Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan)

(1)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

EKSISTENSI PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

( STUDI DI KOTA MEDAN )

TESIS

Oleh

WIRA SUSANTY MANALU

077011073/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 9


(2)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

EKSISTENSI PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

( STUDI DI KOTA MEDAN )

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan Pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

WIRA SUSANTY MANALU

077011073/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 9


(3)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Judul Tesis : EKSISTENSI PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF PADA MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI KOTA MEDAN )

Nama Mahasiswa :Wira Susanty Manalu Nomor Pokok :077011073

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum Ketua

)

(Prof.Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum) (Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS,CN Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B.,M.Sc)


(4)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Telah diuji pada

Tanggal : 2 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Prof. Sanwani Nasution, SH


(5)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

ABSTRAK

Penyelesaian Sengketa Alternatif atau dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa,sesuai Pasal 1 angka 10 Undang–Undang Nomor 30/1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa ” Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah Lembaga Penyelesaian Sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli ” Lembaga ini banyak digunakan oleh masyarakat Batak Toba khususnya di Kota Medan untuk menyelesaikan sengketa yang mereka alami.

Hal tersebut diteliti Penulis dengan memakai metode penelitian deskriptif analisis, yaitu penelitian yang mencari tahu, menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba, serta menganalisa bagaimana masyarakat melakukan usaha untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka. Pendekatan yang dilakukan secara empiris, yaitu penelitian terbuka untuk pengamatan di lapangan berdasarkan studi setempat saat penelitian berlangsung, didukung penelitian kepustakaan sebagai dasar penelitian lapangan.

Hasil penelitian ini adalah bahwa Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif ini sangat efektif berlaku di masyarakat Batak Toba di Kota Medan, karena masyarakat Batak Toba di Kota Medan umumnya menyelesaikan sengketa mereka lewat lembaga ini. Dan hasilnya sangat baik karena penyelesaian lewat cara ini cenderung mengarah pada perdamaian kedua belah pihak sesuai harapan .

Keberhasilan Penyelesaian Sengketa Alternatif ini terjadi karena dalam prakteknya penyelesaian lewat metode ini digerakkan oleh Lembaga Dalihan Natolu yang terdiri dari 3 ( tiga ) unsur yaitu Hula – hula,Dongan Tubu dan Boru. Ketiga unsur ini yang secara aktif terus bergerak mencari solusi bila timbul sengketa antara mereka. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Lembaga Dalihan Natolu berperan sebagai motor penggerak Alternatif Penyelesaian Sengketa apabila terjadi sengketa dalam masyarakat Batak Toba khususnya di Kota Medan.

Kata kunci : Penyelesaian Sengketa Alternatif/Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaga Dalihan Natolu


(6)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

ABSTRACT

The Alternative Dispute Resolution according to article 1 point 10 Act No. 30 of 1999 concerning to Arbitrage and Alternative Dispute Resolution said that “Alternative Dispute Resolution is a institution dispute resolution or dissenting opinion by a determined procedure, that is the resolution out of the court by consultation, negosiation, mediation, concilation or expert opinion”. This instituions use by Batak Toba people specially Batak Toba in Medan city to over their dispute.

This issue studied by the writer by descriptive analysis method, that is a study to seek, to depict, to review and to describe the tradition or custom applied in Batak Toba people and to an analyze how the people settle their lawsuit. The applied approach is empirical approach, that is the study opened for field observation based on local study during the research and supported by the library study as the base of field study.

The results of study indicates that the Alternative Dispute Resolution Institution is effective in the society of Batak Toba in Medan, because the Batak Toba people in Medan over their dispute throught this institution. And this resolution can be settled effectively for the mutual deliberation of both of parties.

The success in Alternative Dispute Resolution is supported by the Dalihan Natolu institution that consists of 3 (three) element, that is Hula-hula. Dongan Tubu and Boru. These three elements take action to settle any dispute among them. In another world, the institution of Dalihan Natolu take a role as motivator. The Alternative Dispute Resolution applied in Batak toba people specially in Medan city.


(7)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan rahmatNyalah Penulis dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul ” Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif pada Masyarakat Batak Toba – Studi di Kota Medan ”.

Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian studi di Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini Penulis banyak memperoleh dorongan, pengarahan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini Penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTMH&H,

SpA(K), yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan studi hingga dapat memperoleh gelar magister di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., dan sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, serta para guru besar dan staf pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan mengajar Penulis dengan sepenuh hati.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Komisi Dosen Pembimbing, serta Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH dan Bapak


(8)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada Penulis di dalam penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Pdt. W.A. Silitonga, SmTh, Pendeta Resort Gereja GKPI Jemaat Perumnas–II Mandala Medan, St. P. Hutabarat, Guru Jemaat Gereja GKPI Jemaat Perumnas–II Mandala Medan, Bapak Salmon Rambe Raja Nalu, Ketua Perkumpulan marga Rambe Kota Medan, Bapak St. Dj. Rambe Raja Nalu, Ketua STM Rim Ni Tahi serta Bapak J. Sigalingging, Ketua Perkumpulan Marga Sigalingging Mandala, yang bersedia diwawancara Penulis dan memberi masukan serta bahan pendukung penulisan tesis ini.

5. Kepada para staf Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah membantu Penulis dalam pengurusan administrasi selama masa perkuliahan berlangsung.

6. Kepada para teman dan sahabat di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang tak dapat Penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas perhatian, dukungan moril maupun materiil, kasih, dan sumbangsih lainnya kepada Penulis.

7. Kepada orang tua tercinta Dj. Manalu dan D. Sigalingging Penulis haturkan sembah sujud dan terima kasih yang amat dalam atas pengorbanan selama ini yang tak dapat Penulis uraikan. Hanya doa semoga orang tua Penulis panjang umur, murah rejeki dan diberkati Tuhan yang dapat Penulis berikan sebagai balasannnya yang tak senilai dengan pengorbanan selama ini kepada Penulis.

8. Secara khusus Penulis ucapkan kepada Suami tercinta, Kapt. Inf. R. M. Aritonang, terima kasih pengertian, cinta kasih yang tulus,

dukungan, bimbingan, perhatian, pengorbanan yang Penulis terima selama ini. 9. Kepada Ev. Tio Damra Hasugian dan Ev. Hezkiel Hasugian, terimakasih untuk

doa, nasihat serta dorongan untuk tetap kuat serta persekutuan di dalam Tuhan yang sangat indah selama ini.


(9)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Penulis menyadari bahwa tesis ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis terlebih dahulu memohon maaf apabila ditemukan kesalahan dalam penulisan tesis ini. Penulis juga sangat mengharapkan saran dan kritik demi kemajuan kita bersama Atas perhatiannya Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 2 September 2009

Penulis


(10)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

RIWAYAT HIDUP

A. Keterangan Pribadi

1. Nama : Wira Susanty Manalu 2. Tempat/ Tanggal Lahir : Medan / 14 Agustus 1981 3. Status Perkawinan : Menikah

4. Alamat : Komplek Perumahan Asrama Rindam I – BB Blok I – 16 P. Siantar

5. Pekerjaan : Ibu rumah tangga 6. Agama : Kristen Protestan B. Keterangan Keluarga

1. Nama Orang Tua :

a. Ayah : Dj. Manalu

b. Ibu : T. D. Sigalingging

2. Nama Suami : Kapt. Inf. R. M. Aritonang

C. Riwayat Pendidikan

1. SD ST. Antonius VI – Medan Tahun 1994 2. SLTP Katolik Tri Sakti I – Medan Tahun 1997 3. SMU Kristen Immanuel – Medan Tahun 2000 4. S1 Fakultas Hukum USU – Medan Tahun 2005 5. Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan


(11)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ………... iii

RIWAYAT HIDUP ………... vi

DAFTAR ISI ………. vii

DAFTAR LAMPIRAN ………. ix

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah ……….. 12

C. Tujuan Penelitian ……….. 12

D. Manfaat Penelitian ……… 13

E. Keaslian Penelitian ………. 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 15

1. Kerangka Teori ……….. 15

2. Konsepsi ……… 27

G. Metode Penelitian ………. 29

1. Sifat dan Jenis Penelitian ……… 29

2. Lokasi Peneltian ………. 30

3. Teknis Pengumpulan Data ………. 30

4. Bahan Penelitian ………. 31

5. Analisis Data ……….. 31

BAB II PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ………… 33

A. Bentuk – bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif Yang Berkembang di Kota Medan ……….. 33


(12)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

B. Penyebab Masyarakat Batak Toba di Kota Medan Memilih untuk Menyelesaikan Sengketa Lewat Penyelesaian

Sengketa Alternatif .. ……….. 48

BAB III JENIS – JENIS SENGKETA YANG TERJADI PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ………… 68

A. Peranan Lembaga Dalihan Natolu dalam Penyelesaian Sengketa Alternatif ……… 68

B. Jenis – jenis Sengketa Pada Masyarakat Batak Toba ….……… 70

B.1. Sengketa di Bidang Hubungan Kekeluargaan ……..…….. 71

1.1. Sengketa di bidang warisan ………. 71

1.2. Sengketa di Bidang Perkawinan dan Perceraian …….. 75

B.2. Sengketa di Bidang Hubungan Kemasyarakatan …………. 82

2.1. Sengketa Tanah ………. 82

2.2. Sengketa Adat ……..……….. 85

2.3. Sengketa Karena Pasangan Muda-Mudi Kawin Lari (Mangalua) ………. 87

2.4. Sengketa di Bidang Pidana Adat ………..…. 89

BAB IV KEBERHASILAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN .. 96

A. Peran Dan Keberadaan Penyelesaian Sengketa Alternatif Dalam Menyelesaikan Sengketa Pada Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan ………. 96

B. Keberhasilan Penyelesaian Sengketa Alternatif Dalam Menyelesaikan Sengketa Masyarakat Batak Toba di Kota Medan……….. 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 106

A. Kesimpulan ………. 106

B. Saran ……….... 109


(13)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Izin Penelitian dari Gereja Kristen Protestan Indinesia (GKPI)……… 114 2. Izin Penelitian dari Penguan Pomparan Tuan Sumeraham Rambe

Boru, Bere Medan Sekitarnya ……….. 115 3. Izin Penelitian dari Parsadaan Marga Sigalingging Dohot Boruan

(Parmasna) Sektor Mandala-Medan ………. 116 4. Izin Penelitian dari Serikat Tolong Menolong (STM) Rim Ni Tahi … 117


(14)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam etnis, suku, budaya dan adat istiadat yang berbeda – beda. Suku, budaya, etnis, maupun adat istiadat tersebut memiliki corak yang unik, hanya dimiliki oleh suku yang bersangkutan tersebut dan tidak dimiliki oleh suku lain.

Suku, budaya dan adat istiadat tersebut mempengaruhi gaya dan pola hidup mereka, yang pada akhirnya membentuk pula tatanan sosial kemasyarakatan masing – masing, dimana tatanan tersebut akhirnya dipakai dalam pergaulan hidup sehari hari yang bersifat intern, (hanya berlaku di dalam suku yang bersangkutan dan hanya di antara mereka saja).

Ketentuan yang berlaku di dalam tatanan sosial etnis tersebut karena dipakai dalam pergaulan hidup sehari – hari, dan berlaku secara turun temurun, akhirnya menjadi ‘ kebiasaan ’ yang tidak hanya mencakup peristiwa – peristiwa tertentu, (misalnya hanya pada peristiwa pernikahan) namun juga kemudian mencakup berbagai aspek kehidupan lain, sehingga setiap tatanan sosial selalu membuat hukum yang tidak tertulis namun tetap diindahkan, dipatuhi dan diberlakukan terhadap seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan.

Hal tersebut dikenal dengan sebutan “ tradisi, adat istiadat, budaya, atau

hukum kebiasan ( customary law ) ”. Adapun tradisi, adat istiadat, budaya atau


(15)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

hukum kebiasaan ( customary law ) pada dasarnya memiliki karakteristik atau ciri – ciri sebagai berikut :

1. Dapat dipelajari lewat pepatah – pepatah, cerita rakyat, legenda – legenda, mite, maupun mass media.

2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja.

3. Memiliki simbol – simbol tertentu, yang memiliki makna khusus dan biasanya makna simbol tertentu tersebut dapat dimengerti oleh masyarakatnya.

4. Selalu berubah, dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dari masyarakat budaya tersebut.

5. Bersifat adaptif, dimana kebudayaan berubah untuk beradaptasi ( menyesuaikan diri ) dengan dunia yang berubah. Kebudayaan suatu

masyarakat mudah beradaptasi dengan munculnya kebudayaan lain atau bila mengalami benturan dengan budaya asing.

6. Memiliki system yang integral ( terpadu ) sehingga unsur budaya yang satu terkait dengan unsur budaya lainnya. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi juga menyangkut unsur – unsur lain dalam suatu jaringan yang kompleks.1

Susunan hukum adat atau hukum kebiasaan ( customary law ) sebagaimana terurai ciri – cirinya tersebut di atas tersebut dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori atau kelompok yang dinamakan Tiga Kategori Adat di Indonesia. Pembagiannya dapat diambil contoh pada pembagian adat Minangkabau, yaitu :

1. Adat Istiadat adalah kategori dimana adat menjelmakan dirinya di dalam pandangan – pandangan dan ajaran – ajaran mengenai pelbagai persoalan di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain adat istiadat adalah titik pangkal dan dasar dari adat dan hukum adat.sehingga dikatakan adat istiadat adalah kategori Konstitutif.

2. Adat Nan Teradat adalah merupakan perwujudan dari pandangan dan ajaran adat istiadat di dalam tertib masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kategori yang kedua ini merupakan rangkaian wadah – wadah bagi segala peralatan yang perlu untuk mewujudkan pandangan dan ajaran tersebut. Kategori kedua ini disebut Kategori Institutif.

1

Esther Kuntjara; Penelitian Kebudayaan, Sebuah Panduan Praktis; Graha Ilmu; Surabaya; 2006; hal.3


(16)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

3. Adat Nan Diadatkan merupakan pernyataan dari lembaga di atas di dalam kehidupan sehari – hari di dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kategori yang ketiga ini merupakan penuangan isi wadah – wadah tersebut di dalam kehidupan sehari – hari dalam perkara – perkara yang nyata di masyarakat. Kategori ketiga ini disebut Kategori Eksekutif/ Realisatif. 2

Penganut tradisi, adat istiadat, budaya atau hukum kebiasaan ( Customary Law ) ini disebut dengan Masyarakat Hukum Adat. 3

2

Moh. Koesnoe; Catatan – Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini; Airlangga University Press; Surabaya; 1979; hal.56

3

Doangsa P.L. Situmeang ; Kerabat : Dalihan Natolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba ; Dian Utama ; Jakarta ; 2007 ; hal 23.

Dimana tradisi, adat istiadat ini dipakai oleh para anggota Masyarakat Hukum Adat masing – masing dengan sukarela, secara terus menerus bahkan kemudian diturunkan pada generasi selanjutnya ( turun temurun ) sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa tradisi tersebut sudah mendarah daging pada anggota masyarakat hukum adat tersebut hingga pada generasi selanjutnya keturunan mereka.

Beberapa contoh adat istiadat atau budaya ini antara lain adat istiadat yang berlaku dalam tatanan sosial pada masyarakat suku Jawa, Sunda, Bali, Karo, dan lainnya. Misalnya tradisi atau adat sungkem, pingitan pada calon manten, turun tanah pada balita, cukur rambut pertama bayi, pada masyarakat hukum adat suku Jawa yang sudah dilakukan turun temurun, tradisi Gendang – gendang pada masyarakat hukum adat suku Batak Karo, tradisi Mangulosi pada masyarakat hukum adat suku Batak Toba, tradisi Ngaben pada masyarakat hukum adat suku Bali, dan contoh lainnya yang sudah dilakukan terus menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi penganut adat istiadat tersebut.


(17)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Kebiasaan atau tradisi ini tetap berlaku secara turun temurun terhadap para anggota masyarakatnya, walaupun bila anggota masyarakat tersebut sudah berpendidikan tinggi, pergaulan luas, baik nasional maupun internasional, termasuk pemimpin bangsa sekalipun masih tetap mengindahkan dan mematuhi tatanan sosial dari etnis mereka tersebut, walaupun sebahagian besar telah mengalami perubahan di sana - sini.

Kebiasaan atau tradisi tersebut tetap diberlakukan secara turun temurun oleh komunitas mereka karena kebiasaan, adat istiadat, budaya tersebut sudah mendarah daging ke dalam jiwa mereka.

Salah satu dari sekian banyak tatanan sosial masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia adalah masyarakat hukum adat Batak Toba oleh yang dibawa oleh suku Batak Toba yang asal mula adatnya berasal dari daerah Tapanuli Bagian Utara (sekitar daerah Samosir, Toba Samosir yaitu Balige, Porsea, Tarutung, Humbang Hasundutan, Pahae dan daerah lainnya ).

Masyarakat hukum adat Batak Toba ini tidak hanya bermukim di daerah Tapanuli Bagian Utara tersebut saja tetapi juga bermukim di daerah lainnya. Hal ini terjadi karena banyak dari keturunan – keturunan mereka yang telah pergi merantau, keluar dari daerah hukum adat asal, baik karena kehendak sendiri secara sukarela, oleh karena pernikahan, maupun karena sebab lainnya.

Prilaku merantau atau keluar dari daerah asal ini disebut dengan istilah “mangaranto” dan orangnya disebut “ pangaranto ”. Umumnya orang – orang yang disebut pangaranto pada awalnya adalah kaum laki – laki yang belum berkeluarga. Mereka meninggalkan desanya pergi ke kota – kota di luar Tapanuli Utara untuk memperoleh pekerjaan di luar sektor pertanian. Sebutan tersebut dewasa ini sudah


(18)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

lebih luas, dapat diberikan kepada yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga, yang bekerja di luar sektor pertanian, termasuk pegawai yang alih tugas dari daerah sendiri, demikian juga dengan orang – orang yang pada awalnya bertujuan untuk melanjutkan sekolah dan kemudian bekerja di daerah lain.4

4

Purba, O.H.S dan Elvis F. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba ( Marserak ), Monora, Medan, 1997

Mereka yang merantau atau keluar dari daerah hukum asalnya tersebut

kemudian membentuk suatu komunitas baru sesama mereka yang bersifat intern, di tempat mana mereka kemudian bermukim saat ini, namun mereka masih tetap

mengingat warisan leluhur nenek moyang mereka yaitu adat istiadat, budaya, tradisi yang sudah mendarah daging tersebut, dan kemudian memberlakukan pula warisan berupa tradisi tersebut ke dalam komunitas baru mereka, dan ke dalam pergaulan hidup sesama dan diantara mereka.

Mereka yang telah keluar dari daerah hukum adat asal tersebut, banyak terdapat di kota Medan. Sehingga, ketika mereka membentuk suatu komunitas baru di kota Medan ini, mereka bukan lagi menjadi anggota masyarakat hukum adat Batak Toba, yang tunduk pada hukum adat dan aturan – aturan dasar Batak Toba yang dipimpin oleh satu Raja Adat dengan marga tertentu saja sesuai nama marga kampung di kampung halamannya masing - masing, namun mereka hanya menjadi anggota masyarakat Batak Toba saja, yang tidak lagi tunduk pada satu Raja Adat tertentu, sebagaimana terjadi di kampung halaman sebelumnya, namun setelah mereka berada di kota mereka masuk ke dalam suatu organisasi masyarakat, yang dipimpin oleh Pengetua atau Ketua Adat.


(19)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Sebab, bila masyarakat Batak tersebut telah pindah dari daerah hukum adat asalnya di kampung halamannya masing – masing dan kemudian memilih untuk hidup menetap di Kota Medan, maka mereka kemudian menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba saja, yang tidak lagi tunduk pada aturan hukum adat dari daerah asalnya, namun telah menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba yang

majemuk, dan pluralistik.

Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu

jumonok dongan parhundul ( yang artinya : dekat dongan tubu atau kawan semarga

lebih dekat lagi kawan duduk atau kawan sekampung )

Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk (multi marga, multi

suku). Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan

hula-hula atau tulang-nya. Apakah dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru

semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya.5

1. Punguan Rambe Raja Nalu ( perkumpulan marga Rambe )

Beberapa contoh dari masyarakat Batak Toba tersebut, dapat dilihat dari kelompok atau organisasi masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah kota Medan, salah satu kelompok masyarakat adat tersebut, dilihat dari marga atau nama keluarga besar antara lain :

2. Punguan Raja Siambaton Boru dohot Bere ( perkumpulan marga Parna ) 3. Punguan Parmasna ( Perkumpulan marga Sigalingging )


(20)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

4. Punguan Silalahi Raja ( Perkumpulan marga Silalahi ) 5. Punguan Somba Debata ( Perkumpulan marga Siahaan )

6. Punguan Raja Siagian Boru Dohot Bere ( Perkumpulan marga Siagian ) 7. Punguan Simanjuntak Sitolu Sada Ina ( Perkumpulan marga Simanjuntak ) 8. Punguan Raja Sihotang Boru Dohot Bere ( Perkumpulan marga Sihotang ) 9. dan lain sebagainya

Sebahagian besar dari masyarakat Batak tersebut kemudian membentuk suatu komunitas baru berbentuk suatu Organisasi yang para anggotanya adalah masyarakat marga tertentu dimana kepengurusannya dipilih diantara mereka sendiri (bersifat Intern), yang dianggap mampu, cakap, bijak dan berwawasan luas untuk mengurus lembaga adat tersebut, yang nantinya lembaga tersebut akan beraktifitas pada peristiwa – peristiwa tertentu, dimana pada peristiwa tertentu tersebut para pengurus melakukan tugas dan kewajibannya masing - masing sesuai dengan peristiwa yang terjadi ( misalnya peristiwa pernikahan, kelahiran, hingga pada peristiwa kematian ).

Di luar dari peristiwa adat tersebut, mereka, sebagai anggota komunitas tersebut di atas, memberlakukan pula jadwal – jadwal tertentu untuk bertemu, berkumpul dan bersilahturahmi satu sama lain agar mereka satu sama lain menjadi semakin mengenal, kekerabatan di antara mereka semakin dekat dan mereka menjadi semakin akrab pula satu sama lain.

Hal ini diperlukan sebab sesuai pepatah, tak kenal maka tak sayang, oleh sebab itu mereka sesama anggota komunitas masyarakat marga tersebut


(21)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

berkumpul secara sukarela yang jadwalnya telah ditentukan oleh pengurus, dan dilakukan pemilihan lokasi pertemuan di salah satu kediaman mereka.

Pertemuan tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu kebiasaan rutin dengan jadwal yang tetap dan berkesinambungan yang dilakukan oleh mereka sehingga pertemuan itu dijadikan sebagai bagian dari tatanan sosial masyarakat marga yang bersangkutan.

Sehingga secara perlahan – lahan lewat pertemuan demi pertemuan yang

meraka lakukan tersebut, para anggota masyarakat marga tersebut memiliki ikatan emosional dan psikologis yang kuat satu sama lainnya dan di antara mereka

semakin dekat baik secara fisik maupun secara psikologis, dan di antara mereka juga semakin ada ada rasa ketergantungan satu sama lain .

Antara yang satu dan lain kemudian merasa bahwa mereka adalah satu keluarga, bersaudara selayaknya ada hubungan darah yang kemudian sikap tersebut berlanjut pada kehidupan sehari – hari dengan saling membantu, menolong bila yang satu membutuhkan terhadap yang lainnya.

Terhadap tatanan sosial masyarakat adat sebagaimana dimaksud di atas, pelanggaran atau penyimpangan yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan, perselisihan, konflik atau silang pendapat, sengketa bahkan permusuhan di antara para pihak sangat mungkin dapat terjadi, terutama karena mereka semua berasal dari

daerah hukum adat yang berbeda yang dibawa dari kampung halamannya masing – masing sehingga di banyak sisi mereka memaksakan kehendaknya masing – masing pula antara satu dan lainnya sehingga ketegangan terjadi..


(22)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Penyebab lainnya adalah karena manusia merupakan suatu pribadi yang Unik, yang diciptakan oleh Sang Pencipta, artinya masing – masing memiliki pembawaan, karakter dan pribadi yang khas ( yang hanya dimiliki oleh dirinya sendiri ) sehingga ia berbeda antara satu dan lain, tidak ada yang sama bahkan manusia yang memiliki saudara kembar sekalipun tidak ada yang sama, sehingga karakter, pola pikir, pembawaan dan cara yang dipakai terhadap suatu peristiwa atau kasus tertentu tidaklah sama sehingga dapat menimbulkan reaksi yang berbeda oleh para pihak yang bersangkutan.

Akibat perbedaan tersebut maka tidak jarang terdengar kritisi, perdebatan dan argumentasi yang masing – masing saling menyalahkan. Misalnya dalam hal pernikahan, antara lain cara melamar yang kurang tepat, urutan prosesi acara adat ada yang terlewati, dalam rumah tangga misalnya suami isteri yang tidak lagi hidup harmonis, dalam hal peristiwa kematian, antara lain prosesi pemakaman yang tidak sesuai dengan tradisi yang biasa dilakukan, pembagian warisan yang dirasa tidak adil oleh para ahli waris, dan sebagainya.

Mereka satu sama lain saling menyalahkan dan masing - masing mencari pembenaran sendiri sesuai tujuan awalnya perselisihan terjadi yaitu mencari kebenaran, sehingga hasilnya seringkali kebenaran yang dicari itu akan tetap tinggal mengambang karena keberadaan atau eksistensinya jarang ditemukan dalam bentuk tertulis, yang dapat dipakai sebagai rujukan bersama, sehingga perselisihan yang kadangkala bahkan menimbulkan permusuhan terhadap sesama mereka seringkali tidak menghasilkan apapun.


(23)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Sehingga, oleh para Pihak yang bersengketa, diusahakan dicari jalan penyelesaian secara damai, agar di antara para Pihak yang berselisih atau bersengketa tersebut jangan sampai bermusuhan. Jalan penyelesaian damai itu dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah terbatas dalam lingkungan anggota keluarga sendiri, atau musyawarah kerabat, atau jika dipandang perlu dimusyawarahkan dalam perdamaian adat yang disaksikan dalam tua – tua adat. Selama kepentingan kerukunan dan rasa kekeluargaan masih idial didalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan, maka selama itu betapa besarnya perselisihan, namun pada akhirnya dapat juga diselesaikan dengan rukun dan damai. 6

“ Togu Urat ni Bulu, toguan urat ni padang, togu na ni dok ni uhum,

toguan na nidok ni Padan ” yang artinya adalah sebagai berikut “ akar bambu kuat

akan tetapi akar rumput lebih kuat lagi ” yang mengandung pengertian dan dasar hukum bahwa peraturan – peraturan hukum ( positif) adalah kuat akan tetapi sesuatu persetujuan lebih kuat lagi daripada peraturan hukum.

Budaya untuk bermusyawarah mencapai kata mufakat ini mempunyai dasar sosial yang amat kuat, pada bangsa Indonesia ini termasuk didalamnya masyarakat Batak Toba itu sendiri, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sebagaimana diuraikan di dalam Sila IV PANCASILA ( sebagai Dasar Negara Republik Indonesia) yang isinya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan”.

Selain sila IV dari PANCASILA tersebut, budaya untuk bermusyawarah tersebut terdapat juga dalam falsafah hidup masyarakat Batak Toba itu sendiri, yang memang telah mereka peroleh secara turun temurun dari nenek moyang mereka di kampung halamannya, sehingga telah berakar dengan amat kuat di dalam hati mereka masing – masing, dimana terlihat dari salah satu pepatahnya yang mengatakan :

7

6

H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. VII – 2003, hal. 116

7

Soerojo Wignjodipoero ; Pengantar Dan Asas – Asas Hukum Adat ; Haji Mas Agung ; Jakarta ; 2004; hal. 73.


(24)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Hal lain yang menjadi penyebab masyarakat Batak Toba lebih memilih untuk

bermusyawarah adalah menurunnya kepercayaan masyarakat Indonesia ( masyarakat Batak Toba salah satu di antaranya ) terhadap lembaga Pengadilan

di Indonesia yang pada prakteknya sangat rumit, mahal dan berbelit – belit sehingga masyarakat enggan menyerahkan permasalahan atau sengketa yang dialami dan hanya menempatkan lembaga Pengadilan sebagai upaya terakhir dari segala upaya yang dapat mereka usahakan untuk menyelesaikan sengketa yang mereka alami.

Penulis kemudian merasa sangat tertarik mencari, meneliti, membahas serta menemukan lebih lanjut lagi jawaban atas pertanyaan yang muncul bila terjadi konflik atau sengketa antara anggota masyarakat Batak Toba Kota Medan.

Sebab lain Penulis tertarik untuk meneliti topik pembahasan karya tulis ini karena penulis adalah termasuk sebagai salah satu anggota masyarakat dalam komunitas masyarakat Batak Toba di Kota Medan dimana Penulis berdomisili selama ini, sehingga sering bersentuhan dengan perihal adat – istiadat tersebut di dalam kehidupan sehari – hari baik secara langsung maupun tidak langsung.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dan titik tolak dari penelitian yang akan Penulis lakukan, antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba di kota Medan ?


(25)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

2. Bagaimana bentuk sengketa yang penyelesaiannya ditempuh melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif ?

3. Bagaimana keberhasilan Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba di kota Medan ?

C. Tujuan Peneltian

Penelitian ini dilakukan adalah untuk memperjelas pengertian dan pemahaman dari perumusan – perumusan masalah sebagaimana telah diuraikan di atas. Mengacu pada hal tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai Penulis di dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba di kota Medan .

2. Untuk mengetahui bentuk sengketa apa saja yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif .

3. Untuk mengetahui keberhasilan Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba di kota Medan.


(26)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, baik untuk Penulis sendiri, untuk para akademis maupun masyarakat luas, sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangsih untuk perkembangan pengetahuan hukum secara umum dan perkembangan hukum adat pada khususnya.

2. Secara praktis hasil penelitian dapat digunakan :

a. Sebagai pedoman bagi Notaris, peradilan dan praktisi hukum dalam menentukan langkah – langkah dan kebijakan tertentu, bila suatu saat menemukan permasalahan tentang hukum adat

b. Sebagai pedoman atau bahan masukan bagi Notaris khususnya bila terjadi sengketa adat yang diperhadapkan padanya untuk mencari solusi atau jalan penyelesaian

c. Sebagai bahan kajian bagi kaum akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian hukum di bidang hukum adat, baik asas – asas hukum, sistematika, sinkronisasi hukum adat terhadap hukum lain yang berlaku di Indonesia ( misalnya hukum perdata ) sejarah hukum adat yang keseluruhannya mengarah pada satu system peradilan nasional dalam hal penyelesaian sengketa, walaupun secara teknis memiliki objek dan ruang lingkup yang berbeda.


(27)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

d. Untuk menambah wawasan kaum akademisi perihal hukum adat, dimana nantinya akan dapat dipergunakan oleh kaum akademisi tersebut dalam menunjang aktivitas perkuliahan mereka.

e. Untuk membuka pola pikir masyarakat luas perihal adat istiadat masyarakat Batak Toba yang telah berdomisili di wilayah perkotaan yang amat jarang bersentuhan secara langsung dengan adat istiadat tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian pada kepustakaan umum di Universitas Sumatera

Utara maupun pada kepustakaan khusus Program Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara, ternyata belum pernah dilakukan penelitian yang

membahas tentang “Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Dalam Masyarakat

Batak Toba – Studi di Kota Medan” .

Oleh karena itu, penelitian ini baik dari segi substansi maupun dari segi ilmiah dapat Saya pertanggung jawabkan, baik secara moril maupun materiil.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum untuk menemukan suatu hukum baru diperlukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap objek yang akan diteliti. Dalam melakukan penelitian tersebut, Peneliti harus berpedoman


(28)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

pada metodologi, imajinasi sosial, dan teori yang dipakai sebagai dasar dari penelitian yang akan dilakukan.

Fungsi teori di dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan suatu arahan / petunjuk serta menjelaskan hal yang akan diteliti, sehingga karena penelitian ini merupakan penelitian sosiologis, maka kerangka teori diarahkan secara khusus pada hubungan antara Teori konflik yang dikemukakan oleh Dahrenrof (pakar aliran Sosiologi Modern) dan Teori Delik atau Tindak Pidana Adat, sebagai teori yang dilakukan pada sumber atau awal dari terjadinya atau timbulnya sengketa, yaitu yang dikemukakan oleh Van Vollen Hoven (pakar Hukum Adat Indonesia) .

Teori Konflik oleh Dahrenrof adalah teori yang mengarahkan perhatiannya

pada kepentingan – kepentingan kelompok dan orang yang saling bertentangan dalam struktur sosial dan pada cara di mana konflik kepentingan ini menghasilkan perubahan sosial yang terus menerus.8

1. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan ; perubahan sosial ada di mana – mana.

Dari pengertian dasar di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengertian teori Konflik secara ringkas adalah sebagai berikut :

2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik ; konflik sosial ada di mana – mana.

3. Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan.

4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain. 9

Sedangkan pengertian delik atau tindak pidana adat sebagai sumber atau awal dari terjadinya atau timbulnya sengketa yang sering terjadi di masyarakat. Teori delik atau tindak pidana adat ini dikemukakan oleh Van Vollen Hoven yang isinya bahwa delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun dalam

8

Doyle Paul Johnson ; Teori Sosiologi , Klasik dan Modern, Jilid II ; Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta ; 1990 ; hal. 194.

9


(29)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

kenyataannya peristiwa atau perbuatan tersebut hanya merupakan sumbang yang kecil saja. 10

Teori selanjutnya yang dipakai Penulis dalam penelitian ini adalah Teori

Kerja Sama oleh WILLIAM DAN DOBSON,

Kerangka teori penulisan ini diarahkan pada awal mula terjadi sengketa antara para pihak yaitu di satu pihak adalah pelaku dan di pihak lain adalah korban yang mana kepentingannya dirugikan atas perbuatan pelaku tersebut, sebagai bagian dari masyarakat sosial.

Hubungan antara Teori Konflik dan Teori Delik atau Tindak Pidana Adat tersebut di atas terhadap sengketa adalah apabila perbuatan delik atau tindak pidana adat tersebut dilakukan ( walaupun perbuatan tersebut hanya merupakan sumbang kecil saja namun telah ada pihak yang merasa dirugikan ), perbuatan tersebut menimbulkan terjadi konflik atau sengketa antara pelaku dan pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atau korban dari perbuatan tersebut, sehingga akibatnya maka terjadilah perubahan sosial di masyarakat.

11

3. Motivasi moral, sebab dengan bekerjasama, dapat diterima secara moral

yang isinya bahwa Perubahan biasanya tidak dapat berjalan tanpa adanya kerjasama dari semua pihak, sehingga demi perubahan tersebut, maka kerjasama dilakukan. Teori kerja sama ini menjelaskan mengapa manusia mau bekerja sama dan bagaimana manusia itu bekerjasama, yaitu :

1. Motivasi untuk memperoleh penghargaan atau rasa khawatir akan mendapatkan hukuman

2. Motivasi kesetiaan terhadap profesi, pekerjaan, atau perusahaan 4. Motivasi untuk menjalankan keahlian

5. Motivasi karena kerjasama tersebut sesuai dengan sikap hidup yang ada di masyarakat

6. Motivasi kepatuhan terhadap kekuasaan.

10

Hilman Hadikusuma ; Hukum Pidana Adat ; Alumni ; Tanjungkarang ; 1984 ; hal.19. 11

tanggal 19 Agustus 2009


(30)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Teori selanjutnya yang mendukung teori kerja sama di atas adalah Teori

Keseimbangan atau Balance Theory oleh FRITZ HEIDER, 12

Teori lain penelitian diarahkan pada susunan atau tatanan sosial kemasyarakatan suku Batak Toba , disebut istilah lembaga “ Dalihan Natolu ”

yaitu teori yang merupakan aliran humanistic dan lebih bersifat subjektif dan timely artinya hasil dari teori ini lebih bergantung si pelaku karena nilai – nilai yang tertanam dalam diri seseorang turut mempengaruhi sikap dan prilakunya dan tergantung pada waktu tertentu dimana hasilnya tidak akan sama pada kurun waktu yang berbeda, dimana isinya yaitu “ ketika timbul ketegangan antara atau di dalam diri seseorang, maka ia akan mencoba untuk meredam atau mengatasinya dengan cara mempersuasi diri sendiri atau mempersuasi orang lain.”

Hubungan kedua teori ini terhadap sengketa adalah bahwa apabila terjadi suatu sengketa di tengah – tengah anggota masyarakatnya maka masyarakat yang bersangkutan cenderung untuk melakukan kerjasama dalam rangka menyelesaikan sengketa tersebut agar tercipta kembali suatu keseimbangan yang sempat rusak dalam hubungan sosial di lingkungan pergaulan mereka.

Dengan kata lain, bahwa teori kerja sama ini diperlukan untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang pernah rusak akibat sengketa yang terjadi di dalam suatu masyarakat.

13

Dalihan adalah tungku. Biasanya tungku tersebut terdiri dari tiga buah batu ( tripod ) yang bentuk dasarnya rata, atasnya agak mengerucut dan diposisikan

Disebut lembaga karena Dalihan Natolu memiliki 3 ( tiga ) unsur penting yang mendukung kinerja lembaga, yaitu Hula – hula, Dongan Tubu dan Boru.

12

terakhir tanggal 19 Agustus 2009

13


(31)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

membentuk segi tiga, dengan celah di antara batu untuk menyurukkan kayu api. Karena periuk yang dipakai di zaman dahulu terbuat dari tembikar, dengan dasarnya agak cembung, maka formasi segi tiga dari kaki tungku tersebut sangat tepat ( fit ) hingga dasar periuk mudah dijerangkan atau didudukkan diatas tungku, stabil dan tidak goyah. Selain ketiga batu tersebut, masih disediakan batu pipih yang dinamakan Sihal – Sihal, artinya Penyela. Bila periuk yang didudukkan tersebut terlihat miring atau sedikit goyah, maka Sihal – sihal atau Batu Penyela ini disisipkan di antara sisi luar periuk dan batu kaki tungku sehingga periuk tidak goyah. Karena itu penyebutan yang benar adalah Dalihan

Natolu, Paopat Sihal – Sihal artinya : Tungku Berkaki Tiga, dengan Batu Penyela

sebagai yang keempat. Namun, dengan sebutan Dalihan Natolu saja, penganutnya sudah dapat mengerti dan menerimanya 14

Alasan sihal – sihal atau batu penyela harus dipilih dari tua – tua marga tetangga dari luar kelompok masyarakat bersangkutan adalah agar lebih terjamin prinsip keadilan dan netralitas proses penyelesaian sengketa, hingga hasilnya dapat lebih dipertanggungjawabkan karena dianggap bahwa pihak luar yang menjadi Sihal

Lembaga Dalihan Natolu ini melambangkan Pengakuan adanya pembagian

masyarakat hukum adat Batak Toba ke dalam Tiga Kelompok Utama.

Kaki keempat disebut Sihal – sihal atau Batu Penyela, berfungsi hanya jika dibutuhkan, yaitu jika ketiga kelompok menemui konflik tertentu, hingga dalam proses penyelesaian sengketa diperlukan pihak keempat yang berfungsi sebagai juru damai, penengah atau mediator.

Yang dapat dipilih sebagai Sihal – sihal, batu penyela atau mediator tersebut pada umumnya adalah tua – tua marga tetangga yang berasal dari luar kelompok masyarakat yang bersangkutan.

14 Ibid


(32)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

– sihal akan benar – benar berada ditengah – tengah (netral) para pihak yang

bersengketa dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa .

Lembaga Dalihan Natolu ini di dalam hubungan dan tatanan sosial di masyarakat secara nyata ( dalam prakteknya di masyarakat ) digerakkan oleh Marga. Sehingga, Marga memegang peranan yang sangat penting di dalam tatanan sosial masyarakat hukum adat Batak Toba. Marga diibaratkan sebagai api yang memanaskan, dan menghangatkan atau sebagai tenaga penggerak ( driving force ) dalam berbagai hubungan sosial dari masyarakat Dalihan Natolu.

Marga ini memiliki pengertian lengkap sebagai berikut “ Marga adalah

nama persekutuan dari orang – orang bersaudara, sedarah, seketurunan menurut garis ayah, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di daerah asal atau tanah leluhur. ”15

Dasar dari pembentukan Marga adalah keluarga (suami, isteri dan putra – putri yang merupakan kesatuan yang akrab, yang mengalami serta menikmati

Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa marga adalah sebagai nama warisan secara turun temurun yang dicantumkan dibelakang nama pribadi. Marga tersebut telah terpatri sebagai nama kesatuan atau persekutuan keluarga besar yang bersangkutan sejak si bayi masih dalam kandungan. Sehingga marga di dalam masyarakat hukum adat Batak Toba dianggap sebagai jati diri, nama, pengenal, identitas, baik identitas pribadi maupu n identitas kelompok.

15


(33)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

kehidupan bersama, pemilikan benda serta pertanggungan jawab atas kelanjutan hidup keturunan).

Fungsi Marga adalah sebagai landasan pokok yang mengatur ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat Batak terhadap hubungan antara pribadi – pribadi, antara pribadi dan golongan, antara golongan dan golongan dalam konteks tatanan sosial kemasyarakatan Dalihan Natolu.

Tujuan dari dibentuknya Marga tersebut adalah untuk membina serta melestarikan kekompakan serta solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu nenek moyang atau leluhur.

Pembagian kelompok masyarakat yang digerakkan oleh marga inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu stuktur sosial kemasyarakatan ( social

structure of society ) bagi orang – orang Batak. 16

1. Dongan Sabutuha : memiliki pengertian dasar yaitu “ mereka yang berasal dari

rahim yang sama”.

Ketiga kelompok tersebut, terdiri dari :

17

Pada perkembangannya disebutkan bahwa Dongan Sabutuha adalah orang-orang yang berasal dari satu marga, karena Suku Batak menurut sejarah atau legenda yang dikenal adalah garis keturunan Patrillineal, yaitu garis keturunan berdasarkan Kebapakan dan diturunkan kepada anak lelaki/putranya.

16

Ibid ; hal 24. 17

J.C. Vergouwen ; Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba; Pustaka Azet; Jakarta; Cet. I – 1986; hal 23


(34)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Sistem kekerabatan patrillineal inilah yang kemudian menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri dari turunan-turunan, marga dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis lelaki. Lelaki itulah yang kemudian membentuk kelompok kekerabatan (dongan

sabutuha) perempuan menciptakan hubungan Besan (affinal relationshi) karena ia

harus kawin dengan lelaki dari kelompok patrillineal yang lain.18

2. Hula – Hula : artinya adalah orang – orang yang berasal dari marga asal istri.

Pihak hula – hula ini pada prinsipnya adalah pihak yang harus dihormati, dan

disembah bahkan dahulu kala menurut sejarahnya pada tradisi Batak kuno ( religi Batak yang masih menganut paham atau ajaran Animisme ) sebelum

ajaran Agama masuk ke Tanah Batak, pihak Hula – hula yang memberi berkat sebagaimana Tuhan memberkati manusia dan dapat pula memberi kutukan bila perintah Hula – hula dilanggar atau pihak Hula – hula marah oleh suatu sebab tertentu. Jadi siapapun harus dan wajib menghormati bahkan menyembah Hula – hula sebagaimana ia menyembah tuhannya. Sehingga dapat dikatakan dari ketiga kelompok tatanan sosial masyarakat Batak ini, Hula – hula menempati posisi

Dongan Sabutuha ini juga dikenal dalam prakteknya di masyarakat dengan istilah Dongan Tubu. Misalnya antara pria marga Siregar dengan pria marga Siregar lainnya, antara pria marga Nainggolan dengan pria marga Nainggolan lainnya, dan lain - sebagainya .

18 Ibid.


(35)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

tertinggi kedua setelah posisi Raja Adat di kampung halaman mereka, dan posisi ketiga setelah tuhan pada masa tersebut. Misal pria marga Siregar ini menikah dengan wanita boru (untuk wanita sebutan marga terhadapnya adalah boru) Manullang, maka hula – hula pria marga Siregar tersebut adalah seluruh pria marga Manullang.

3. Boru : artinya adalah orang – orang yang berasal dari marga asal suami. Dahulu,

menurut sejarahnya, Pihak Boru ini adalah pihak yang menerima berkat dari hula – hula. Boru harus diperlakukan dengan baik, dibujuk, dikasihi sebagaimana seorang Ayah mengasihi, melindungi anak – anaknya. Namun, sebagai konsekuensi dari hal tersebut, maka Boru memiliki tugas dalam acara – acara adat, Pihak Boru yang wajib untuk bekerja, misalnya memasak, menerima tamu, mempersiapkan hidangan yang akan dinikmati bersama, menjamu para tamu, memotong daging yang akan dibagi – bagi menurut bagiannya masing – masing, dan lain sebagainya bila suatu acara adat berlangsung. Sementara pihak Hula – hula duduk di tempat yang terhormat di tengah – tengah lokasi acara adat berlangsung. Misalnya pria marga Siregar ini yang menikah dengan wanita boru Manullang tersebut di atas, maka pihak boru dari pria marga Siregar tersebut adalah seluruh wanita boru Siregar.

Ketiga kelompok tersebut diatas saling bergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam satu tatanan kemasyarakatan. Dalihan Natolu ini dapat disamakan pula dengan inkubator, tempat orang Batak ditempa untuk menerima latihan kemampuan untuk memilah – milah ( membedakan ) dan kemampuan penyesuaian sebagai ciri dari sikap hidup demokratis. 19

19

Doangsa P.L. Situmeang ; Op. cit., hal. 27;


(36)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Timbul suatu prinsip dalam menentukan sikap atau prilaku yang harus ditampilkan ( acceptable attitude ) dari pembagian ketiga kelompok masyarakat

tersebut. Prinsip tersebut adalah “ Manat Mardongan tubu, Somba Marhula – hula dan Elek Marboru ” yang artinya “ Manat atau

berhati – hati ( be careful ) dan menjaga sikap terhadap dongan sabutuha,dongan

tubu, atau orang – orang semarga, Somba, hormat ( respect ) merupakan sikap yang

ditampilkan pada Hula – hula, dan Elek, lemah lembut (persuasive ), penuh kasih sayang adalah sikap yang harus ditampilkan pada Boru.

Prinsip tersebut di atas timbul dari falsafah hidup masyarakat Batak itu sendiri yang telah ada sejak dahulu kala, dari nenek moyang mereka yaitu :

Molo naeng ho gabe, hormat ma ho marhula – hula

Molo naeng ho sangap, denggan, denggan ma ho marsabutuha Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru. 20

20

T. M. Sihombing ; Jambar Hata , Dongan Tu Ulaon Adat ; Tulus Jaya ; Medan ; 1989 ; hal. 103

Yang artinya :

Kalau ingin Engkau beranak – cucu, memiliki keturunan berhasil, jaya, hormatlah pada hula – hula

Kalau ingin namamu baik dan hormat dilihat orang banyak, baik, baiklah kau pada dongan tubu ( kawan semarga )

Kalau ingin Engkau kaya, penuh kasih sayang, rayu dan baiklah kau pada boru Kelanjutan dari prinsip tersebut, yaitu :


(37)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.21

Setiap warga Dalihan Natolu tidak akan tetap selamanya berfungsi sebagai

Dongan Sabutuha, atau sebagai Hula – hula maupun sebagai Boru. Namun, setiap

warga Dalihan Natolu memiliki atau menyandang ketiga fungsi tersebut dan melekat pada dirinya. Kendati demikian, hanya salah satu dari fungsi tersebut yang ditampilkan pada saat dan situasi tertentu. Bukan ketiganya, dengan demikian, setiap anggota atau warga Dalihan Natolu memiliki tri – fungsi

Yang artinya :

Siapa yang tidak menghormati hula – hula, akan kesulitan memperoleh rejeki Kalau tidak hati – hati pada kawan semarga, akan menimbulkan pertikaian Dan, kalau tidak kasih/ bujuk pada boru, maka tidak akan mendapat berkat

22

21

www. Marbun. Blogspot.com/2006/…/dalihan – na – tolu, diakses terakhir pada 10 Juli 2009

22

Doangsa P.L. Situmeang ; Op. Cit., hal. 25

dalam kepribadiannya di

dalam adat istiadat atau tatanan sosial masyarakat adat.

Tri fungsi maksudnya bahwa Dalihan Natolu memiliki 3 ( tiga ) fungsi yang masing – masing dari ketiga fungsi tersebut tidak berlaku sekaligus dan bersamaan dalam satu waktu namun masing – masing dari ketiga fungsi tersebut berlaku secara terpisah di tempat dan situasi berbeda dalam satu waktu tertentu.


(38)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Prinsip lembaga Dalihan Natolu ini, agar dapat diwujudkan terutama di dalam acara - acara adat, maka pernikahan yang dianjurkan dan dianggap lazim

atau umum dan dapat diterima dalam sistem tatanan sosial masyarakatnya adalah pernikahan dengan sistem Eksogami yang artinya pernikahan antar marga atau pernikahan dengan marga yang berbeda, sehingga pernikahan yang dilakukan terhadap sesama atau satu anggota marga ( incest ) dilarang dan sangat dianggap pantang atau tabu.

Pada zaman dahulu jika ditemukan pernikahan incest tersebut, maka sebagai konsekuensi atau hukuman yang diterima oleh yang bersangkutan adalah mereka dikucilkan, atau dikeluarkan dari keanggotaan masyarakat bahkan dapat diusir dari kampung halaman mereka karena dianggap telah mempermalukan keluarga besar mereka.

Prinsip Dalihan Natolu ini muncul setelah anggota masyarakat hukum adat tersebut menikah. Sehingga dapat di katakan bahwa adat istiadat ini mulai berlaku adalah sejak adanya Pernikahan anggota masyarakat adat tersebut, dan pernikahannya pun harus juga dilakukan secara adat selain secara agama, agar yang bersangkutan dapat masuk kedalam lingkungan atau tatanan sosial masyarakat hukum adat bersangkutan.

Pernikahan secara adat maksudnya pihak keluarga laki – laki yang akan menikahi seorang perempuan anak dari salah satu anggota masyarakat adat Batak Toba tersebut harus lebih dahulu membayar adat kepada pihak keluarga si perempuan


(39)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

( yang berkedudukan sebagai Hula – hula ). Hal tersebut dikenal dengan istilah

Mangadati.

Jika hal tersebut tidak dilakukan maka pernikahan mereka tidak sah secara adat, dan keberadaan keluarga mereka beserta keturunan mereka nantinya tidak akan diperhitungkan ke dalam masyarakat adat manapun, baik di pihak keluarga laki – laki maupun di pihak keluarga perempuan.

Sebagai konsekuensi dari pernikahan yang tidak dilakukan secara adat tersebut, maka apabila terdapat suatu acara adat tertentu di dalam keluarga besar mereka nantinya ( misalnya acara adat pernikahan, acara adat kematian, dan lainnya ) maka pasangan ini, beserta keturunannya tidak akan dapat diikut sertakan di dalam proses kegiatannya.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, dimana peranan konsepsi dalam penelitian ini adalah dapat menghubungkan suatu teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan.


(40)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.23

Teori konsepsi dalam penelitian ini diarahkan pada pengertian kata :

Eksistensi

Oleh sebab itu, agar dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar dapar diperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan dari penelitian ini.

Konsep atau kerangka konsepsionil merupakan pengarah, pedoman, pembatasan pengertian secara konkret kerangka theori, dimana kerangka teori bersifat abstrak, dan konsep diperlukan Peneliti selama penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini, Konsepsi diarahkan pada pengertian kata “ Eksistensi, Sengketa, Penyelesaian Sengketa, Alternatif, dan Masyarakat Batak Toba. ”

24

Sengketa

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “keberadaan,

kemampuan bertahan, dapat menahan”

25

Sedangkan pengertian Sengketa menurut Siti Megadianty dan Takdir

Rahmadi dalam Buletin mereka tentang “ Sengketa dan Penyelesaiannya ” yaitu

Bahwa Sengketa merupakan kelanjutan dari Konflik yang berkembang bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Konflik memiliki pengertian bahwa terjadinya sebuah situasi dimana 2 ( dua ) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan ( yang

menurut Kamus Hukum memiliki arti “ sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih.”

23

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji; Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat; Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995; hal. 7.

24

Dani, K; Kamus Lengkap Bahasa Indonesia ( dilengkapi dengan Ejaan Yang Disempurnakan ) ; Putra Harsa ; Surabaya ; 2002, hal. 99

25


(41)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

mana konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan tersebut hanya memendam rasa ketidak puasannya atau keprihatinannya dan akan berkembang menjadi sengketa bilamana pihak yang dirugikan tersebut kemudian mengungkapkan atau menyatakan ketidak puasannya tersebut).26

Sengketa arti lainnya adalah Pertengkaran27

Selesai28

Masyarakat,

menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia memiliki arti sudah jadi apa yang dibuat. Penyelesaian memiliki arti usaha untuk membuat jadi apa yang sudah dibuat ( membuat selesai ).

Penyelesaian Sengketa memiliki arti : usaha – usaha untuk membuat selesai sesuatu

yang menyebabkan perbedaan pendapat atau pertengkaran.

29

Bila dihubungkan pengertian kedua hal tersebut diatas, maka pengertian

Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Dalam Masyarakat Batak Toba

adalah keberadaan usaha – usaha yang dilakukan untuk membuat selesai perbedaan pendapat / pertengkaran, yang terjadi dalam sekumpulan manusia yang hidup bersama dan tunduk pada aturan, kebiasaan, cara, budaya, norma, yang dibuat oleh

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti

pergaulan hidup manusia, sehimpunan manusia yang hidup bersama di dalam suatu tempat, dengan ikatan aturan yang tertentu, orang banyak, khalayak ramai.

Dari pengertian kata di atas, maka dapat diartikan bahwa Masyarakat Batak

Toba adalah Sehimpunan manusia yang hidup bersama,tunduk kepada aturan,

kebiasaan, cara, nilai, budaya, norma yang diatur menurut aturan dalam adat Batak Toba yang berkaitan, menjadi suatu system yang diberlakukan sejak dahulu kala yang mana aturan tersebut dibuat oleh kekuasaan yang dianggap berlaku untuk orang banyak, untuk mengatur pergaulan hidup mereka.

26

Rachmadi Usman ; Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ; Citra Aditya Bakti; Bandung ; 2003 ; hal. 1.

27

Bambang Marjihanto ; Kamus Lengkap Bahasa Indonesia ; Terbit Terang ; Surabaya ; 1999, hal. 294

28

Dani, K; Op. Cit., hal. 290 29


(42)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

kekuasaan yang dianggap berlaku untuk orang banyak, berguna mengatur pergaulan hidup antara mereka, menurut adat Batak Toba.

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, maka sifat penelitian yang sesuai untuk dipakai oleh Penulis di dalam penelitian ini adalah deskriktif analisis. Penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek dan peristiwanya.30

Penelitian dilakukan di kota Medan, di lingkungan masyarakat Batak Toba yang berdomisili di Kota Medan. Mereka pada umumnya bergabung ke dalam organisasi di lingkungan tempat tinggalnya, maupun organisasi marga - marga.

Penelitian bersifat deskriktif analisis, artinya penelitian ini masuk ruang lingkup penelitian yang mencari tahu, menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba, serta menganalisa bagaimana masyarakat melakukan usaha menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Jenis/ metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan secara

empiris, yaitu penelitian terbuka untuk pengamatan dilakukan di lapangan

berdasarkan studi setempat saat penelitian berlangsung namun didukung penelitian kepustakaan sebagai dasar penelitian lapangan dilakukan.

2. Lokasi Penelitian

30


(43)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Melalui organisasi marga tersebutlah Peneliti akan mencari tahu jawaban dari rumusan permasalahan di atas, lewat Ketua organisasinya, maupun tokoh – tokoh masyarakat lain yang berkompeten terhadap permasalahan adat sesuai rumusan permasalahan yang telah ditentukan di atas.

3. Teknis Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, baik berupa pengetahuan ilmiah maupun fakta yang terdapat di masyarakat, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan ( Library Research ): menghimpun data dengan melakukan penelaahan kepustakaan, berupa buku, arsip / dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu “ Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Masyarakat Batak Toba di Kota Medan”.

b. Studi Lapangan ( Field Research ) yaitu untuk melakukan penelitian secara langsung ke masyarakat hukum adatnya serta melakukan pula wawancara, interview, dialog atau perbincangan dengan Ketua Adatnya atau Orang yang dituakan di sana.

4. Bahan Penelitian

a. Bahan Hukum Primer: bahan hukum yang mengikat, berasal dari Undang –

Undang / Peraturan lain misalnya Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang - Undang Nomor 30/1999 tentang Arbitrase


(44)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurisprudensi Mahkamah Agung, dan lainnya yang berkaitan dengan topik yang dibahas Penulis.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberi keterangan maupun

penjelasan lebih lanjut bahan hukum primer, seperti buku teks yang ditulis para ahli hukum, pendapat para sarjana, dan lain sebagainya.

c. Bahan Tertier ( Penunjang ) yaitu bahan yang berada di luar bahan hukum

seperti kamus umum Bahasa Indonesia, Kamus Aksara Batak, internet, dan lainnya yang berhubungan dengan topik permasalahan.

5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh, dalam proses pengumpulan data, baik data yang bersumber dari bahan pustaka maupun data yang bersumber dari lapangan, ditabulasi, lalu dianalisa secara Kualitatif.

Kualitatif maksudnya bahwa data diperoleh dari hasil interaksi antara Peneliti

dan sumber data baik dari manusia maupun benda. 31

31

Esther Kuntjara; Op. Cit., hal. 99

Logika berfikir yang digunakan dalam penarikan kesimpulan dilakukan secara

Induktif – Deduktif maksudnya pembahasan dan penarikan kesimpulan dimulai dari

hal – hal khusus hingga ke hal umum, lalu dipresentasikan dalam bentuk Deskriptif, yaitu dijabarkan dalam rangka menjawab objek penelitian.


(45)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

BAB II

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

Dalam hal penyelesaian sengketa yang dapat terjadi dalam masyarakat Batak Toba di kota Medan ini, secara umum dipilih adalah cara yang benar – benar disukai oleh kedua belah pihak sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan “ win – win


(46)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

solution ” yang artinya keputusan atau jalan keluar yang saling menguntungkan kedua

belah pihak sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah atau dirugikan.

Sehingga penyelesaian sengketa yang dilakukan tersebut memiliki banyak macam ( bervariatif ) tergantung dari subjek hukumnya untuk memilih penyelesaian sengketa alternative tersebut.

A. Bentuk–bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif Yang Berkembang Di Kota Medan

Sebelum masuk kedalam penyelesaian sengketa alternative dalam menyelesaikan sengketa masyarakat Batak Toba di Kota Medan, ada baiknya

diuraikan terlebih dahulu penjelasan dari Penyelesaian Sengketa Alternatif dan jenis – jenis serta ruang lingkup keseluruhannya secara umum. .

Penyelesaian Sengketa Alternatif atau lebih umum dikenal dengan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Undang - Undang Nomor

30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa “ Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. 32

Sebelum akhirnya dikemukakan pengertian lebih lanjut pengertian dari Penyelesaian Sengketa Alternatif ini, ada baiknya dikemukakan lebih dahulu Penyelesaian Sengketa Alternatif ini merupakan perkembangan dari penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di Pengadilan, yang dahulu adalah awal dari bentuk penyelesaian sengketa yang selalu dipakai masyarakat di dunia.

32

Rachmadi Usman ; Hukum Arbitrase Nasional ; Gramedia Widiasarana Indonesia; Jakarta ; 2002 ; hal. 15


(47)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

pengertian dari penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di dalam Pengadilan, yaitu sebagai berikut :

Pengadilan : yaitu badan atau lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Yang paling sering membawa sengketa ke Pengadilan biasanya adalah Janda maupun anak perempuan masyarakat Batak Toba. Janda dan anak perempuan Batak membawa sengketa ke Pengadilan Negara dengan alasan dan latar belakang yang berbeda. Janda baru membawa sengketa ke Pengadilan sebagai The Last Resort, sedangkan dibawanya sengketa ke Pengadilan oleh anak perempuan lebih merupakan pilihan ( choice ). Oleh karena itu lebih banyak anak perempuan bersengketa di pengadilan Negara daripada Janda. Janda baru membawa sengketa ke Pengadilan bila penyebab utamanya adalah tekanan emosi dan penderitaan yang tak tertahankan lagi, yang timbul sebagai akibat kekerasan yang dilakukan oleh Suami. 33

Akibatnya dapat kita ketahui bahwa prosedur tersebut benar – benar menghabiskan waktu, menguras tenaga dan biaya serta melelahkan para pihak. Bahkan penyelesaian sengketa tersebut dapat terjadi hingga bertahun – tahun Dalam penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di dalam pengadilan ini biasanya jarang ditemukan perdamaian antara para pihak. Putusan yang ada biasanya berupa putusan kalah atau menang. Bila di Pengadilan tingkat pertama salah satu pihak ternyata kalah, maka terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding bagi pihak yang kalah tersebut apabila ternyata ia tidak menerima putusan tersebut. Begitu seterusnya hingga pada Pengadilan tingkat akhir yaitu di Mahkamah Agung.

33

Sulistyowati Irianto; Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum; Yayasan Obor Indonesia; Jakarta; 2005; hal. 300


(48)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

lamanya, sementara di lain sisi hubungan para pihak yang bersengketa terus memburuk, merenggang bahkan dapat bermusuhan. Dan dalam banyak kasus, biasanya sengketa tersebut menjadi semakin rumit dan akhirnya para pihak menjadi saling bermusuhan, dan permusuhan tersebut berlanjut terus bahkan hingga beberapa garis keturunan selanjutnya.

Pada umumnya masyarakat menghindari cara penyelesaian sengketa melalui Pengadilan ini dan menjadikan lembaga Pengadilan hanya sebagai upaya terakhir bila dirasakan seluruh cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yang mereka tempuh mengalami jalan buntu, karena selain caranya yang rumit, memakan waktu yang lama, biayanya juga relatif besar.

Para pihak yang bersengketa biasanya pada akhirnya akan menjadi bermusuhan karena putusan Pengadilan tidak lagi kearah perundingan atau perdamaian dan sering pula putusan Pengadilan tersebut dirasakan memberatkan bagi salah satu pihak yaitu bagi pihak yang kalah atau dirugikan, sehingga sangat tertutup adanya kemungkinan untuk berdamai kembali setelahnya, bila perkara mereka diselesaikan lewat lembaga Pengadilan.

Dari uraian di atas, maka dapat kita tarik beberapa point kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di dalam Pengadilan, yaitu sebagai berikut 34

34

Rachmadi Usman ; Op. cit hal. 3.


(49)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

1. Kesepakatan yang dihasilkan bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama

2. Keputusannya cenderung menimbulkan masalah baru ( terutama terhadap para pihak yang bersengketa )

3. Lambat dalam penyelesaiannya 4. Membutuhkan biaya yang mahal 5. Tidak responsive

6. Menimbulkan permusuhan bagi para pihak yang bersengketa

Dilihat dari kelemahan penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di Pengadilan tersebut di atas, maka menimbulkan cara lain oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan di luar Lembaga Pengadilan yang bersifat Non litigasi.

Sebelum pengertian dari penyelesaian sengketa alternatif tersebut diuraikan lebih lanjut, perlu diuraikan pula prinsip – prinsip dasar dari suatu penyelesaian sengketa alternatif itu sendiri, agar lebih dapat dimengerti pengertian sebenarnya dari penyelesaian sengketa alternarif tersebut, terutama bagi kaum awam yang belum mengerti sama sekali perihal penyelesaian sengketa alternatif.

Prinsip-prinsip dasar dari penyelesaian sengketa alternatif tersebut antara lain :

1. haruslah efisien dari segi waktu 2. haruslah hemat biaya

3. haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh 4. haruslah melindungi hak – hak dari para pihak yang bersengketa

5. haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur

6. badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa

7. putusannya haruslah final dan mengikat


(50)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

9. putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti di mana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat 35

Dari pengertian dan prinsip – prinsip dasar Alternatif Penyelesaian Sengketa di atas, maka dapat kita lihat bahwa terdapat beberapa cara umum yang dapat ditempuh oleh siapa saja dalam hal upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat. Cara tersebut antara lain : 36

a) Konsultasi memiliki pengertian atau prinsip dasar sebagai berikut : ‘suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. ’ 37

Tindakan bebas disini maksudnya adalah bahwa Konsultan tidak meminta pertanggung jawaban Klien bahwa Klien tersebut harus melaksanakan apa yang telah disarankan oleh Konsultan tersebut. Konsultan tersebut hanya sebatas berperan pada pemberian saran, pendapat atau nasihatnya sepanjang hal tersebut

Dari pengertian tersebut di atas maka dapat dimengerti bahwa Konsultasi ini adalah suatu tindakan bebas pihak klien sebagai orang yang membutuhkan saran, pendapat atau sekedar nasihat dari orang yang berkompeten ( ahlinya ) yang disebut Konsultan untuk Klien tersebut dapat menangani permasalahan atau konflik yang sedang dihadapinya.

35

Ibid., hal. 20 36

Gatot Soemartono ; Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia ; Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta ; 2006 ; hal. 1

37


(51)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

memang berhubungan dengan bidang yang ditekuninya baik secara formal maupun informal.

Sehingga antara Konsultan dan Klien tidaklah memiliki ikatan pertanggung jawaban penuh secara formil maupun materiil atas hubungan yang dibentuk oleh keduanya terhadap permasalahan atau konflik yang dialami para pihak dan upaya penyelesaian sengketa yang dialami oleh para pihak juga tetap menjadi tanggung jawab penuh si Klien tanpa adanya kekuatan si Konsultan untuk mencampuri terlalu jauh sengketa tersebut.

Ini berarti bahwa dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran Konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa tidaklah dominan sama sekali, melainkan hanya sebatas pemberian saran, pendapat atau nasehat sebagaimana diminta Kliennya, untuk selanjutnya keputusan tentang permasalahan dan upaya penyelesaian sengketa akan diambil sendiri dan tergantung para pihak yang bersengketa, walau adakalanya pihak Konsultan diberi kesempatan merumuskan bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki para pihak.

b) Negosiasi : yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi ( musyawarah ) secara langsung antara pihak – pihak yang bersengketa yang

hasilnya diterima oleh para pihak tersebut.

Jadi, dari pengertian di atas, dapat kita ambil pengertian bahwa negosiasi tampak sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan dan bukanlah ilmu pengetahuan yang dapat disepakati.


(1)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

b. Keberhasilan penyelesaian sengketa alternatif dalam menyelesaikan sengketa masyarakat batak toba di kota medan

Dari hasil wawancara Peneliti di beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa dalam menyelesaikan sengketa anggota masyarakatnya, khusus masyarakat batak Toba di Kota Medan, Penyelesaian Sengketa Alternatif ternyata sangat berpotensi besar untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan sengketa yang mereka alami.

Keberhasilan lain adalah bahwa lewat penyelesaian sengketa alternatif, para pihak yang bersengketa dapat berdamai ( win – win solution ) dan perdamaian memiliki kesempatan yang lebih besar sebagai pemecahan masalah atau solusi terbaik untuk seluruh pihak.

B.Saran

1. Bagi Notaris, hendaknya mempelajari perihal hukum adat, agar dapat menyelesaikan atau menjawab klien yang ingin berkonsultasi atas permasalahan yang mereka alami seputar hukum adat, khusunya adat Batak Toba sebagai suatu suku yang banyak bermukim di Kota Medan.

2. Bagi Kaum akademis, untuk dapat membuka pola pikir tentang hukum adat, aspek – aspeknya serta ruang lingkupnya khususnya adat Batak Toba, sehingga apabila timbul sengketa pada mereka atau di sekeliling mereka, mereka dapat mencari jalan terbaik dalam hal penyelesaiannya

3. Bagi Pemerintah, hendaknya lebih memperhatikan lagi seputar masalah adat dan budaya masyarakat yang hidup dan berdomisili di Negara Indonesia ini,


(2)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

khusnya Pemerintah Sumatera Utara agar lebih memperhatikan permasalahan masyarakat adat yang bermukim di wilayah pimpinannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku – Buku

Achim Sibeth ; The Batak : People of the Island of Sumatera ; Thames of Hudson ; Linden, Museum and Authors ; London ; 1991.

Bambang Marjihanto ; Kamus Lengkap Bahasa Indonesia ; Terbit Terang ; Surabaya ; 1999

Bambang Sunggono ; Metodologi Penelitian Hukum ; Raja Grafindo Persada; Jakarta ; 2006

Bushar Muhammad ; Asas – Asas Hukum Adat ; Pradnya Pramitha ; Jakarta ; 2003. C. Van Vollenhoven ; Penemuan Hukum Adat ; Djambatan ; Jakarta ; 1987.

Dani, K ; Kamus Lengkap Bahasa Indonesia ( Dilengkapi dengan Ejaan Yang Disempurnakan ) ; Putra Harsa ; Surabaya ; 2002


(3)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Doyle Paul Johnson ; Teori Sosiologi – Klasik dan Modern, Jilid II ; PT. Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta ; 1990

Eman Suparman ; Intisari Hukum Waris Indonesia ; CV. Mandar Maju ; Bandung ; 1995.

Esther Kuntjara; Penelitian Kebudayaan, Sebuah Panduan Praktis; Graha Ilmu; Surabaya; 2006 ;

Florianus SP Sangsun ; Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah ; Visimedia ; Jakarta ; 2008 ;

Gatot Soemartono ; Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia ; Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta ; 2006

Gunawan Widjaja ; Alternatif Penyelesaian Sengketa ; Raja Grafindo Persada ; Jakarta ; 2002 ;

Hilman Hadikusuma, Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia, Alumni, Bandung, 1977

--- , Hukum Perjanjian Adat Alumni, Bandung, 1979 --- , Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977. --- , Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1984.

--- , Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. VII – 2003,

---, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu – Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta,2000 Jacob Sumardjo ; Arkeologi Budaya Indonesia ; Qalam ; Yogyakarta ; 2002

J.C. Vergouwen ; Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba; Pustaka Azet; Jakarta; Cet. I – 1986;

--- ; Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba; LKis Pelangi Aksara ; Yogyakarta; Cet. I – 2004;


(4)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Koentjaraningrat ; Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ; Djambatan ; Jakarta ; 1983

Malau, Gens G, Drs ; Dolok Pusuk Buhit ; Balai Pustaka ; Jakarta ; 1994.

Mohammad Koesnoe ; Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum ; Mandar Maju ; Bandung ; 1992.

--- ; Catatan – Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini ; Airlangga University Press ; Surabaya; 1979 .

Otje Salman Oemadiningrat ; Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer ; Alumni ; Bandung ; 2002

Purba, O.H.S dan Elvis F. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba ( Marserak ), Monora, Medan, 1997.

Purba, O.H.S dan Elvis F. Purba, Migrasi Batak Toba Di Luar Tapanuli Utara, Monora, Medan, 1997

Rachmadi Usman ; Hukum Arbitrase Nasional ; Gramedia Widiasarana Indonesia; Jakarta ; 2002.

--- ; Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ; Citra Aditya Bakti ; Bandung ; 2003 ;

Saragih, Djaren ; Pengantar Hukum Adat Indonesia ; Tarsito ; Bandung ; 1996. Siahaan, Mangaraja Asal ; Adat Batak ; Indie Label ; Balige ; 1965

--- ; Adat dohot Umpama ; Tulus Jaya ; Medan ; 2006

Siahaan, Nalom; Adat Dalihan Natolu, Prinsip dan Pelaksanaannya; Tulus Jaya; Jakarta, 1982

Sihombing, T. M ; Jambar Hata , Dongan Tu Ulaon Adat ; Tulus Jaya ; Medan ; 1989 ;

Situmeang, Doangsa P.L.; Kerabat : Dalihan Natolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba ; Dian Utama ; Jakarta ; 2007 ;

Situmorang, Jaulahan Parumpasa ; Penuntun Adat Praktis ; Label Indie ; Pematang Siantar ; 2000


(5)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji; Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat; Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995;

Soerojo Wignjodipoero ; Pengantar dan Asas – Asas Hukum Adat ; Mas Agung ; Jakarta ; 2004.

Sudarsono, Kamus Hukum ; Rineka Cipta ; Jakarta ; 1999 ;

Sudikan S. Y ; Metode Penelitian Kebudayaan ; Citra Wacana ; Surabaya ; 2001. Sulistyowati Irianto; Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum; Yayasan Obor

Indonesia ; Jakarta; 2005;

Sutrisno Hadi; Metodologi Research; Andi Offset; Yogyakarta; 1989;

B. Peraturan Perundang – Undangan

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179K/Sip/1961, tanggal 1 Nopember 1961

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.100K/Sip/1967 Tahun 1967 tentang Kepemilikan Atas Harta Bersama

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 415 K/Sip/1970, tanggal 30 Juni 1970, tentang Hak Mewaris Pada Anak Perempuan

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9 Pebruari 1974, tentang Hak Mewaris Pada Anak Perempuan

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 459 K/ Sip/1982, tanggal 15 Agustus 1982, tentang Hak Mewaris Pada Anak Perempuan

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

C. Internet

www. Ruma metmet.com/? p=224 ) >> Blog Archieve >> Dalihan Natolu diakses terakhir pada Jumat, 10 Juli 2009


(6)

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kota Medan), 2009.

www ; Marbun,blog spot.com /2006 /……./ Dalihan – Na – tolu, diakses terakhir pada Jumat, 10 Juli 2009

management.theory-, diakses

terakhir tanggal 19 Agustus 2009

diakses terakhir tanggal 19 Agustus 2009