Sastra dan Politik Representasi Tragedi

SASTRA DAN POLITIK
Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru

DATA BUKU

Judul Buku

: Sastra dan Politik: Representasi Tragedi 1965 dalam
Negara Orde Baru

Penulis

: Yoseph Yapi Taum

Kata Pengantar

: David T. Hill

Penerbit

: Sanata Dharma University Press


Tebal

: xxiv + 328 halaman

Contact E-mail

: publisher@usd.ac.id (WA: 087838881499)

Ini adalah sebuah buku yang penting. Penting karena pendekatan teoretisnya yang
tajam. Penting karena teks-teks yang didiskusikannya perlu diketahui dan
diapresiasi. Buku ini diperlukan karena pengarangnya berani mengangkat tragedi
1965 sebagai topiknya, dan berani memfokuskan sorotannya, pada suatu aspek
kehidupan sosial-politik Indonesia yang sangat perlu dan urgen untuk dibongkar.
Kita mengetahui bahwa sampai sekarang topik ini jarang dibahas, jarang dianalisis,
bahkan jarang diakui. Uraian-uraian di dalamnya dipaparkan dalam gaya
pengungkapan yang mengalir dan meyakinkan. (David T. Hill – Professor Kajian
Asia Tenggara, Universitas Murdoch, Australia Barat. Penulis buku Jurnalisme dan

Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004).


Budaya takut telah mengakibatkan hantu komunisto phobia menghantui masyarakat
kita. Adalah berkat warisan rezim militer Suharto serta Sarwo Edhie Wibowo, dengan
”Tentara Langit”-nya, penyakit itu telah membuat masyarakat bungkam selama
bertahun-tahun bahkan sampai sekarang. Dengan analisanya yang tajam dan
disertai keberanian, hendaknya kitab perlawanan ini menjadi panutan, sampai
bahaya komunisto phobia, yang sudah diperangi Bung Karno sejak tahun 1920-an,
dilumat oleh sejarah ... (Hersri Setiawan – Sastrawan, Penulis, dan Penyintas
Pulau Buru)
“Kita semua sudah tahu, narasi tentang kekejaman Gerwani di Lubang Buaya dan
banyak kisah keji lain yang diproduksi oleh Orde Baru dan para pendukungnya (baik
dalam bentuk karya sastra maupun nonsastra) merupakan hasil manipulasi dan
rekayasa. Namun demikian jarang sekali narasi-narasi itu secara akademik diteliti,
dibongkar dan dipaparkan secara terbuka. Peneliti dan penulis buku ini telah
melakukannya dengan baik. Membaca buku ini serasa membuka selaput yang
selama ini secara kolektif telah menghalangi kemampuan kita untuk melihat sejarah
Indonesia sejak 1965 secara lebih jernih.” (Baskara T. Wardaya SJ -- Sejarawan,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

PENGANTAR

Dalam sejarah sastra Indonesia, hubungan sastra dan politik senantiasa
berada dalam sebuah tegangan yang sulit didamaikan. Kebijakan kesusastraan pada
zaman pemerintahan Belanda menabukan ideologi, agama, dan politik. Pandangan
itu cenderung bertahan terhadap perubahan sehingga tertanam keyakinan di
kalangan ilmuwan dan masyarakat sastra Indonesia bahwa sastra itu harus apolitis
dan tidak boleh memiliki tujuan moral dan politik apapun. Sastra seolah-olah tidak
boleh terhubung langsung dengan kehidupan nyata karena sastra dipahami sebagai
karya fiksi. Aspek-aspek historisitas di luar sastra dipandang sekadar background
ataupun foreground yang tidak boleh merusak sifat hakiki karya sastra sebagai karya

fiksi yang imaginer. Sastra pun cenderung dipahami sekadar sebagai bacaan hiburan
tentang sebuah dunia alternatif, yaitu dunia yang tidak sama dengan dunia yang kita
huni ini.
Teori-teori kritik sastra terbaru memperlihatkan bahwa secara fundamental,
sastra terlibat dalam kehidupan konkret manusia, dan bukan hanya sekadar
gambaran abstrak sebuah dunia alternatif. Stephen Greenblatt –pelopor kritik New
Historicism menolak pandangan bahwa sastra adalah dunia alternatif. Bagi dia,
sastra justru mengintensifkan dunia yang satu dan sama ini. Dengan demikian,
sesungguhnya tak ada yang tidak politis.
Buku ini memperlihatkan tegangan dan dinamika hubungan antara sastra dan

politik melalui kajian yang cermat terhadap representasi Tragedi 1965 dalam Negara
Orde Baru. Melalui buku ini, pembaca mencermati dan memahami posisi politis dan
sumbangan sastra di tengah-tengah perjuangan hidup manusia Indonesia dalam
menegakkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Mereka harus berhadapan
dengan sekelompok penguasa yang juga berjuang dengan gigih untuk menegakkan
kekuasaan mereka. Di sini diperlihatkan bentuk-bentuk tanggapan dan perlawanan
sastra terhadap hegemoni polisis yang dimobilisasi penguasa dalam merepresentasi
Tragedi 1965. Masyarakat cenderung memandang bahwa hukuman pembunuhan
massal terhadap ratusan ribu orang-orang PKI dalam Tragedi 1965 bertujuan
mendapatkan keadilan karena PKI telah melakukan pembunuhan keji di Lubang
Buaya. Hukuman pembantaian itu, dalam kenyataannya, bukan untuk mendapatkan
keadilan melainkan untuk menegakkan kekuasaan Orde Baru.
Buku ini akan menjadi buku pertama yang membahas hubungan antara
sastra dan politik. Mahasiswa dan para pakar dari berbagai bidang ilmu yang ingin
memahanmi episteme Orde Baru dapat mengambil manfaat dari buku ini. Buku ini
memberikan renungan bagi kita semua, bahwa pembangunan adalah untuk
manusia, bukan manusia untuk pembangunan. Dimensi humanistik pembangunan
merupakan sebuah keniscayaan.
Sastra akan terus hadir untuk mengawal
pergulatan manusia Indonesia dalam menegakkan martabat kemanusiaannya.