Analisis Hukum Mengenai Penerapan Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Terhadap Pelaku Perusakan Hutan (Studi Putusan No : 21 Pid.Sus 2015 PN.Tkn)

BAB II
PENGATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
A. Pengaturan Hukum Mengenai Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan salah satu
peraturan perundang-undangan kehutanan yang dibuat pada era reformasi.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini, maka UndangUndang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
dinyatakan tidak berlaku.36
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Pasal 2
menyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
Pasal 47 menentukan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan
merupakan usaha untuk :
1.

2.

Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang disebabkan perbuatan manusia, ternak, kebakaran, dayadaya alam, hama, serta penyakit, dan

Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Perlindungan terhadap kerusakan hutan merupakan usaha untuk menjaga
dan melindungi hutan dari kerusakan yang disebabkan karena perbuatan manusia,
ternak, daya alam, hama, dan penyakit. Terkait dengan kerusakan hutan, menurut
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam penjelasan

36

Lihat Pasal 83 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

27
Universitas Sumatera Utara

28

Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa yang dimaksud dengan kerusakan hutan
adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan

hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Pelaksanaan perlindungan hutan dimaksudkan sebagai upaya pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan. Upaya pencegahan dilakukan untuk
menghilangkan

kesempatan

perusakan

hutan.

Dilakukan

upaya-upaya

perlindungan sebelum dilakukannya tindakan perusakan hutan. Upaya pencegahan
yang dapat dilakukan berdasarkan undang-undang ini adalah seperti melibatkan
peran serta masyarakat. Kewajiban melindungi hutan adalah bukan kewajiban dari
pemerintah semata-mata, akan tetapi merupakan kewajiban dari seluruh rakyat,
karena fungsi hutan itu menguasai hajat hidup orang banyak. Di dalam Pasal 69

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditentukan bahwa
masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan
hutan dari gangguan dan perusakan.
Upaya lain yang bisa digunakan sebagai upaya pencegahan perusakan
hutan adalah seperti pendidikan dan latihan kehutanan. Hal tersebut diatur di
dalam Pasal 55, yaitu sebagai berikut :
(1) Pendidikan
dan
latihan
kehutanan
dimaksudkan
untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
kehutanan yang terampil, profesional, berdedikasi, jujur, serta amanah
dan berakhlak mulia
(2) Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber
daya manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan
hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa

(3) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

29

(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
terselenggaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka
meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.
Dengan meningkatnya kualitas pengetahuan dari masyarakat, maka akan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut akan berpengaruh
karena masyarakat akan dapat mengetahui dampak dari perbuatan merusak hutan
tersebut. Sehingga perbuatan merusak hutan dapat dihindari.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah seperti penyuluhan kehutanan.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 56, yaitu sebagai berikut :
(1) Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau
dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta dasar akan pentingnya

sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
(2) Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat.
(3) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.
Dengan dilakukannya penyuluhan kehutanan maka masyarakat akan lebih
terampil dan dapat meningkatkan pengetahuan.
Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan adalah
merupakan suatu perbuatan pidana (tindak pidana/strafbaar feit). Untuk itu jika
terjadi perbuatan perusakan hutan, maka diperlukan upaya pemberantasan, yaitu
sebagai upaya Pemerintah dalam memberantas perbuatan perusakan hutan yaitu
dengan memberikan hukuman atau sanksi kepada pelaku perusakan hutan.

Universitas Sumatera Utara

30

Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.37

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terdapat
ketentuan pidana dan sanksi bagi pelaku yang melakukan perusakan hutan.
Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78.
Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan melarang setiap orang untuk melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah
Mengerjakan kawasan hutan berdasarkan penjelasan Pasal 50 ayat (3)
huruf a adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari
pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau
untuk usaha lainnya.
Menggunakan kawasan hutan menurut penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a
adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang
berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau
penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan menurut
penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a adalah menguasai kawasan hutan tanpa
mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat
pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.


37

Mohammad Ekaputra, op.cit., Halaman 84.

Universitas Sumatera Utara

31

b. Merambah kawasan hutan
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf b menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat
izin dari pejabat yang berwenang.
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau
jarak sampai dengan :
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di
daerah rawa
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang

6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dari tepi pantai
d. Membakar hutan
Pembakaran hutan merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh Undangundang ini karena dengan melakukan pembakaran hutan dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, perbuatan membakar hutan dapat
merugikan masyarakat disekitarnya. Karena, dengan melakukan pembakaran
hutan yang akan menimbulkan asap yang mengandung gas berbahaya seperti
CO3. NO3, dan gas lainnya, akan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat
sekitar.

Universitas Sumatera Utara

32

Selain itu, gas-gas berbahaya tersebut juga akan mempengaruhi usaha
pertanian masyarakat sekitar. Dengan akibat dari perbuatan membakar hutan
tersebut, maka pemerintah dengan kebijakan penal melalui peraturan perundangundangan ini melarang setiap orang baik orang perseorangan maupun korporasi
untuk melakukan pembakaran hutan.
e. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil dalam hutan
tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

Perbuatan menebang pohon atau memanen atau memungut hasil dalam
hutan tanpa izin, merupakan perbuatan yang ilegal. Pemberian izin oleh pejabat
yang berwenang, bertujuan untuk mengetahui bentuk kegiatan-kegiatan yang
dilakukan, agar dapat mengontrol perbuatan tersebut supaya tidak merusaki
lingkungan hidup. Izin sebagaimana yang di maksud adalah izin yang disebutkan
dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, yaitu izin izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta
izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu
f. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin menteri;
Yang dimaksud dengan penyelidikan umum sesuai dengan yang
disebutkan di dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf g adalah penyelidikan

Universitas Sumatera Utara

33


secara geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara, dengan
maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda
adanya bahan galian.
Eksplorasi sebagaimana yang disebutkan di dalam penjelasan Pasal 50
ayat (3) huruf g bagian b adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk
menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat
letakannya.
Eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian
dan memanfaatkannya.
h. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
Yang dimaksud dengan dilengkapi bersama-sama adalah bahwa pada
setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan
tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai
bukti.
Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut
tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka
hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai
bukti.

i. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk
secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
Pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk
kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan

Universitas Sumatera Utara

34

j. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain
berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu
klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal
k. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang;
Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa
alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan
tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
l. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi
hutan ke dalam kawasan hutan;
m. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan
satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Ketentuan pidana di dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan diatur sebagai berikut :
(1)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam

Universitas Sumatera Utara

35

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) diatas, ditentukan dua jenis perbuatan
pidana yang dapat dihukum, yaitu :
1. Dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
(Pasal 50 ayat (1)) dan,
2. Dengan sengaja menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 ayat (2)).
Kategori orang yang dapat dihukum yang dengan sengaja menimbulkan
kerusakan hutan ini adalah setiap orang yang diberikan izin, terutama izin usaha
pemanfaatan kawasan hutan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Orang yang dengan sengaja
merusak prasarana dan perlindungan hutan, dan orang atau badan hukum yang
diberikan izin usaha dalam bidang kehutanan dengan sengaja menimbulkan
kerusakan dapat dikenakan hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) diatas maka, ditentukan tiga jenis perbuatan
pidana yang dapat dihukum yaitu :
1. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah (Pasal 50 ayat (3) huruf a)

Universitas Sumatera Utara

36

2. Merambah kawasan hutan, dan (Pasal 50 ayat (3) huruf b)
3. Melakukan penebangan pohon (Pasal 50 ayat (3) huruf c)
Dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Berdasarkan Pasal 78 ayat (3) diatas, kategori perbuatan pidana yang
disebutkan yaitu sengaja membakar hutan. Sanksi terhadap orang yang sengaja
membakar hutan dihukum penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap
Pasal 50 ayat (3) huruf d, juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan.
(4)

Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

Berdasarkan Pasal 78 ayat (3) diatas, kategori perbuatan pidana yang
disebutkan yaitu karena kelalaiannya menimbulkan kebakaran hutan.
Sanksi terhadap perbuatan ini adalah hukuman penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).

Universitas Sumatera Utara

37

(5)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Berdasarkan Pasal 78 ayat (5) diatas, ditentukan dua jenis perbuatan
pidana yang dilanggar, yaitu melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e dan melanggar
Pasal 50 ayat (3) huruf f.
Unsur-unsur perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e,
yaitu :
1. Barangsiapa
2. Menebang pohon
3. Memanen atau memungut hasil hutan
4. Di dalam hutan
5. Tanpa hak atau izin dari pejabat yang berwenang
Sedangkan unsur-unsur perbuatan pidana yang disebutkan Pasal 50 ayat
(3) huruf f adalah :
1. Barangsiapa
2. Menerima, membeli atau menjual
3. Menerima tukar atau menerima titipan
4. Atau memiliki hasil hutan
5. Diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
6. Yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Universitas Sumatera Utara

38

Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi maka kepada pelaku dapat
dihukum dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Ada dua jenis pasal yang dilanggar yang diatur dalam Pasal 78 ayat (5),
yaitu Pasal 38 ayat (4), dan Pasal 50 ayat (3) huruf g.
Unsur perbuatan pidana yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (4) yaitu :
1. Barangsiapa
2. Melakukan penambangan
3. Pola terbuka dan
4. Di kawasan hutan lindung
Unsur perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g yaitu :
1. Barangsiapa
2. Melakukan kegiatan
3. Penyelidikan umu atau eksplorasi
4. Eksploitasi (pengambilan)
5. Barang tambang
6. Dalam kawasan hutan
7. Tanpa izin Menteri

Universitas Sumatera Utara

39

Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, kepada pelaku dapat dihukum
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(7)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

Berdasarkan Pasal diatas, perbuatan yang dilanggar adalah Pasal 50 ayat
(3) huruf h.
Unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam pasal ini, adalah :
1. Barangsiapa
2. Dengan sengaja
3. Mengangkut
4. Menguasai atau memiliki hasil hutan
5. Tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan
Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, kepada pelaku dapat dihukum
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(8)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Universitas Sumatera Utara

40

Pasal 78 ayat (8) ditentukan hanya satu pasal yang dilanggar, yaitu
melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf i.
Unsur-unsur perbuatan pidana yang dimaksud dalam ketentuan ini, yaitu :
1. Barangsiapa
2. Dengan sengaja
3. Menggembalakan ternak
4. Di dalam kawasan hutan
5. Tidak ditunjuk secara khusus oleh pejabat yang berwenang.
Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, maka kepada pelaku dapat
dihukum dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 78 ayat (8) menentukan satu pasal yang dilanggar, yaitu Pasal 50
ayat (3) huruf j.
Unsur-unsur pidana yang tercantum dalam pasal ini, yaitu :
1. Barangsiapa
2. Dengan sengaja
3. Membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya
4. Yang tak lazim atau patut diduga
5. Akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan

Universitas Sumatera Utara

41

6. Dalam kawasan hutan
7. Tanpa izin pejabat yang berwenang
Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, kepada pelaku dapat dihukum
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Di dalam Pasal 78 ayat (10) ditentukan satu pasal yang dilanggar, yaitu
Pasal 50 ayat (3) huruf k.
Unsur-unsur perbuatan pidana yang diatur dalam kedua ketentuan ini,
yaitu :
1. Barangsiapa
2. Dengan sengaja
3. Membawa alat-alat yang lazim digunakan
4. Untuk menebang, memotong atau membelah pohon
5. Dalam kawasan hutan
6. Tanpa izin pejabat yang berwenang
Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, kepada pelaku dapat dihukum
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Universitas Sumatera Utara

42

(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 78 ayat (11) ditentukan satu pasal yang dilanggar, yaitu Pasal 50
ayat (3) huruf l.
Unsur-unsur perbuatan pidana yang tercantum dalam Pasal 78 ayat (11),
yaitu :
1. Barangsiapa
2. Dengan sengaja
3. Membuang benda-benda
4. Menyebabkan kebakaran
5. Kerusakan
6. Membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan
7. Dalam kawasan hutan
Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, kepada pelaku dapat dihukum
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Universitas Sumatera Utara

43

Pasal 78 ayat (12) ditentukan satu Pasal yang dilanggar yaitu Pasal 50 ayat
(3) huruf m.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya pelaku dapat dihukum, yaitu :
1. Barangsiapa
2. Dengan sengaja
3. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut
4. Tumbuh-tumbuhan dan satwa liar
5. Yang dilindungi UU
6. Berasal dari kawasan hutan
7. Tanpa izin dari pejabat yang berwenang
Apabila unsur itu terpenuhi, pelaku dapat dihukum dengan hukuman
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh dan atau atas nama
badan hukum, berdasarkan Pasal 78 ayat (15) tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan
1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Hal tersebut adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan
dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan
dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar
hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi

Universitas Sumatera Utara

44

pelanggar hukum di bidang kehutanan itu. Efek jera yang dimaksud bukan hanya
kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada
orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan
melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.
Undang-undang kehutanan pada dasarnya mengakui subjek delik tidak
hanya orang perorangan tapi juga korporasi, dengan dua alasan. Pertama,
ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 mengatur mengenai berbagai jenis izin yang
diberikan kepada orang perorangan, koperasi, badan usaha milik negara atau
daerah, dan badan usaha swasta seperti izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan bukan kayu, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu. Kedua, Pasal 50 ayat (2) secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap
orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta
izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan
yang menimbulkan kerusakan hutan. Ini artinya, korporasi bisa juga melakukan
tindak pidana kehutanan, terlebih rumusan delik dalam Pasal 78 ayat (1)
mengakui bahwa tindak pidana kehutanan tidak hanya bisa dilakukan oleh orang
perorangan tapi juga korporasi.38
Mengenai siapa yang harus bertanggungjawab atas tindak pidana
kehutanan yang dilakukan oleh korporasi, Pasal 78 ayat (14) menegaskan
sekaligus membatasinya. Disebutkan dalam pasal tersebut sebagai berikut :
38

Hanafi Amrani, Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan
Penerapan, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta, 2015, Halaman 105.

Universitas Sumatera Utara

45

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau
badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan
pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan
1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Kata „tuntutan..dijatuhkan terhadap pengurusnya‟, menunjukkan bahwa
hanya pengurus yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak
pidana kehutanan yang dilakukan korporasi. Dihubungkan dengan perkembangan
sistem

pertanggungjawaban

pidana

korporasi,

undang-undang

kehutanan

menganut sistem yaitu korporasi yang melakukan tindak pidana, tapi tanggung
jawab pidana hanya dibebankan kepada pengurusnya.
B. Pengaturan Hukum Mengenai Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup diundangkan pada 3 oktober 2009 dan dinyatakan
berlaku sejak diundangkan. Dari nama undang-undang ini terlihat ada maksud
untuk lebih memberi penekanan pada perlindungan lingkungan, meskipun
sebenarnya kata pengelolaan lingkungan sudah terkandung makna pemanfaatan
dan sekaligus perlindungan lingkungan.39
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal 1
angka (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah

39

Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan Dinamika dan Refleksinya Dalam
Produk Hukum Otonomi Daerah, PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2012, Halaman 105.

Universitas Sumatera Utara

46

terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum. Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
menjadi kewajiban bagi negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia
dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta
makhluk hidup lain. 40
Secara yuridis, UUPPLH memiliki arti penting bagi perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup masa kini dan masa yang akan datang. Pertama,
merupakan dasar hukum yang memuat asas dan tujuan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup serta landasan hukum bertindak untuk melindungi
dan mengelola lingkungan hidup dalam pembangunan. Kedua, sebagai payung
hukum atau pedoman bagi semua peraturan perundang-undangan sektoral bidang
lingkungan hidup, terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya lingkungan
hidup bagi pembangunan dan kesejahteraan manusia. Ketiga, UUPPLH
memperkuat hukum lingkungan sebagai suatu sistem dalam ilmu hukum, karena
dalam UUPPLH terdapat berbagai pengaturan hukum bagi segala yang berkaitan
dengan lingkungan.41
Berdasarkan UUPPLH terdapat 6 (enam) instrumen pencegahan kerusakan
dan/atau pencemaran dalam rangka pelaksanaan perizinan terpadu bidang
lingkungan hidup. Instrumen tersebut, yakni rencana perlindungan dan

40

Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia : Jakarta, 2011, Halaman 1.
41
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika : Jakarta, 2012, Halaman
223-224.

Universitas Sumatera Utara

47

pengelolaan lingkungan hidup strategis (RPPLS), kajian lingkungan hidup
strategis (KLHS), tata ruang, baku mutu lingkungan hidup. Sebenarnya masih
terdapat instrumen lain, yakni kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
instrumen ekonomi lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup,
analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup dan instrumen lain sesuai
dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.42
Di dalam UUPPLH juga diatur upaya pemberantasan dengan memberikan
sanksi kepada pelaku perusakan hutan. Ketentuan pidana sebagaimana diatur
dalam UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan
memberikan ancaman sanksi pidana.43
Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur
dalam ketentuan UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai
“rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht”
hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang
pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang
telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Kejahatan (rechtsdelicten) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat,
yaitu yang tidak tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam
kesadaran batin manusia dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata
lain kejahatan merupakan perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana
(dihukum) menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana.

42
43

Ibid, Halaman 236.
Alvi Syahrin, op.cit., Halaman 35.

Universitas Sumatera Utara

48

Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai
kejahatan (rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara
esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan
dengan (membahayakan) kepentingan hukum. Pelanggaran hukum yang
dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat, serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan
hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup.
Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH
s/d 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat
perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan.
Tindak pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan)
adanya akibat yang dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan.
Tindak pidana formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah
melanggar rumusan ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan),
maka telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya
pelaku dapat dijatuhi hukuman.
Tindak pidana formal, dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak
pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target
bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact,
artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana
lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.

Universitas Sumatera Utara

49

Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam 98
UUPPLH sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum dapat
diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang
dilarang) adalah mencemarkan atau merusak lingkungan. Rumusan ini dikatakan
sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam
ketentuan dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan Undang-undang lain
(ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan hukum pidana
bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan
“merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama,
yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan.44
Pengertian perusakan lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 1 angka
(16) UUPPLH, sebagai berikut :
“tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”
Adapun unsur-unsur perusakan lingkungan hidup sebagaimana terkandung
dalam Pasal 1 angka (16) UUPPLH, yaitu :
1. Adanya tindakan
2. Menimbulkan :
a. Perubahan langsung, atau
b. Tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan
3. Melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

44

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

50

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk
menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka
(15) UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya.
Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH,
meliputi :
a. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa
b. Kriteria baku kerusakan terumbu karang
c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan
d. Kriteria baku kerusakan mangrove
e. Kriteria baku kerusakan padang lamun
f. Kriteria baku kerusakan gambut
g. Kriteria baku kerusakan karst, dan/atau
h. Kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap
“kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau
lahan”, sebagai berikut :
“kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang
berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan”.
Tindak pidana di bidang lingkungan hidup sudah diatur secara khusus di
dalam UUPPLH berlaku asas lex spesialis derogat legi generali yang
mengesampingkan ketentuan pidana KUHP sebagai peraturan umumnya.

Universitas Sumatera Utara

51

Sebaliknya jika terjadi tindak pidana tetapi perbuatannya tidak diatur di dalam
ketentuan pidana UUPPLH maka KUHP baru diberlakukan.
Ketentuan pidana lingkungan hidup diatur pada Pasal 97 sampai dengan
Pasal 120 UUPPLH. Semua tindak pidananya merupakan delik kejahatan, yaitu
delik yang perbuatannya bertentangan dengan kepentingan hukum. Sebagai delik
kejahatan, perbuatan pencemaran/perusakan lingkungan hidup dapat dilakukan
secara sengaja (dolus) maupun karena kelalaiannya (culpa). 45
Memperhatikan ketentuan pidana UUPPLH tindak pidana di bidang
lingkungan hidup, maka yang termasuk tindak pidana perusakan hutan adalah
tindak pidana pembakaran lahan.
Hal tersebut diatur di dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, yaitu sebagai
berikut :
“setiap orang dilarang :
Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”
Sanksi tindak pidana pembakaran lahan tercantum dalam Pasal 108
dimana pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Perbuatan pembakaran lahan merupakan kebiasaan lama dengan tujuan
positif yaitu untuk bercocok tanam. Dengan pembakaran menjadikan lahan
terbuka untuk ditanami, dan abu dari pembakaran itu mempengaruhi kesuburan
45

Gatot Supramono, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia, Rineka
Cipta: Jakarta, 2013, Halaman 144-145.

Universitas Sumatera Utara

52

tanah. Kebiasaan ini masih banyak dilakukan di masyarakat sampai sekarang
terutama yang bertempat tinggal di luar Jawa antara lain terjadi di riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Setelah lahan
dibakar beberapa hari kemudian lahan tersebut ditanami tumbuh-tumbuhan seperti
padi gogo, jagung, kedelai, kacang hijau.
Perbuatan tersebut mempunyai akibat negatif yang merugikan masyarakat
antara lain kebakaran hutan, polusi udara (kabut asap), mengganggu penerbangan,
mengganggu kesehatan, dan sebagainya. 46
Tindak pidana tersebut tidak melihat ukuran luas lahan yang dibakar,
meskipun yang dibakar hanya berukuran sempit, pelakunya sudah dapat dipidana.
Sebagai delik formil, pemidanaannya tidak perlu menunggu akibatnya benarbenar terjadi. Dalam praktik asal sudah ada api yang membakar lahan merupakan
peristiwa pidana. 47
Ketentuan pidana dalam UUPPLH ada yang mencantumkan pidana
minimal dan hukumannya bersifat kumulatif. Hukuman yang bersifat kumulatif
dapat dilihat dari rumusan kata “dan” diantara hukuman “penjara” dan “denda”.
Selain itu juga dalam hukuman pidananya ada hukuman yang bersifat hukuman
tambahan. Hukuman tambahan ini diatur dalam Pasal 119 UUPPLH.
Pola pemidanaan dalam UUPPLH sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Bab XV Ketentuan Pidana pada Pasal 97 UUPPLH sampai Pasal 120
UUPPLH, terdapat sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi tindakan
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 119 UUPPLH hanya bersifat
46
47

Ibid, Halaman 171.
Ibid

Universitas Sumatera Utara

53

komplemen atau pelengkap yakni tidak ada bedanya dengan sanksi pidana
tambahan yang bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat disimak dari adanya kata
“dapat” dalam rumusan Pasal 119 UUPPLH tersebut.48
Ketentuan Pasal 119 UUPPLH berbunyi “
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, terhadap
badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib
berupa :
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan
c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.
Sanksi tindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana yang bersifat
antisipatif bukan reaktif, terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat
determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi, bukan
penderitaan fisik atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk
memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.
Memperhatikan sanksi pidana yang ada dalam Pasal 98 UUPPLH sampai
dengan Pasal 111 UUPPLH, Pasal 113 UUPPLH sampai dengan Pasal 115
UUPPLH yang mengenakan sanksi pidana penjara dan denda, serta Pasal 119
UUPPLH yang dapat memberikan hukuman tambahan kepada badan usaha, maka
hukuman bagi badan usaha yang melakukan tindak pidana dapat berupa sanksi
sanksi pidana denda dan sanksi pidana tambahan atau tindakan tata tertib.
Selanjutnya, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pengurus (pemberi perintah)

48

Ibid, Halaman 83.

Universitas Sumatera Utara

54

yaitu ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda
diperberat dengan sepertiga.
Ketentuan Pasal 116 UUPPLH yang berbunyi :
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada :
a. Badan usaha, dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama.
Maka dapat dikemukakan bahwa sanksi pidana berdasarkan Pasal 116 ayat
(1) UUPPLH dapat dijatuhkan kepada :
1. Badan usaha
2. Badan usaha dan pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana,
atau
3. Badan usaha dan pemimpin kegiatan dalam tindak pidana, atau
4. Pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, atau
5. Pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
Sedangkan sanksi pidana berdasarkan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, dapat
dijatuhkan kepada :
1. Pemberi perintah, atau
2. Pemimpin dalam tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

55

C. Pengaturan Hukum Mengenai Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan komplek.
Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke
hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang
menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan
terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional.
Kerusakan

yang

ditimbulkan

telah

mencapai

tingkat

yang

sangat

mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena
itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa.
Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan,
tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal.
Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang- undangan yang ada
belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan
secara terorganisasi. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dalam bentuk
undang-undang agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif
dan efisien serta pemberian efek jera kepada pelakunya.
Pemberantasan kejahatan kehutanan secara terorganisir merupakan sasaran
utama dalam Undang-undang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Undang-undang

pencegahan

dan

pemberantasan

perusakan

hutan

ingin

memfokuskan pada perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisir dan
bukan pada masyarakat kecil yang menggantungkan kehidupan pada hutan.
Selama ini, dalam beberapa kasus, pemidanaan yang dilakukan dengan

Universitas Sumatera Utara

56

pendekatan

Undang-Undang

Kehutanan

digunakan

untuk

memidanakan

masyarakat lokal atau adat yang memang menggantungkan kehidupan pada hutan.
Hal inilah yang membedakan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 Tentang kehutanan itu sendiri.
Sejak Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan dinyatakan berlaku, maka ketentuan Pasal 50
ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k dan
ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1)
serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan
huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui pembuatan
kebijakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah serta dengan peningkatan peran
serta masyarakat.
Upaya pencegahan perusakan hutan dengan mengeluarkan kebijakan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah dirumuskan dalam Pasal 6 yaitu sebagai
berikut :
(1) Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat
kebijakan berupa :
a. Koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan;
b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;
c. insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian
hutan;
d. peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis
sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan
e. pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan

Universitas Sumatera Utara

57

pemberantasan perusakan hutan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menetapkan sumber
kayu
alternatif
dengan
mendorong
pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi
pengolahan.
Sedangkan upaya pencegahan perusakan hutan yang melibatkan peran
serta masyarakat dirumuskan dalam Pasal 61 Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 menjelaskan bahwa masyarakat berperan serta dalam pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan dengan cara :
a. Membentuk dan membangun jejaring sosial
b. Melibatkan dan menjadi mitra lembaga pemberantasan perusakan
hutan dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
c. Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kelestarian hutan dan
dampak negatif perusakan hutan
d. Memberikan informasi baik lisan maupun tulisan kepada pihak yang
berwenang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan
e. Ikut serta melakukan pengawasan dalam penegakan hukum
pemberantasan perusakan hutan, dan/atau
f. Melakukan kegiatan lain yang bertujuan untuk pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.
Upaya pemberantasan perusakan hutan adalah dengan memberikan sanksi
kepada para pelaku perusakan. Undang-undang pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi baik
pengurus korporasi maupun korporasi. Hal tersebut menjawab permasalahan pada
UU Kehutanan, yang membatasi pertanggungjawaban pidana pada pengurus
korporasi. Melalui pendekatan pertanggungjawaban pidana pada korporasi,
perusahaan dapat diajukan sebagai subjek hukum tersendiri. Sanksi paksaan
pemerintah, uang paksa sampai pencabutan izin diharapkan dapat memaksa
perusahaan menghentikan aktivitas ilegalnya. Undang-undang pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan juga mengatur mengenai sanksi pidana bagi

Universitas Sumatera Utara

58

pejabat negara yang mengeluarkan izin tidak sesuai prosedur dan secara sengaja
tidak melakukan pengawasan. Hal tersebut sebagai tindak lanjut mandat Undangundang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang mewajibkan daerah
untuk turut melakukan pengawasan. Pengaturan ini lebih jelas dibandingkan UU
Kehutanan karena UU Kehutanan hanya mengatur kewajiban daerah untuk ikut
mengawasi aktivitas di atas kawasan hutan tanpa adanya sanksi yang jelas. Pada
aspek penegakan hukum, Undang-undang pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan memberikan sanksi adminitrasi bagi penegak hukum yang tidak
melakukan penegakan hukum sesuai dengan tengat waktu. Hal tersebut didukung
dengan pemberlakukan kejahatan perusakan hutan sebagai perkara yang harus
didahulukan dibandingkan dengan perkara lain.
Undang-undang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan juga mengatur
mengenai pemberatan 1/3 dari ancaman sanksi pidana yang diterapkan bila
melibatkan

pejabat

negara

dalam

melakukan

kejahatan

perusakan

hutan. Pendekatan tersebut mendorong perusahaan yang melakukan kejahatan
kehutanan untuk tidak menjadikan pejabat sebagai “pelindung”.

Universitas Sumatera Utara