Pertanggungjawaban Orang Tua Terhadap Anak Incest Menurut Hukum Islam Chapter III V

57

BAB III
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK INCEST
BERDASARKAN HUKUM ISLAM

A.

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak
Incest berdasarkan Hukum Islam

1. .......................................................................................................... K
ewajiban Orang Tua terhadap anak incest
Rumah tangga yang aman dan damai, segala sesuatu yang menyangkut
kesejahteraan anak adalah di bawah pengamatan kedua orang tuanya suami
istri bahu membahu dan bekerja sama-sama memenuhi hidup semua keperluan
anak-anaknya, anakpun merasa tentram dalam pertumbuhan jasmaniah dan
rohaniahnya, semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang demikian,
rumah tangga adalah istana baginya selama hayat di kandung badan.123
Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam hukum Islam
mengatakan bahwa, dengan lahirnya anak baik anak yang sah maupun tidak


123

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, cet ke-1, 1988), hal

400.

57

Universitas Sumatera Utara

58

akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya.
Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya berkewajiban menyusui
anak dan merawatnya.124
Kewajiban bapak dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada
kemampuannya, sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an yang menyatakan :

‫اَُ ۖ َا‬

َ ُ ‫آتَا‬
)7:‫( الطَاَ ِق‬
Artinya

‫لِيُ ْن ُِ ْق ذُو َس َع ٍة ِم ْن َس َعتِ ِه ۖ َوَم ْن قُ ِد َر َعلَْي ِه ِرْزقُهُ فَ ْليُ ْن ُِ ْق َِِا‬
ِ
‫اَُ بَ ْع َد عُ ْس ٍر َُ ْسًرا‬
َ ‫اها ۖ َسيَ ُْ َع ُل‬
َ ‫ف‬
ُ ‫َُ َكل‬
َ َ‫اَُ نَ ُْ ًسا إَِا َما آت‬

57
:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan” (Q.S. at- Thalaq: 7)125
Seorang ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang dia ditentukan


untuk itu, maksudnya tidak ada wanita lain yang akan mengambil alih tugas
itu dari padanya atau bayi itu tidak mau menyusu kecuali kepada ibunya saja.
Seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al- Baqarah:233

ِ ِ َ‫ْ َك ِامل‬
ِ
ِ
ِ
ۖ َ‫اعة‬
َ ‫ْ ۖ ل ََ ْن أََر َاد أَ ْن َُت َم الَر‬
َ‫ض‬
ْ ِ ْ َ‫ات َُْرض ْع َن أ َْوَا َد ُه َن َح ْول‬
ُ ‫َوالْ َوال َد‬
ِ
ِ
ِ
‫س إَِا ُو ْس َع َها‬
ُ َ‫َو َعلَى الْ ََ ْولُود لَهُ ِرْزقُ ُه َن َوك ْس َوتُ ُه َن بِالْ ََ ْعُروف ۖ َا تُ َكل‬
ٌ ُْ َ‫ف ن‬

ِ
ِ ‫ۖ َا تُضا َر والِ َدةٌ بِولَ ِدها وَا مولُود لَه بِولَ ِد ِ ۖ وعلَى الْوا ِر‬
ۖ‫ك‬
َ ‫ِ ِمْ ُل ذَل‬
َ ََ
َ ُ ٌ َْ َ َ َ َ َ
124
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia , (Bandung: Mandar Maju, cet ke1 1990), hal. 144.
125
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Tanjung Mas
Inti, 1992), hal. 115.

58

Universitas Sumatera Utara

59

ِ‫فَِإ ْن أَرادا ف‬
ِ ‫اض‬

ٍ
ٍ
ُُْ ‫اح َعلَْي ِه ََا ۖ َوإِ ْن أ ََرْد‬
‫ن‬
‫ج‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ر‬
‫او‬
‫ش‬
‫ت‬
‫و‬
‫ا‬
َ
‫ه‬
‫ن‬
‫م‬
‫ر‬
‫ت‬
‫ن‬

‫ع‬
‫اا‬
‫ص‬
َ
ً
َ
ْ
َ
َ
َ
َ
َ
ََ
َ
ُ
ُ
َ
ُ َ َ
َ ْ
ِ ‫أَ ْن تَست ر ِضعوا أَوَا َد ُكم فَ َا جنَاح علَي ُكم إِذَا سلََتم ما آتَيتم بِالَْعر‬

ۖ ‫وف‬
ْ ْ ُ َْْ
ُ ْ َ ْ ُْ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ ُ
ِ ‫اَ َِِا تَعَلُو َن ب‬
ِ
‫ص‬
َ ‫َواتَ ُقوا‬
ْ َ َ ْ ََ ‫اََ َو ْاعلَ َُوا أَ َن‬
Artinya: “Dan ibu-ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun yang
sempurna bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan bagi ayah diwajibkan memberikan nafkah kepada mereka.
Dan pakaian mereka, dengan cara yang baik, satu jiwa tidak
dibebani kecuali menurut kesanggupannya saja, tidak boleh si ibu
disusahkan karena bayinya dan juga tidak boleh si ayah
disusahkan karena masalah anaknya” (Al-Baqarah :233).126
Selain dari beban

yang wajib tersebut, di dalam Islam orang tua

dianjurkan untuk melaksanakan


sunnah Nabi dalam membesarkan anak

sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.127 sebaliknya anak juga wajib
menghormati dan berbuat baik terhadap ayah, ibu, dan para anggota
kerabatnya.128
2.

Hak-hak Keperdataan Anak Incest
Pada dasarnya, seorang anak incest berhak mendapatkan pemeriharaan,

perawatan dan pendidikan dari orang tuanya. Perawatan dan pemeliharaan
terhadap anak incest diwajibkan kepada ibu, sedangkan hak pendidikan
terhadap seorang anak diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban
ini diberatkan kepada masing-masing orang tua, baik anak tersebut dari hasil
perkawinan yang sah maupun anak diluar nikah.

126

Ibid. hal. 946.

Hilman Hadikusuma,Op.Cit, hal. 144.
128
Zakaria Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution, Hukum
Anak-anak dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal, 88.
127

59

Universitas Sumatera Utara

60

Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu,
dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka hukum Islam
menentukan beberapa anggota keluarganya yang perempuan ini tidak dapat
melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan pemberian hak terhadap anak
itu berpindah kepada anggota keluarga yang laki-laki. Dimulai dari
bapaknya.129
Dalam hukum perdata, yang oleh hukum Islam dinamakan kewajiban
orang tua terhadap hak-hak seorang anak, kita melihat beberapa perbedaan.

Dalam hukum perdata, kuasa orang tua hanya jikalau kedua-duanya masih
hidup dan tidak bercerai (Pasal 299, 345 KUH Perdata). Sedangkan menurut
hukum Islam kewajiban itu tetap ada, sungguh pun kedua orang tua sudah
bercerai atau salah satu meninggal dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas.130 Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata memberikan hak kepada anak incest
untuk menuntut pemberian nafkah, hak atas nafkah tersebut tergantung dari
besarnya kemampuan bapak atau ibunya dan keadaan para ahli waris sah,
apakah mereka mampu atau miskin, hal tersebut turut menentukan besarnya
hak nafkah yang akan diterima oleh anak incest.
Setiap anak berhak mendapat kehidupan, pemeliharaan dan perawatan
dari orang tua yang melahirkannya, karena anak yang dilahirkan dari rahim
ibunya tidak menanggung dosa yang dilakukan oleh orangtuanya, anak incest
meskipun terlahir dari hubungan haram, tetap saja anak tersebut tidak dapat
dipersalahkan. oleh karena itu anak incest harus mempunyai hak yang sama
129
130

Abdoeraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal, 88.
Abdoeraoef, Op.Cit, hal. 89.


60

Universitas Sumatera Utara

61

dengan anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Salah satu
tanggung jawab orang tua kepada anak incest yaitu tanggung jawab mengenai
hak asuh anak tersebut, pembahasan mengenai tanggung jawab orang tua
terhadap hak asuh anak incest akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

B. Hak Asuh Anak Sebagai Tanggung Jawab kepada Korban incest
7. Pengertian, dan Dasar hukum Hak Asuh anak
Hak asuh anak dalam bahasa arabnya adalah Hadanah berasal dari kata
hidan yang berarti lambung. Seperti dalam kalimat “hadanah at-thairu
baidahu” burung itu mengempit telur dibawah sayapnya, begitu juga seorang

ibu yang membuat anaknya dalam pelukan atau lebih tetapnya hadanah ini
diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Dan hadanah dapat juga
diartikan sebagai hak asuh anak dengan jalan mendidik dan melindunginya.131
Istilah “hak asuh anak” secara hukum sesungguhnya merujuk pada
pengertian kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan putusan atau
penetapan

pengadilan,

untuk

memberikan

bimbingan,

pemeliharaan,

perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu
orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.
Sedangkan pengertian istial “kuasa asuh” adalah kekuasaan orang tua untuk
mengasuh,

mendidik,

memelihara,

membina,

melindungi,

dan

131

Sayyid Ahmad Musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah Tangga,
(Jakarta:Aksara Pratama, 2008), hal. 277.

61

Universitas Sumatera Utara

62

menumbihkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan
kemampuan, bakat, serta minatnya.132
Dari pengertian istilah di atas, kiranya memang sulit untuk memahami
dan membedakan kedua istilah tersebut tetapi hal ini perlu dijelaskan karena
jika berbicara tentang hak asuh anak, artinya berbicara tentang anak yang
tidak memiliki jaminan untuk tumbuh kembang secara wajar karena orang
tuanya tidak mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis.133
Hak Asuh anak dalam Hukum Islam disebut juga dengan hadanah
secara etimologis, hadanah ini berarti di samping atau di bawah ketiak.
Sedangkan secara terminologisnya, hadanah merawat dan mendidik
seseornag yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya,
karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.134
Para

ulama’

Fiqh

mendefinisikan

hadanah

yaitu

melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyedikan
sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar
mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggungjawab.135

132

Ibid.
Ibid.
134
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe,
1999), hal. 415.
135
Slamet Abidin Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Ceria. 1999), hal.
171.
133

62

Universitas Sumatera Utara

63

Jadi hadanah ini harus di jaga oleh orang tuanya sendiri supaya tidak terjadi
sesuatu hal yang tidak diinginkan oleh anak tersebut.136
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab
mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada
bahaya kebinasaan. Hadanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih
kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusan
dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibu yang
berkewajiban melakukan hadanah. Rasullah SAW bersabda yang artinya :
“Engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya.”137 Hak sepenuhnya dalam
pengertian di atas adalah hak sebagai ibu yang bisa menjaga anaknya
dengan sebaik-baiknya, agar dia bisa terhindar dari bahaya kebinasaan.138
Menurut wahbat Al-Zuhayly berpendapat bahwa hadanah adalah hak
bersyariat antara ibu, ayah dan anak. jika terjadi pertengkaran maka yang
didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak. akan tetapi Ulama’
Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hadanah itu menjadi hak
ibu sehingga ia dapat saja mengugurkan haknya.139
Dasar hukum mengenai hadanah adalah firman Allah dalam surat AlBaqarah ayat 233 yang artinya:
“para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggipannya. Jangalnah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
136

Ibid, hal 172.
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cetakan Ke2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), hal. 217.
138
Ibid.
139
Ibid, hal 218.
137

63

Universitas Sumatera Utara

64

anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan kethuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.140”
Para Fuqaha’ berpendapat bahwa ayat tersebut di atas maksunya
adalah mewajibkan atas untuk memberikan nafkah kepada istri yang ditalaq
dalam menyusui disebabkan adanya anak. maka nafkah tersebut wajib atas
ayahnya, selagi anak itu masih kecil dan belum mencapai umur taqlif.141
8. Orang Yang Berhak Mengasuh Anak incest
Bila terjadi suatu sengketa dalam rumah tangga, baik ibu maupun bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata demi
kepentingan si anak meskipun anak tersebut anak yang lahir dari hasil
hubungan sedarah (incest).142 apabila sengketa terjadi antara suami istri
yang telah berturunan, yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah
istri, ibu anak-anak. Ibu lebih berhak merawat anak dasar Al- Baqarah ayat
233, kandungan Hadist:143
a. Ibu lebih berhak mengasuh anaknya selama anak berada dalam tarap
diasuh dan selama ibu belum kawin lagi. Jika ibu kawin lagi, maka tidak
ada hak untuk mengasuh lagi.
Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Semarang: CV. Asy-Syifa’,
1971), hal. 80.
141
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Hukum, Jilid II, (Semarang: CV. AsySyifa’, 1993), hal. 96.
142
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 295.
143
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam diserta Perbandingan dengan
Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 , ()Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1989), hal. 91
140

64

Universitas Sumatera Utara

65

b. Ibu yang kawin lagi masih berhak mengasuh anaknya tanpa perselisihan
ulama.
Dalam kandungan hadist yang disahihkan oleh Tirmidzi/ Bulughul
Maram: 1189 memiliki kandungan:144
a. Anak yang sudah tidak memerlukan pemeliharaan dan asuhan berhak
memilih, ikut ibunya atau ayahnya.
b. Jika anak tidak menentukan pilihan, maka harus diundi. Ibnul Qayyim
berpendapat, bahwa yang diserahi anak adalah orang tua yang paling
maslahat bagi anak.
c. Menurut segolongan ulama’ batas umur anak tersebut ialah 7 (tujuh)
tahun.145
Dalam urutan siapa yang pemegang hadanah ada beberapa
pendapat, menurut yang dianut oleh kebanyakan ulamat yaitu bila
bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semuanya
memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan hadanah. Maka
urutan yang dianut oleh kebanyakan ulama yaitu:
a.

Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas, karena mereka menduduki
kedudukan ibu, kemudian.

b.

Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas, karena mereka
menduduki tempatnya ayah.

c.

Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas

d.

Ibunya kakek melalui ayah, dan seterusnya ke atas.

144
145

Ibid, hal. 190.
Ibid.

65

Universitas Sumatera Utara

66

e.

Saudara-saudara perempuan ibu.

f.

Saudara-saudara perempuan dari ayah.
Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai urutan-urutan

siapa saja yang berhak mengasuh anak, yaitu dalam Pasal 156 huruf
(a):146
Anak yang belum mumayiz berhak mendapat hadanah dari ibunya,
kecuali jika ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
b. Ayah
c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping dari ibu
f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Dan apabila tidak ada kerabat dekat perempuan seperti pengasuh
di atas, atau tidak ada yang memenuhi persyaratan sebagai pengasuh,
maka hak asuh tersebut berpindak ke ayah si anak, kemudia ayah dari
ayah (kakek), kemudian ke saudara laki-laki sekandung dari ayah, dan
seterusnya seperti urutan-uruatan para ahli waris dan yang dianggap
lebih menguntungkan bagi kepentingan si anak.147
Jika para wali sudah tidak ada atau ada tetapi ada suatu alasan
yang mencegah untuk untuk melakukan tugas hadanah ini, maka
146
147

Instruksi PresidenNo.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
M. Baghir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al—Qur’an, ibid. hal, 238.

66

Universitas Sumatera Utara

67

berpindahlah ia ke tangan kerabat lainnya yang lebih dekat. Jika sudah
tidaka da satupun kerabatnya, maka Pengadilan (Hakim) bertanggung
jawab untuk menetapkan siapakah orang yang patut menangani
hadanah ini.148

Anak mendapat hak untuk memilih siapa yang pantas untuk
mengasuhnya ketika dia telah mumayiz dengan catatan:149
a. Kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh
sebagaimana akan dijelaskan setelah ini. Bila salah satu memenuhi
syarat dan yang satu lagi tidak, maka si anak di serahkan kepada
yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.
b. Si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila anak dalam keadaan idiot,
meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang lebih
berhak untuk mengasuh dan tidak ada hak pilih untuk anak.
Menurut Abdul Razak anak yang mempunyai hak-hak, yaitu:150
1. ............................................................................................. H
ak anak sebelum dan sesudah dilahirkan;
2. ............................................................................................. H
ak anak dalam kesucian dan keturunan;
3. ............................................................................................. H
ak anak dalam menerima pemberian nama yang baik;

148
Sayyid Sbiq Penerjemah Moh. Thalib, Fiqih Sunnah juz 8 , (Bandung: PT, Al-Ma’arif,
1990), hal. 165.
149
Amir Syarifuddin, Op.Cit,hal. 334.
150
Abdul Razak, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1992), hal. 22

67

Universitas Sumatera Utara

68

4. ............................................................................................. H
ak anak dalam menerima susuan;
5. ............................................................................................. H
ak

anak

dalam

mendapatkan

asuhan,

perawatan

dan

pemeliharaan;
6. ............................................................................................. H
ak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
9. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Pengasuhan Anak
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang
menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang
disebut hadin dan anak yang diasuh disebut mahdun. Kedua harus
memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan
itu. Dalam ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban
untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya
perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan atau ayah
berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.151
Ibu atau penggantinya yang dinyatakan lebih berhak mengasuh anak itu
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Berakal sehat152
b. Telah balig

151

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, Loc.Cit, hal. 328.
Tidak diperkenankan hak untuk memelihara anak, jika orang tersebut mempunyai
gangguan mentalnya (gila). Baik karena sakit atau sudah lama baik gila terus menerus maupun gila
semenntara. Akan tetapi jika gilanya sebentar saja masih mempunyai hak, karena orang yang gila
tidak ada kesanggupan untuk memelihara dirinya sendiri. Lihat : Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid
VIII, (Bandung: Al-ma;rif, 1997), hal. 166.
152

68

Universitas Sumatera Utara

69

c. Mempu mendidik 153
d. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia
e. Beragama Islam
Hak mengasuh akan hilang karena si pengasuh kafir. Jika salah seorang
dari orang tuanya kafir, maka hilang haknya untuk mengasuh anaknya dan
hak itu pindah ke tangan orang tuanya yang beragama Islam.154
f. Belum kawin dengan laki-laki
Mengenai yang tersebut terakhir, ada pendapat yang mengatakan
bahwa apabila suami ibu anank (ayah tiri) yang baru adalah kerabat
mahram anak, misalnya pamannya yang cukup mempunyai perhatian
besar terhadap pendidikan kemenakan yang kemudian menjaadii anak
tirinya itu, maka hak ibu untuk mengasuh anak tidak menjadi gugur;
sebab paman termasuk yang mempunyai hak mengasuh juga. Berbeda
halnya apabila ibu anak kawin dengan laki-laki lain yang tidak
mempunyai hubungan kerabat dengan anak.155
Dalam hal yang akhir ini hak mengasuh anak terlepas dari ibu,
dipindahkan kepada ayah atau lainnya yang lebih mampu mendidik anak
bersangkutan. Tetapi inipun tidak mutlak, dimungkinkan juga suami
yang baru, ayah anak, justru menunjukan perhatian yang amat besar

153
154
Muhammad Rawwas Qal’ahji, Penerjemah M. Abdul Mujieb, Ensiklopedi Fiqh Umar
Bin Khathab,, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 104.
155
Ibid.

69

Universitas Sumatera Utara

70

untuk suksesnya pendidikan anak. apabila hal ini terjadi, maka hak ibu
mengasuh anak tetap ada.156
Keenam syarat tersebut Sayid Sabiq menambahkan syarat lagi yakni
merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusanurusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk
mengasuh anak kecil.157 Sedangkan menurut Abd. Rahman Ghazaly
dalam memberikan syarat-syarat hadanah, syarat-syarat ialah:158
a.

Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia
tidak melakukan hadanah dengan baik.

b.

Hendaklah hadanah seorang mukallaf, ayitu telah baliq,
berakal dan tidak terganggu ingatannya.

c.

Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadanah.

d.

Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak,terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.

e.

Hendaklah hadinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak
ada hubungan mahram dengan si anak, maka hadinah itu berhak
melaksanakan hadinah, seperti ia kawin dengan paman si anak dan
sebaginya.

f.Hadanah hendaklah orang yang tidak membenci si anak. jika hadinah
orang yang membenci si anak dikhawatirkan anak berada dalam
kesengsaraan.

156

Lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Sayyid Sabiq Penerjemah Moh. Thalib, Fiqh Sunnah juz 8, (Bandung: PT. Al’Arif,
1990), hal. 166.
158
Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal, 182.
157

70

Universitas Sumatera Utara

71

10. ... Batas atau Jangka Waktu Pengasuhan Anak
Masa pengasuhan anak dalam Islam terhitung sejak anak masih dalam
kandungan, orang tua sudah memikirkan perkembangan anak dengan
menciptkan lingkungan fisik dan suasana batin dalam kekeluarga.159
Ketentuan yang jelas mengenai batas berakhirnya masa pengasuhan anak
(hadanah) tidak ada, hanya saja ukuran yang dipakai adalah mumayiz dan
kemampuan untuk berdiri sendiri. jika anak telah dapat membedakan mana
sebaliknya yang perlu perlu saya laksanakan dan mana yang tidak perlu
ditinggal, tidak membutuhkan pelayanan perempuan dan dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya sendiri, maka masa pengasuhan anak adalah sudah
habis atau selesai.160
Para ahli fikih berselisih pendapat tentang batas umur bagi anak kecil
laki-laki tidak memerlukan hadanah. Sebagian mereka menetapkan 7 tahun.
Sebagian lagi 9 tahun. Sebagian lain menetapkan usia birahi (pubertas) 9
tahun, dan yang lain adalah 11 tahun. Kementrian Kehakiman berpendapat
bahwa kemaslahatan yang harus dijadikan pertimbangan bagi Hakim untuk
secara bebas menetapkan kepentingan anak laki-laki kecil sampai 7 tahun
dan anak perempuan kecil sampai 9 tahun. Jika

hakim menganggap

kemaslahatan bagi anak-anak ini tetap tinggal dalam asuhan perempuan,

159
Fuaduddin TM., Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam, (Jakarta Selatan: Lembaga
Kajian Jender, 1999), hal. 38.
160
Sayyid Sabiq penerjemah Moh. Thalib, Fiqih Sunnah juz 8, (Bandung: Pt. Al-Ma’arif,
1990), hal. 187.

71

Universitas Sumatera Utara

72

maka bolehlah ia putuskan demikian sampai umur 9 tahun bagi anak lakilaki dan 11 tahun bagi anak perempuan.161
11. ... Biaya Pengasuhan anak
Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadanah, sejak saat
menangani hadanahnya, seperti hanya perempuan penyusu yang bekerja
menyusui anak kecil dengan bayaran (upah). Seperti halnya ayah wajib
membayar upah penyusuan dan hadanah ia juga wajib membayar ongkos
sewa rumah atau pelengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah
sendiri sebagai tempat memgasuh anak kecilnya.162
Ayah berkewajiban membayar gaji pembantu rumah tangga atau
penyediaan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya dan ayah ada
kemampuan. Tetapi ini hanya wajib dikeluarkannya di saat hadinah
menangani asuhannya. Gaji (upah) ini menjadi hutang yang ditanggung oleh
ayah dan baru ia bisa terlepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau
dibebaskan.163
12. Analisis Hak Pengasuhan Anak Incest menurut Hukum Islam
Hak asuh anak incest Ulama’ Fiqh masih berselisih berpendapat dalam
menentukan siapa yang berhak atas hak asuh anak incest , apakah hak milik
wanita ibu atau yang mewakilinya atau hak yang diasuh tersebut.

164

Imam

Ahmad Ibu Hanbal berpendapat bahwa orang yang paling berhak atas hak asuh
incest adalah ibu, kemudian ibunya ibu dan seterusnya menurut garis lurus ke

161

Ibid, hal. 174.
Ibid.
163
Ibid, hal. 186.
164
M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzab, (Jakarta: Bassrie Press, 1994), hal. 416.

162

72

Universitas Sumatera Utara

73

atas, setelah itu ayah dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, lalu kakek,
ibunya kakek, saudara perempuan seayah dan seibu. Jika dari pihak ayah atau
ibu itu tidak ada maka yang menjadi hak asuh anak bagi mereka adalah dari
pihak pemerintah.165
Akibat dari perbedaan pendapat tentang hak asuh anak incest tersebut,
para ulama menyimpulkan bahwa:166
a. Apabila kedudukan ibu bapak enggan untuk mengasuh anaknya, maka
mereka bisa dipaksa selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh
anak tersebut. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama’.
b. Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, maka ibu
tidak boleh dipaksa. Hal ini juga disepakati oleh seluruh ulama’ karena
seseorang tidak boleh dipaksa untuk mempergunakan kewajibannya.
c. Menurut Ulama’ Madzhab Hanafi apabila Istri menuntut khuluk pada
suaminya dengan syarat anak itu dipelihara oleh suaminya, maka
khuluknya sah tetapi syaratnya batal karena pengasuhan anak merupakan

dari kewajiban dari ibu. Jumhur ulama’ tidak sependapat dengan
Madzhab Hanafi karena menurut mereka hak pengasuhan anak adalah
hak berserikat yang tidak bisa digugurkan. Apabila terjadi perpisahan
antara suami istri itu, boleh saja anak berada pada asuhan ibu, tetapi
biaya pengasuhan harus ditanggung ayah. Menurut mereka dalam kasus
seperti ini anak lebih berhak tinggal pada ibunya sampai ia cerdas dan
bisa memilih apakah akan tinggal dengan ayah atau ibunya.
165
166

Ibid.
Ibid, hal 419.

73

Universitas Sumatera Utara

74

d. Ulama’ Fiqh juga sepakat menyatakan bahwa ayah tidak bisa mengambil
anak dari ibunya apabila mereka bercerai, kecuali ada alasan syara’ yang
membolehkannya, seperti ibu itu dipenjara atau gila.
Pada contoh kasus yang menimpa RH dengan anaknya yaitu KY, hak
asuh KY diasuh oleh ZB ibu sekaligus nenek bagi RH dan KY, hak asuh anak
RH diasuh oleh ZB dengan alasan bahwa RH masih dibawah umur untuk
mengasuh anak dan RH harus tetap melanjutkan pendidikannya, sehingga
dengan alasan tersebut KY diasuh oleh ZB.167 Menurut Ust Munawar pada
dasarnya yang paling berhak mengasuh seorang anak baik anak sah maupun
tidak sah adalah ibu apabila ibu tidak memungkin ibunya baru kemudian
keluarga dari ibunya. Terkait dengan anak hasil hubungan sedarah (incest)
kadang-kadang ibunya korban tidak mampu untuk memberikan pemeliharaan,
perawatan, atau hak asuh kepada anak tersebut hal ini sebabkan orangtua anak
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai orang yang berhak mengasuh
anak menurut hukum Islam, hal ini bisa saja disebabkan ibu anak hasil
hubungan sedarah tersebut tidak baligh atau tidak berakal sehat. Karena alasan
tersebut membuat hak asuh seorang anak incest jatuh kepada keluarga
ibunya.168 Selain itu kasus incest tidak hanya terjadi di keluarga yang
ekonominya berkecukupan akan tetapi juga terjadi pada keluarga yang kurang
mampu. apabila terjadi pada keluarga yang tidak mampu menyebabkan
pengasuhan anak dengan seizin dari ibu dan keluarga ibu anak, maka ayah
sekaligus kakek sang anak hasil incest dimungkinkan untuk membiayai
167

Wawancara dengan keluarga korban yaitu ZB, tanggal 20 November 2015
Wawancara dengan ust Munawar Warga Gampong Meunasah Intan Aceh Besar,
tanggal 20 November 2015.
168

74

Universitas Sumatera Utara

75

pemeliharaan sang anak, karena seorang ayah sekaligus kakek tetap harus
bertanggung jawab atas pengasuhan dan pemeliharaan anak.

169

BAB IV
AKIBAT HUKUM KEWARISAN ANAK INCEST ATAS HARTA YANG
DITINGGALKAN OLEH ORANG TUANYA
E.

Ketentuan Kewarisan Menurut Hukum Islam
6.

Pengertian Hukum Waris
Kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab warisa-yarisu-

warsan yang artinya mewarisi.170 Jika dikaitkan dengan kondisi yang

berkembang di Masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai
suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan
seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.171

169

Ibid.
Ahmad Warson al Munawir, Kamus Al-Munawir , (Yogjakarta: Pondok Pesantren al
Munawir, 1985), hal. 1665.
171
Muslich Maruzi, Pokok-poko Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), hal. 81
170

75

Universitas Sumatera Utara

76

Pengertian hukum waris secara terminologi adalah hukum yang
mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak
mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara
pembagiannya.172 Dalam redaksi yang lain Muhammad Muhyiddin Abdul
Hamid mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur
tentang kepemilikan seseorang atas sesuatu setelah meninggalnya pewaris
karena adanya sebab dan syarat tertentu.173
Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari
‫ فريضه‬yang artinya bagian.174 Hal ini karena dalam Islam bagian-bagian
warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an.
Secara istilah, al- Syarbani mendefinisikan yang artinya sebagai berikut:175
“Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pustaka, mengetahui
cara perhitungan yang dapat mengetahui bagian yang wajib diberikan kepada
orang yang berhak atas harta waris tersebut”176
Pengertian hukum waris dan faraid diatas, dapat diambil suatu titik temu

75
bahwa pada dasarnya hukum waris atau faraid merupakam suatu cabang ilmu
penegtahuan yang membahas permasalahan yang berkaiatan denagn
hubungan orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup
terhadap harta kekayaan maupun hak dan kewajiban yang ditinggalkannya.177

172

T.M.Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mewaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. Ke1, 1997), hal. 6.
173
Muhammad Muhyiddin, Abdul Hamid, Ahkam al-Mawaris fi al- Islamiyati, (Dar al
Kitab al-‘ Araby, Cet. Ke -1, 1984), hal.5.
174
Ahmad Warson al-Munawir, Op.Cit, hal. 1124.
175
Muhammad Khatib al-Syarbani, Mugni al- Muhtaj, Juz III, (Beirut-Libanon: Dar AlFikr, t.th)hal. 3.
176
Ibid.
177
Ibid, hal.6.

76

Universitas Sumatera Utara

77

7.

Dalil Dasar Hukum Waris
Dasar hukum waris terdapat dalam beberapa sumber hukum Islam
diantaranya:178
a. ...................................................................................................... A
l-Qur’an
Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat, yaitu
ayat-ayat Al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’al-wurud,
qath’i al-dalalah

juga

meskipun pada dataran tanfiz (aplikasi) sering

ketentuan baku Al- Qur’an tentang bagian-bagian waris mengalami
perubahan pada bagian nominalnya misalnya kasus radd,’aul dan
sebagainya.179
Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan dapat
dijumpai dalam beberapa surat dan ayat sebagai berikut:
1. ................................................................................................... A
l-Qur’an surat al-nisa’ Ayat 33, yang menyatakan adanya hak
bagi ahli waris dari setiap harta peninggalan.

ِ
ِ
‫ِ َِِا تََر ا لْ َو ا لِ َد ا ِن َو ا اأَ قْ َر بُ َو َن َو الَ ِي‬
َ ‫َول ُك ِل َج َعنَا َم َو ا‬
ِ َ‫ت أَ َْْا نُ ُكم فَأْ تُو هم ن‬
)33:‫صْيبَ ُه ْم (النسا‬
ْ ‫َْ َن َع َق َد‬
ُْ ْ
ْ
Artinya : “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta
ditinggalkan ibu bapak dari karib kerabat,
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika
orang-orang yang kamu telah bersumpah

yang
kami
ada)
setia

178
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.
Ke-3, 1989), hal. 374.
179
ibid

77

Universitas Sumatera Utara

78

dengan
mereka,
maka
berilah
bagiannya”.180” (QS. Al- Nisa’: 33)

mereka

Al-Qur’an surat an-nisa Ayat 7 menyatakan bahwa

2.

ahli waris laki-laki dan perempuan, masing-masing berhak menerima
warisan sesuai dengan bagian yang ditentukan
3.

ِ َ‫صيب َِِا تَرَك الْوالِ َد ِان و ْاأَقْ ربو َن ولِلنِس ِاء ن‬
ِ َ‫لِل ِرج ِال ن‬
‫يب َِِا‬
‫ص‬
َ
ٌ
َ َ ٌ
َ َ َُ َ
ِ َ‫تَرَك الْوالِ َد ِان و ْاأَقْ ربو َن َِِا قَ َل ِمْنه أَو َكُْر ن‬
)7( ‫وضا‬
ً ‫صيبًا َم ُُْر‬
َُ َ
َ َ
َ ْ ُ

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.181

Ayat yang menerangkan secara rinci ketentuan bagi ahli waris (furud
al- muqoddaroh) terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 11,12 dan 176.

3. ................................................................................................... A
yat yang menegaskan pelaksanaan ketentuan ayat-ayat waris diatas,
yaitu surat An-Nisa’ ayat 13 dan 14, bahwa bagi orang yang
melaksanakan akan dimasukan surga selamanya dan bagi orang yang
sengaja mendurhakai hukum Allah maka bagi mereka akan
mendapat siksa di neraka.
b.

Al-Hadist
Hukum kewarisan juga didasarkan kepada hadist Rasullah SAW. Adapun

hadist yang berhubungan dengan hukum kewarisan diantaranya:

180
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV.Toha Putra,
1989), hal. 122-123.
181
Ibid, hal. 116.

78

Universitas Sumatera Utara

79

1......................................................................................................... H
adist Nabi dari Ibnu Abbas riwayat Bukhari Muslim yang menyatakan
bahwa:182

َ‫ أ‬: ‫صلَ ا ه َعْي ِه َو َسلَ ْم‬
‫عن ا بن عبا س قَا َل ا لنِ ك‬
َ ‫َي‬
ِ
ٍ
‫َ َر ُخ ٍل‬
ََ ‫ فَ ََا بَِقى فَ ُه َو اَ ْو‬،‫ض بِاَ ْهلِ َها‬
ُ ‫ْْ ُق ْو ا ا لْ ََُر ا ء‬
)‫َذ َك ٍل (ر و ا ه مسلم‬

Artinya: “kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dari Ibn Thowus, dari bapaknya,
dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasullah SAW telah bersabda: “bagilah harta
waris diantara orang-orang yang berhak menerima bagian sesuai
dengan ketentuan Al-Qur’an. Jika masih ada tinggalan (sisa) maka
yang lebih berhak adalah ahli waris laki-laki”
2......................................................................................................... H
adist Ibn Abbas menyatakan bahwa:183

‫عن ا سا مة بن ز َد ا ن ا لني عليه و سلم قا ل ا َر ِ ا مسلم ا‬
)‫لكا فر و ا ا لكا فر ا مسلم (روا مسلم‬
Artinya : “Dari Usman bin Zaid Nabi Muhammad SAW bersabda
orang muslin tidak berhak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak
berhak mewarisi muslim” ( HR. Muslim).
3......................................................................................................... H
adist dari Abu Hurairoh berkata:184

182
Al-Imam Abu al-Husain bin al-Hajaj Qusyairi Muslim, Shahih Muslim, (Semarang:
Usaha Keluarga, t.t Juz, II), hal. 2.
183
Ibid.
184
Abi Abdillah Muhammad Ibn Majah, Sunan ibn Majah , (Darul Fikri: Cairo, t.t, Juz
II), hal. 913.

79

Universitas Sumatera Utara

80

‫عن ا ى هر َر ة عن ر سو ل ا ه عليه و سلم ا نه قا ل ا لقا تل‬
)‫ا َر ِ (روا ا بن ما جه‬
Artinya : Dari Abu Hurairoh dari Rasulullah SAW bersabda seorang
pembunuh tidak berhak mewarisi. (HR.Ibnu Majah).
c.

Ijma dan Ijtihad
Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-

mujtahid

kenamaan

mempunyai

peranan

yang

tidak

kecil

sumbangannyaterhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum
dijelaskan oleh nash-nash shorih.185 Ijma dan Ijtihad disini adalah menerima
hukum warisan sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam
upaya mewujudkan keadilan masyarakat dan menjawab persoalan yang
muncul dalam pembagian warisan yaitu dengan cara menerapkan hukum,
bukan mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.186
3.

Prinsip- Prinsip Kewarisan.
a.

Prinsip Ijbari
Peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada
yang masih hidup berlaku dengan sendirinya yang dalam pengertian
hukum Islam berlaku secara ijbari.187 Secara etimologi kata ijbari
mengandung arti paksaan yang maksudnya peralihan dengan
sendirinya dalam hukum waris berarti terjadinya peralihan harta

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. AL Ma’arif, cet. Ke-2, 1981), hal. 33.
Ibid.
187
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau , (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hal. 18.
185

186

80

Universitas Sumatera Utara

81

seseorang yang sudah meninggal kepada yang masih hidup dengan
sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan
dari Si pewaris. Dengan kata lain, dengan adanya kematian si Pewaris
secara Otomatis hartanya akan berlaku pada ahli warisnya (al-nisa’
ayat 11, 12, 33, dan ayat 176.).188
b.

Prinsip Individual
Warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahliwarisnya untuk
dimiliki secara perorangan. Ahli waris berhak atas bagian dari warisan
tanpa terikat dengan ahli waris lainnya. Dasarnya Surat an-Nisa ayat 7,
bahwa setiap ahli waris laki-laki dan perempuan berhak menerima
warisan dari orang tua maupun kerabatnya. 189
Makna berhak atas warisan tidak berarti warisan harus
dibagi-bagikan apapun bentuknya, tetapi bisa saja tidak dibagi-bagikan
sepanjang itu atas kehendak bersama para ahliwarisnya, misalnya ahli
waris tidak berada di tempat, atau masih anak-anak. Tertundanya
pembagian warisan itu tidak menghilangkan hak masing-masing ahli
waris sesuai bagiannya masing-masing. Yang terlarang dalam al-Quran
(an-Nisa ayat 2) adalah mencampurkan harta anak yatim dengan harta

188

Ibid.
Sayuti Thalib, dalam Bukunya Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia , (Jakarta: Bina
Aksara, 1982), hal. 20-21, menyatakan bahwa “ prinsip individu artinya ialah dalam sistem hukum
Islam , harta peninggalan yang ditinggal mati oleh Si yang meninggal dunia dibagi secara
individual yakni secara pribadi kepada masing-masing. Jadi bukan asa kolektif yang dianut dalam
sistem hukum yang terdapat diminangkabau, bahwa harta pusaka tinggi itu diwarisi bersama-sama
oleh suku dari garis pihak ibu (Al-Nisa’ ayat 11)”
189

81

Universitas Sumatera Utara

82

yang tidak baik atau menukarnya dengan harta yang tidak seimbang,
dan larangan memakan harta anak yatim bersama hartanya.190
Prinsip individual ini terdapat perbedaan mendasar dengan
sistem kew adat yang mengenal kewarisan kolektif yang tidak dibagi
kepada seluruh Ahli waris melainkan dimiliki bersama, yaitu harta
pusaka, tanah ulayat. 191
c. Prinsip Bilateral
Kedudukan yang sama antara antara Ahli waris laki-laki dan
perempuan keduanya dapat menerima warisan baik dari garis
kekerabatan laki-laki maupun dari garis kekerabatan perempuan. Jenis
kelamin bukanlah halangan kewarisan dalam waris Islam. Dasarnya
dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176 khusunya pada
ayat 7. Dapat ditegaskan bahwa prinsip bilateral berlaku baik garis ke
atas maupun ke samping. Atau dengan kata lain bahwa prinsip
Bilateral yang dimaksud dalam hukum-hukum Islam adalah bahwa
seseorang menerima hak warisan dari dua belah pihak garis kerabat,
yakni dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan lakilaki.192
d. Prinsip Keadilan Berimbang
Yang dimaksud dengan keadilan berimbang hak kepada yang
berhak secara tepat dan ini bukan bagi persamaan hak, tetapi

190

Ibid.
Ibid.
192
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Hadist, (Jakarta :
Tintamas, 1982), hal. 11.
191

82

Universitas Sumatera Utara

83

tekanannya pada terpenuhinya hak dan kewajiban. Begitu pula
keseimbangan antara keperluan dan kegunaan dalam surat an-nisa’
ayat 2 dianut: bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari
bagian anak perempuan (al-Nisa’ ayat 11).193
e. Prinsip Kewarisan Hanya Karena Kematian
Peralihan harta warisan seseorang kepada yang lain dengan sebutan
kewarisan, berlaku setelah yang pemiliknya meninggal dunia. Tidak
ada pewarisan sepanjang masih hidup. Segala bentuk peralihan harta
pemilik semasa masih hidup tidak termasuk dalam hukum kewarisan
Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. 194
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta
hanya semata-mata disebabkan adanya kematian dengan kata lain harta
seseorang tidak beralih seandainya dia masih hidup, walaupun ia
berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya
sebatas keperluannya semasa ia masih hidup dan bukan penggunaan
harta tersebut sesudah ia meninggal dunia (al- Nisa’ ayat 12).195
Selain itu dalam hukum Waris Islam hanya mengenal satu bentuk
kewarisan hanyalah melalui kematian. Dalam KUHP dikenal
kewarisan secara ab intestato yang tidak juga mengenal kewarisan
secara wasiat yg dibuat pewaris se masa masih hidup. Hal relevan
dengan prinsip ijbari dimana seseorang dapat bertindak bebas atas

193
Suhrawardi. K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hal. 41.
194
Ibid.
195
Ibid.

83

Universitas Sumatera Utara

84

harta kekayaannya semasa masih hidup, tidak lagi setelah meninggal
dunia.Kata warasa menunjukkan bahwa proses kewarisan berlaku
setelah kematian (fi’il maadhi). Prinsip kematian ini agak berbeda
dalam kew adat, kewarisan dapat dimulai sejak pewaris masih hidup
196

.Soepomo mengaskan bahwa : Hukum adat waris memuat peraturan-

peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang yg tidak berwujud (immateriele
goeden) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.
Proses itu telah dimulai dalam waktu orang tua masih hidup. 197
4.

Rukun dan Syarat Kewarisan
a.

Rukun Kewarisan
Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki ketentuan

khusus (rukun-rukun) yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, hukum
waris, dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses penetapannya
dipenuhi tiga rukun, yaitu waris, muwaris dan maurutus.198
Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Sabiq, menurut beliau
pewarisan hanya dapat terwujud apabila terpenuhi 3 hal, yaitu:199
1.

Al-waris, yaitu orang yang akan mewariskan harta peninggalan si
muwaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempustakai seperti

196

Ibid.
Ibid.
198
Allamah Abu Bakar Usman Bin Muhammad Syaththo al-Dimyati al-Bakry, I’anat alTholibin, juz III, (Bairut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, cet. Ke -1, 1995), hal. 383.
199
Al-Syayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, (Baerut-Libanon: Dar-Alfikri, cet. Ke-1,
1997) hal. 326
197

84

Universitas Sumatera Utara

85

adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan
hak perwalian dengan si muwaris.
2.

Al -muwarris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam

ilmu waris, al-muwarris adalah orang yang meninggal dunia, lalu
hartanya dibagi-bagi kepada ahli waris. Harta yang dibagi waris
haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab
instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
3.

Al-Maurus, adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan,

baik berupa uang, tanah dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan
milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta
bersama milik suami sitri. Bila suami meninggal, maka harta tersebut
harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik
suami mana yang milik istri. barulah harta yang milik suami itu dibagi
waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi karena bukan
termasuk harta warisan.200
b.

Syarat Kewarisan
Pusaka mempusakai adalah berfungsi sebagai menggantikan

kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah
meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Oleh karena itu
pusaka mempusakai memerlukan sayarat-syarat sebagai berikut:201
a.

Matinya mawaris (orang yang mempusakakan). Meninggalnya
pewaris merupakan conditio sine quanon untuk terbukanya harta

200

Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 22-23.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: PT.
Pustaka Jaya, cet. Ke-1, 1995), hal. 52.
201

85

Universitas Sumatera Utara

86

waris, karenanya meninggalnya pewaris harus nyata adanya. Apabila
tidak jelas kematiannya tetap menjadi miliknya

yang utuh

sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya. Kematian pewaris
menurut doktrin fikih dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu:202
1. ................................................................................................. M
ati haqiqy artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan
dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia
2. ................................................................................................. M
ati Hukmy

adalah seseorang yang secara yuridis melalui

keputusan hakim dinyatakan telah meninngal dunia. Ini bisa
terjadi seperti kasus seseorang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa
diketahui dimana dan bagaimana keadaannya, melalui keputusan
hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan
meninggal.
3. ................................................................................................. M
ati taqdiri yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
Misalnya karena ada ikut ke Medan perang atau tujuan lain yang
secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak di
ketahui kabar beritanya dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia
telah meninggal dunia, maka dapat dinyatakan bahwa ia
meninggal.203

202
203

Ibid.
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT: Raja Grafindo, cet ke-2, 1995), hal.22-23.

86

Universitas Sumatera Utara

87

b.

Hidupnya waris (orang yang mempusakai) di saat kematian mwaris,
ketentuan ini merupakan syarat mutlak agar seseorang berhak
menerima warisan, sebab orang yang sudah meninggal dunia tidak
mampu lagi membelanjakan hartanya, baik yang diperoleh karena
pewaris maupun sebab-sebab lainnya.204 Hidupnya ahli waris itu baik
secara hakiki maupun secara taqdir hidup secara hakiki berarti
ketetapan tentang hidupnya ahli waris secara nayat dapat diketahui
dan dapat diterima menurut syara, sedangkan hidup secara taqdir
sebagaimana anak dalam kandungan, ia tetap berhak menerima harta
waris bila bapaknya meninggal.205

c.

Tidak adanya penghalang-pengahalang mempusakai (mawani’ul
irsi). Dalam kitab I’anat al- Thalibin dijelaskan bahwa penghalang

mempusakai itu ada 3 macam yaitu pembunuhan, perbudakan dan
perbedaan agama.206
Dengan terpenuhinya syarat kewarisan seperti tersebut di atas, maka
harta waris yang tinggalkan oleh ahli waris dapat dibagikan kepada ahli
waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. namun demikian salah
satu syarat mendapat warisan adalah tidak adanya penghalang dalam
mempusakai maka dengan demikian anak yang lahir diluar perkawinan
dalam hal ini anak incest, anak incest tidak dapat mewarisi dari ayah
sekaligus kakek biologisnya, apabila dikaitkan dengan teori keadilan hal

204

Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, cet ke-1, 1999), hal. 46.
Muhammad Muhyyidin’ Abdul Hamid, Op.Cit, hal. 14-15.
206
Allamah Abu Bakar Usman Bin Muhammad Syaththo al- Dimyati al- Bakary, Op.Cit,

205

hal. 383

87

Universitas Sumatera Utara

88

ini sungguh tidak adil tidak meberikan hak kepada seorang yang tidak
bersalah. Anak incest tidak dapat dipersalahkan atas kesalahan yang
dilakukan oleh orangtunya.207
5.

Sebab-sebab Mewarisi
Penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah

meninggal dunia menurut Al- Qur’an, Hadist Rasulullah, dan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 174, ditemukan dua penyebab, yaitu, hubungan
kekerabatan (nasab), dan hubungan perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu
adalah sebagai berikut:208
1)

Hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan

oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui
pada saat adanya kelahiran jika seseorang anak lahir dari seseorang ibu,
maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anakk yang dilahirkan.
Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapapun karena setiap anak yang lahir
dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah
antara seseorang anak dengan seorang ibu yang melahirkannya.
Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya maka
dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu
melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang
sah menyebabkan si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku

207
208

Ibid.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia , (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal.

113

88

Universitas Sumatera Utara

89

pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang menyebabkan
kelahirannya.209
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan oleh adanya
akd nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan
melahirkan). Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan
anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat
pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu
dan seterusnya ke bawah, kepada anak beserta keturunannya, dan
hubungan keke