Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Di Medan).

28

BAB II
HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR DALAM HAL
TERJADI PERCERAIAN PADA MASYARAKAT
BATAK TOBA KRISTEN DI MEDAN

A. Perceraian dan alasan-alasan Perceraian
Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kehidupan perkawinannya dapat
berlangsung dan bertahan sampai selama-lamanya. Namun kenyataan sering kali
tidak sesuai dengan harapan. Adakalanya antara suami istri tidak saling memahami
hak dan kewajiban masing-masing dalam berumah tangga dan hal ini dapat
menyebabkan pertengkaran bahkan perceraian.
Di zaman modern ini kita semakin sering mendengar perceraian dalam rumah
tangga yang diakibatkan salah satunya adalah ketidakcocokan suami istri, dimana
tragisnya yang menderita adalah justru anak-anak hasil pernikahan tersebut. Anakanak menjadi kurang diperhatikan

karena orang tuanya sibuk mengurus

perceraiannya.
Perceraian merupakan masalah keluarga yang tidak hanya melibatkan suami

istri

saja,

melainkan

pada

kebiasaannya

seluruh

keluarga

ikut

serta

menyelesaikannya.39 Keluarga merupakan satu kesatuan yang tidak hanya
menyangkut suami istri saja tetapi juga menyangkut anak-anaknya.

Adapun yang menjadi alasan-alasan perceraian pada umumnya adalah kerena
adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga menimbulkan

39

Lili Rasjidi, Aneka Hukum Malaysia dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal. 9.

28

Universitas Sumatera Utara

29

pertengkaran terus menerus yang tidak dapat dihindarkan, tidak adanya keturunan,
suami suka mabuk-mabukan, serta alasan lainnya yaitu suami tidak memberikan uang
belanja dan uang sekolah anak.
Menurut pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menetapkan bahwa
perkawinan yang telah di bentuk dapat putus, antara lain oleh karena :40
1.


Kematian

2.

Perceraian dan

3.

Atas Keputusan Pengadilan.
Penyebab putusnya perkawinan karena kematian disebabkan oleh karena salah

satu dari suami/isteri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih
dahulu, sehingga pernikahan menjadi putus.
Putusnya perkawinan oleh karena perceraian disebabkan oleh karena adanya
ketidakcocokan diantara para pihak suami/isteri dalam melanjutkan kehidupan rumah
tangganya. Sehingga salah satu pihak mengajukan gugatan ke pengadilan,
diantaranya oleh karena salah satu pihak meninggalkan pihak yang lainnya selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin, salah satu pihak berbuat zinah, pemabuk,
penjudi, penganiayaan, serta perselisihan terus menerus.
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusan

perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh hakim pengadilan. Selain itu
juga disebabkan oleh karena salah satu pihak dalam perkara perceraiannya tidak hadir
dalam putusan perceraiannya.
40

Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

30

Menurut Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan 4
(empat) alasan perceraian, terdiri atas :
1.

Zinah

2.

Meninggalkan pihak yang lain tanpa alasan yang sah dari salah satu pihak selama

5 (lima) tahun berturut-turut pasal 211 KUHPerdata

3.

Dihukum penjara selama 5 (lima) tahun lamanya atau lebih setelah perkawinan
terjadi

4.

Menimbulkan luka berat atau melakukan penganiayaan, yang membahayakan
hidup pihak yang lain.
Kemudian 4 (empat) alasan dalam pasal 209 KUHPerdata ini diperluas oleh

yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1968 Nomor 105 K/Sip/1968,
tentang diterimanya onheelbare tweespalt, sebagai alasan perceraian, yaitu dalam hal
terjadi perceraian atau pertengkaran antara suami istri secara terus menerus dan tidak
mungkin didamaikan lagi.41
Menurut pasal 39 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 jo pasal 19
PP Nomor 9/1975, alasan terjadinya perceraian adalah :
1.


Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan

2.

Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya.
41

Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga,
Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, hal.124.

Universitas Sumatera Utara

31

3.


Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.

5.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6.

Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pegangan hidup mereka sejak

dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat

dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.42 Orang yang taat pada agamanya tidak
mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya.
Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-peraturan yang
memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.43
Perkawinan dalam masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci
maksudnya perpaduan hakekat kehidupan antara laki-laki dan perempuan menjadi
satu dan bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.44 Adanya kesatuan
antara suami istri akan menghasilkan keturunannya kelak. Perkawinan pada
masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip

42
Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas
Trisakti, Jakarta, 1990, hal. 11.
43
Chainur Arrasid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal.5.
44
Raja Marpondang Gultom, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Penerbit CV.
Armanda, Medan, hal.377.

Universitas Sumatera Utara


32

keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal, maksudnya garis keturunan dari
anak laki-laki.45
Pada masyarakat Batak Toba tidak dianjurkan bercerai karena sifat
perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah monogami, yaitu hanya ada satu
istri dan satu suami. Namun pada jaman dahulu seorang suami diperbolehkan untuk
mempunyai istri lebih dari satu disebabkan karena alasan-alasan tertentu yaitu oleh
karena tidak memiliki keturunan. Dalam masyarakat Batak Toba, anak merupakan
penerus keturunan yang akan membawa marga keluarganya di tengah-tengah
masyarakat.46
Menurut Bapak Sakti Silaen, tidak satupun hal yang mendukung namanya
cerai, kecuali karena zinah. Oleh karena adanya zinah seorang istri bisa ditinggalkan,
kalau tidak karena zinah maka ia tetap dianggap sebagai istri sah dalam adat. Dan
apabila suami menikah lagi dengan orang lain, maka dalam adat Batak dianggap
memiliki 2 (dua) istri. Pada jaman dahulu masyarakat Batak Toba banyak memiliki
istri lebih dari satu, hal ini bisa dilakukan oleh karena tidak ada larangan dalam adat
dan pada jaman dahulu ada anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki, istilahnya
“maranakhon sapuluh pitu marboru sapuluh onom (memiliki 17 anak laki-laki dan 16

anak perempuan).” Namun hal ini terjadi sebelum kekristenan masuk ketanah Batak,
setelah kekristenan masuk banyak orang Batak yang tidak melakukannya lagi.47

45

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberry, Yogyakarta, 1981, hal. 107.
Hasil wawancara dengan Belsink Sihombing, Pendeta HKBP Sudirman Medan, pada
tanggal 25 Juli 2012, pukul 16.00 WIB.
47
Hasil wawancara dengan Sakti Silaen, Panatua Adat Batak Toba, pada tanggal 25 Oktober
2012, pukul 20.00 WIB.
46

Universitas Sumatera Utara

33

Dalam adat Batak Toba kata cerai disebut sirang. Kata sirang atau marsirang
dikenal sebagai terjemahan cerai atau bercerai. Arti asli kata sirang adalah
lepas. Sirang dalam bahasa batak toba tidak sepenuhnya sama dengan cerai menurut

arti dari Undang-Undang. Kesamaan sirang dengan cerai menurut undang-undang
ialah bahwa antara suami istri hidup terpisah (tidak serumah), suami istri tidak ada
ikatan lagi, dan perbedaanya ialah cerai menurut undang-undang akan dikeluarkan
bukti autentik yaitu akta cerai sementara sirang tidak ada dikeluarkan bukti apapun
karena hanya berupa ucapan diantara para pihak, sehingga dengan demikian anak
otomatis akan ikut dengan bapaknya kecuali anak yang masih menyusui akan ikut
dengan ibunya dan begitu dia lepas menyusui dengan ibunya maka anak itu akan
diambil kembali oleh bapaknya. Dan dalam batak toba sangat dimungkinkan sekali
apabila suatu saat mereka kembali lagi menjadi suami istri.48
Ada juga kata dipaulak yang artinya dipulangkan atau dikembalikan. Dalam
hal ini isteri dipulangkan kepada orang tuanya. Dipaulak maksudnya adalah seorang
istri dikembalikan lagi kepada orang tuanya dengan maksud agar orang tuannya
menasehati kelakuan dan mengajari lagi anak perempuannya tersebut untuk bersikap
dan melakukan perbuatan yang menghormati suami dan keluarga suaminya.
Umumnya dipaulak dilakukan karena istri tersebut sudah tidak menghormati dan
mendengar kata-kata suami, misalnya istri yang suka keluyuran sehingga
menelantarkan suami dan anak-anaknya di rumah. Dan apabila si istri sudah
menyadari dan menerima kesalahannya serta mau berubah maka ia bisa kembali
48

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

34

pulang ke rumahnya serta tinggal dengan suami dan anak-anaknya lagi. Hal ini
hampir sama dengan pisah meja dan ranjang tetapi perbedaanya dalam sirang tidak
ditentukan berapa lama batas waktu sirang supaya dapat kembali lagi.49
Adapun alasan perceraian dalam adat yang diperbolehkan diantaranya adalah
adanya pertengkaran antara suami/istri secara terus menerus, dan karena tidak
memiliki keturunan.50
Masyarakat Batak Toba pada umumnya kebanyakan menganut agama Kristen.
Agama dan budaya itu dalam Batak Toba hampir tidak dapat dipisahkan. Seperti
halnya dengan adat perkawinan, setelah adanya pemberkatan dari gereja ada lagi
acara yang meriah berupa pesta adat. Dalam perkawinan ini semua ikatan keluarga
baik dari pihak laki-laki, perempuan, tulang (paman), dan semua keluarga
memberikan berupa nasihat agar kelak nantinya keluarga itu menjadi keluarga yang
rukun dan keluarga yang gabe (menjadi/mendapatkan) anak laki-laki dan anak
perempuan yang baik/sehat. Dalam suku Batak Toba khususnya yang beragama
Kristen, ikatan adat atau budaya itu masih melekat dan agama itu masih dijunjung
tinggi. 51
Dalam adat Batak Toba perceraian itu jarang terjadi, di mana dalam adat
Batak Toba ada istilah “apapun akan dilakukan agar perceraian itu tidak terjadi”,
ikatan budaya itu masih kuat. Namun dalam perkembangannya, banyak di temukan
sekarang ini keluarga Batak Toba khususnya yang beragama Kristen sudah
49

Op.Cit, Belsink Sihombing.
Ibid.
51
Ibid
50

Universitas Sumatera Utara

35

melakukan perceraian, kebanyakan orang memilih melakukannya dengan menempuh
jalur hukum di pengadilan. Sehingga dengan demikian tiap tahun semakin bertambah
orang Batak Toba yang melakukan perceraian.52
Dengan adanya adat yang mengikat diharapkan akan mempersempit
kesempatan orang untuk bercerai. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi
sehingga perceraian itu sangat rendah. Agama juga yang sangat mendukung untuk
menolak terjadinya perceraian. Dalam agama Kristen, bahwa sahnya suatu
perkawinan harus diberkati digereja oleh Pendeta.53 Acara pemberkatan nikah
tersebut dilakukan untuk memberi kepastian bahwa perkawinan itu sah menjadi
suatu hubungan suami isteri antara kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan Pasal 1
ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Dalam acara pemberkatan tersebut, kedua mempelai sama-sama berjanji
untuk sehidup semati, baik dalam suka maupun duka, seperti tertulis, “Karena itu,
apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia ( Markus 10 : 9).”
Pernikahan Kristen di pandang sebagai kontrak publik dihadapan para saksi
dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dengan saling setuju dan
dilakukan secara bebas membuat janji-janji tak bersyarat untuk setia seumur hidup
satu kepada satu kepada yang lain dengan pertolongan Tuhan.54
Setelah adanya pemberkatan nikah di gereja maka perkawinan tersebut harus
disahkan lagi dalam administrasi Negara yaitu di hadapan Pegawai Catatan Sipil yang
52

Ibid
Ibid
54
Ibid
53

Universitas Sumatera Utara

36

biasanya di laksanakan di salah satu ruangan gereja yang biasa disebut ruang biduk
perhobasan (ruang persiapan). Kedua mempelai dan orang tuanya sebagai
saksi dalam pencatatan perkawinan tersebut.55
Setelah adanya pemberkatan yang dilakukan di gereja, selanjutnya
dilaksanakan upacara adat. Dalam upacara adat sebagaimana kebiasaaan pada
masyarakat Batak Toba yang tujuannya untuk mensahkan perkawinan itu secara
hukum adat. Dengan dilaksanakan adat tersebut, maka perkawinan tersebut telah sah
dan kedua mempelai telah mempunyai kedudukan dalam masyarakat adat.
Dalam upacara tersebut dilakukan untuk manggarar utang (membayar utang)
kepada kerabat yang bersangkutan sesuai dengan adat Batak Toba. Dalam hal ini
peran dari Dalihan Na Tolu sangat di butuhkan. Perkawinan orang Batak haruslah
diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta
Catatan Sipil. Artinya segala perkawinanyang telah dilaksanakan, selanjutnya
dilakukan pencatatn dikantor catatan sipil untuk mendapat kelengkapan administrasi
negara.56
“Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosialkulturan yang
menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Na Tolu menjadi
kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan
perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat Batak, Dalihan
Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu
konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga
tungku tersebut adalah :57

55

Ibid
Ibid
57
http;//id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu, diakses pada tanggal 1 Nopember 2012
pukul 10.05 wib.
56

Universitas Sumatera Utara

37

1. Somba Marhula-hula : ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi
“menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba,
yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini
tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba
marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah
kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak),
kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi, kelompok marga istri
anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan
seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber
berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh
dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hula tidak ada istri,
tanpa istri tidak ada keturunan.
2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang
yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak
perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita
(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu
borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang tanpa
boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
3. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama
marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati-hati
dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi
marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini
menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga
dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran
Dalihan Na Tolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati
(masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral : saling menghargai dan
menolong”.
Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekarabatan patrilineal atau garis
kebapakan atau mempertahankan garis keturunan laki-laki yang melakukan
perkawinan dalam bentuk perkawinan jujur (sinamot), dimana isteri setelah kawin
masuk dalam kekerabatan suami dan termasuk anak-anak berada dibawah kekuasaan
suami/bapak. Setiap perkawinan yang dilaksanakan seperti yang telah dijelaskan
diatas, mengharapkan hubungan perkawinan itu kekal sampai selama-lamanya. Akan

Universitas Sumatera Utara

38

tetapi tidaklah mudah untuk menjalaninya. Diperlukan usaha dan kerja sama yang
baik antara pihak suami dan pihak isteri.
Setiap orang pasti menginginkan keluarganya tetap harmonis sampai beranak
cucu, tidak jarang dalam kehidupan nyata banyak keluarga yang gagal di tengah
jalan. Dengan berbagai alasan yang diyakini bisa menjadi syarat untuk melakukan
perceraian. Dalam hal putusnya perkawinan akibat perceraian, suami istri tidak
leluasa untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk memutuskan hubungan
perkawinan tersebut, melainkan terikat juga pada peraturan hukum dan adat yang
berlaku.
Dalam masyarakat Batak Toba terjadinya perceraian sama halnya dengan
perkawinan. Di mana dalam upacara perkawinan agar kedua mempelai tersebut sah
menjadi keluarga dan kekerabatan dalam adat Batak Toba maka disahkan dengan cara
adat yang berlaku dalam Batak Toba. Begitu juga halnya dengan perceraian yang
terjadi pada masyarakat Batak Toba, apabila terjadi perceraian, maka akan
diselesaikan terlebih dahulu secara adat. Maka terlebih dahulu dikumpulkan
pengetua-pengetua adat dan juga kekerabatan dari

Dalihan

Na

Tolu

untuk

membicarakan hal-hal yang terjadi diantara kedua belah pihak. Disini Dalihan Na
Tolu

menanyakan

kedua

belah

pihak

yang

berperkara

dan

berusaha

untuk mendamaikannya, akan tetapi apabila tidak dapat lagi didamaikan dan kedua
belah pihak berkeras untuk bercerai, maka para penetua adat tersebut memutuskan

Universitas Sumatera Utara

39

untuk bercerai. Perceraian secara hukum adat tetap dianggap sah sepanjang hukum
adat tersebut masih berlaku pada masyarakat setempat.58
Pada dasarnya masyarakat Batak Toba tidak menyetujui adanya perceraian,
namun kenyataannya bahwa kerapkali terjadi ketidakcocokan antara suami istri yang
berlangsung terus menerus. Tidak ada satupun alasan yang memperbolehkan
terjadinya cerai kecuali karena zinah.59
Jika seorang suami atau istri meninggalkan suatu perkawinan karena sesuatu
alasan selain perzinahan, mereka harus tetap membujang (tidak boleh kawin). Ada
dalam Alkitab, “Terhadap mereka yang sudah kawin, inilah perintah saya: Seorang
wanita yang sudah kawin janganlah meninggalkan suaminya. Tetapi kalau ia sudah
meninggalkannya, ia harus tetap tidak bersuami, atau kembali kepada suaminya. Dan
seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya” (1 Korintus 7:10-11). Kalau sudah
kawin dengan seseorang yang tidak beriman kepada Tuhan bukanlah alasan yang
dapat diterima untuk perceraian.60
Alasan perceraian pada masyarakat Batak Toba beragama Kristen di Kota
Medan disebabkan oleh karena beberapa faktor yaitu :61
1.

Faktor ekonomi
Adapun faktor ekonomi menjadi suatu faktor penyebab perceraian oleh karena
adanya berbagai kebutuhan keluarga yang harus terpenuhi, sementara mata

58

Ibid
Op.Cit. Sakti Silaen.
60
Op.Cit. Belsink Sihombing
61
Ibid
59

Universitas Sumatera Utara

40

pencaharian dari suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari rumah tangga. Kehidupan dan pergaulan dikota menyebabkan
keinginan istri untuk memiliki barang-barang seperti perhiasan, makan di mall,
belanja di mall sementara untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah tidak terpenuhi.
Istri sering menuntut lebih, sulit mengatur keuangan rumah tangga, sehingga hal
inilah menyebabkan percekcokan di dalam keluarga.
Selain itu, adanya kesenjangan penghasilan yang di dapat oleh suami dan istri
turut menjadi penyebab gagalnya perkawinan. Hal ini disebabkan oleh karena
istri memiliki penghasilan lebih tinggi daripada suaminya. Suami penghasilannya
kecil, atau bahkan tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran juga menjadi
penyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga.
2.

Faktor perselingkuhan/ zinah
Dari hasil wawancara dengan Amang Pendeta Belsink Sihombing dapat
diketahui

bahwa

perceraian

perselingkuhan/perzinahan

banyak

yang

disebabkan
terjadi.

Untuk

oleh

karena
alasannnya

perselingkuhan/perzinahan itu sendiri Amang Pendeta tidak dapat mejelaskannya
secara rinci, karena hal tersebut menyangkut masalah pribadi dari pasangan
suami istri. Namun hal itu banyak terjadi, hal ini dapat dilihat dalam
kenyataannya bahwa ada pasangan suami istri yang bertengkar, tidak lama
berpisah, suami sudah jalan dengan wanita lain. Hal inilah yang menyebabkan
suami istri terus bertengkar, dan menyebabkan istri meminta gugatan cerai
kepada suaminya.

Universitas Sumatera Utara

41

3.

Faktor cara berpikir dan pertengkaran
Adapun cara berpikir turut menjadi penyebab perceraian, pemikiran yang
negatif mengenai kelakuan pasangannya, mengenai pekerjaannya dan apa yang
dilakukannya hingga larut malam menjadi bahan pertengkaran.
Dari hasil wawancara dengan Amang Pendeta Belsink Sihombing bahwa
kebanyakan orang selalu berpikir negatif duluan daripada berpikir positif. Hal
inilah yang menyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga. Misalnya suami
pulang hinga larut malam tiap harinya dalam kondisi mabuk, alasannya kerja
namun tidak membawa duit sementara anak dan istri dirumah menunggu dan
tidak makan. Saat pulang kerumah, hal inilah yang menyebabkan terjadilah
pertengkaran terus menerus dan tidak dapat terhindarkan, bahkan kadang kala si
suami karena dalam kondisi mabuk dan emosi yang tinggi memukul istri.

4.

Intervensi orangtua
Dari hasil wawancara dengan Amang Pendeta Belsink Sihombing, dapat
diketahui bahwa intervensi orangtua dalam rumah tangga anaknya sangat sering
terjadi, umumnya intervensi ini berasal dari orangtua suami. Banyak alasan yang
menyebabkan masuknya intervensi orangtua yaitu karena orangtua suami tidak
menyukai kelakuan dari istri anaknya. Orangtua dari pihak suami inginnya
bahwa menantu perempuannya harus hormat dan tunduk kepada mertuanya juga,
misalnya menantu harus membuatkan kopi atau teh kepada martuanya.
Selain itu intervensi orangtua dalam rumah tangga anaknya adalah dalam hal
anak dan menantunya tidak mampu memberikan seorang cucu kepada mereka.

Universitas Sumatera Utara

42

Kehidupan tanpa hadirnya seorang anak yang ditunggu-tunggu kehadirannya tak
kunjung datang, sementara dalam masyarakat Batak Toba anak adalah penerus
keturunan. Banyak hal yang menyebabkan tidak adanya keturunan, diantaranya
karena kemandulan, pihak istri menderita penyakit yang tidak dapat di
sembuhkan.
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba Kristen yaitu perceraian
pada Batak Toba Kristen itu sekarang ini yang telah banyak ditemui.
Kebanyakan orang Batak Toba Kristen sekarang ini melakukan perceraian lewat
jalur hukum yaitu dengan mendaftarkan gugatannya ke pengadilan. Dapat dilihat
dari data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan yang melakukan
perceraian secara hukum. Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri
Medan diperoleh data mengenai perkara yang diterima dan diputus adalah
sebagai berikut :
Tabel 1
Perkara Perdata yang Diterima dan Diputus di Pengadilan Negeri Medan
dari Tahun 2010 s/d 2012

2010

Sisa
302

Jumlah
Baru
580

Jumlah
882

2

2011

352

42

3

2012

304

358

No

Tahun

1

Diputus

Sisa

557

325

394

90

304

662

-

-

Sumber : Laporan Register Perkara Perdata Pengadilan Negeri Medan

Universitas Sumatera Utara

43

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa perkara perdata yang diterima tahun
2010 berjumlah 882 perkara, yang diputus berjumlah 557 perkara, tahun 2011 perkara
yang diterima berjumlah 394 perkara dan diputus 90 perkara. Dan pada tahun 2011
(oktober) berjumlah 662 perkara.
Tabel 2
Perkara Perceraian yang Diterima di Pengadilan Negeri Medan
dari Tahun 2010 s/d 2012
Tahun

Batak Toba

Perceraian Umum

Jumlah

2010

88 kasus

142 kasus

230 kasus

2011

75 kasus

187 kasus

262 kasus

2012 (30 Oktober)

74 kasus

215 kasus

289 kasus

Sumber : Laporan Register Perkara Perdata Pengadilan Negeri Medan
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang diterima
tahun 2010 berjumlah 230 perkara, 142 perkara perceraian non Batak Toba dan 88
perkara adalah perkara perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen. Tahun 2011
berjumlah 262 perkara, 187 perkara non Batak Toba dan 75 perkara adalah perkara
perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen. Tahun 2012 berjumlah 289 perkara,
215 perkara non Batak Toba dan 74 perkara adalah perkara perceraian pada
masyarakat Batak Toba Kristen.
Selain wawancara yang dilakukan terhadap informan yaitu

hakim di

Pengadilan Negeri Medan maka penelitian juga dilakukan terhadap beberapa putusan
Pengadilan Negeri Medan yang dapat di jadikan sampel penelitian. Penelitian ini
dilakukan terhadap keluarga Batak Toba yang telah bercerai dan mempunyai anak di

Universitas Sumatera Utara

44

bawah umur dengan menyebarkan kuesioner pada responden, sehingga terpilih 5
(lima) orang tua laki-laki yang telah bercerai, 5 (lima) orang orang tua yang telah
bercerai dan 5 (lima) orang anak-anak di bawah umur yang orang tuanya telah
bercerai. Dari hasil penelitian yang diperoleh dari jawaban responden atas pertanyaan
kuesioner perlindungan hukum terhadap hak asuh dan nafkah anak setelah perceraian
dalam praktek dan pengadilan dapat diketahui bahwa :
Tabel 3
Karakteristik responden yang bercerai menurut umur
n=10
No
1
2
3
4
5
6

Umur

26 - 30
31 - 35
36 - 40
41 - 45
46 - 50
51 - 55
Jumlah
Sumber : Data Primer

Orang tua
Laki-laki
2
1
1
1
5

Orang tua
Perempuan
2
1
1
1
5

Frekuensi

Persen (%)

4
1
2
2
1
10

40
10
20
20
10
100

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa orang tua laki-laki dan orang tua
perempuan yang yang bercerai yang paling banyak berusia 31-35 tahun (40%), dan
diikuti masing-masing usia 36-40 tahun dan 51-55 tahun masing-masing (10%),
berusia 41-45 tahun sebesar 20% dan usia 46-50 tahun sebesar (20%) .
Tabel 4
Karakteristik responden yang bercerai menurut tingkat pendidikan
n = 10
Orang tua Orang tua
Frekuensi
Persen (%)
No
Umur
Laki-laki Perempuan
1 SD
2 SMP
3 SMA/SMK/STM
2
1
3
30
4 Sarjana
3
4
7
70
Jumlah
5
5
10
100
Sumber : Data Primer

Universitas Sumatera Utara

45

Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Sarjana
merupakan tingkat pendidikan yang paling tinggi yaitu sejumlah 70%, kemudian
diikuti oleh tingkat pendidikan SMA yaitu 30%.
B. Akibat Perceraian
Putusnya perkawinan yang terjadi antara suami isteri dapat menimbulkan
akibat terhadap perkembangan dan penghidupan anak. Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian diatur dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Ada tiga akibat
putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu :
1.

Terhadap anak-anak

2.

Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan)

3.

Terhadap nafkah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi
talak berupa benda atau uang dan lainnya).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akibat perceraian ialah :

a.

Bahwa istri mendapatkan kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin.
Persatuan harta perkawinan menjadi terhenti, dan dapat dilakukan pemisahan dan
pembagiannya. Harta besama dibagi dua (pasal 128 KUHPerdata),

b.

Kekuasaan orang tua juga menjadi terhenti. Untuk anak dibawah umur
diserahkan kepada pengadilan, siapa yang ditunjuk menjadi wali (pasal 229 ayat
1 KUHPerdata)

c.

Kewajiban memberi nafkahpun akan terhenti kecuali apa yang diatur dalam pasal
225 KUHPerdata (bila suami atau istri yang atas permohonannya dinyatakan

Universitas Sumatera Utara

46

perceraian, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya
penghidupan, maka Pengadilan Negeri akan menetapkan pembayaran tunjangan
hidup baginya dari harta pihak yang lain.
Dengan demikian akibat perceraian menurut KUHPerdata, seorang istri yang
telah bercerai akan kembali statusnya menjadi tidak kawin, harta bersama menjadi
tidak ada oleh karena telah dibagi diantara suami/istri, kekuasaan orang tua menjadi
terhenti oleh karena pengadilan telah menunjuk salah satu menjadi wali anak.
Akibat perceraian menurut Pasal 41 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun
1974 adalah :
a.

Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

b.

Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut,

c.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Dengan demikian baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anak berdasarkan kepentingan anak, ayah bertanggung jawab atas
nafkah namun bilamana ayah tidak dapat memenuhinya maka ibu juga ikut
memikulnya. Dalam hal terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak maka
pengadilan yang akan memutus, dan juga pengadilan dapat mewajibkan bekas suami
memberikam penghidupan bagi bekas istrinya.

Universitas Sumatera Utara

47

Tabel 5
Karakterisitik responden yang bercerai menurut Pekerjaan
n = 10
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Orang tua
Laki-laki
1
3
1
5

Umur
PNS
Pegawai BUMN
Pegawai Swasta
Pegawai Honorer
Petani
Berdagang
Wiraswasta
Bekerja tidak tetap
Ibu Rumah Tangga
Jumlah

Orang tua
Perempuan
3
2
5

Frekuensi

Persen

4
3
1
2
10

40
30
10
20
100

Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa pekerjaan responden yang paling
banyak adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu (40%), diikuti pekerjaan sebagai
wiraswasta sebesar 30% kemudian diikuti dengan responden Ibu Rumah Tangga
sebesar 20% dan bekerja tidak tetap 10%.
Tabel 6
Tanggung jawab suami/istri dalam memenuhi biaya hidup anak
n=10
Yang bercerai

Memenuhi

No

Kadang
Tidak
memenuhi
kadang

Suami
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

EM
RS
RM
BM
A
JM
BM
FS
DP
FS
Jumlah
Sumber : Data Primer




3






5



2

Persentase
Memnuhi

Tidak
memenuhi

Kadngkadang

30%

50%

20%

100%

Universitas Sumatera Utara

48

Dari tabel di atas diketahui setelah terjadi perceraian ternyata banyak suami
yang tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk membiayai kehidupan anak-anaknya.
Dari tabel diatas suami/isteri yang telah bercerai diketahui jumlah terbesar ada 5
(lima) orang (50%) suami yang tidak memenuhi tanggung jawab terhadap biaya
hidup anak, 3 (tiga) orang yang memenuhi (30%) dan 2 (dua) orang atau sebesar
(20%) juga yang memenuhi namun tidak rutin.
Tabel 7
Biaya Hidup (nafkah) untuk anak
No
1
2
3

Uraian
Ditanggung seluruhnya oleh suami
Kadang-kadang suami memberikan
Ditanggung oleh istri karena :
a. Suami kurang mampu secara ekonomi
b. Istri mampu dan sanggup membiayai kehidupan
anaknya
c. Suami tidak memberikan biaya hidup anak
sama sekali

Jumlah
3
2
2

n=10
Persen (%)
30
20
20

3

30

Jumlah

10

100

Sumber : Data Primer

Dalam hal mengenai biayai hidup dibebankan kepada aorang tua laki-laki
(ayah). Dari tabel diatas terlihat bahwa hanya 30% suami yang memberikan biaya
hidup kepada anaknya. Ada suami yang kadang-kadang saja memberikan biaya hidup
bagi anaknya 20% dan adapula bapak tidak memberikan biaya hidup anak dibawah
umur disebabkan karena suami sekali tidak mau tahu mengenai keadaan anak yaitu
sebanyak 30%. Kemudian ditanggung oleh isteri karena suami isteri mampu dan
sanggup membiayai kehidupan anak yang masing-masing sebanyak 20%.

Universitas Sumatera Utara

49

Dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian dapat menimbulkan akibat
terhadap anak. Keluaga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah
satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak
terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia
pergi.62 Hal ini menyebabkan yaitu :
a.

Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan
orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing
sibuk mengurus permasalahannya.

b.

Kebutuhan fisik dan psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan
harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan
kompensasinya.

c.

Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan
untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan hidup disiplin dan kontrol diri yang
baik. Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa
terabaikan.
Berbagai macam alasan perceraian akan membawa dampak yang tidak baik

bukan hanya terhadap hubungan antara mantan suami isteri saja, namun juga terhadap
hubungan dengan anak-anaknya. Anak merupakan korban utama akibat perceraian
orang tuanya, anak yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang orang
tuanya menjadi terabaikan, selain itu juga mengganggu perkembangan psikis dari
anak-anaknya.
62

Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian,UNS, Semarang, hal.29.

Universitas Sumatera Utara

50

Pada umumnya masyarakat Batak Toba menginginkan perkawinan yang telah
dilangsungkan dapat terus berjalan dan bertahan untuk selama-lamanya sebab dalam
masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen tidak mengenal istilah perceraian.
Masyarakat Batak Toba sebagian besarnya beragama Kristen, oleh karenanya
kehidupannya dipengaruhi oleh unsur-unsur agama, dimana agama Kristen melarang
perceraian sebab yang dapat memisahkan pasangan suami istri hanya maut. Namun
dalam kenyataan kehidupan masyarakat sekarang, khususnya masyarakat Batak Toba
yang tinggal di kota Medan, perceraian dapat terjadi. Hal ini disebabkan oleh karena
pengaruh dan di dorong oleh berbagai kepentingan kerabat dan orangtua yang tidak
mempunyai hubungan yang baik dengan kerabat istrinya.63
Perceraian yang terjadi antara suami istri menimbulkan akibat terhadap anakanak di bawah umur yaitu adanya pertanggungjawaban suami istri atas kelangsungan
hidup anak-anaknya. Perceraian orangtua tidak boleh mengabaikan kepentingan si
anak.
Dengan adanya perceraian maka akan menimbulkan hak asuh anak,
pernyelesaian perselisihan mengenai hak asuh anak diputuskan oleh Hakim
Pengadilan dengan berbagai pertimbangan apakah hak asuh akan jatuh ketangan ayah
atau ibunya. Umumnya dalam masyarakat Batak Toba, hak pengasuhan anak akan
jatuh ketangan suami, hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba menganut garis
keturunan patrilineal. Namun dalam hal terdapat anak balita yang masih menyusui,

63

Hasil wawancara dengan Belsink Sihombing, Pendeta HKBP Sudirman Medan, pada
tanggal 25 Juli 2012, pukul 16.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

51

maka anak tersebut akan tinggal bersama dengan ibunya sampai cukup usia untuk di
pisah menyusui (sirang susu) yaitu 2-3 tahun. Suami berkewajiban menafkahi anakanaknya tersebut.
Namun berdasarkan hasil wawancara dengan Amang Pendeta dalam
perkembangannya sekarang hak pengasuhan anak tidak selamanya jatuh ketangan
suami, hal ini disebabkan oleh karena anak memiliki hak asasi yang harus didengar
dimana ia berhak untuk memilih kepada siapa dia akan tinggal, apakah dengan
ayahnya atau dengan ibunya. Dalam hal anak ikut ibunya, maka ayah berkewajiban
untuk tetap memberikan nafkah kepada anak-anaknya tersebut. Berapa besarnya
nafkah yang diberikan kepada anak-anaknya adalah merupakan dari hasil kesepakatan
bersama antara suami istri dengan melihat kepada kemampuan finansial dari suami
terlepas dari penyebab perceraian adalah kesalahan siapa. Apabila suami bekerja dan
memiliki penghasilan sudah wajiblah baginya untuk menafkahi, harus dengan hati
bukan matematis.64
Sementara menurut Bapak Sakti Silaen, dalam hal terjadi perceraian antara
suami istri menimbulkan akibat yaitu dalam gereja mereka mendapat hukum Siasat
Gereja dan dalam adat sanksinya berupa pengucilan oleh masyarakat adat Batak
Toba. Salah satu bentuk pengucilannya adalah bahwa mereka tidak diundang dalam
acara-acara adat. Sedangkan akibat perceraian terhadap anak ialah bahwa anak-anak
wajib ikut dengan ayahnya. Hal ini disebabkan oleh karena hal tersebut merupakan

64

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

52

budaya adat Batak yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Anak-anak dalam
masyarakat adat Batak dianggap sebagai penerus keturunan.65
Dalam hal terjadi perceraian maka berakibat hubungan suami istri menjadi
putus, begitu juga hubungan suami/istri dengan kerabat suami/istrinya dahulu. Hanya
hubungan orang tua dengan anak-anaknya yang tetap terjalin. Umumnya suami/istri
yang cerai mendapatkan hukum Siasat Gereja yaitu sanksi pengucilan. 66
C. Tanggungjawab Pemeliharaan/Hak Asuh dan Nafkah Anak
Keluarga yang harmonis dan bahagia menjadi dambaan setiap keluarga,
namun dalam kenyataannya tidak selamanya dapat diwujudkan. Dalam kehidupan
berumah tangga antara suami istri mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina
dapat berjalan dengan langgeng dan menjadi suatu keluarga yang bahagia dan
harmonis.
Keharmonisan keluarga mempunyai peranan yang cukup besar dalam
perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak kearah yang lebih baik, sebaiknya
hubungan yang kurang harmonis akan menimbulkan perkembangan dan pertumbuhan
anak yang tidak baik dan tidak terkendali.
Anak kelak akan menjadi penerus keturunan yang mana anak mempunyai hak
untuk dipelihara dan dididik dengan baik dan penuh kasih sayang oleh kedua orang
tuanya. Kepribadian seorang anak akan tumbuh dengan baik apabila pendidikan yang

65

Hasil wawancara dengan Sakti Silaen, Panatua Adat Batak Toba, pada tanggal 25 Oktober
2012, pukul 20.00 WIB.
66
Hasil wawancara dengan Rosliana br Hutapea, Masyarakat Adat Batak Toba, pada tanggal
25 Oktober 2012, pukul 20.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

53

diberikan kepada anak tersebut dibarengi dengan perhatian dan kasih sayang yang
dicurahkan secara harmonis oleh kedua orang tuanya, sebaliknya apabila hubungan
antara kedua orang tuanya tidak berjalan dengan harmonis maka perhatian dan kasih
sayang terhadap anak akan menjadi berkurang bahkan tidak diperhatikan dan
diperdulikan sama sekali. Sehingga dengan demikian hubungan antara anak dengan
kedua orang tuanya tidak berjalan dengan baik.
Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua tentu akan mengakibatkan
dampak yang kurang baik, anak yang tidak mendapat perhatian akan mencoba
mencari perhatian diluar. Anak menjadi tidak terurus dan dapat melakukan hal-hal
apapun

sesukanya tanpa adanya pengawasan

orang tua sibuk

mengurus

perceraiannya.
Permasalahan mengenai anak pasca perceraian orangtuanya tidak akan terjadi
sepanjang orangtuanya sama-sama mempunyai iktikad yang baik untuk menjalankan
kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ibu memegang hak
pemeliharaan anak-anak sedangkan ayah memberikan nafkah. 67
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 30 menyebutkan
bahwa “suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Selanjutnya dalam Pasal 45
disebutkan sebagai berikut :
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya.
67

Op.Cit, Belsink Sihombing

Universitas Sumatera Utara

54

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 1 berlaku sampai anak
itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara keduanya putus.
Kewajiban mendidik dan memelihara anak-anak dilakukan oleh kedua orang
tua terhadap anak-anaknya, sampai anak-anaknya menjadi dewasa dan mampu berdiri
sendiri walaupun kedua orang taunya telah bercerai.
Selanjutnya dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut :
1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya.
2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut akan tetapi orang tua tidak
dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak hal tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 49 UU No.1 tahun 74 tentang Perkawinan, sebagai berikut :
“Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga
anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat
yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a.

Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.

b.

Ia berkelakuan sangat buruk.”

Universitas Sumatera Utara

55

Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya mereka masih tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut. Hal ini dilakukan agar
kebutuhan anak-anak akan penghidupan dan perkembangannya tetap terjamin sampai
anak-anak tumbuh menjadi dewasa.
Untuk semakin memperjelas tentang prinsip hukum yang mengatur tentang
biaya nafkah anak

setelah terjadinya perceraian,

dalam hal ini perlu pula

dikemukakan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 41 sebagai berikut :
a.

Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan menentukan keputusannya ;

b.

Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
Kewajiban akan pemeliharaan hidup anak bukan hanya sekedar mencukupi

kebutuhan sehari-harinya saja, akan tetapi juga yang paling penting dan terutama
ialah bahwa ayah dan ibu tersebut mampu untuk mengurus dan membina kepribadian
anaknya dengan benar dan baik sehingga anak tersebut nantinya akan menjadi
manusia yang berguna bagi masa depannya sendiri, keluarganya, dan dalam
kehidupan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

56

Permasalahan mengenai pemeliharaan anak dan biaya nafkah, ayah dan ibu
wajib melaksanakannya. Ibu berdasarkan hak pengasuhannya berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anak dibawah umur sampai dewasa sedangkan ayah
berkewajiban untuk memberkan nafkah anak dalam hal untuk pendidikan, makanan,
dan segala kebutuhan lain yang menunjang perkembangan anak-anaknya sampai
anak-anak tersebut dewasa.
Tindakan orang tua yang mengabaikan pemeliharaan anak ini dapat terjadi
karena orang tua tidak menyadari bahwa walaupun telah bercerai, anak tetap
mempunyai hak untuk mendapatkan perhatian, pemeliharaan dan perlindungan dari
kedua orang tuanya bukan nenek dan kerabat ayahnya.
Pertanggungjawaban mengenai pemeliharaan yaitu hak asuh anak dan nafkah
merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap anak. Namun dalam kenyataannya
ayah yang sudah diwajibkan untuk menafkahi anak-anaknya, dikemudian hari ayah
tersebut sudah tidak perduli lagi akan kewajibannya. Ayah seringkali mengabaikan
kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Oleh karenanya hal
ini menyebabkan anak-anak menjadi terlantar.
Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat
hukum yang harus diperhatikan oleh para pihak yang bercerai, karena dengan
putusnya perkawinan maka bukan berarti juga akan memutus kewajiban para pihak
sebagai ayah dan ibu dalam hal pemeliharaan, pengasuhan dan pemberian nafkah
anak-anaknya. Kewajiban ini dalam lingkungan masyarakat adat di dasarkan pada
sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

57

Pada masyarakat Batak Toba di Medan menganut sistem kekerabatan
patrilineal yaitu dalam hal orang tuanya bercerai maka yang lebih berhak atas
pemeliharaan/hak asuh hidup anak adalah pihak suami/kerabat suami karena
masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal semua anak-anak akan mengikuti
dan meneruskan marga ayahnya, dan kedudukan ini tidak akan berubah walaupun
orang tuanya sudah bercerai. Namun dalam hal anak masih balita (masih menyusui),
hak pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang di bawah umur umumnya akan
jatuh ketangan ibunya.

68

Hal ini sesuai dengan ketentuan agama, adat dan juga

peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang khususnya dalam Undangundang Perkawinan, hal ini disebabkan oleh karena anak-anak di bawah umur masih
sangat memerlukan perhatian dari ibunya.
Namun dalam prakteknya dilapangan, berdasarkan hasil wawancara dengan
Amang Pendeta Belsink Sihombing, bahwa ternyata tidak selamanya pengasuhan
anak diberikan kepada ayahnya. Anak diberikan hak untuk memilih ikut dengan siapa
ia tinggal. Orang Batak jaman sekarang sudah berpikiran maju, sehingga hak
kebebasan anak harus didengar. Dan bicara soal nafkah anak, banyak ayah yang
melalaikan

kewajibannya

tersebut

dengan

berbagai

alasan-alasan

tertentu.

Kebanyakan dari orang tua laki-laki/ayah menyatakan bahwa mereka tidak mau
dibebani tugas untuk mengurus anak sehingga akhirnya anak diserahkan
pemeliharaannya kepada nenek ataupun kerabat ayahnya.69

68
69

Op.Cit, Sakti Silaen
Op.Cit, Belsink Sihombing

Universitas Sumatera Utara

58

Menurut Bapak Sakti Silaen, ayah berkewajiban menafkahi dan memelihara
anak-anak. Sementara untuk anak-anak yang masih di bawah umur, masalah
mengenai nafkah adalah merupakan kesepakatan bersama antara suami istri.
Umumnya suami memberikan nafkah karena ia merasa bertanggungjawab atas
kelangsungan hidup anak-anaknya.70
Sementara berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat
Adat Batak Toba yang tinggal di Medan mengatakan bahwa hak pengasuhan anak
hendaknya diberikan kepada ibu, karena ibu lebih memiliki kedekatan dan lebih
sayang dengan anak-anak dibanding dengan ayah yang lebih sibuk bekerja dan
umumnya rata-rata ayah menikah kembali, dan kalaupun anak jatuh ketangan ayah,
hal itu akan sangat menyiksa anak-anak dari pernikahan pertama, karena sedikit
banyaknya ibu tiri pasti lebih menyayangi anak kandung dibanding anak tiri. Dan
mengenai nafkah anak adalah merupakan kesepakatan bersama. Hendaknya ayah
bertanggungjawab terhadap anak walaupun hak asuh anak ada pada istrinya. Namun
dalam hal suami tidak mau menafkahi, hendaknya istri berusaha sendiri untuk banting
tulang buat menafkahi anak juga.71

70

Op.Cit, Sakti Silaen
Hasil wawancara dengan Rosliana br Hutapea, Masyarakat Adat Batak Toba, pada tanggal
25 Oktober 2012, pukul 20.30 WIB.
71

Universitas Sumatera Utara