Politik Identitas Etnis Di Indonesia Suatu Studi Terhadap Politik Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Medan

(1)

POLITIK IDENTITAS ETNIS DI INDONESIA

Suatu Studi Terhadap Politik Identitas Etnis Tionghoa di Kota Medan

Maghfira Faraidiany 110906010

Dosen Pembimbing: Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MAGHFIRA FARAIDIANY (110906010)

POLITIK IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN

Rincian isi Skripsi, 93 halaman, 5 tabel, 2 gambar, 27 buku, 5 jurnal, 5 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini menguraikan tentang politik identias etnis Tionghoa di Kota Medan. Sebagai salah satu etnis terbesar di Kota Medan maka etnis ini berperan penting dalam kehidupan politik Kota Medan. Terbukanya akses etnis Tionghoa ke dalam dunia politik tentu memberikan dampak yang besar bagi politik Indonesia khususnya Kota Medan. Dalam penelitian digunakan teori politik identitas dan etnisitas untuk mengetahui sejauh mana etnis Tionghoa ikut terlibat di dalam dunia politik.

Teori politik identitas memaparkan tentang bagaimana etnis Tionghoa ikut dalam dunia politik melalui identitas politiknya serta etnisitas sebagai kesatuan untuk memajukan etnis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan. Informan dalam penelitian ini adalah anggota dari beberapa organisasi Tionghoa yaitu Perhimpunan INTI ( Indonesia Tionghoa ) dan PSMTI ( Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia ) serta informan yang berasal dari partai politik Perindo.

Politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan memang sangat mudah dijumpai pada masa pemilu. Penggunaan identitas etnik didalam perjuangan politik saat ini masih banyak terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Kota Medan . Politik etnis lebih efektif digunakan untuk menarik perhatian masyarakat dalam Pemilu, karena politik etnis lebih bersifat kasat mata dari pada politik uang. Dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa di Kota Medan memang dari dulu kekerabatannya kuat sehingga memberikan kesan bahwa mereka adalah etnis yang tertutup ataupun ekslusif di mata masyarakat.


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

MAGHFIRA FARAIDIANY (110906010)

POLITCAL IDENTITY OF THE ETHNIC CHINESE IN MEDAN Content, 93 pages, 5 tables, 2 graphichs, 27 books, 5 journals, 5 websites.

ABSTRACT

This study describes the political identity of the ethnic Chinese in Medan . As one of the largest ethnic group in Medan , the ethnic groups play an important role in the political life of the city of Medan . Open access to the Chinese people in the political world is certainly a major impact for Indonesian politics , especially the city of Medan . In the study used the theory of identity politics and ethnicity to determine the extent to which the Chinese people involved in the world of politics .

Theory of identity politics explain how Chinese people participate in politics through political identity and ethnicity as to promote ethnic unity . Data was collected by interview and literature study . Informants in this study are members of several Chinese organizations , namely the Association INTI ( Chinese Indonesian ) and PSMTI ( Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Ondonesia ) as well as informants who come from political parties Perindo .

Chinese ethnic identity politics in the city of Medan was very easy to find on the elections . The use of ethnic identity in the political struggle is still prevalent in almost all regions in Indonesia , including in the city of Medan . Ethnic politics is more effectively used to attract the attention of the public in the elections , because of ethnic politics is more visible than the political money. It can be seen that the ethnic Chinese in Medan indeed always been a strong kinship thus giving the impression that they are ethnically closed or exclusive in the public eye . ( Keyword : Politics, Identity, Ethnicity, Chinese )


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Halaman Pengesahan

Nama : Maghfira Faraidiany

NIM : 110906010

Judul : Politik Identitas Etnis Di Indonesia

(Studi Kasus: Politik Identitas Etnis Tionghoa di Kota Medan) Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat :

Majelis Penguji:

Ketua :

Nama ( )

NIP

Penguji Utama:

Nama ( )

NIP

Penguji Tamu:

Nama ( )


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Maghfira Faraidainy

NIM : 110906010

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Politik Identitas Etnis Di Indonesia

(Studi Kasus: Politik Identitas Etnis Tionghoa di Kota Medan)

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si)

NIP. 196806301994032001 NIP. 195207011985111001

(Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si)

Mengetahui: Dekan FISIP USU

NIP. 196805251992031002 (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(6)

Karya ini dipersembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda Tercinta


(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul Politik Identitas Etnis Di Indonesia dengan studi kasus Politik Identitas Etnis Tionghoa di Kota Medan). Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Alhamdulillahirabbil alamin, atas berkah dan rahmat Allah SWT, penulis diberikan kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, semoga para pengikutnya mendapatkan syafaat di akhir zaman.

Skripsi ini menjelaskan tentang politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan. Politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan memang sangat mudah dijumpai pada masa pemilu. Penggunaan identitas etnik didalam perjuangan politik saat ini masih banyak terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Kota Medan . Politik etnis lebih efektif digunakan untuk menarik perhatian masyarakat dalam Pemilu, karena politik etnis lebih bersifat kasat mata dari pada politik uang. Dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa di Kota Medan memang dari dulu kekerabatannya kuat sehingga memberikan kesan bahwa mereka adalah etnis yang tertutup ataupun ekslusif di mata masyarakat. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga tercinta, terutama Ayah Faridsyah dan Bunda Dra. Keumala Ratna serta adik-adik Fadya Faurania dan Fauranda Ramadhan. Tak lupa pula keluarga besar Zainal Arifin dan keluarga besar Thaib Usman yang selalu memberikan do’a, semangat dan bantuan kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian dengan pahala yang berlipat ganda.

Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(8)

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan berupa kritik dan saran yang membangun selama penulisan skripsi ini

4. Dosen dan Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

5. Kak Ema, Kak Siti, dan Pak Burhan yang selalu membantu dalam setiap urusan administrasi.

6. Informan dalam penelitian ini yaitu Bapak Acong, Ibu Yenni, Bapak , Bapak dan semua yang membantu pada saat wawancara.

7. Teman-teman seperjuangan stambuk 2011 departemen ilmu politik Farah, Manda, Kevin, Nufus, Irwindi , Dani, Sayed, Mujahid, Mezbah, Adam, April, Deni, Wulan, Desya, Rina, Rezika, Qomaria, Noveli, Kristin, Pasrah, Hugo, Novzel, Hans, Christian, Joshua, Nesyandri, Anugrah, Nota, Yakson, Efata, Reni, Mantily, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan semua disini.

Medan, 15 Oktober 2015

Maghfira Faraidiany 110906010


(9)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstrak... ii

Abstract ... iv

Halaman Pengesahan... v

Halaman Persetujuan ... vi

Lembar Persembahan ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar isi ... x

Daftar Tabel dan Gambar... xiv

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 6

1.3 Perumusan Masalah ... 8

1.4 Pembatasan Masalah ... 8

1.5 Tujuan Penelitian ... 9

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

1.7 Kerangka Teori ... 10

1.7.1 Teori Politik Identitas ... 10


(10)

1.8 Metodologi Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian... 20

1.8.2 Lokasi Penelitian ... 20

1.8.3 Teknik Pengumpulan Data ... 21

1.8.4 Teknik Analisa Data ... 22

1.9 Sistematika Penulisan ... 22

BAB II: PROFIL KOTA MEDAN DAN SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN 2.1 Profil Kota Medan... 24

2.1.1 Kota Medan Secara Geografis ... 26

2.1.2 Kota Medan Secara Demografis ... 29

2.1.3 Kota Medan Dalam Dimensi Sejarah ... 35

2.1.4 Kota Medan Secara Kultural ... 36

2.1.5 Kota Medan Secara Sosial ... 37

2.1.6 Kota Medan Secara Ekonomi ... 38

2.1.7 Lambang Kota Medan... 41

2.2 Sejarah Etnis Tionghoa ... 43

2.2.1 Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 53

A. Sejarah Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 53

B. Sosial Ekonomi Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 55


(11)

3.1 Partisipasi Etnis Tionghoa pada Pemilu Legislatif ... 59

3.2 Politik Identitas Etnis Tionghoa... 63

3.3 Posisi Etnis Tionghoa dalam Politik di Kota Medan ... 66

3.4 Analisis Politik Identitas Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 72

BAB IV: PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 84

Daftar Pustaka ... 87

Daftar Lampiran: Lampiran 1. Pedoman Wawancara Lampiran 2. Transkrip Wawancara dengan Bapak Irfan H Lampiran 3. Transkrip Wawancara dengan Ibu Yenny Lampiran 4. Transkrip Wawancara dengan Bapak Eric Chandra Lampiran 5. Transkrip Wawancara dengan Herman DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Daftar Tabel Tabel 2.1 Jumlah Penduduk dan Kepdatan Penduduk ... 30

Tabel 2.2 Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan ... 31

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk per Kecamatan berdasarkan Jenis Kelamin ... 32

Tabel 2.4 Jumlah Penduduk berdasarkan jenis pekerjaan ... 34


(12)

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Peta Kota Medan ... 24 Gambar 2.2 Lambang Kota Medan ... 41


(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MAGHFIRA FARAIDIANY (110906010)

POLITIK IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN

Rincian isi Skripsi, 93 halaman, 5 tabel, 2 gambar, 27 buku, 5 jurnal, 5 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini menguraikan tentang politik identias etnis Tionghoa di Kota Medan. Sebagai salah satu etnis terbesar di Kota Medan maka etnis ini berperan penting dalam kehidupan politik Kota Medan. Terbukanya akses etnis Tionghoa ke dalam dunia politik tentu memberikan dampak yang besar bagi politik Indonesia khususnya Kota Medan. Dalam penelitian digunakan teori politik identitas dan etnisitas untuk mengetahui sejauh mana etnis Tionghoa ikut terlibat di dalam dunia politik.

Teori politik identitas memaparkan tentang bagaimana etnis Tionghoa ikut dalam dunia politik melalui identitas politiknya serta etnisitas sebagai kesatuan untuk memajukan etnis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan. Informan dalam penelitian ini adalah anggota dari beberapa organisasi Tionghoa yaitu Perhimpunan INTI ( Indonesia Tionghoa ) dan PSMTI ( Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia ) serta informan yang berasal dari partai politik Perindo.

Politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan memang sangat mudah dijumpai pada masa pemilu. Penggunaan identitas etnik didalam perjuangan politik saat ini masih banyak terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Kota Medan . Politik etnis lebih efektif digunakan untuk menarik perhatian masyarakat dalam Pemilu, karena politik etnis lebih bersifat kasat mata dari pada politik uang. Dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa di Kota Medan memang dari dulu kekerabatannya kuat sehingga memberikan kesan bahwa mereka adalah etnis yang tertutup ataupun ekslusif di mata masyarakat.


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

MAGHFIRA FARAIDIANY (110906010)

POLITCAL IDENTITY OF THE ETHNIC CHINESE IN MEDAN Content, 93 pages, 5 tables, 2 graphichs, 27 books, 5 journals, 5 websites.

ABSTRACT

This study describes the political identity of the ethnic Chinese in Medan . As one of the largest ethnic group in Medan , the ethnic groups play an important role in the political life of the city of Medan . Open access to the Chinese people in the political world is certainly a major impact for Indonesian politics , especially the city of Medan . In the study used the theory of identity politics and ethnicity to determine the extent to which the Chinese people involved in the world of politics .

Theory of identity politics explain how Chinese people participate in politics through political identity and ethnicity as to promote ethnic unity . Data was collected by interview and literature study . Informants in this study are members of several Chinese organizations , namely the Association INTI ( Chinese Indonesian ) and PSMTI ( Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Ondonesia ) as well as informants who come from political parties Perindo .

Chinese ethnic identity politics in the city of Medan was very easy to find on the elections . The use of ethnic identity in the political struggle is still prevalent in almost all regions in Indonesia , including in the city of Medan . Ethnic politics is more effectively used to attract the attention of the public in the elections , because of ethnic politics is more visible than the political money. It can be seen that the ethnic Chinese in Medan indeed always been a strong kinship thus giving the impression that they are ethnically closed or exclusive in the public eye . ( Keyword : Politics, Identity, Ethnicity, Chinese )


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Indonesia sebagai negara multikultural yang didalamnya terdapat berbagai kehidupan manusia yang memiliki berbagai perbedaan baik dari agama, ras, bahasa, dan etnis. Selain dikenal sebagai negara multikuktural, Indonesia juga terkenal dengan negara multietnis1. Ada berbagai etnis yang tinggal dan menetap di Indonesia, sebagian besar merupakan etnis asli dan selebihnya adalah etnis pendatang. Beberapa etnis pendatang yang ada di Indonesia adalah etnis Tionghoa, etnis Arab, etnis India2. Politik identitas dapat menjadi bahan kajian yang menarik untuk ditelaah dengan keadaan yang ada di Indonesia. Politik identitas dapat diartikan sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan3

Dari berbagai etnis pendatang tersebut yang paling banyak terlihat membaur dalam struktur masyarakat Indonesia adalah etnis Tionghoa. Menurut Leo Suryadinata, jumlah penduduk Indonesia Tionghoa naik sekitar 1,45% sampai 2,04% setiap tahun

.

4

1

Ma'rifah, Yusfirlana Nuri dan Warsono. 2014. “Orientasi Politik Politisi Etnis Cina”. Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Nomor 2 Volume 1 Tahun 2014, hal. 143

2

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta, hal. 304

3

Triyono Lukmantoro. 2008. Kematian Politik Ruang. Jakarta : Kompas, hal. 2

4

Leo Suryadinata. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Kompas, hal. 5

. Walaupun Indonesia negara multietnis namun sikap prejudice terhadap etnis Tionghoa, masih berlangsung sampai saat ini. Pada masa orde lama dan orde baru, kekuatan etnis Tionghoa ini sering termarginalkan secara politik. Mereka tidak mempunyai wadah khusus untuk meyalurkan


(16)

aspirasi politik mereka yang mengakibatkan terjadinya perubahan identitas etnis Tionghoa5

Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia yang selalu bergejolak. Hegemoni negara maupun dominasi etnis mayoritas atas etnis Tionghoa demikian kuatnya, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya sebagai sebuah etnis

. Bahkan, dalam urusan birokrasi, mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif. Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa di Indonesia.

6

. Baru pada masa reformasi, timbul usaha yang mulai dirintis pada masa pemerintahan Gus Dur dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri: Ia menghapus Inpres no.14 tahun 1967 dan menggantinya dengan Keppres no. 6 tahun 2000. Perayaan tahun baru Imlek, Barongsai, Cap Gomeh, Festival Peh Cun dan tradisi berperahu dikali Cisadane kembali mewarnai dinamika kota-kota besar di Indonesia. Untuk pertama kalinya setelah 32 tahun, perayaan Imlek dapat dilakukan dengan terbuka dan sah, tanpa harus sembunyi-sembunyi7

Pada dasarnya, sejak reformasi bergulir, terdapat lima kelompok politik utama dalam masyarakat Tionghoa. Mereka adalah: (1) yang merasa perlu menonjolkan identitas dalam berpolitik, dengan mendirikan partai Tionghoa, (2) yang merasa perlu memperjuangkan platform persamaan hak dalam sebuah partai politik, misalnya dengan mendirikan partai Bhineka Tunggal Ika, (3) kelompok yang menginginkan sebuah forum yang memberikan tekanan terhadap

.

5

Choirul Mahfud. 2013. Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 160

6

Ibid., hal. 155

7


(17)

pemerintah untuk membela hak-hak mereka, (4) mereka yang membentuk paguyuban, kelompok atau organisasi massa karena rasa senasib dan sepenanggungan, (5) mereka yang bergabung ke dalam partai-partai nasionalis, partai-partai Islam dan partai-partai Kristen yang ada dan bersedia menerima mereka8

Organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia juga banyak memperjuangkan aspirasi dan mengawal kepentingan warga Tionghoa. Dari sini dapat dilihat bahwa komunitas Tionghoa tetap harus memiliki wadah politik efektif untuk membela hak dan memenuhi kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia berbentuk hilangnya semua UU yang bersifat diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa dan dimungkinkannya Multiculturalism berkembang sebagai kebiasaan hidup sehari-hari di Indonesia dengan adanya partai dan organisasi ini

.

9

. Dan keterlibatan ini harus merupakan bagian arus induk. Organisasi ini tetap mempertahankan identitas etnisnya10

Jumlah orang Cina-Indonesia yang mengikuti pemilihan anggota legislatif DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) atau Pilkada (Pemilihan kepada daerah), meningkat. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa partisipasi dan peran aktif warga Tionghoa dalam dinamika sosial, politik dan kultural di kawasan Medan kian membaik sejak Reformasi. Terlihat dari kebebasan yang diberi pemerintah dalam segala aspek politik ataupun segala kegiatan Pemilu dan ekonomi. Seiring desentralisasi dan peningkatan signifikansi politik lokal, partisipasi politik komunitas Tionghoa di daerah dengan distribusi komunitas Tionghoa yang cukup besar bisa menjadi studi kasus yang menarik. Tantangan terbesar adalah sejauh mana kader politik Tionghoa bisa secara lintas etnis menyerap aspirasi lokal dan turut serta dalam proses

problem-.

8

Juliastutik. 2010. “Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi”. Humanity. Volume 6 No. 1 Tahun 2010, hal. 46-47.

9

http://id.inti.or.id/specialnews/10/tahun/2007/bulan/04/tanggal/21/id/248/ Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 14:29 WIB

10


(18)

solving di lingkungan mereka melalui jalur politik lokal (partai politik, DPR-D, DPD, maupun LSM).11

Kota Medan sendiri merupakan salah satu Kota dengan populasi etnis Tionghoa yang berjumlah besar. Tionghoa yang dari dulu sudah menempati Medan sejak masa perdagangan ketika zaman penjajahan menjadi suku terbanyak ketiga. Presentasi jumlah penduduk Medan dari suku Tionghoa yakni sebanyak 11%12. Revitalisasi atas peran warga etnis Tionghoa di era Reformasi sekarang ini semakin mendapat momentumnya setelah sejumlah tokoh Tionghoa terpilih sebagai menteri kabinet dan sebagian lainnya terpilih menjadi wakil rakyat di DPR-RI maupun DPRD. Bahkan Pemilukada kota Medan yang berlangsung pada tahun 2010, telah menjadi wahana bagi warga suku Tionghoa untuk melakukan perubahan baik dalam bidang sosial maupun politik. Melalui keikutsertaan dr. Sofyan Tan, seorang tokoh masyarakat Tionghoa di kota ini, Pemilukada kota Medan yang berlangsung 12 Mei 2010 telah menjadi momentum bagi etnis Tionghoa menunjukkan peran dan keberadaannya sebagai bagian integral dalam kehidupan warga kota Medan. Dan pada pemilihan legislatif 2014 semakin banyak warga Tionghoa yang ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif baik pusat maupun daerah13

Bila dilacak dari sejarah Indonesia, politik identitas yang muncul cenderung bermuatan etnisitas, agama dan ideologi politik. Terkait dengan kondisi bangsa Indonesia yang multikulturalisme, maka politik identitas dapat menjadi bahan kajian yang menarik untuk ditelaah. Menguatnya gejala politik identitas terutama akhir-akhir ini, lebih banyak dipengaruhi

.

11

Tjhin, Christine Susanna. 2005. “Reflection on the Identity of the Chinese Indonesians”. CSIS Working Paper Series

12

http://www.ceritamedan.com/2013/09/mengenal-suku-di-medan.html Diakses pada tanggal 14 Januari 2015 pada pukul 20:20 WIB

13

http://sumatra.bisnis.com/m/read/20140323/1/50068/warga-tionghoa-di-sumut-semakin-banyak-yang-terjun-ke-politik Diakses pada tanggal 28 Desember 2014 pada pukul 20:08 WIB


(19)

kepentingan politik praktis. Dari deskripsi di atas maka timbul masalah mengenai etnis Tionghoa yang ada di Indonesia khususnya di Kota Medan yaitu Bagaimana politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan.

1.2Tinjauan Pustaka

Peneltian ini terkait pada penelitian sebelumya yaitu penelitian Tri Yudha Handoko. Penelitian Tri Yudha Handoko mengenai Politik Identitas Etnis Cina di Indonesia mencoba menguraikan fakta-fakta tentang adanya diskriminasi terhadap etnis Cina di Indonesia. Ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis menjadi seorang warga Negara Republik Indonesia, baik dia keturunan asli, indo, timur asing maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politik atau yuridis formal, kehidupan warga negara Indonesia “keturunan” (Tionghoa, Arab, Indo-Eropa atau “non-pribumi lainnya) tetap menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan kehidupan sehari-hari bahwa sebagian dari mereka menghadapi perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan. Hal ini tampak pada praktekpraktek diskriminatif di bidang administratif. Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif (banyak yang tidak tertulis) terhadap warga etnis Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain.

Otoritas pemerintah Indonesia juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, akta lahir, izin menikah, dan sebagainya kecuali bila melakukan pembayaran “di balik pintu”.Padahal Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai universal dan diselenggarakan


(20)

dengan memperhatikan nilai-nilai agama, social budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori tentang Nasionalisme dan Kewarganegaraan dari Koerniatmanto Soetoprawiro, Kansil, Harold J. Laski, AS Hikam; Teori tentang Politik Identitas oleh Gabriel Almond; Teori Keadilan (Justice) dari Thommas Hobbes, Ibnu Taimiyah, Jhon Rawls, Soerjono Soekanto; dan juga teori tentang Persamaan (Equality) dan diskriminsi.

1.3Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penilitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah14

1.4Pembatasan Masalah

.

Dari penjelasan pada latar belakang diatas maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah : Bagaimana politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan?

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebatas pada politik identitas masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan dan bagaimana pembentukan identitas politik tersebut.

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

14


(21)

1. Untuk mencari tahu politik identitas masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan.

2. Mendeskripsikan politik identitas masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan dan mendeskripsikan politik identitas tersebut dari data yang telah diolah.

1.6Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai politik identitas etnis Tionghoa.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan bukan hanya bagi peneliti tapi juga akademisi lainnya mengenaikajian politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan melalui organisasi yang ada. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen ilmu politik FISIP USU.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat dalam memamahi politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan serta dapat menambah wawasan pembaca mengenai etnis Tionghoa di Indonesia khususnya di Kota Medan.

1.7Kerangka Teori

1.7.1 Teori Politik Identitas

Menurut Lukmantoro, politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan15

15

Lukmantoro, Triyono. Op.Cit, hal. 2

. Kemunculan politik identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali


(22)

diterapkan secara tidak adil. Lebih lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas sengaja dijalankan kumpulan- kumpulan masyarakat yang mengalami marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini mendapatkan hambatan yang sangat signifikan16. Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya mulai sekedar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yaitu penentuan nasib sendiri atas asas keprimordialan17

Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain. Pendapat Jeffrey Week tersebut menekankan pentingnya identitas bagi tiap individu maupun bagi suatu kelompok atau komunitas

.

18

Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam . Namun demikian, sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang terutama dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau wanita. Sedangkan untuk identitas non-fisik adalah nama yang digunakan, juga status yang ada pada keluarga pada saat dilahirkan. Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan (citizenship).

16

Ibid., hal. 3-4

17

Abdilah S. Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang : Indonesiatera, hal 16

18


(23)

suatu pembedaan (sense of otherness)19. Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas” (political of identity). Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik20

Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka

.

21

. Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas dan akan kita pakai dalam pembahasan berikutnya mengenai politik identitas. Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference)22

19

Setyaningrum, Arie. 2005. “Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial”.

Jurnal Mandatory Politik Perlawanan. Edisi 2/ Tahun 2/ 2005, hal. 19

20

Ibid. hal, 20-21

21

Widayanti, Titik. Op.cit., hal 13

22

Setyaningrum, Arie. Loc.cit., hal 26

. Stuart Hall membedakan identitas dalam tiga cara yaitu pertama, sebagai subyek pencerahan yang memiliki kemampuan nalar dan bertindak dalam memahami dirinya. Identitas dalam artian ini berpusat pada diri subyektif; kedua, sebagai subyek sosiologis yang dibentuk dalam kaitan di luar kediriannya sebagai subyek pencerahan. Dia merupakan kedirian yang mengarah pada subyek-subyek lain yang berpengaruh terhadapnya yang menempatkan subyek dalam kerangka


(24)

nilai, makna dan simbol, kebudayaan di sekitarnya23. Dan yang ketiga adalah identitas sebagai subyek paskamodern yang menempatkan subyek sebagai yang sama sekali berbeda, yang merupakan kombinasi dari beragam sumber identitas dan tidak satu arah. Identitas adalah biografi subyektif yang utuh dalam keragaman dan keberbedaannya24

1. Primodialisme.

.

Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas merupakan karekteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas dengan komunitas lain. Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan posisi seseorang.

Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu:

2. Konstruktivisme. 3. Instrumentalisme.

Perspektif primordialis melihat identitas sebagai sesuatu yang sudah pasti dan given serta menekankan faktor kekuatan emosi sebagai penguat dalam afiliasi dengan melihat aspek agama, bahasa, adat-istiadat, dan sebagainya. Perspektif instrumentalis melihat bahwa identitas adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan yang dibangun dengan proses manipulasi dan mobilisasi dengan memanfaatkan atribut-atribut identitas yang sudah tersusun sejak awal. Sementara itu, perspektif konstruktivis melihat bahwa identitas dikonstruksi, dipilih dan diberi penekanan dalam interaksi-interaksi sosial, juga bahwa kelompok etnis dipandang sebagai sebuah unit yang ditentukan oleh batas-batas sosialnya25

23

Stuart Hall, D. Held and T.McGrew.1992. Modernity and Its Future. Cambridge: Polity Press, hal. 275

24

Ibid., hal 277

25

Widayanti, Titik. Op.cit., hal 14-15


(25)

Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama26

Pemanfaatan identitas untuk mencapai sebuah tujuan disebut dengan politik identitas. Menurut Bagir, politik identitas setidaknya dicirikan oleh adanya persepsi penindasan masa lalu, tuntutan untuk keadilan melalui perlakuan berbeda untuk mengkompensasikan penindasan tersebut, dan penggunaan suatu identitas sebagai basis klaim

. Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya.

Kemunculan politik etnis diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran ini kemudian memunculkan solidaritas kekompakkan dan kebangsaan. Politik etnis mengacu pada politik “kelompok etnis” dan “minoritas kecil”, sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa etnis (ethnic nation). Pada wacana politik kontemporer nuansanya lebih sempit. Dalam konteks ini, biasanya kelompok etnis atau minoritas etnis tidak memiliki teritori tertentu. Tujuan mereka pun berbeda dengan nasionalis klasik, mereka tidak menghendaki “determinasi diri kebangsaan” dalam suatu wilayah bangsa (negara). Akan tetapi, lebih pada penerimaan proteksi dan kemajuan bagi kelompok, khususnya bagi individu-individu dalam kelompok itu, dalam suatu negara yang telah ada.

27

Adapun definisi politik identitas sebagai politik yang fokus utamanya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik dan karakter fisiologis, serta

.

26

Abdilah S. Ubed. Op.cit., hal. 16

27

Zainal Abidin Bagir. 2011. Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. Bandung-Yogyakarta : Mizan dan CRCS, hal. 20


(26)

pertentangan-pertentangan yang muncul akibat asumsi-asumsi dan karakter tersebut28. Politik yang dibangun atas basis etnis memang diawali oleh kesadaran untuk mengidentikkan diri ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu29

A. Etnisitas

. Kesadaran inilah yang memunculkan solidaritas pengelompokkan tersebut sehingga eksklusivitas menjadi tidak terhindarkan.

Masalahnya identitas seringkali hanya menjadi pembungkus isu-isu lain yang sebetulnya lebih berkaitan dengan distribusi sumber-sumber daya.

Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian besar terutama dalam hubungannya dengan peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan sampai dengan tingkat kebangsaan dan negara bangsa. Makna yang terkandung dalam kata etnis ternyata mengalami evolusi. Perubahan makna ini bisa dilihat dari kondisional dan disiplin ilmu : makna asal, kondisi primitif dari sisi antropologis. Perkembangannya pada era modern seiring dengan perjalanan politik dan interaksi sosiologis. Akan lain lagi maknanya dalam kacamata posmodernisme dan globalisme.

Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa etnis adalah suatu kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi30

28

Abdillah S. Ubed. Op.cit., hal. 22

29

Ibid., hal. 17

30

Ariyuno Suyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : PT. Pressindo

. Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu kelompok etnis dengan etnis


(27)

lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga31

Ciri-ciri tersebut terdiri dari: Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri karekteristiknya

.

32

1. Memiliki wilayah sendiri. Hak memiliki itu diperoleh dari para pendahulu yang dianggap sebagai pemilik pertama atau terdahulu. Wilayah yang dimiliki itu penting sekali karena merpakan jaminan keabsahan dan kebenaran keanggotaan suku bangsa

.

2. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada

3. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. Selain alat komunikasi bahasa tersebut dianggap juga sebagai idetintas sukubangsa. Bahasa sukubangsa tersebut masih sering digunakan dalam interaksi antara anggota sukubangsa, khususnya dalam acara dan upacara kesukubangsaan, seperti upacara perkawinan, upacara kematian, dan lain-lain.

4. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri)

5. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman. Berbagai bentuk rumah dan bangunan lain dapat ditemukan menunjukkan kekhasan arsitektur masing-masing sukubangsa

31

Koentjaranigrat. 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan, hal. 58.

32

Payung Bangun. 1998. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI, hal. 63


(28)

6. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan. Filsafat tersebut terdapat sebagai kandungan kebudayaannya dan banyak yang merupakan nilai yang menjadi pokok orientasi mereka

7. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri. Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Dalam kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.33

Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian besar terutama dalam hubungannya dengan peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan sampai dengan tingkat kebangsaan dan negara bangsa. Makna yang terkandung dalam kata etnis ternyata mengalami evolusi. Perubahan makna ini bisa dilihat dari kondisional dan disiplin ilmu : makna asal, kondisi primitif dari sisi antropologis. Perkembangannya pada era modern seiring dengan perjalanan politik dan interaksi sosiologis. Akan lain lagi maknanya dalam kacamata posmodernisme dan globalisme. Agnes Haller menguatkan hal ini, bahwa politik identitas sendiri merupakan milik dari budaya massa dan erat kaitannya dengan revolusi kebudayaan yang terjadi pada era posmodern. Dengan demikian, politik identitas dapat pula dikategorikan sebagai politik kebudayaan. Teoritisi lainnya adalah Anthony D. Smith, yang mengemukakan teori tentang etnisistas sebagai awal dari

33


(29)

bangkitnya nasionalisme. Etnisitas memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nasionalisme.

Menguatanya identitas kesukuan memepunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis konsekuensi antara lain pertama, adakah menjaukan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan sehari-hari di dalam jajaran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah dimana para pejabat lebih senang mendudukkan orang di sekitarnya yaitu orang yang seetnis atau sedaerah dengannya.

1.8Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitataif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema yang khusus ke tema-tema yang umum, dan menafsirkan makna data.34

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Jenis penilitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal

34


(30)

masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.35

1.8.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanan di :

1. Kantor organisasi INTI (Jl. T. Amir Hamzah Ruko Griya Riatur Indah Blok B No.184-186 Medan)

2. Kantor organisasi PASTI (Jl. Jendral A. Yani No. 45-49 Medan)

1.8.3 Teknik Pengumpulan Data

a. Data primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian.36 Dalam penelitian ini yang digunakan adalah pengumpulan data dengan teknik wawancara. Dalam wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face to face interview ( wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan. Wawancara-wawancara seperti ini tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan.37

1. Ketua INTI Kota Medan

Adapun yang menjadi informan dalam wawancara ini yaitu:

2. Ketua PASTI Kota Medan 3. Tokoh Masyarakat Tionghoa

35

Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 17-18.

36

Burhan Bungin. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 132.

37


(31)

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari sumber kedua atau data yang sudah ada. Data tersebut dapat diperoleh melalui buku, jurnal, internet ataupun literature lain yang berkaitan dengan judul penelitian.

1.8.4 Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisisnya pada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif dan deduktif serta analisis pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah.38

1.9Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini data dan informasi yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder selanjutnya disusun dan diuraikan dengan cara menjelaskan fenomena yang ditemukan dalam proses pengumpulan data . Dari data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teori perwakilan dan sistem pemerintahan untuk menghasilkan suatu analisa terkait masalah yang diteliti.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Sejarah dan Profil Etnis Tionghoa di Kota Medan

38


(32)

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai sejarah etnis Tionghoa di Kota Medan, perkembangannya dan juga profil organisasi yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini.

Bab III : Politik Identitas Etnis Tionghoa di Kota Medan

Bab ini berisi mengenai penyajian data dan analisis data yang diperoleh dari lapangan mengenai politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan dan juga pengaruhnya terhadap organisasi peranakan yang ada di Kota Medan.

Bab IV : Penutup

Bab ini terdiri dari kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah diperoleh.


(33)

BAB II

PROFIL KOTA MEDAN DAN SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN 2.1Kota Medan

Gambar 2.1 Peta Kota Medan

Kota Medan secara geografis terletak di antara 2 27'-2 47' Lintang Utara dan 98 35'-98 44' Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara dengan topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2 secara administratif terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Sarana dan prasarana perhubungan di Kota Medan terdiri dari prasarana perhubungan darat, laut, udara. Transportasi lainnya adalah kereta api. Disamping itu


(34)

juga telah tersedia prasarana listrik, gas, telekomunikasi, air bersih dan Kawasan Industri Medan (KIM) I. Sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi strategis.

Sebagai salah satu derah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peran Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi)39

39

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/12/name/sumatera-utara/detail/1271/kota-medan diakses pada tanggal 14 Januari 2015 pada pukul 14.44 WIB

.

2.1.1 Kota Medan Secara Geografis

Secara geografis Kota Medan terletak pada 30 30’-30 43’ Lintang Utara dan 980 35’-980 44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2. Kota medan berapda pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kota Medan sebagian besar secara topografi cenderung miring ke utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Secara administratif Kota Medan terbagi menajdi 21 Kecamatan dan batas wilayah Kota Medan adalah sebagai berikut :

Utara : Selat Malaka


(35)

Selatan : Kabupaten Deli Serdang

Timur : Kabupaten Deli Serdang

Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia berkisar antara 22,70 C – 24,10 C dan suhu maksimum berkisar antara 31,00 C – 33,70 C serta menurut stasiun Sampali suhu minimumnya berkisar antara 23,30C – 24,40C dan suhu maksimum berkisar antara 30,90C – 33,60C.

Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.121.053 jiwa. Secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan.


(36)

Berdasarkan luas administrsi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Keluarahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administrative ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Secara administratif, wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi


(37)

geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

2.1.2 Kota Medan Secara Demografis

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya.

Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat.

Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun tingkat kematian sudah tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan


(38)

berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. Menurut tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang balik (cummuters) mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Tabel: 2.1

Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2005-2009.

Tahun

Jumlah Penduduk

Luas Wilayah

Kepadatan Penduduk (KM²) (Jiwa/KM²)

2005 2.036.185 265,10 7.681

2006 2.067.288 265,10 7.798

2007 2.083.156 265,10 7.858

2008 2.102.105 265,10 7.929

2009 2.121.053 265,10 8.001

Sumber : BPS Kota Medan

Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan dinobatkan menjadi kota multikultural yang damai dan berjalan harmonis (Waspada, 2007). Tidak heran, pengukuhan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dilakukan di Kota Medan pada tanggal 31 Juli 2007 periode 2007-2012. Penyebaran suku bangsa di Kota Medan dapat dilihat dalam Tabel 2.2:


(39)

Tabel 2.2

Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000

Suku bangsa Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000

Jawa 24,9% 29,41% 33,03%

Batak 10,7% 14,11% --

Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%

Mandailing 6,43% 11,91% 9,36%

Minangkabau 7,3% 10,93% 8,6%

Melayu 7,06% 8,57% 6,59%

Karo 0,12% 3,99% 4,10%

Aceh -- 2,19% 2,78%

Sunda 1,58% 1,90% --

Lain-lain 16,62% 4,13% 3,95%

Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut

Dari data diatas dapat dilihat bahwa ditahun 1930-an etnid Tionghoa di Kota Medan merupakan etnis terbesar bahkan melebihi etnis asli Kota Medan yaitu Melayu. Selanjutnya seiiring perkembangan zaman etnis Tionghoa di Koa Medan mengalami penurunan walaupun tetap menjadi salah satu etnis terbesar di Kota Medan.

Selanjtnya adalah jumlah penduduk pada tiap kecamatan berdasarkan jenis kelamin (gender). Adapun jumlah penduduk per kecamatan berdasarkan jenis kelamin ialah


(40)

Tabel 2.3

Jumlah penduduk per kecamatan berdasarkan jenis kelamin

No Kecamatan

Jenis Kelamin

Jumlah

Laki-Laki Perempuan

1 Medan Tuntungan 40. 097 42. 437 82. 534

2 Medan Selayang 49. 525 51. 532 101. 057

3 Medan Johor 62. 331 64. 336 126.667

4 Medan Amplas 57. 918 59. 004 116. 922

5 Medan Denai 71. 750 71. 100 142. 850

6 Medan Tembung 65. 761 68. 882 134. 643

7 Medan Kota 35. 422 37. 700 73. 122

8 Medan Area 48. 054 49. 200 97. 254

9 Medan Baru 17. 667 22. 150 39. 817

10 Medan Polonia 26. 321 27. 231 53. 552

11 Medan Maimun 19. 524 20. 379 39. 903

12 Medan Sunggal 55. 717 57.927 113. 644

13 Medan Helvetia 71. 586 74. 805 146. 391

14 Medan Barat 34. 931 36. 406 71. 337

15 Medan Petisah 29. 526 32. 701 62. 227

16 Medan Timur 52. 906 56. 539 109. 445

17 Medan Perjuangan 45. 405 48. 683 94. 088


(41)

19 Medan Labuhan 57. 635 55. 679 113. 314

20 Medan Marelan 75. 064 73. 133 148. 197

21 Medan Belawan 48. 917 46. 792 95. 709

Sumber: BPS Medan

Penduduk Kota Medan memiliki beragam pekerjaan, dapat dilihat pada Tabel 2.4 : Tabel 2.4.

Jumlah penduduk Kota Medan menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2009

No Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Presentase

1 Pegawai Negeri 18.670 4,88

2 Pegawai Swasta 14.570 3,81

3 TNI/ POLRI 3.562 0,93

4 Tenaga Pengajar 43.551 11,38

5 Tenaga Kesehatan 2.399 0,63

6 Lain-lain 300.000 78,37

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009

Penduduk Kota Medan berdasarkan tingkat pendidikan terdiri dari tamat SD,SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5.

Jumlah Penduduk Kota Medan menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 SD 412.893 21,51


(42)

3 SLTA 670.597 34,94

4 Perguruan Tinggi 209.246 10,90

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009.

Tabel 2.5 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kota Medan paling besar berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 670.597 orang (34,94%), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebesar 626.617 orang (32,65%), Sekolah Dasar (SD) berjumlah 412.893 orang (21,51%), dan perguruan tinggi (PT) 209.246 orang (10,90%).

2.1.3 Kota Medan dalam Dimensi Sejarah

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis Ke Medan, tahun 1887, sebelum akhirnya statusnya diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915.

Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikan nya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. Sedang dijadikanya Medan sebagai ibukota Deli juga telah


(43)

medorong kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, di samping merupakan salah satu daerah Kota, juga sekaligus ibukota Propinsi Sumatera Utara.

2.1.4 Kota Medan Secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.

Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.

2.1.5 Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .


(44)

utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara martabat.

Data SUSENAS tahun 2004, memperkirakan penduduk miskin di kota medan tahun 2004 berjumlah 7,13% atau 32.804 rumah tangga atau 143.037 jiwa. Dilihat dari persebarannya, Medan bagian Utara (Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan) merupakan kantong kemiskinan terbesar (37,19%) dari keseluruhan penduduk miskin.

2.1.6 Kota Medan Secara Ekonomi

Pembangunan ekonomi daerah dalam periode jangka panjang (mengikuti pertumbuhan PDRB), membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri pengolahan dengan increasing retunrn to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi membuat semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, dan semakin cepat pula perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi, relatif tetap.

Perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural dan didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat (produksi dan pengangguran faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan


(45)

modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan perbandingan peranan dan kontribusi antar lapangan usaha terhadap PDRB pada kondisi harga berlaku tahun 2005-2007 menunjukkan, pada tahun 2005 sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 70,03 persen, sektor sekunder sebesar 26,91 persen dan sektor primer sebesar 3,06 persen. Lapangan usaha dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 26,34 persen, sub sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen dan sub sektor industri pengolahan sebesar 16,58 persen.

Kontribusi tersebut tidak mengalami perubahan berarti bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 68,70 persen, sekunder sebesar 28,37 persen dan primer sebesar 2,93 persen. Masing-masing lapangan usaha yang dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,98 persen, sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen, industri jasa pengolahan sebesar 16,58 persen dan jasa keuangan 13,41 persen. Demikian juga pada tahun 2007, sektor tertier mendominasi perekonomian Kota Medan, yaitu sebesar 69,21 persen, disusul sektor sekunder sebesar 27,93 persen dan sektor primer sebesar 2,86 persen. Masing masing lapangan usaha yang dominan memberikan kontribusi sebesar 25,44 persen dari lapangan usaha perdagangan/hotel/restoran, lapangan usaha transportasi/telekomunikasi sebesar 19,02 persen dan lapangan usaha industri pengolahan sebesar 16,28 persen.

Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan tahun 2009 berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 terjadi peningkatan sebesar 6,56 persen terhadap tahun 2008. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 9,22 persen. Disusul oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,47 persen, sektor bangunan 8,22 persen, sektor jasa-jasa 7,42 persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 5,06 persen, sektor


(46)

pertanian 4,18 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh sebesar 2,94 persen, sektor industri 1,71 persen, dan penggalian tumbuh 0,46 persen. Besaran PDRB Kota Medan pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku tercapai sebesar Rp.72,67 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 33,43 triliun.

Terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Medan tahun 2009 sebesar 6,56 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang perumbuhan sebesar 2,20 persen Disusul oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 1,85 persen, sektor bangunan 0,91 persen, sektor jasa-jasa 0,76 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 0,43 persen, sektor industri 0,25 persen, sektor pertanian 0,10 persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 0,07 persen dan sektor pertambangan dan penggalian menyumbang pertumbuhan 0,00 persen.

Dari sisi penggunaan, sebagian besar PDRB Kota Medan pada tahun 2009 digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga yang mencapai 36,20 persen, disusul oleh ekspor neto 30,53 persen (ekspor 50,82 persen dan impor 20,29 persen), pembentukan modal tetap bruto 20,61 persen, konsumsi pemerintah 9,54 persen dan pengeluaran konsumsi lembaga nirlaba 0,64 persen. PDRB per Kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 mencapai Rp. 34,26 juta, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar Rp. 31,07 juta.


(47)

2.1.7 Lambang Kota Medan

Gambar 2.2 Lambang Kota Medan

Pengertian lambang kota Medan adalah 17 biji padi berarti tanggal 17 dari hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 8 bunga kapas berati bulan 8 dari tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 4 tiang dan 5 bahagian dari perisai berarti tahun 45 dari Proklamasi Indonesia. Satu bambu runcing yang terletak dibelakang perisai adalah lambang perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lima bahan-bahan pokok yang terpenting dihadapan bambu runcing berarti Kemakmuran serta Keadilan Sosial yang merata ada dihadapan kita. Bintang yang bersinar lima adalah Bintang Nasional yang berarti bahwa hidup penduduk Kota Medan khususnya dan Indonesia umumnya akan bersinar-sinar bahagia dan lepas dari kemiskinan dan kemelaratan. Lima sinar bintang berarti lima bahan pokok terpenting yang diekspor dari Kota Medan dan lima bahagian perisasi berarti Pancasila yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia. Kota Medan juga mempunyai motto yaitu : BEKERJA SAMA DAN SAMA-SAMA BEKERJA UNTUK KEMAJUAN DAN KEMAKMURAN MEDAN KOTA METROPOLITAN


(48)

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan. Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis40

2.2Sejarah etnis Tionghoa

.

Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1950-an. Etnis Tionghoa menurut Purcell adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan41

40

http://pemkomedan.go.id/new/hal-lambang-kota-medan.html diakses pada tanggal 15 Januari 2015 pada pukul 14.44

41

Leo Suryadinata. 2002. Negara dan Etnis Tionggghoa. Jakarta: LP3ES

. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa


(49)

perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok. Menurut Liem, etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia42

Orang Tionghoa Indonesia merupakan kelompok minoritas terbesar di Indonesia. Pada tahun 1961, mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2,45 juta orang atau kurang lebih dari 2,5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu

.

43

. Stereotip yang beredar di Indonesia seringkali menggambarkan orang Tionghoa Indonesia sebagai kelompok yang berada, khususnya bila dibandingkan dengan orang-orang Indonesia lainnya. Jika sebagian besar orang Indonesia hidup sebagai masyarakat agraris di pedesaan, maka orang Tionghoa Indonesia sebaliknya hidup terkonsentrasi sebagai pedagang menengah44

Para pendatang ini memiliki keahlian di bidangnya masing-masing seperti berdagang barang-barang yang umumnya berupa keramik, alat rumah tangga dan kain sutra, dan juga menjadi pengrajin ataupun menjadi pekerja perkebunan

. Orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia pada abad IX, yaitu pada zaman Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru.

45

42

Liem, Dr. Yusiu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Djambatan, hal. x

43

Ibid., hal. 99

44

Ibid., hal. 87

45

Ibid., hal. 97

. Migrasi orang Tionghoa ke Nusantara (kini disebut Indonesia) secara besar-besaran, yang mencapai puncaknya pada abad XIX dan permulaan abad XX, merupakan bagian dari migrasi orang Tionghoa ke seluruh dunia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di


(50)

Nusantara telah berhubungan erat dengan dinastidinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya. Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat, maka didatangkan emas dari Cina daratan, di samping itu ikut dalam kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan46

Karena runtuhnya Singosari dan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena

. Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya. Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah pada masa kerajaan Singosari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang.

Kedatangan mereka di bawah armada tentara laut Khubilaikan (Jhengiskan) dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini dikarenakan ditolaknya utusan tersebut oleh Raja. Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang bernama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri pantai dan mendarat di suatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.

46


(51)

panglima armada laut yang mendarat di Semarang, seoarang yang beragama Islam, yaitu Cheng Ho. Penyebaran Islam di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agamaIslam, Etnis Cina ini juga diberi wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan Gresik47

Beberapa peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan etnis Tionghoa ada baik di Indonesia maupun di negeri Cina . Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-9. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa (“To lo mo”) dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Janabahadra Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok

.

48

Orang-orang Tionghoa di Indonesia pada masa kolonial menerima berbagai .

47

Ibid., hal. 143-144

48

Kong Yuanzhi. 2007. Muslim Tionghoa Cheng Ho Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor, hal. 47-86


(52)

kemudahan dan fasilitas dari pemerintah Hindia Belanda. Hal ini karena orang Tionghoa waktu itu digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara dagang dengan penduduk lokal yang menyebabkan terjadinya monopoli perdagangan oleh orang-orang Tionghoa dan seringkali menghambat orang-orang Indonesia dalam bidang tersebut. Maka timbulah kemarahan dan sikap yang kurang bersahabat di kalangan orang Indonesia terhadap orang Tionghoa Indonesia. Sikap kurang bersahabat ini muncul dalam bentuk kekerasan terhadap orang Tionghoa. Beberapa kasus yang cukup dikenal antara lain adalah pembantaian orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740 dan pada masa perang Jawa 1825-183049

Namun terlepas dari adanya kemarahan dan kekerasan yang mereka alami, orang Tionghoa Indonesia juga memiliki peran di Indonesia dalam berbagai bidang. Contohnya, Tionghoa Hwee Koan, yang terbentuk di Batavia tanggal 17 Maret 1900, turut mendirikan sekolah-sekolah guna memajukan pendidikan (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934)

. Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian dari berbagai kasus kekerasan terhadap orang Tionghoa Indonesia yang pernah terjadi, khususnya pada periode kolonial Hindia Belanda.

50

Beberapa tokoh masyarakat Tionghoa juga pernah berjasa bagi kemajuan Indonesia. Contohnya, So Beng Kongdan Phoa Beng Gan yang membangun kanal pada awal abad ke 17 di Batavia. Di Yogyakarta, kapiten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.Orang Tionghoa Indonesia juga turut memfasilitasi tercetusnya Sumpah .Selain di bidang pendidikan, Orang Tionghoa juga turut berperan dalam pengembangan ekonomi Indonesia, yaitu dengan mendirikan Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) tahun 1906 di Batavia.

49

Peter Carey. 1986. Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, Jakarta: Pustaka Azet, hal. 74

50


(53)

Pemuda dengan penghibahan gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiauw Kie Siong yang memperkenankan rumahnya dipakai sebagai tempat rapat persiapan kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa selain orang-orang Tionghoa Indonesia sering menerima perlakuan yang kurang bersahabat dari masyarakat Indonesia, namun pada momen-momen penting seperti di atas, mereka cukup memiliki keterlibatan dalam kegiatan masyarakat Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, ketika Indonesia mulai menangani masalah status hukum orang-orang Tionghoa Indonesia, terdapat kesukaran untuk membujuk pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) guna mengizinkan orang-orang Tionghoa Indonesia dalam memilih kewarganegaraannya sendiri yakni kewarganegaraan RI atau RRC. Pada tahun 1955, diumumkan bahwa semua orang Tionghoa Indonesia dapat memilih kewarganegaraannya. Dan Pemerintah RI juga mengumumkan suatu Undang-Undang Kewarganegaraan yang menyatakan bahwa semua orang Tionghoa yang lahir di Hindia-Belanda dan telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut secara otomatis dianggap warganegara Indonesia. Namun yang terjadi adalah masyarakat Tionghoa Indonesia pada saat itu justru lebih berpegang pada kebangsaan Cina sesuai asas Ius Sanguinis dan menolak kebangsaan Indonesia. Sebagai akibatnya munculah keragu-raguan mengenai kesetiaan orang-orang Tionghoa Indonesia terhadap negara RI dan bangsa Indonesia. Ditambah dengan munculnya kelompok Sin Po yang berpendirian bahwa orang Tionghoa Indonesia lebih baik berorientasi ke negara Cina dan memilih warganegara RRC51

51

Ibid., hal. 83

. Partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa telah ada bahkan dari sejak pemerintahan kolonial Belanda melalui organisasi Tionghoa benama Sun Yat Sen dan bertujuan untuk menghapuskan


(1)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sebagai negara multietnis tentu Indonesia memiliki beragam etnis baik itu etnis asli Indonesia ataupun etnis pendatang. Salah satu etnis pendatang terbesar di Indonesia adalah etnis Tionghoa yang tersebar di seluruh pulau di Indonesia. Kehidupan etnis ini pun tak lepas dari pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi sosial dan politik baik dalam negeri maupun luar. Semenjak runtuhnya orde baru yang sebelumnya mengekang etnis Tionghoa untuk berpartisipasi langsung dalam kehidupan politik, maka saat ini etnis Tionghoa menjadi suatu kekuatan politik yang baru dengan jumlah yang besar.

Jika pada awalnya etnis Tionghoa dibagi menjadi dua yaitu totok dan peranakan, maka saat ini dapat dikatakan bahwa istilah ini tidak lagi relevan. sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Hak dan kewajiban ini berlaku sama bagi setiap orang yang disebut sebagai penduduk dan WNI. Dengan kata lain, ada keseragaman identitas yang dilekatkan pada mereka yang secara legal dinyatakan sebagai penduduk dan WNI. Sebenarnya identitas Tionghoa bukanlah sebuah identitas tunggal yang kaku. Identitas Tionghoa juga berkembang sesuai konteks sejarah dan konstruksi sosial dimana identitas tumbuh di masyarakat.


(2)

Kota Medan sendiri merupakan salah satu kota dengan etnis pendatang yang banyak dan jumlah masyarakat dengan etnis Tionghoa termasuk besar tak luput dari dunia politik. Adanya sejumlah calon legislatif yang mencalonkan diri belatar belakang etnis Tionghoa menggambarkan bahwa mereka sudah mulai ikut langsung dalam dunia politik. Dengan munculnya caleg beretnis Tionghoa maka politik identitas etnis tidak dapat dielakkan. Di Medan sendiri perkembangan identitas Tionghoa semakin mengental dan semarak. Bisa dilihat dengan meningkatnya jumlah klenteng dan wisatawan yang menghadiri perayaan Imlek dan Cap Go Meh di kota Medan. Dalam bidang politik, semakin banyak keterlibatan masyarakat Tionghoa di dewan legislatif. Perkembangan yang demikian pesat tersebut, tidak berarti masalah identitas etnis sudah selesai. Masih ada benturan-benturan horizontal yang melibatkan Etnis Tionghoa. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masalah identitas etnis di Kota Medan dan juga Indonesia masih menjadi masalah utama.

Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Inilah yang menjadi dasar terbentuknya Etnis Tionghoa di Indonesia yang mempunyai kesamaan etnisitas.

Penggunaan identitas etnik didalam perjuangan politik saat ini masih banyak terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Kota Medan yang masyarakatnya berasal dari berbagai macam etnis, seperti beberapa etnis yang dominan, misalnya: Jawa, Batak, Tionghoa, Minang, Aceh, Tamil, dan lain-lain. Etnis dijadikan sebagai salah satu sarana untuk berkampanye, dan menarik simpati dari masyarakat, terutama yang berasal dari kalangan etnis tertentu. Pengaruh etnis ini sangat terasa dari masyarakat yang berasal dari kalangan etnis tertentu, seperti Batak Toba, Batak Mandailing, ataupun Tionghoa.


(3)

Dari sekian banyak etnis di Medan yang paling kuat militansi dan primordialnya adalah etnis Batak Mandailing dan Tionghoa. Hal ini dapat mempengaruhi etnis lain untuk turut bersikap primordialisme, dan menciptakan budaya politik dimana seseorang calon dipilih salah satunya adalah berdasarkan kesamaan suku, yang pada akhirnya dapat merujuk kepada SARA (Suku,Agama,dan Ras). Keadaan yang demikian hanya akan membuat masyarakat menjadi semakin tidak paham dengan arti politik, karena perbedaan etnis tersebut akan mempengaruhi partisipasi masyarakat didalam Pemilu di Kota Medan. Hal ini dapat menjadi salah satu bukti bahwa identitas etnis masih menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh didalam perpolitikan di Kota Medan. Sehingga masih banyak dari masyarakat yang memberikan suaranya didalam pemillu lebih berdasarkan kepada unsur kesamaan etnis, daripada visi-misi yang diusung oleh masing-masing pasangan calon yang ikut dalam Pemilu.

Politik etnis lebih efektif digunakan untuk menarik perhatian masyarakat dalam Pemilu, karena politik etnis lebih bersifat kasat mata dari pada politik uang. Sumatera Utara kaya akan etnis dari Melayu, Batak, Jawa, Tionghoa, dan Aceh telah berbaur menjadi masyarakat Sumut yang kaya etnis. Kuatnya politik etnis memang nyata di Sumut, dan kita tidak bisa pungkiri itu. Orang Batak memilih orang Batak, orang Jawa memilih orang Jawa, demikian seterusnya. Namun, perlu juga kita sadari bahwa cara seperti itu jelas tidak selalu memberikan kualitas yang baik terhadap terpilihnya Kepala Daerah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Babari, J. dan Albertus Sugeng. 1999. Diskriminasi Rasial Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gandi

Bagir, Zainal Abidin. 2011. Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. Bandung-Yogyakarta : Mizan dan CRCS

Bangun, Payung. 1998. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI

Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Carey, Peter. 1986. Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825. Jakarta: Pustaka Azet __________. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Coppel, Charles. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Creswell, John W. 2012. Research Design. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Hall, Stuart, D. Held and T.McGrew.1992. Modernity and Its Future. Cambridge: Polity Press Koentjaranigrat. 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan __________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Liem, Dr. Yusiu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta; Djambatan Lubis, M. R.1995. Pribumi di mata orang Cina. Medan : Pustaka Widyasarana.

Lubis, Suwardi.1999. Komunikasi antarbudaya : Studi kasus etnik Batak Toba dan etnik Cina. Medan : USU PRESS.

Lukmantoro, Triyono. 2008. Kematian Politik Ruang. Jakarta : Kompas

Mahfud, Choirul. 2013. Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta : Trans Media Pustaka Suyono, Ariyuno. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Antropologi Press


(5)

Suryadinata, Leo. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES

____________. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Kompas

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Tan, dr. Sofyan. 2004. Jalan menuju masyarakat anti kekerasan. Medan : KIPPAS. Toer, Pramoedya A. 1998. Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Graha Budaya

Ubed, Abdilah S. 2002. Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang : Indonesiatera

Usman, Husani dan Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung : Bumi Aksara Widayanti, Titik. 2009. Politik Subalter: Pergulatan Identitas Waria. UGM. Yogyakarta

Yuanzhi, Kong. 2007. Muslim Tionghoa Cheng Ho Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor

Jurnal :

Yusfirlana Ma'rifah, Warsono. 2014. “Orientasi Politik Politisi Etnis Cina”. Kajian Moral dan

Kewarganegaraan. Nomor 2 Volume 1 Tahun 2014, hal. 143Juliastutik. 2010. “Perilaku Elit

Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi”. Humanity. Volume 6 No. 1 Tahun 2010, hal. 46-47 Tjhin, Christine Susanna. 2005. “Reflection on the Identity of the Chinese Indonesians”. CSIS Working Paper Series

Setyaningrum, Arie. 2005. “Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial”. Jurnal Mandatory Politik Perlawanan. Edisi 2/ Tahun 2/ 2005, hal. 19

Ivan, A, Hadar, “Etnisitas dan Negara Bangsa”, Kompas, 29 Mei 2000

Manurung, Ria dan Lina Sudarwati. 2005. “Realitas pembauran etnis Cina di kota Medan”.

Jurnal Komunikasi Penelitian. Volume 17 (1). hal 23-28.

Internet :

http://id.inti.or.id/specialnews/10/tahun/2007/bulan/04/tanggal/21/id/248/ Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 14:29 WIB

http://www.ceritamedan.com/2013/09/mengenal-suku-di-medan.html Diakses pada tanggal 14 Januari 2015 pada pukul 20:20 WIB


(6)

http://sumatra.bisnis.com/m/read/20140323/1/50068/warga-tionghoa-di-sumut-semakin-banyak-yang-terjun-ke-politik Diakses pada tanggal 28 Desember 2014 pada pukul 20:08 WIB

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/12/name/sumatera-utara/detail/1271/kota-medan