Analisis Hukum Mengenai Penerapan Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Terhadap Pelaku Perusakan Hutan (Studi Putusan No : 21 Pid.Sus 2015 PN.Tkn)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan setiap
orang. Kehadiran lingkungan hidup merupakan hal yang sangat penting dalam
kelangsungan hidup manusia. Manusia hidup dan berkembang dari waktu ke
waktu. Setiap aktivitas yang dilakukan manusia dalam mencapai kehidupannya
pasti akan mempunyai dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. Pembangunanpembangunan yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kesejahteraan
hidupnya pasti akan memiliki dampak bagi lingkungan, dimana pembangunan
yang dilakukan pasti akan menuntut ketersediaan sumber-sumber alam.
Sedangkan, lingkungan yang terdiri dari sumber daya alam dan ekosistem
memiliki sifat keterbatasan, dimana harus dilakukan pelestarian terhadap
fungsinya. Pengelolaan lingkungan tersebut merupakan upaya manusia untuk
berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan mencapai
kesejahteraannya.
Makin meningkatnya belakangan ini pencemaran atau kerusakan
lingkungan, baik dilihat dari segi intensitasnya, maupun dari sudut kualitasnya
yakni sifat dan bahaya yang ditimbulkannya, serta dilihat dari sudut kuantitasnya
yakni makin meluasnya sebaran dampak yang diakibatkannya, adalah seiring
dengan berkembangnya peradaban manusia itu sendiri.4


4

N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam Jakarta : Jakarta, 2009, Halaman

18

1
Universitas Sumatera Utara

2

Salah satu komponen lingkungan hidup yang sangat penting bagi
kehidupan manusia adalah hutan. Sumber daya hutan merupakan salah satu
ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang memiliki peranan yang sangat penting
dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini. Sebab di dalam hutan telah
diciptakan segala makhluk hidup baik besar, kecil, maupun yang tidak dapat
dilihat dengan mata. Di samping itu, di dalamnya juga hidup sejumlah tumbuhan
yang menjadi hamparan, yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal ini menjadi
sumber kekayaan yang dapat dikelola dengan baik, yang dipergunakan untuk
membangun bangsa dan negara. Oleh karena itu, aset yang terdapat di dalam

hutan sangat dibutuhkan untuk menambah pendapatan negara dan pendapatan
daerah, sehingga dengan adanya pengelolaan hutan tersebut dapat pula menopang
pendapatan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan.5
Hutan menurut Dangler adalah : 6
“sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,
sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi
menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuhtumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas
dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)”.
Hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang
mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan
antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan. Ada tiga unsur yang
tercantum dalam rumusan hukum kehutanan, yaitu : (1) adanya kaidah hukum
kehutanan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, (2) mengatur hubungan antara

5

Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia, Sinar Grafika :
Jakarta, 2010, Halaman 1
6
Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua),

Universitas Atma Jaya Yogyakarta : Yogyakarta, 2005, Halaman 12

Universitas Sumatera Utara

3

negara dengan hutan dan kehutanan, dan (3) mengatur hubungan antara individu
(perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.7
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Manfaat itu
dapat dibedakan atas dua macam, langsung dan tidak langsung. Manfaat hutan
secara langsung adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi,
serta hasil hutan ikutan antara lain rotan, getah, buah-buahan, madu, dan lain-lain.
Ada delapan manfaat hutan secara tidak langsung, antara lain : mengatur tata air,
mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, memberikan
rasa keindahan, memberikan manfaat di sektor pariwisata, memberikan manfaat
dalam bidang pertanahan keamanan, menampung tenaga kerja, dan menambah
devisa negara. Di dalam Agenda 21 Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro
pada tahun 1992 disebutkan manfaat hutan sebagai paru-paru dunia. 8

Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan. Potensi
yang sangat besar tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai
sebuah negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia,
setelah Saire dan Brasil. Hutan di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam
mulai dari hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan
rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove), selain itu negara
Indonesia merupakan 10 (sepuluh) negara pemilik hutan terluas di dunia. Adapun
7
8

Ibid., Halaman 6
Salim,H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika : Jakarta, 2002, Halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

4

kesepuluh negara yang terluas hutannya tersebut, diantaranya : (1) Federasi Rusia
luas wilayah 1.688,9 juta hektar, dengan luas hutan 809 juta hektar ; (2) Brasil

luas wilayah 845,9 juta hektar, dengan luas hutan 478 juta hektar ; (3) Kanada
luas wilayah 922,9 juta hektar, dengan luas hutan 310 juta hektar, (4) Amerika
Serikat luas wilayah 915,9 juta hektar, dengan luas hutan 303 juta hektar, (5) Cina
luas wilayah 932,7 juta hektar, dengan luas hutan 197 juta hektar, (6) Australia
luas wilayah 768,2 juta hektar, dengan luas hutan 164 juta hektar, (7) Republik
Demokrat Kongo luas wilayah 226,7 juta hektar, dengan luas hutan 134 juta
hektar, (8) Indonesia luas wilayah 181,2 juta hektar, dengan luas hutan 88 juta
hektar, (9) Peru luas wilayah 128 juta hektar, dengan luas hutan 69 juta hektar,
dan (10) India luas wilayah 297,3 juta hektar, dengan luas hutan 68 juta hektar. 9
Akibat perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin
banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan hutan
dilakukan dengan cara dan intensitas yang sangat bervariasi, mulai dari
pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi klimaks hutan sampai
pada tindakan – tindakan yang menimbulkan perubahan komposisi hutan yang
mencolok.10 Hutan Indonesia merupakan hutan tropis terbesar ketiga di Dunia.
Dengan ukuran yang sebesar itu, hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru
dunia yang bisa menyerap pencemaran udara seperti emisi karbondioksida.
Sayangnya, hutan Indonesia sedang berada dalam ancaman besar terutama dari

9


Supriadi, op.cit., Halaman 2
Sumardi, S.M. Widyastuti, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta, 2004, Halaman 2
10

Universitas Sumatera Utara

5

kegiatan

manusia

seperti

Illegal

Logging,


perkebunan,

pertanian,

dan

sebagainya.11
Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya
dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai
wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan
penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan
dalam arti luas. Hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan
kehutanan

mempunyai

hubungan

yang


sangat

erat.

Karena

individu

(perseorangan) tersebut telah mengusahakan tanah miliknya untuk menanam kayu
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sehingga pengurusan dan pemanfaatannya
diatur yang bersangkutan. 12
Shannon L. Smith mencatat terdapat 7 (tujuh) faktor menjadi sumber
tekanan perusakan hutan, yakni : 13
1. Pembalakan (logging) komersial, baik dilakukan secara legal maupun
ilegal (illegal logging)
2. Pertambangan, baik dilakukan oleh penambang kecil dengan teknologi
tradisional maupun oleh penambang besar dengan teknologi canggih
3. Transmigrasi, termasuk juga pemukiman kembali penduduk lokal
perambah hutan sekaligus dengan pencetakan areal pertanian menetap
4. Perkebunan dan hutan tanaman industri (timber estate)

5. Perladangan berpindah
11

Sukanda Husin, Penegakan hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta,
2009, Halaman 45
12
Ibid, hal. 7
13
N.H.T. Siahaan, Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan, Pancuran Alam:
Jakarta, 2007, Halaman 20

Universitas Sumatera Utara

6

6. Eksploitasi hutan nonkayu
7. Berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar yang kebanyakan
dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk juga sektor pariwisata.
Pada tahun 1950, lembaga yang pada waktu itu disebut Dinas Kehutanan
Indonesia menerbitkan peta vegetasi untuk negara ini. Dari peta ini disimpulkan

bahwa hampir 84 persen luas daratan Indonesia waktu itu tertutup hutan primer
dan sekunder serta perkebunan seperti teh, kopi dan karet. Survei untuk
menghasilkan peta ini menggabungkan seluruh tipe perkebunan ke dalam kategori
"hutan" sehingga rincian luas masing-masing tidak dapat disebutkan secara pasti.
Namun demikian, jelas bahwa pada tahun 1950 luas perkebunan skala besar dan
perkebunan skala kecil tidak begitu mempengaruhi hutan. Catatan-catatan jaman
penjajahan Belanda dari tahun 1939 menyebutkan bahwa perkebunan skala besar
luasnya mencapai sekitar 2,5 juta ha "yang dieksploitasi" dan sebenarnya hanya
1,2 juta ha yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi selama tahun 1940- an
dan 1950-an, dan luas lahan yang ditanami baru mencapai luas seperti yang ada
pada tahun 1939 setelah ditanam ulang pada tahun 1970-an. Luas perkebunan
skala kecil hanya mencapai 4,6 juta ha pada tahun 1969, dan sebagian besar dari
luas kawasan ini ditanami pada tahun 1950-an dan 1960-an. Hutan jati di Jawa
luasnya mencapai 824.000 ha pada tahun 1950. Penyebab utama pembukaan
hutan yang terjadi sampai tahun 1950 adalah untuk kepentingan pertanian,
terutama untuk budidaya padi.14

FWI/GFW, Majalah Hukum, “Keadaan Hutan Indonesia”, Bogor : Forest Watch
Indonesia
dan

Washington
D.C,
2001,
http://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_full_id.pdf. Diakses pada Tanggal 12 Maret
2016 Pukul 18 : 18 WIB
14

Universitas Sumatera Utara

7

Namun demikian, untuk mengetahui secara pasti berapa luas hutan di
Indonesia, sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan
oleh beberapa alasan : Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah
wewenang Departemen Kehutanan, bukan hanya daerah berhutan. Berdasarkan
pengertian ini dan Tata Guna Kesepakatan (TGHK) Tahun 1980 luas hutan di
Indonesia diperkirakan seluas 143,8 juta ha. Kedua, pelaksanaan inventarisasi
hutan relatif terlambat dan ini masih berlanjut. Keadaan ini menyulitkan
penentuan berapa luas hutan yang sebenarnya. Sebagai contoh, hasil penelitian
RePPPorT selama Tahun 1985-1989 atas dasar hasil foto udara 1982,
memperkirakan bahwa wilayah hutan mencakup 63 % dari seluruh luas hutan
Indonesia. Penelitian paling akhir oleh proyek kehutanan 1990 FAO/RI,
memperkirakan bahwa wilayah hutan yang paling efektif hanya 109 juta ha atau
57 % dari luas daratan nasional. Angka yang sering digunakan untuk luas lahan
hutan adalah 140,3 juta ha, terdiri atas 30,8 juta ha hutan lindung, 18,8 juta ha
cagar alam dan taman nasional, 64,3 juta ha hutan produksi, dan sekitar 26,6 juta
ha hutan telah dialokasikan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, perumahan,
transmigrasi, dan tata guna lahan bukan hutan lainnya. Kini kawasan hutan
Indonesia tercatat hanya seluas 104.876.635 atau sekitar 54,6 % dari keseluruhan
total luas daratan. Rinciannya, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
perairan 5.085.209 hektar (terdiri atas 27 unit) dan daratan 18.154.507 hektar
(339) unit. Kawasan hutan tersebut terbagi dalam dua kategori. Pertama, kawasan
suaka alam yang terdiri atas cagar alam 2.283.142 hektar (168) unit dan suaka
margasatwa 3.612.323 hektar (42) unit. Sementara kawasan hutan pelestarian

Universitas Sumatera Utara

8

alam meliputi Taman Wisata 299.117 hektar (75) unit, Taman Buru 248.932
hektar (13) unit, Taman Nasional 11.458.993 hektar (30) unit dan Taman Hutan
Raya 252.089 hektar (11) unit. Selain kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam, luas dan distribusi kawasan hutan juga terdiri atas hutan lindung
seluas 30.581.753 hektar yang terdiri atas 472 Daerah Aliran Sungai (DAS). 62
DAS di antaranya termasuk DAS prioritas I, 232 DAS prioritas II dan 176 DAS
prioritas III. Terakhir, kawasan hutan produksi yang terdiri atas Hutan Produksi
Terbatas (HPT) 17.063.682 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 28.675.811
hektar dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 13.717.786 hektar. 15
Forest Watch Indonesia (FWI) sebagai lembaga pemantau hutan
independen yang ada semenjak 15 tahun lalu menggambarkan kondisi hutan alam
pada tahun 2013 dan perubahan tutupan hutan16 alam yang terjadi dalam periode
2009-2013. Berdasarkan analisis interpretasi tutupan hutan alam yang dilakukan
oleh FWI, sampai tahun 2013 luas tutupan hutan alam hanya tinggal 82 juta
hektare atau sekitar 46 persen dari luas daratan Indonesia dan 62,6 persen dari
total luas kawasan hutan. Lebih dari setengah (51 persen) luas hutan alam
Indonesia pada tahun 2013 tersebar di 3 (tiga) provinsi saja, yaitu Papua,
Kalimantan Timur dan Papua Barat. Delapan provinsi yang memiliki tutupan
hutan terluas yaitu: Provinsi Papua dengan luasan sekitar 25 persen dari luas hutan
Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur2 sekitar 15 persen, Provinsi Papua Barat
15

Supriadi, op.cit., Halaman 4-5
Hutan/Tutupan Hutan: Lahan di mana pohon mendominasi tipe vegetasi di dalamnya.
FAO mendefinisikan hutan sebagai lahan dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10 persen dari
tanah, dan luas kawasan lebih dari 0,5 ha. Selain itu, pohon harus mampu mencapai tinggi
minimum 5 meter saat pohon dewasa. Perlu diperhatikan bahwa 10 persen ambang tutupan tajuk
mewakili tutupan pohon yang sangat jarang; kebanyakan hutan alam di Indonesia merupakan
hutan yang tajuknya tertutup.
16

Universitas Sumatera Utara

9

sekitar 11 persen, Provinsi Kalimantan Tengah sekitar 9 persen, Provinsi
Kalimantan Barat sekitar 7 persen, 5 persen di Provinsi Sulawesi Tengah sekitar 5
persen, Provinsi Aceh sekitar 4 persen, dan Provinsi Maluku sekitar 3,2 persen.
Kerusakan hutan yang mengakibatkan hilangnya tutupan hutan secara masif dan
berkelanjutan mulai terjadi di Indonesia sejak awal tahun 1970- an. Ketika
perusahaan-perusahaan pengusahaan hutan diberi kemudahan oleh pemerintah dan
mulai melakukan eksploitasi skala komersil.17
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Planologi,
Kementerian Kehutanan laju deforestasi18 pada hutan primer di Indonesia pada
periode tahun 2011 -2012 sebesar 24.474,3 hektar. Laju deforestasi pada hutan
primer tersebut terbagi dalam Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Rawa Primer
dan Hutan Mangrove Primer.19 Upaya yang terus dilakukan oleh Kementerian
Kehutanan untuk menurunkan deforestasi hutan adalah: 1). Percepatan tata batas
kawasan hutan, 2). Peningkatan penetapan kawasan hutan, 3). Pembentukan KPH,
sebagai intesifikasi pengelolaan, pendekatan pelayanan akses masyarakat terhadap
manfaat hutan, 4). Penegakan hukum berkait dengan illegal logging dan
perambahan, 5). Pengendalian penggunaan kawasan hutan, 6). Penentuan High
Conservation Value (HCV) pada pelepasan kawasan hutan, 7). Pendelinasian

17

Intip Hutan (Media Informasi Seputar Hutan Indonesia), Bogor : Forest Watch
Indonesia, 2015, Halaman 5, http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2015/03/intip_hutan_HR.pdf
diakses pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 20.00 WIB.
18
Deforestasi adalah penebangan hutan: penyebab utama adalah kegiatan penebangan
kayu komersial dalam skala besar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi
online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/deforestasi, diakses pada tanggal 7 juni 2016
pukul 20.00 WIB
19
Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Kehutanan, “Deforestasi Indonesia Pada
Tahun 2011 – 2012 Hanya Sebesar 24 Ribu Hektar”, Dalam Siaran Pers Nomor : S. 409 /PHM1/2014, http://www.dephut.go.id/uploads/files/ce7d69be1e3df78967e11864d92d34e1.pdf. Diakses
pada tanggal 14 Maret 2016 Pukul 23:34 WIB.

Universitas Sumatera Utara

10

makro dan mikro dalam perijinan pemanfaatan hutan, 8). Pencegahan dan
penanggulangan kebakaran, 9). Peningkatan mutu pengelolaan hutan dengan
sertifikasi, 10). Rehabilitasi, reklamasi, revegetasi, penanaman hutan dan kebun
bibit.20
FWI menyimpulkan

bahwa penyebab utama dari tingginya tingkat

kerusakan hutan alam yang terjadi secara terus-menerus di Indonesia adalah
akibat dari lemahnya tata kelola hutan. Selanjutnta, kelemahan tata kelola hutan
tersebut menyediakan ruang terjadinya praktik-praktik korupsi. Pada akhirnya
ketiadaan transparansi dan partisipasi, korupsi, dan cara pandang bahwa sumber
daya alam khususnya sumberdaya hutan hanyalah sumber pendapatan dan
keuntungan keuangan semata, menjadi kontributor terbesar kerusakan hutan
Indonesia. Sepanjang keseluruhan dekade ini, lemahnya peran dan kapasitas
pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan menciptakan celah dan
insentif bagi oknum-oknum pelaku kehutanan yang nakal untuk mengeksploitasi
sumber daya hutan secara destruktif. Upaya perbaikan tata kelola hutan sudah
menjadi kebutuhan mendesak dan sudah seharusnya menjadi perhatian serius
pemerintah. Peran publik sangat penting dibutuhkan dalam memberikan
perspektif lain terkait perbaikan tata kelola. Pemerintah juga harus memberi
ruang-ruang bagi publik untuk turut berpartisipasi baik dari proses perencanaan
dan juga implementasinya. Hasil-hasil kajian akademisi, monitoring pemantauan
yang dilakukan oleh publik harus dilihat sebagai masukan yang membangun

20

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

11

karena

hutan

adalah

barang

publik

dan

pengelolaannya

harus

dapat

dipertanggungjawabkan pula kepada publik.21
Mengantisipasi terjadinya kerusakan hutan oleh pemegang izin Hak
Pengusahaan Hutan, perambah hutan, dan pencuri kayu, perlu dilakukan
penegakan hukum secara konsekuen terhadap para pelaku tanpa memandang
suku, agama, maupun kedudukan sosialnya, karena semua orang harus
diperlakukan sama di hadapan hukum. Ada empat faktor yang harus diperhatikan
dalam menegakkan hukum secara konsekuen di bidang kehutanan, yaitu : 22
1.

Adanya ketentuan hukum yang akomodatif, yaitu ketentuan hukum
yang ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam
bidang kehutanan. Ketentuan hukum yang ada dalam bidang
kehutanan telah cukup memadai karena telah mengatur berbagai hal,
seperti tata cara penyidikan, penuntutan, serta memuat tentang sanksi,
yaitu sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana

2.

Adanya penegak hukum yang tangguh, terampil, dan bermoral di
bidang kehutanan, seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,
Polri, Kejaksaan, dan Hakim

3.

Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum

4.

Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum
di bidang kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat, penegak
hukum sulit untuk memprosesnya.

21
22

Intip Hutan (Media Informasi Seputar Hutan Indonesia), Op.Cit., Halaman 6-7.
Salim,H.S, Op.cit., Halaman 3-4

Universitas Sumatera Utara

12

Upaya untuk menyelamatkan hutan Indonesia tentunya tidak dapat
dilepaskan dari penyelesaian tunggakan masalah di masa sebelumnya, baik dari
sisi persoalan nyata di tingkat tapak, persoalan kebijakan, maupun persoalan
kapasitas penyelenggara kehutanan. Identifikasi masalah kehutanan secara tepat
dan fundamental dengan menggunakan informasi yang akurat, akan menentukan
capaian perbaikan kinerja kehutanan. Penyelesaian permasalahan kehutanan
tersebut bukan hanya menentukan apa masalahnya, tetapi juga memerlukan
strategi bagaimana solusi masalah-masalah tersebut dapat dijalankan. Selanjutnya,
agar strategi tersebut dapat dilakukan optimal maka prasyarat kelembagaan dan
kepemimpinan (leadership) kehutanan menjadi sebuah keharusan.23
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, secara formal pengaturan khusus mengenai hutan diatur pada tahun 1967
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Kehutanan. Undang-undang tersebut merupakan UndangUndang yang khusus mengatur tentang hutan dan kehutanan. Namun demikian,
sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, maka menyangkut
pengaturan mengenai kehutanan diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tidak diatur mengenai kehutanan secara khusus, tetapi mengatur mengenai
hasil hutan.24

23

Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013, Bogor : Forest Watch Indonesia,
2014, Halaman 92, http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2015/05/PKHI-2009-2013_update__sz.pdf,
diakses pada tanggal 15 maret 2016 pada pukul 15.00 WIB
24
Supriadi, op.cit., Halaman 28-29

Universitas Sumatera Utara

13

Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan,
tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal.
Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada
belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan
secara terorganisasi. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan merupakan payung hukum baru agar
perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta
pemberian efek jera kepada pelakunya. Penjelasan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013 menyatakan bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang
berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan
modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan
masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat
dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum. 25
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengangkat judul yaitu
Analisis

Hukum

Mengenai

Penerapan

Ketentuan

Pencegahan

Dan

Pemberantasan Perusakan Hutan Terhadap Pelaku Perusakan Hutan (Studi
Putusan No : 21/Pid.Sus/2015/PN.Tkn)
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang menjadi pokok bahasan penulis dalam skripsi
ini, diantaranya adalah :

25

Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan

Universitas Sumatera Utara

14

1. Bagaimana pengaturan hukum yang berkaitan dengan pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan ?
2. Faktor – faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya perusakan
hutan ?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perusakan
hutan di Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Bahwa setiap penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang akan
diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang dibahas. Adapun tujuan yang
ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk

mengetahui

perkembangan

pengaturan

yang

mengatur

mengenai pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
b. Untuk mengetahui faktor yang menjadi penyebab terjadinya perusakan
hutan
c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana
perusakan hutan
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan
sebagai penambahan ilmu pengetahuan dari segi hukum, terkhusus mengenai

Universitas Sumatera Utara

15

perlindungan kerusakan hutan. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada dunia pendidikan ilmu hukum Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Penulisan hukum ini diharapkan akan menjadi suatu bahan kajian lebih
lanjut untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan hutan dan cara untuk
menanggulangi serta mencegah kerusakan hutan tersebut.
E. Keaslian Penulisan
Setelah melakukan

penelitian dan penulusuran pada perpustakaan

Fakultas Hukum USU, tidak ditemukan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum
Mengenai Penerapan Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan Terhadap
Pelaku Perusakan Hutan (Studi Putusan No : 21/Pid.Sus/2015/Pn.Tkn)”. Sehingga
tulisan pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun
secara hukum.
F. Tinjauan Kepustakaan
1.

Pengaturan Hukum Mengenai Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan
Hukum merupakan suatu instrumen yang memiliki aturan dengan tujuan

untuk memberikan keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum kepada
masyarakat. Beberapa pengertian hukum menurut para ahli sebagai berikut :26
1. E. Utrecht :
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah atau
larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat, dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat itu, oleh hukum

26

Syahruddin Husein, Pengantar Ilmu Hukum, kelompok studi hukum dan masyarakat
fakultas hukum USU : Medan, 1998, Halaman 7-8.

Universitas Sumatera Utara

16

pelanggaran terhadap petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan
tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu.
2. Immanuel Kant
Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak
bebas dari orang lain, menuruti asas tentang kemerdekaan.
3. Prof. Satjipto Rahardjo, SH
Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma yang
berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan
dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu
dibina dan kemana harus di arahkan. Oleh karena itu pertama-tama
hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh
masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini ini adalah ide
mengenai keadilan.
Berdasarkan pendapat para ahli hukum sebagaimana diuraikan di atas,
dapat diketahui bahwa hukum tersebut memiliki tujuan untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat luas, dan juga hukum memberikan sebuah
jaminan untuk melindungui kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Hukum dibuat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Pada dasarnya
apapun bentuk dari hukum tersebut memiliki tujuan untuk menjamin sebesarbesarnya kepentingan rakyat.
Pemerintah yang merupakan perpanjangan tangan dari rakyat, membentuk
sebuah peraturan perundang-undangan, yang merupakan produk hukum dan
sebagai pelaksana dari ketentuan hukum tersebut. Dalam peraturan perundangundangan, pemerintah membentuk aturan-aturan, yang bertujuan untuk mengatur
setiap perbuatan manusia.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan mampu hidup sendirian, dan
pasti akan bersosialisasi dengan masyarakat. Sehingga, sudah menjadi kepastian
bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan baik tindakan tersebut bersifat
negatif, maupun bersifat positif.

Universitas Sumatera Utara

17

Peraturan perudang-undangan, terkhusus mengenai hukum pidana,
mengatur mengenai batasan-batasan dari tindakan tersebut. Terhadap perbuatan
hukum yang dianggap negatif oleh masyarakat, peraturan perundang-undangan
tersebut juga akan memberikan sebuah sanksi sebagai bentuk pemberian
tanggungjawaban yang akan diberikan kepada siapa saja yang melakukan
perbuatan tersebut.
Perbuatan yang dianggap negatif oleh masyarakat dan perbuatan yang
akan mendapatkan sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan disebut dengan tindak pidana.
Simons menerangkan, bahwa Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.27
Menurut W.P.J Pompe :
“suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu
tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum”. Pompe mengatakan, bahwa
menurut teori strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan
hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam
hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan
(schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar
feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana,
akan tetapi selain itu harus ada orang yang dapat dipidana. 28

27
28

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, 2002, hal 56.
Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, USU Press : Medan, 2015, hal 85.

Universitas Sumatera Utara

18

Perbuatan pidana atau tindak pidana, tidak hanya dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang akan mengakibatkan kerugian materil maupun imateril
dari orang lain. Sesuai dengan perkembangan zaman, subjek hukum faktanya juga
melakukan sebuah perbuatan yang juga dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan, seperti kerusakan hutan dan lainnya.
Kerusakan hutan memiliki dampak yang mengakibatkan kerugian bagi
masyarakat, dan juga kerugian bagi negara. Kerusakan hutan pada saat ini telah
mencapai kondisi memprihatinkan. Kementerian Kehutanan RI menyatakan laju
kerusakan hutan antara tahun 1998-2000 telah mencapai angka 3,8 juta Ha per
Tahun. Forest Watch Indonesia (FWI) memperkirakan laju kerusakan hutan
antara tahun 2001-2003 telah mencapai angka 4,1 juta Ha per Tahun. Jika
dihitung dalam angka 2 juta Ha per Tahun saja, berarti tiap menitnya kerusakan
hutan telah mencapai 3 hektare atau sama dengan 6 kali luas lapangan bola.
Berdasarkan hasil riset Oseanologi LIPI, kekayaan hayati laut kita pada tahun
2005 tercatat tinggal 5,83 % yang masuk kategori sangat baik, 25 % baik, 26,59 %
sedang dan 31 % lainnya mengalami kerusakan.29
Pengaturan mengenai tindak pidana tersebut juga akan selalu mengalami
perkembangan, mengikuti apa yang terjadi dalam masyarakat. Maka seharusnya
peraturan perundang-undangan juga menyesuaikan dengan perkembangan
kehidupan masyarakat, agar peraturan-peraturan tersebut dapat mengakomodir
kebutuhan yang ada dalam masyarakat.

29

Iskandar, Hukum Kehutanan, Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
Dalam Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Berkelanjutan, Mandar Maju: Bandung, 2015,
Halaman 3.

Universitas Sumatera Utara

19

Pemerintah dengan kebijakan legislasi, telah membentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan perusakan lingkungan
hidup, terkhusus dalam bidang perusakan hutan. Peraturan perundang-undangan
mengenai perusakan hutan yang telah di bentuk ini merupakan bentuk keseriusan
pemerintah dalam menangani permasalahan kerusakan hutan. Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah guna melarang siapa saja
yang melakukan perusakan hutan adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Kerusakan Hutan.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas, tidak hanya memberikan
sanksi kepada pelaku perusakan hutan, yang pada dasarnya merupakan salah satu
cara pemerintah untuk memberantas perbuatan kerusakan lingkungan, melainkan
undang-undang tersebut juga mengatur bagaimana cara pencegahan terjadinya
kerusakan hutan tersebut.
Upaya pemberantasan perusakan hutan menurut Pasal 1 angka 8 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menindak secara
hukum terhadap pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak langsung, maupun
yang terkait lainnya.

Universitas Sumatera Utara

20

Sedangkan upaya pencegahan perusakan hutan menurut Pasal 1 angka 7
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan
kesempatan terjadinya perusakan hutan.
Pada dasarnya, upaya pemberantasan yang dapat disebut juga sebagai
upaya represif dan upaya pencegahan yang disebut dengan upaya preventif,
memiliki tujuan yang sama. Yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk menekan angka kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia.
2.

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perusakan Hutan
Kejahatan merupakan suatu tindakan yang dianggap negatif oleh

masyarakat, dan juga telah melanggar unsur-unsur yang disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa pengertian kejahatan menurut penggunaannya, antara lain :30
1. Secara praktis (Practice Interpretation)
Pelanggaran atas norma-norma agama,kebiasaan, kesusilaan yang
hidup dalam masyarakat disebut kejahatan.
2. Secara religius (Religious Interpretation)
Pelanggaran atas perintah-perintah Tuhan disebut kejahatan
3. Secara yuridis (Juridical Interpretation)
Yakni suatu perbuatan yang melanggar hukum atau yang dilarang oleh
undang-undang misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), pencurian
(Pasal 362 KUHP), Penipuan (Pasal 378 KUHP) dan lain-lain.
30

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Genta
Publishing : Yogyakarta, 2014, Halaman 25-26.

Universitas Sumatera Utara

21

Sedangkan kejahatan adalah perbuatan amoral yang menurut Bonger
dijelaskan bahwa :
“pada hakekatnya perbuatan immoril terlihat bahwa ada dua sudut
pandang. Subjektif jika dipandang dari sudut orangnya, adalah perbuatan
yang bertentangan dengan kesusilaan; objektif, jika dipandang dari sudut
masyarakat, adalah merugikan masyarakat penyelidikan mengenai ini oleh
sosiologi khususnya etnologi membuktikan, bahwa immoril berarti:anti
sosial dipandang dari sudut masyarakat”.
Kejahatan tersebut memiliki unsur-unsur sifat melawan hukum, baik sifat
melawan hukum formil maupun sifat melawan hukum materil. Sifat melawan
hukum formil diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
korporasi, dan perbuatan tersebut dianggap perbuatan yang melanggar normanorma berlaku oleh masyarakat. Sedangkan sifat melawan hukum materil
merupakan perbuatan yang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
ditentukan oleh undang-undang.
3.

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perusakan Hutan
Tindak pidana menurut Simons adalah sebagai berikut :31
“suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun

tidak

dengan

sengaja

oleh

seseorang

yang

dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.
Menurut Simons, sifatnya yang melawan hukum seperti dimaksud di atas
itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah
bertentangan dengan sesuatu peraturan dari undang-undang hingga pada dasarnya

31

Mohammad Ekaputra, op.cit., Halaman 87.

Universitas Sumatera Utara

22

sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang
tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur yang lain. 32
J.E Jonkers memberikan definisi tindak pidana, sebagai berikut :33
a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.
b. definisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian
“strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum
(wederrechttelijk) berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh
orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers, sifat
melawan hukum dipandang sebagai unsur yang tersembunyi dari tiap
peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan untuk dapat
dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari
pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan unsur dari
kejahatan. Berdasarkan hal ini ternyata definisi tindak pidana yang
panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa pidana
juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers hal ini
tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena itu selalu
meninjau peristiwa pidana dalam hubungannya dengan si pembuat.
Perusakan hutan merupakan suatu perbuatan yang telah melanggar normanorma yang berlaku, sehingga perbuatan perusakan hutan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana.
Upaya pencegahan maupun upaya pemberantasan (upaya represif maupun
upaya preventif), dapat dilakukan dengan berbagai bentuk kebijakan hukum
pidana. Kebijakan hukum pidana pada dasarnya merupakan saran untuk
melakukan upaya-upaya penegakan hukum.
Istilah kebijakan diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politiek
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum
pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam
kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai
32
33

Ibid, Halaman 88.
Ibid, Halaman 89.

Universitas Sumatera Utara

23

istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum
maupun dari politik kriminal.
Menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum Adalah :34
a.
b.

Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Sistem Hukum Indonesia yang menganut sistem civil law mengenal dua
bentuk kebijakan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana.
Kebijakan yang terdapat dalam sistem hukum Indonesia dibagi dalam bentuk
kebijakan penal dan kebijakan non penal.
Kebijakan terhadap pelaku perusakan hutan, juga dapat dilakukan dengan
cara penal baik non penal. Bentuk kebijakan penal terkait perbuatan perusakan
hutan adalah dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perbuatan perusakan hutan, dan adanya sistem peradilan yang dilakukan
untuk melakukan penjatuhan pidana kepada pelaku perusakan hutan.
Selain itu, kebijakan non penal juga dapat dilakukan untuk menekan angka
perusakan hutan yang ada di Indonesia. Upaya non penal dapat disebut sebagai
upaya preventif, yaitu dengan cara mengeluarkan kebijakan oleh pemerintah,
memberikan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kehutanan, adanya peran serta
masyarakat di dalam nya, dan bekerja sama dengan dunia internasional.
G. Metode Penelitian
34

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti: Bandung, 1996, Halaman 27.

Universitas Sumatera Utara

24

1.

Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian
hukum perpustakaan.35
2.

Data dan Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data

sekunder, yakni data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun
diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan
berbagai sumber tulisan yang lainnya. Data sekunder diperoleh dari :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan perundangundangan maupun undang-undang yang telah berlaku di Indonesia
yang mengatur tentang Tindak Pidana Perusakan Hutan, yaitu :
a. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum
primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer.

35

Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, PT. Sofmedia : Medan, 2015,
Halaman 25.

Universitas Sumatera Utara

25

Peneliti mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan,
yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan hukum primer.
3) Bahan Hukum tersier
Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Peneliti mendapatkannya melalui berbagai
jurnal maupun arsip-arsip penelitian.
3.

Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan

studi dokumen atau bahan pustaka yang disusun secara ilmiah (metodologi) guna
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang
telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya.
4.

Prosedur Pengumpul Data
Metode pengumpulan data dalam Penulisan skripsi ini menggunakan

Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku-buku, pendapat sarjana, artikel,
surat kabar/koran, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas
5.

Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif, yaitu

dengan:
a) Pengumpulan bahan hukum primer, sekunder,tersier yang relevan
dengan permasalah yang akan dibahas;

Universitas Sumatera Utara

26

b) Pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebut agar
sesuai dengan masing-masing permasalahan;
c) Pengolahan dan penginterpretasian data untuk menarik kesimpulan
dari permasalahan;
d) Pemaparan kesimpulan, dalam hal ini kesimpulan kualitatif, yang
dituangkan kedalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Universitas Sumatera Utara