Efek Watermelon Frost Terhadapsubstansi P (SP) Dan Fosfatase Alkali (ALP) Pada Pulpitis Reversibel Gigimacaca Fascicularis (Penelitian In Vivo)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan pulpa
Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan
mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan
ikat lainnya di dalam tubuh tetapi memiliki karakteristik khusus. Hal ini dikarenakan
jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan keras atau
berada dalam suatu lingkungan yang low compliance (Okiji, 2012; Hargreaves,
2012). Oleh sebab dibatasi oleh dinding dentin yang rigid dan kurangnya sirkulasi
kolateral maka perubahan volume di dalam ruang pulpa (seperti saat terjadi
inflamasi) sangat terbatas sehingga mengurangi kemampuan pulpa dalam pertahanan
dan perbaikan jaringan (Pashley dan Tay, 2012)
Jaringan pulpa gigi berasal dari neural crest (Okiji, 2012, Hargreaves, 2012;
Abbott, 2007). Proliferasi dan kondensasi sel ini menyebabkan pembentukan papila
dental yang akan menghasilkan pulpa yang matur (Bergenholtz, 2010). Pulpa yang
matur memiliki kesamaan dengan jaringan ikat embrionik, mempunyai kekhususan
dengan adanya sel-sel odontoblas di seluruh daerah perifer (Weine, 2004). Secara
fisik, pulpa memiliki banyak saraf sensoris dan kaya akan komponen mikrosirkulasi
yang membuat pulpa menjadi jaringan yang unik (Buck, 1999). Pengetahuan akan
fungsi pulpa normal, komponennya, dan interaksinya penting dalam memberikan


Universitas Sumatera Utara

kerangka pengertian terhadap perubahan yang terjadi pada kelainan pulpa
(Hargreaves, 2012).
Jaringan pulpa selalu dipertimbangkan bersama-sama dentin sebagai suatu
kompleks dentin-pulpa karena anatomi, perkembangan dan fungsinya mempunyai
hubungan yang sangat erat. Elemen-elemen pulpa seperti prosesus odontoblas dan
terminal saraf memiliki kaitan erat (Pashley dan Tay, 2012). Fungsi yang erat antara
pulpa dan dentin dapat dipandang dari berbagai aspek, yaitu: (Pashley dan Tay, 2012;
Abbott, 2007)
1. Pulpa mempunyai peranan besar dengan adanya sel-sel odontoblas dalam
membentuk dentin baru baik secara fisiologis maupun sebagai respons terhadap
stimuli dari luar.
2. Pada pulpa dijumpai persarafan yang memberikan sensitivitas dentin.
3. Pulpa sebagai jaringan ikat mampu memberi respons terhadap semua jejas
yang terjadi pada dentin, walau tidak secara langsung, dengan menstimulasi sel
odontoblas.
4. Terkungkungnya pulpa dalam dentin memberikan lingkungan yang rendah
adaptasi (low compliance) yang mempengaruhi kemampuan pertahanan pulpa.


2.2 Sel-sel Pulpa
Dalam ruang pulpa terdapat berbagai elemen jaringan seperti saraf, jaringan
vaskular, serabut jaringan ikat, substansi dasar, cairan interstisial, sel-sel seperti

Universitas Sumatera Utara

odontoblas, fibroblas, makrofag, sel-sel imunokompeten seperti sel dendritik, sel
mast, limfosit, dan komponen seluler sel ektomesenkim yang tidak berdiferensiasi
(Abbott, 2007; Hargreaves, 2012).

2.2.1 Sel Odontoblas
Odontoblas merupakan sel pulpa yang paling khas, berasal dari jaringan
mesenkim, membentuk lapisan di perifer ruang pulpa dan mensintesis matriks yang
termineralisasi menjadi dentin (Okiji, 2012). Odontoblas yang terdapat pada ruang
pulpa bagian korona berbentuk kubus dan relatif besar. Jumlahnya 45.000 dan
65.000/mm2 di servikal dan pertengahan akar, jumlahnya lebih sedikit dan bentuknya
skuamosa (Pashley dan Tay, 2012).
Sel odontoblas merupakan sel akhir yang tidak mengalami pembelahan sel,
mengalami masa fase fungsional, transisional dan istirahat (Bergenholtz, 2010).

Odontoblas terdiri dari badan sel yang terletak pada pulpa dan prosesus odontoblas
yang memanjang ke luar ke arah tubulus dentin dan predentin. Odontoblas bekerja
paling aktif selama dentinogenesis primer dan selama pembentukan dentin reparatif
(Smith, 2012). Oleh karena odontoblas merupakan pembentuk dentin maka disebut
juga sebagai dentinoblas (Smulson dan Sieraski, 1996).
Selain berfungsi membentuk dentin, odontoblas juga terlibat dalam transduksi
sensoris (Diogenes dan Henry, 2012). Odontoblas menghasilkan komponenkomponen organ seperti predentin dan dentin, kolagen (tipe I dan tipe III) dan
proteoglikan (Okiji, 2012). Odontoblast juga mensintesis beberapa protein non

Universitas Sumatera Utara

kolagen misalnya bone-sialoprotein, dentin sialoprotein, fosfoforin, osteokalsin,
osteonektin, dan osteopontin (Simon, 2010, Smith, 2012).
Dentin sialoprotein dan fosfoforin merupakan protein yang khas disintesis
dentin (Souza dan Qin, 2012). Molekul-molekul ini disekresikan di ujung apikal dari
badan sel odontoblas (Tziavas, 2004; Smith, 2012).

2.2.2 Sel Fibroblas
Sel-sel fibroblas merupakan sel jaringan ikat yang paling banyak dengan
kapasitas untuk mengadakan sintesis dan mempertahankan matriks jaringan ikat

(Abbott, 2007). Sel-sel ini menempati hampir seluruh jaringan ikat pulpa dan
dijumpai dengan kepadatan yang tinggi pada zona kaya akan sel dari pulpa. Sintesis
kolagen tipe I dan tipe III merupakan fungsi utama dari fibroblas pulpa. Sel-sel ini
juga berperan dalam sintesis dan sekresi komponen-komponen matriks ekstra seluler
nonkolagen seperti proteoglikan dan fibronektin (Okiji, 2012).
Morfologi fibroblas pulpa bervariasi menurut fungsinya. Sel-sel yang sedang
mengadakan sintesis berbentuk ireguler dengan satu nukleus. Fibroblas ini kaya akan
endoplasma retikulum kasar dan kompleks golginya berkembang dengan baik. Selain
aktivitas sintetik, sel fibroblas juga terlibat dalam degradasi komponen-komponen
matriks ekstraseluler yang dibutuhkan dalam remodeling jaringan ikat (Okiji, 2012).
Fibroblas mampu memfagositosis fibril kolagen dan mencernanya secara intraseluler
dengan enzim lisozim. Fibroblas merupakan sumber dari sekelompok enzim-enzim
Zn yang disebut metalloproteinase matriks (kolagenase, gelatinase, stromelisin, dan

Universitas Sumatera Utara

sebagainya) yang mendegradasikan makromolekul matriks seperti kolagen-kolagen
dan proteoglikan (Okiji, 2012).
Penelitian-penelitian


in

vitro

telah

menunjukkan

bahwa

produksi

metalloproteinase matriks dari sel-sel pulpa yang dikultur menunjukkan peningkatan
setelah stimulasi dengan sitokin dan komponen-komponen bakteri (Okiji, 2012).
Penemuan ini mendukung bahwa sel-sel fibroblas distimulasi oleh sitokin-sitokin
inflamatori dan produk-produk bakterial yang berperan pada degradasi jaringan ikat
selama inflamasi pulpa (Okiji, 2012).

2.2.3 Sel-sel Mesenkim yang Tidak Berdiferensiasi
Sel-sel mesenkim ini terdistribusikan di daerah zona kaya akan sel dan zona

sentral pulpa dan sering menempati daerah perivaskuler (Abbott, 2007). Sel-sel ini
terlihat berbentuk stelata dengan rasio nucleus/sitoplasma yang tinggi, serta sulit
dibedakan dengan sel-sel fibroblas di bawah mikroskop cahaya. (Okiji, 2012) Setelah
mendapat stimulus, sel-sel ini mengadakan differensiasi menjadi fibroblas atau
odontoblas. Pada jaringan pulpa dewasa jumlah sel-sel ini menurun seiring dengan
menurunnya kemampuan regenerasi jaringan pulpa (Okiji, 2012).

2.2.4 Sel-sel Immunokompeten
Pulpa dilengkapi dengan komponen seluler yang penting untuk pengenalan
awal dan pemrosesan antigen, oleh sebab itu pulpa memiliki kemampuan untuk
memicu reaksi pertahanan tubuh (Abbott, 2007; Okiji, 2012). Sel imun yang utama

Universitas Sumatera Utara

pada pulpa normal adalah sel T, makrofag dan sel dendritic. Pada pulpa normal tidak
ditemukan adanya sel B.
Sel-sel makrofag pulpa secara klasik merupakan sel-sel yang berlokasi di
sekitar pembuluh-pembuluh darah (perivaskuler) dan di daerah perifer pulpa (di
lapisan odontoblas). Secara morfologis sel-sel ini dijumpai dalam berbagai bentuk,
antara lain berbentuk panjang, langsing, dan mempunyai cabang-cabang (prosesus).

Permukaan selnya ireguler dan terdapat struktur lisosom di dalam sitoplasma (Okiji,
2012). Menurut Abbott dan Yu (2007), pada gigi insisivus tikus ditemukan makrofag
yang mengaktifkan antigen klas II empat kali lipat lebih banyak dari sel dendritik.
Sel-sel dendritik pulpa juga merupakan sel-sel immunokompeten pulpa yang
berfungsi sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC). Sel-sel dendritik
banyak dijumpai di daerah perivaskuler, tersusun dengan aksis longitunalnya paralel
dengan sel-sel endothel (Okiji, 2012). Sel-sel dendritik mempunyai hubungan dengan
subpopulasi minor sel MHC klas II dengan kapasitas fagositik yang lemah (Okiji,
2012). Selain itu, sel-sel dendritik mempunyai kapasitas yang kuat untuk memberikan
sinyal yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel T dibandingkan terhadap sel
makrofag (Okiji, 2012). Proliferasi T dipengaruhi oleh neuropeptid seperti substansi
P dan calcitonin gene related peptide (CGRP) yang mendukung bahwa interaksi sel
dendritik dengan T pada pulpa dapat dimodulasi oleh neuropeptid ini (Okiji, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.3 Neuropeptid dalam Inflamasi Pulpa
Substansi P (SP) adalah salah satu neuropeptide dari golongan takhikinin.
Neuropeptid merupakan protein yang disintesis dalam badan sel serabut saraf aferen
primer dan kemudian dihantarkan ke pusat dan ke ujung saraf (Wakisaka, 1990).

Neuropeptid lain selain SP adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP),
neurokinin A (NKA), neuropeptid K, neuropeptid Y, somatostatin dan vasoactive
intestinal peptide (VIP) (Byers, 2012). Selama terjadinya inflamasi pulpa, serabut
saraf sensoris terstimulasi untuk melepaskan neuropeptide (Henry dan Hargreaves,
2007). Neuropeptid yang berperan dalam inflamasi pulpa adalah SP, CGRP, NKA,
neuropeptide K, neuropeptide Y, somatostatin, dan VIP (Byers, 2012). SP, CGRP,
dan VIP merupakan vasodilator sedangkan neuropeptid Y merupakan vasokontriktor
(Abbott, 2007; Gomez, 2011; Wakisaka, 1990). Penelitian Wakisaka (1990) telah
menunjukkan bahwa mayoritas terminal saraf ini merupakan serabut saraf C yang
erat kaitannya dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa.
Respons inflamasi terhadap injuri ataupun infeksi pada jaringan pulpa
memiliki makna klinis yang signifikan. Injuri dapat disebabkan oleh prosedur
iatrogenik, trauma maupun atrisi (Byers, 1999). Infeksi juga dapat disebabkan oleh
bakteri yang berasal dari karies, kebocoran mikro pada restorasi, ataupun melalui
jalan masuk lainnya ke dalam pulpa (Carrasquillo, 2004). Proses inflamasi dapat
dibagi atas tiga tahap yaitu inflamasi akut, inflamasi kronis, dan penyembuhan
(healing) (Byers, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Inflamasi pada jaringan pulpa sama seperti jaringan ikat lainnya yakni
inflamasi ini dimediasi oleh faktor seluler dan molekuler (Diogenes dan Henry,
2012). Vasodilatasi dan peningkatan aliran darah terlihat pada fase awal inflamasi
pulpa. Pada waktu sel-sel pulpa menjadi aktif, maka membran fosfolipidnya dengan
cepat mengalami perubahan sehingga menghasilkan mediator-mediator inflamasi
aktif secara biologis (Diogenes dan Henry, 2012). Produk-produk tersebut berasal
dari metabolisme asam arakhidonat. Jalur enzim siklooksigenase menyebabkan
terbentuknya prostaglandin(Trowbidge, 2003).
Proses inflamasi pada jaringan pulpa juga melibatkan neuropeptid
(Trowbridge, 2003). Ini menjadi jelas bahwa neuropeptid juga memegang peranan
penting dalam inflamasi pulpa yaitu dengan menghubungkan aksi saraf sensoris dan
pembuluh darah. Inflamasi neurogenik menggambarkan perubahan patologis dalam
hubungan neurovaskular yang menyebabkan inflamasi (Wakisaka, 1990).
Hargreaves (2012) telah menunjukkan bahwa SP dan CGRP berinteraksi
dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang akan meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan tekanan darah (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Sekitar 25%-50% dari serabut saraf gigi merupakan serabut saraf bermyelin
A-delta yang mengandung neuropeptid CGRP dan nerve growth factor (NGF)
(Gomez, 2011). Sebagian besar serabut saraf ini memasuki sepertiga bagian dalam
tubulus dentin dan menempati lapisan odontoblas(Fried et al., 2011). Sementara itu


Universitas Sumatera Utara

serabut saraf C menghasilkan NGF dan beberapa neuropeptid seperti SP, CGRP, dan
NKA. (Fristad et al., 2010).

2.4 Substansi P (SP) dan jaringan pulpa
Substansi P (SP) merupakan bahan vasoaktif dalam bentuk powder yang
pertama kalinya ditemukan oleh von Euler and Gaddum pada tahun 1931. “P” pada
substansi merupakan singkatan dari “powder” (Sacerdote dan Levrini, 2012).SP
terdiri dari 11 asam amino yaitu H-Arg1-Pro2-Lys3-Pro4-Gln5-Gln6-Phe7-Phe8Gly9-Leu10-Met11-NH2 dan merupakan kelompok neurokinin (NK) A dan NK-B
yang semua ini juga memiliki ujung karboksil yaitu Phe-X-Gly-Leu-Met-NH2
(Sacerdote dan Levrini, 2012). SP disandi oleh gen preprotachykinin –A dalam
perikaryon serabut saraf aferen primer akar dorsal dan ganglion trigeminus yang
kemudian dihantarkan menuju pusat dan ujung saraf (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Uniknya, sekitar 80% dari SP yang disintesis pada ganglion akar dorsal akan
dikirimkan menuju daerah terminal serabut perifer (Diogenes dan Henry, 2012).
Sejumlah enzim yang berperan dalam metabolism SP ini adalah endopeptidase (EP)
netral dan/atau angiotensin converting enzymes (ACE) (Diogenes dan Henry, 2012).
Pelepasan SP terjadi setelah berikatan dengan reseptor spesifik NK yang

tergandeng dengan protein G (Pozo et al., 2012). Ada tiga jenis reseptor takhikinin
yaitu NK1, NK2, dan NK3. Substansi P terutama bekerja pada reseptor NK1 dan
simulasi reseptor NK1 menginduksi beberapa sistem second messengers, seperti

Universitas Sumatera Utara

fosfolipase C intraseluler,inositol 1,4,5 - trisphophate (IP3), yang diikuti dengan
elevasi kalsium intraseluler. (Sacerdote dan Levrini, 2012)
Reseptor NK1 dan NK2 telah dijumpai berada pada sel odontoblas dan
ameloblas. NK1 juga banyak dijumpai pada pembuluh kapiler dan pembuluh darah
lebih kecil. Reseptor NK1 dan NK2 paling banyak dijumpai pada pleksus kapiler
yang berdekatan dengan dentin. Banyak reseptor NK2 dideteksi pada gingiva dan
epitel Malasez. Reseptor NK1 dan NK2 juga didapati pada fibroblas ligamen
periodontium dan jaringan pulpa gigi (Sacerdote dan Levrini, 2012).
Pada jaringan sehat, pelepasan basal SP berperan penting dalam pemeliharaan
homeostasis jaringan, sementara pelepasan yang banyak dari molekul ini sebagai
akibat stimulus eksternal, akan menginduksi terjadinya vasodilatasi yang diikuti
dengan peningkatan laju aliran darah yang berlangsung lama (Trowbridge, 2003).
Peningkatan produksi dan pelepasan SP memegang peran dalam inisiasi dan
propagasi proses inflamasi. (Sacerdote dan Levrini, 2012). Produksi dan pelepasan
molekul ini meningkat seiring dengan adanya rangsangan noksius, termal, mekanis
dan khemis pada jaringan pulpa dan ligamen periodontium. Jumlah SP yang
dilepaskan oleh serabut saraf sensoris mengalami peningkatan selama proses
inflamasi (Wakisaka, 1990). Sejumlah studi menunjukkan bahwa konsentrasi SP pada
jaringan pulpa manusia meningkat seratus kali pada gigi yang mengalami inflamasi
dan mencapai seribu kali pada gigi yang mengalami pulpitis ireversibel. (Rodd and
Boissonade, 2000).

Universitas Sumatera Utara

SP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah. Di
samping itu, limfosit, granulosit dan makrofag mengandung reseptor SP dan sel-sel
ini dapat distimulasi oleh SP untuk memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi
dan sitokin (Caviedes Bucheli, 2008). SP juga berperan sebagai kemotaksis poten
yang dapat menarik sel-sel inflamasi pada jaringan pulpa (Wakisaka, 1990). Sejumlah
besar mediator inflamasi dan nosiseptif secara dramatis mensensitisasi dan
merangsang nosiseptor untuk melepaskan jumlah SP yang lebih besar baik pada
sumsum tulang belakang dan jaringan pulpa yang akan meningkatkan sensasi nyeri.
(Sacerdote dan Levrini, 2012) (Gambar 2.1).
Hampir semua keadaan patologis yang mempengaruhi jaringan mulut baik
termasuk prosedur kedokteran gigi dapat meningkatkan produksi dan pelepasan SP
(Gambar 2.2). Hasil penelitian ex-vivo oleh Rodd dan Boissonade (2000)
menunjukkan bahwa ekspresi SP banyak dijumpai pada keadaan gigi karies
simptomatis dibanding yang asimptomatik. Nilai rata-rata level SP ekstraseluler
delapan kali lipat lebih besar pada gigi dengan pulpitis ireversibel dibandingkan
dengan pulpa normal dan peningkatan bermakna SP dikaitkan dengan adanya
jaringan granuloma dibandingkan dengan kelompok kontrol (Caviedes Bucheli,
2006).
Caviedes-Bucheli (2006) dan Caviedes-Bucheli (2008) melaporkan bahwa SP
dan CGRP meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel simptomatik dan

Universitas Sumatera Utara

asimptomatik bila dibandingkan dengan kelompok pulpa sehat. Level SP dan CGRP
meningkat delapan kali lipat padapulpitis ireversibel dibandingkan pulpa normal.
Dengan demikian, pulpitis ireversibel dikaitkan dengan aktivasi signifikan sistem
peptidergik. Di samping itu, penelitian yang dilakukan Goodale (1981) menunjukkan
bahwa SP memegang peranan penting pada inflamasi neurogenik dalam mengatur
aliran darah pulpa dengan mengontrol cairan eksudat yang berkaitan dengan
fenomena inflamasi (Gambar 2.3).
Awawdeh et al. (2002) menemukan adanya level SP, CGRP dan NKA yang
signifikan tinggi pada keadaan nyeri pulpa dibandingkan dengan pulpa sehat. NPs ini
berperan dalam proses inflamasi dan nyeri pulpa. Hasil penelitian mereka mengenai
patogenesis inflamasi pulpa dapat memberikan basis untuk pendekatan yang baru
dalam merawat pulpa yang mengalamiinflamasi. Penggunaan antagonis CGRP dan
antagonist SP/NKA dapat mengurangi inflamasi dan memicu penyembuhan pada
pulpa yang mengalami injuri dan dengan demikian akan menjadi suatu cara
penanganan nyeri pulpa (Buck, 1999).
Atas dasar ini,SP dianggap sebagai mediator utamainflamasi neurogenik dan
terkait hiperalgesia serta merupakan target yang menjanjikan untuk terapi yang
ditujukan untuk mengontrolrasa sakit dan meminimalkan konsekuensi buruk dari
injuri jaringan (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Peranan substansi P dalam inflamasi neurogenik
(Sacerdote and Levrini, 2012)

Penelitian oleh Killough et al. (2005) dan Caviedes-Bucheli (2007) telah
menunjukkan karakteristik reseptor NK pada gigi hewan rodensia dan manusia.
Penelitian tersebut menunjukkan ekspresi pola ekspresi reseptor tachykinin NK1,
NK2 dan NK3 pada berbagai jenis sel jaringan keras gigi, sel epitel, fibroblas,
endotelium, dinding pembuluh darah pada jaringan pulpa dan jaringan pendukung
mulut (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Peranan SP sebagai
imunomodulator(Caviede
s-Bucheli, 2008)

Gambar

2.3 Peranan SP dalam mekanisme
nyeri(Caviedes-Bucheli, 2008)

Universitas Sumatera Utara

SP memiliki efek pro inflamasi yang menyebabkan plasma ekstravasasi dan
edema sedangkan CGRP menstimulasi pertumbuhansel pulpa seperti fibroblas dan sel
lir odontoblas. Selain itu CGRP juga meningkatkan ekspresi bone morphogenic
protein (BMP) – dua transkrip pada sel pulpa gigi manusia dan merupakan faktor
yang

berkaitan

dengan

induksi

pembentukan

dentin.

Penelitian-penelitian

menunjukkan bahwa CGRP berperan dalam fenomena inflamasi seperti pulpitis
ireversibel (Cavides-Bucheli et al., 2004, Cavides-Bucheli et al., 2005).
Aktivasi peptidergik dari nosiseptor menstimulasi reaksi vasodilatasi (Simone
et al., 1989). Hal ini terjadi karena adanya neuron-neuron melepaskan vasoaktif
polipeptida seperti Substansi P dan CGRP dimana terjadi depolarisasi. Peninggian
aktivasi dari nosiseptor dimulai ketika neuropeptid dilepaskan. Sebagai contoh,
peninggian level dari Substansi P terdapat di dalam pulpa pasien dengan pulpitis
irreversibel (Sattari, 2010). CGRP dan Substansi P meningkatkan vasodilatasi dan
ekstravasasi, secara berturut-turut hingga berpartisipasi dalam proses inflamasi.
Mekanisme untuk inflamasi neuronal yang menyeluruh disebut inflamasi neurogenik.
Dalam menjelaskan proses terjadinya nyeri pada pulpa dijumpai empat faktor yang
berperan yaitu yakni: inflammasi neurogenik, nerve sprouting, hiperalgesia, dan
central nervous system (CNS). (Hargreaves, 2012)

Universitas Sumatera Utara

2.5 Pulpitis Reversibel dan Ireversibel
Inflamasi jaringan pulpa gigi merupakan sebuah proses kompleks yang
melibatkan reaksi neurovaskuler yang merupakan komponen kunci dari fenomena
neurogenik dan bisa menyebabkan nekrosis pulpa (Caviedes-Bucheli, 2006).
Penyebab paling umum inflamasi dalam pulpa adalah bakteri (Waterhouse,
1999). Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tubulus dentin yang terbuka, baik
karena karies maupun karena trauma, kebocoran restorasi, perluasan infeksi gingiva,
atau melalui peredaran darah (Tokuda, 2004). Ada atau tidaknya iritasi bakteri adalah
faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa setelah pulpa terbuka secara mekanis
(Weine, 2004).
Inflamasi merupakan respons fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan
gangguan oleh faktor eksternal. Inflamasi dibagi menjadi dua tahap yaitu inflamasi
akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut menunjukkan respons yang tiba-tiba dan
durasi yang pendek, dengan demikian inflamasi akut dihubungkan dengan injuri
dadakan. Inflamasi akut juga menunjukkan tipe respons yang lebih spesifik yang
melibatkan reaksi eksudatif; cairan, protein serum dan sel darah putih meninggalkan
aliran darah dan memasuki daerah injuri. Apabila inflamasi akut berlangsung lebih
dari beberapa hari, maka dapat berkembang menjadi reaksi inflamasi kronis.
Inflamasi kronis adalah respons proliferatif yang ditandai dengan proliferasi
fibroblas, endotelium vaskuler, dan terkumpulnya sel-sel inflamasi kronis (limfosit,
plasma sel dan makrofag). (Trowbridge and Emling, 1993).

Universitas Sumatera Utara

Walaupun tidak akurat, rasa nyeri masih dipakai sebagai indikator dalam
menentukan diagnosis penyakit pulpa (Bergenholtz, 2012). Diagnosis tersebut sukar
dan sering kurang sesuai dengan keadaan penyakit sebenarnya karena letak jaringan
pulpa terlindung oleh jaringan keras gigi, yaitu email dan dentin (Gulabivala, 2014).
Di samping rasa nyeri, tolok ukur lain dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa
secara klinik ialah faktor penyebab terbukanya jaringan pulpa, atau penyebab keluhan
pulpa. Pulpa dapat terbuka oleh karena proses karies atau trauma. Keluhan rasa nyeri
dapat disebabkan oleh rangsang termis, elektris, dan kimia (Hargreaves, 2012).
Riwayat rasa nyeri yaitu jenis, letak, proses terjadinya, frekuensi serta kualitasnya
digunakan untuk menentukan diagnosis penyakit pulpa, namun hasil rekaman
tersebut belum dapat memastikan keadaan jaringan sebenarnya Hasil rekaman rasa
nyeri, gambaran radiografik serta keadaan klinik diharapkan dapat menentukan
diagnosis penyakit pulpa yang lebih akurat, yaitu pulpitis atau nekrosis (Iqbal, 2007).
Keadaan jaringan pulpa yang sebenarnya hanya dapat dilihat dengan
pemeriksaan mikroskopik (Byers, 2012). Jaringan pulpa sudah menunjukkan reaksi
sejak lapisan email terbuka oleh cedera, mekanik, termal, kimia atau bakteri
(Haghighi, 2010). Reaksi tersebut berupa terdapatnya limfosit di jaringan pulpa, dan
mulai terlihatnya lapisan odontoblas yang cedera (Haghighi, 2010). Bila intensitas
rangsang lebih besar, maka dapat timbul cedera pada jaringan pulpa yang lebih luas
dan dalam (Haghighi, 2010). Rangsang tersebut akan mengubah sistem
mikrosirkulasi dalam jaringan pulpa, sehingga terjadi hambatan aliran darah dan

Universitas Sumatera Utara

metabolisme dalam jaringan (Haghighi, 2010). Mula-mula terjadi vasodilatasi sistem
mikrovaskularisasi yang menyebabkan sirkulasi darah menjadi statis. Di dalam arteri
terjadi mobilisasi lekosit, sel-sel polimorfonukleus (PMN) mengadakan marginasi
yang dilanjutkan dengan emigrasi ke jaringan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan
pengumpulan eksudat di jaringan untuk proses fagositosis, keadaan ini disebut
pulpitis akut (Bergenholtz, 2010).Apabila proses berlanjut menjadi kronis, maka
tanda-tanda mikroskopik berupa penyebaran sel-sel radang kronis seperti limfosit, sel
plasma, histiosit yang aktif, dan makrofag yang menyebabkan fibrosis serta
perkapuran.
Inflamasi pulpa secara klinis dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pulpitis
reversibel, pulpitis ireversibel dan nekrosis pulpa. Pulpitis reversibel adalah suatu
kondisi inflamasi pada pulpa ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa
stimuli, tetapi pulpa mampu kembali pada keadaan tidak terinflamasi setelah stimuli
stimuli ditiadakan (Hargreaves, 2012). Rasa sakit yang berlangsung sebentar dapat
dihasilkan oleh stimuli termal pada pulpa yang mengalami inflamasi reversibel, tetapi
rasa sakit hilang segera setelah stimuli dihilangkan (Gulabivala, 2014). Penyebab
pulpitis reversibel disebabkan oleh apa saja yang mampu melukai pulpa. Penyebab
dapat berasal dari: trauma oklusal: syok termal saat preparasi kavitas dengan bur yang
terlalu lama; dehidrasi kavitas dengan alkohol atau kloroform yang berlebihan;
adanya bakteri yang masuk ke dalam pulpa (Weine, 2004). Gejala pada pulpitis
reversibel ditandai oleh rasa sakit yang tajam namun sebentar saat adanya rangsangan

Universitas Sumatera Utara

misalnya pada saat makan atau minum. Pada pulpitis reversibel rasa sakit tidak terjadi
secara spontan (Chandra, 2010).

2.6 Respons Inflamatori pada kompleks pulpo-dentin
Pulpa menunjukkan respons terhadap berbagai jenis stimuli sensori seperti
perubahan termal, deformasi mekanis atau trauma sebagai sensasi umum yaitu nyeri
(Bergenholtz, 2012). Kemampuan menimbulkan nyeri tersebut sangat penting karena
merupakan bagian dari sistem pertahanan pulpa (Buck,1999). Pasien dengan
inflamasi pulpa akan cenderung mencari perawatan dengan lebih cepat apabila terjadi
injuri pulpa jika dibandingkan dengan gigi yang telah dilakukan perawatan saluran
akar yang tidak lagi merasakan sensasi nyeri sampai kerusakan besar telah terjadi
pada jaringan sekitar gigi (Saad dan Clem, 1988). Selain itu fungsi proprioseptif
pulpa membatasi beban berlebihan pada gigi oleh otot pengunyahan dan dengan
demikian melindungi gigi dari injuri (Hargreaves, 2012).
Serabut-serabut saraf pulpa bereaksi terhadap inflamasi dengan meluasnya
cabang-cabang terminal dan mengeluarkan neuropeptide (Byers dan Narhi, 1999,
Byers et al., 2003). Serabut-serabut saraf sensoris memegang peranan penting dalam
memacu sel-sel immunokompeten memasuki jaringan pulpa (Fristad et al., 2010).
Infiltasi awal sel-sel inflamasi terdiri dari limfosit, makrofag, sel-sel plasma dan
neutrofil (Trowbridge, 2002).
Respons inflamasi akut menimbulkan reaksi sebagian besar sistem
vaskularisasi pulpa, terbebasnya mediator-mediator seperti serotonin, histamin,

Universitas Sumatera Utara

neuropeptide (SP, CGRP, neurokinin A, dan somatostatin), yang mempengaruhi
aliran darah pulpa dan meningkatnya permeabilitas kapiler-kapiler pulpa (Fouad,
2002). Akibat hal ini, protein-protein plasma dan neutrofil memasuki area inflamasi
dan dapat menetralisir atau memfagositasi iritan (Trowbridge, 2002). Tipe-tipe yang
berbeda dari limfosit-T (CD4+helper, CD8+sitotoksik), makrofag, neutrofil, sel-sel
dendritik dan sel-sel plasma dapat dijumpai pada pulpa yang mengalami inflamasi,
dan jumlahnya meningkat jika penyakit/kelainan pulpa berlanjut (Jontell, 1998). Selsel dendritik dan juga CD3+ (memori) sel-sel T-limfosit berkumpul di bawah lesi,
sedangkan akumulasi sel-sel immunokompeten lain terlihat sedikit, menunjukkan
bahwa sel-sel dendrite dan sel-sel T memori memicu reaksi imunologi pulpa
(Jontell,1998). Inflamasi pulpa yang berat dapat meningkatkan tekanan jaringan
interstisial, yang menyebabkan nekrosis, disebabkan pulpa berada di lingkungan yang
sulit beradaptasi (Trowbridge 2002, Heyeraas dan Berggreen, 1999).

2.7 Efek Injuri dan Kemampuan Penyembuhan Jaringan Pulpa
Sel-sel immunokompeten yang berada pada jaringan ikat pulpa dapat
memberi respon terhadap sejumlah situasi klinis yang menyebabkan hilangnya
integritas jaringan keras gigi seperti karies, fraktur gigi dan preparasi kavitas
(Tziavas, 2004; Smith, 2002).

2.7.1 Regenerasi Jaringan Kompleks Pulpo-Dentin

Universitas Sumatera Utara

Respons jaringan pulpaterhadap injuri dengan adanya regenerasi jaringan,
telah banyak diteliti dan dipahami bagaimana aktivitas sel-sel odontoblas berperan
sebagai reaksi pulpa setelah injuri (Haghighi, 2010). Ketika terjadi injuri pada gigi
(karies, trauma, atau wear), akan dimulai suatu kaskade respons pulpa. Tergantung
pada injurinya, apakah singkat/dalam waktu panjang, atau dengan intensitas rendah
atau tinggi, respons pulpa akan berbeda (Fried, 2011). Injuri yang lemah atau
intensitas yang sedang akan selalu dapat dihilangkan dengan terjadinya respons
inflamasi diikuti dengan terjadinya dentinogenesis reaksioner (Souza, 2012). Pada
injuri dengan intensitas yang lebih besar, terjadi kematian odontoblas seperti pada
karies yang dalam atau trauma yang berat, inflamasi dapat berjalan tanpa kontrol,
terjadi diferensiasi sel-sel lir-odontoblas membentuk jembatan dentin pada daerah
pulpa yang terpapar, dan proses ini disebut dentinogenesis reparatif (Simon, 2009).
Pembentukan matriks dentin melalui diferensiasi odontoblas selama proses
mineralisasi dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi pada level protein atau ekspresi
gen. Beberapa protein yang disekresikan antara lain fosfatase alkalin (ALP), kolagen
tipe-1 (Col-1), dentin matrix protein-1 (DMP-1), dentin sialophosprotein (DSPP),
osteonektin (On) dan osteokalsin (Oc), sering dijadikan biomarker untuk
menganalisis aktivitas odontoblas (Pashley dan Tay, 2012).

2.7.2 Aspek Molekuler Dentinogenesis Reparatif
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel-sel pulpa manusia dalam
kultur dapat mensintesis sejumlah besar kolagen tipe-1 (Pashley dan Tay, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Sintesis Col-1 oleh fibroblas dan sel-sel lir-odontoblas dipengaruhi sitokin dan
growth factor (Trwobridge dan Emling, 2003). Kolagen tipe-1 dijadikan penanda gen
untuk fenotipe odontogenik (Simon, 2009). Kolagen tipe-1 adalah protein paling
dominan pada matriks dentin dan juga merupakan komponen organik utama matriks
ekstraseluler tempat mineralisasi akan berlangsung (Simon, 2009). Protein tersebut
terdapat dalam predentin, dentin intertubular, dan dentin reparatif. Protein matriks
ekstraseluler utama pulpa gigi juga merupakan kolagen tipe-1 yang berperan untuk
stabilisasi arsitektur jaringan (Simon, 2009).
Jaringan pulpa mengandung populasi sel-sel pulpa heterogen pada berbagai
tahap diferensiasi. Dentinogenesis reparatif dimodulasi oleh diferensiasi odontoblas
post mitotic (Simon, 2009). Diferensiasi terminal sel-sel ini ditandai dengan
terjadinya penarikan sel dari siklus sel, pemanjangan dan polarisasi sel, serta
modifiksi transkripsi dan translasi yang memungkinkan sel-sel ini untuk mensintesis
matriks predentin (Simon, 2009). Selain itu, faktor-faktor pertumbuhan maupun
matriks ekstraseluler jaringan pulpa berperan penting dalam komitmen jalur seluler
(Yu et al,. 2006).
Faktor-faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF),
fibroblas growth factor (FGF), insulin growth factor (IGF) dan platelet derived
growth factor (PDGF) dapat menginduksi diferensiasi odontoblas dan pembentukan
dentin reparatif pada kultur sel-sel pulpa dan hewan coba, tetapi untuk
mengidentifikasi peran spesifik dari satu faktor pertumbuhan tersebut sangat sulit

Universitas Sumatera Utara

karena aktivitas molekul-molekul tersebut umumnya berlangsung secara parakrin dan
autokrin (Yu et al., 2006, Nakashima et al., 2005). Faktor-faktor pertumbuhan ini
akan terikat pada reseptor sel-sel progenitor multi- atau monopoten dalam pulpa dan
menginduksi diferensiasi sel-sel ke arah sel-sel lir-odontoblas. Sel-sel inilah yang
kemudian memproduksi barier ortodentin atau osteodentin (Nakashima et al., 2005,
Sharma et al., 2010).
Dentinogenesis reparatif diawali oleh aktivitas sel-sel lir odontoblas dengan
mensekresikan matriks protein berbatasan dengan tempat cedera yang kemudian
dilanjutkan dengan pembentukan fibrodentin (Smith, 2012; Pashley dan Tay, 2012).
Setelah dilakukan kaping pulpa, selama proses reparasi, matriks kaya akan
fibronektin, yang berfungsi sebagai reservoir faktor pertumbuhan serta substrat untuk
migrasi dan perlekatan sel. Dalam hal ini faktor pertumbuhan seperti TGF-β dan
molekul induktif lain yang diekspresikan dalam jaringan pulpa diduga terlibat dalam
diferensiasi sel-sel lir-odontoblas (Okiji dan Yoshiba, 2009; Pashley dan Tay, 2012).
Selama dentinogenesis reparatif, adhesi sel progenitor pada permukaan bahan
kaping pulpa diduga yang menyebabkan diferensiasi sel-sel pembentuk jaringan keras
(Simon, 2009). Pada kaping pulpa dengan kalsium hidroksida, maka ion-ion kalsium
yang dilepaskan dari bahan tersebut mampu menginduksi ekspresi gen fibronektin
pada sel-sel pulpa gigi dan berperan penting dalam diferensiasi terminal odontoblas.
Matriks ekstraseluler seperti proteoglikan terlihat mampu mengikat factor-faktor
pertumbuhan dan memodulasi ekpresi gen tersebut (Smith, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Peristiwa dentinogenesis dapat dianalogikan dengan osteogenesis karena selsel odontoblas mempunyai beberapa karakteristik yang mirip dengan sel osteoblastik
seperti aktivitas fosfatase alkali, kemampuan memproduksi Col-1 dan protein non
kolagen yang berhubungan dengan mineralisasi, seperti osteokalsin dan osteonektin
(Thaweboon et al., 2005). Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel tersebut dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu tahap proliferasi, diferensiasi dan maturasi sel (Huang et al.,
2007). Pada osteogenesis, diferensiasi sel tahap awal terjadi selama tahap sekunder
yaitu dari hari ke 5 sampai hari ke 14 dengan adanya ekspresi penanda sel
osteoprogenitor ALP. Diferensiasi terminal (akhir) dan pematangan matriks terjadi
pada tahap ketiga yaitu dari hari ke 15 sampai hari ke 28, dengan penanda utama
osteokalsin dan deposisi mineral (Huang et al., 2007).
Pada tahap maturasi sel tidak ada faktor pertumbuhan yang berperan secara
khusus. Tingkat sekresi BMP-2 dan FGF-2 yang tetap tinggi diperlukan untuk
maturasi osteoblas (Goldberg, 2004; huang et al., 2007). Molekul sinyal seperti BMP
yang dilepaskan dari dentin yang cedera berperan dalam pembentukan dentin
reparatif.

Penelitian-penelitian

terdahulu

telah

menunjukkan

bahwa

faktor

pertumbuhan sepert TGF-β dapat menstimulasi tiga peristiwa utama dalam perbaikan
pulpa gigi manusia dengan pembentukan odontoblas fungsional, yaitu proliferasi sel,
migrasi sel dan sintesis Col-1 (Nie et al., 2006). Berdasarkan penelitian ekspresi gen
secara in vivo diketahui bahwa TGF- β1 memiliki efek pada diferensiasi sel pulpa
menjadi odontoblasselama perkembangan gigi dan pada kondisi cedera. Faktor

Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan tersebut mengindksi aktivitas fosfatase alkali dan produk matrikas
ekstraseluler sel-sel pulpa gigi (Nie et al., 2006 ; Okiji dan Yoshiba, 2009).

2.7.3

Penyembuhan dan Perbaikan Jaringan Pulpa
Pada saat terjadi injuri, pulpa akan terpapar dan akan terjadi inflamasi pulpa

dengan tahap-tahap: (1) homeostasis dan pembentukan gumpalan darah; (2) respons
inflamasi; (3) proliferasi sel dan/atau prekrutan sel-sel; dan (4) remodeling jaringan
(Arana dan Massa, 2004). Proses penyembuhan pada jaringan ikat selalu ditandai
dengan karakteristik adanya keempat tahap di atas. Kegagalan untuk menghilangkan
proses inflamasi dapat menyebabkan proses inflamasi kronis, dan seterusnya nekrosis
pulpa (Simon, 2009). Jaringan pulpa yang mengalami nekrotik, yang letaknya
berdekatan dengan pulpa yang terpapar, ditandai dengan adnya debris dari
pembentukan blood clot, dan respons seluler dengan adanya infitrasi neutrophil (Henr
dan Hargreaves, 2007).
Yamamura (1985) menandai kronologi proses penyembuhan pada kaping
pulpa gigi hewan coba anjing dengan kalsium hidroksida sebagai berikut: fase
eksudatif (3 - 5 hari), fase proliferatif (3 – 7 hari), pembentukan osteodentin (5 – 14
hari), dan pembentukan dentin tubuler (lebih dari 14 hari). Setelah 3 – 6 hari, lapisan
inflamasi digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan ini tersusun sepanjang luka,
banyak mengandung sel fibroblas dan kapiler-kapiler darah baru (Simon, 2009).
Matriks ekstraseluler baru dan nodul-nodul mineralisasi terlihat selama proses
penyembuhan ini (Simon 2009).

Universitas Sumatera Utara

Deposit mineral pertama dijumpai dalam vesikel-vesikel matriks yang
mengindikasikan kesamaaan antara pembentukan dentinogenesis reparatif dan
pembentukan mantel dentin (Hayashi, 1982). Pada hari ke 11, terbentuk matriks baru
mengelilingi sel-sel kuboidal, dan sedikit sel-sel yang terlihat pada gambaran pertama
dari diferensiasi odontoblas, Pada hari ke 14, sel-sel direorganisasi dalam bentuk
palisade yang terlihat sama dengan dentin primer dan dentin sekunder (Myor, Dahl et
al., 1991). Pada bulan pertama, dapat terlihat jembatan dentin dan suatu lapisan
nekrotik yang dihubungkan dengan respons inflamasi pada jaringan pulpa yang
berdekatan (Simon, 2009). Penelitian Cox (1996) menunjukkan bahwa pada level
ultrastruktur, defek tunnel jelas terlihat pada jembatan dentin, sebanyak 89% dari
kasus-kasus yang diteliti.
Dentinogenesis reparatif merupakan proses kompleks terdiri dari suatu
kaskade proses biologi; dimana terjadi interaksi sel-sel pulpa dengan faktor
pertumbuhan, sitokin-sitokin dan mediator-mediator molekuler selama proses
penyembuhan, dimulai dari tiga tahap proses reparatif berikut, yaitu (1) perekrutan
sel-sel progenitor; (2) diferensiasi seluler dan (3) peningkatan regulasi sintetik sel
aktivitas sekretori (Simon, 2009).

2.8

Fosfastase alkali (ALP)
Fosfatase alkali terdapat pada kebanyakan spesies, bakteri dan manusia, yang

secara umum merupakan enzim yang berperan penting dalam fungsi biologi terutama
pada jaringan termineralisasi (Golub, 2007). Pada manusia dan hewan pengerat ada

Universitas Sumatera Utara

empat gen yang mencirikan isoenzim ini dan tiga gen ditampilkan pada jaringan
spesifik yaitu plasenta, embrio dan usus, sedangkan satu gen tidak spesifik dan
terdapat pada tulang, gigi dan ginjal (Golub, 2007). Fosfatase alkali mempunyai
peranan penting pada proses inisiasi mineralisasi jaringan ikat, oleh karena itu ALP
sering digunakan untuk penanda yang diekspresikan selama berlangsungnya
diferensiasi sel lir-odontoblas secara in vitro maupun in vivo (Golub, 2007).
Untuk mendeteksi ALP dapat melalui immune assay dan in situ hybridization
yang dapat dilakukan secara bersamaan. Imunostaining didistribusikan pada bagian
sitoplasma dan membran plasma pada daerah supra nukleus pada kutub sekresi
odontoblas (Morotoni, 2011). Isyarat ekstra sel melalui pencairan bertahap anti bodi
memperlihatkan bertambahnya ALP pada daerah ekstra sel dibandingkan intra sel.
Ada dua tahap eksistensi ALP yaitu tahap biomineralisasi dan tahap maturasi
(Magne, 2004). Selama tahap biomineralisasi kadar ALP akan meningkat, dan selama
tahap maturasi ALP terlihat pada bagian permukaan jaringan (Ando, 2009). Kedua
tahap ini dapat dianalisis secara histoenzimologi (Ando, 2009). Jadi, selama
terjadinya pertumbuhan sel kadar ALP stabil dan akan terlihat nyata adanya kenaikan
setelah 14 hari distimulasi karena diferensiasi terjadi, setelah 3 minggu akan menurun
karena sudah mulai terbentuk nodul termineralisasi (Arana, 2004).
ALP memegang peranan penting pada tahap inisiasi mineralisasi jaringan ikat
(Yu, 2006). Oleh karenanya, ALP sering digunakan sebagai marker yang
diekspresikan selama proses diferensiasi mirip odontoblas secara in vitro maupun in

Universitas Sumatera Utara

vivo yang terletak di lapisan pre-odontoblas dan odontoblas. Peningkatan aktivitas
ALP seringkali ditunjukkan dengan bentuk diferensiasi odontoblas. Lopez-Cazaux et
al (2006) menunjukkan efek media kultur menghasilkan rangsang aktivitas ALP pada
sel pulpa gigi manusia setelah 14 hari dikultur dalam media MEM dibandingkan
kultur dalam media RPMI. Telah ditunjukkan bahwa dexamethasone, glycocorticoid,
dikenal untuk mempengaruhi diferensiasi osteoblast-like cell dapat merangsang
aktivitas ALP setelah 3-14 hari dikultur (Yu, 2007; Wu, 2008).Tingkat ALP dapat
dideteksi untuk bertahan tetap selama fase pertumbuhan sel dan meningkat selama
proses diferensiasi, sementara penurunannya dapat diamati setelah 3 (tiga) minggu
confluence pada saat pembentukan nodul mineral menjadi nyata (Arana, 2004).

Tabel. 2.1 Tahap-Tahap Transisi pada Odontoblast Cell Lineage (Golub, 2007)
Primary
Cranial neural crest
Dental papila

Odontoblast Cell
Lineage Regeneration

Gene products

Dental Pulp

Type III Collagen (High)
Type I Collagen (Low)
Fibronectin
Type III Collagen (Low)
Type I Collagen (High)
Alkali Phospatase
Osteopontin
DPP, DMP-1, DSP
Calbindin, D-28K
Osteocalcin, Osteonectin
Bone Sialoprotein

Pre odontoblast / Young
Odontoblast

Odontoblast Polarized

Mature Odontoblast

Odontoblast secretory

Odontoblast-Mineralizing
matrix

Universitas Sumatera Utara

2.9

Bahan-Bahan Pereda Nyeri Gigi
Selama ini telah dipakai bahan-bahan pereda nyeri gigi berdasarkan hasil-

hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Bahan pereda nyeri yang paling
umum dipergunakan adalah eugenol (minyak cengkeh). Eugenol merupakan senyawa
fenol yang telah banyak digunakan sebagai obat topikal untuk rasa nyeri dan
inflamasi misalnya pulpitis dan hiperalgesia tetapi juga menunjukkan aksi iritan.
Eugenol (4-allyl-1-hidroksil-2-methoxybenzena) adalah minyak esensial yang
diekstraksi dari cengkeh (Syzygium aromaticum) yang digunakan sebagai topikal
aplikasi untuk meredakan rasa sakit dan untuk penyembuhan. Minyak cengkeh (clove
oil) memiliki dua komponen utama yaitu Eugenol yang mengandung 78% minyak
dan β-caryophyllene yang mengandung 13% minyak. Studi in-vitro telah
menunjukkan sifat sitotoksis eugenol dan minyak cengkeh terhadap fibroblas dan sel
endotel manusia (Prashar et al., 2006).
Bahan pereda nyeri lain yang dipakai adalah miswak/siwak, guaiacol,
capsaicin, kulit pohon ambu guava, cabe jawa dan getah jarak. Miswak (Salvadora
persica) diketahui memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan bahan pereda
konvensional lainnya yakni bahannya yang alami, tidak mahal, memiliki efek antiastringent, bersifat deterjen dan memiliki aksi anti inflamasi. Bahan ini banyak
dikenal di Arab Saudi, merupakan tanaman padang pasir, akar dan batangnya
digunakan sebagai pembersih gigi. Secara tradisional diketahui bahwa siwak
memiliki efek untuk menurunkan berbagai bentuk nyeri gigi. Penelitian Al-Samh dan

Universitas Sumatera Utara

Al-Nazhan (1997) menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi siwak yang terpapar
dengan gigi melebihi dua jam dapat menimbulkan sitotoksisita pada sel fibroblast L
929.
Capsaicin adalah zat neurotoksin yang terdapat dalam cabe merah Capsicum,
telah digunakan secara ekstensif dalam karakterisasi fisiologi aferen sensoris dan
inflamasi neurogenik (Flores et al., 2001). Struktur kimia senyawa fenol pada eugenol
dan guaiacol hampir identik dengan capsaicin (Caviedes-Bucheli et al., 2005).
Mekanisme aksi capsaicin bila diberikan secara topikal adalah pelepasan SP dari
serabut saraf. Hal ini pada awalnya menyebabkan rasa nyeri, tetapi bila diberikan
secara berulang maka SP akan berkurang. Hal inilah yang mengurangi kemampuan
saraf untuk mengirimkan sensasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. (Kaye et al.,
2002). Ohkubo dan Shibata (1997) menunjukkan bahwa senyawa-senyawa ini
mempunyai peranan dalam menurunkan nilai ambang saraf-saraf nociceptif melaui
reseptor capsaicin yang berada pada pusat sonsori termal dalam spinal cord.
Prabu et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ekstrak daun dan
kulit pohon jambu guava (Psidium guajava) memiliki beberapa efek farmakologis
yang salah satu diantaranya adalah efek anti-inflamasi yang dihasilkan oleh
guaijaverin (senyawa flavonoid). Ohkubo dan Shibata (1997)menunjukkan bahwa
cabe jawa dapat menurunkan nilai ambang saraf-saraf nosiseptif melalui reseptor
capsaicin sedangkan getah jarak (Jatropha Curcas Linn) dilaporkan dapat

Universitas Sumatera Utara

menurunkan kadar SP dan COX-2 pada pulpa gigi Macaca fascicularis (Irmaleny,
2010)

2.10Watermelon Frost sebagai Obat Alternatif
Obat tradisional digunakan sebagai salah satu sarana dalam pengobatan
tradisional oleh masyarakat sehingga disebut sebagai obat alternatif (herbal
medicine). Sebenarnya obat tradisional telah lama diketahui oleh masyarakat, lebihlebih pada saat ini karena penggunaan obat yang semakin mahal harganya. Penelitian
akan khasiat tanaman tradisional ini bagi peningkatan kualitas kesehatan juga
mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Hal ini sesuai dengan fokus area
kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa untuk pembangunan nasional
(Jakstra 2000-2004) antara lain menemukan bahan baru, terutama dilihat dari sudut
kesehatan dengan menyangkut tanaman tradisional.
Watermelon frost sudah lama dikenal oleh masyarakat RRC sebagai terapi
untuk penyakit rongga mulut dan tenggorokan. Watermelon frost sesungguhnya
adalah serbuk putih yang didapat dari buah semangka (Citrulus vulgaris) melalui
pemberian garam Glauber’s yaitu senyawa natrium sulfat hidrat (Na2SO4.10H2O).
Penelitian klinis Wu (2003) dan Zhang (2001) telah menunjukkan adanya efek
watermelon Frost untuk pengobatan infeksi tenggorokan. watermelon frost juga
terbukti dapat menurunkan inflamasi pada faring dan sekaligus dapat menurunkan
panas dan influensa.

Universitas Sumatera Utara

Perusahaan Gui Lin San Jin yang berlokasi di negera RRC yang didirikan
pada tahun 1954 telah lama memproduksi watermelon frost yang telah disetujui oleh
”State Drug Administration”. Telah diamati bahwa bahwa watermelon frost dapat
menurunkan inflamasi, rasa nyeri gigi, gingivitis, laringitis, faringitis, stomatitis dan
luka bakar. Namun demikian penelitian resmi terhadap efek anti inflamasi dan
penurunan nyeri gigi belum pernah dilakukan, jadi hanya berdasarkan pengalaman
para pemakai/empiris saja. Masyarakat Tionghoa sering menggunakan watermelon
frost ini apabila mereka mengalami keluhan inflamasi di sekitar rongga mulut.
Watermelon frost komersial (San JinXi Gua Shuang) mengandung bahanbahan sebagai berikut: Watermelon frost (50%), Rhizoma Belamcandae (5%), Bulbus
Fritillariae (15%), Radix Sophorae Tonkinensis (10%), Mentholum (5%), Indigo
Naturalis (5%) dan Borneolum (10%).
Christian dan Trimurni (2006) dalam penelitiannya secara in-vitro melaporkan
bahwa watermelon frost memiliki efek untuk menghambat bakteri S.mutans sebagai
bakteri kariogenik. Dennis dan Trimurni (2009) telah menunjukkan dalam penelitian
secara in-vitro bahwa watermelon frost memiliki efek anti nyeri dan inflamasi dengan
menurunkan konsentrasi penanda PGE2. Dalam laporan kasus Dennis dan Trimurni
(2013) telah ditunjukkan bahwa watermelon frost efektif dalam menurunkan nyeri
pulpa serta memacu terjadinya penyembuhan lesi periapeks pada perawatan ulang
kasus flare-ups endodonti gigi molar dua bawah dengan anatomi saluran akar
berbentuk C (C-shaped).

Universitas Sumatera Utara

2.11

Macacafascicularis
M. fascicularis merupakan salah satu hewan primata yang banyak digunakan

sebagai hewan coba dalam penelitian biomedis, karena secara anatomis dan fisiologis
memiliki banyak kemiripan dengan manusia (gambar 2.4) (Adith, 2008).
M.fascicularis disebut juga dengan monyet ekor panjang, memiliki berbagai nama
lain seperti monyet cynomolgus, dan monyet pemakan kepiting (crabeatingmacague)
(Fortman, 2002; Reinhardt, 1997). Taksonomi monyet ekor panjang menurut
Whitney et al. (1995) adalah sebagai berikut :

Filum

:

Chordata

Kelas

:

Mammalia

Ordo

:

Primata

Sub ordo

:

Anthropoidea

Infra ordo

:

Catarrhini

Super famili

:

Cercopithecoidae

Famili

:

Cercopithecidae

Sub Famili

:

Cercopithecinae

Genus

:

Macaca

Species

:

Macacafascicularis

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995)

2.11.1 Penyebaran dan Habitat
M. fascicularis memiliki habitat beragam mulai dari hutan primer, hutan
sekunder, sepanjang pinggiran sungai, hutan pesisir laut, hutan mangrove. Hewan ini
memiliki penyebaran habitat yang luas di daratan Asia (Kemp, 2003).
Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki
(quadrupedalism) (Napier, 1985). Hewan ini memiliki ekor yang lebih panjang dari
panjang kepala dan badan, sekitar 40-65 cm (16 – 26 inchi) (Navia, 1997). Hewan
jantan memiliki ekor yang lebih panjang dibanding betina (Navia, 1997). Panjang
badan monyet tergantung kepada sub spesiesnya, biasanya panjang monyet jantan
dewasa 41,2 cm – 64,8 cm dan betina 38,5cm – 50,3 cm (Navia, 1997). Monyet ini
memiliki perbedaan ukuran bobot tubuh antara jantan dan betina. Hewan jantan 4,7
kg – 8,3 kg dan yang betina 2,5 kg- 5,7 kg (Navia, 1997). Warna rambut badan
bervariasi dari coklat kekuningan (abu-abu) sampai coklat gelap. Warna rambut di
ventral tubuh lebih pucat, sedangkan warna kulit wajah abu-abu gelap. Hewan ini

Universitas Sumatera Utara

memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada tulang duduk
(ischium) (Navia, 1997).
Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial
monyet ekor panjang termasuk dalam multi-male group dan multi-female group yatitu
dalam satu kelompok terdapat beberapa jantan dan betina dewasa serta anak-anak.
Dalam satu kelompok terdapat sekitar 30 anggota (Reinhardt, 1997).
Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok sosial ini sering
menimbulkan ketegangan di antara kelompok jantan (Napier, 1985). Keadaaan ini
menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Hirarki
dominasi yang berkembang ini dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran dan
kemampuan bertarung (berkelahi) (Napier, 1985). Hewan ekor panjang ini termasuk
hewan yang unik karena mempunyai kemampuan belajar dan perilaku. Hewan ini
tergolong omnivora, seperti buah-buahan, kepiting, bunga, serangga, daun, jamur dan
rumput (Reinhardt, 1997).

2.11.2 Morfologi Gigi
Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I - 1C - 2PM - 3M/2I – IC 2PM - 3M) (Swindler, 2002). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama,
sedangkan gigi seri kedua atas lebih kecil dan sering bentuknya lancip. Gigi seri
kedua bawah lebih lebar dari gigi seri pertama bawah (Swindler, 2002). Gigi taring
atas berukuran lebih panjang dibanding gigi taring bawah dan letaknya menonjol
melebih