Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Farmakoekonomi
2.1.1 Definisi Farmakoekonomi
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi
pada masyarakat atau sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik, studi
farmakoekonomi adalah proses identifikasi, pengukuran, dan membandingkan
biaya, risiko, dan manfaat dari program, pelayanan, atau terapi dan menentukan
alternatif yang memberikan keluaran kesehatan terbaik untuk sumber daya yang
digunakan (Tri Murti, 2013).
2.1.2 Tujuan Farmakoekonomi
Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk
pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga dapat membandingkan
pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001).
Hasil kajian farmakoekonomi dijadikan sebagai informasi untuk
membantu

pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif

pengobatan agar pelayanan kesehatan lebih efisien dan ekonomis. Informasi
farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan

keamanan obat untuk menentukan pilihan obat mana yang akan digunakan
(Trisna, 2010).
2.1.3 Metode Farmakoekonomi
Pada kajian farmakoekonomi terdapat empat metode analisis. Metode ini
bukan hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang
dibandingkan tetapi juga aspek ekonomi yang merupakan prinsip dasar kajian

6
Universitas Sumatera Utara

farmakoekonomi. Hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan
masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya
kesehatan yang terbatas jumlahnya. Metode farmakoekonomi dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Metode analisis dalam kajian Farmakoekonomi
Metode analisis
Analisis Minimalisasi
(AMiB)
Analisis
Efektivitas

(AEB)

Karakteristik analisis
Biaya Efek
dua
intervensi
sama
(setara),
valuasi/biaya dalam rupiah
Biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
pengobatan
diukur
dalam
unit
alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya
dalam rupiah
Analisis Utilitas Biaya (AUB)
Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
pengobatan dalam quality-adjusted lfe years/
biaya dalam rupiah

Analisis Manfaat Biaya (AMB) Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
pengobatan dinyatakan dalam rupiah/biaya
dalam rupiah
a. Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB)
Metode AMiB merupakan metode farmakoekonomi paling sederhana dan
hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi
kesehatan, termasuk obat yang memberikan hasil yang sama, serupa atau setara.
Oleh karena hasil pengobatan dari intervensi sama, maka yang dibandingkan
hanya satu sisi yaitu biaya (Kementrian Kesehatan RI., 2013). Contoh AMiB yang
sering dilakukan adalah membandingkan dua obat generik yang dinyatakan
ekuivalen oleh FDA. Jika obat yang dibandingkan ekuivalen (tetapi diproduksi
dan dijual oleh perusahaan berbeda), hanya perbedaan biaya obat yang digunakan
untuk memilih salah satu yang nilainya paling tinggi. AMiB tidak bisa digunakan
untuk membandingkan obat yang berbeda kelas terapi dengan outcome yang
berbeda (Tri Murti, 2013).

7
Universitas Sumatera Utara

b. Analisis Efektivitas Biaya (AEB)

Analisis efektivitas biaya (AEB) cukup sederhana dan banyak digunakan
untuk kajian farmakoekonomi dengan membandingkan dua atau lebih intervensi
kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Rascati, et al., 2009). Pada
AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter dan hasil dari
intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non
klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang seragam dan mudah
dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragam. Oleh sebab itu, AEB hanya
dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki
tujuan sama (Kementrian Kesehatan RI., 2013).
Hasil AEB digambarkan sebagai rasio, baik dengan cost-effectiveness ratio
(CER)

atau

sebagai

incremental

cost-effectiveness


ratio

(ICER).

CER

menggambarkan total biaya program atau alternatif dibagi dengan outcome klinik,
dipresentasikan sebagai unit moneter per outcome klinik spesifik yang dihasilkan
sehingga klinisi dapat memilih alternatif dengan biaya lebih rendah untuk setiap
outcome yang diperoleh (Tri Murti, 2013).
c. Analisis Utilitas Biaya (AUB)
Metode AUB memiliki kemiripan dengan AEB, tetapi outcome-nya
dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas akibat
intervensi kesehatan yang dilakukan (Kementrian Kesehatan RI., 2013). Luaran
yang sering digunakan dalam AUB adalah quality-adjusted life year (QLAY)
yang menggabungkan kualitas (morbiditas) dan kuantitas (mortilitas) hidup.
Kelebihan AUB adalah tipe luaran kesehatan yang berbeda dan penyakit dengan
beberapa luaran dapat dibandingkan menggunakan satu unit pengukuran yaitu

8

Universitas Sumatera Utara

QLAY. Kekurangan metode ini adalah sulit untuk menentukan utilitas atau
QLAY secara tepat (Tri Murti, 2013).
d. Analisis Manfaat Biaya (AMB)
Analisis manfaat biaya (AMB) adalah suatu teknik analisis dalam ilmu
farmakoekonomi yang menghitung dan membandingkan biaya suatu intervensi
kesehatan terhadap manfaatnya dan diekspresikan dalam satuan moneter
(Kementrian Kesehatan RI., 2013).
Kelebihan AMB adalah beberapa luaran yang berbeda dapat dibandingkan,
luaran diukur dengan nilai mata uang. Kekurangan AMB adalah bahwa
menempatkan nilai ekonomi pada luaran medik bukan merupakan hal yang mudah
dan tidak ada kesepakatan bersama metode standar untuk bisa memenuhinya (Tri
Murti, 2013).
2.1.4 Biaya Pelayanan Kesehatan
Biaya pelayanan kesehatan dikelompokkan menjadi 4 kategori (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Tipe Kategori Biaya
No
1


2

3

4

Tipe Kategori Biaya
Contoh
Direct medical costs (biaya medis Pengobatan, monitoring terapi,
langsung)
admintrasi terapi, konsultasi dan
konseling pasien, rawat inap, tes
diagnostik,
dan
kunjungan
dokter
Direct nonmedical cost (biaya non- Transportasi untuk mencapai
medis langsung)
rumah sakit, penginapan untuk
keluarga pasien

Indirect cost (biaya tidak langsung)
Produktivitas
pasien
yang
hilang,
produktivitas
dari
caregiver
yang
tidak
terbayarkan.
Intangible cost (biaya tidak teraba)
Nyeri, lemah, cemas
(Bootman, et al., 2005)

9
Universitas Sumatera Utara

a. Direct medical costs (biaya medis langsung)
Biaya medis langsung adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan

input yang digunakan secara langsung untuk memberikan terapi. Misalnya biaya
obat, test diagnostik, kunjungan dokter, kunjungan ke unit gawat darurat atau
biaya rawat inap (Tri Murti, 2013).
b. Direct nonmedical cost (biaya non-medis langsung)
Biaya non medis langsung adalah biaya untuk pasien atau keluarga yang
terkait langsung dengan perawatan pasien tetapi tidak langsung terkait dengan
terapi. Misalnya biaya menuju rumah sakit, klinik, makanan dan penginapan yang
dibutuhkan pasien dan keluarga selama terapi di luar kota (Tri Murti, 2013).
c. Indirect cost (biaya tidak langsung)
Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya
produktivitas akibat menderita suatu penyakit (Bootman, et al., 2005).
d. Intangible cost (biaya tidak teraba)
Biaya tidak teraba adalah biaya yang sulit diukur dalam unit moneter,
misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien/keluarganya (Bootman, et
al., 2005).
2.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Ndraha, 2014).
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau

gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,

10
Universitas Sumatera Utara

lipid, protein sebagai akibat insufiensi fungsi insulin. Insufiensi fungsi insulin
dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel
Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.2.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010
(ADA 2010), dikelompokkan ke dalam 4 jenis:
a. Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes mellitus (DM) Tipe 1 merupakan diabetes yang jarang atau
sedikit populasinya diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes. DM Tipe 1 (DMT1) terjadi karena adanya destruksi sel
pankreas karena autoimun. Destruksi autoimun dari sel-sel

pulau Langerhans


mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolism yang menyertai DMT1 (Ditjen Bina Farmasi
dan Alkes, 2005).
b. Diabetes Mellitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM)
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa di hati
(ADA, 2010).
Pada penderita DM Tipe 2 (DMT2) dapat juga timbul gangguan sekresi
insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak

11
Universitas Sumatera Utara

terjadi perusakan sel-sel

Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi

pada DMT1. Oleh karena itu defisiensi fungsi insulin pada penderita DMT2
hanya bersifat relatif (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
c. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus (DM) tipe ini terjadi pada masa kehamilan akibat
intoleransi glukosa, pertama kali pada masa kehamilan biasanya pada trisemester
kedua dan ketiga dan bersifat sementara. Penderita DM gestasional memiliki
risiko lebih besar untuk menderita diabetes lagi di masa depan. Kontrol
metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko tersebut (ADA, 2010).
d. Diabetes Mellitus Tipe Lain
Diabetes mellitus (DM) tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada
defek genetik fungsi sel

, defek genetik fungsi insulin, penyakit eksokrin

pankreas, infeksi virus dan kelainan genetik lain (ADA, 2010).
2.2.2 Epidemiologi
Mayoritas pasien diabetes merupakan pasien DMT2. Di USA, sekitar 90%
seluruh pasien diabetes menderita DMT2. Angka insiden DMT2 meningkat
dengan bertambahnya usia (Stephen, dkk., 2012).
Prevalensi DMT2 berkisar antara 3%-6% dari jumlah penduduk dewasa.
Frekuensi diabetes meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir di Singapura.
Penderita diabetes meningkat dari 6 juta jiwa di tahun 1990 menjadi 20 juta jiwa
di tahun 2010 di Amerika. Kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6% di
Indonesia (Ndraha, 2014).

12
Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Faktor Risiko Diabetes Tipe 2
Beberapa faktor risiko DM terutama untuk DMT2 dapat dilihat pada Tabel
2.3.
Tabel 2.3 Faktor risiko DMT2
1

Riwayat

Diabetes dalam keluarga
Diabetes Gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan > 4kg
Kista ovarium
2
Obesitas
> 120 % berat badan ideal
3
Umur
20-59 tahun: 8,7%
> 65 tahun: 18%
4
Hipertensi
> 140/90 mmHg
5
Hiperlipidemia
Kadar HDL rendah < 35 mg/dL
Kadar lipid darah tinggi > 250 mg/dL
6
Faktor lain
Kurang olahariaga
Pola makan rendah serat
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005)
2.2.4 Gejala Klinik
Penyakit DM ditandai dengan gejala 3P, yaitu poliuri (banyak berkemih),
polidpsi (banyak minum), dan polifagi (banyak makan). Di samping
meningkatnya KGD, diabetes bercirikan adanya “gula” dalam kemih (glycosuria).
Hal ini karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya timbul
rasa haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih (Tjay, 2010).
Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak
anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal
yang seringkali dapat mengganggu (pruritus) dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila KGD melebihi nilai yang telah
ditetapkan. Kriteria penegakan diagnosis DM dapat dilihat pada Tabel 2.4.

13
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Kriteria Penegakan Diagnosis
No

Kriteria Diagnosis

Glukosa Plasma Puasa

Glukosa Plasma 2 jam
setelah makan
1
Normal
< 100 mg/dL
< 140 mg/dL
2
Pra-diabetes
100-125 mg/dL
3
IFG atau IGT
140-199 mg/dL
4
Diabetes
> 126 mg/dL
> 200 mg/dL
Impaired Fasting Glucose (IFG) adalah keadaan dimana kadar glukosa darah
puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dL (kadar glukosa darah puasa normal < 100
mg/dL). Impaired Glucose Tolerance (IGT) adalah keadaan dimana kadar glukosa
darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak
cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosis IGT
ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75
gram glukosa per oral berada diantara 140-199 mg/dL (Soegondo, 1995).
2.2.6 Komplikasi Penyakit Diabetes Mellitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Berikut ini beberapa komplikasi yang sering terjadi
dan harus diwaspadai.
a. Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa
pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, keluar keringat dingin,
detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes, 2005).
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah (KGD) meningkat.
Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obatobatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia,

14
Universitas Sumatera Utara

kelelahan yang parah (fatigue) dan pandangan kabur (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes, 2005).
c. Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita
diabetes adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak dan
penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi ini sering dirasakan pada penderita
DMT2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, atau kegemukan
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
d. Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada penderita DM antara
lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Hal ini dikarenakan terjadi penyumbatan
pada pembuluh darah yang diakibatkan oleh KGD yang tinggi (hiperglikemia)
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.2.7 Penatalaksaan Diabetes
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM yang secara spesifik ditunjukkan untuk mencapai 2
target utama yaitu menjaga agar kadar glukosa plasma berkisar dalam kisaran
normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksaan diabetes yaitu
pendekatan tanpa obat dan pendekatan dengan obat.
2.2.7.1 Terapi Non Farmakologi
Langkah pertama yang harus dilakukan pada penatalaksanaan DM adalah
terapi tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahariaga.

15
Universitas Sumatera Utara

a. Pengaturan Diet
Diet merupakan salah satu penanganan pada penderita DM. Diet yang
dianjurkan adalah makan dengan komposisi yang seimbang antara karbohidrat,
protein dan lemak. Proporsi diet yang seimbang dan baik terdiri dari karbohidrat
(60-70%), protein (10-15%) dan lemak (20-25%) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
b. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah agar tetap normal. Prinsipnya tidak perlu berolah raga berat, namun ringan
dan dilakukan secara teratur. Olahariaga yang disarankan bersifat CRIPE
(Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Olahariaga
aerobik ini paling tidak dilakukan selama 30-40 menit per hari (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
2.2.7.2 Terapi Farmakologi
Apabila dengan langkah pertama tujuan belum tercapai, maka dapat
dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi
obat hipoglikemik oral atau kombinasi keduanya.
a. Insulin
Insulin merupakan obat utama untuk DMT1 dan beberapa jenis DMT2,
tetapi banyak pasien DM yang enggan disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa.
Karenanya terapi edukasi pasien DM sangatlah penting agar pasien sadar akan
perlunya terapi insulin (Suherman, 2007).
Pada DMT1, sel-sel

Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak

sehingga tidak dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita

16
Universitas Sumatera Utara

DMT1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme
karbohidrat di tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar
penderita DMT2 tidak memerlukan insulin, namun hampir 30% ternyata
memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005)
Ada beberapa jenis sediaan insulin yang berbeda dalam hal mula kerja
(onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat
digolongkan menjadi 3 kelompok:
a. Insulin masa kerja cepat (Short-acting/insulin)
Insulin yang bekerja cepat memungkinkan penggantian insulin pada waktu
makan secara lebih fisiologis karena kerjanya yang cepat dan puncak kerjanya
yang segera tercapai lebih menyerupai sekresi insulin endogen normal (Katzung,
2012)
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal dimana mula kerjanya setelah
setengah jam disuntikan (injeksi subkutan). Contohnya: Aprida, Novorapid,
Actrapid, Velosulin dan Humulin Regular (Soegondo, 1995).
b. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
Sediaan

insulin

ini

lama

kerjanya

dapat

divariasikan

dengan

mencampurkan beberapa macam insulin. Contohnya: Mixtard 30 HM (Tjay,
2010).
c. Insulin masa kerja panjang (Long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mengurangi daya larutnya di
dalam jaringan dan menghambat reabsorpsinya ke dalam darah pada saat
diinjeksikan. Contohnya: Lantus, Levemir dan Monotard (Soegondo, 1995).

17
Universitas Sumatera Utara

Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan kerja jenis-jenis insulin dapat dilihat
pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1

Kurva Onset dan Lama Kerja Insulin (Katzung, 2012).

b. Hipoglikemik oral
Obat-obat hipoglikemik oral ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DMT2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan
kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan menggunakan
satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Berdasarkan mekanisme
kerjanya, obat hipoglikemik oral dapat dibedakan sebagai berikut:
i. Golongan Sulfonilurea
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan
(drug of choice) untuk penderita DMT2 dengan syarat penderita tidak mengalami
ketoasidosis, oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan
gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan
merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif
apabila sel-sel

pada pulau langerhans masih dapat berproduksi. Penurunan KGD

yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh

18
Universitas Sumatera Utara

perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes,2005).
ii. Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan ini merupakan obat hipoglikemik
generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea yakni
meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan konsentrasi
puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah digunakan namun
lama kerjanya 5-8 jam (Katzung, 2012).
iii. Golongan Biguanida
Golongan biguanida bekerja langsung pada hati dengan cara menurunkan
produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang
sekresi insulin dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia (Soegondo,
1995).
Golongan biguanida yang paling banyak digunakan adalah metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah dan menjadi pilihan utama untuk penderita
diabetes obesitas ( Krentz, 2005).
iv. Golongan Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion (TZD) bekerja dengan menurunkan resistensi insulin
dengan cara meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan
berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di
otot, jaringan lemak dan hati. Hal inilah yang menyebabkan resistensi insulin
menurun (Katzung, 2012).

19
Universitas Sumatera Utara

v. Golongan Inhibitor α-glukosidase
Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa
glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase
(maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis
oligosakarida pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat
mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes.
Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas
yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus (Soegondo,
1995).
c. Terapi Kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO
atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan
sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang
sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja
efektif (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

20
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

13 93 79

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4 54 72

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 13

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 7

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 5

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 3

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 11

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIDIABETES PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

0 0 13