Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Di Medan).

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Wujud dari bersatunya
adalah dengan melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama dan
adat kepercayaannya masing-masing. Adalah menjadi

kodrat alam, manusia

dilahirkan selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan
hidup. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial.
Hidup bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syaratsyarat tertentu disebut dengan perkawinan.1
Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan
seorang wanita sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan untuk jangka waktu selama mungkin.2
Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang

erat sekali. Bahkan dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar
untuk dapat dipahami tanpa dibarengi dengan peninjauan hukum kekeluargaan yang

1

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1984, hal.7.
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap,Penerbit Bina Aksara, Jakarta,
1988, hal. 97.
2

1

Universitas Sumatera Utara

2

bersangkutan. Di Indonesia terdapat tiga macam sifat susunan kekeluargaan, yaitu :
patrilineal, matrilineal, dan parental.3
Menurut Ali Afandi bahwa pengertian perkawinan adalah persatuan antara
laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.4 Pada dasarnya tiap keluarga,

kerabat serta persekutuan menghendaki sesuatu perkawinan yang sudah dilakukan itu,
dipertahankan untuk selama hidupnya. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan
dapat berlangsung dengan langgeng dan tidak ada seorang pun yang ingin
perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya
dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus
cerai oleh pengadilan.
Perceraian pada dasarnya merupakan peristiwa hukum yang merupakan suatu
kejadian yang akan menimbulkan dan menghilangkan hak maupun kewajiban.
Perceraian menurut adat adalah merupakan peristiwa luar biasa, sebuah problema
sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.5
Perceraian merupakan salah satu peristiwa yang dapat terjadi dalam suatu
perkawinan, perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.6
“Di daerah Tapanuli, menurut sebuah komisi adat di bawah pimpinan Doktor
Abdulrasjid yang melakukan penelitiannya pada waktu sebelum perang dunia
kedua, menetapkan perkawinan itu sebagai suatu perjanjian tidak hanya antara
3

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, Penerbit CV Haji
Masagung, hal.127-128.

4
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 98.
5
ibid, hal. 143.
6
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.XXVI, Jakarta-Internusa, 1994, hal.42.

Universitas Sumatera Utara

3

suami-istri tetapi juga antara kerabat kedua belah pihak yang terdiri atas
golongan, yaitu pertama keluarga pihak bapak, kedua clan hula-hula yang
bersangkutan, dan ketiga calan boru yang bersangkutan (“vadersijdige
bloedverwanten, hunbruidgevers en hun bruidnemers”). Tanpa bantuan ketiga
golongan tersebut di atas maka perceraian dalam masyarakat Batak tidak
mungkin terjadi. Dan menurut adat di daerah ini menurut ketentuan komisi
tersebut, perceraian hanya karena meninggal dunia saja, serta dengan alasanalasan sebagai berikut: untuk suami, istrinya cinta kepada lelaki lain, istrinya
mempunyai kebiasaan mencuri, istri melakukan perbuatan-perbuatan di luar
pengetahuannya dan istri tidak menghormati adat istiadat”.7

Menurut Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan
berbagai alasan yang dapat mengakibatkan perceraian, terdiri atas :
1.

Zinah atau overspel

2.

Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat.

3.

Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan
hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

4.

Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si istri terhadap istri
atau suaminya, yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai
atau dianiaya, sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Sebagai peristiwa hukum, perceraian mempunyai hubungan yang erat dengan

sikap tindak dalam hukum yang berupa tanggung jawab yaitu tanggung jawab
(responsibility) terhadap pihak lain. 8
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan di seluruh wilayah
Indonesia, maka sejak itulah setiap perkawinan harus didasarkan pada Undang7
8

Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit., hal 145.
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1983, Hal. 231.

Universitas Sumatera Utara

4

undang Nomor 1 Tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya dan semua peraturan
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini
dinyatakan tidak berlaku lagi.9
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena
perceraian adalah:
a.

Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b.

Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.

c.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa negara melalui Undang-undang


Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anakanak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian, yaitu mengenai hak
asuh anak di bawah umur.
Dalam hal suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah
mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan
9

Sajuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986, hal 47.

Universitas Sumatera Utara

5

anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus juga. Sebab dengan
tegas telah diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai
kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya,
termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari
anak tersebut. Hanya hak asuh yang pindah kesalah satu pihak yaitu beralih ke ayah
atau ke ibunya.
Menurut Hukum Adat, perceraian ataupun meninggalnya salah satu orang tua,

tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena didalam perceraian,
anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya.10
Dalam undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang
ada pada Pasal 1 Ketentuan umum, mengatur beberapa pengertian, seperti:
1) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan;
2) Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar ;
3) Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara,
membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama
yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

10

Azis Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Universitas Sumatera Utara Press, Medan,
1998, hal.40.

Universitas Sumatera Utara


6

Pasal 14 Undang-undang tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Dalam UU Perkawinan tidak terdapat definisi mengenai hak asuh tersebut,
namun jika melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak terdapat istilah Kuasa Asuh yaitu kekuasaan orang tua untuk
mengasuh,

mendidik,

memelihara,

membina,

melindungi,


dan

menumbuh

kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta
minatnya.
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi
hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal
105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi
perceraian :
a)

Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya.

b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c)

Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena

hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya
diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). Sedangkan untuk orang-orang yang

Universitas Sumatera Utara

7

bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri),
karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh
bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan
mempertimbangkan antara lain fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan buktibukti yang diajukan oleh para pihak, serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim
mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan hak asuh anak tersebut.
Perlindungan hukum meliputi kewajiban membayar nafkah anak di bawah
umur dan hak asuh anak dibawah umur. Dalam mengurus dan melaksanakan
kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan,
jasmani dan rohani dari anak tersebut. Misalnya dalam persidangan tersebut
terungkap bahwa suami atau istri tersebut sering berbuat kasar dan memiliki perilaku
yang buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya. Selain itu akan diperhatikan juga
dari segi finansial, apakah pihak yang memohonkan hak asuh anak tersebut memiliki
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan dari anak
tersebut nantinya. Semua ini dipertimbangkan oleh hakim semata-mata dilakukan
demi kepentingan dan kemanfaatan dari si anak tersebut. Tentunya mereka yang
tidak dapat memberikan penghidupan yang layak bagi si anak, sangat sulit untuk
diberikan hak asuh.
Permasalahan lain yang dapat timbul dari pemberian hak asuh tersebut antara
lain, keinginan dari pihak bapak atau ibu yang tidak mendapat hak asuh untuk tetap
dapat bertemu dengan anak-anaknya yang berada dalam pengasuhan bapak atau ibu
yang mendapatkan hak asuh atas anak-anak tersebut. Sehingga kemudian terjadi

Universitas Sumatera Utara

8

perselisihan hak asuh anak di bawah umur yang sulit dipecahkan. Jika salah satu
pihak saja yang meminta hak asuh anak di bawah umur, hakim dapat saja langsung
mengabulkan. Tetapi yang terjadi dalam kasus perceraian itu adalah perebutan
terhadap hak asuh anak di bawah umur.
Perlindungan anak dalam hal orangtuanya bercerai sangat erat kaitannya
dengan kekuasaan orangtuanya walaupun perkawinan telah putus oleh karena
perceraian. Perceraian yang dilakukan oleh seorang suami dan istri menimbulkan
akibat terhadap anak-anaknya baik secara moril maupun materiil. Secara moril bahwa
anak-anaknya tersebut menanggung konsekuensi bahwa kedua orangtuanya tidak
bersama lagi dalam suatu rumah tangga dan otomatis perhatian dan kasih sayang
yang tercurah pada anak tidak seperti saat berkumpul dulu. Secara materiil ialah
diberikan nafkah, yang menjadi hak seorang anak yang didapat dari kedua orang
tuanya.
Sehubungan dengan tanggungjawab terhadap anak-anak tersebut, dalam
masyarakat batak toba, kesalahan pada satu pihak menyebabkan pihak yang lain
mempunyai hak yang lebih terhadap anak-anaknya. Dalam hal ini contohnya ialah
perzinahan yang dilakukan oleh seorang ibu, dan hal tersebut dapat dibuktikan oleh
suaminya. Sehingga dengan demikian hak asuh anak di bawah umur akan jatuh
ketangan ayahnya.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975 sudah
mengatur secara tegas mengenai kewajiban membayar nafkah dan hak asuh anak di
bawah umur, namun tidak semua suami mempunyai iktikad baik untuk memenuhi

Universitas Sumatera Utara

9

kewajibannya untuk membayar nafkah anak di bawah umur tersebut. Dalam hukum
adat Batak Toba kewajiban membayar nafkah juga ada pada ayah, terutama hak asuh.
Sementara hak asuh sendiri belum di atur secara tegas dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975, sehingga hal ini menimbulkan persoalan
dalam praktek, terutama sekali dalam kasus-kasus perceraian dimana antara suamiistri menuntut hak asuh terhadap anak di bawah umur tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai
perlindungan hukum terhadap anak dalam hal terjadi perceraian dari kedua orang
tuanya yang aka dituangkan dalam judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada
Masyarakat Batak Toba Kristen Di Medan)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang permasalahan di atas, beberapa
permasalahan pokok yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah hak asuh anak di bawah umur jika terjadi perceraian pada
masyarakat Batak Toba Kristen di Medan?

2.

Bagaimana tanggungjawab orangtua yang telah bercerai terhadap nafkah anak di
bawah umur dalam putusan pengadilan?

3.

Apakah hambatan yang timbul dalam perlaksanaan perlindungan hukum
terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat Batak
Toba Kristen di Medan?

Universitas Sumatera Utara

10

C. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini dilaksanakan untuk dapat mengetahui hal-hal sebagai
berikut:
1.

Untuk mengetahui penentua hak asuh kepada anak di bawah umur jika terjadi
perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan.

2.

Untuk mengetahui tanggungjawab orangtua yang telah bercerai dalam pemberian
nafkah terhadap anak di bawah umur.

3.

Untuk mengetahui hambatan apa yang timbul dalam perlaksanaan perlindungan
hukum terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat
Kristen Batak Toba di Medan.

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan mamfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu :
1.

Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengembangan

ilmu pengetahuan dan sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan perkembangan
dibidang Hukum Adat khususnya bagi masyarakat Batak Toba dalam kaitannya
dengan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian serta guna menambah literatur dan bahan-bahan
informasi dalam penerapan hukum di Indonesia.
2.

Manfaat Praktis
a. Guna memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak baik
akademisi, praktisi hukum dan anggota masyarakat yang memerlukan
informasi hukum mengenai perlindungan hukum terhadap anak.

Universitas Sumatera Utara

11

b. Untuk memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak
yang terkait dengan masalah yang diteliti dan berguna bagi pihak-pihak lain
yang berkepentingan mengenai Hukum Adat dan Perlindungan hukum
terhadap anak di bawah umur akibat putusnya perkawinan karena perceraian
pada khususnya.
E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian di dalam masalah
yang sama,

maka peneliti melakukan penelusuran kepustakaan khususnya di

lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan,
dan belum ada penelitian sebelumnya dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada
Masyarakat Batak Toba Di Medan). Namun demikian ada perbandingan penelitian
yang dilakukan dengan Mahasiswa Magister Kenotariatan dengan judul yaitu :
1.

Fransisca M.U. Bangun (NIM 037011028), Mahasiswa Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “ Tanggungjawab Orang
Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas
I A Medan)” dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimanakah putusan Pengadilan Negeri dalam menentukan tanggung jawab
orang tua terhadap anak setelah perceraian?
b. Upaya apakah yang dapat dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi
kewajiban terhadap anak sesuai putusan pengadilan?

Universitas Sumatera Utara

12

c. Apakah yang menyebabkan kesulitan melaksanakan putusan pengadilan yang
telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian?
2.

Tessy (NIM 097011100), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggungjawab Hukum Suami Istri
dalam

Perceraian

Terhadap

Anak

(Studi

Kasus

Putusan

No.

209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)” dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggung
jawab pengasuhan anak setelah perceraian?
b. Bagaimanakah upaya hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban
terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya?
c. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah
satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan
pengadilan?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri

dari seperangkat konsep atau variabel, defenisi dan proposisi yang disusun secara
sistematis.11 Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping untuk
mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja

11

J.Supranto MA, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,
2003, hal.194.

Universitas Sumatera Utara

13

hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.12
Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi.13 Dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuanpenemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan
menyajiakn penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatak benar.15
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.16
Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori
Perlindungan Hukum. Munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari
teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato,
Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum
alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat
universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para
penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan
aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan
melalui hukum dan moral. Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum
alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk

12

Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21.
Wuisman dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid I, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hal. 203
14
Ibid, hal. 16.
15
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 17.
16
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandat Maju, Bandung, 1994,
hal.80.
13

Universitas Sumatera Utara

14

kebaikan dan dibuat
disebarluaskan.17

oleh

orang

yang

mengurus

masyarakat

untuk

Eksistensi dan konsep hukum alam selama ini masih banyak dipertentangkan
dan ditolak oleh sebagian besar filsuf hukum, tetapi dalam kenyataan justru
dalam tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan faham
hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang
mendasari penolakan sejumlah filsuf hukum terhadap hukum alam, karena
mereka masih menganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari huk
alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat.18
Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah
cerminan undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran
sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu
pengetahuan, tetapi juga sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundangundangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan,
merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi
dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya
hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak
teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari
masa kemasa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu
asas yang bersifat universal yang biasa disebut Hak Asasi Manusia (HAM).19
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum.20 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum
dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan
politik untuk memperoleh keadilan sosial.21 Sementara pendapat Philipus M. Hardjon
bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat
17

http://hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum.html,
diakses
pada tanggal 15 April 2012, pukul 20.00 WIB.
18
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hal. 116.
19
Ibid.
20
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 53.
21
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung,
1991, hal 55.

Universitas Sumatera Utara

15

preventif dan represif.22 Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan hukum represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa, termasuk penangannya di lembaga
peradilan.23
Dengan demikian masalah mengenai perlindungan sangat erat kaitannya
dengan kehidupan yang terjadi didalam masyarakat, perlindungan meliputi
perlindungan terhadap orang tua, anak, dan orang lain. Dalam hal perlindungan di
dalam sebuah keluarga, anak merupakan prioritas utama yang harus mendapatkan
perlindungan dan perhatian. Anak lahir dari sebuah perkawinan antara suami istri.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting yang sangat penting dalam
penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita
dan bakal mempelai saja, tetapi juga orangtua kedua
saudaranya, bahkan

belah pihak, saudara-

keluarga-keluarga mereka masing-masing.24 Perkawinan

bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan
ideal yang mencakup pengertian jasmani dan rohani ysng melahirkan keturunan25,
sehingga perkawinan merupakan suatu hal yang berlangsung seumur hidup.

22

Philipus M. Hardjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT bina Ilmu, Surabaya,
1987, hal. 2.
23
Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Geografis Atas Produk-produk Masyarakat
Lokal Dalam Perpektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya,
Malang, 2010, hal 18.
24
Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit, hal. 122.
25
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Rajawali, Medan, 1986, hal.3.

Universitas Sumatera Utara

16

Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpanuhi secara damai, tetapi
juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan
tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.26 Perceraian
kadangkala dianggap sebagai salah satu upaya penyelesaian untuk menghapus
perkawinan dengan putusan hakim yang diajukan oleh salah satu pihak dalam
perkawinan tersebut. Dalam hal terjadi perceraian maka akibatnya juga berdampak
terhadap anak-anak dari perkawinan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19, ada 6 (enam)
alasan tentang perceraian, yaitu:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.

Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;

b.

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;

c.

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;

e.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
26

SP. Wasis, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, 2002, hal.7.

Universitas Sumatera Utara

17

f.

Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.
Putusnya perkawinan antara para pihak dalam perkawinan tidak memutuskan

hubungan ayah atau ibunya dengan anak-anaknya, sebab dengan tegas telah diatur
bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang
tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yaitu dengan memberikan
hak asuh yang berpidah kesalah satu pihak apakah beralih ke ayah atau ke ibunya
sehingga terdapat suatu perlindungan hukum bagi kepentingan anak-anak yang
perkawinan orang tuanya putus karena perceraian. Menurut pasal 41 Undang-undang
Perkawinan menyebutkan :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a.

Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b.

Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt
memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul
biaya tersebut.

c.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Adanya perceraian memberi dampak terhadap hubungan orang tua dan anak-

anaknya. Dengan adanya pasal 41 UUP jelas hal tersebut memberikan perlindungan

Universitas Sumatera Utara

18

hukum terhadap anak dimana orang tua di bebani kewajiban untuk bertanggungjawab
dalam hal pemeliharaan anak-anaknya kelak sampai dewasa.
Berdasarkan pasal 1 Undang-undang tentang Perlindungan Anak yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan yang menjadi hak dari
seorang anak adalah “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 4 Undang-undang
Perlindungan Anak).”
“Dikalangan Batak Toba Kristen keputusan untuk bercerai itu adalah
merupakan pilihan rasional yang dianggap merupakan solusi yang tepat dalam
mengakhiri setiap permasalahan yang terus-menerus yang tidak mempunyai
harapan lagi untuk bisa dipertahankan. Berbagai faktor yang membuat sebuah
keluarga Batak Toba Kristen memutuskan untuk bercerai diantaranya :
terjadinya konflik dimana dalam sebuah keluarga tersebut tidak dikaruniai
anak, faktor perselingkuhan yang dilakukan isteri, salah satu pihak telah
meninggalkan keluarga tanpa ijin dalam waktu yang sangat lama, kehadiran
pihak ketiga seperti mertua dalam keluarga sehingga memicu konflik,
ketidakhadiran seorang anak laki-laki dalam rumah tangga tersebut, dan
pertengakaran/perselisihan yang terus menerus, hingga mengambil keputusan
dengan melakukan perceraian. Dari hasil penelitian juga terdapat yang
menceraikan bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki atau suami juga
menceraikan isterinya. Terjadinya perceraian dikalangan Batak Toba Kristen
itu didasari oleh faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern(dari
dalam rumah tangga) tersebut yaitu terjadinya konflik, perselisihan,
pertengkaran yang terus menerus sehingga sulit untuk dipertahankan lagi.
Sedangkan faktor dari luar yaitu masuknya budaya barat yang banyak
diadopsi masyarakat, kekuatan hukum yang semakin tegas, kurangnya
bimbingan konseling dari gereja kepada keluarga, dan terjadinya perubahan
dalam masyarakat dengan masuknya budaya barat sehingga terjadi
memudarnya budaya, nilai-nilai agama, adat. Faktor dari luar ini memberi
peluang kepada sebuah keluarga untuk mengambil keputusan dengan
perceraian. dari berbagai media juga dapat dilihat bahwa perceraian itu mudah

Universitas Sumatera Utara

19

untuk dilakukan, masyarakat Batak Toba Kristen terpengaruh dengan
fenomena yang terjadi disekitarnya”.27
Akibat perceraian terhadap anak adalah hakim akan memutuskan dengan
melihat dan menimbang kepada suami atau istri diberikan hak asuh anak di bawah
umur tersebut. Pada umumnya hak asuh anak di bawah umur akan jatuh ketangan istri
(ibu anak di bawah umur), namun dalam masyarakat batak anak-anak dari hasil
pernikahan akan jatuh ke tangan ayahnya. Hal ini di sebabkan oleh karena masyarakat
Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal. Selain hak asuh perceraian juga
berakibat terhadap kewajiban nafkah orang tua terhadap anak di bawah umur.
Anak yang tidak tahu apa-apa mengenai perceraian orang tuanya menjadi
korban sehingga anak yang seharusnya hidup bersama kedua orang tuanya menjadi
terpisah, anak harus ikut dengan ayah atau ibunya. Ia akan menjadi kurang perhatian
dan kasih sayang dari salah satu orang tuanya, dan jangan sampai mengganggu
perkembangan mental anak. Oleh karena itu, dengan adanya teori perlindungan
hukum ini akan memberikan perlindungan terhadap anak, dimana anak berhak untuk
menentukan dengan siapa ia tinggal kelak dan ia tetap berhak mendapatkan
pengasuhan dan biaya nafkah sebagaimana seharusnya kewajiban orang tuanya untuk
kelangsungan hidupnya kelak, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk Hak
Asasi Manusia seorang anak.

27

http://www.researchgate.net/publication/44709368_Fenomena_Perceraian_Dikalangan_Bata
k_Toba_Kristen, diakses pada tanggal 20 Juli 2012, pukul 16.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

20

2.

Konsepsi
Untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam judul penelitian, maka perlu

ada pembatasan suatu konsep agar tercapai kesepahaman dari tujuan yang dimaksud.
Konsepsi adalah suatu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai usaha
membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan
operational defenition. Pentingnya defenisi operasioanal adalah untuk menghindari
perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang
dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini harus didefenisikan mengenai konsep
dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
yang ditemukan, yaitu :
a.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek
hukum dalam bentuk perangkat hukum yang bersifat preventif maupun represif,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis . Bentuk-bentuknya ialah adanya
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.

b.

Perlindungan hukum terhadap anak adalah perlindungan hukum yang meliputi
hak pemeliharaan/asuh dan nafkah anak di bawah umur.

c.

Hak asuh adalah hak orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara,
membina, melindungi anaknya dan sebagai wali anak dibawah umur.

d.

Nafkah anak adalah segala kebutuhan uang untuk membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anak di bawah umur.

Universitas Sumatera Utara

21

e.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28

f.

Perkawinan dalam masyarakat

Batak Toba adalah perkawinan yang

dilangsungkan menurut adat dan tata cara adat Batak Toba.
g.

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang
berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami istri berdasarkan alasan-alasan
yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.29

h.

Perceraian pada masyarakat Batak Toba adalah putusnya ikatan yang sah antara
suami istri berdasarkan adat Batak dan hukum Kristiani.

i.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.30

j.

Anak dibawah umur adalah anak yang belum berusia 18 delapan belas tahun atau
belum kawin.

k.

Masyarakat Batak Toba adalah salah satu suku asli Indonesia yang berasal dari
Pulau Sumatera Utara.

l.

Kota Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia, dimana salah satu
masyarakatnya bersuku Batak Toba.

28

Pasal 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
Perdata Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135.
30
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, Hal.647.
29

Universitas Sumatera Utara

22

G. Metode Penelitian
1.

Sifat Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat penelitian deskriptif

analitis yaitu dimaksudkan untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang suatu
keadaan atau gejala-gejala lainnya.31
Menurut Bambang Sunggono, deskriptif analitis yaitu memaparkan,
menggambarkan atau mengungkapkan hal yang terkait dengan objek penelitian untuk
kemudian dibahas atau dianalisis menurut ilmu dan teori-teori atau pendapat peneliti
sendiri, dan terakhir menyimpulkannya.32
2.

Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis

empiris yaitu pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam
masyarakat, digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di
dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan
mengklarifikasi temuan bahan nonhukum bagi keperluan penelitian atau penulisan
hukum.33
3.

Lokasi Penelitian
Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian tentang Perlindungan

Hukum terhadap Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena

31

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986), hal. 10
Bambang Sungguno, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, hlm. 26-27.
33
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 105.
32

Universitas Sumatera Utara

23

Perceraian (Studi dalam Masyarakat Batak Toba di Medan) ini juga didukung oleh
data primer dengan penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat Batak Toba yang
bertempat tinggal di Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi untuk penelitian ini oleh
karena kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di propinsi Sumatera Utara,
sehingga di harapkan di kota Medan akan lebih mudah mendapatkan informasiinformasi yang lain terutama tentang putusan perceraian oleh Hakim dan
perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur akibat putusnya perkawinan
karena perceraian, komposisi penduduk yang beragam/bercampur (heterogen) dimana
masyarakat Batak Toba menjadi bagian minoritas, dan komposisi penduduk yang
heterogen sehingga telah pula mempengaruhi corak dan gaya hidup masyarakat Batak
Toba.
4.

Populasi dan Sampel

a.

Populasi
Dalam penelitian ilmiah dibutuhkan populasi dan sampel penelitian. Dalam

penelitian ini populasi penelitian dilakukan pada masyarakat Batak Toba Kristen di
Medan.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah pada masyarakat Batak
Toba dengan karakteristik yang bertempat tinggal di kota Medan, beragama Kristen
Protestan dan telah pernah bercerai dan memiliki anak di bawah umur serta putusan
perceraiannya sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

24

pertimbangan tujuan penelitian ditetapkan sampel penelitian berjumlah 10 (sepuluh)
responden dengan memperhatikan ciri-ciri dari sifat sampel yang diteliti yaitu:
- 5 (lima) orang tua laki-laki,
- 5 (lima) orang tua perempuan,
selain itu juga diperlukan tambahan informasi dan sumber lainnya yakni terhadap
Informan yaitu dari Penetua Adat, Pendeta, Masyarakat Adat, dan Hakim Pengadilan
Negeri Medan.
5.

Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

primer dan sumber data sekunder, dengan titik berat pada sumber data sekunder.
Adapun data Sekunder yang dipergunakan terdiri dari :
1) Bahan hukum primer yaitu semua bahan/materi hukum yang mempunyai
kedudukan mengikat secara yuridis meliputi peraturan perundang-undangan,
Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan Instrumen Peraturan Perundangundangan lainnya yang berhubungan dengan masalah hukum yang diteliti. Data
yang langsung didapatkan dalam penelitian di lapangan.
2) Bahan hukum sekunder adalah data yang diperlukan untuk melengkapi data
primer. Adapun data sekunder tersebut antara lain buku-buku ilmiah, makalahmakalah, jurnal, buku-buku referensi, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil
penelitian ilmiah yang mengulas mengenai masalah hukum yang diteliti dengan
mengikutsertakan ilmu-ilmu sosial yang lain, serta tulisan di internet.

Universitas Sumatera Utara

25

3) Bahan hukum tersier adalah semua petunjuk atau penjelasan mengenai bahan
hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah,
surat kabar dan sebagainya.34
6.

Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a.

Studi Dokumentasi
Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari
informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan
penelitian, meliputi penelaahan terhadap bahan kepustakaan atau datasekunder
yang melupiti bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier
meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, teori-teori dan
laporan-laporan
pengumpulan

yang
data

bertalian

melalui

dengan

penelitian

penelitian
kepustakaan

ini.
ini

Dalam

metode

maka

penulis

menggunakan dari berbagai bacaan yang berhubungan dengan judul pembahasan,
baik itu dari literatur-literatur ilmiah, majalah, media massa serta perundangundangan.35
b.

Wawancara (Interview) adalah kegiatan wawancara yang dilakukan kepada
responden dengan terlebih dahulu membuat pedoman wawancara secara
sistematis agar mendapatkan data yang lengkap dan memiliki kebenaran baik
menurut hukum maupun kenyataan yang dapat dilihat dilapangan. Adapun

34
35

Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal.155.
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 104.

Universitas Sumatera Utara

26

beberapa narasumber yang diwawancara adalah Penetua Adat Batak Toba,
Pendeta dan Hakim Pengadilan Negeri Medan.
7.

Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasi dan mengurutkan data kedalam

pola, kategori, dan satuan uraian dasar-dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapta dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.36 Analisis data
yang digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu proses penyusunan,
mengkategorikan data kualitatif, mencari pola atau tema dengan maksud memahami
maknanya.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini menggunakan data yang diperoleh dari
bahan-bahan pustaka dimana pengolahan, analisi, dan konstuksinya dilaksanakan
dengan cara penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang merupakan suatu
cara penelitian yang menghasilkan dua data deskriptif dan komparatif.
Penelitian ini melakukan kegiatan inventarisasi bahan-bahan hukum sekaligus
juga mengidentifikasikan berbagai peraturan dibidang Hukum Adat khususnya
mengenai perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian orangtuanya.
Analisis data dilakukan dengan cara yaitu data yang diperoleh dianalisis
secara kualitatif, kesimpulan diambil dengan menggunakan cara berpikir induktif

36

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Roskdakarya, Bandung, 1991,

hal. 103.

Universitas Sumatera Utara

27

yaitu cara berpikir yang mendasar kepada hal-hal yang bersifat umum dan kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan pokok permasalahannya. 37
Setelah analisi data selesai maka hasilnya kemudian akan disajikan secara
deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti.38 Dari hasil tersebut kemudian ditariklah kesimpulan yang
merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

37

Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, Tarsito,
Bandung, 1994, hal. 17.
38
H. B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta,
hal. 37.

Universitas Sumatera Utara