ْم اَ ُْْْل َم فَ ْليَ ْستَْئ ِي نُ ْواْ َك ََا اَ ْستَْئ َي‬
ِ
ِ
‫ْ ا ه لَ ُك ْم ءَ ا ََتِ ِه َو ا ه َعلِْي ٌم َح ِكْي ٌم‬
َ ‫قَ ْبل ِه ْم َك َيل‬
ُ ِ َ‫ك َُب‬

Artinya: dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka
hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang
lebih dewasa meminta izin (Surat An-Nur, ayat 59)
Hukum Islam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang di paksa dan
orang

yang

hilang

kesadarannya.

Atas

dasar

ini

seseorang

hanya

mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap apa yang telah di lakukannya
dan tidak dapat di jatuhi hukuman atas tindakan pidana orang lain. Prinsip dasar
yang di haramkan berarti dibolehkan, akan tetapi jika suatu perbuatan di
haramkan, hukumannya dijatuhi sejak pengharamannya di ketahui. Adapun

90
91

Ibid.
Qur’an Surat An-Nur Ayat 59.

41

Universitas Sumatera Utara

42

perbuatan yang terjadi sebelum pengharaman maka ia termasuk kategori
pemaafan.92
Ada dua objek pertanggungjawaban dalam hukum Islam yaitu:

1. manusia. 93
Manusia yang menjadi objek pertanggungjawaban adalah yang masih hidup,
sedangkan yang sudah mati tidak mungkin menjadi objek karena dua syarat
tersebut tidak lagi terdapat pada dirinya. Orang yang harus bertanggung jawab
atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri dan bukan
orang lain, hal itu di dasarkan kepada firman Allah dalam Al-Quran :94

ِ َ‫و اَ تَ ِز ر وا ِز ر ةٌ ِو ْز ر أُخر (ف‬
)18 :‫اطْر‬
َ َُ
َ
َْ َ
Artinya: seseorang tidak menanggung dosa orang lain. (QS.Faathir:18(

ِ ِ ‫و أَ ْن لَي‬
) 39 :‫َُ ِم‬
ْ ‫س لاْء نَ َس ِن إِاَ َما َس َعى (الن‬
َ
َ ْ
Artinya : tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan (QS.AnNajm: 39).95

ِ ِ ‫من ع َِل‬
‫ك بِظَلَ ٍم ل ْل َعبِْي ِد‬
َ ‫صل ًحا فَلنَ ُْ ِس ِه َوَم ْن أَ َسا ءَ فَ َعلَْي َها َو َما َربك‬
َ َ َ َْ
ِ
)46:‫ت‬
ْ َ‫(فُصل‬
92

A.Hanafi, Op.Cit, hal.122.
Ibid.
94
Qur’an Surat Faathir ayat 18
95
Qur’an Surat An-Najm Ayat 39
93

42

Universitas Sumatera Utara

43

Artinya: barang siapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan
barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas
dirinya sendiri (QS. Fushilat: 46)96
kaidah hukum Islam menetapkan bahwa kematian mengugurkan pembebanan
hukum. Manusia yang dibebani tanggung jawab dan yang memenuhi dua syarat
tersebut adalah orang yang berakal, baliq dan memiliki kebebasan berkhendak.
2. Badan-badan hukum. 97
Badan-badan hukum dalam hukum Islam memiliki hak untuk melakukan
tindakan hukum, tetapi hukum Islam tidak menjadikan badan hukum tersebut
sebagai objek pertanggungjawaban karena pertanggungjawaban ini didasarkan
atas adanya pengetahuan dan pilihan, sedangkan keduanya tidak terdapat pada
badan-badan hukum tersebut. Adapun bila terjadi perbuatan yang dilarang dari
orang yang mengelola lembaga tersebut, orang itulah yang bertanggung jawab
atas perbuatan yang dilakukannya. Badan hukum dapat dijatuhi hukuman bila
hukuman tersebut dijatuhkan kepada pengelolanya, seperti hukuman pembubaran,
penghancuran, penggusuran dan penyitaan. Demikian pula aktivitas badan hukum
yang dapat membahayakan dapat dibatasi demi melindungi keamanan dan
ketentraman masyarakat.98
Faktor yang menyebabkan terjadinya pertanggungjawaban dalam hukum
Islam adalah di karenakan perbuatan maksiat (pelanggaran-pelanggaran) yaitu
Qur’an Surat Fushilat Ayat 46
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam; Penerapan Syariat Islam dalam
Konteks Mpdernitas, (Bandung: Asy-Syaamil Press& Grafika, 2001), hal. 16.
98
Ibid.
96

97

43

Universitas Sumatera Utara

44

meninggalkan yang disuruh/diwajibkan oleh syara’ dan mengerjakan yang
dilarang oleh syara’99
Pembebasan pertanggungjawaban itu merupakan ketetapan agama yang telah
di gariskan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Satu Riwayat menyebutkan ketika
Ali bin Abi Thalib berkata kepada Umar bin Khathab: tahukah engkau terhadap
siapa kebaikan dan kejahatan itu di catat dan mereka tidak bertanggungjawab
terhadap apa yang di lakukannya, yaitu orang gila sampai ia waras, anak-anak
sampai ia baligh (puber) dan orang tidur sampai dia bangun.”kemampuan
bertanggungjawab disini menunjukan pada mampu atau tidak secara psikis bukan
secara fisik.100
Syariat Islam menolak sintetik atau pengujian untuk menentukan masalah
abnormalitas dan kriminalitas. Menurut teori ini tak ada tindakan yang dapat
disebut kriminal bila pada saat tindakan itu dilaksanakan pelaku mengalami
kekacauan mental atau adanya dorongan yang benar-benar tidak terkendali
sehingga menyebabkan hilangnya keseluruhan mental ataupun emosi.101
3. Unsur-unsur pertanggungjawaban
Hukum Islam mensyaratkan keadaan si pelaku harus memiliki pengetahuan
dan pilihan, karenanya sangat alamiyah manakala seseorang memang menjadi
objek dari pertanggungjawaban pidana, karena pada seseorang memiliki kedua hal
tersebut.

Ini

adalah

pertanggungjawaban

salah
itu

satu

bersifat

prinsip

dasar

personal

hukum

artinya

Islam,

bahwa

seseorang

tidak

99

Ibid.
Arahman I.Doi. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah ( syariah), cet I, ( Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 286.
101
Ibid.
100

44

Universitas Sumatera Utara

45

mempertanggungjawabakan selain apa yang di lakukan.102 Oleh karenanya ada
suatu faktor yang semestinya menjadi alasan untuk dapat dipertanggungjawabkan
suatu perbuatan. Faktor atau sebab, merupakan sesuatu yang di jadikan oleh syari’
sebagai tanda atas musabab (hasil/efek) di mana keberadaannya musabab di
pertautkan dengan adanya sebab.103
Adapun unsur yang mengakibatkan terjadinya pertanggungjawaban antara
lain:104
a. Adanya unsur melawan hukum
Asas pertanggungjawaban hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum
atau perbuatan maksiat yaitu melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan
hal-hal yang di perintahkan oleh hukum Islam. Pertanggungjawaban tindak pidana
itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pelanggaran atau perbuatan maksiat.
Pelaku yang memang mempunyai niat bermaksud untuk melawan hukum
maka sanksinya (hukuman) diperberat. Namun jika sebaliknya maka hukumannya
di peringan, dalam hal ini faktor yang utama di sini adalah melawan hukum.
Dimaksudkan melawan hukum adalah melakukan perbuatan syari’ setelah di
ketahui syar’i melarang atau mewajibkan perbuatan tersebut. Perbuatan melawan
hukum merupakan unsur pokok yang harus terdapat pada setiap perbuatan, baik
perbuatan yang ringan atau berat, yang disengaja atau tidak disengaja. Adapun
pengertian syarat (syar’i) adalah sesuatu yang menjadikan hukum Islam

102
Ali yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad min Suma, dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana
Islam, Edisi Indonesia, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 81.
103
Ibid.
104
Ibid.

45

Universitas Sumatera Utara

46

tergantung pada keberadaannya mengharuskan ketidakberadaan suatu hukum
Islam.105
Dalam kaitan pertanggungjawaban karena melawan hukum dapat dibedakan
dalam memahaminya antara melawan hukum dan maksud melwan hukum.
Melawan hukum berarti melakukan perbuatan yang di larang atau meninggalkan
kewajiban tanpa ada maksud dari si pelaku itu sendiri namun menimbulkan
keruian terhadap orang lain. Adapun maksud melawan hukum adalah
kecendrungan niat si pelaku untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan yang
diketahui bahwa hal itu dilarang atau memperkuat kemaksiatan dengan maksud
melawan hukum.106
Apabila suatu perbuatan terdapat faktor pertanggungjawaban yaitu melakukan
kemaksiatan (melawan hukum) dengan adanya dua unsur mengetahui dan
memilki, maka pertanggungjawaban pertama-tama merupakan keadaan yang ada
pada diri pembuat ketika melakukan kejahatan, kemudian pertanggungjawaban
juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan
dan sanksi yang sepatutnya di jatuhkan. Pertanggungjawaban karena harus dapat
berfungsi sebagai preventif, sehingga terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin
menyadari akan konsekuensi tindak pidana dari perbuatan yang dilakukan dengan
penuh resiko ancaman hukumannya.
b.

Adanya kesalahan.

Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban adalah perbuatan
maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Di maksudkan di
105
106

Ibid.
Ibid.

46

Universitas Sumatera Utara

47

sini adalah kesalahan seseorang terhadap perbuatan yang telah ditentukan tidak
boleh di lakukan. Hal ini menyangkut seorang itu telah meninggalkan kewajiban
atau perintah, sehingga kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Ada suatu perbedaan

dalam memahami kesalahan sebagai faktor,

pertanggungjawaban perbedaan itu berkiatan dengan pengertian antara kejahatan
dengan kesalahan itu sendiri, di mana menurut beberapa ahli hukum bahwa
pengertian kejahatan tidak ditemukan dalam undang-undang hanya saja tindak
pidana merupakan kereasi teoritis yang dikemukakan dalam memahami tindak
pidana. Karena menurut para ahli hukum kesalahan harus dipisahkan

dari

pengertian kejahatan dan kesalahan itu sendiri adalah faktor penntu dari
pertanggungjawaban. Pengertian kejahatan atau tindak pidana hanya berisi tentang
karateristik perbuatan yang di larang dan di ancam dengan hukuman. Pemahaman
ini penting bukan saja secara akademis tetapi juga sebagai suatu kesadaran dalam
membangun masyarakat yang sadar akan hukum.107
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya di bedakan dari
pertanggungjawaban mutlak. Bila tatanan hukum menetapakn di lakukanmya
suatu tindakan yang dapat menimbulkan kejadian yang tidak maka dapat di
bedakan antar kasus yang kejadiannya itu disengajakan atau dapat di antisipasi
oleh individu yang perilaku di pertimbangkan dan kasus di mana kejadinya
berlangsung tanpa di sengaja atau tanpa di antisipasi atau dapat disebut
kecelakaan

atau

kesengajaan.

Pada

kasus

yang

pertama

adalah

pertanggungjawaban yang berdasarkan kepada kesalahan sedangkan pada kasus
107

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
CeT.I , (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 85.

47

Universitas Sumatera Utara

48

yang kedua jika di maksudkan apakah maksud dari sipelaku bersifat jahat secara
subjektif dengan tujuan menimbulkan luka atau kerugian atau sebaliknya bersifat
baik.108
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya mencakup persoalan
kelalaian. Kelalaian terjadi biasanya adalah karena tidak terjadi pencegahan suatu
perbuatan yang menurut hukum itu di larang. Kendatipun kelalaian itu tidak di
khendaki atau tidak di sengaja oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut.
4. Hapusnya Pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban dapat di nyatakan hapus karena ada kaitannya
dengan perbuatan yang terjadi atau kaitannya dengan hal-hal yang terjadi
menurut keadaan bagi si pelaku. Dalam keadaan yang pertama ini adalah
perbuatan yang di lakukan tersebut merupakan perbuatan mubah (dalam segala
tidak ada pelarangan karena hukum asal), sedangkan keadaan yang kedua
adalah perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang dilarang
namun si pelaku tidak dapat diberikan hukuman karena ada suatu keadaan pada
sipelaku yang dapat terhindar dari hukuman. Kedua keadaan ini (perbuatan dan
pelaku) dalam kaedah agama di sebut iasab al ibahdah dan asbab naif al
uqubah. Asbab al- ibahah

atau sebab diperbolehkannya perbuatan yang

dilarang pada umumnya berkaiatan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.109
a. Di sebabkan perbuatan mubah (asbab al ibahah)
Perbuatan-perbuatan yang di larang oleh hukum Islam itu merupakan
pelarangan secara umum bagi semua orang. Meski demikian hukum Islam melihat
108

Ibid.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
CeT.I , (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 85.
109

48

Universitas Sumatera Utara

49

adanya pengecualian atas dasar pembolehan bagi sebagian orang yang memiliki
karakter-karakter khusus di sebabkan oleh keadaan tuntutan dari masyarakat
tertentu.110 Misalnya adalah pembunuhan. Perbuatan ini di haramkan dalam Islam
bagi setiap orang. Hukuman bagi pembunuh adalah Qiyas yaitu berupa hukuman
mati dan Islam memberikan hak bagi wali.
b.

Di sebabkan hapusnya hukuman ( Asbab rafi’ al uqubah)

Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu
dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu di larang. Hanya saja oleh karena
keadaan si pelaku tida mungkin di laksanakannya hukuman maka ia di bebaskan
dari hukuman di dalam Islam ada 4 macam sebab yang dapat menghapuskan
hukuman.111
1.

Karena paksaan112
Sejarah perundangan menyatakan bahwa overmacht merupakan alasan
atau sebab eksternal yang tidak dapat di minta pertanggungjawaban
dan menggambarkannya bahwa setiap daya, dorongan, paksaan yang
membuat seseorang paksaan merupakan sebuah perbuatan yang di
perbuat karena pengaruh orang lain untuk melakukannya suatu

110

Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana
Islam, edisi Indonesia, Op.Cit, hal. 135.
111
Ali Yafie, ibid, hal. 220, Lihat juga Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit, hal. 116.
112
Paksaan adalah istilah hukum di sebut dengan overmacht yang selama berabad-abad
telah menarik perhatian para yuris maupun filosuf. Salah seorang filofosf jerman, Immanuel kant,
menyatakan bahwa ada alasan seorang tidak dapat dipidana karena mempunyai daya paksa
terhadap perbuatan yang terjadi, dia menekannya bahwa tiadanya efek pidana sebagai dasar
peniadaan pidana. Dalam pandangan hukum alam perbuatan yang di lakukan dalam keadaan
overmacht di anggap keadaan darurat tidak mengenal larangan ( necessitas non habet legem),
dikatakan fichte bahwa perbuatan overmacht di kecualikan dari tertib hukum. Lihat: Jam
Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum
Belanda dan Pidana dalam Kitab Undang-undangan Hukum Pidana, diterjemahkan oleh :
Tristam Pascal Moeliono, Marjanne Termorshuizen-Arts dan Widati Wulandari, (Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama), hal. 225.

49

Universitas Sumatera Utara

50

perbuatan yang diperbuat karena pengaruh orang lain untuk
melakukannya suatu perbuatan bahwa dalam paksaan harus ada
perbuatan materiil yang ditimpakan kepada orang yang di paksa yang
membuatnya melakukan perbuatan yang dapat di paksa kepadanya.
Karena paksaan itu harus bersifat materiil dan di dahului oleh
perbuatan penyiksaan yang ditimpa kepada orang yang di paksa.113
2.

Mabuk
Mabuk dalam Islam sangat di larang baik mabuk karena minuman
atau karena makanan yang sifat pekerjaannya disengaja. Mabuk
termasuk dalam salah satu kelompok jarimah, yaitu meminum
minuman keras. Secara umum yang di maksudkan dengan mabuk
adalah hilangnya akal sehat sebagai akibat minum minuman keras,
khamar atau yang sejenis dengan itu. Semua para fukaha sependapat
bahwa mabuk bisa menghilangkan akal sehatnya dan akan selalu
mengigau dalam setiap pembicaraannya.114
Menurut pendapat yang kuat (rajah) dari ulama yang empat, bahwa
tidak ada pertanggungjawaban bagi orang yang mabuk manakala
mabuknya itu di paksakan oleh orang lain, mabuk karena tidak
mengetahui terhadap minuman yang di minum atau makanan yang di
makan, maka ketika melakukan perbuatan dalam keadaan mabuk di
hukum sama dengan orang gila.115

113

Ibid.
Abdul Qadir ‘ Audah, Al-Tasyri’ al jian’ iy al- Islamy, muqaranan bil-Q ammil
wadhi’iy, Juz Awal, (Beirut: Muasasah Riasalah, 1996), hal. 127.
115
Ibid.
114

50

Universitas Sumatera Utara

51

3. Gila.
Pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan di bebankan
pada seorang mukallaf, yaitu yang memiliki kemampuan berfikir dan
pilihan berbuat, jika kedua faktor tersebut tidak di miliki oleh seorang
maka tidak dapat di mintai pertanggungjawaban kemampuan berpikir
seseorang itu bisa atau dapat hilang karena suatu bawaan sejak lahir
atau karena suatu sebab adanya ganguaan dari luar. Manusia ketika
mencapai kedewasaan sudah dapat dengan matang menggunakan
kekuatan berpikirnya, akan tetapi karena adanya suatu gangguan atau
karena serangan penyakit baik itu sebagian atau seluruh alam
berpikirnya hilang bisa kapan dan di mana saja tanpa ada waktu
tertentu. Hilangnya kemampuan berpikir (akal sehat) dalam kehidupan
sehari-hari dapat dinamakan dengan gila. Abdul Qadir’ Audah
memberikan sautu defisi, sebagai berikut “ gila adalah hilangnya akal,
rusak atau lemah”.116
Secara Pidana perbuatan orang gila dapat dalam masalah tindak
pidana orang gila. Secara pidana perbuatan orang gila tidak dapat
dihukum

namun

secara

perdata

perbuatan

orang

gila

di

pertanggungjawabkan oleh keluarga selama hak-hak tersebut nerada di
bawah perwalian keluarga, maka akan ada pertanggungjawaban perdata
dalam bentuk ganti rugi.
4. Di bawah umur

116

Ibid.hal. 128.

51

Universitas Sumatera Utara

52

Konsep pertanggungjawaban anak kecil (anak di bawah umur)
merupakan konsep yang paling baik dan tepat dalam hukum Islam. Di
samping itu hukum romawi yang merupakan hukum positif pertama di
dunia membuat pemisahan pertanggungjawaban anak-anak di bawah
umur dengan orang dewasa dalam batasan usia tujuh tahun. Hukum
Islam menjadikan anak berusia di atas tujuh tahun memiliki
tanggungjawab, dalam keadaan seperti si anak yang belum mencapai
umur dewasa menurut hukum Islam telah mendapatkan tanggungjawab
atas perbuatan yang dilakukannya.117
Hukum Islam di pandang sebagai hukum pertama di dunia yang
membedakan secara sempurna antara anak kecil dengan orang dewasa
dari segi tanggungjawab pidana. Dalam hukum Islam tanggungjawab
pidana terdiri dari dua unsur yaitu mempunyai berfikir dan mempunyai
pilihan. Menurut para fukaha, dasar dalam menentukan usia dewasa
adalah sabda Rasulullah SAW, yang artinya : “ di angkat pembebanan
hukum dari tiga jenis orang yaitu anak-anak sampai ia baliq, orang tidur
sampai ia bangun dan orang gila sampa ia sembuh/sadar” Dari makna
hadist di atas “ di angkat pembebanan” menunjukan bahwa ada syarat
atau sebab sehingga adanya tautan syara’. Anak-anak sampai ia baliq.
Ini merupakan hukum asal yang telah di tetapkan dalam hukum
Islam.118

117
118

ibid
Ibid

52

Universitas Sumatera Utara

53

5.

Analisis Pertanggungajawaban Pelaku Incest

menurut Hukum

Pidana Islam
Setiap pelaku yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
Undang-undang maka pelaku harus dapat mempertanggungjawabakan atas
perbuatan yang dilakukan. Menurut teori pertanggungjawaban setiap pelaku
yang melakukan perbuatan yang mengandung unsur melawan hukum, unsur
kesalahan dan unsur kesengajaan maka terhadap pelaku dapat dijatuhi
hukuman dalam hukum Islam, dengan pengecualian tidak adanya alasan
penghapusan hukuman.
Perbuatan incest merupakan perbuatan yang sangat di larang dalam
pandangan Islam dan agama-agama yang lain tidak dapat dibenarkan atau tidak
dikehendaki. Alasan atau lebih tepatnya hikmah, yang banyak dikemukakan
para ulama Islam adalah dapat memutuskan rahim, (qath’ al arham) atau
memutuskan hubungan kekeluargaan.
Contoh kasus yang dilakukan oleh SY di dalam kedudukannya sebagai
kepala rumah tangga pada tanggal 10 Maret 2012 telah melakukan
pemerkosaan dengan anak perempuannya yang berinisial RH (15 tahun), RH
tinggal bersama dengan kedua orang tuanya yakni pelaku SY sebagai ayah
kandung dan Sdr. ZB sebagai ibu kandung dari RH yang beralamat di Jalan T.
Iskandar Muda, Desa Meunasah Intan Kec. Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.
Kasus ini bermula ketika ibu dari RH pergi ke Jakarta selama 2 (dua) bulan
karena tugas dari kantor. Pada malam yang sudah tidak ingatkan lagi oleh
keluarga RH menyatakan bahwa ayahnya SY telah mengajak RH melakukan

53

Universitas Sumatera Utara

54

hubungan suami istri, pada saat tersebut RH sempat menolak, namun di ancam
oleh SY tidak akan diberikan uang jajan jika tidak mau menuruti keinginan SY,
selama ditinggal oleh ibunya ZB, RH telah dua kali diperkosa oleh SY, hingga
akhirnya korban RH hamil dan melahirkan anak perempuan yang bernama
KY.119
Kasus yang menimpa RH apabila dikaji dari sudut pandang hukum Islam
maka pertanggungjawaban terhadap pelaku incest adalah dengan hukuman
mati. Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, ia
berkata: telah bersabda Rasulullah SAW

ٍ ِ
ُ‫َم ْن َو قَ َع َعلَى َزا ت َََْرم فَ ْقتُلُ ْو‬
120

Artinya : “Siapa saja yang menyetubuhi mahramnya maka bunuhlah ia

”.

Pernah dilaporkan kepada Al.Hajjaj bahwa ada seorang lelaki yang
memperkosa saudara perempuannya sendiri. Maka, beliau Shallallaahu’alaihi
wasallam pun berkata,

ِ ‫اِ حبِسو ه و سلُو ا من ها هنَا‬
ِ ‫صحا‬
‫ب َر ُس ْو ِل ا ه صلى ا ه عليه و‬
‫ا‬
‫ن‬
‫م‬
َ
ْ
َ
ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ ُ ُْ ْ
ٍ
ِ
‫ت َر ُس ْو ُل ا هِ صلى ا‬
ُ ‫ فَ َسأَ لُْوا َعْب ُد ا ه بْ َن أَ ِ ِْ ُمطََر ف " فَ َق َل َس ْع‬، ‫سلم‬
ِِ
ِ
ِ ‫ْ فَ ُخطكو ا و سطَهُ بِا ل َسي‬
‫ف‬
َ ‫ َم ْن ُُْطى ُحَر َم ا مُؤ من‬: ‫ه عليه و سلم ََ ُقلُ ْو‬
ْ
َ َ ْ
Artinya : “Tahanlah ia dan tanyakanlah oleh kalian kepada para sahabat
Rasulullah tentang perkara ini, kemudian mereka bertanya kepada
119

Hasil wawancara dengan keluarga korban, Tanggal 10 November 2015.
Hadist ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah (2564) dalam kitab Al-Hudud. Di dalam
sanadnya terdapat ibrahim bin Ismail Abi Habibah AL-Anshari, dia seorang yang dha’if (lemah).
Akan tetapi, ada yang menguatkannya, yaitu hadist Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikhnya dari
hadist Mu’awiah bin Qurrah, dari bapaknya, dari kakeknya, “bahwasanya Rasulullah
mengutuskannya kepada seseorang lelaki yang menyetubuhi istri ayahnya, lalu ia memenggal
lehernya dan mengambil 1/5 hartanya, “Yahya bin Ma’in berkata. “hadist ini Shahih”
120

54

Universitas Sumatera Utara

55

Abdullah bin Mutharrif, lalu beliau berkata: aku pernah mendengar
Rasullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda “siapa saja yang
melangkahi kehormatan kaum mukminin maka langkahilah bagian
tengah (tubuhnya) dengan pedang”.121
Menurut hadist di atas siapa saja yang melakukan persetubuhan dengan
mahramnya maka Rasulullah SAW menyuruh membunuhnya. Namun dalam
pelaksanaan hukuman kepada pelaku incest ulama masih berselisih paham, akan
tetapi Ibnu Qayyim rahimahullah dalam riwayatnya berkata,

ِ
ِ ِِ
ِ ِ
ِ
ِ
‫ِ ا لْ ََ ْسأَ لَِة َو أَ َن‬
ْ ٌ‫َو فْيه َد لْي ٌل َعلَى ا لْ َقْت ِل با لت َْو سْيط َو َهَزا َد لْي ٌل ُم ْستَ َقل‬
َ‫ َد لِْي لُهُ َم ْن َوقَ َع َعلَى أُ َم ِه أ‬،‫َم ْن اَ َُبَا ُح َو طَُؤ ُه َِِا ٍل فَ َح كد َو طْئِ ِه " ا لْ َقْت ُل‬
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
‫ؤ‬
َ ‫ َك َي ل‬،‫ِو ا بْنَتِ ِه‬
ُُ ْ‫ِ َو ْط ء َذ َوات ا لْ ََ َحا ِرم َو ْط ء َم ْن اَ َُبَا ُح َو ط‬
ْ ‫ك َُ َق ُل‬
ِ
ِ
َ ‫ فَ َكا َن َح كد ُ ا لْ َقْت ُل َكا للك ْو ط‬,‫" َِا ٍل‬
Artinya: “ dalam suatu hadist terdapat dalil tentang hukuman bunuh dengan cara
memotong bagian tengah (tubuh). Ini sebagai tersendiri dalam
permasalahan tersebut. Sesungguhnya siapa saja yang menyetubuhi
seseorang yang tidak diperbolehkan hal itu dilakukan kepadanya
secara hukum asal maka hukuman baginya adalah di bunuh. Dalilnya
sebagaimana orang yang menyetubuhi ibu atau anak perempuannya
sendiri, seperti itu pulalah yang dikatakan dalam permasalahan
menyetubuhi mahram dan menyetubuhi seseorang yang tidak
diperbolehkan. Hal itu dilakukan kepadanya secara hukum asal maka
hukuman bagi pelakuknya ialah dibunuh sebagaimana pelaku homo
seksual”
Beliau Shallallaahu’ alaihi wasallah melanjutkan,

ِ ‫وقَ ْد اِ تَ َُق ا لَْسلَِو َن علَى أَ َن من ز نَا بِ َي ا‬
‫ت َََْر ٍم فَ َعلَْي ِه اْ َْ كد‬
َ َْ
َ ُْ ْ ُ َ
ِ ِ ِ ‫و إِ ََا ا حتَ لَُو ا‬
ٍ
ِ
ِ
‫ن‬
َ
ْ ْ ْ
ْ ‫ ا لْ َقْت ُل ب ُك ِل َحا ل أ َْو َح كد ُه ا لَزا‬."‫ِ ص َُة ا َْْ َد َه ْل ُه َو‬
121
Hadist ini dimaksudkan oleh A-Haitsami dalam Al-Majma’ 6/269, dan ia berkata, “
Hadist ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, di dalamnya terdapat Rifdah bin Qudha’ah. Hisyam
bin ‘Ammar menguatkannya dan jumhur ulama mendha’ifkannya.”

55

Universitas Sumatera Utara

56

Artinya: “kaum muslimin telah bersepakat bahwa seseorang yang berzina dengan
mahramnya harus dihukum. Akan tetapi, mereka berselisih mengenai
tata caranya, apakah dibunuh (bagaimanapun keadaannya) atau
dihukum sesuai dengan hukuman bagi pelaku zina”.
Para mazhab fiqh Islam menyamakan incest dengan perbuatan zina yang
harus dihukum. Akan tetapi ada perbedaan di antara mereka soal hukumannya.
Mazhab Maliki Syafi’i, Hambali, Zhahiri, Syi’ah Zaidi dan lain-lain menghukum
dengan pidana hudud (hukum Islam yang sudah ditentukan bentuk dan kadarnya
seperti hukum potong tangan), persis seperti hukum bagi pezina. Sementara Abu
Hanifah menghukumnya dengan pidana ta’zir (peringatan keras atau hukuman
keras).122

122
Buku Seks Bebas Undercover (Halaman 35-37), penulis Asy-Syaikh Jamal Bin
Abdurrahman Ismail dan dr. Ahmad Nida, Penerjemah Syuhada abu Syakir Al- Iskandar AsSalafi, Editor Medis dr. Abu Hana, Bandung: Penerbit Toobagus Publishing, Diposting kembali
untuk Htpp:// damatun-nurul-ikhlas. Blogspot.com, di akses tanggal 18 November 2015.

56

Universitas Sumatera Utara