Ekspresi Subtansi P (Sp) Pada Jaringan Pulpa Normal Dan Pulpitis Reversibel Gigi Macaca Fascicularis (Penelitian In Vivo)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan Pulpa
Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan
mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan
ikat lainnya di dalam tubuh tetapi memiliki karakteristik khusus (Okiji, 2012). Hal ini
disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh
jaringan mineralisasi yang keras atau low compliance environment (Okiji, 2012).
Oleh sebab dibatasi oleh dinding dentin yang rigid dan kurangnya sirkulasi kolateral
maka perubahan volume di dalam ruang pulpa (seperti saat terjadi inflamasi) sangat
terbatas (Byers, 1999; Gulabivala, 2014). Kemampuan pulpa terhadap pertahanan dan
perbaikan jaringan sangat kecil, diduga hal ini akan mengurangi aliran darah dan
perbaikan sel (Pashley dan Tay, 2012).
Jaringan pulpa gigi berasal dari neural crest (jaringan ektomesenkim) (Okiji,
2012; Hargreaves, 2012; Abbott, 2007). Proliferasi dan kondensasi sel ini
menyebabkan pembentukan papila dental yang akan menghasilkan pulpa yang matur
(Bergenholtz, 2010). Pulpa yang matur memiliki kesamaan dengan jaringan ikat
embrionik dengan lapisan sel spesialisasi tinggi yaitu odontoblas di seluruh daerah
perifer (Weine, 2004). Secara fisik, pulpa memiliki banyak inervasi saraf sensori dan


Universitas Sumatera Utara

kaya akan komponen mikrosirkulasi yang membuat pulpa menjadi jaringan yang unik
(Buck, 1999). Pengetahuan akan fungsi pulpa normal, komponen, dan interaksinya
penting dalam memberikan kerangka pengertian terhadap perubahan yang terjadi
dalam kelainan pulpa (Hargreaves. 2012).
Pulpa terdiri dari jaringan ikat lunak, mengandung pembuluh-pembukuh
darah dan persyarafan, dan mempertahankan vitalitas kompleks pulpa-dentin (Okiji,
2002 ). Tipe sel yang terbanyak pada jaringan pulpa adalah sel-sel fibroblast. Selain
itu, pulpa juga terdiri dari sel-sel endothelial, serabut-serabut syaraf, sel-sel
mesenchymal, dan berbagai sel-sel immunokompeten (Okiji 2002; Goldberg dan
Smith, 2004).
Pada pulpa koroner, dari daerah dalam ke perifer pulpa, sel-sel fibroblast
membentuk zona kaya sel (sel-sel Hohl, sel-sel subodontoblasik) yang dipisahkan
dari lapisan odontoblas oleh zona tanpa sel (zone of Weil)(Abbott, 2007). Pada zona
ini dijumpai kapiler-kapiler darah, jaringan kaya serabut-serabut syaraf unmyelinated
(serabut syaraf C), dan processus fibroblast (Bergenholtz, 2010). Jaringan ikat pulpa
sentral terdiri atas sel-sel fibroblast, pembuluh-pembuluh darah yang lebih besar dan
persyarafan berada sebelah dalam zona kaya sel ( Okiji 2002 ). Sel-sel mesenchymal
yang tidak berdiferensiasi, sel-sel progenitor pulpa diperkirakan mempunyai

kemampuan diferensiasi menjadi fibroblast atau odontoblas, terdistribusi pada
jaringan pulpa, dan sering terlokasi perivaskuler (Okiji, 2002). Beberapa tipe sel-sel

Universitas Sumatera Utara

immunokompeten, termasuk sel-sel dendrit, makrofag, limfosit T, dan limfosit B
(Jontell et al., 1998).
Matriks ekstraseluler pulpa ( ECM ), yang dihasilkan sel-sel fibroblast, terdiri
atas kolagen, proteoglycans, dan glycoprotein yang komposisinya sama dengan
jaringan ikat lunak lain (Okiji, 2012). Kolagen pada pulpa adalah fibriliar yaitu
kolagen tipe I dan III merupakan 95% dari total kolagen, sedangkan kolagen nonfibriliar adalah kolagen V dan VI dijumpai lebih sedikit (Abbott, 2007).
Pembuluh-pembuluh darah dan persyarafan memasuki pulpa melalui foramen
apikal atau foramina saluran akar tambahan dan kemudian bercabang ke arah koroner
(Ikeda

dan

Suda,

2012).


Vaskularisasi

terbanyak

dijumpai

pada

daerah

subodontoblasik dan beberapa kapiler memasuki lapisan odontoblas tetapi tidak
dijumpai pada dentin (Ikeda dan Suda, 2012). Syaraf-syaraf sensory dan syaraf
sympathetic mengikuti pembuluh-pembuluh darah dan membentuk jaringan yang
kaya ujung terminal syaraf pada regio subodontoblasic dan ruang periodontoblasic
dari tubulus-tubulus dentin sepanjang 0,1 mm pada dentin koroner (Ikeda dan Suda,
2012; Byers et al.,1999). Mayoritas persyarafan pulpa adalah syaraf sensoris (Byers,
1999).Serabut-serabut syaraf sensory terutama dekat puncak tanduk pulpa (Byers et
al., 1999). Daerah odontoblas dan subodotoblas secara normal tidak diinervasi oleh
syaraf-syaraf symphatetic (Olgart, 1996).


Universitas Sumatera Utara

2.2 Sel-sel odontoblas
Odontoblas merupakan sel pulpa yang paling khas, berasal dari jaringan
mesenkim, membentuk lapisan tunggal di perifernya dan mensintesis matriks yang
termineralisasi menjadi dentin (Okiji, 2012). Odontoblas banyak terdapat pada ruang
pulpa bagian korona berbentuk kubus dan relatif besar. Jumlahnya 45.000 dan
65.000/mm2 (Pashley dan Tay, 2012). Di bagian servikal dan pertengahan akar,
jumlahnya lebih sedikit, dan bentuknya skuamosa (Pashley dan Tay, 2012). Sel
odontoblas merupakan sel akhir yang tidak mengalami pembelahan sel, sama dengan
umur vitalitas pulpa mengalami masa fase fungsional, transisional, dan istirahat
(Bergenholtz, 2010; Pashley dan Tay, 2012). Odontoblas terdiri dari badan sel yang
terletak pada pulpa dan prosesus odontoblas memanjang ke luar kearah tubulus dentin
dan predentin (Pashley dan Tay, 2012).Odontoblas bekerja paling aktif selama
dentinogenesis primer dan selama pembentukan dentin reparatif (Pashley dan Tay,
2012). Odontoblas tumbuh jika pada zona kaya sel mengandung preodontoblas
(Pashley dan Tay, 2012). Oleh karena odontoblas merupakan pembentuk dentin maka
disebut juga sebagai dentinoblas (Bergenholtz, 2010).
Lapisan odontoblas yang merupakan sel khusus yang membentuk dentin

membatasi bagian pulpa paling luar (Pashley dan Tay, 2012).Selain fungsi
odontoblas dalam membentuk dentin, odontoblas juga terlibat dalam transduksi
sensoris (Diogenes dan Henry, 2012). Adanya tight, adhering, dan gap junctions
menunjukkan bahwa sel ini mempunyai hubungan satu sama lain dan apabila satu sel

Universitas Sumatera Utara

mengalami perubahan maka banyak sel lain juga mengalami hal yang sama (Okiji,
2012). Gap junctions dijumpai antara odontoblas dan serabut saraf dan memberikan
jalur resistensi elektrik rendah antara odontoblas dan serabut saraf (Okiji, 2012).
Pulpa dilengkapi dengan komponen seluler yang penting untuk pengenalan
awal dan memproses antigen. Oleh sebab itu pulpa memiliki kemampuan untuk
memicu reaksi pertahanan tubuh (Abbott, 2007; Okiji, 2012). Sel imun yang utama
pada pulpa normal yaitu sel T perifer (helper/induced dan sitotoksis/suppressor).
Antigen presenting cell (APG) utama di dalam jaringan pulpa yaitu sel dendritik yang
sebagian besar terletak pada lapisan odontoblasik (Okiji, 2012). Sel-sel ini menerima,
memproses, dan menghadirkan antigen asing sebagai HLA-DR antigen pada
permukaan sel terhadap limfosit T CD4+ (Okiji, 2012). APC yang lain menyerupai
makrofag dan terletak pada bagian tengah pulpa (Okiji, 2012). Menurut Yu dan
Abbott (2007), pada gigi insisivus tikus ditemukan makrofag yang mengaktifkan

antigen klas II empat kali lipat lebih banyak dari sel dendritik.Pada pulpa yang
normal tidak ditemukan adanya sel B (Trowbridge, 1993).
Pulpa merupakan organ sensoris sehingga pulpa memiliki sensitifitasnya
terhadap stimuli eksternal (Okiji, 2012; Abbott, 2007). Pulpa menunjukkan respon
terhadap berbagai jenis stimuli sensori seperti perubahan termal, deformasi mekanis,
atau trauma sebagai sensasi umum yaitu nyeri (Okiji, 2012). Kemampuan
menimbulkan nyeri tersebut sangat penting karena merupakan bagian dari sistem
pertahanan pulpa (Simon, 2009). Pasien dengan inflamasi pulpa akan cenderung

Universitas Sumatera Utara

mencari perawatan dengan lebih cepat apabila terjadi injuri pulpa jika dibandingkan
dengan gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar dimana sensasi nyeri tidak
akan dialami sampai kerusakan besar telah terjadi pada jaringan sekitar gigi (Iqbal
dan Kim, 2007). Selain itu fungsi proprioseptif pulpa membatasi beban berlebihan
pada gigi oleh otot pengunyahan dan dengan demikian melindungi gigi dari injuri
(Iqbal dan Kim, 2007).

2.3 Pulpitis Reversibel dan Ireversibel
Inflamasi jaringan pulpa gigi merupakan sebuah proses kompleks yang

melibatkan reaksi neuro dan vaskuler yang merupakan komponen kunci dari
fenomena neurogenik dan bisa menyebabkan nekrosis pulpa (Caviedes-Bucheli,
2006). Penyebab paling umum inflamasi dalam pulpa yaitu bakterial (Waterhouse,
1999). Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tubuli dentin yang terbuka, baik
dari karies maupun terbukanya pulpa karena trauma, adanya kebocoran pada
restorasi, dari perluasan infeksi pada gingiva atau melalui peredaran darah (Tokuda,
2004). Mikroorganisme berperan penting dalam penyakit pulpa. Ada atau tidaknya
iritasi bakteri adalah faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa setelah pulpa
terbuka secara mekanis (Weine, 2004).
Inflamasi merupakan respons fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan
gangguan oleh faktor eksternal (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi dibagi
menjadi dua tahap yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan respons yang tiba-tiba dan durasi yang pendek, dengan demikian
inflamasi akut dihubungkan dengan injuri dadakan (Trowbridge dan Emling, 1993).
Inflamasi akut juga menunjukkan tipe respons yang lebih spesifik yang melibatkan
reaksi eksudatif dimana cairan, protein serum dan sel darah putih meninggalkan
aliran darah dan memasuki daerah injuri (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi

akut dapat berkembang menjadi suatu inflamasi kronis jikalau agen penyebab injuri
masih tetap ada (Trowbridge dan Emling, 1993). Apabila inflamasi akut berlangsung
lebih dari beberapa hari, maka dapat berkembang menjadi reaksi inflamasi kronis
(Bergenholtz, 2010). Inflamasi kronis adalah respons proliferatif dimana terjadi
proliferasi fibroblast, endotelium vaskuler, dan influks yang dinamakan sel inflamasi
kronis (limfosit, plasma sel dan makrofag) (Trowbridge and Emling, 1993).
Pulpitis adalah radang pada jaringan pulpa gigi, yang dapat bersifat akut,
kronik, dan kronik eksaserbasi akut, bergantung pada proses pathogenesis dan
etiologinya (Tokuda, 2004). Akhir-akhir ini akibat perawatan dan pemakaian bahanbahan kedokteran gigi juga merupakan faktor penyebab yang perlu diteliti lebih jauh
di samping penyebab lainnya seperti trauma dan lain-lain (Saad dan Clem, 1988).
Letak jaringan pulpa yang terlindung oleh email dan dentin yang kuat dan keras
merupakan suatu keuntungan bagi jaringan pulpa dalam mempertahankan diri
terhadap rangsang (Gulabivala, 2014).
Namun jaringan keras tersebut bersifat permeabel sehingga mudah
dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, seperti suhu, tekanan, zat kimia, dan lain-lainnya

Universitas Sumatera Utara

(Gulabivala, 2014). Gejala radang jaringan pulpa secara klinis sangat sukar
dibedakan, karena rasa nyeri digunakan sebagai tolok ukur dalam menentukan

diagnosis

penyakit

(Bergenholtz,

2010).

Banyak

peneliti

mencoba

mengklasifikasikan penyakit pulpa ini dengan menghubungkannya dengan jenis
perawatan endodontik yaitu apakah jaringan pulpa masih dapat dipertahankan,
dirawat, atau dikeluarkan (Bergenholtz, 2010).
Diagnosis tersebut sukar dan sering kurang sesuai dengan keadaan penyakit
sebenarnya karena letak jaringan pulpa terlindung oleh jaringan keras gigi, yaitu
email dan dentin (Iqbal, 2007). Respon jaringan dentin yang diterima jaringan pulpa

juga berbeda pula. Keadaan klinik dan mikroskopik penyakit pulpa ternyata sering
tidak sesuai karena diagnosis ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik dan gambar
radiografi. Oleh karena itu, pemilihan jenis perawatan sering kurang sesuai apabila
diagnosis tersebut digunakan sebagai pedoman (Iqbal, 2007). Walaupun tidak akurat,
rasa nyeri masih dipakai sebagai indikator dalam menentukan diagnosis penyakit
pulpa (Bergenholtz, 2010).
Di samping rasa nyeri, tolok ukur lain dalam menentukan diagnosis penyakit
pulpa secara klinik ialah faktor penyebab terbukanya jaringan pulpa atau penyebab
keluhan pulpa (Hargreaves, 2012). Pulpa dapat terbuka oleh karena proses karies atau
trauma. Keluhan rasa nyeri dapat disebabkan oleh rangsang termis, elektris, dan
kimia (Iqbal, 2007). Riwayat rasa nyeri yaitu jenis, letak, proses terjadinya, frekuensi,
serta kualitas rasa nyeri tersebut digunakan untuk menentukan diagnosis penyakit

Universitas Sumatera Utara

pulpa, namun hasil rekaman tersebut belum dapat memastikan keadaan jaringan
sebenarnya (Hargreaves, 2012). Hasil rekaman rasa nyeri, gambaran radiografik,
serta keadaan klinik diharapkan dapat menentukan diagnosis penyakit pulpa yang
lebih akurat, yaitu pulpitis atau nekrosis (Hargreaves, 2012).
Keadaan jaringan pulpa yang sebenarnya hanya dapat dilihat dengan

pemeriksaan mikroskopik (Weine, 2004). Jaringan pulpa sudah menunjukkan reaksi
sejak lapisan email terbuka oleh cedera, mekanik, termal, kimia, atau bakteri. Reaksi
tersebut berupa terdapatnya limfosit di jaringan pulpa, dan mulai terlihatnya lapisan
odontoblas yang cedera (Simon, 2009). Bila intensitas rangsang lebih besar, maka
dapat timbul cedera pada jaringan pulpa yang lebih luas dan dalam (Iqbal 2007).
Rangsang tersebut akan mengubah sistem mikrosirkulasi dalam jaringan pulpa
sehingga terjadi hambatan aliran darah dan metabolisme dalam jaringan (Gulabivala,
2014). Pada awalnya, terjadi vasodilatasi sisstem mikrovaskularisasi yang
menyebabkan sirkulasi darah menjadi statis (Chandra, 2010). Di dalam arteri terjadi
mobilisasi lekosit, sel-sel polimorfonukleus (PMN) mengadakan marginasi yang
dilanjutkan dengan emigrasi ke jaringan sekitarnya (Gulabivala, 2014). Hal ini akan
mengakibatkan pengumpulan eksudat di jaringan untuk proses fagositosis, keadaan
ini disebut pulpitis akut (Bergenholtz, 2010).
Apabila proses berlanjut menjadi kronik, maka tanda-tanda mikroskopik
berupa penyebaran sel-sel radang khronik seperti limfosit, sel plasma, histiosit yang
aktif, dan makrofag yang menyebabkan fibrosis serta perkapuran. Ulkus terbentuk

Universitas Sumatera Utara

pada tempat pulpa yang terbuka. Pada pulpitis supurativa secara mikroskopik tampak
mikro abses yang kemudian mengalami kapsulasi dan menjadi abses ganda (multiple)
dengan nekrosis yang mengalami lisis (Weine, 2004). Pulpitis supurativa dapat
berkembang menjadi nekrobiosis akut apabila seluruh jaringan pulpa hancur karena
radang akibat infeksi sekunder (Weine, 2004). Nekrobiosis kronik ditandai oleh
infiltrasi sel plasma yang menyeluruh sehingga terjadi nekrosis cair yang
mengandung vakuol (Gulabivala, 2014).
Weine (2004) mengklasifikasikan radang pulpa secara histopatologik ke
dalam pulpitis ringan, pulpitis akut, pulpitis khronik, pulpitis supurativa, nekrobiosis
akut, dan nekrobiosis kronik. Sementara itu, Seltzer dan Bender (2002)
mengklasifikasikan keadaan pulpa berdasarkan pemeriksaan histologik sebagai
berikut diantaranya adalah pulpa sehat, pulpa atrofik (pulposis), pulpitis akut, pulpa
utuh dengan sel radang khronik (tahap transisi), pulpitis kronik dengan nekrosis cair
sebagian, pulpitis kronik dengan nekrosis padat sebagian, pulpitis kronik total, dan
nekrosis pulpa total.
Inflamasi pulpa secara klinis dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pulpitis
reversibel dan pulpitis ireversibel (Weine, 2004). Pulpitis reversibel adalah suatu
kondisi inflamasi pada pulpa ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa
stimuli, tetapi pulpa mampu kembali pada keadaan tidak terinflamasi setelah stimuli
stimuli ditiadakan (Weine, 2004). Rasa sakit yang berlangsung sebentar dapat
dihasilkan oleh stimuli termal pada pulpa yang mengalami inflamasi reversible tetapi

Universitas Sumatera Utara

rasa sakit hilang segera setelah stimuli dihilangkan (Weine, 2004). Penyebab pulpitis
reversibel disebabkan oleh iritan yang mampu melukai pulpa. Penyebab dapat berasal
dari trauma oklusal yaitu termal saat preparasi kavitas dengan bur yang terlalu lama,
dehidrasi kavitas dengan alkohol atau kloroform yang berlebihan, dan adanya bakteri
yang masuk ke dalam pulpa (Hargreaves, 2012). Gejala pada pulpitis reversibel
ditandai oleh rasa sakit yang tajam namun sebentar saat adanya rangsangan misalnya
pada saat makan atau minum. Pada pulpitis reversibel rasa sakit tidak terjadi secara
spontan (Chandra, 2010).
2.4 Neuropeptid dalam Inflamasi Pulpa
Neuropeptid (NP) merupakan sintesa protein dalam badan sel primer serabut
saraf aferen yang kemudian dihantarkan ke CNS dan ujung saraf perifer (Wakisaka,
1990). Di dalam pulpa gigi, NP ini disimpan pada ujung sel saraf dan merupakan
penghantar dari badan sel di dalam ganglion trigeminal melalui axon-axon ke ujungujung serabut saraf (Wakisaka, 1990). Selama terjadinya inflamasi pulpa, mediator
inflamasi perifer terstimulasi dan mensensitisasi serabut saraf sensoris (nosiseptor)
untuk melepaskan NPs (Henry dan Hargreaves, 2007). Beberapa NPs yang berperan
penting dalam inflamasi pulpa yaitu calcitonin gene-related peptide (CGRP),
substansi P (SP), neurokinin A (NKA), neuropeptid K, neuropeptid Y, somatostatin,
dan vasoactive intestinal peptide (VIP) (Byers, 2012). Neuropeptid yang
berkontribusi untuk inflamasi pulpa yaitu SP, CGRP, dan VIP yang merupakan

Universitas Sumatera Utara

vasodilator sedangkan neuropeptid Y merupakan vasokontriktor. (Abbott, 2007;
Gomez, 2011; Wakisaka, 1990)
Neuropeptid (NP) menghasilkan beberapa efek biologis dan memunculkan
diantara sirkulasi dan aksi dari imun modulasi modus, injeksi dari substansi P (SP)
intradermal di dalam produksi plasma ekstravasasi (Caviedes Bucheli, 2008). SP
mengeluarkan histamine dari mast sel yang di dalamnya diturunkan stimulasi
pengeluaran SP (Caviedes Bucheli, 2008). Pre-treatment anti histamin mengurangi
ekstravasi yang menginduksi SP (Sattari, 2010). Dengan demikian ekstravasi yang
menginduksi SP dan edema tergantung dari histamine (Wakisaka, 1990). Edema
diinduksi oleh oleh histamin dan bradikin adalah potensial dari CGRP dan dihambat
oleh pre-treatment dengan anti-CGRP (Caviedes Bucheli, 2004). Hal ini terjadi
karena CGRP pontensial mengekstravasasi SP-induced melalui penghambatan dari
degradasi SP. Injeksi CGRP pada manusia menginduksi sebuah respon vaskular yang
lama (Byers, 2012), pengaturan sistemik dari CGRP yang disebabkan oleh hasil
penurunan tekanan darah di dalam tikus, hipotensi, dan takikardia pada manusia.
Oleh karenanya, CGRP adalah salah satu diantara endogenus vasodilatasi yang paling
potensial (Caviedes Bucheli, 2004).
Neuroprotein/neuropeptid (NP) yang dihasilkan saraf sensoris seperti
substansi P (SP), calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A (NKA)
diproduksi pada badan sel trigeminal dan dihantarkan via akson menuju terminal
saraf di dalam pulpa (Caviedes-Bucheli, 2008). Penelitian Wakisaka (1990)

Universitas Sumatera Utara

memumjukkan bahwa mayoritas terminal saraf ini merupakan serabut saraf C yang
erat kaitannya dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa meskipun beberapa ujung saraf
bebas lain juga ditemukan (Wakisaka, 1990).
Aplikasi lokal dari bradikinin di dalam kavitas dentinal kucing secara
signifikan meningkatkan aliran darah pulpa pada percobaan gigi yang masih ada
persarafan tapi hal ini tidak terjadi pada kelompok gigi yang sudah diangkat
persafarannya (Diogenesa dan Henry, 2012). Ini mengindikasikan bahwa bradikinin
tergantung sebagai vasodilator dalam neuropeptide (NP) (Diogenes dan Henry,
2012). Produksi ektravasasi plasma oleh SP dan produksi vasodilatasi oleh CGRP
adalah bagian yang terpisahkan dari reaksi inflamasi (Fristad, 2010). Hal ini
menyediakan area dengan prekusor plasma-borne untuk mediator inflamasi seperti
asam arakhidonat dan kininogen (Trwobridge dan Emling, 1993). Enzim jaringan
mengubah asam arakhi donat menjadi leukotriens dan prostaglandin, dan kininogen
ke bradikinin. Hasilnya mediator inflamasi akan merangsang ujung saraf bebas dan
perjalanan impuls dimulai. Hargreaves, dkk (2012) menyatakan bahwa CGRP dan SP
memiliki aksi potensial dalam respon vascular dan mempertahankan reaksi inflamasi
melalui sebuah mekanisme local positif feed back.
Faktanya bahwa penghambatan rangsangan aktivasi oleh obat anti inflamasi
mengindikasikan perangsangan melalui prostaglandin (Fouad, 2012). Serotonin dapat
merangsang serabut saraf A-delta pada pulpa (Fouad, 2012). Aplikasi serotonin ke
dalam kavitas dentin dapat merangsang serabut saraf A ke stimulasi hidrodinamik

Universitas Sumatera Utara

dari dentin (Fouad, 2012). Bradikinin dan histamin mengaktifkan serabut saraf C
(Fouad, 2012). Perbedaan rangsangan dari saraf intradental A dan C mungkin
menjelaskan perubahan tipe dan intensitas simptom nyeri selama proses inflamasi
pulpa sehingga dapat didefinisikan inflammasi neurogenik adalah respon inflammasi
yang diperantarai oleh neuropetid dimana dapat dilepaskan dari stimulasi nosiseptor
perifer (Fouad, 2012).
CGRP dihasilkan didalam serabut saraf di dalam pulpa yang dianggap bagian
mayor dari inervasi gigi (Awawdeh, 2002). Oleh karena itu, respon dari serabutserabut menunjukkan perbedaan pemberian injuri seperti preparasi kavitas,
terpaparnya pulpa, trauma oklusi, dan replantasi (Byers, 1999). Kebanyakan dari
serabut saraf bertahan terhadap injuri dan meneruskan ke inervasi dentin yang hanya
ditemukan terisi di tubulus dentin oleh odontoblas (Pashley dan Tay, 2012).
Byers (1999) menemukan bahwa proses faktor sintesis meningkatkan nerve
sprouting saraf CGRP dan SP. Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa nerve
sprouting adalah sebuah vehicle yang membawa beberapa neuropeptid ke area
inflamasi (Caviedes Bucheli, 2008). Peneliti yang sama juga menemukan adanya
nerve sprouting dan peningkatan level neuropeptids dari CGRP gigi yang diekstraksi
(Caviedes Bucheli, 2006).
Produksi nyeri oleh prosedur inflammasi, jelas merupakan hal yang berbeda
dengan nyeri yang diinduksi oleh stimulasi oleh transient non inflammatory seperti
tusukan jarum (Byers, 1999). Inflamasi menyebabkan perubahan elektrofisiologis

Universitas Sumatera Utara

pada nosiseptor perifer untuk menghasilkan tingkatan persepsi dari hiperalgesia
(Diogenes dan Henry, 2012). Hal ini merupakan hasil rangsangan yang besar dari
stimulus panas, dingin, dan mekanikal. Hargreaves (2012) mengemukakan bahwa
hiperalgesia sebagai tingkatan persepsi yang ditandai dengan nyeri spontan,
penurunan ambang rasa nyeri, dan peningkatan besarnya rasa nyeri yang dirasakan
oleh pemberian sebuah stimulus.
Perubahan struktural dan fungsional di sistem saraf pusat yang diikuti dengan
aktivasi peripheral nosiseptor terhadap respon pada injuri jaringan dan inflammasi
menjadi lebih menonjol pada nyeri yang lama dari sistem nyeri (Diogenes dan Henry,
2012). Penelitian Caviedes Bucheli (2006) pada manusia menunjukkan bahwa
penyebaran nyeri pada pulpitis melalui secondary hiperalgesia menuju sentral
sensitisasi. Studi elektrofisiologi menemukan bahwa stimulasi yang noksious pada
gigi, menghasilkan respon sitokimia yang berlainan di batang saraf trigeminal.
Kesimpulannya, inflamasi dan injuri di jaringan perifer mungkin akan menghasilkan
perubahan di dalam transmisi impuls dalam central pain pathways (Caviedes
Bucheli, 2008).
Respons inflamasi terhadap injuri ataupun infeksi pada jaringan pulpa
memiliki makna klinis yang signifikan (Fried, 2011). Injuri dapat disebabkan oleh
prosedur iatrogenik, trauma, maupun atrisi. Infeksi juga dapat disebabkan oleh
bakteri yang berasal dari karies, kebocoran mikro pada restorasi ataupun melalui jalan
masuk lainnya ke dalam pulpa. Inflamasi dapat dibagi atas tiga tahap yaitu inflamasi

Universitas Sumatera Utara

akut, inflamasi kronis, dan penyembuhan (healing) (Trowbridge dan Emling, 1993).
Inflamasi pada jaringan pulpa sama seperti jaringan ikat lainnya dimana inflamasi ini
dimediasi oleh faktor seluler dan molekuler (Fouad, 2012). Vasodilatasi dan
peningkatan aliran darah terlihat pada fase awal inflamasi pulpa (Gomez, 2011). Pada
waktu sel-sel pulpa menjadi aktif maka membran fosfolipidnya dengan cepat
mengalami perubahan sehingga menghasilkan mediator-mediator inflamasi aktif
secara

biologis

metabolisme

(Carrasquillo,

2004).

Produk-produk tersebut berasal dari

asam arakhidonat. Jalur

enzim siklooksigenase menyebabkan

terbentuknya prostaglandin (Figdor, 1994). Proses inflamasi pada jaringan pulpa juga
melibatkan neuropeptid. Hal ini menjadi jelas bahwa neuropeptid juga memegang
peranan penting dalam inflamasi pulpa yaitu dengan menghubungkan aksi saraf
sensoris dan pembuluh darah.inflamasi neurogenik menggambarkan perubahan
patologis dalam hubungan neurovaskular yang menyebabkan inflamasi (Fristad,
2010).
Hanya ada dua jenis serabut saraf yaitu Aδ dan C yang secara utama
menginervasi jaringan pulpa dan bersifat sebagai reseptor polimodal (Smith, 2012).
Serabut saraf C berhubungan erat dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa karena dalam
hal ini serabut saraf C berperan sebagai serabut saraf parasimpatetik yang mengatur
vasodilatasi dan permeabilitas vaskularisasi pulpa (Ikeda, 2012). Ketika mengalami
stimulasi, bagian terminal dari serabut saraf C akan melepaskan beberapa neuropeptid

Universitas Sumatera Utara

yaitu substansi P (SP),calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A
(NKA) (Caviedes-Bucheli, 2005).
Pulpa gigi diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang mengandung
neuropeptid, yang dilepaskan serabut saraf aferen dan berkaitan dengan inflamasi
neurogenik dan penyembuhan luka (Abbott, 2007). Bentuk umum inflamasi pulpa
dimediasi secara neurogenik dan pengukuran biokimia terhadap mediator inflamasi
meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel dan berhubungan dengan tanda
dan gejalanya telah menunjukkan bahwa SP dan CGRP berinteraksi dengan sel mast
dan menginduksi pelepasan histamin yang akan meningkatkan permeabilitas vaskuler
dan tekanan darah (Sacerdote dan Levrina, 2012).
Sekitar 25%-50% dari serabut saraf gigi merupakan serabut saraf bermyelin
A-delta yang mengandung neuropeptid CGRP dan nerve growth factor (NGF) (Henry
dan Hargreaves, 2007). Sebagian besar serabut saraf ini mempersarafi dentin,
predentin, dan lapisan odontoblas pada daerah korona dekat dengan enamel.
Sementara itu serabut saraf C menghasilkan NGF-reseptor dan beberapa neuropeptid
seperti SP, CGRP, dan NKA (Fristad et al., 2010).
2.5 Substansi P (SP) dan Jaringan Pulpa
SP merupakan bahan vasoaktif dalam bentuk powder yang pertama kalinya
ditemukan oleh Von Euler dan Gaddum pada tahun 1931 (Sacerdote dan Levrini,
2012). “P” pada substansi merupakan singkatan dari “powder”. SP terdiri atas 11
asam

amino

yaitu

H-Arg1-Pro2-Lys3-Pro4-Gln5-Gln6-Phe7-Phe8-Gly9-Leu10-

Universitas Sumatera Utara

Met11-NH2) dan merupakan kelompok neurokinin (NK) A dan NKB di mana semua
ini juga memiliki ujung karboksil yaitu Phe-X-Gly-Leu-Met-NH2 (Sacerdote dan
Levrini, 2012). SP diberi kode oleh gen preprotachykinin –A dalam perikaryon
serabut saraf aferen primer pada akar dorsal dan ganglion trigeminal yang kemudian
dihantarkan menuju prosesus sentralis dan perifer elemen ini (Sacerdote dan Levrini,
2012). Uniknya sekitar 80% dari SP yang disintesa pada ganglion akar dorsal akan
dikirimkan menuju daerah terminal pada serabut perifer (Diogenes dan Henry, 2012).
Sejumlah enzim yang berperan dalam metabolism SP ini dikarenakan lokalisasi
selular spesifik yang juga merupakan endopeptidase netral dan angiotensin
converting enzymes (EP dan/atau ACE) yang paling banyak berperan dalam
pembelahan SP pada daerah perifer (iogenes dan Henry, 2012).
Telah umum diketahui bahwa beberapa faktor dapat mengaktifkan atau
mensensitisasi nosiseptor pada daerah injuri jaringan dan kemudian menginduksi
pelepasan neuropeptid pada perifer (Okiji, 2012). Capsaicin, panas, dan proton akan
mengaktifkan vanilloid reseptor 1 (VR1) yang terletak pada serabut saraf sensori
berdiameter kecil yang menyebabkan terbukanya cation channel dan meningkatkan
masuknya kalsium melalui channel ini dan melalui voltage gated calcium channels
yang diaktivasi oleh depolarisasi yang diinduksi sodium (Suwabchai, 2011). Efek ini
meningkatan pelepasan SP dari saraf menyebabkan stimulasi jalur fosfolipase C
dengan aktivasi cascade protein kinase C yang telah ditunjukan dapat menstimulasi
sekresi SP dari ujung saraf sensoris (Byers, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Efek biologis dari pelepasan SP diinduksi setelah

berikatan dengan G

coupled-protein reseptor spesifik NK (Pozo et al., 2012). Ada tiga jenis reseptor
tachykinin yaitu NK1,NK2, dan NK3 menunjukkan preferensi untuk bahan SP,
neurokinin A dan neurokinin B masing-masing (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Namun tachykinins endogen sangat tidak selektif untuk setiap reseptor dan semua
dapat bertindak pada semua tiga reseptor di bawah kondisi tertentuseperti
ketersediaan reseptor atau peptida konsentrasi tinggi (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Substansi P terutama bekerja pada reseptor NK1 dan simulasi reseptor NK1
menginduksi

beberapa

sistem

second

messengers,

seperti

fosfolipase

C

intraselulerinositol 1,4,5 - trisphophate (IP3) yang diikuti dengan elevasi kalsium
intraseluler (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor ini dijumpai dalam konsentrasi
tinggi padajaringangigi. Selain itu SP telah diketahui dapat mengaktifkan ERK 2 dan
P38 protein mitogen dan dapat meningkatkan produksi PGE2 dan ekspresi COX2
(Figdor, 1994).
Interaksi SP dengan reseptornya secara langsung menginduksi vasodilatasi
dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan memungkinkan ekstravasasi
plasma dan degranulasi mastosit (Gomez, 2011). Granul mastosit melepaskan
histamin, yang pada gilirannya lebih lanjut menguatkan proses vaskuler dan
mengaktifkan nosiseptors (Isett, 2003). Limfosit, granulosit, makrofag, dan
memilikireseptor untuk SP dan sel-sel ini dapat dirangsang untuk memproduksi
sitokin (Rodd dan Boissonade, 2000). Makrofag distimulasi oleh SP menghasilkan

Universitas Sumatera Utara

mediator inflamasi PGE2, thromboxane, sertasitokin proinflamasi IL-1, IL-6, dan
TNF. Semua aktivitas molekuler akhirnya mempertahankan sintesis dan pelepasan SP
sehingga menjadi suatu lingkaran yang sulit dihentikan (Gambar 2.1). Selain itu,
mekanisme ini tidak hanya melibatkanserabut syaraf pada daerah kerusakan jaringan,
tetapi diperluas juga untuk jaringan sekitarnya rusak, di mana hal ini juga
menyebabkan hiperalgesia sekunder (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Atas dasar ini, SP dianggap sebagai mediator utama inflamasi neurogenik dan
terkait hiperalgesia serta merupakan target yang menjanjikan untuk terapi yang
ditujukan untuk mengontrolrasa sakit dan meminimalkan konsekuensi buruk akibat
adanya injuri jaringan (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Gambar 2.1 Peranan Substansi P (SP) dalam Inflamasi Neurogenik (Sacerdote and
Levrini, 2012)

Universitas Sumatera Utara

SP banyak terkandung pada serabut saraf yang menginervasi jaringan pulpa
dan dentin (Wakisaka, 1990). Produksi dan pelepasan molekul ini meningkat seiring
dengan adanya rangsangan noksius, termal, mekanis, dan kemis pada jaringan pulpa
dan ligamen periodontal (Wakisaka, 1990). Jumlah SP yang dilepaskan oleh serabut
saraf sensoris mengalami peningkatan selama proses inflamasi (Wakisaka, 1990).
Bowles et al. (2003) menyatakan dalam penelitian mereka bahwa konsentrasi SP
pada inflamasi pulpa ireversibel mencapai 8 (delapan) kali lipat lebih besar dibanding
pulpa normal. Studi lain menunjukkan bahwa konsentrasi SP pada jaringan pulpa
manusia meningkat pada gigi yang mengalami karies (Rodd and Boissonade, 2000).
Peningkatan konsentrasi SP lebih tinggi pada kelompok karies yang disertai dengan
nyeri dibanding dengan kelompok karies yang asimptomatik (Rodd and Boissonade,
2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Sattari et a.l (2010) menemukan bahwa terjadi
peningkatan konsentrasi SP secara bermakna pada pulpitis ireversibel simptomatik
dan pulpitis ireversibel asimptomatik. Penelitian oleh Caviedes-Bucheli (2008) juga
menunjukkan peningkatan konsentrasi SP yang sangat signifikan pada kelompok
pulpa yang mengalami induksi inflamasi dan pulpitis ireversibel akut dibanding pulpa
normal.
Penelitian oleh Killough et al. (2009) dan Caviedes-Bucheli (2007) telah
menunjukkan karakteristik reseptor NK pada gigi hewan rodensia dan manusia.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian tersebut menunjukkan ekspresi pola ekspresi reseptor tachykinin NK1,
NK2, dan NK3 pada berbagai jenis sel jaringan keras gigi, sel epitel, fibroblas,
endotelium, dinding pembuluh darah pada jaringan pulpa, dan jaringan pendukung
mulut (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor NK1 dan NK2 telah dijumpai berada
pada sel odontoblas dan ameloblas. NK1 juga banyak dijumpai pada pembuluh
kapiler dan pembuluh darah lebih kecil (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor NK1
dan NK2 paling banyak dijumpai pada pleksus kapiler yang berdekatan dengan
dentin (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Banyak reseptor NK2 dideteksi pada gingiva dan epitel Malasez. Reseptor
NK1 dan NK2 juga didapati pada fibroblas ligamen periodontal dan jaringan pulpa
gigi (Sacerdote dan Levrini, 2012). Metode yang digunakan untuk menentukan dan
mengukur jenis reseptor yaitu radioreseptor assay belum dapat menunjukkan tipe
reseptor yang ada (NK1, NK2, atau NK3) (Sacerdote dan Levrini, 2012). Serabut
saraf sensoris berakhir dekat pembuluh darah dan reseptor SP meningkat jumlahnya
pada jaringan ini (Sacerdote dan Levrini, 2012). Pada jaringan sehat, pelepasan basal
SP berperan penting dalam pemeliharaan homeostasis jaringan, sementara itu pada
sisi lain pelepasan yang banyak dari molekul ini sebagai akibat stimuli eksternal
menginduksi terjadinya vasodilatasi yang diikuti dengan peningkatan laju aliran
darah yang lama (Trowbridge dan Emling, 1993). Peningkatan produksi dan
pelepasan SP memegang peran dalam inisiasi dan propagasi proses inflamasi.
(Sacerdote dan Levrini, 2012).

Universitas Sumatera Utara

SP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah
(Caviedes Bucheli, 2008). Di samping itu, limfosit, granulosit, dan makrofag
mengandung reseptor SP dan sel-sel ini dapat distimulasi oleh SP untuk
memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi dan sitokin (Caviedes Bucheli,
2008). SP juga berperan sebagai kemotaksis poten yang dapat menarik sel-sel
inflamasi pada jaringan pulpa (Wakisaka, 1990). Sejumlah besar mediator inflamasi
dan nosiseptif secara dramatis mensensitisasi dan merangsang nosiseptor untuk
melepaskan jumlah SP yang lebih besar baik pada sumsum tulang belakang dan
jaringan pulpa yang akan meningkatkan sensasi nyeri (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Hampir semua keadaan patologis yang mempengaruhi jaringan mulut baik
termasuk prosedur kedokteran gigi dapat meningkatkan produksi dan pelepasan SP.
Hasil penelitian ex-vivo oleh Rodd dan Boissonade (2000) menunjukkan bahwa
ekspresi SP banyak dijumpai pada keadaan gigi karies simptomatis dibanding yang
asimptomatik. Nilai rata-rata level SP ekstraseluler delapan kali lipat lebih besar pada
gigi dengan pulpitis ireversibel dibandingkan dengan pulpa normal dan peningkatan
bermakna SP dikaitkan dengan adanya jaringan granuloma dibandingkan dengan
kelompok kontrol (Caviedes-Bucheli, 2006).
SP menggunakan aktifitas biologiknya secara utama melalui reseptor NK1
dengan afinitas tinggi tetapi pada konsentrasi yang tinggi peptida ini dapat
mengaktifkan reseptor NK2 dan NK3 (Sacerdote dan Levrini, 2012). Dengan kata

Universitas Sumatera Utara

lain, NK1 merupakan reseptor yang paling berperan pada kondisi fisiologis
sedangkan pada kondisi patologis karena konsentrasi SP yang tinggi maka seluruh
resoptor NK memegang peranan dalam mekanisme neurogenik inflamasi (Gambar
2.2 dan 2.3).

Gambar 2.2 Peranan Substansi P (SP)
sebagai Imunomodulator
(Caviedes-Bucheli, 2005)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Peranan Substansi P (SP) dalam Mekanisme Nyeri
(Caviedes-Bucheli 2005)

SP memiliki efek pro inflamasi yang menyebabkan plasma ekstravasasi dan
edema sedangkan CGRP menstimulasi pertumbuhan sel pulpa seperti fibroblas dan
sel lir odontoblas. Selain itu CGRP juga meningkatkan ekspresi bone morphogenic
protein (BMP) – dua transkrip pada sel pulpa gigi manusia dan merupakan faktor
yang

berkaitan

dengan

induksi

pembentukan

dentin.

Penelitian-penelitian

menunjukkan bahwa CGRP berperan dalam fenomena inflamasi seperi pulpitis
ireversibel simptomatis (Cavides-Bucheli et al., 2004, Cavides-Bucheli et al., 2005).
Caviedes-Bucheli (2006) dan Caviedes-Bucheli (2008) melaporkan bahwa SP
dan CGRP meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel simptomatik dan
asimptomatik bila dibandingkan dengan kelompok pulpa sehat. Level SP dan CGRP

Universitas Sumatera Utara

meningkat delapan kali lipat pada pulpitis ireversibel dibandingkan pulpa normal.
Dengan demikian, pulpitis ireversibel dikaitkan dengan aktivasi signifikan sistem
peptidergik (Sacerdote dan Levrini, 2012). Di samping itu, penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa SP memegang peranan penting pada inflamasi neurogenik
dalam mengatur aliran darah pulpa dengan mengontrol cairan eksudat yang berkaitan
dengan fenomena inflamasi (Goodale, 1981).
Aktivasi peptidergik dari nosiseptor menstimulasi reaksi vasodilatasi (Abbott,
2007). Hal ini terjadi karena adanya neuron-neuron melepaskan vasoaktif polipeptida
seperti Substansi P dan CGRP dimana terjadi depolarisasi (Caviedes Bucheli,
2008).Peninggian aktivasi dari nosiseptor dimulai ketika neuropeptid dilepaskan
(Caviedes-Bucheli, 2008). Sebagai contoh, peninggian level dari Substansi P terdapat
di dalam pulpa pasien dengan pulpitis ireversibel (Sattari, 2010). CGRP dan
Substansi P meningkatkan vasodilatasi dan ekstravasasi, secara berturut-turut hingga
berpartisipasi dalam proses inflamasi (Gomez, 2011). Mekanisme untuk inflamasi
neuronal yang menyeluruh disebut inflamasi neurogenik. Dalam menjelaskan proses
terjadinya nyeri pada pulpa dijumpai empat faktor yang berperan yaitu yakni:
inflammasi neurogenik, nerve sprouting, hiperalgesia, dan central nervous system
(CNS) (Hargreaves, 2012).
Awawdeh et al. (2002) menemukan adanya level SP, CGRP, dan NKA yang
signifikan tinggi pada keadaan nyeri pulpa dibandingkan dengan pulpa sehat. NPs ini
berperan dalam proses inflamasi dan nyeri pulpa. Hasil penelitian mereka mengenai

Universitas Sumatera Utara

patogenesis inflamasi pulpa dapat memberikan basis untuk pendekatan yang baru
dalam merawat pulpa yang mengalami inflamasi. Penggunaan antagonis CGRP dan
antagonist SP/NKA dapat mengurangi inflamasi dan memicu penyembuhan pada
pulpa yang mengalami injuri sehingga menjadi suatu cara penanganan nyeri pulpa
(Buck, 1999).
Inflamasi pulpa neurogenik ini biasanya akan berlanjut sehingga terjadi
gangguan sistem vaskuler dan perubahan membran fosfolipid (Fouad, 2012).
Selanjutnya dengan bantuan enzim fosfolipase A2 akan menghasilkan asam
arakidonat yang merupakan substansi pembentuk mediator-mediator inflamasi
misalnya prostaglandin (PGs), leukotriene, dan thromboxane dengan bantuan enzim
cyclooksigenase (Fouad, 2012). Pada inflamasi pulpa dengan peningkatan level
substansi P akan mengakibatkan nyeri yang secara bermakna terlihat dengan
peningkatan konsentrasi prostaglandin E2(PGE2) jika dibanding dengan pulpa normal
(Trowbridge dan Emling, 1993).
Menurut Caviedes-Bucheli (2005), Substansi P dapat menginduksi mediatormediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, cytokine,

dan

thromboxane. Mediator-mediator tersebut dapat mengaktifkan dan mensensitisasi selsel saraf maupun non saraf sehingga dapat menyebabkan proses inflamasi dan rasa
nyeri (Espasito, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.6 Macaca fascicularis
M. fascicularis merupakan salah satu hewan primata yang banyak digunakan
sebagai hewan coba dalam penelitian biomedis karena secara anatomis dan fisiologis
memiliki banyak kemiripan dengan manusia (Ardith, 2008) (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995)

M. fascicularis disebut juga dengan monyet ekor panjang, memiliki berbagai
nama

lain

seperti

monyet

Cynomolgus,

dan

monyet

pemakan

kepiting

(crabeatingmacague) (Fortman, 2002; Reinhardt, 1997). Taksonomi monyet ekor
panjang menurut Whitney et al., (1995) adalah sebagai berikut :
Filum

:

Chordata

Kelas

:

Mammalia

Ordo

:

Primata

Sub ordo

:

Anthropoidea

Universitas Sumatera Utara

Infra ordo

:

Catarrhini

Super famili

:

Cercopithecoidae

Famili

:

Cercopithecidae

Sub Famili

:

Cercopithecinae

Genus

:

Macaca

Species

:

Macacafascicularis

2.6.1 Penyebaran dan Habitat
M. fascicularis memiliki habitat beragam mulai dari hutan primer, hutan
sekunder, sepanjang pinggiran sungai, hutan pesisir laut, hutan mangrove. Hewan ini
memiliki penyebaran habitat yang luas di daratan Asia (Kemp, 2003).
2.6.2

Morfologi
Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki

(quadrupedalism) (Napier, 1985). Hewan ini memiliki ekor yang lebih panjang dari
panjang kepala dan badan, sekitar 40-65 cm (16 – 26 inchi) (Navia, 1997). Hewan
jantan memiliki ekor yang lebih panjang dibanding betina (Navia, 1997). Panjang
badan monyet tergantung kepada sub spesiesnya, biasanya panjang monyet jantan
dewasa 41,2 cm – 64,8 cm dan betina 38,5cm – 50,3 cm (Navia, 1997). Monyet ini
memiliki perbedaan ukuran bobot tubuh antara jantan dan betina (Navia, 1997).
Hewan jantan 4,7 kg – 8,3 kg dan yang betina 2,5 kg- 5,7 kg (Navia, 1997). Warna

Universitas Sumatera Utara

rambut badan bervariasi dari coklat kekuningan

(abu-abu) sampai coklat gelap.

Warna rambut di ventral tubuh lebih pucat, sedangkan warna kulit wajah abu-abu
gelap.Hewan ini memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada
tulang duduk (ischium) (Navia, 1997).
Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I - 1C - 2PM - 3M/2I – IC 2PM - 3M) (Swindler, 2002). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama,
sedangkan gigi seri kedua atas lebih kecil dan sering bentuknya lancip (Swindler,
2002). Gigi seri kedua bawah lebih lebar dari gigi seri pertama bawah. Gigi taring
atas berukuran lebih panjang dibanding gigi taring bawah dan letaknya menonjol
melebihi tepi deretan gigi lainnya (Swindler, 2002). Gigi taring pada monyet jantan
lebih panjang daripada monyet betina.Bentuk premolar bawah bervariasi (Swindler,
2002). Molar disebut bilophodont yaitu pada masing-masing molar terdapat empat
cuspid (2 bukal dan 2 lingual) yang dihubungkan dengan krista transversa. Geraham
ketiga memiliki cuspid tambahan (Swindler, 2002).

2.6.3 Kelompok Sosial
Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial
monyet ekor panjang termasuk dalam multi-male group dan multi-female group yaitu
dalam satu kelompok terdapat beberapa jantan dan betina dewasa serta anak-anak.
Dalam satu kelompok terdapat sekitar 30 anggot (Reinhardt, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok sosial ini sering
menimbulkan ketegangan di antara kelompok jantan (Napier, 1985). Keadaaan ini
menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Hirarki
dominasi yang berkembang ini dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran dan
kemampuan bertarung (berkelahi) (Napier, 1985). Hewan ekor panjang ini termasuk
hewan yang unik karena mempunyai kemampuan belajar dan perilaku.Hewan ini
tergolong omnivora, seperti buah-buahan, kepiting, bunga, serangga, daun, jamur,
dan rumput (Reinhardt, 1997).

2.7 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia
yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran
antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Dalam pengertian sederhana, sejumlah
antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi
spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan
antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir,
ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat
dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu
disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi
sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya
fluoresensi denan menggunakan spektrofotometer (Burgess, 1995).
Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat mengukur jumlah dari cahaya

Universitas Sumatera Utara

yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi yang kita buat
pada well mcroplate akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut,
sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical density dapat
dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standar
sehingga akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan
untuk mengestimasi kadar protein tersebut (Burgess, 1995).
Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan unruk melabel suatu
antigen atau mengetahui antibodi yang ada dalam tubuh. Apabila kita ingin
mengetahui antigen yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah
antibodinya, begitu pula sebaliknya (Burgess, 1995).
ELISA merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai
laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik
pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup
tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall
untuk menganalisi sadanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel
dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label). Umumnya ELISA
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat
antigen–enzim atau konjugat antobodi–enzim, dan non-competitive assay yang
menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan
dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut
sebagai "sandwich" ELISA. Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di

Universitas Sumatera Utara

antaranya adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive karena
adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan antigen lain. Hasil berupa false
negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada window period, yaitu waktu
pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulai sehingga jumlah antibodi
tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi (Burgess, 1995).

2.8 Landasan Teori
Sel dan
substansi dasar
Pulpa normal
Saraf A delta
dan C
Cedera

Perubahan vaskuler
dan respons imun

SP (?)

Pembuluh darah dan
sistem limfatik

Perubahan sistem
neurogenik

Perubahan membran
fosfolipid

Pulpitis reversibel

SP (?)

Universitas Sumatera Utara

Pulpa merupakan jaringan ikat longgar yang mengandung substansi dasar, selsel, pembuluh darah, sistem limfatik dan perasarafan. Persarafan pulpa terdiri atas
serabut saraf A delta dan C. Cedera yang mengenai pulpa akan menyebabkan
terjadinya perubahan vaskuler dan respon imun, perubahan sistem neurogenik dan
perubahan membran fosfolipid pada sel imun pulpa. Cedera yang mengenai atap pada
kamar pulpa akan menyebabkan respon inflamasi lokal yang akan mengaktifkan
sistem persarafan pulpa (A delta dan C) untuk melepaskan protein-protein saraf
(neuropeptida) yang pro inflamasi diantaranya yaitu substansi P (SP) yang
merupakan neuropeptida utama yang memegang peranan yang penting pada saat awal
terjadinya inflamasi sehingga menyebabkan hiperalgesia, merangsang makrofag,
serta mendegranulasi sel mast untuk mensintesis dan melepaskan mediator-mediator
inflamasi lainnya seperti prostaglandin, bradikinin dan histamin. SP merupakan
mediator inflamasi lini pertama yang bersifat vasodilator dan merupakan zat
algogenik serta merupakan agen kemotaktik yang kuat sehingga dengan peninggian
konsentrasi SP pada jaringan pulpa dapat menyebabkan perubahan laju aliran darah
pulpa dan peninggian tekanan darah pulpa.

Universitas Sumatera Utara

2.9 Kerangka Konsep

Konsentrasi
substansi P (SP)
Pulpa Normal

Pulpitis reversibel

Konsentrasi
substansi P (SP)

Induksi injuri mekanis
dengan bur akses no.2
sampai terbukanya pulpa

Pada penelitian ini dilihat kadar substansi P (SP) dengan metode ELISA pada
kelompok pulpa normal dan kelompok pulpitis reversibel yang diinduksi secara
mekanis pada pulpa gigi M.fascicularis.
2.10 Hipotesis
Hipotesis mayor: Ada perbedaan kadar SP pada kelompok pulpa yang
mengalami pulpitis reversibel simptomatis akibat induksi secara mekanis dan
kelompok pulpa normal.

Universitas Sumatera Utara

Hipotesis minor: Kadar SP pada kelompok pulpa yang mengalami pulpitis
reversibel simptomatisakibat induksi secara mekanis lebih tinggi dibanding dengan
pulpa normal.

Universitas Sumatera Utara