Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar

(1)

KARYA ILMIAH

REHABILITASI HUTAN BEKAS TERBAKAR

Oleh:

BUDI UTOMO

NIP: 132 305 100

Staf Pengajar Departemen Kehutanan

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat-Nya penulis masih diberi kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini.

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat dan memiliki keadaan lingkungan yang khas. Di dalam hutan hubungan antara organisme dan alam lingkungannya sedemikian eratnya, sehingga rusaknya hutan dapat berarti kerusakan pada ekosistem alam yang terkandung di dalamnya.

Pada kesempatan ini penulis berhasrat ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yakup M.Si, Muhammad Afwan, S.Hut, M.Si, Dr. Ir. Priyanto Pamoengkas, M.Sc, dan semua pihak yang turut membantu dan berpartisipasi dalam penyediaan literatur yang diperlukan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tulisan berikutnya. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amien.

Medan, April 2007

Budi Utomo


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

PENDAHULUAN 1

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN 3

Pengertian degradasi 3

Pengertian rehabilitasi 3

Fakta dan permasalahan 3

Beberapa Upaya Pemulihan Areal Bekas Terbakar 4

LANGKAH-LANGKAH REHABILITASI AREAL BEKAS KEBAKARAN 7

A. Penyusunan Rencana Umum 7 B. Penyusunan Rencana Wilayah 8 C. Teknik Rehabilitasi hutan bekas terbakar 8

IV. PUSTAKA 15


(4)

PENDAHULUAN

Sumber daya hutan adalah sebuah ekosistem yang mempunyai fungsi perlindungan dan konservasi terhadap tanah, tata air, kestabilan iklim, keanekaragaman hayati dan sebagai sumber produk-produk kehutanan baik kayu maupun hasil hutan bukan kayu. Oleh karena itu pemanfaatan dan pengelolaannya mempunyai posisi yang strategis dalam menunjang pembangunan nasional dan daerah. Peranan ini akan semakin menonjol dengan adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar hutan serta peningkatan ekspor non migas. Selain peranan tersebut diatas, disisi lain peranan sektor kehutanan mempunyai dampak ganda (multiplier effect) yang cukup luas terutama bagi perkembangan pembangunan daerah diantaranya berupa :

• Pembukaan wilayah hutan (pembangunan jaringan jalan) mendorong pertumbuhan ekonomi daerah pedalaman melalui pembukaan isolasi.

• Peningkatan mobilitas masyarakat disekitar hutan

• Mendorong pertumbuhan ekonomi sektor Iainnya, misalnya transportasi, perdagangan dan jasa lainnya serta tumbuhnya industri hilir.

• Menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar hutan

• Meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat sekitar hutan

Sehubungan dengan fungsi dan peranan sumberdaya hutan tersebut di atas, maka pembangunan kehutanan senantiasa diarahkan kepada pengelolaan secara bijaksana untuk menunjang pembangunan nasional dan demi kemakmuran masyarakat secara umum saat ini dan yang akan datang. Namun demikian dalam perjalanan pembangunan kehutanan terutama di luar Jawa pada dua dekade terakhir dujumpai banyak masalah yang mengakibatkan terjadinya penurunan potensi hutan terus menerus.

Salah satu masalah yang dihadapi selama ini adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi di provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1982/1983 sekitar 3,2 juta hektar. Luasan tersebut terdiri dari 640.000 hektar terbakar berat, 827.000 hektar terbakar sedang, 630.000 hektar terbakar ringan. 1.067.000 hektar terdiri dari hutan kerangas, gunung kapur, perladangan dan areal lainnya. Sedangkan kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 di Kalimantan dan Sumatera belum diketahui secara pasti


(5)

Iuasannya, namun dampaknya yang sangat besar dirasakan bukan saja di wilayah tersebut tetapi telah dirasakan juga oleh negara-negara tetangga. Akibat dari kebakaran yang terjadi diyakini dampaknya bukan saja dirasakan saat ini tetapi juga akan dirasakan dalam waktu yang akan datang.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut diatas maka perlu Iangkahlangkah yang konkrit untuk merehabilitasi kawasan hutan bekas terbakar. Tulisan ini menyampaikan beberapa hasil penelitian dan pengalaman lapangan untuk menunjang kegiatan dalam rangka rehablitasi hutan bekas terbakar tersebut. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi masukan dalam usaha pemulihan kawasan hutan bekas terbakar.


(6)

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN

Pengertian Degradasi Hutan

Definisi degradasi agak bersifat subjektif (Lamb, 1994), memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Oldeman (1992) mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil (product).

Pengertian Rehabilitasi Hutan

Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery).

a. Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya.

b. Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis eksotik. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk merecreate ekosistem asli. Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli.

c. Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan. Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari suatu areal yang terdegradasi.


(7)

Fakta dan Permasalahan

Seperti telah diuraikan sebagian pada pendahuluan bahwa saat ini dan pada masa-masa mendatang hutan tropis banyak memperoleh perhatian dari kalangan ahli lingkungan atau kehutanan dunia. Alasan utamanya adalah bahwa, 1). Hutan tropis merupakan komunitas yang paling banyak mengabsorpsi energi matahari yang sangat berpengaruh terhadap iklim bumi melalui evapotranspirasinya. 2). Hutan tropis memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan karbon global. 3). Sebagai daerah/kawasan dengan laju pertambahan populasi penduduk tinggi maka hutan tropis akan semakin terancam keberadaannya dimasa mendatang (Uchijima, 1991).

Berubahnya lingkungan diawali oleh adanya penebangan hutan. Dampaknya dapat berakibat pada degradasi lahan, menurunnya suplai air, erosi, pemadatan tanah dan pencucian hara, kerusakan vegetasi dan emisi gas rumah kaca. Diperkirakan bahwa pertumbuhan dan laju regenerasi menurun pada areal yang terkena kerusakan yang diantaranya disebabkan oleh rusaknya hutan dan menurunnya produktivitas lahan yang terjadi setelah penebangan.

Analisis ilmiah yang didasarkan pada materi pengetahuan dibutuhkan dalam mendukung tindakan rehabilitasi hutan sehingga sasaran yang ingin dicapai yaitu

sustainable development of forest resources sesuai dengan rencana yang diharapkan.

Pada tahap ini maka peranan ilmuwan sangat esensial dalam memberikan informasi ilmiah pada proporsi yang sebenarnya dan memprediksi apa yang akan terjadi.

Beberapa Upaya Pemulihan Areal Bekas Terbakar

Sebagaimana diketahui bahwa kebakaran hutan yang besar sebelumnya terjadi pada tahun 1982/1983 terutama di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu kegiatan penelitian yang menunjang pemulihan areal bekas terbakar melalui kegiatan rehabilitasi telah dilakukan. Kegiatan tersebut dilakukan dengan percobaan penanaman jenis-jenis perdagangan lokal seperti famili Dipterocarpaceae beberapa bulan setelah kebakaran.

Percobaan pertama dilaksanakan di areal Wanariset Samboja dengan menanam 13 jenis (7 jenis Shorea, 2 jenis Dryobalanops, 2 jenis Hopea, 1 jenis Parashorea, dan 1 jenis Agathis) pada areal seluas satu hektar dengan jarak tanam 5 x 5 meter di areal bekar terbakar berat, 4 bulan setelah kebakaran Agustus 1983. Hasil


(8)

pengamatan ke 13 jenis tersebut menunjukan bahwa jenis-jenis yang mempunyai persentase hidup diatas 60 % adalah Agathis bornensis, Hopea drybalanoides, Shorea

leprosula, Shorea ovalis, Dryobalanops aromatica dan Dryobalanops lanceolate.

Demikian juga penanaman 7 jenis Dipterocarpaceae di bawah tegakan hutan tanaman di areal PT. ITCI menunjukan jenis Shorea johorensis, Shorea oleosa dan

Diyobalanops aromatica memberikan pertumbuhan yang baik dari jenis lainnya.

Kegiatan penanaman menghadapi kendala dalam hal tehnik pengadaan bibit baik kuantitas maupun kualitasnya. Untuk itu Balai penelitian Kehutanan Samarinda melalui kegiatan kerjasama di Wanariset Samboja telah berhasil mengembangkan tehnik pengadaan bibit jenis-jenis lokal terutama dari famili Dipterocarpaceae melalui sistem cabutan anakan alam dan stek pucuk yang didukung oleh pembangunan kebun pangkas. Teknik tersebut dapat menjamin ketersediaan bibit yang berkualitas baik dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan yang direncanakan, sehingga kegiatan penanaman dapat terjamin.

Berdasarkan hasil-hasil tersebut diatas maka sejak tahun 1989 penanaman dalam skala luas telah dilakukan antara lain oleh PT. INHUTANI I Unit I Balikpapan di Longnah, PT. ITCI Kenangan, Balikpapan, PT. Kiani Lestari di batu Ampar dan perusahaan HPH lainnya. Kegiatan penanaman tersebut dilakukan di areal bekas terbakar, dan areal terbuka lainnya. Berdasarkan pengalaman penanaman tersebut, maka pada tahun 1991/1992 dibangun satu plot demonstrasi khusus untuk merehabilitasi hutan bekas terbakar tahun 1982/1983 seluas kurang Iebih 1.000 hektar melalui proyek kerjasama dengan ITTO. Proyek tersebut adalah "The Establishment of

a Demonstration Plot for Rehabilitation of Forest Affected by Fire in East Kalimantan", ITTO PD 84/90.

Berdasarkan laporan akhir proyek kegiatan tersebut memberikan suatu masukan yang sangat berharga bagi pengelolaan hutan sekunder secara umum dan terutama tekhnik merehabilitasi areal hutan bekas terbakar. Secara umum teknik tersebut didasarkan pada pemilihan teknik silvikultur yang tepat dan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi areal yang akan direhabilitasi. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya data inventarisasi secara komprehensif dari areal tersebut. Demikian juga percobaan teknik penanaman 27 jenis dari jenis-jenis Dipterocarpaceae yang dilakukan melalui penelitian antara LITBANG Kehutanan dengan PT. KTI-Sumitomo Forestry co. Ltd.


(9)

Di hutan Penelitian Sebulu dapat memberikan informasi dalam menentukan teknik penanaman jenis-jenis lokal pada beberapa tipe vegetasi.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan percobaan tersebut diatas, maka usaha untuk merehabilitasi hutan bekas terbakar dan pengelolaan lebih lanjut dapat dilakukan.


(10)

LANGKAH-LANGKAH REHABILITASI AREAL BEKAS KEBAKARAN

Berdasarkan hasil-hasil dari pembangunan Demonstrasi plot rehabilitasi hutan bekas terbakar dan didukung oleh percobaan penanaman jenis-jenis lokal seperti Dipterocarpaceae, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk melakukan rehabilitasi hutan bekas terbakar pada dasarnya adalah menyusun rencana umum, rencana wilayah dan kegiatan rehabilitasi areal bekas terbakar. Perencanaan tingkat nasional dan wilayah tersebut diperlukan mengingat luasnya wilayah yang terbakar dan terbatasnya dana yang tersedia. Dengan perencanaan tersebut diharapkan efektifitas dan efisiensi kegiatan rehabilitasi areal bekas terbakar dapat lebih terjamin.

A. Penyusunan Rencana Umum

Perencanan umum yang dimaksud ada!ah penyusunan rencana kegiatan yang akan dilakukan terhadap areal bekas terbakar bagi seluruh areal yang terbakar di wilayah Indonesia. Langkah-langkah yang diperlukan antara lain adalah :

1. Pemetaan areal bekas terbakar secara nasional dengan memanfaatkan teknologi satelit atau potret udara.

2. Hasil dari foto satelit atau potret udara dipetakan dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG).

3. Berdasarkan peta SIG tersebut dikombinasikan dengan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Rencana Umum Tata Ruang Nasional untuk menentukan kepastian status areal yang terbakar.

4. Penentuan status areal tersebut memerlukan kebijakan dari pemerintah dalam arti peruntukan areal tersebut selanjutnya seperti contoh : areal bekas terbakar pada hutan konversi yang belum ada peruntukannya dapat dijadikan areal untuk HTI, sedangkan areal bekas terbakar yang ada dalam lokasi hutan produksi dilakukan dengan teknik rehabilitasi.

Hasil pendataan tersebut seyogyanya diberikan kepada setiap Daerah tiingkat I untuk ditindak lanjuti dengan penyusunan rencana untuk tingkat wilayah.

B. Penyusunan Rencana Wilayah

Perencancan wilayah yang dimaksud adalah menyusun rencana secara umum untuk tingkat provinsi dengan mengacu kepada rencana umum yang disusun di


(11)

pusat. Langkah-langkah yang diperlukan dalam menyusun rencana tersebut antara lain:

1. Memvalidasi data dan peta yang dibuat di pusat dengan melakukan pengecekan ke lapangan dan disesuaikan dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah. 2. Pemberian rekomendasi tentang peruntukan areal bekas kebakaran misalnya

untuk areal perkebunan, transmigrasi, Hutan Tanaman Industri dan Hutan Produksi.

3. Pengajuan revisi peruntukan wilayah apabila diperlukan.

4. Pembagian areal bekas terbakar ke dalam luasan tertentu tergantung dari peruntukan areal tersebut. Sebagai contoh untuk rencana rehabilitasi pada kawasan hutan dapat dibagi ke dalam unit pengelolaan dengan luasan antara 1.000 hektar – 5.000 hektar. Apabila kondisi dan areal yang tersedia lebih kecil dari 1.000 hektar, maka dapat dilakukan satu unit pengelolaan tersendiri atau penggabungan dengan lokasi lainnya.

Setelah status areal bekas terbakar menjadi jelas, maka langkah selanjutnya adalah menyusun rencana rinci kegiatan berdasar peruntukan masing-masing areal. Untuk areal bekas terbakar yang berada dalam kawasan hutan, langkah-langkah yang ditempuh antara lain mencakup penataan kawasan, pemilihan sistem silvikultur dan pemilihan jenis yang secara rinci dijelaskan pada uraian berikut mengenai teknik rehabilitasi hutan bekas terbakar.

C. Teknik Rehabilitasi hutan bekas terbakar

Untuk melaksanakan rehabilitasi pada areal hutan bekas terbakar, kegiatan yang diperlukan secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Tata batas

Batas areal yang akan direhabilitasi perlu ditata batas untuk memperjelas dan menegaskan status areal yang akan dikerjakan, sehingga perencanaan kegiatannya dapat dilakukan dengan baik dan mantap.

2. Inventarisasi

Inventarisasi dilakukan pada areal yang direncanakan untuk satu unit, untuk rehabilitasi hutan bekas terbakar dengan kegiatan pengumpulan data vegetasi,


(12)

kontur, lereng dan tipe tanah. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam jalur dengan jarak antar jalur adalah 20 meter.

3. Pembuatan peta

Data-data hasil inventarisasi kemudian diolah dengan bantuan SIG untuk membuat peta vegetasi, kontur, lereng, dan peta tanah. Peta vegetasi dibuat berdasarkan klasifikasi penutupan vegetasi seperti digunakan dalam Demplot Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Wanariset Samboja sebagai berikut :

̇ Bekas perladangan liar/areal terbuka ditandai dengan jenis-jenis vegetasi yang ada seperti alang-alang, sirih-sirihan, jenis Euphatorium dan

Tremor

̇ Hutan bekas kebakaran berat ditandai dengan terbakarnya semua vegetasi yang ada yaitu mulai dari tingkat semai sampai ke tingkat pohon, sehingga yang ada adalah vegetasi baru dari jenis-jenis pionir seperti Malotus,

Macaranga, dan banyak liana serta kadang-kadang dijumpai pula rotan.

̇ H u t a n b e k a s k e b a k a r a n s e d a n g d i t a n d a i d e n g a n m a s i h ditemukannya beberapa pohon dan vegetasi tingkat tiang jenis-jenis komersial dan jenis lainnya yang hidup dan juga masih ditemukan jenis pionoir seperti Macaranga dan Malotus.

̇ Hutan bekas kebakaran ringan dicirikan dengan masih banyak dijumpai pohon yang hidup dan dijumpai beberapa tiang yang mati, bahkan masih dijumpai regenerasi alam tingkat pancang dari jenis-jenis komersial.

4. Pemilihan jenis

Berdasarkan penyebaran dan penguasaan budidaya jenis-jenis Dipterocarpaceae, maka dibuat daftar prioritas 20 jenis yang akan dikembangkan sebagai berikut :

Shorea leprosura, Shorea parvolia, Shorea pauciflora, Shorea seminis, Shorea johorensis,

Shorea smithiana, Shorea ovalis, shorea stenoptera, Shorea paiyandra, Dryobalanops lanceolate,

Shorea macropylla, Shorea Pachypylla, Shorea dásyphylla, Shorea faquetiana, Dryobalanops keithk Anisoptera costulata, Shorea selenica, Shorea plat/clados, Shorea albida dan Acacia Marginata.


(13)

Jenis-jenis pionir setempat yang potensial untuk ditanam antara lain: Jabon

(Antrochepalus candamba), Binuang laki (Duabanga moluccana), Binuang Bini (Octomeles sumatrana), dan Sungkai (Peronema canescens). Sedangkan jenis cepat tumbuh antara lain

adalah Melina (Gmelina arborea). Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia

Mangium), dan jenis lainnya. Demikian juga jenis potensial lainya yang

berdasarkan uji coba di areal Demplot Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Wanariset Samboja antara lain Jati (Tectona grandis), dan Mahoni

(Switenia macrophylla).

5. Tindakan silvikultur

Berdasarkan hasil inventarisasi dan hasil pemetaan, maka perlu ditetapkan tindakan silvikultur yang akan dilakukan pada masing-masing tipe penutupan vegetasi. Untuk itu tindakan silvikultur pada kegiatan rehabilitasi hutan bekas terbakar dapat dilakukan dengan beberapa alternatif disajikan dalam tabel. Alternatif tersebut disesuaikan dengan kondisi vegetasi dan tingkat penutupan tajuknya, juga dengan rnemperhatikan parameter regenerasi hutan.


(14)

Tabe1. Alternatif Tindakan Silvikultur Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar

Kondisi vegetasi

dan tingkat Parameter regenerasi

tidak ada regenerasi

alam dan tidak ada pohon

induk jenis komersial

Tidak ada regenerasi alam tetapi terdapat beberapa pohon induk jenis komersial

(kurang dari 3 pohon

per hektar)

kurang pohon induk jenis komersial (kurang dari 20 pohon per hektar)

Banyak regenerasi alam dan cukup pohon induk jenis komersial (lebih

dari 20 pohon per

hektar) Areal terbuka dan bekas perladangan liar

Alternatif 1. Penanaman jenis pionir

lokal atau jenis cepat tumbuh

iainnya.

Alternatif 2. Penanaman jenis Dipterocarpaceae setelah tanaman pada alternatif 1 berumur 1-2 tahun

Areal bekas kebakaran

berat

Altematif 3. Penanaman jenis pionir

lokal atau jenis cepat tumbuh

dengan menebang pohon yang mati (penyiapan lahan tanam).

Altematif 4. Gabungan antara altematif 3 dan 2

Altematif 5. Penanaman jenis Dipterocarpaceae dalam jalur dengan jarak tanam 5x5 m

Areal bekas kebakaran

sedang

Altematif 5. Altematif 6.

Penanaman perkayaan dengan jenis

Dipterocarpaceae dalam jalur dengan jarak tanam 5x10m

(jarak antar jalur 10m).

Altematif 8. Gabungan antara alternatif 6 dan 7 Altternatif 7. Pemeliharaan anakan dalam melalui pembabasan vertikal dan horizontal Areal terbakar ringan

Altematif 6 dan 8 Altematif 7.

6. Pembangunan persemaian

Pembangunan persemaian merupakan salah satu sarana penunjang dalam pengadaan bibit untuk penanaman. Oleh karena itu luas persemaian


(15)

tergantung dari jenis dan jumlah bibit serta sumber bibit (biji, cabutan stek) yang akan dibutuhkan. Demikian juga perlengkapan persemaian tergantung dari rencana pengadaan bibit. Sebagai contoh apabila bibit direncanakan berasal dari sistem cabutan anakan alam diperlukan perlengkapan sungkup plastik, sedangkan untuk pengadaan bibit dengan sistem stek selain sungkup plastik diperlukan sarana tambahan yaitu kebun pangkas, sarana perakaran (bak stek) dalam rumah kaca.

Gambar. Persemaian

7. Pembangunan sarana prasarana.

Sarana prasarana yang dimaksud adalah pembangunan jalan inspeksi, dam penampung air di sekitar areal penanaman, pengadaan alat transportasi, pengadaan alat pemadam kebakaran, alat komunikasi. Kelengkapan sarana persemaian Iainnya seperti penyimpanan media dan gudang penyimpanan peralatan, kantor dan pcndok jaga, serta sarana air dan listrik.

8. Personalia dan struktur organisasi


(16)

kegiatan yang memadai. Standar kebutuhan personalia berikut didasarkan pada unit areal rehabilitasi hutan bekas terbakar seluas 1.000 hektar dapat diperkirakan sebagai berikut:

Manager lapangan: - 1 orang sarjana kehutanan

Pembantu Manager lapangan: - 1 orang untuk urusan keuangan dan administrasi umum

- 1 orang untuk urusan perencanaan dan pelaporan - 1 orang untuk urusan persemaian

- 1 orang untuk urusan persiapan lapangan dan pemeliharaan

- 1 orang untuk urusan pengukuran dan pemeliharaan tanaman

Mandor : - Setiap pembantu manager lapangan dibantu sekurang-kurangnya satu orang dan jumlah mandor tergantung dari jenis kegiatan dan luasan dari areal rehabilitasi.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Clar, C.R. and L.R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management. Mc Graw Hill Book Company, Inc. New York.

Direktorat Jendral PHPA. 1995. Kumpulan Keputusan Dalam Bidang Kebakaran Hutan. Departemen Kehutanan.

Direktorat Hutan Tanaman Industri . 1992. Petunjuk Praktis Pengendalian Kebakaran Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Direktorat Perlindungan Hutan. 1983. Pengumpulan Pengolahan Analaisa Data Masalah Kebakaran Hutan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Hamzah, Z. 1985. Kebakaran Hutan. Pusat penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor.

Hawlwy, R.C. and P.W. Stickel. 1948. Forest Protection. John Willey and son'S Inc. New York. Chpman and Hall Limited. London.

Kingston, B. and Ramadhan. 1981. Forest Fire Management. FAO of the United Nation in Coorperation with Directorate general of forestry of the government of Indonesia, Bogor.

Laniya, A.A. 1995. Kerusakan-kerusakan Hutan dan Perlindungan Hutan di Indonesia. Pusat Dekumentasi dan Informasi Manggala Wanabakti. Jakarta.

Lamb, D. 1994. Reforestation of Degraded Tropical Forest Lands in the Asia-Pasific Region. Journal of Tropical Forest Science 7(1):1-7

Oldeman, L.R. 1992. The Global Extent of Soil Degradation. In Greenland, D.J. and Szobolcs, I. (Ed). Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International. 561 pp.


(1)

kontur, lereng dan tipe tanah. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam jalur dengan jarak antar jalur adalah 20 meter.

3. Pembuatan peta

Data-data hasil inventarisasi kemudian diolah dengan bantuan SIG untuk membuat peta vegetasi, kontur, lereng, dan peta tanah. Peta vegetasi dibuat berdasarkan klasifikasi penutupan vegetasi seperti digunakan dalam Demplot Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Wanariset Samboja sebagai berikut :

̇ Bekas perladangan liar/areal terbuka ditandai dengan jenis-jenis vegetasi yang ada seperti alang-alang, sirih-sirihan, jenis Euphatorium dan

Tremor

̇ Hutan bekas kebakaran berat ditandai dengan terbakarnya semua vegetasi yang ada yaitu mulai dari tingkat semai sampai ke tingkat pohon, sehingga yang ada adalah vegetasi baru dari jenis-jenis pionir seperti Malotus,

Macaranga, dan banyak liana serta kadang-kadang dijumpai pula rotan.

̇ H u t a n b e k a s k e b a k a r a n s e d a n g d i t a n d a i d e n g a n m a s i h ditemukannya beberapa pohon dan vegetasi tingkat tiang jenis-jenis komersial dan jenis lainnya yang hidup dan juga masih ditemukan jenis pionoir seperti Macaranga dan Malotus.

̇ Hutan bekas kebakaran ringan dicirikan dengan masih banyak dijumpai pohon yang hidup dan dijumpai beberapa tiang yang mati, bahkan masih dijumpai regenerasi alam tingkat pancang dari jenis-jenis komersial.

4. Pemilihan jenis

Berdasarkan penyebaran dan penguasaan budidaya jenis-jenis Dipterocarpaceae, maka dibuat daftar prioritas 20 jenis yang akan dikembangkan sebagai berikut :

Shorea leprosura, Shorea parvolia, Shorea pauciflora, Shorea seminis, Shorea johorensis, Shorea smithiana, Shorea ovalis, shorea stenoptera, Shorea paiyandra, Dryobalanops lanceolate, Shorea macropylla, Shorea Pachypylla, Shorea dásyphylla, Shorea faquetiana, Dryobalanops keithk Anisoptera costulata, Shorea selenica, Shorea plat/clados, Shorea albida dan Acacia Marginata.


(2)

Jenis-jenis pionir setempat yang potensial untuk ditanam antara lain: Jabon

(Antrochepalus candamba), Binuang laki (Duabanga moluccana), Binuang Bini (Octomeles sumatrana), dan Sungkai (Peronema canescens). Sedangkan jenis cepat tumbuh antara lain

adalah Melina (Gmelina arborea). Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia

Mangium), dan jenis lainnya. Demikian juga jenis potensial lainya yang

berdasarkan uji coba di areal Demplot Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Wanariset Samboja antara lain Jati (Tectona grandis), dan Mahoni

(Switenia macrophylla).

5. Tindakan silvikultur

Berdasarkan hasil inventarisasi dan hasil pemetaan, maka perlu ditetapkan tindakan silvikultur yang akan dilakukan pada masing-masing tipe penutupan vegetasi. Untuk itu tindakan silvikultur pada kegiatan rehabilitasi hutan bekas terbakar dapat dilakukan dengan beberapa alternatif disajikan dalam tabel. Alternatif tersebut disesuaikan dengan kondisi vegetasi dan tingkat penutupan tajuknya, juga dengan rnemperhatikan parameter regenerasi hutan.


(3)

Tabe1. Alternatif Tindakan Silvikultur Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar Kondisi

vegetasi

dan tingkat Parameter regenerasi

tidak ada regenerasi alam dan tidak ada pohon induk jenis komersial

Tidak ada regenerasi alam tetapi terdapat beberapa pohon induk jenis komersial (kurang dari 3 pohon per hektar)

kurang pohon induk jenis komersial (kurang dari 20 pohon per hektar)

Banyak regenerasi alam dan cukup pohon induk jenis komersial (lebih dari 20 pohon per hektar) Areal terbuka dan bekas perladangan liar

Alternatif 1. Penanaman jenis pionir

lokal atau jenis cepat tumbuh

iainnya.

Alternatif 2. Penanaman jenis Dipterocarpaceae setelah tanaman pada alternatif 1 berumur 1-2 tahun

Areal bekas kebakaran

berat

Altematif 3. Penanaman jenis pionir

lokal atau jenis cepat tumbuh

dengan menebang pohon yang mati (penyiapan lahan tanam).

Altematif 4. Gabungan antara altematif 3 dan 2

Altematif 5. Penanaman jenis Dipterocarpaceae dalam jalur dengan jarak tanam 5x5 m

Areal bekas kebakaran

sedang

Altematif 5. Altematif 6. Penanaman perkayaan dengan jenis

Dipterocarpaceae dalam jalur dengan jarak tanam 5x10m

(jarak antar jalur 10m).

Altematif 8. Gabungan antara alternatif 6 dan 7 Altternatif 7. Pemeliharaan anakan dalam melalui pembabasan vertikal dan horizontal Areal terbakar ringan

Altematif 6 dan 8 Altematif 7.

6. Pembangunan persemaian

Pembangunan persemaian merupakan salah satu sarana penunjang dalam pengadaan bibit untuk penanaman. Oleh karena itu luas persemaian


(4)

tergantung dari jenis dan jumlah bibit serta sumber bibit (biji, cabutan stek) yang akan dibutuhkan. Demikian juga perlengkapan persemaian tergantung dari rencana pengadaan bibit. Sebagai contoh apabila bibit direncanakan berasal dari sistem cabutan anakan alam diperlukan perlengkapan sungkup plastik, sedangkan untuk pengadaan bibit dengan sistem stek selain sungkup plastik diperlukan sarana tambahan yaitu kebun pangkas, sarana perakaran (bak stek) dalam rumah kaca.

Gambar. Persemaian

7. Pembangunan sarana prasarana.

Sarana prasarana yang dimaksud adalah pembangunan jalan inspeksi, dam penampung air di sekitar areal penanaman, pengadaan alat transportasi, pengadaan alat pemadam kebakaran, alat komunikasi. Kelengkapan sarana persemaian Iainnya seperti penyimpanan media dan gudang penyimpanan peralatan, kantor dan pcndok jaga, serta sarana air dan listrik.

8. Personalia dan struktur organisasi


(5)

kegiatan yang memadai. Standar kebutuhan personalia berikut didasarkan pada unit areal rehabilitasi hutan bekas terbakar seluas 1.000 hektar dapat diperkirakan sebagai berikut:

Manager lapangan: - 1 orang sarjana kehutanan

Pembantu Manager lapangan: - 1 orang untuk urusan keuangan dan administrasi umum

- 1 orang untuk urusan perencanaan dan pelaporan - 1 orang untuk urusan persemaian

- 1 orang untuk urusan persiapan lapangan dan pemeliharaan

- 1 orang untuk urusan pengukuran dan pemeliharaan tanaman

Mandor : - Setiap pembantu manager lapangan dibantu sekurang-kurangnya satu orang dan jumlah mandor tergantung dari jenis kegiatan dan luasan dari areal rehabilitasi.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Clar, C.R. and L.R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management. Mc Graw Hill Book Company, Inc. New York.

Direktorat Jendral PHPA. 1995. Kumpulan Keputusan Dalam Bidang Kebakaran Hutan. Departemen Kehutanan.

Direktorat Hutan Tanaman Industri . 1992. Petunjuk Praktis Pengendalian Kebakaran Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Direktorat Perlindungan Hutan. 1983. Pengumpulan Pengolahan Analaisa Data Masalah Kebakaran Hutan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Hamzah, Z. 1985. Kebakaran Hutan. Pusat penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor.

Hawlwy, R.C. and P.W. Stickel. 1948. Forest Protection. John Willey and son'S Inc. New York. Chpman and Hall Limited. London.

Kingston, B. and Ramadhan. 1981. Forest Fire Management. FAO of the United Nation in Coorperation with Directorate general of forestry of the government of Indonesia, Bogor.

Laniya, A.A. 1995. Kerusakan-kerusakan Hutan dan Perlindungan Hutan di Indonesia. Pusat Dekumentasi dan Informasi Manggala Wanabakti. Jakarta.

Lamb, D. 1994. Reforestation of Degraded Tropical Forest Lands in the Asia-Pasific Region. Journal of Tropical Forest Science 7(1):1-7

Oldeman, L.R. 1992. The Global Extent of Soil Degradation. In Greenland, D.J. and Szobolcs, I. (Ed). Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International. 561 pp.