Variasi Bunyi Vokal Bahasa Indonesia pada etnis Tionghoa di Kota Medan

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun
gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo dkk. 1985:46). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:588 ), konsep adalah gambaran mental dari
objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal
budi untuk memahami hal-hal lain.
Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan
beberapa konsep, yaitu konsep variasi dan bunyi vokal.

2.1.1

Variasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1259) variasi adalah
tindakan atau hasil perubahan dari keadaan semula, variasi dalam lingkungan
yang sama, terutama dalam beberapa kata yang tidak berubah maknanya.
Aslindaf (2007:17) memberikan pengertian tentang variasi dalam kajian

bahasa adalah bentuk-bentuk atau bagian dalam bahasa yang masing-masing
memiliki pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya. Chaer (2004:62)
mengatakan bahwa variasi bahasa adalah bentuk perbedaan untuk membedakan
bahasa berdasarkan penutur dan penggunanya, berdasarkan penutur berarti siapa

Universitas Sumatera Utara

yang menggunakan bahasa itu, dimana tinggalnya, bagaimana kedudukan
sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu
digunakan. Berdasarkan penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa,
dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya, bagaimana situasi keformalannya.
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil simpulan bahwa variasi
adalah bentuk-bentuk perubahan untuk membedakan antara satu bahasa dengan
bahasa lain tetapi tidak mempengaruhi bahasa induknya.

2.1.2

Bunyi Vokal

Jones (dalam Marsono 2008) mengatakan secara umum bunyi bahasa

dibedakan atas vokal, konsonan, dan semi-vokal. Pembedaan ini didasarkan pada
ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara. Bunyi disebut vokal,
bila tidak ada hambatan pada alat bicara, jadi tidak ada artikulasi.
Verhaar (1977:17) mengatakan hambatan untuk bunyi vokal hanya pada
pita suara saja, hambatan yang hanya terjadi pada pita suara tidak lazim disebut
artikulasi. Vokal dihasilkan dengan hambatan pita suara maka pita suara bergetar.
Glotis dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat sekali, dengan demikian semua
vokal bunyi bersuara. Bunyi vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan
melibatkan pita suara tanpa penyempitanatau penutupan apa pun pada daerah
artikulasi mana pun. Bunyi vokal terjadi apabila pita suara terbuka dan menjadi
bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompakan dari paru-paru dan arus udara,
keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan, kecuali bentuk rongga

Universitas Sumatera Utara

mulut yang berbentuk sesuai dengan jenis vokal yang dihasilkan. Jadi bunyi vokal
semuanya bersuara sebab dihasilkan dengan pita suara yang terbuka sedikit.
Lyons (1995: 102) menjelaskan bahwa vokal umumnya diklasifikasikan
menurut tiga dimensi artikulatoris: tingkat terbukanya mulut; posisi bagian lidah
yang tertinggi; dan posisi bibir. Jadi, bunyi tertentu mungkin dideskripsikan

sebagai vokal rapat, depan, dan bundar dan bunyi lain sebagai rapat, depan, dan
tak bundar. Contoh vokal depan tak bundar /i/ : [lidah].
Selanjutnya, Chaer (1994: 113) membagi vokal berdasarkan posisi lidah
dan bentuk mulut. Posisi lidah dapat bersifat vertikal dan dapat bersifat horizontal,
sedangkan bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tidak bundar.
Seperti terlihat dalam tabel berikut:

depan
TB

tinggi

B

TB

belakang
B

TB


B

i

u

I

U

e
tengah

tengah



o





rendah

a

Gambar: Peta Vokal Bahasa Indonesia
Secara vertikal vokal dibedakan atas vokal tinggi /i/ dan /u/, vokal tengah
/e/ dan / ə /, vokal rendah /a/. Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan /I/
dan /e/, vokal pusat / ə /, vokal belakang /u/ dan /o/. Kemudian pada diagram
terdapat vokal bundar yaitu /o/ dan vokal /u/. Vokal tidak bundar yaitu /i/ dan /e/

Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori
2.2.1

Fonologi


Secara garis besar, fonologi adalah suatu subdisiplin dalam ilmu bahasa
atau linguistik yang membicarakan tentang bunyi bahasa. Lebih sempit lagi,
fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku serta organsasi bunyi
sebagai unsur-unsur linguistik; berbeda dengan fonetik, yang berupa kajian yang
lebih netral terhadap bunyi-bunyi sebagai fenomena dalam dunia fisik dan unsurunsur fisiologikal, anatomikal, neurologikal, dan psikologikal manusia yang
membuat bunyi-bunyi itu.
Verhaar (1996: 67) menyatakan bahwa fonologi juga bisa disebut sebagai
bunyi yang “fungsional” misalnya dalam bahasa inggris, [t] dalam stop dan [th]
dalam top kebetulan merupakan bunyi yang „sama‟ secara „fungsional‟. Bunyi
fungsional tersebut disebut fonem. Jadi [t] dan [th] merupakan dua bentuk bunyi
yang berbeda dari „fonem‟ yang sama. Fonem itu dilambangkan sebagai huruf t
diapit diantara dua garis miring menjadi bentuk seperti ini: /t/. demikian pula,
bunyi [Ɂ] dan [k] dalam bahasa Indonesia merupakan dua bentuk yang berbeda
dari fonem /k/ yang sama.
Rogger (1998:1) berpendapat bahwa secara garis besar, fonologi adalah
suatu subdisiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan tentang
bunyi bahasa. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan tentang fungsi,
perilaku serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik. Berbeda dengan
fonetik yang berupa kajian lebih netral terhadap bunyi-bunyi sebagai fenomena


Universitas Sumatera Utara

dalam dunia fisik dan unsur-unsur fisiologikal, anatomikal, neurologikal, dan
psikologikal manusia yang membuat bunyi-bunyi itu. Fonologi adalah „linguistik‟,
dalam pengertian bahwa sintaksis, morfologi, semantik juga termasuk linguistik,
sedangkan fonetik berangsur-angsur berubah dalam berbagai hal menuju
neurologi, psikologi perceptual, akustik, dan sebagainya.
Kegunaan fonologi dalam kajian variasi bunyi vokal bahasa Indonesia ini
adalah untuk membedakan variasi-variasi apa saja yang terjadi dalam bunyi vokal
bahasa Indonesia dan untuk mengetahui perubahan bentuk bunyi vokal apa saja
yang dituturkan oleh masyarakat keturunana Tionghoa

2.2.2

Fonetik Artikulatoris

Verhaar (1996:27) mengatakan fonetik artikulatoris adalah jenis fonetik
yang membahas bunyi-bunyi bahasa dari cara menghasilkan bunyi-bunyi bahasa
dengan alat-alat bicara.


Hal utama yang harus diperhatikan pada fonetik

artikulatoris adalah alat-alat bicara.
1. Paru-paru

8. Dindingrongga kerongkongan

2. Batang tenggorokan

9. Epiglottis

3. Pangkal tenggorok

10. Akar Lidah

4. Pita-pita suara

11. Pangkal Lidah

5. Krikoid


12. Tengah Lidah

6. Tiroid atau lekum

13. Daun Lidah

7. Aritenoid

14. Ujung Lidah

Universitas Sumatera Utara

15. Anak Tekak

21. Bibir atas

16. Langit-langit lunak

22. Bibir bawah


17. Langit-langit keras

23. Mulut

18. Gusi, lengkung kaki gigi

24. Rongga mulut

19. Gigi atas

25. Rongga hidung

20. Gigi bawah

Pike, 1947 dan Lapoliwa, 1981 (dalam Marsono 2008) mengatakan
sumber energi utama dalam hal terjadinya bunyi bahasa adalah udara dari paruparu. Udara dihisap ke dalam paru-paru dan dihembuskan keluar bersama-sama
saat bernafas. Udara yang dihembuskan itu kemudian mendapatkan hambatan di
berbagai tempat alat bicara dengan berbagai cara, sehingga terjadilah bunyi-bunyi
bahasa. Tempat atau alat bicara yang dilewati oleh udara tersebut. Pada waktu

udara mengalir keluar pita suara dalam keadaan terbuka. Jika udara tidak

Universitas Sumatera Utara

mengalami hambatan pada alat bicara maka bunyi bahasa tidak akan terjadi
seperti dalam bernafas.

2.2.3

Bunyi Vokal

Salah satu kajian fonologi yang mengkaji tentang bunyi vokal bahasa
Indonesia adalah teori yang dipakai adalah teori Marsono (1986:29-34)
mengklasifikasikan vokal berdasarkan:
a. Tinggi rendahnya lidah, vokal terbagi atas: vokal tinggi [i, u] vokal madya
[e, ƹ , ǝ, o, ᴐ], vokal rendah [a].
b. Bagian lidah yang bergerak, vokal dibedakan menjadi: vokal depan [i, e, ᴐ,
a], vokal tengah [ǝ], vokal belakang [u, o, ƹ, a]
c. Struktur yaitu keadaan hubungan posisional artikulator aktif dengan
artikulator pasif (Lapoliwa, 1981: 18 dalam Marsono). Vokal dibedakan
atas: vokal tertutup yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat
setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal. Vokal
tertutup ini terletak pada garis yang menghubungkan antara [i] dengan [u],
vokal semi tertutup yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat
dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau duapertiga di atas vokal
yang paling rendah, terletak pada garis yang menghubungkan antara vokal
[e] dengan [o], vokal semi terbuka yaitu vokal yang diangkat dalam
ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah terletak pada garis
yang menghubungkan vokal [ƹ] dengan [ᴐ], vokal terbuka yaitu vokal

22
Universitas Sumatera Utara

yang dibentuk dengan lidah dalam posisi serendah mungkin, kira-kira pada
garis yang menghubungkan antara vokal [a].
d. Bentuk bibir, berdasarkan bentuk bibir waktu vokal diucapkan (Jones,
1958: 16 dalam Marsono), vokal dapat dibedakan atas: vokal bulat yaitu
vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat seperti vokal [ᴐ] posisi
bibir terbuka bulat, vokal [o, u] posisi bentuk bibir tertutup bulat, vokal
netral yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir dalam posisi netral
seperti vokal [ a ] vokal tak bulat yaitu vokal yang diucapkan dengan
bentuk bibir terbentang lebar seperti vokal [i, e, ∂, ᴐ, a].
Lain halnya dengan bunyi vokal dalam bahasa mandarin. Bunyi vokal dasar
bahasa mandarin terdiri atas: [a], [o]. [e]. [u], [i], [ Ü].
Contoh variasi bunyi vokal [e] pada keturunan Tionghoa adalah sebagai
berikut:
Bunyi [ e ] bervariasi dengan bunyi [ u ]
Contoh :

tepung diucapkan

[ tupung ]

semut diucapkan

[ sumut ]

tebu diucapkan

[ tubu ]

sembuh diucapkan

[ sumbuh ]

Bunyi [ e ] bervariasi dengan bunyi [ i ]
Contoh :

senang diucapkan

[ sinaη ]

sedang diucapkan

[ silaη ]

segar diucapkan

[ sikal ]

23
Universitas Sumatera Utara

2.2.4

seperti diucapkan

[ sipalti ]

senantiasa diucapkan

[ sinaηtiasa ]

Bunyi Vokal Bahasa Mandarin

Walsh (2009:13) mengatakan bahwa huruf vokal dasar dalam bahasa
Mandarin ada enam jenis yaitu: [a, o, e, i, u, Ü]

depan
TB

tengah
B

TB

belakang
B

TB

i

B
u
Ü

tinggi
e

o

tengah
rendah

a

Gambar: Peta Variasi Bunyi Vokal Bahasa Mandarin
Berikut keterangan pada peta variasi bunyi vokal bahasa Mandarin di atas:
Vokal /a/ bertemu dengan vokal /i/ bunyi pelafalan menjadi /ai/.
Contoh: [ai] artinya cinta
Vokal /e/ bertemu dengan vokal /i/ bunyi pelafalan menjadi bunyi /ei/.
Contoh: [wei] artinya kenapa
Vokal /a/ bertemu dengan vokal /o/ bunyi pelafalan menjadi bunyi /ao/.
Contoh: [hao] artinya baik

24
Universitas Sumatera Utara

Vokal /o/ bertemu dengan vokal /u/ bunyi pelafalan menjadi bunyi /ou/.
Contoh : [qou] artinya mulut
Vokal /i/ bertemu dengan vokal /a/ bunyi pelafalan menjadi bunyi /ia/.
Contoh : [jiao] artinya nama
Vokal /i/ bertemu dengan vokal /e/ bunyi pelafalan menjadi bunyi /ie/.
Contoh: [xie-xie] artinya terima kasih
Vokal /u/ bertemu dengan vokal /a/ bunyi pelafalan menjadi bunyi /ua/. Contoh
Contoh : [huaŋ] artinya berhenti

2.2.5

Macam-Macam Perubahan Bunyi

2.2.5.1 Asimilasi

Verhaar (1990: 33) berpendapat bahwa asimilasi adalah perubahan bunyi yang
terjadi diantara bunyi-bunyi yang berdampingan (bunyi kontigu) atau antara yang
berdekatan tetapi dengan bunyi lain diantaranya dalam ujaran (bunyi diskret).
Asimilasi yang mengubah fonem tertentu menjadi fonem tertentu disebut
dengan asimilasi fonemis, sedangkan asimilasi yang tidak mengubah status fonem
bunyi yang diperngaruhi disebut dengan asimilasi fonetis. Untuk membedakan
antara asimilasi fonetis dengan asimilasi fonemis, perhatikan bagan dibawah ini:

25
Universitas Sumatera Utara

Asimilasi fonemis

fonem 1 menjadi fonem lain

Jadi aternasi alofonemis saja

dengan

Fonologi

mempertahankan

fonem sama

Fonetik

asimilasi fonetis

penyesuaian bunyi dengan bunyi

yang lain

Bagan Asimilasi fonetis dengan Asimilasi Fonemis

Dari bagan di atas, asimilasi fonetis termasuk bidang fonetis, dan perubahan
bunyi dalam asimilasi jenis ini terjadi sedemikian rupa sehingga identitas fonemis
bunyi yang bersangkutan tidak berubah. Sejauh ini asimilasi fonetis hanya
menyangkut bidang fonetik saja. Akan tetapi, bila perubahan bunyi terjadi
sedemikian rupa sehingga bunyi yang merupakan alternasi alofonemis, perubahan
tersebut termasuk fonologi. Akhirnya, seluruh asimilasi fonemis termasuk
fonologi, karena fonem tertentu yang satu diubah menjadi fonem tertentu yang
lain.

26
Universitas Sumatera Utara

Verhaar (1996:79) membagi asimilasi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Asimilasi progresif yaitu bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah
bunyi yang mengasimilasikannya. Contoh dalam bahasa belanda, ik eet
vis „saya makan ikan‟. Kata vis „ikan‟, yang memiliki bentuk fonemis
/vis/, dimulai dengan frikatif labio-dental bersuara /v/, sedangkan kata
eet, setiap /v/ berubah menjadi konsonan homorgan tak bersuara, yaitu
/f/. akibatnya klausa tadi memiliki analisis fonemis sebagai berikut: /ik
et fis/. Bunyi fonem /v/ berubah menjadi fonem /f/.
2. Asimilasi regresif yaitu bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum
bunyi yang mengasimilasikannya. Contoh dalam bahasa Belanda op de
weg „di jalan‟ (de adalah kata sandang) dengan bentuk pelafalan /obd
w x/, dengan /b/ yang bersuara karena pengaruh /d/ yang bersuara
pada awal kata sandang de. Asimilasi ini merupakan asimilasi fonemis,
karena /p/ dan /b/ dalam bahasa ini terbukti merupakan fonem-fonem
yang berbeda.
3. Asimilasi resiprokal yaitu bunyi yang diasimilasikan sehingga
menimbulkan bunyi baru. Contoh dalam Kata bahasa Batak Toba
holan ho „hanya kau‟ diucapkan /holakko/, suan hon diucapkan
/suatton/. Bunyi /n/ pada holan dan bunyi /h/ pada ho saling
disesuaikan atau diasimilasikan menjadi /k/, sedangkan /n/ pada suan
han /h/ pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi /t/.
adanya perubahan bunyi yang menimbulkan bunyi baru disebut dengan
asimilasi resiprokal.

27
Universitas Sumatera Utara

2.2.5.2 Disimilasi

Seperti halnya asimilasi menyebabkan penyamaan dua fonem yang berbeda,
maka yang dimaksud dengan disimilasi adalah dua fonem yang sama (berdekatan
atau tidak) menjadi fonem yang lain.
Verhaar (1996:86) menyatakan bahwa disimilasi adalah perubahan bunyi dari
dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Dalam sebuah contoh kasus beberapa kata dalam bahasa Indonesia, Verhaar
(1996:86) membedakan disimilasi menjadi dua bagian yaitu:
1. Pada kata belajar yang dihasilkan dari menggabungkan awalan ber- dan
ajar. Akan tetapi bentuk berajar mempunyai dua /r/, dan dalam bahasa
Indonesia ada kecenderungan untuk menghindari dua /r/ dalam kata yang
berawalan ber-. Contoh kata belajar adalah kasus disimilasi sinkronik.
2. Contoh dalam kasus disimilasi diakronik adalah pada kata cinta dan cipta.
Kedua kata itu berasal dari kata sanskerta citta, jadi /tt/-nya menjadi /pt/
untuk cipta dan /nt/ untuk cinta. Contoh lain terdapat pada kata langsir,
langsir, yang dulu pernah dipungut dalam bahasa Belanda itu, /r/ yang
pertama, dalam pemungutan, secara disimilatif diubah menjadi /l/.

28
Universitas Sumatera Utara

2.2.5.3 Metatesis

Verhaar (1996: 86) berpendapat bahwa dalam proses metatesis yang
diubah adalah urutan fonem-fonem tertentu. Biasanya bentuk asli dan bentuk yang
mengalami metatesis itu terdapat bersama-sama, sehingga ada variasi bebas.
Contoh yang terdapat dalam bahasa Indonesia
Brantas dan bantras, jalur dan lajur, kerikil dan kelikir

2.2.5.4 Modifikasi vokal

Verhaar (1996: 81) mengatakan bahwa modifikasi vokal adalah modifikasi
yang menyebabkan fonem vokal tertentu berubah menjadi fonem vokal yang lain.
Ada tiga jenis modifikasi vokal yaitu:
1. Modifikasi Vokal: Umlaut, yaitu perubahan vokal sedemikian rupa
sehingga vokal itu diubah menjadi vokal lebih tinggi, sebagai akibat
vokal (biasa /i/) atau semivokal (yaitu [y]) yang mengikutinya
(langsung atau tidak langsung) yang tinggi. Tentunya umlaut itu
merupakan salah satu jenis asimilasi. Peninggian vokal seperti itu
dapat merupakan perubahan fonetis saja, dapat juga merupakan
perubahan fonemis. Contoh dalam bahasa Jerman bucher „buku‟
(jamak) dengan bentuk tunggal buch /bux/. Akhiran jamak –er tidak
memadai untuk menyebabkan umlaut pada suku kata pertama, karena
vokal dalam akhiran itu tidak cukup tinggi (kualitas /ǝ/, jadi bunyi

29
Universitas Sumatera Utara

pepet) karena itu, tidak ada dasar sinkronik untuk pengumlautan dari
/u-/ menjadi / Ü /, tetapi dulu pernah akhiran jamak untuk buch
memiliki bunyi /i/, sehingga /u/ berubah menjadi / Ü /.

2. Modifikasi vokal: Ablaut, yaitu perubahan vokal yang ditemukan
dalam bahasa-bahasa german. Contohnya adalah pemarkah kala dalam
bahasa inggris: sing, sang, sung „bernyanyi‟ atau dalam bahasa
Belanda duiken, dook. gedoken „terjun‟. Secara diakronik, ablaut itu
berdasarkan aksen, Oleh karena itulah termasuk fonologi. Secara
diakronik, perubahan sing menjadi sang lalu menjadi sung termasuk
morfologi lalu diberi nama modifikasi internal.

3. Modifikasi vokal: harmoni vokal adalah perubahan vokal di bawah
pengaruh vokal yang lain, sedemikian rupa sehingga vokal dalam
setiap silabel (dalam kata yang sama) secara fonemis berubah menjadi
vokal yang lain. Bahasa Turki terkenal karena harmonisasi vokal
tersebut, seperti contoh at : atlar „kuda‟; oda : odalar „kamar. Vokal
/a/ dalam bentuk tunggal menyebabkan akhiran penjamak memiliki
vokal /a/ juga. Hal terpenting dalam harmonisasi vokaladalah betuk
keselarasan dengan melibatkan tiga kualitas vokal, yaitu; depan
belakangnya, tinggi rendahnya, dan bundar tidaknya.

30
Universitas Sumatera Utara

2.2.5.5

Netralisasi

Crystal (dalam Lubis 2011) memberi arti bahwa netraslisasi adalah istilah
yang digunakan dalam fonologi untuk menggambarkan apa yang terjadi
perbedaan antara dua fonem hilang dalam tertentu.
Fungsi fonem adalah membedakan makna,suatu fungsi yang nampak dalam
pasangan minimal. Misalnya /t/ dan /d/ berfungsi dalam pasangan minimal dalam
banyak bahasa. Jika pada satu waktu atau pada satu lingkungan perbedaan atara
dua fonem itu tidak lagi atau satu fonem menjadi fonem yang lain, maka
netralisasi telah terjadi karena telah terjadi perpindahan identitas fonem yang satu
menjadi satu fonem yang lain.
Verhaar (1996:85) mengambil contoh dalam bahasa Belanda yaitu antara hard
atau hart. Hard „keras‟ sama ucapannya dengan hart karena memang dalam
bahasa Belanda tak terdapat /d/ pada akhir kata.
Tetapi anehnya bila kata-kata yang dua itu diberi akhiran maka jadilah /herder/
dan /harter/ fonem /t/ pada kata hard berubah menjadi /d/.
Dengan demikian oposisi antara /d/ dan t/ menjadi batal. Bentuk fonem akhir
pada hard adalah /d/ dan /t/, karena kedua fonem itu memiliki fungsi yang sama
maka disebutlah dengan arkifonem. Arkifonem selalu dilambangkan dengan huruf
besar.

31
Universitas Sumatera Utara

2.2.5.6 Monoftongisasi

Verhaar (1996) mengatakan bahwa monoftongisasi adalah perubahan dua
bunyi vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong).
Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai
sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
Kata ramai diucapkan [rame], petai diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi
pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisan juga disesuaikan
menjadi rame dan pete.
Contoh lain:
- kalau [kalau] menjadi [kalo]
- danau [danau] menjadi [dano]
- satai [satai] menjadi [sate]

2.2.5.7

Anaptiksis

Verhaar (1996) berpendapat bahwa anaptiksis atau suara bakti adalah
perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua
konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah
bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini
biasa terdapat dalam kluster. Seperti contoh: putra menjadi putera; bahtra
menjadi bahtera; srigala menjadi serigala

32
Universitas Sumatera Utara

Akibat penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silabel.
Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silabel baru
dengan puncak silabel pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri] menjadi [tə+ri],
[sri] menjadi [sə+ri], dan [slo] menjadi [sə+lo].

2.2.5.8

Penambahan Bunyi

1.Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal
kata. Misalnya: mpu menjadi empu; mas menjadi emas

2.Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada
tengah kata. Misalnya: kapak menjadi kampak; sajak menjadi sanjak.

3.Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir
kata. Misalnya: adi menjadi adik; hulubala menjadi hulubalang

2.2.5.8 Zeroinisasi / Penghilangan Bunyi

Verhaar (1996) berpendapat bahwa zeronisasi adalah penghilangan bunyi
fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan.
Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk
bahasa Indonesia, asalkan saja tidak menggangu proses dan tujuan komunikasi.
Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan

33
Universitas Sumatera Utara

disepakati oleh komunitas penuturnya. Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai
pemakaian kata yang menghilangkan beberapa fonem. Penghilangan beberapa
fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi
demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung. Apabila
diklasifikasikan, zeronisasi dibagi menjadi , yaitu:
1. Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih
fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, tidak menjadi tak.
Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih
fonem pada akhir kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit
menjadi pelangi
2. Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih
fonem pada tengah kata. Misalnya: dahulu menjadi dulu, baharu menjadi
baru.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai fonologi maupun mengenai variasi bunyi bahasa
bukanlah baru pertama kali ini dilakukan, sudah ada penelitian terdahulu tentang
masalah tersebut. Namun, penelitian yang membicarakan tenang variasi bunyi
bahasa Indonesia dalam suatu etnis belum pernah dilakukan. Penelitian terdahulu
yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

34
Universitas Sumatera Utara

Sidriana (2011) dalam skripsinya berjudul “Analisis Kesalahan
Pelafalan Bahasa Mandarin pada Mahasiswa Program Studi Sastra Cina
Universitas Sumatera Utara” (2011). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kesalahan dan faktor pengucapan dalam Bahasa Mandarin
yang dibuat oleh mahasiswa program studi Sastra Cina USU, juga upaya
untuk mengetahui kesalahan pengucapan yang dibuat oleh narasumber
karena campur tangan dari bahasa ibu, gangguan dialek kuno dan
kurangnya pengetahuan fonologi. Metodologi yang digunakan dalam
skripsi ini adalah adalah metodologi deskriptif. teori digunakan untuk
menentukan kesalahan pengucapannya adalah teori vokal, konsonan, nada,
fonologi dan fonetik. Hasil menunjukkan sebagian besar siswa membuat
beberapa kesalahan dalam percakapan mereka pada bahasa Mandarin
adalah vokal, konsonan, dan nada sulit untuk diucapkan. Skripsi ini
dijadikan sebagai salah satu

tinjauan pustaka agar dapat dijadikan

referensi dalam penambahan kosakata pada penelitian skripsi ini nantinya,
selain itu teori dan hasil juga dapat dijadikan referensi dalam mendukung
penelitian skripsi ini.
Vira (2010) dalam skripsinya berjudul “Analisis Asimilasi Bunyibunyi Nasal pada Surah Al-Mulk Program studi Sastra Arab, Universitas
Sumatera Utara” (2010), dalam skripsinya yang diteliti adalah tentang
proses asimilasi dilihat dari perubahan bunyi , serta bunyi-bunyi nasal
yang mengalami perubahan bunyi yang terdapat pada Surah Al-Mulk.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui proses asimilasi, dan

35
Universitas Sumatera Utara

bunyi-bunyi nasal yang mengalami perubahan bunyi pada Surah Al-Mulk.
Untuk menganalisis asimilasi bunyi-bunyi nasal ini penulis menggunakan
teori Marsono dan metode análisis deskriftif. Hasil penelitian ini
menunjukan terdapat 57 bunyi nasal pada Surah Al-Mulk yang terdiri atas
bunyi-bunyi nasal dan bunyi oro-nasal. Adapun yang dapat diambil
sebagai bahan referensi ini adalah penggunaan bentuk teori dan hasil yang
digunakan yaitu teori Marsono tentang klasifikasi bunyi vokal dan hasil
dari penelitian yang mengklasifikasikan bentuk bunyi-bunyi yang berubah.
Dardanilla (Jurnal Ilmiah logat vol.1 No.1 Tahun 2005) berjudul
“Bunyi Vokal Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut”. Dalam penelitiannya, dia
menganalisis ragam ragam bunyi vokal yang digunakan oleh masyrakat
gayo dalam bahasa gayo dialek gayo lut. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasikan bunyi vokal bahasa Gayo dialek Lut. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini metode simak, metode cakap dan
metode padan. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori yang dikemukakan oleh Marsono (1993) yang membagi bunyi vokal
atas tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur dan
bentuk bibir. Dalam bahasa Gayo dialek Gayo Lut terdapat delapan bunyi
vokal yaitu: [a, i, I, u, U, ǝ, ε, o].
Hal yang dapat diambil dari jurnal ilmiah ini adalah teori yang digunakan
sama dengan teori yang akan dipakai serta hasil dan metode yang
digunakan dalam jurnal ilmiah ini menjadi referensi untuk penelitian
skripsi nantinya.

36
Universitas Sumatera Utara

Salliyanti (karya ilmiah e-repository USU tahun 2005) berjudul
“Proses fonologis dan kaidah-kaidah fonologis”, dalam tulisannya ia
mendeskripsikan tentang proses fonologis dan kaidah-kaidah fonologis
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal yang dapat dijadikan
referensi

untuk

proposal

penelitian

ini

adalah

teknik

dalam

mendeskripsikan proses fonologis dan kaidah-kaidah fonologis.
Lumonggom (2002) dalam tesisnya berjudul “Analisis Konstrastif
Bunyi Konsonan dan Vokal Bahasa Batak Angkola dan Bahasa Inggris”
(2002),

Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mendeskripsikan

pola

pendistribusian bunyi konsonan dan vokal bahasa Batak Angkola dan
bahasa Inggris pada posisi awal, tengah dan akhir kata, mendeskripsikan
persamaan dan perbedaan pelafalan bunyi-bunyi yang ada, memprediksi
dan menjelaskan tingkat kesulitan penutur asli bahasa Batak Angkola
dalam pengujaran bahasa Inggris yang mengacu pada teori Clifford Prator
(1967). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analisis
kontrastif melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Hal yang dapat
diambil dari tesis ini adalah tmetode dalam mendeskripsikan persamaan
dan perbedaan pelafalan bunyi-bunyi bahasa yang ada pada bunyi vokal
bahasa Indonesia pada Etnis Tionghoa di Kota Medan.
Anni (karya ilmiah e-repository USU tahun 2002) berjudul
“Variasi Dialek Bahasa Indonesia di Kota Madya Medan”, dalam
tulisannya ia mendeskripsikan gambaran dan keterangan variasi bunyi
bahasa secara fonologis dan morfologis dialek bahasa Indonesia di
37
Universitas Sumatera Utara

kotamadya Medan, variasi dialek yang diteliti adalah dialek beberapa
penutur bahasa Indonesia yang ada di Kotamadya Medan dari daerah :
Toba, Karo, Angkola/Mandailing, Simalungun, Jawa, Minangkabau,
Melayu Deli, dan Cina. Jurnal ilmiah ini dijadikan sebagai salah satu
tinjauan pustaka penulis karena dalam jurnal ilmiah ini teori yang dipakai
adalah teori Marsono dan juga sebagai referensi bacaan tentang variasi
bunyi vokal dalam bahasa Indonesia yang dipakai oleh masyarakat
keturunan etnis Tionghoa.

38
Universitas Sumatera Utara