Pertanggungjawaban Orang Tua Terhadap Anak Incest Menurut Hukum Islam

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak1 merupakan amanat dari Allah yang harus di jaga dengan baik
khususnya bagi orang tua, setiap orang tua tidak boleh begitu saja
mengabaikannya, disebabkan hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu
kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam.2
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti.
Anak memiliki arti yang sangat berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan
penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan
harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut.3 Begitu pentingnya eksistensi
anak dalam kehidupan manusia, maka Allah Swt mensyari’atkan adanya
perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk
berketurunan (memiliki anak) yang baik, dan memelihara nasab.

1
WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1992) hal. 38-39 menyebutkan bahwa anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan
kedua setelah ayah dan ibu. Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata hukum. Ia

tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan usia. Hukum Perkawinan
Pasal 47 menyebutkan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua. Selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaan. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan, sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak bahwa anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Sementara itu dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 98 ayat (1) dikatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, Lihat : Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 2001), hal.
50.
2
Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alih bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam
Islam, (Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992), hal.49.
3
http://www.uinsuska.info, diakses tanggal 27 Oktober 2015.

1


1

Universitas Sumatera Utara

2

Islam meletakkan tanggung jawab membesarkan anak sepenuhnya di atas
bahu kedua orang tuanya, selain merawat secara fisik, juga meliputi akulturasi ke
dalam nilai-nilai Islam dan sosialisasi ke dalam umat. Syariat menegaskan bahwa
orang tuanya harus mendidik anaknya tentang ritual Islam serta hukum dan etika
Islam dan tentang menjadi bagian dari umat. Bila tidak sanggup atau gagal, maka
masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.4
Mengasuh dan merawat anak hukumnya wajib, sama sepertinya wajibnya
orangtua memberikan nafkah yang layak kepadanya. Semua ini harus
dilaksanakan demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup anak. syariat Islam,
dalam hubungannya dengan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dan
perawatan, menuntut agar setiap orang yang berkewajiban memenuhi tugas ini
agar melakukannya dengan ikhlas hal ini merupakan tanggung jawab yang
dibebankan kepada orang tua.5

Pasal 45 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mewajibkan orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.6Kewajiban ini
berjalan sampai anak ini kawin atau dapat berdiri sendiri. demikian pula
sebaliknya, pada Pasal 46 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, anak wajib
menghormati orang tua dan menuruti kehendak mereka yang baik. 7 Serta apabila
anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuan, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus keatas bila mereka memerlukannya.

4
Isma’il R. Al-Faruqi, Altar Budaya Islam, Menjelajah Kazanah Peradaban Gemilang,
(Bandung: Mizan, 2002), hal.185.
5
Ibid.
6
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
7
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2


Universitas Sumatera Utara

3

Hak anak dalam Islam memiliki aspek universal terhadap kepentingan
anak. meletakan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa
dasar tujuan kehidupan umat Islam adalah membangun umat manusia yang
memegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan
Islam ini meliputi aspek hukum dalam lingkungan seseorang. Cara pandang yang
dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum
Islam sebagai formalitas-formalitas wajib yang harus ditaati dan apabila dilanggar
maka perbuatan tersebut akan mendapatkan laknat baik di dunia maupun di
akhirat.8
Secara garis besar syari’at Islam membagi anak menjadi dua kategori, yaitu :9
1. Anak Syar’i yaitu anak yang mempunyai hubungan nasab (secara hukum)
dengan orang tua laki-lakinya.
2. Anak Tabi’i yaitu anak yang tidak mempunyai hubungan nasab dengan
orang tua laki-lakinya.
Setiap anak yang dilahirkan oleh orang tuanya harus diberikan perawatan
dan pemeliharaan sebagaimana mestinya tanpa memandang status anak tersebut,

sudah menjadi tanggung jawab setiap orang tua untuk mengasuh anak. Seorang
anak sangat memerlukan kejelasan nasab karena akan membawa akibat hukum
pada anak tersebut yang juga menyangkut hak dan kewajiban yang diperoleh dan
harus dilaksanakan karena mempunyai kekuatan hukum yang sah. 10 Seorang anak
berhak memperoleh hak-hak yang telah di tentukan oleh Agama Islam.

8
Abdul Rozak Husein, Hak dan Pendidikan Dalam Islam, alih bahasa H. Azwir Butun,
(Bandung: Fikahati Aneska, 1992), hal. 19.
9
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1968), hal. 698.
10
Ibid.

3

Universitas Sumatera Utara

4


Akhir-akhir ini banyak sekali hal-hal yang dapat mengakibatkan status
seorang anak tidak jelas, permasalahan yang tengah muncul di tengah-tengah
masyarakat pada saat ini adalah anak yang lahir akibat hubungan sedarah atau
yang dikenal dengan incest yang mengakibatkan status anak tidak jelas baik
mengenai kewarisan, hak-haknya serta bagaimana tanggung jawab orang terhadap
anak incest tersebut.11 Ajaran dalam agama Islam selain anak harus memperoleh
hak-haknya, anak juga akan mewarisi semua yang dimiliki oleh orang tuanya
karena anak merupakan ahli waris yang berhak menerima warisan. Baik anak lakilaki maupun anak perempuan adalah ahli waris dari kedua orang tuanya, bahkan ia
adalah ahli waris paling dekat dengan pewaris.
Incest sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Bahkan bisa jadi
sesungguhnya fenomena ini sudah setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Dan
di banyak masyarakat, incest biasanya dikategorikan sebagai tindakan asusila
yang ditabukan di dalam kehidupan masyarakat. Dia tidak nampak kepermukaan
karena selalu dianggap aib jika terungkap dan ini tentu saja erat kaitannya dengan
budaya dan kepercayaan masyarakat di setiap zamannya.12
Anak yang dilahirkan dari hasil hubungan sedarah kemungkinan besar
akan mengalami kecacatan. Persoalan yang timbul adalah jika anak yang di
kandung oleh korban incest tersebut ternyata lahir dalam keadaan hidup dan sehat,
11


Incest adalah kekerasan seksual yang terjadi antara anggota keluarga. Pelaku biasanya
adalah anggota keluarga yang lebih dewasa dan korbannya anak-anak. Selain itu incest merupakan
hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki
ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu
dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung. 11 Lihat : Elli Nur Hayati, Panduan
Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender),
(Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000), hal. 39 dan lihat pula Cindy Fajar Larasati, “Hak Waris Anak
Incest Terhadap Harta Orang Tua Biologisnya” Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum, Universitas
Jember (UNEJ), 2013, hal. 1.
12
Ibid.

4

Universitas Sumatera Utara

5

karena belum tentu anak yang dilahirkan dari hasil hubungan incest akan terlahir
cacat atau meninggal dunia. Hal ini di tegaskan oleh Dr. Ramonasari, kepala

divisi Kesehatan Reproduksi Perkumpulan Keluarga Bencana Indonesia (PKBI)
Jakarta yang menyatakan bahwa tidak setiap perbuatan incest akan melahirkan
keturunan yang memiliki kelainan atau gangguan kesehatan. Bisa saja gen-gen
yang yang diturunkan baik dan melahirkan anak yang normal. Walaupun begitu,
kelemahan genetik lebih berpeluang muncul dan riwayat genetik yang buruk akan
bertambah dominan serta banyak muncul ketika lahir dari orang tua yang
memiliki kedekatan keturunan. Pada kasus incest penyakit resesif yang muncul
dominan. Namun gangguan emosional juga bisa timbul bila perlakuan buruk
terjadi saat pertumbuhan dan perkembangan janin pra dan pasca kelahiran.13
Bertolak dari apakah anak yang terlahir itu cacat atau tidak , yang pasti jika anak
tersebut terlahir dalam keadaan hidup, sang ibu sebagai orang tua berkewajiban
dan bertanggungjawab untuk memeliharanya karena bagaimanapun juga anak
tersebut adalah darah dagingnya sendiri.14
Bukan hanya itu, masalah yang selanjutnya akan timbul adalah bahwa
korban incest tidak bisa menikah dengan orang yang menghamilinya yang dalam
hal ini adalah ayah atau saudara kandungnya sendiri karena dalam agama Islam
hal itu dilarang.15Dilarangnya perkawinan Incest karena dalam Islam dikenal
istilah mahram (orang-orang yang haram dinikahi, termasuk ayah kandung).

13

Http://rahima.or.id/SR/08-03/Opini1.htm, “Anak Perempuan Hasil incest lebih rentan
terhadap penyakit genetik” di akses tanggal 28 Oktober 2015.
14
Ibid.

“Anak Perempuan Hasil Incest Lebih Rentan terhadap Penyakit
Genetik,” http://www.rahima.or.id/SR/08-03/Opini1.htm, akses 17 April 2015.
15

5

Universitas Sumatera Utara

6

Alasannya adalah orang-orang ini tanpa ikatan pernikahan pun memiliki
kewajiban sebagai pelindung.
Di dalam Al-Qur’an surat An-nisa ayat 23 telah dijelaskan yang artinya :
“diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara

ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anakanak perempuan darai saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu
istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri
anak kandungmu (menantu), dan diharamkan mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.16
Larangan tersebut terdapat juga di dalam BW yaitu dalam Pasal 30 dan
31, yang meliputi :17
a. Semua orang yang termasuk para wangsa dalam garis lurus dengan tidak
terbatas seperti antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak
laki-lakinya, kakek dengan cucu perempuannya, nenek dengan cucu
perempuannya, ayah mertua dengan menantu perempuannya, ibu mertua
dengan menantu laki-lakinya, dan sebagainya;
b. Antara saudara laki-laki dengan perempuan baik sah maupun tidak (pasal
30 BW);

c. Antara ipar laki-laki denga ipar perempuan kecuali bilamana salah seorang
di antara suami istri itu sudah meninggal atau berdasarkan keadaan tidak
Qur’an Surat An-nisa (4) : 23.
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. 22.
16

17

6

Universitas Sumatera Utara

7

di tempat atau tidak hadir diantara suami istri yang menjadikan hubungan
ipar;
d.

Antara paman dan anak perempuan saudara paman atau kemenakan
perempuan, antara bibi dan anak laki-laki saudara bibi atau kemenakan
laki-laki, pakde/paman tua dengan cucu perempuan saudara paman tua,
dan bibi tua dengan cucu laki-laki saudara bibi tua yang ditentukan dalam
pasal 31 BW.
Pelaku tindakan incest (ayah, kakek, kakak, paman dan seterusnya ) yang

seharusnya mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk melindungi, mendidik, dan
mengarahkan, yang dalam inilah hukum Islam bertindak sebagai wali bagi harta
dan jiwa korban (anak perempuan, cucu, adik, keponakan dan seterusnya) justru
menjadi pelaku utama yang menganiaya diri korban.
Berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan, dalam surat AnNisa’ ayat 11 disebutkan bahwa yang artinya :
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sana dengan bagian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang tinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memeperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapa nya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa yang diantara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnyha Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”18

18

Qur’an Surat An-nisa’ (4) : 11.

7

Universitas Sumatera Utara

8

Kejadian berikut muncul ketika ketentuan mengenai kewarisan anak luar
nikah ini ditetapkan di Indonesia. Meskipun secara umum hukum kewarisan yang
berlaku bagi umat Islam di Indonesia adalah hukum waris Islam, yakni hukum
waris yang diformulasikan oleh jumhur ulama khususnya mazhab syafi’i,19 yang
tercermin di dalam KHI pasal 186 yang menyatakan bahwa anak yang lahir diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan
keluarga dari pihak ibunya.
Selain kewarisan anak diluar nikah yang menjadi masalah selanjutnya
adalah mengenai tanggung jawab kepada anak hasil incest. Salah satunya adalah
tanggung jawab mengenai hak asuh bagi anak hasil hubungan incest karena tidak
semua anak incest akan lahir dalam keadaan cacat atau meninggal dunia,
bagaimana jika ternyata anak korban incest

lahir dalam keadaan sehat

sebagaimana yang telah di ungkapan oleh Dr. Ramonasari bahwa anak korban
incest bisa saja lahir dalam keadaan normal, sehingga akan muncul suatu isu
hukum bagaimana tanggung jawab ayah dan ibu terhadap anak incest. Tidak
hanya itu masalah lain juga akan muncul ketika anak incest lahir, bagaimana
dengan kewarisan anak tersebut dan masih banyak sekali masalah yang akan
muncul dari perbuatan incest ini.
Akhir-akhir ini semakin banyak kasus-kasus incest yang terjadi. Namun
sebagaimana diketahui, kasus-kasus incest yang terungkap hanyalah sebagian
kecil dari kasus-kasus yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Kasus-kasus
tersebut ibarat fenomena gunung es, yang kelihatan hanya sebagian kecil dari
19

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Gema
Media, 2001), hal.117.

8

Universitas Sumatera Utara

9

realita yang sebenarnya atau hanya nampak ujungnya saja dipermukaan air,
sehingga dalam kenyataannya kasus-kasus incest yang terjadi di masyarakat jauh
lebih banyak, dan berlipat ganda jumlahnya dibandingkan kasus-kasus yang
terungkap.
Kasus incest umumnya sulit diungkap, dan dilanjutkan ke Pengadilan, hal
ini disebabkan faktor pelaku atau keluarga pelaku yang juga korban ataupun
aparat penegak hukum maupun budaya yang berlaku dimasyarakat atau bahkan
masyarakat sendiri, karena kasus incest termasuk aib di masyarakat, sehingga
masyarakatnya sendiri berusaha menyembunyikan, dan hanya menjadikan kasus
incest tersebut sebagai rahasia umum, serta dibiarkan begitu saja tanpa ada
penanganan yang optimal untuk menanggulanginya, dan mencegahnya. Berikut
salah satu contoh kasus incest yang tidak terungkap di masyarakat.
Kasus yang terjadi kepada RH (15 tahun) yang beralamat di Jalan T.
Iskandar Muda, Desa Meunasah Intan, Kec. Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. RH
yang tinggal bersama dengan kedua orang tuanya yakni SY sebagai ayah dan Sdr.
ZB sebagai ibu. Kasus ini terjadi pada tanggal 10 Maret 2011 ketika ibu dari RH
pergi ke Jakarta selama 2 (dua) bulan karena tugas dinas dari kantor. Pada malam
yang sudah tidak di ingat lagi oleh keluarga RH, keluarga RH menyatakan bahwa
ayahnya SY telah mengajak RH melakukan hubungan suami istri, pada saat itu
RH sempat menolak, namun di ancam oleh SY dengan ancaman jika tidak
menuruti keinginan SY, RH tidak akan diberikan uang. Selama ditinggal oleh
ibunya ZB, RH telah dua kali diperkosa oleh SY, hingga Pada akhirnya 2012
korban RH hamil dan melahirkan anak perempuan yang bernama KY. Keluarga

9

Universitas Sumatera Utara

10

korban telah membuat kesempakatan bahwa kasus tersebut akan diselesaikan
secara kekeluargaan dan tidak akan melibatkan aparat penegak hukum, dengan
alasan jika akan dibawa ke Pengadilan keluarga korban akan malu atas aib yang
dilakukan SY. Sehingga sampai saat ini kasus tersebut tetap menjadi rahasia
keluarga. Pada saat itu SY telah bertaubat atas kejadian tersebut. Selanjutnya
Pada awal Tahun 2014 SY meninggal dunia dikarenakan kecelakaan mobil di
Jantho Aceh Besar yang mengakibatkan SY meninggal dunia. SY meninggalkan
2 (dua) orang anak yaitu RH (Perempuan) dan RZ (laki-laki) dan beserta KY
sebagai cucunya. Pada bulan Agustus 2014 ibu ZB memanggil ketua desa untuk
mengurus masalah kewarisan yang ditinggalkan ayahnya dan KY (anak incest)
mendapatkan warisan sama dengan RH yaitu ibunya. 20
Berdasarkan kasus yang telah di paparkan di atas maka menarik untuk
membahas tentang pertanggungjawaban orang tua terhadap anak incest menurut
hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku incest

menurut hukum pidana

Islam?
2. Bagaimana tanggungjawab orang tua terhadap hak pengasuhan anak incest
berdasarkan hukum Islam?

20

Hasil wawancara dengan keluarga korban, Tanggal 10 November 2015.

10

Universitas Sumatera Utara

11

3. Bagaimana akibat hukum terhadap hak kewarisan anak incest atas harta
yang ditinggalkan oleh orang tuanya?

C. Tujuan penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pertanggungjawaban pelaku incest
menurut hukum pidana Islam
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab orang tua terhadap
hak pengasuhan anak incest berdasarkan hukum Islam.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum terhadap hak kewarisan
anak incest atas harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini
dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis yang didasarkan pada tujuan
penelitian, yaitu :
1.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya
untuk dapat lebih mengerti dan memahami tentang pengetahuan mengenai
pertanggungjawaban pelaku incest menurut hukum pidana Islam, tanggung
jawab orang tua terhadap hak pengasuhan anak incest, dan akibat hukum
terhadap hak kewarisan anak incest atas harta orang tuanya.

11

Universitas Sumatera Utara

12

2.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi aparat hukum dan masyarakat terkait dalam menghadapi perkara atau
masalah yang berhubungan dengan pertanggungjawaban orang tua terhadap
anak incest menurut hukum Islam. Selain itu, juga dapat memberi masukan
bagi profesi Notaris, akademisi, pengacara, dan mahasiswa.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil-hasil
penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan dilingkungan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Pertanggungjawab
Orang Tua Terhadap Anak incest menurut Hukum Islam, belum pernah
ditemukan judul atau penelitian tentang judul di atas sebelumnya.
Hasil penelusuran keaslian penelitian, ada beberapa penelitian yang
menyangkut tentang kewarisan anak menurut hukum Islam yang pernah dilakukan
oleh Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang dilakukan dengan pendekatan masalah yang
berbeda, yaitu :
1. Judul Tesis “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama
Nomor 1595/PDT.G/PA Sidoarjo)” yang ditulis oleh Astari
Priardhyni, NIM 107011072, Mahasiswa Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, perumusan masalahnya adalah :

12

Universitas Sumatera Utara

13

a. Mengapa li’an dapat mencegah hak waris anak dari ayah
biologisnya?
b. Bagaimana hubungan kenasaban dan keawisan bagi anak li’an
dalam perspektif hukum Islam pada putusan Pengadilan Agama
perkara Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo yang dikaitkan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan perlakuan
terhadapnya?
c. Mengapa

dalam

Putusan

Pengadilan

Agama

Nomor

1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo dapat dilakukan sumpah li’an
terhadap anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kata teori

berasal dari kata theori

yang artinya pandangan atau

wawasan21. Theoria juga bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian yang
terbaik.22Secara umum teori itu diartikan sebagai pengetahuan yang hanya
ada dalam alam pikiran tanpa dihubungan dengan kegiatan-kegiatan yang
bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.23 Kerangka secara etimologis

21

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Jogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hal.4.
Bernard, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang Dan Generasi ( Yogjakarta : Genta Publising, 2010), hal 41.
23
Sudikno, Op.Cit, hal.7.
22

13

Universitas Sumatera Utara

14

bermakna garis besar atau rancangan. Teori adalah keseluruhan pernyataan
yang salin berkaitan.24
Dalam

perkembangannya,

ilmu

hukum

tidak

terlepas

dari

ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada
metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosia, juga
sangat ditentukan oleh teori.
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
perspektif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat perspektif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.25
Teori merupakan satu prinsip yang dibangun dan dikembangkan
memalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan
menjelaskan suatu masalah.26
Teori berfungsi untuk menerangkan dan menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya

pada

fakta-fakta

yang

dapat

menunjukkan

ketidakbenaran.27
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk
membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada

24

J.JH. Bruggink alih bahasa oleh Arief Shidarta, Refleksi Tentang Hukum (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 1999), hal.2.
25
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta :Kencana Perdana Media, 2009),
hal. 22.
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1999), hal.12.
27
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas (Jakarta: Penyunting : M.
Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

14

Universitas Sumatera Utara

15

landasan filosofisnya yang tertinggi.28 Teori hukum sendiri boleh disebut
sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam
urutan yang demikian itulah kita dapat merenkonstruksikan kehadiran teori
hukum secara jelas.29 Kerangka teori merupakan garis besar dari suatu
rangcangan atas dasar pendapat yang dikemukan sebagai keterangan
mengenai suatu peristiwa.30 Menurut Kaelan M.S, Landasan teori terhadap
suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian.
Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat strategis artinya memberikan
realisasi pelaksanaan penelitian.31 Oleh karena itu, kerangka teoritis bagi
suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:32
1. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
2. Teori sangat berguna untuk mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi
yang ada;
3. Teori merupakan suatu iktisar daripada hal-hal yang diteliti;
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh
karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
faktor-faktor tersebut akan timbul lagi dimana yang akan datang.

Malcom Walters, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton
F. Susanto, menyebutkan bahwa teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang
disusun dengan sengaja yang memenuhi semua kriteria :33
a.

Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek
sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui
28

Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 254.
Ibid,hal. 253.
30
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 520.
31
Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogjakarta: paradigma,
2005), hal. 239.
32
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121.
33
H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Op.Cit.,hal. 23.
29

15

Universitas Sumatera Utara

16

b.

c.

d.

e.

f.

g.

pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas
sosiologis dan sosial.
Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus
diungkapkan melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan
itu koheren dan kuat.
Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu
tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik
kesimpulan dari satu dan lainnya.
Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis
atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan
bentuk substansi atau eksistensinya.
Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat
digunakan dan menerangkan semua atas contoh fenomena apapun yang
mereka coba terangkan.
Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh
dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah
laku mereka sendiri.
Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus
konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahliahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat
menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lainnya.
Suatu penelitian, menetapkan suatu kerangka teori adalah suatu

keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan
berfikir untuk menganalisis permasalahn yang dibahas.
Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian
ini adalah teori keadilan dalam Islam dan teori Tanggung jawab hukum
Teori keadilan dalam Islam Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan
menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang
berhubungan dengan kemasyarakatan.

Adil perseorangan adalah tindakan

memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa
melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang
dinamakan tidak adil.

Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan

misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang
yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca

16

Universitas Sumatera Utara

17

keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat
sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia
mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di
desa-desa.34
Dalam surat Al-Maidah (5) :8 Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil.
Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". Keadilan
adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut
ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya.
Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa
ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat
manusia.35
Keadilan dalam hukum Islam selalu diidentikkan dengan aspek
keTuhanan, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dan antara
manusia dalam perspektif wahyu. Penekanan terhadap konsep keadilan dalam
hukum Islam tampak dalam tulisan-tulisan Ibnu Qayyim al-Jwziyyah.Ibnu
Qayyim memberikan keadilan dalam konteks politik hukum (siyasah syar’iyyah).
Konteks itu menjadi di kalangan ulama Islam dengan adanya kesadaran bahwa
penguasa dalam taraf tertentu memiliki wewenang penjabaran dan penambahan
34
Abdul Wahid,Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an, http://awahid86.blogspot.com/,
diakses 18 Agustus 2015.
35
Ibid.

17

Universitas Sumatera Utara

18

aturan hukum Islam sepanjang sesuai dengan jiwa syariah. Keadilan dalam hukum
Islam tidak bisa dilepaskan dari hukum dan kebenaran. Keadilan didefinisikan
dalam sudut pandang teologis, dimana hubungan Tuhan dengan manusia bersifat
vertical, yaitu sebagaimana hubungan antara hamba dengan Tuhan/majikan.
Kekuasaan hukum mutlak di tangan Tuhan karena satu-satunya Hakim (pembuat
hukum) yang diakui dalam hukum Islam hanyalah Allah. Allah sebagai Maha
Adil dan Maha Benar lebih mengetahui kebenaran dan keadilan hakiki.36
Keadilan dalam konteks pelaksanaan hukum meniscayakan adanya
kualifikasi untuk menjamin kapasitas dan legitimasi sosial bagi Hakim, penguasa,
atau pemberi sanksi di Peradilan. Keadilan dalam konteks pelaku (orang)
melakukan kredibilitas dan kepercayaan orang untuk dapat melakukan tugas-tugas
Hakim, Penguasa, dan persanksian di atas. Orang yang adil adalah orang yang
jauh dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan melakukan dosa-dosa kecil,
menjaga keperwiraan (muruah), dan menjaga kesucian diri. Untuk terlibat dalam
dunia keadilan, pelaku terlebih dahulu harus memiliki kualifikasi moral dan
kepribadiaan tertentu. Kualifikasi tersebut berangkat dari stabilitas mental dan
kemampuan menampilkan diri sebagai sosok yang kredibel.37
Teori berikutnya yang menjadi teori pendukung dari teori keadilan dalam
Islam adalah Teori Tanggungjawab Hukum
Ada dua istilah yang menunjuk pada tanggung jawab dalam kamus hukum
yaitu liability dan responsibility. Merupakan istilah hukum yang luas yang

36
Munir Salim, Keadilan dan Kebenaran Menurut Hukum Islam, http://www.uinalauddin.ac.id/download11.%20KEADILAN%20DAN%20KEBENARAN%20MENURUT%20H
UKUM%20ISLAM.pdf, diakses 18 Agustus 2015.
37
Ibid.

18

Universitas Sumatera Utara

19

menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi
semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian,
ancaman, kejahatan, biaya tau kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat di
pertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, ketrampilan,
kemampuan dan kecakapan meliputi kewajiban bertanggung jawab atas undangundang yang dilaksanakan.
Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep
tanggung jawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggung jawab secara
hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam
kasus perbuatannya bertentangan atau berlawanan hukum. Sanksi dikenakan
deliquet karena perbuatannya sendiri membuat orang tersebut bertanggungjawab.
Subjek responsibility dan subjek kewajiban hukum adalah sama.
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum
menyatakan bahwa “ seorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu
perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti
bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang
bertentangan”38
Hans Kelsen selanjutnya membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat)
bagian yang terdiri dari.39

38
Hans Kelsen, general Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara,
Dasar-dasar Ilmu hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Terjemahan Somardi,
(Jakarta: Bee Media Indonesia, 2007), hal. 81.
39
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, (Bandung: Nusa
Media, 2006), hal. 140.

19

Universitas Sumatera Utara

20

a. Pertanggungjawaban individu yaitu seseorang individu bertanggung
jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggungjawaban

kolektif

berarti

bahwa

seorang

individu

bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang
lain;
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan berarti bahwa seseorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan karena tidak
sengaja diperkirakan.
Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan
melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:40
a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah
melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat
atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan
kerugian.
b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
karena kelalaian (negligence tort liability), didasarkan pada konsep
kesalahan (concept on fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum
yang sudah bercampur baur (interminglend).
40

Abdulkadir Muhammad, Hukum perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010), hal. 503.

20

Universitas Sumatera Utara

21

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan

kesalahan

(strick

liability),

didasarkan

pada

perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya
meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul akibat perbuatan.
Apabila dihubungkan dengan penelitian ini maka teori tanggung
jawab dipergunakan untuk mengetahui tanggung jawab pelaku incest
terhadap korban atas perbuatan yang dilakukannya.
2. Kerangka Konsepsi
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Peranan
konsepsi dari penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara
abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan
abstraksi yang di generalisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi
operasional.41
Suatu kerangka konsepsi42 merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan
merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstrak dari
gejala tersebut. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan
41

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002),

hal. 10.
42

Menurut H.M.Hamdan, dalam bukunya Pembaharuan Hukum Tentang Alasan
Penghapusan Pidana, (Medan: Usu Press, 2008), hal.78. menyatakan bahwa kerangka konsepsi
merupakan kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin
atau diteliti. Suatu konsep merupakan bukan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan
suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu biasanya fakta, sedangkan konsep merupakan suatu
uraian mengenai hubungan- hubungan dalam fakta tersebut, Selain itu Selain itu konsepsi adalah
suatu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah bagian penghubung yang menerangkan
suatu yang sebelumnya hanya baru ada dipikirkan. “peranan konsep dalam pemeliharaan adalah
untuk menghubungkan dunia teori dan observasi antara bisnis dan realitas. Lihat juga Masri
Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3E3, 1999), hal.15.

21

Universitas Sumatera Utara

22

pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dirumuskan
serangkaian definisi operasional atau beberapa variabel yang digunakan, sehingga
dengan demikian tidak akan menimbulan perbedaan penafsiran atas sejumlah
istilah dan masalah yang dibahas. Di samping itu, dengan adanya penegasan
kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisis
masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari
aspek sosiologis.43
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu di
definisikan beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai
dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan, konsep tersebut yaitu :
1. Anak Incest adalah anak dari hasil penodaan darah yaitu anak yang lahir
dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dimana
diantara keduanya dilarang melangsungkan perkawinan baik karena terikat
hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sepersusuan (dalam
hukum Islam) dan sebagainya.44
2. Waris adalah dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda
dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada
yang berhak menerimanya.45
3. Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia (pewaris)
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,

43

Masri Singarimbun, dkk., Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1999), hal. 11.
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992), hal. 10.
45
Mukhlis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Ilmu Pembagian Waris, (Jakarta: Citapustaka
Media, 2001), hal.1
44

22

Universitas Sumatera Utara

23

beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.46
4. Hukum Waris Islam (faraidh) adalah masalah-masalah pembagian harta
warisan. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang
bermakna

al-mafrudhah

atau

sesuatu

yang

diwajibkan.

Artinya,

pembagian yang telah ditentukan kadarnya.47
5. Kompilasi Hukum Islam adalah hukum materil Pengadilan Agama yang
terkodifikasi dan unifikasi yang pertama saat ini dan diperlukan untuk
landasan rujukan setiap keputusan peradilan agama.48
6. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada nilai-nilai keIslaman
yang berasal dari dalil-dalil agama Islam yakni Al-quran, Hadist, Ijma’,
Ulama dan Qiyas. Bentuk hukumnya dapat berupa kesepakatan, larangan,
anjuran, ketetapan, dan sebagainya.49
G. Metode Penelitian
Metodologi berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk
melakukan sesuatu; dan “Logos ” yang artinya ilmu pengetahuan. Metodologi
artinya cara melakukan sesuatu dengan mengunakan pikiran secara seksama untuk
mencapai tujuan.50
Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau
proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan
46

Ibid,.
Abu Bakar Jabir El-jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) Mu’amalah,
(Bandung: Alih Bahasa : Rachmat Djatnika dan Sumpeno, Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 216.
48
M.Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan: Mkn, USU, 2006), hal.11.
49
Teguh Santoso, Hukum Islam : Pengertian dan Sumbernya, www.teguhsantosos.com
2011, diakses pada tanggal 21 April 2015
50
Moh.Nazir, Metode Penelitian, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal.13
47

23

Universitas Sumatera Utara

24

teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan
teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji
kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejalagejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum
tertentu.51Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur
(sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.52
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum
normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum
empiris atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif.53
Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan
yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Maksudnya, penelitian ini
termasuk penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara
tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
tujuan penelitian ini.54 Penelitian ini bertujuan untuk melukiskan keadaan objek
atau peristiwa sekaligus menganalisis tentang pertanggungjawaban orang tua
terhadap anak incest menurut hukum Islam
Jenis penelitian yang digunakan disesuaikan dengan permasalahan yang
diangkat di dalamnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu
51

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal. 105.
52
Abdulkadir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004), hal. 57.
53
J.Supranto, Metode penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.2
54
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, (Bandung:
PT.Alumni, 1994), hal. 101.

24

Universitas Sumatera Utara

25

penelitian dilakukan dengan cara menganalisis hukum yang tertulis dari bahan
pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum
sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang
hukum.55
Penelitian ini adalah untuk menganalisis kaedah hukum tentang
pertanggungjawaban orang tua terhadap anak incest menurut hukum Islam
ditinjau dari sudut pandang hukum waris Islam yang menggambarkan, menelaah
dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang berkaitan dengan pertanggung jawaban orang tua terhadap
anak incest, berdasarkan Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Kompilasi Hukum Islam yang
pemberlakuannya didasarkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999,
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, serta peraturan-peraturan
perundangan lainnya yang terkait, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran
jawaban atas permasalahan mengenai kewarisan anak incest tersebut.56
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis
normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder
yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam
perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum
serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan
hukum lainnya.57

55

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 33.
56
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung:PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), hal. 82.
57
Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media
Publishing, 2005), hal. 336.

25

Universitas Sumatera Utara

26

2. Sumber Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan
penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penelitian ini misalnya Al-Qur’an Hadist, Ijma’,
Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya didasarkan dengan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, dan peraturan perundang-undangan lainnya
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer berupa buku-buku yang berhubungan
dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil penelitian, karya
ilmiah atau hasil-hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
misalnya kamus hukum, kamus fiqh, majalah, surat kabar, kamus bahasa
indonesia, internet, dan jurnal-jurnal.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,
dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data daru

26

Universitas Sumatera Utara

27

penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, artikel, jurnal, wawancara dengan informan seperti, pakar hukum
Islam,dll, yang hasil wawancara dengan informan dijadikan sebagai data yang
mendukung data sekunder, dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.58
Dengan penelitian kepustakaan dikumpulkan data, membaca, dan mempelajari
bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan judul.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan
teori-teori yang telah didapat sebelumnya. Secara sederhana analisis data disebut
sebagai kegiatan memberikan telaah yang dapat berarti mengkritik, mendukung,
menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan
terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah
dikuasai.59
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan menurut
permasalahan yang selanjutnya dilakukan analisi secara kualitatif. Analisis secara
kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak tergantung dari jumlah data
berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis kemudian digambarkan
dalam bentuk kalimat-kalimat. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis
data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang telah diperoleh menurut
kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas,

58
Sumandi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998), hal. 16.
59

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hal. 183

27

Universitas Sumatera Utara

28

dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga
diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan

28

Universitas Sumatera Utara