Komunikasi Politik Calon Gubernur (Studi Analisis Framing Pemberitaan Komunikasi Politik Calon Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Harian Analisa)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Paradigma Penelitian
Paradigma menurut Mulyana (2003) adalah suatu cara pandang untuk memahami
kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan
praktisinya. Paradigma menunjukkan kepada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal.
Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada paktisinya apa yang harus dilakukan
tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.
Menurut

Indiantoro

&

Supomo

(1999)

secara


umum

paradigma

penelitian

diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Peneliti menggunakan paradigma kualitatif konstruksionisme, yang memandang realitas
kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis
pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut
dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma konstruksionis dalam studi
komunikasi seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna, berlawanan
dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi (Eriyanto, 2004).
Konsep konstruksionis diperkenalkan sosiolog interpretatif, Peter Berger dan Thomas
Luckmann (1966) lewat bukunya yang bertajuk “The Social Construction of Reality : A Treatise
in the Sociological of Knowledge”. Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan
interaksinya dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami

Universitas Sumatera Utara


bersama secara subjektif. Keduanya menggambarkan bahwa realitas sosial dikonstruksi melalui
proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tesis utamanya adalah manusia dan
masyarakat merupakan produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus.
Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi
kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat.
Seseorang baru menjadi pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam
masyarakatnya, dimana dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat
menciptakan individu terjadi. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen
(Eriyanto, 2004).
“Ada tiga tahapan peristiwa, pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi
diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Manusia berusaha
menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dimana manusia
menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah
dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu
menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri
sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya. Ketiga, internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan kembali
dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari
masyarakat.”

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan
oleh Tuhan, tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini,
realitas berwajah ganda/ plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas
suatu realitas. Selain plural, konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004).
Menurut Bungin (2003), semua individu, lembaga atau kelompok mempunyai peran yang
sama dalam menafsirkan dan mengkostruksi peristiwa politik.
Crigler dalam Eriyanto (2002) menjelaskan ada dua karakteristik penting dalam
pendekatan konstruksionis. Pertama, menekankan pada politik pemaknaan dan kedua pada

Universitas Sumatera Utara

proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu yang
absolut dan konsep statik tapi suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.
Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang
dinamis. Pendekatan ini memeriksa pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan sisi penerima,
memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.
Paradigma konstruksionisme memiliki pandangan mengenai bagaimana realitas dilihat
dan dikostruksi oleh media massa menjadi sebuah berita. Realitas dapat hadir karena memang
dihadirkan dan diciptakan melalui konstruksi, sudut pandang, dan opini wartawan. Burton dalam
Eriyanto (2002) mengatakan pesan dipandang bukan sebagai


mirror of reality, yang

menampilkan fakta apa adanya. Dalam penyampaian pesan, seseorang menyusun citra tertentu
atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang
komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,
memberikan

pemaknaan

tersendiri

suatu

peristiwa

dalam

konteks


pengalaman

dan

pengetahuannya sendiri. Kita tidak dapat menyamakan sebuah teks dalam konteks berita sebagai
sebuah copy dari realitas, tapi merupakan konstruksi atas realitas. Konstruksi yang dilakukan ini
merupakan alasan perbedaan berita yang dibuat oleh dua atau lebih wartawan pada suatu
peristiwa yang sama. Realitas yang sama menjadi berita yang berbeda, tergantung bagaimana
konsepsi ketika realitas tersebut dipahami oleh setiap wartawan yang berbeda pandangan dan
pemaknaan ketika melihat suatu peristiwa. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan
merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil dan bukan realitas yang dipindahkan begitu
saja sebagai berita tapi merupakan produk interaksi antara wartawan dengan fakta.
Dengan demikian, media bukan hanya sebagai saluran penyampaian komunikasi,
melainkan sebagai sebuah proses dinamis yang menekankan kepada politik pemaknaan dan

Universitas Sumatera Utara

proses bagaimana seseorang membuat gambaran mengenai realitas yang ditemuinya. Realitas
menjadi subjektif karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan melalui konstruksi dan
pengaruh sudut pandangnya sendiri. Karena itu, tidak ada realitas yang bersifat objektif dan

fakta diproduksi serta ditampilkan secara simbolik sehingga realitas bergantung pada bagaimana
fakta dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi.
Shoemaker dan Reese dalam Sudibyo (2001) meringkas berbagai faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan, mencakup empat faktor level
yaitu faktor level individual, faktor level rutinitas (media routine), faktor level organisasi dan
faktor level ekstramedia.
“Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional
dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal
dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.
Seperti jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa, juga berhubungan dengan segi
profesionalisme mencakup latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada
partai politik atau organisasi massa.
Kedua, faktor level rutinitas media (media routine), yang berhubungan dengan mekanisme
dan proses penentuan berita. Ukuran tersendiri tentang berita adalah rutinitas yang
berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media. Mulai dari
penentuan pendelegasian tugas, proses sebelum berita dicetak, siapa penulisnya, siapa
editornya dan seterusnya, mempengaruhi bentuk akhir sebuah berita.
Ketiga, level organisasi yang berhubungan dengan struktur organisasi yang secara
hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Selain redaksi, pada organisasi media terdapat
bagian pemasaran, iklan, sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Semua bagian ini tidak

selalu sejalan karena mempunyai tujuan dan target masing-masing, sehingga ketika bagian
redaksi menginginkan berita tertentu menjadi headline belum tentu bagian lain
menginginkan berita yang sama.
Keempat, level ekstramedia yang berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan media,
seperti sumber berita, sumber penghasilan media, pihak eksternal serta ideologi sebagai
berikut :
a. Sumber berita, bukan sebagai pihak yang netral akan memberikan informasi apa adanya,
tapi juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Ia
melakukan politik pemberitaan dengan memberi informasi yang baik baginya dirinya,
dan mengembargo informasi yang tidak atau kurang baik baginya. Kepentingan mereka

Universitas Sumatera Utara

sering tidak disadari oleh media sehingga media secara tidak sadar telah menjadi corong
untuk menyampaikan apa yang dirasakannya.
b. Sumber penghasilan media bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/ pembeli produk media.
Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup”. Kadang media harus
berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan
menghindari meliput peristiwa buruk (kasus) berkaitan dengan pihak pengiklan mereka
atau pengiklan dapat memaksakan versinya (tentang kasus itu) kepada media. Media juga

meliput peristiwa yang disenangi khalayak, meski tidak masuk kriteria kelayakan berita
media itu.
c. Pihak eksternal (pemerintah atau lingkungan bisnis) dapat memengaruhi dan sangat
bergantung pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media pada negara demokratis
ataupun liberal sangat minim dicampuri pemerintahnya. Pengaruh besar malah datang
dari lingkungan bisnis/pasar. Persaingan-persaingan antar media muncul untuk menjadi
yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.
d. Ideologi, sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh
individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini
merupakan hal yang abstrak dan berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang
dalam menafsirkan realitas. Level ideologi akan dapat dilihat kepada yang berkuasa di
dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi
dengan ideologi yang sudah ada di dalam masyarakat” (Sudibyo, 2001).
Hal-hal di atas selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari berita yang diproduksi media
massa. Sebuah berita melalui berbagai pengaruh tersebut sebelum sampai ke tangan pembaca.
Tokoh konstruksionis John C. Merril dalam Eriyanto (2004) berpendapat, objektivitas
sebuah karya jurnalistik merupakan hal yang tidak mungkin dapat dilakukan. Proses kerja
jurnalistik, mulai dari pencarian berita, peliputan, editing, kemudian juga seleksi berita
merupakan kerja yang subjektif.
Ahli sosiologi, Gaye Tuchman dalam bukunya Making News, berpendapat bahwa berita

merupakan konstruksi realitas sosial. Tindakan membuat berita adalah tindakan mengkonstruksi
realita itu sendiri, bukan penggambaran realita. Dia menekankan bahwa berita adalah sekutu bagi
lembaga-lembaga yang berlegitimasi dan bahwa berita juga melegitimasi status quo
(Severin, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Praktisi media, mantan wartawan surat kabar Warren Breed memaparkan pada artikelnya
berjudul “Social control in the news room” pada buku Social Meanings of News (Berkowitz,
1997) bahwa terdapat bidang-bidang dimana berita dan kebijakan editorial biasanya dijaga dan
dimana biasanya dilepaskan. Penerbit surat kabar memiliki hak untuk menetapkan dan
memberlakukan kebijakan surat kabar. Tetapi kepatuhan terhadap kebijakan tidak bisa diperoleh
secara otomatis. Kebijakan itu adalah orientasi yang diperlihatkan oleh surat kabar dalam
editorial, kolom berita, dan berita utamanya berkenaan dengan kejadian atau permasalahan
tertentu. Pandangan (surat kabar) tak akan menimbulkan pembohongan, melainkan
“penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan preferensial, seperti ‘menampilkan di
halaman depan’ berita yang prokebijakan, ‘mengubur’ berita yang

antikebijakan, dan


sebagainya. Setiap surat kabar memiliki kebijakan bidang politik, bisnis dan perburuhan sebagai
bidang kebijakan utama, yang sebagian besar berasal dari pertimbangan kelas. Kebijakan
biasanya bersifat terselubung karena kebijakan itu sering berseberangan dengan kode etik
jurnalisme dan para eksekutif media tidak ingin dituduh telah memerintahkan agar surat
kabarnya miring ke berita-berita tertentu (Severin, 2007).
Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang
dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJhon (2002) mengatakan bahwa
teori-teori aliran konstruksionis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang
objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.
Volosihov menegaskan “whenever a sign present, ideology is present too” (Sobur, 2001).
Sehingga media massa tidak dapat dianggap netral dalam memberikan jasa informasi dan
hiburan kepada khalayak pembacanya.

Universitas Sumatera Utara

Proses konstruksi realitas dikatakan Hamad (2004) pada prinsipnya mengacu pada setiap
upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik, adalah usaha mengkonstruksikan realitas.
Proses konstruksi setiap awak redaksi dalam kegiatan produksi berita menghasilkan sebuah
realitas berupa berita.

Proses konstruksi pertama menurut Tuchman dalam Eriyanto (2005), terjadi ketika
pemimpin redaksi (pemred) atau redaktur menentukan arah pemberitaan beserta kisi-kisi liputan
yang harus dilakukan wartawan saat akan mempersiapkan liputan peristiwa khusus seperti
pilgubsu. Pemred atau redaktur berusaha mengkonstruksikan realitas yang ada di lapangan
khususnya terkait dengan kondisi sosial politik di lingkup internal maupun eksternal. Proses
konstruksi kedua adalah ketika realitas yang dikemukakan oleh pemred atau redaktur tadi
bertemu dengan realitas subjektif milik wartawan hasil dari transaksinya dengan fakta di
lapangan. Berita adalah hasil transaksi antara wartawan dengan sumber. Realitas yang terbentuk
dalam pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata, melainkan relasi antara
wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya. Proses konstruksi ketiga
dilakukan oleh gatekeeper ketika berita versi wartawan tersebut masuk dalam proses editing
hingga menghasilkan berita yang dikemas dalam produk media cetak. Dari proses konstruksi
pertama hingga ketiga terlihat adanya perbedaan yang tergantung pada seberapa besar derajat
kesamaan mereka dalam melihat sebuah peristiwa dalam sebuah bingkai tertentu. Wartawan
dalam proses produksi berita hanyalah menuliskan berita versi mereka, sedangkan gatekeeper
mempunyai wewenang untuk menentukan versi akhir berita.
Berita merupakan konstruksi media yang tidak merefleksikan fakta tunggal dan objektif
tetapi hasil dari proses panjang konstruksi yang dilakukan oleh awak media. Seperti halnya berita

Universitas Sumatera Utara

komunikasi politik cagubsu pada Harian Analisa, dimana institusi media juga dipengaruhi
banyak faktor eksternal, maka berita yang setiap hari dikonsumsi oleh khalayak dalam
pandangan konstruksionis adalah berita yang bias. Karena berita merupakan hasil konstruksi dari
suatu peristiwa, bukan merefleksikan realitas.
Opini menurut Burton (2008) adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari proses
konstruksi realitas, namun data pendukung membuat berita yang dimuat lebih bisa
dipertanggungjawabkan. Fungsi politik media adalah menghasilkan bukti (evidence) dari
pelbagai aktivitas, isu dan peristiwa politik yang memungkinkan kita untuk memahami
beroperasinya politik dalam masyarakat kita dan untuk bekerja secara lebih konstruktif dalam
proses politik. Bukti juga memberikan kita ilusi dalam bentuk partisipasi dalam proses politik,
tetapi sebenarnya mendukung otoritas orang-orang terus mengatur hidup kita tanpa
dipertanyakan. Media mampu memobilisasi opini publik. Dengan cara ini, media juga mampu
membentuk pelbagai opini tentang pelbagai peristiwa dan isu politik. Proses produksi berita di
media massa cetak pada umumnya diawali dengan rapat redaksi dimana jajaran pimpinan redaksi
melakukan briefing sebagai acuan wartawan dalam kegiatan liputan di lapangan. Hasil interaksi
wartawan dengan fakta di lapangan, juga dipengaruhi kondisi objek pemberitaan dan kondisi
sosial, ekonomi, politik.
Proses produksi berita dipengaruhi kondisi eksternal seperti kondisi objek pemberitaan,
juga dipengaruhi keadaan sosial, ekonomi dan politik di tingkat lokal maupun nasional. Hasil
interaksi tersebut dikonstruksikan dalam sebuah berita. Berita tersebut akan melalui proses
editing, dimana kekuatan-kekuatan lain di luar politik redaksional masih dapat mempengaruhi,
hingga hasil akhir berupa produk berita yang siap dikemas untuk dibaca khalayak dalam surat
kabar. Kondisi tersebut menunjukkan dapat saja terjadi konstruksi berulang mulai dari wartawan

Universitas Sumatera Utara

hingga editor dan pemimpin redaksi sebelum akhirnya informasi tersebut benar-benar menjadi
sebuah berita yang siap untuk dibaca. Produk berita tersebut sebelum sampai di tangan khalayak
telah mengalami proses panjang, dimana berita bukanlah semata-mata hasil karya seorang
wartawan, namun merupakan hasil kerja sebuah institusi media. Mekanisme konstruksi dalam
sebuah proses produksi berita tidak hanya terjadi ketika wartawan bekerja di lapangan. Proses
konstruksi terjadi berkali-kali hingga akhirnya konstruksi final dapat dimaknai oleh pembaca
melalui berita yang terbit di surat kabar.
2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu
Penelitian mengenai konstruksi media terkait pilgub sudah pernah dilakukan sebelumnya
oleh peneliti lain di lain daerah di Indonesia dengan media yang berbeda. Dari beberapa
penelitian sebelumnya yang menggunakan analisis Framing Pan & Kosciki terkait komunikasi
politik cagub di media massa terlihat beberapa hasil yang menarik.
Satu diantaranya penelitian Mardhana (2010) berjudul

“Analisis Framing Berita

Kampanye Pasangan Calon Gubernur Jawa Timur Selama Masa Kampanye Putaran I di Harian
Jawa Pos, Surya, Bhirawa dan Duta Masyarakat” pada tahun 2009. Hasil analisis teks berita
dan wawancara mendalam dengan praktisi media yang terlibat dalam liputan kampanye
menggambarkan bahwa komunikasi politik kandidat memiliki nilai berita yang tinggi, sehingga
ke empat media mempunyai kebijakan khusus terhadap beberapa isu komunikasi politik para
kandidat. Harian Jawa Pos dan Surya terlihat relatif bisa menjaga jarak dengan kandidat.
Berbeda dengan Duta Masyarakat yang memberikan apresiasi dan kecenderungan terhadap
kandidat dari Nahdlatul Ulama (NU) karena ada sejarah kedekatan media tersebut dengan NU.
Harian Bhirawa juga mengapresiasi kandidat dari birokrasi, karena sejarah pendiriannya sebagai
Koran birokrasi dimana kebijakan redaksionalnya mengarah pada kepentingan birokrasi.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian itu menunjukkan adanya perbedaan sikap dari ke empat media terhadap berita
kampanye pasangan Calon Gubernur Jawa Timur selama masa kampanye Putaran I tersebut dan
alasan perbedaan tersebut.
Peneliti lain, Simbolon (2013) meneliti “Konstruksi Berita dalam Media Massa (Analisis
Framing Pemberitaan Dua Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
“Jokowi-Basuki dan Fauzi-Nachrowi” dalam Majalah Tempo)” pada tahun 2012. Hasilnya
menunjukkan bahwa Majalah Tempo mengkontruksikan dan membingkai peristiwa mengenai
kedua pasangan tersebut. Majalah Tempo cenderung lebih memihak kepada tim Jokowi-Basuki,
terlihat dari penekanan berita yang cenderung lebih memberi kesan postif bagi Jokowi dengan
sosok Jokowi ditampilkan sebagai orang yang peduli rakyat kecil, selalu aktif turun ke
pemukiman kumuh, sikapnya santun dan sederhana. Pemberitaan pada tim Fauzi-Nachrowi
menekankan kesan negatif, seperti koalisi dengan pemberian uang, peniruan strategi kampanye
Jokowi dan usaha tim suksesnya untuk mengubah penampilan Fauzi yang arogan dan kaku di
depan publik menjadi lebih ramah dan murah senyum.
Kedua penelitian sebelumnya itu menunjukkan ada media yang berusaha relatif menjaga
jarak dengan para cagub dan ada pula yang jelas-jelas melakukan upaya pembingkaian (framing)
terhadap sosok cagub sesuai dengan kebijakan dan sejarah serta hubungan kedekatan media
dengan sosok yang diberitakan. Framing demikian dapat juga terjadi pada kasus lain dengan
media lainnya, sebab berdasarkan pendapat di atas tentang hal-hal yang berpengaruh pada hasil
akhir dari berita yang diproduksi media massa maka media dan dunia politik adalah sisi yang
sangat berdekatan dalam era keterbukaan, dimana media dan aktor-aktor politik dapat saling
memanfaatkan satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara

Produksi pesan media haruslah dilihat sebagai aktivitas yang sarat dengan kepentingan
dan implementasi kekuasaan, yang memiliki implikasi penting dalam komunikasi politik. Politisi
mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain dan bersama jurnalis
membangun frame berita tertentu. Alasan-alasan tersebut menjadikan penelitian komunikasi
politik menarik untuk dilakukan. Penelitian pertama meneliti konstruksi yang dilakukan di empat
media sekaligus, sedangkan penelitian kedua meneliti konstruksi terhadap hanya dua pasang
calon gubernur dan wakil gubernur pada satu media saja. Ciri menonjol dari kedua penelitian
tersebut adalah menganalisis teks berita dan melakukan wawancara mendalam terhadap awak
media yang memproduksi berita.
Perbedaan penelitian ini dengan kedua penelitian di atas adalah penelitian ini akan
meneliti konstruksi pada satu media saja yaitu Harian Analisa terhadap berita komunikasi politik
pada kampanye perdana lima cagubsu. Didasari pada asumsi bahwa teks berita pada suatu media
juga dipengaruhi faktor-faktor internal dan eksternal media, maka teks media diteliti tidak hanya
dari muatan yang bersifat nyata namun juga bingkai seperti apa yang ingin ditonjolkan oleh
wartawan, sehingga peneliti menggunakan analisis framing model Pan & Kosicki dilengkapi
wawancara mendalam (indepth interview) dengan pemred Harian Analisa.
Analisis framing merupakan cara untuk menggambarkan proses penyeleksian dan
pemfokusan aspek-aspek khusus suatu realitas oleh media. Mulanya frame dimaknai sebagai
struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik,
kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori–kategori standar untuk mengapresiasi realitas.
Analisis framing Pan & Kosicki berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi
sebagai organisasi ide. Frame adalah suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda
dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam

Universitas Sumatera Utara

teks secara keseluruhan. Pan & Kosicki mengemukakan empat dimensi struktur teks berita
sebagai perangkat framing, yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Ke empat dimensi struktur
ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam
suatu koherensi global.
Tabel 2.2
Framing Pan & Kosicki
Struktur

Perangkat

Unit yang diamati

SINTAKSIS
Cara
wartawan Skema berita
menyusun kata

Headline,
lead,
latar
informasi,kutipan, sumber,
pernyataan, penutup

SKRIP
Cara
wartawan Kelengkapan berita
mengisahkan fakta

5W+1H

1. Detail
TEMATIK
Cara wartawan menulis 2. Maksud kalimat,
fakta
hubungan
3. Nominalisasi
antarkalimat
4. Koherensi
5. Bentuk kalimat
6. Kata ganti
1. Leksikon
RETORIS
Cara
wartawan 2. Grafis
menekankan fakta
3. Metafor
4. Pengandaian
Sumber : Sobur, 2011

Paragraf, proposisi

Kata, idiom, gambar/foto,
Grafik

Sintaksis adalah cara wartawan menyususun berita yang dapat diamati melalui bagan
berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, kutipan
yang diambil, dan sebagainya)
Skrip adalah cara wartawan mengisahkan fakta. Struktur ini melihat bagaimana strategi
cara bercerita atau bertutur yang dipakai oleh wartawan dalam mengemas peristiwa ke dalam

Universitas Sumatera Utara

bentuk berita. Skrip memfokuskan perangkat framing pada kelengkapan berita: (a) What (apa),
(b) When (kapan), (c) Who (siapa), (d) Where (di mana), (e) Why (mengapa), (f) How
(bagaimana).
Tematik adalah cara wartawan menulis fakta. Struktur tematik berhubungan dengan
bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat
atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini mempunyai
perangkat framing: (a) Detail, (b) Maksud dan hubungan kalimat, (c) Nominalisasi antar kalimat,
(d) Koherensi, (e) Bentuk kalimat, (f) Kata ganti. Unit yang diamati adalah paragraf atau
proposisi.
Retoris adalah cara wartawan menekankan fakta. Struktur retoris berhubungan dengan
bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat
bagaimana wartawan memakai leksikon/pilihan kata, idiom, grafik dan gambar yang dipakai
bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu pada pembaca.
Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan framing
dari suatu media yang menampilkan tendensi atau kecondongan wartawan dalam memahami
suatu peristiwa.
2.3 Uraian Teori
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar
peranannya dalam penelitian adalah teori (Masri Singarimbun, 1995). Teori berguna untuk
menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah.
Menurut Nawawi (1995) perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran
yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti. Ketika suatu

Universitas Sumatera Utara

masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan
teori-teori yang dipilih yang dianggap mampu menjawab masalah penelitian (Bungin, 2008).
Peneliti memilih beberapa teori tentang media massa dikaitkan dengan teori komunikasi
politik dan analisis framing Pan & Kosciki untuk mendapatkan jawaban atas penelitian yang
dilakukan.
Media massa dalam menjalankan paradigmanya menurut Bungin (2008) berperan sebagai
institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi, sebagai media informasi
ke masyarakat, sebagai media hiburan dan sebagai agent of change, media juga menjadi institusi
budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan
budaya. Peran media massa sangat besar bagi masyarakat sehingga media massa bukan saja
mempengaruhi pembaca/ pendengar /penontonnya dari segi kognitif, tapi juga dari segi afektif
dan perilaku. Peran yang demikian besar ini membuat media massa sering digunakan sebagai
sarana dalam pembentukan pendapat umum (public opinion). Media massa juga merupakan
jembatan atau sebagai alat atau saluran komunikator dalam menyampaikan pesan, sehingga
diperlukan kemampuan untuk memilih media yang tepat dan cermat agar pesan sampai tepat
sasaran pada komunikannya.
Kemampuan media menyampaikan pesan dengan efek tertentu dipengaruhi banyak faktor
diantaranya komunikator, komunikan, media atau saluran dan juga noise atau gangguan. Pesan
berupa berita yang disampaikan merupakan hasil proses kompleks menyortir (memilah-milah)
dan menentukan peristiwa dan tema-tema dalam kategori tertentu. Peristiwa dinilai dari
kelayakan dan cara mengemas beritanya. Penyajian berita dilakukan setelah melalui proses
penyaringan dengan kebijakan-kebijakan yang ditentukan keredaksian yang membatasi

Universitas Sumatera Utara

kebebasan wartawan dalam menuliskan dan menyampaikan berita. Kebijakan redaksional
menjadi pedoman dan ukuran dalam menentukan pilihan berita yang akan diterbitkan.
Berita adalah karya wartawan melalui proses aktif menggambarkan peristiwa (fakta) yang
diliput, yang kemudian redaksi memilih berita mana yang akan ditempatkan sebagai headline
dengan cetakan huruf besar sehingga lebih awal terlihat oleh pembacanya dan punya nilai layak
jual.
Menurut Dominick (1990) bicara tentang komunikasi massa tidak terlepas dari bicara
tentang saluran komunikasi berupa media massa, mencakup bukan hanya alat mekanis yang
mengirimkan dan menyimpan pesan seperti kamera TV, mikrofon radio dan percetakan, tetapi
juga lembaga-lembaga yang menggunakan mesin ini untuk mengirimkan pesan. Ketika kita
berbicara tentang media massa televisi, radio, koran, majalah, rekaman suara, dan film, maka
akan mengacu kepada orang-orang, kebijakan, organisasi, dan teknologi yang masuk ke dalam
memproduksi komunikasi massa tersebut.
“In the broadest sense of the world, a medium is the channel through which a message
travels from the source to the receiver (“medium” is singular; “media” is plural). This is
in our discussion, we have pointed to sound and light wave as media of communication.
When we talk about mass communication, we also need channels to carry the message.
We will refer to these channels as the mass media. Our definition of a mass medium will
include not only the mechanical devices that transmit and sometimes store the message
(TV cameras, radio microphones, printing presses), but also the institutions that use these
machines to transmit messages. When we talk about the mass media of television, radio,
newspapers, magazines, sound recording, and film, we will be referring to the people, the
policies, the organizations, and the technology that go into producing mass
communication”(Dominick, 1990).
Definisi komunikasi menurut Dance (1967) dirangkum dari 98 definisi, menjadi 3
kategori yaitu pertama, definisi-definisi yang menekankan pada kemampuan komunikasi dalam
mempengaruhi. Misalnya, “komunikasi merupakan proses dimana seseorang (komunikator)
mengirimkan pesan (biasanya bersifat verbal) dengan tujuan untuk mempengaruhi/ membentuk
perilaku (to modify behavior) individu yang lainnya (komunikan). Kedua, definisi yang

Universitas Sumatera Utara

menekankan gejala saling berbagi informasi. Misalnya, ”komunikasi adalah proses saling
berbagi informasi.” Ketiga, definisi-definisi yang mengandung unsur mempengaruhi serta
respon, baik dengan/atau tanpa menekankan pada kedua unsur di atas. Misalnya, “komunikasi
adalah proses yang dilalui oleh suatu pemikiran untuk mempengaruhi pemikiran yang lainnya.”
Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis dan taia. Polis berarti negara (kota) dan taia
berarti urusan. Politik berarti urusan negara. Polis kemudian berkembang menjadi politikos
artinya kewarganegaraan dan berubah lagi menjadi politera yaitu hak-hak kewarganegaraan.
Flechtheim (1952) mendefenisikan ilmu politik sebagai ilmu sosial yang khusus mempelajari
sifat dan tujuan dari negara, sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan
tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi negara.
Susanto (1993) merumuskan pengertian komunikasi politik adalah komunikasi yang
diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas
oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang
ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.
Kegunaan

komunikasi

politik

menurut

Kantaprawira

(1977)

adalah

untuk

menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan,
institusi, asosiasi, atau sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik
pemerintah. Kegiatan komunikasi politik tidak hanya dalam ruang lingkup internal (nasional)
melainkan juga eksternal (internasional).
Menurut Philips & Alexander dalam Kantaprawira (2007), komunikasi politik
internasional adalah komunikasi yang dilakukan oleh suatu negara nasional (national states)
untuk mempengaruhi tingkah laku politik bangsa lain. Obyek ilmu politik adalah proses

Universitas Sumatera Utara

pembuatan kebijakan (decision making process) maka secara sederhana dapat didefenisikan
Politik adalah siapa (who), memperoleh apa (gets what), kapan (when), dan bagaimana caranya
(how).
Komunikasi politik mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan
metodologis antara disiplin komunikasi dan politik. Namun jika disimak dari berbagai literatur,
menurut Ardianto & Q-Anees (2007) komunikasi politik telah menjadi kajian tersendiri sejak
diakui oleh organisasi ilmiah International Communication Association bersama divisi lain,
seperti divisi sistem informasi, komunikasi antarpribadi, komunikasi massa, komunikasi
organisasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi instruksional dan komunikasi kesehatan.
Beberapa ilmuwan melihat komunikasi politik sebagai suatu pendekatan dalam
pembangunan politik. Karena itu komunikasi politik dianggap memiliki fungsi yang sangat
istimewa karena meletakkan basis untuk menganalisis permasalahan yang muncul dan
berkembang dalam keseluruhan proses dan perubahan politik suatu bangsa.
Samego & Arba (1998) dalam catatan pengantar ‘Negara, Masyarakat dan Pemilu’
menyatakan sebuah kenyataan mutakhir bahwa kegiatan politik tidak selalu ditentukan oleh
saluran resmi pemerintah. Pernyataan para tokoh masyarakat, peran media komunikasi massa,
dan juga keterlibatan lembaga swadaya masyarakat di dalam mengartikulasikan kepentingan
rakyat telah mempertinggi derajat pemahaman massa. Selain budaya politik, faktor berperannya
dua variabel komunikasi politik yaitu sumber untuk memperkaya pengetahuan kognitif massa
tentang politik yang beragam jumlah, bentuk dan kemampuannya serta belum berfungsinya
sistem secara optimal dengan adanya ketidakpastian hukum membuat politik sering dipraktekkan
secara keliru, campur tangan pemerintah sering mengalami distorsi baik karena adanya

Universitas Sumatera Utara

interpretasi yang short-sided maupun kepentingan subyektif para aktornya. Tingkat pendidikan
masyarakat yang terbatas dan teknologi informasi yang belum secanggih sekarang membuat
persoalan politik dulu masih terlalu elitis sifatnya. Pemahaman masyarakat mengenai politik
diperoleh dari keterlibatan mereka dalam organisasi politik atau sejumlah kecil berita di surat
kabar. Peran media belum sebesar sekarang sehingga partai politik sangat menentukan kesadaran
politik rakyat.
“Kini, setelah deregulasi media dilakukan dan regulasi politik dibakukan,
suasananya
jelas berbeda. Sumber berita bisa lintas aliran. Basis ideologis tradisional tidak lagi kuat,
sehingga persaingan antar komunikator untuk mendapatkan simpati dan respon dari
komunikannya semakin terbuka. Apalagi konglomerasi media, dimana pemilik media juga
terlibat dalam politik praktis, terjadi di Indonesia. Sehingga komunikasi politik di media
massa menjadi semakin menarik dan memiliki pengaruh terhadap pemahaman masyarakat
atas pemberitaan yang disajikan, khususnya pemberitaan yang bersifat politis, termasuk
komunikasi politik.
Kegiatan di dalam sistem politik (negara) dimaksudkan untuk menentukan dan
melaksanakan tujuan tertentu dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum melalui
kekuasaan. Komunikasi politik sebagai hasil yang bersifat politik (political outcomes) dari
kelas sosial, pola bahasa, dan pola sosialisasi, merupakan infrastruktur politik, sebagai
kombinasi dari berbagai interaksi sosial dimana informasi yang berkaitan dengan usaha
bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran sistem politik. Komunikasi
politik adalah proses transmisi informasi yang relevan secara politik dari suatu bagian
sistem politik kepada bagian sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem
politik; dan proses komunikasi politik, sosialisasi politik, dan perekrutan politik
tergantung pada suatu sistem politik. Politisi sebagai komunikator politik, berada pada
posisi strategis untuk memainkan peran politik dalam suatu setting politik tertentu”
(Samego & Arba, 1998).
Nimmo (1993) berpendapat politisi sebagai komunikator politik memainkan peran sosial
yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini publik. Politisi atau politikus
berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok dan pesan-pesan politikus itu adalah untuk
mengajukan dan atau melindungi tujuan kepentingan politik. Media massa menjadi penggerak
utama dalam usaha mempengaruhi individu terhadap terpaan berita yang diterimanya dan bentuk

Universitas Sumatera Utara

pembicaraan politik dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang di dalamnya
terdapat simbol-simbol politik (Hamad, 2004).
Plano, Robert & Helenan (1982) dalam bukunya The Dictionary of Political Analysis
menyebutkan bahwa “komunikasi politik merupakan proses penyebaran makna atau pesan yang
bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Secara formal objek komunikasi politik adalah
dampak atau hasil yang bersifat politik (political outcomes) di samping sebagai salah satu fungsi
yang menjadi syarat untuk berfungsinya sistem politik.
Ra'uf & Mappa (1993) menjelaskan komunikasi politik sebagai kegiatan politik
merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada
pihak lain. Inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu
pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi
tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya, sebagai upaya yang berorientasi
pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai atau memperoleh kekuasaan.
Rogers & Storey (1987) dalam Communication Campaigns menjelaskan hubungan antara
media dengan kampanye dengan audiens yang tepat akan mempengaruhi hasilnya. Media massa
dapat memainkan peran penting dalam menciptakan kesadaran pengetahuan, dalam mendorong
komunikasi interpersonal, dan dalam merekrut individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan
kampanye. Tapi media massa bukanlah obat mujarab bagi kampanye, karena dipengaruhi
beberapa kondisi, tujuan dan sasaran yang tepat selain pendapat yang dipegang kuat serta
perilaku yang mendarah daging yang sangat sulit untuk berubah. Sehingga, salah satu kunci
sukses untuk kampanye komunikasi yang sukses adalah pengaturan tujuan kampanye yang
wajar.

Universitas Sumatera Utara

“The mass media can play an important role in creating awarenessknowledge, in
stimulating interpersonal communication, and in recruiting individuals to participate in
campaign activities. Mass media communication is not a campaign panacea. Some
messages communicated through some channels affect some people more than others
under some conditions. Many campaigns may not so much fail as fall short of unrealistic
objectives, perhaps by delivering their messages to the wrong audience. Strongly held
opinions and ingrained behaviors are very difficult to change. One key to successful
communication campaigns is the setting of reasonable campaign goals” (Rogers & Storey,
1987)
Ettema & Whitney (1994)

dalam Professional Mass Communicators menjelaskan

mengenai prospek untuk mengetahui dan mengatakan kebenaran melalui jurnalisme. Bahwa
jurnalis dapat merumuskan suatu kebenaran yang diketahui dan diungkapkannya.
“What then, can be said of the prospects for knowing and telling the truth through
journalism? If we are willing to stipulate that there is such a thing as truth to be known
and told – a key stipulation, we admit – then we can formulate the issue of truth in
journalism much as we formulated the issue for creativity in popular entertainment and
much as journalists themselves sometimes formulate it /Harper’s, 1985” (Ettema &
Whitney, 1994).
Pembagian teori komunikasi dalam beberapa konsep disesuaikan dengan sistem politik
yang berlaku pada negara yang bersangkutan. Rivers, Schramm, & Cristians pada
“Responsibility in Mass Communications” dalam Rachman (2007) membagi dalam tiga konsep
yaitu Authoritharianism, Liberitarianism dan Social Responsibility Theory.
“Konsep komunikasi dalam sistem politik authoritarianism adalah komunikasi politik
dimana lembaga suprastruktur politik mengatur bahkan menguasai sistem komunikasi
politik yang menghubungkan antara suprastruktur dengan infrastruktur. Artinya negara
lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada
masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan sistem
komunikasi atau bahkan hanya bisa menerima semua pesan komunikasi politik yang
disampaikan oleh negara atau pemerintah. Contoh : penerapan sistem komunikasi politik
dalam negara sosialis komunis.
Konsep komunikasi politik dalam sistem politik liberitarianism adalah komunikasi politik
dimana lembaga infrastruktur politik memiliki kewenangan yang besar untuk mengatur
bahkan menguasai sistem komunikasi politik yang menghubungkan antara suprastruktur
dengan infrastruktur politik. Artinya masyarakat (society) lebih besar memiliki pengaruh
dalam mengendalikan media komunikasi politik dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Negara hanya memiliki daya untuk memantau atau mengendalikan sistem komunikasi

Universitas Sumatera Utara

agar tidak melanggar semua aturan atau hukum yang berlaku dalam negara yang dapat
berakibat kerugian pada masyarakat umum. Contoh : penerapan sistem komunikasi politik
dalam negara demokrasi.
Konsep komunikasi politik dalam sistem politik social responsibility theory adalah
komunikasi politik dimana lembaga suprastruktur politik mengatur bahkan menguasai
sebagian besar sistem komunikasi politik yang menghubungkan antara suprastruktur
dengan infrastruktur. Artinya negara lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan
media komunikasi politik kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat
untuk mengendalikan sistem komunikasi politik atau bahkan hanya bisa menerima
sebagian besar pesan komunikasi politik yang disampaikan oleh negara atau pemerintah.
Contoh : penerapan sistem komunikasi politik dalam negara sosialis demokrat” (Rachman,
2007).
Menurut Sumarno (1989) ada dua unsur komunikasi politik, mencakup unsur komunikasi
politik dalam lembaga suprastruktur dan infrastruktur. Dalam lembaga suprastruktur terdiri dari
tiga kelompok yaitu yang berada pada lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga
kelompok tersebut terdiri dari elit politik, elit militer, teknokrat dan profesional group. Dalam
lembaga infrastruktur terdiri dari beberapa kelompok yaitu partai politik, interest group, media
komunikasi politik, kelompok wartawan (sebagai within-put), kelompok mahasiswa (sebagai
within-put) dan para tokoh politik.
“Fungsi komunikasi politik dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek totalitas serta
hubungan suprastruktur dan infrastruktur politik. Fungsi komunikasi politik dalam aspek
totalitas adalah mewujudkan suatu kondisi negara yang stabil dengan terhindar dari faktorfaktor negatif yang mengganggu keutuhan nasional. Artinya, negara berkewajiban
menyampaikan komunikasi politik kepada masyarakat secara terbuka (transparan) serta
menyeluruh (komprehensif) serta menghilangkan hambatan (barier) komunikasi antara
negara dengan masyarakat sehingga tercipta hubungan yang hermonis diantara keduanya.
Fungsi komunikasi politik dalam aspek hubungan suprastuktur dan infrastruktur adalah
sebagai jembatan penghubung antara kedua suasana tersebut dalam totalitas nasional yang
bersifat independen dalam berlangsungnya suatu sistem pada ruang lingkup negara.
Artinya, pemerintah berkewajiban menyampaikan (artikulasi) semua kebijakan dan
keputusan politik kepada masyarakat dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Aspek dimaksud adalah aspek ideologi, ekonomi, sosial budaya,
hukum dan hankam serta aspek lain yang berhubungan dengan sikap dan perilaku politik
Indonesia kepada pihak internasional /luar negeri” (Sumarno, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Dijelaskan J.D. Halloran dalam Rachman (2007) komunikator massa berlaku juga bagi
komunikator politik. Komunikator politik dalam Rosenau, adalah pembuat opini pemerintah atas
hal ihwal nasional yang multimasalah. Menurutnya yang termasuk dalam klasifikasi tersebut
adalah pejabat eksekutif (presiden, kabinet, kepala penasihat), pejabat legislatif (senator atau
DPD, pimpinan utama DPR) dan pejabat yudikatif (Hakim, MA, MK).
Leonard W Dob dalam Rachman (2007) mengatakan komunikator politik dapat dibagi
dalam 3 macam, yaitu :
(a) Politikus sebagai komunikator politik, dimana politikus adalah orang yg memiliki otoritas
untuk berkomunikasi sebagai wakil dari kelompok atau langganan; pesan-pesannya mengajukan
dan melindungi tujuan kepentingan politik. Artinya komunikator politik mewakili kepentingan
kelompok. Ada juga politikus yang bertindak sebagai ideologi yang aktivitasnya membuat
kebijakan yang luas, mengusahakan reformasi dan bahkan mendukung perubahan revolusioner.
(b) Komunikator profesional dalam politik, sebagaimana dikatakan James Carey, adalah orang
yang menghubungkan golongan elit dalam organisasi atau komunitas manapun dengan khalayak
umum; secara horizontal ia menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada tingkat
struktur sosial yang sama. Menurutnya, sifat komunikator ini adalah “ bahwa pesan yang
dihasilkan tidak memiliki hubungan yang pasti dengan pikiran dan tanggapannya sendiri”.
Klasifikasi komunikator profesional adalah meliputi ; jurnalis, promotor.
(c) Aktivis atau komunikator paruh waktu (part time) dimana cukup banyak orang yang terlibat
dalam kegiatan politik atau komunikasi politik tetapi tidak menjadikan kegiatannya sebagai
lapangan pekerjaan. Kategori komunikator ini adalah jurubicara, pemuka pendapat, pengamat.
Komunikator politik menggunakan saluran komunikasi politik dan saluran komunikasi persuasif
politik yang memliki kemampuan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bangsa dan negara.
Tipe–tipe saluran komunikasi politik menurutnya meliputi :
(a) Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politik
kepada komunikan (khalayak) melalui media komunikasi massa, seperti, suratkabar,
radio, televisi.
(b) Komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator
kepada komunikan (khalayak) secara langsung atau tatap muka (face to face).
Contohnya, dialog, lobby, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), dan lain-lain.
(c) Komunikasi organisasi adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator
politik kepada komunikan (khalayak) atau komunikasi vertikal (dari atas ke bawah) dan

Universitas Sumatera Utara

horizontal (dari kiri ke kanan) sejajar. Contohnya, komunikasi antar atasan, dan
komunikasi antar bawahan (staf).
Tipe saluran komunikasi persuasif politik meliputi :
(a) Kampanye massa adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa
program asas, platform partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada
calon pemilih (calon konstituen) melalui media massa cetak, radio, maupun televisi, agar
memilih partai politik yang dikampanyekannya.
(b). Kampanye Interpersonal adalah proses penyampaian pesan persuasive (pengaruh)
yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai
politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada tokoh masyarakat yang memiliki
pengaruh yang luas terhadap calon pemilih (calon konstituen) agar menyerukan untuk
memilih partai politik yang dikampanyekannya.
(c). Kampanye organisasi adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang
berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik
yang dilakukan oleh komunikator politik kepada kader, fungsionaris, dan anggota dalam
satu organisasi partai politik dan antar sesama anggota agar memilih partai politik yang
dikampanyekannya (Rachman, 2007).
Pesan komunikasi politik dijelaskannya adalah pesan yang berkaitan dengan peran negara
dalam melindungi semua kepentingan masyarakat (warga negara). Bentuk pesannya dapat
berupa keputusan, kebijakan dan paraturan yang menyangkut kepentingan dari keseluruhan
masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pembicaraan politik, komunikator lebih banyak
menggunakan instrumen komunikasi yang meliputi :
a. Lambang pembicaraan politik adalah kegiatan simbiotik. Kegiatan ini dapat berupa
pembicaraan otoritas dilambangkan oleh konstitusi, hukum, pembicaraan kekuasaan
dilambangkan oleh parade militer dan pembicaraan pengaruh dilambangkan oleh
mimbar partai, slogan, pidato, editorial.
b. Bahasa, dalam komunikasi politik merupakan suatu sarana yang sangat penting yang
memiliki fungsi sebagai “cover” bagi isi pesan (content message) yang akan
disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sehingga pesan tersebut memiliki
daya tarik (interest) serta mudah diterima oleh komunikan (masyarakat).
c. Opini publik (pendapat umum). Pesan (message) yang disampaikan oleh
komunikator politik dilakukan dengan memperhatikan secara seksama pendapat
umum atau pendapat yang berkembang dalam realitas kehidupan masyarakat yang
ada dan mengemuka melalui media massa cetak, audio, maupun audio visual serta

Universitas Sumatera Utara

media komunikasi langsung yang berasal dari elemen infrastruktur politik yang
mengartikulasi kepentingan masyarakat luas, baik melalui media dialog, diskusi,
konsep pemikiran maupun orasi di lapangan (demonstrasi). Semuanya ditujukan
untuk memelihara harmonisasi komunikasi antara komunikator politik dengan
komunikan atau khalayak (masyarakat). Komunikan atau khalayak dalam komunikasi
politik adalah semua khalayak yang tergolong dalam infrastruktur maupun
suprastruktur politik. Semua komunikan yang secara hukum terikat oleh konstitusi,
hukum dan ruang lingkup komunikator suatu Negara (Rachman, 2007).
Penelitian komunikasi politik, dari catatan sejarah, paling awal berkenaan dengan
kampanye politik dan pemilihan umum. Komunikasi politik sebagai suatu studi mandiri baru
muncul pada awal dasawarsa 1950an. Istilah itu dikemukakan pertama kali oleh Euleau,
Eldersveld & Janowitz pada tahun 1956. Euleau dan kawan-kawan mendudukkan komunikasi
politik sebagai satu dari tiga proses yang berpengaruh dalam kegiatan politik. Dua proses lainnya
adalah kepemimpinan politik dan struktur kelompok. Aristoteles dalam buku Rhetoric membahas
secara sistematis mengenai seni berpidato yang menjadi cikal bakal persuasi politik. Niccolo
Machiaveli dalam bukunya Il Principe atau Sang Penguasa (1532). Hocmuth & Brigance dengan
karya mereka The history and Criticism of America Public Address dan para editor dari The
quarterly journal of sp

Dokumen yang terkait

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARA CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH JAWA BARAT TAHUN 2013-2018.

0 6 35

HUBUNGAN TERPAAN PEMBERITAAN CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JAWA BARAT 2013-2018 DI METRO TV DENGAN PERILAKU POLITIK MAHASISWA.

0 0 2

Komunikasi Politik Calon Gubernur (Studi Analisis Framing Pemberitaan Komunikasi Politik Calon Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Harian Analisa)

0 2 13

Komunikasi Politik Calon Gubernur (Studi Analisis Framing Pemberitaan Komunikasi Politik Calon Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Harian Analisa)

0 0 2

Komunikasi Politik Calon Gubernur (Studi Analisis Framing Pemberitaan Komunikasi Politik Calon Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Harian Analisa)

0 0 10

Komunikasi Politik Calon Gubernur (Studi Analisis Framing Pemberitaan Komunikasi Politik Calon Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Harian Analisa)

0 0 4

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 12

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 2

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 7

Opini Mahasiswa Kota Medan Terhadap Iklan Politik Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2018

0 0 10