Rule of Law dan Bank Sentral

Rule of Law dan Bank Sentral
Mata Kuliah Hukum Perbankan
Pengajar:
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M.
Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M

Oleh:
Zefanya B. P. Samosir
NIM 1506781231
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2016

Rule of Law dan Bank Sentral
Zefanya Brian Partogi Samosir
NIM: 1506781231
Adanya bank sentral di suatu negara sudah dianggap sebagai suatu keniscayaan
(seolah sudah taken for granted). Pada suatu Konferensi Brussels tahun 1920, ditarik
kesimpulan bahwa, di negara-negara dimana tidak ada bank sentral, maka perlu
dibentuk bank sentral.1 Ada pula anekdot yang mengatakan bahwa, begitu suatu
negara baru merdeka, negara tersebut mendesain bendera, menulis lagu kebangsaan,

dan lalu segera mendirikan bank sentral.2 Walaupun sebenarnya bank sentral
merupakan fenomena yang relatif masih baru, baru ada sekitar satu abad.3
Sebuah bank sentral harus mengatur “peredaran darah” dari “jantung” kegiatan
ekonomi nasional karena tindakan yang diambil oleh bank sentral secara langsung
mempengaruhi suku bunga, jumlah kredit, dan persediaan uang, yang semuanya
berdampak langsung bukan hanya pada pasar keuangan namun juga terhadap produksi
agregat dan inflasi.4 Peran bank sentral sangat krusial bagi pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi.
Akibat perannya yang sangat krusial itu, bank sentral seringkali bersinggungan dengan
kepentingan politik. Seperti akan dijelaskan pada bagian selanjutnya dari tulisan ini,
tekanan kepentingan politik pada bank sentral malah cenderung menyebabkan
kerugian bagi bank sentral sendiri, dan selanjutnya, bagi ekonomi suatu negara.
Oleh karena peran dan pengaruhnya yang begitu besar pada kehidupan ekonomi suatu
negara, perbankan sentral dapat dilihat dalam kajian penyelenggaraan pemerintahan.
Ada yang berpendapat bahwa Bank sentral terlalu krusial untuk dipercayakan pada
tangan dan kehendak manusia. pembatasan kewenangan manusia serta masuknya
1

R.S. Sayers, Central Banking After Bagehot, Oxford University Press, 1957, hlm. 110.
Fachry Ali dkk, The Politics of Central Bank – The Position of Bank Indonesia Governor in

Defending Independence, LSPEU, 2003, hlm. 1.
3 R.S. Sayers, op. cit., hlm. 1
4
Frederick Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, seperti dikutip
dalam Fachry Ali dkk, The Politics of Central Bank – The Position of Bank Indonesia Governor in
Defending Independence, LSPEU, 2003, hlm. 1.

2

1

hukum untuk menggantikan kuasa manusia, adalah tema utama dari pembahasan
mengenai konsep rule of law.
Tulisan ini akan membahas perbankan sentral dikaitkan dengan konsep rule of law.
Pertama-tama akan diuraikan secara singkat mengenai rule of law, kemudian akan
disampaikan uraian seputar bank sentral, lalu terakhir, beberapa aspek dari perbankan
sentral akan dianalisis dalam kaitannya dengan konsep rule of law.

I
Rule of Law

Rule of Law
“The rule of law, as I (admittedly a long retired lawyer) understand,
refers to a structural exercise of rule as opposed to the idiosyncratic
will of kings and princes. Even where the latter may express itself
benevolently the former is morally and politically superior. Where the
rule of law does not apply, rulers assume entitlement to rule; the rule of
law, on the other hand, places the emphasis upon structured
responsibility and obligation.”5
Kutipan dari Nelson Mandela tadi kurang lebih menggambarkan pengertian umum
mengenai rule of law.
Kata-kata “rule of law” sekarang ini sering dijadikan sumber legitimasi suatu
pemerintahan, dan sudah otomatis dianggap sebagai sesuatu hal yang positif oleh
semua pihak; walaupun begitu makna “rule of law” sendiri sering dipertentangkan.

5

Terjemahan bebas: rule of law, menurut pengertian saya (seorang pensiunan pengacara), adalah
penerapan aturan secara struktural alih-alih penerapan kemauan raja dan pangeran. Kalaupun
kemauan raja dan pangeran adakalanya bersifat baik, namun tetap saja rule of law superior baik
secara moral maupun politik. Jika rule of law tidak ada, penguasa lalu merasa berhak untuk

mengambil kekuasaan; namun rule of law menitikberatkan pada pertanggungjawaban dan
pengenaan kewajiban yang terstruktur.
Nelson Mandela, dikutip dalam Leon Louw, What is The Rule of Law?, disampaikan dalam African
regional Meeting of the Mont Pelerin Society, Nairobi, Kenya, 26-28 February 2007.

2

Menurut Hayek, untuk kegunaan ekonomi, rule of law harus memastikan bahwa
ketidakpastian ditekan sekecil mungkin dan harus dipastikan bahwa tiap orang dapat
membuat rencana kedepan dengan keyakinan yang cukup. Hal mana baru dapat
dipastikan jika penggunaan kekuatan memaksa dari Pemerintah dapat diprediksikan
dengan cukup akurat. Implikasi lain adalah diskresi administratif harus dibatasi
lingkupnya.6
Menurut Brian Tamanaha, pada intinya, rule of law berarti bahwa baik pejabat
pemerintah maupun rakyat terikat oleh, dan mematuhi, hukum.7 Inilah unsur minimum

dari rule of law; penulis-penulis lain mungkin menambahkan beberapa elemen lain
untuk menggambarkan rule of law, namun pada umumnya menyetujui elemen dasar
ini.
Secara spesifik, Tamanaha sengaja tidak memasukkan “demokrasi” atau “hak asasi

manusia” sebagai salah satu unsur rule of law.8 Rule of law menurut Tamanaha juga
tidak terkait dengan cara pembuatan hukum (apakah hukum tersebut dibentuk secara
demokratis atau tidak), atau standar apa yang harus dipenuhi oleh hukum (apakah
memenuhi standar HAM atau tidak). Oleh karena itu, untuk menerapkan rule of law
tidak wajib menganut pula faham demokrasi liberal.9
Tiga tema besar dari rule of law adalah:10






Pengertian bahwa Pemerintah itu dibatasi oleh hukum
Pengertian adanya legalitas formal
Adanya “rule of law, not man”.

Berikut akan dijelaskan lebih lanjut masing-masing tema besar tersebut.
Pengertian bahwa Pemerintah harus dibatasi oleh hukum.

Ber adette A. Me ler, E o o i E erge

a d the Rule of La , Cor ell La “ hool Legal
Studies Research Paper Series, hlm. 23.
7
Bria Z. Ta a aha, The Histor a d Ele e ts of the Rule of La , Singapore Journal of Legal
Studies [2012], hlm. 233.
8
Ibid.
9
Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 234.
10
Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 236.
6

3

Pengertian ini sudah sejak lama diusahakan penerapannya. Namun muncul dilema:
kalau penguasa menciptakan hukum, bagaimana mungkin ia sendiri diikat oleh
hukum? Banyak penulis, dari Aquinas sampai Hobbes, menganggap hal ini tidak
mungkin.
Dalam keadaan / era pre-modern, biasanya penguasa itu sendiri yang mengakui /

bersumpah bahwa dirinya akan mengikatkan dirinya pada hukum.
Selain itu, masyarakat sendiri mengasumsikan bahwa hukum berlaku atas semua orang,
termasuk pada penguasa itu sendiri.
Kalaupun terjadi pelanggaran terhadap hukum (hal mana memang sering terjadi pada
era pre-modern), penguasa tetap coba meyakinkan orang-orang bahwa pelanggaran
tersebut legal. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya, hukum memang mengikat.
Pada era modern, dilema antara penguasa dan hukum dipecahkan dengan melakukan
diferensiasi kekuasaan (menciptakan institusi-institusi terpisah didalam pemerintahan,
dengan fungsi yang berbeda-beda)11 : dibentuklah Kejaksaan (attorney general) yang
independen, lembaga kehakiman yang independen, yang kemudian mengikatkan
lembaga pemerintahan lain pada hukum.
Pemisahan kekuasaan ini adalah jawaban atas keraguan Hobbes bahwa Pemerintah
bisa terikat pada dirinya sendiri.
Adanya legalitas formal
Aspek legalitas dari rule of law secara umum dimengerti sebagai keharusan bahwa
hukum :


11




Ditentukan dimuka,



Diketahui secara umum



Berlaku umum



Diberlakukan secara sama tergantung persyaratannya dan;
Tidak mustahil untuk dipatuhi.

Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 239.

4


Legalitas ini menimbulkan salah satu efek positif dari rule of law, yaitu prediktabilitas.
Hayek mengatakan bahwa rule of law memungkinkan kita memperkirakan dengan
cukup akurat, bagaimana pihak penguasa akan menggunakan kekuasaan memaksa
dalam keadaan tertentu, dan kita dapat merencanakan urusan individual kita
berdasarkan perkiraan tadi.12
Terkait dengan sistem ekonomi, prediktabilitas dapat membantu jalannya transaksi di
pasar, karena dengan adanya prediktabilitas, para pedagang dapat mengkalkulasi
potensi untung-rugi (cost and benefits) dari transaksi di masa depan.13
Menurut Max Weber, kepentingan kaum borjuis memerlukan sistem yang fungsinya
dapat diperhitungkan (“functions in a calculable way”), dan Weber bahkan
mendalilkan bahwa kemajuan kapitalisme di dunia Barat dimungkinkan oleh sistem
hukum yang berfungsi “seperti mesin slot, dimana fakta masuk di satu sisi, dan
keputusan muncul di sisi lain.”14
Selanjutnya, prediktabilitas juga dapat diartikan sebagai didahulukannya aturan diatas
standar yang sifatnya kabur, seperti dikatakan oleh Posner.15 Terkait hal yang sama,
Joseph Raz berkomentar:
“since the law should strive to balance certainty and reliability against
flexibility, it is on the whole wise legal policy to use rules as much as


12

Rule of law makes it possible to foresee with fair certainy how the authority will use its coercive
po er i gi e ir u sta es a d to pla o e’s i di idual affairs o the asis of this k o ledge.
Friedri h Ha ek, The Road to “erfdo , dikutip dala Bria Ta a aha, op. cit., hlm. 240.
13
Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 240
14 Ma We er, E o o
a d “o iet , dikutip dala Ofer Ra a , The Falla of Legal Certai t ,
Wh Vague Legal “ta dards a e Better for Capitalis a d Li eralis , Public Interest Law
Journal Vol. 19, hlm. 177.
15

The rule of law implies (as the name suggests) a preference for rules over standards. Although a
legislature, by issuing a standard, announces in advance of the regulated conduct that anyone
who engages in that consuct now risks a sanction, in practive this announcement does not amount
to much because it does not tell people what is permitted and what is not permitted, though it
gives them something of an idea
“eperti dikutip dala Ofer Ra a , The Falla of Legal Certai t , Wh Vague Legal “ta dards
may be Better for Capitalis a d Li eralis , Public Interest Law Journal Vol. 19, hlm. 175.


5

possible for regulating human behaviour bevause they are more certain

than [standards]”16
Adanya pengertian “rule of law, not man”
Inspirasi gagasan ini adalah bahwa rule of law memungkinkan kita untuk tidak hidup
dibawah kesewenang-wenangan manusia lain – baik itu pihak kerajaan, hakim, pejabat
pemerintah, ataupun sesama anggota masyarakat. Gagasan bahwa kita dapat dilindungi
dari kelemahan-kelemahan manusia seperti bias, hawa nafsu, prasangka, kekhilafan,
ketidaktahuan, atau perubahan kehendak (whim.)17
Bahkan sejak zaman Yunani kuno, baik Plato maupun Aristoteles mengakui bahwa
manusia terjerat oleh hawa nafsu dan distorsi akal budi, dan kekuasaan dapat merubah
orang yang paling baik sekalipun, menjadi rusak.18
II.
Bank Sentral
Terkait gambaran umum fungsi bank sentral, Montagu Norman menggambarkannya
sebagai berikut:
“it should have the sole right of note issue; it should be the channel,
and the sole channel, for the output and intake of legal tender currency.
It should be the holder of all the Government balances; the holder of all
the reserves of the other banks and branches aof banks in the country it
should be the agent, so to speak, through which the financial operations
at home and abroad of the Government would be performed. It would
further be the duty of the central bank to effect, so far as it could,
suitable contraction and suitable expansion, in addition to aiming
generally at stability, and to maintain that stability within as well as
without. When necessary it would be the ultimate source from which
16

Terjemahan bebas: karena hukum harus berusaha menyeimbangkan kepastian dan kehandalan,
terhadap fleksibilitas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa adalah bijak untuk sebanyak
mungkin menggunakan aturan untuk mengatur perilaku manusia karena aturan lebih pasti
daripada standar.
Joseph Raz, Legal Principles and the Limits of Law, dikutip dala Ofer Ra a , The Falla of Legal
Certainty, Why Vague Legal Standards may be Better for Capitalis a d Li eralis , Public
Interest Law Journal Vol. 19, hlm. 175.
17
Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 243.
18
Ibid.

6

emergency credit might be obtained in the form of rediscounting of
approved bills, or advances in approved short securities, or
government paper.”19

Keperluan Eksistensi Bank Sentral
Salah satu hal yang menarik terkait eksistensi bank sentral yang sekarang ini sudah
dianggap keniscayaan, padahal menurut Sayers merupakan fenomena yang relatif baru
(dalam arti, untuk jangka waktu yang cukup lama, banyak Negara dapat berjalan
normal tanpa adanya bank sentral), adalah keperluan eksistensi bank sentral, utamanya
di negara-negara berkembang.
Menurut Sayers, rata-rata Bankir (bahkan pengelola bank sentral) berpendapat bahwa
tidak perlu ada bank sentral di negara berkembang, sedangkan politisi rata-rata
berpendapat bahwa negara mereka harus punya bank sentral karena kalau tidak ada
bank sentral, negara mereka sangat rentan terhadap pengaruh negara asing.20
Kembali lagi ke deskripsi tugas bank sentral menurut Norman Montagu yang terdiri
dari beberapa hal:




hak tunggal mengeluarkan mata uang,



memegang seluruh neraca kekayaan pemerintah,



menjadi satu-satunya jalur keluar masuknya mata uang,



pemegang simpanan emas bank-bank lain beserta cabangnya,
menjadi sarana Pemerintah dalam melakukan operasi finansial baik di dalam
maupun luar negeri,

19

Terjemahan bebas: (bank sentral) mempunyai hak tunggal mengeluarkan mata uang, menjadi
satu-satunya jalur keluar masuknya mata uang, memegang seluruh kekayaan pemerintah,
pemegang simpanan emas bank-bank lain beserta cabangnya, menjadi sarana Pemerintah dalam
melakukan operasi finansial baik di dalam maupun luar negeri, menerapkan kontraksi dan
ekspansi pasar uang yang bertujuan menciptakan dan menjaga stabilitas, serta dalam keadaan
darurat, menjadi sumber kredit darurat melalui pemotongan tingkat bunga pinjaman, pemberian
uang pinjaman jangka pendek, atau surat berharga pemerintah.
Montagu Norman, dari Notulen Rapat Royal Commission on Indian Currency and Finance, seperti
dikutip dalam R.S. Sayers, Central Banking After Bagehot, Oxford University Press, 1957, hlm. 108.
20

Sayers, op. cit., hlm. 108.

7




menerapkan kontraksi dan ekspansi pasar uang yang bertujuan menciptakan
dan menjaga stabilitas baik di dalam maupun di luar negeri, serta
dalam keadaan darurat, menjadi sumber kredit darurat melalui pemotongan
tingkat bunga pinjaman, pemberian uang pinjaman jangka pendek, atau surat
berharga pemerintah.

Menurut Sayers, Pada saat sistem gold standard berlaku, Bank sentral di tiap-tiap
negara diperlukan untuk menjaga stabilitas internal mereka dari ketidakseimbangan
persediaan emas di luar negeri. Penjagaan stabilitas tadi dilakukan lewat pengaturan
suku bunga dan persediaan uang. Efeknya secara global, sistem gold standard dapat
berjalan dengan lancar.
Tugas-tugas bank sentral tadi menyiratkan adanya tujuan dari bank sentral suatu
negara secara internasional untuk menjaga nilai emas (gold standard). Untuk
keperluan inilah, pada Konferensi Brussels tahun 1920, ditarik kesimpulan bahwa, di
negara-negara dimana tidak ada bank sentral, maka perlu dibentuk bank sentral.21
Namun di banyak negara kecil, bank sentral tidak dapat melakukan operasi pasar
karena memang tidak ada pasar uang, dan lagipula bank-bank komersil (yang
umumnya merupakan cabang dari bank besar asing) tidak perlu meminjam dari bank
sentral (mereka tinggal meminta pinjaman dari cabang lain di luar negeri yang terletak
di kota-kota pusat keuangan besar); akhirnya bank sentral hanya menganggur saja, dan
tingkat suku bunga serta operasi pasarnya tidak berpengaruh banyak.22 Lagipula, pada
saat Sayers menulis bukunya, sistem gold standard sudah ditinggalkan, jadi tujuan
bank sentral yang terkait penjagaan sistem gold standard sudah tidak relevan lagi.
Namun bank sentral di negara berkembang ini tidak serta merta dianggap tidak perlu
ada; bank sentral tersebut dapat pula mengambil peran sebagai penasihat teknis bagi
pemerintah, terutama di bidang perdagangan asing serta pendanaan perang23

21

Sayers, op. cit., hlm. 110.
Sayers, op. cit., hlm. 112-113.
23
Ibid.
22

8

Selanjutnya, Banyak Negara bekas jajahan juga mendirikan bank sentral sebagai
simbol eksternal kedaulatan mereka, serta lepasnya mereka dari pengaruh asing. Hal
terakhir ini terjadi misalnya di Ceylon dan Burma serta beberapa negara Afrika.24

Berikut dipaparkan beberapa aspek mengenai bank sentral:
Pembentukan Bank Sentral
Bank-bank sentral generasi awal pembentukannya sangat erat hubungannya dengan
pemerintah bangsa tersebut.
Satu hal yang membuat hubungan antara bank sentral dan pemerintah sangat dekat
adalah kebutuhan Pemerintah akan uang. Selanjutnya hal ini pula yang membuat bank
sentral umumnya diberi hak eksklusif untuk mencetak uang.
Misalnya bank sentral Inggris (Bank of England), yang dibentuk pada abad ke-17, dan
dibentuk karena pemerintah saat itu sangat sangat membutuhkan uang (in desperate
want of money) lalu dikumpulkanlah 1.2 juta Poundsterling dengan janji suku bunga 8

persen. Uang yang terkumpul di Bank ini sangat berguna untuk mempertahankan
Inggris dari serangan Perancis. 25
Pada awal pembentukannya, Bank of England diberi hak mengedarkan uang setara
dengan modal dasarnya sebesar 1,2 juta poundsterling. Anggota pemodal serta direktur
Bank of England sendiri terdiri dari pedagang (merchants), dan bukan pejabat atau
bankir.26 Bank of England pada awalnya tidak ubahnya seperti Bank swasta biasa,
yang mempunyai klien istimewa: Pemerintah Inggris.27
Pada tahun 1697, Pemerintah Inggris menambah modal Bank of England, sehingga
Bank tersebut dapat meminjamkan lebih banyak uang kepada Pemerintah, dan sebagai
balasannya, diberikanlah beberapa hak istimewa pada Bank of England seperti aturan

24

Ibid.
Walter Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market, Richard D. Irwin, Inc,
1962.hlm. 24.
26
Walter Bagehot, op. cit., hlm. 12.
27
Walter Bagehot, op. cit., hlm. 12.

25

9

yang mewajibkan untuk membayarkan segala pembayaran yang harus dibayar kepada
Pemerintah, melalui Bank of England. Melalui Undang-Undang yang sama pula,
ditentukan bahwa tanggungjawab para Direktur dan Pengelola Bank of England tidak
sampai pada harta pribadinya, artinya berlaku limited liability (tanggungjawab
terbatas), yang pada waktu itu tidak berlaku pada Perusahaan lain.28 hal tersebut kian
memudahkan Bank of England untuk mendapat pemodal baru, hal mana ditujukan
oleh Pemerintah Inggris untuk memungkinkan Bank of England meminjamkan lebih
banyak dana pada Pemerintah.
Pada pembaruan-pembaruan selanjutnya dari Anggaran Dasarnya, pada tahun 1709,
1713, 1742, sampai awal abad ke-19, Bank of England memberi pinjaman baru kepada
Pemerintah, dan selalu diganjar dengan pemberian hak istimewa baru. Pada
pembaruan Anggaran Dasar tahun 1709, ditetapkan pula oleh Pemerintah bahwa, tidak
ada perusahaan lain yang terdiri dari lebih dari 6 anggota, boleh menerbitkan nota
bank (note) yang dapat dicairkan segera (payable on demand).29 Pemberian hak-hak
istimewa ini menekan bank-bank kecil untuk bersaing dengan Bank of England.
Di pihak lain, Pemerintah Inggris terus mengandalkan Bank of England untuk
membiayai keperluannya. Pada sekitar tahun 1793, Perang dengan Perancis baru
berakhir dan Pemerintah memerlukan pinjaman dana. Berdasarkan Bank Act tahun
1694, Bank tidak boleh memberi pinjaman pada Pemerintah tanpa persetujuan
Parlemen, namun pada tahun 1793 diajukanlah Undang-Undang baru untuk
melepaskan larangan tersebut; efeknya, Bank terikat untuk meminjamkan jumlah
berapapun kepada Pemerintah.30 Pinjaman Pemerintah menjadi begitu besar sehingga
menghimpit posisi reserve Bank waktu itu, dan pada tahun 1797 Pemerintah
menerapkan penundaan sementara (suspensi) pencairan nota yang diterbitkan Bank of
England, yang dilakukan melalui keputusan Parlemen untuk mengatasi penarikan dana
oleh masyarakat, sedangkan posisi cadangan Bank sedang sangat lemah.31

28

Vera C. Smith, The Rationale of Central Banking, Liberty Press, 1990, hlm. 13.
Ibid.
30
Vera C. Smith, op. cit. hlm. 14.
31
Ibid.

29

10

Bank of England sendiri, seperti dijelaskan tadi, awalnya merupakan bank swasta
biasa, namun kedekatan Bank of England dengan Pemerintah membuat kredibilitasnya
sangat kuat, dan efeknya, pengelola Bank of England tidak punya rasa tanggung jawab
yang sama, untuk memastikan Bank mempunyai reserve (cadangan) yang cukup,
apalagi dengan adanya berkali-kali intervensi Pemerintah untuk melindunginya. Di sisi
lain, sebagai bank yang berasal dari status swasta, para Direktur Bank pada tahun 1819
memprotes Pemerintah karena curiga bahwa Bank of England seolah dibebankan
tanggung jawab untuk menyokong seluruh sistem mata uang Nasional.32
Pada era akhir Perang Dunia Pertama, Pemerintah Inggris kembali membutuhkan dana
untuk membiayai kegiatan perangnya, dan lagi-lagi Bank of England ditekan untuk
mendukung perang, khususnya dengan mendukung upaya Pemerintah menjalankan
strategi defisit anggaran.33
Pada tahun 1946, Bank of England akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah.
Kemudian tindakan Pemerintah Inggris dalam mematok suku bunga dan memberi
pinjaman pada pihak-pihak tertentu, mengakibatkan terjadinya ekspansi dan kegiatan
spekulatif, yang berujung pada krisis di Inggris tahun 1973.34
Hal yang menarik adalah, status Bank of England sebagai bank sentral tidak didapat
dengan serta-merta, namun sebagai akibat dari bantuan-bantuan serta hak istimewa
dari Pemerintahnya, yang menyebabkan Bank of England dapat menyingkirkan
saingan-saingannya. Karena kedekatannya dengan pemerintah, kredibilitasnya menjadi
sangat tinggi sehingga pemilik bank-bank lain mengandalkan Bank of England untuk
peminjaman dana, dan dengan sendirinya, cadangan (reserve) di Inggris terkumpul di
Bank of England. Dengan begitu, sistem single reserve di Inggris terjadi kurang lebih
tanpa disengaja, dan lebih merupakan akibat dari adanya satu bank yang terus menerus
diberi bantuan dan hak istimewa.35
Bank sentral di Indonesia

32

Vera C. Smith, op. cit., hlm. 16.
Fachry Ali, dkk, op. cit., hlm. 4.
34
Fachry Ali dkk., op. cit., hlm. 4.
35
Walter Bagehot, op. cit., hlm. 25.

33

11

Lain lagi proses pembentukan bank sentral di Indonesia. Sejak awal, bank sentral
dibentuk lewat nasionalisasi dari De Javasche Bank pada awal 1950-an.36
Pada era itu bank sentral (Bank Indonesia) selalu ditekan pemerintah untuk menutupi
defisit anggaran nasional. Di tahun 1957 dan 1958, batas jumlah pinjaman yang dapat
diberikan ke Kas Negara dihapus untuk sementara, dan reserve requirement dalam
mencetak uang juga dihapus.37
Pada tahun 1961, Jusuf Muda Dalam, seorang anggota Partai Nasional Indonesia,
ditunjuk sebagai Menteri Urusan Bank Sentral dan sekaligus merangkap sebagai
Gubernur Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan Bank Indonesia tak ubahnya seperti
alat kerja Menteri, dan bukan sebagai penjaga stabilitas keuangan.38
Bank Indonesia pun berubah menjadi penyedia dana bagi proyek-proyek Pemerintah:
Bank Indonesia yang kemudian menjadi Bank Negara Indonesia Unit I setelah
mengalami restrukturisasi, tidak dapat menolak permintaan pinjaman dari Pemerintah
dan tidak mempunyai mekanisme semacam batasan reserve minimum, sehingga Bank
Indonesia tidak dapat menghentikan defisit anggaran, tidak dapat menghentikan
kebijakan moneter ekspansif yang terjadi karena Pemerintah ingin mendanai kegiatan
yang tidak produktif. Akhirnya terjadilah inflasi.39
Untuk mendanai penghentian pemberontakan PRRI tahun 1957-1958, dilakukan
kebijakan ekspansi moneter yang mengakibatkan suplai uang meningkat rata-rata
26%40 dan mengakibatkan inflasi. Ekspansi moneter terus meningkat sehingga suplai
uang bertambah 50% pada 1961, sebanyak dua kali lipat pada 1962 dan 1963, bahkan
empat kali lipat pada 1965, dilatarbelakangi proyek Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Delapan-Tahun dan rencana pengambilan wilayah Irian Jaya.41
Semua ini berdampak buruk pada legitimasi Pemerintahan Soekarno waktu itu; seperti
dikatakan oleh Sjafruddin Prawiranegara, pada masyarakat yang kurang maju seperti

36

Fachry Ali dkk, op. cit, hlm. 19.
Fachry Ali dkk, op. cit., hlm. 21.
38 Fachry Ali dkk., op. cit., hlm. 22.
39
Fachry Ali dkk, op. cit., hlm. 21-23.
40
Fachry Ali dkk, op. cit., hlm. 24.
41
Fachry Ali dkk, op. cit., hlm. 25.
37

12

Indonesia, kepercayaan terhadap mata uang merupakan barometer kepercayaan publik
terhadap suatu pemerintahan, sekaligus patokan otoritas penguasa terhadap rakyatnya.
Semakin rakyat tidak percaya dengan mata uang nasional, maka semakin kecil pula
otoritas Pemerintah terhadap rakyatnya.42
Selanjutnya pada awal era Orde Baru, telah disadari bahwa kebijakan ekspansif yang
terjadi pada Orde Lama harus dihentikan, dan tugas ini harus diserahkan pada
teknokrat. Bank Indonesia diberi peran sebagai agen pembangunan (“agent of
development”)43 yang artinya, Bank Indonesia sama sekali tidak lepas dari Pemerintah.
Peran ini semakin nyata dengan pembentukan Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional
pada 11 Agustus 1966, yang dipimpin langsung oleh Presiden. Dewan ini dibagi
menjadi 3 sub bagian: Dewan Moneter, Dewan Distribusi, dan Dewan Produksi. Bank
Indonesia sendiri diwakili oleh Gubernurnya sebagai bagian dari Dewan Moneter yang
dipimpin oleh Menteri Keuangan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral,
semakin kokohlah dominasi Pemerintah Indonesia atas Bank Indonesia. Berbeda
dengan Undang-Undang Bank Sentral sebelumnya, (UU No. 11 tahun 1953), Pada
Pasal 1 ditetapkan secara tegas bahwa Bank Indonesia adalah Bank Sentral. Pada Pasal
7 ditentukan secara tegas tanggungjawab Bank Sentral ini sebagai Bank yang tugasnya
membantu Pemerintah dalam hal, selain menjagai kestabilan nilai Rupiah, juga

mencakup “mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas
kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.”
Pendeknya, menurut Anwar Nasution, Bank Indonesia harus membiayai penerapan
program Pemerintah.44
Perjalanan Bank Indonesia di era Orde Baru
Bagian ini sedikit banyak akan mengutip buku terbitan LSPEU, The Politics of Central
Bank – The Position of Bank Indonesia Governor in Defending Independence.
42

Sjafruddin Prawiranegara, Laporan Presiden dan Dewan Komisaris Tahun Pembukuan 19501951, seperti dikutip dalam Fachry Ali dkk., op. cit.., hlm. 7.
43
Fachry Ali dkk., op. cit., hlm. 35.
44
Fachry Ali dkk., op. cit., hlm. 38.

13

Pada awal era Orde Baru, ada beberapa tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia,
yaitu hiperinflasi warisan Orde Lama, defisit devisa, dan angka pengangguran yang
tinggi.
Untuk mengatasi inflasi, Bank Indonesia dibawah Pemerintah mengurangi suplai uang
dengan menerapkan tight money policy: suku bunga ditingkatkan sampai mencapai 59%. Untuk meningkatkan simpanan masyarakat (tabungan), diberlakukan suku bunga
deposito 6% untuk jangka 12 bulan dan suku bunga yang lebih rendah untuk deposito
jangka waktu 3-6 bulan.
Untuk mengatasi defisit devisa, Bank Indonesia membatalkan kebijakan pembatasan
valuta asing dan menerapkan nilai tukar mengambang sejak 1970, yang di fine tune
agar selaras dengan Dolar AS.
Fungsi perantara (intermediary) juga mulai dikembalikan pada Bank Umum, dan Bank
asing mulai diperbolehkan beroperasi di Jakarta.
Terjadi sinkronisasi antara kebijakan fiskal pemerintah yang berfokus pada perbaikan
infrastruktur, dengan kebijakan moneter Bank Indonesia yang memberikan pinjaman
likuiditas pada sektor yang diprioritaskan.
Pada Pelita I, pertumbuhan ekonomi naik 8.4%, namun pertumbuhan ini juga
membawa resiko inflasi, yang juga didorong oleh booming Migas Pada periode 19731974. Untuk mengatasi hal ini, Bank Indonesia melakukan improvisasi dengan
membatasi kredit, dan memberikan kredit terprogram yang ditargetkan pada Kredit
Industri Kecil dan Kredit Modal Kerja Permanen yang ditujukan untuk mengurangi
pengangguran.
Namun kontrol ketat atas kredit yang disalurkan melalui Bank BUMN, ternyata
mematikan gairah kompetisi antar bank; Bank Indonesia mencampuri semakin dalam
tiap-tiap bank BUMN. Berbelit-belitnya proses pemberian kredit yang selektif
(tertarget), juga menghasilkan inefisiensi pemberian kredit. Akhirnya banyak kredit
macet muncul. Pada awalnya hal ini tertutupi karena Bank Indonesia tetap dapat
menjamin likuiditas tiap-tiap bank. Bahkan bank yang tidak dikelola dengan baik pun,

14

tidak akan dibiarkan kolaps. Hal ini dimungkinkan dengan adanya booming Migas
pada era itu.
Namun booming migas berakhir, harga minyak dunia jatuh, dan defisit devisa kembali
terjadi. Jaminan likuiditas juga tidak dapat diteruskan.
Menanggapi hal itu, diluncurkanlah Paket Juni 1983 yang menerapkan liberalisasi
perbankan; pinjaman likuiditas ditiadakan dan suku bunga dibiarkan mengikuti
mekanisme pasar. Dengan dihapuskannya pinjaman likuiditas dari Bank Indonesia,
bank-bank umum harus bersaing menghimpun dana dari masyarakat, dan akibat dari
persaingan itu timbullah kenaikan suku bunga deposito.Persaingan ini juga membawa
dampak membaiknya organisasi masing-masing bank umum sehingga iklim perbankan
waktu itu efisien dan berjalan tanpa distorsi.
Masih menanggapi berakhirnya booming migas, lalu diluncurkan Paket Oktober 1988,
yang didesain untuk memobilisasi dana dari rakyat. Komponen dari Paket Oktober
1998 ini diantaranya:






Mengumumkan persyaratan membuka bank baru / membuka cabang
Mengurangi syarat reserve dari 15% ke 2%
Meningkatkan mobilisasi dana domestik

Hasilnya ekonomi kembali berkembang, namun seperti biasa diikuti dengan inflasi.
Untuk mengatasi inflasi tersebut, dilakukanlah improvisasi dalam bentuk kebijakan
tight money melalui diterapkannya kewajiban mengalihkan dana yang dipegang oleh BUMN
kedalam SBI.
Namun sebagai akibat perkembangan ekonomi akibat Paket Oktober 1988 ada masalah
fundamental: perbedaan (spread) antara suku bunga pinjaman dan deposito telah melebar
begitu jauh. Terjadilah moral hazard pada sektor swasta. Banyak pemilik bank
menyalahgunakan fasilitas likuiditas untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dengan
ekspor, seperti sektor properti, bahkan untuk keperluan konsumtif.
Lalu datanglah krisis ekonomi yang mulanya dari Thailand tahun 1997. Nilai tukar rupiah
jatuh dari Rp. 2,456 per Dolar AS pada Juli 1997, menjadi Rp. 16,538 per Dolar AS pada Juni
1998.inflasi meningkat . depresiasi aset bank berakibat pula pada terlampauinya Batas

15

Maksimum Pemberian Kredit. Beberapa bank malah mengalami negative spread, keadaan
dimana bunga yang harus dibayarkan kepada nasabah, melebihi penerimaan dari bunga
pinjaman yang diberikan.
Untuk menahan jatuhnya Rupiah, Bank Indonesia mencoba memperlebar rentang intervensi
penjualan Dolar AS dari 8 persen menjadi 12 persen, dan melakukan operasi pasar sampai
menyedot cadangan devisa sampai 1.5 Miliar Dolar AS. Namun kekuatan pasar (dan aksi
spekulan) jauh lebih kuat. Bank Indonesia lalu mengambil keputusan drastis: melepas
intervensi terhadap Rupiah (menerapkan free float): Rupiah jatuh semakin cepat.
Menanggapi hal ini, Bank Indonesia mengajukan 4 program restrukturisasi perbankan, satu
diantaranya adalah likuidasi bank yang tidak likuid. Hal ini membawa konsekuensi yang
cukup drastis, yaitu terjadinya panik, dimana orang berama-ramai menarik dananya dari Bank.
Menanggapi hal tersebut dibentuklah BPPN dan BLBI, yang masih kontroversial sampai
sekarang.
Setelah jatuhnya Soeharto, dan naiknya B.J. Habibie sebagai Presiden, independensi Bank
Indonesia kembali diperkuat.
III
Bank Sentral dan Rule of Law

Sifat Diskresif Bank Sentral dan Rule of Law
Menurut R.S. Sayers, inti dari eksistensi bank sentral adalah melakukan kontrol
diskresif terhadap sistem keuangan.45 Yang dimaksud dengan sifat diskresif itu sendiri
adalah bahwa kontrol yang dilakukan tidak berdasarkan aturan (rule). Bahkan Sayers
mengatakan bahwa bekerja menurut aturan adalah antitesis dari bank sentral:
“a community might hope more reasonable in some cases than in
others to attain its ends by making its monetary system work to rule.
And working to rule is the antithesis of central banking. A central bank
is necessary only when the community decides that a discretionary
element is desirable. The central banker is the man who exercises his
discretion, not the machine that works according to rule”.46

45
46

R. S. Sayers, op. cit., hlm. 1
Ibid.

16

Dalam uraian perjalanan Bank Indonesia di era baru yang disampaikan pada bagian
sebelumnya, kata-kata “improvisasi” juga beberapa kali muncul; diantaranya dalam
mengatasi inflasi pasca Pelita I, yang dilakukan dengan melakukan penyaluran kredit
selektif.
“improvisasi” dalam uraian tadi kembali dapat kita temukan dalam tindakan Bank
Indonesia mengatasi inflasi pasca Paket Oktober 1988, dengan memberlakukan tight
money policy dan pengalihan dana BUMN ke SBI.

Namun kalau diperhatikan, pelaksanaan kedua improvisasi tersebut tidak dilakukan
dengan prosedur dan transparansi yang jelas: Apalagi pada kedua kejadian tersebut,
Bank Indonesia tidak ubahnya Pemerintah sendiri – seperti telah dijelaskan dalam
bagian sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia hanyalah anggota dari sub-Dewan
Moneter dibawah Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional yang dipimpin Presiden.
Bank Indonesia juga ditegaskan sebagai pembantu Pemerintah menurut Pasal 7
Undang-Undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Apalagi Indonesia, yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, tak bisa
mengabaikan konsep rule of law dalam penyelenggaraannya.
Tidak jelasnya prosedur dan proses formil, serta kurang transparannya “improvisasi”
bank sentral, menjadikan hal-hal seperti itu dapat menimbulkan keraguan akan
terpenuhinya rule of law dalam tindakan Bank Indonesia, termasuk diantaranya
legalisme formal sebagai salah satu tema besar rule of law.
Memang pada kedua “improvisasi” tersebut, hasil akhirnya positif (dalam arti, tujuan
yang diharapkan tercapai, memang tercapai), namun hal ini tidak dapat dipastikan
berlaku untuk semua keadaan.
Kita ambil contoh improvisasi Bank Indonesia menanggapi krisis ekonomi tahun 1998,
BLBI. Bahkan suatu paper yang diterbitkan oleh BI sendiri pun mengakui, bahwa
rata-rata bantuan likuiditas yang diberikan Bank Indonesia cenderung tidak

17

transparan.47 Khusus untuk BLBI sendiri, proses yang serba diskresif menjadikan
kaburnya kriteria untuk membedakan antara bank yang sehat dan yang sakit, serta
tiadanya kebijakan dan pedoman lending of last resort untuk meyakinkan
akuntabilitas.48 Akhirnya seperti kita ketahui sendiri, tindakan BI pada waktu itu
malah makin memperparah keadaan.
Justru sifat tidak terduga (imprediktabilitas) semacam inilah yang coba dihindari
dengan menganut konsep rule of law: bahkan kehendak manusia yang berkehendak
baik pun, terkadang dapat berakibat buruk.
Terkait hal ini menarik untuk mengingat kembali pesan salah satu Proklamator kita
Muhammad Hatta, dalam eseinya yang berjudul Demokrasi Kita. Didalam esei
tersebut, Hatta mengibaratkan Soekarno seperti kebalikan dari tokoh Mephistopheles
dalam cerita Faust; Soekarno selalu berniat baik tapi seringkali perbuatannya yang
didasari niat baik menghasilkan konsekuensi yang buruk. Selain itu Hatta
memperingatkan Soekarno bahwa suatu sistem yang dibangun semata-mata atas
kharisma seorang individu tidak akan lama umurnya; sistem semacam itu, ketika
Soekarno tidak ada lagi, dikatakan akan “rubuh seperti rumah dari kartu.”
Salah satu hal yang ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999,
belajar dari krisis 1998, adalah penambahan kriteria dan pembatasan untuk pemberian
lending of last resort, serta amanat penerbitan Peraturan Bank Indonesia untuk
mengatur hal tersebut. ini secara implisit menyiratkan betapa pentingnya aturan (rule)
yang memenuhi legalitas formil.
Walaupun bukan khusus tentang bank sentral, diundangkannya UU 9 tahun 2016
tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, yang menuangkan
prosedur penanganan krisis dalam suatu aturan tertulis, juga merupakan perkembangan
yang patut disambut gembira karena meminimalisir kesan “improvisasi” serta
memberi gambaran yang cukup akan prosedur yang nantinya ditempuh dalam hal

47

S. Batunanggar, Reformulasi Manajemen Krisis Indonesia: Deposit Insurance and the Lender of
Last Resort. dari http://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/kertaskerja/Documents/2f9b2b48d4fb4ad69782cb66d6a3d26dcrisismgmtind280103.pdf, diakses pada
3 Desember 2016, Hlm. 2.
48
Ibid., hlm. 5.

18

adanya krisis. Adanya pengumuman berkala dari jumlah bank berdampak sistemik,
juga memberikan salah satu efek yang diperkirakan akan datang dari rule of law, yaitu
prediktabilitas, yang pada gilirannya menghasilkan adanya kesempatan untuk
merencanakan tindakan pihak swasta di masa depan, berdasarkan perkiraan akan
tindakan yang akan diambil oleh otoritas (seperti dikatakan oleh Hayek49).
Justru, terlepas dari baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari diskresi, hal yang
ditawarkan oleh rule of law adalah stabilitas.
Lebih lanjut, telah dikatakan pada bagian awal bahwa salah satu manfaat lain dari
adanya rule of law adalah prediktabilitas: Hayek mengatakan bahwa rule of law
memungkinkan kita memperkirakan dengan cukup akurat, bagaimana pihak penguasa
akan menggunakan kekuasaan memaksa dalam keadaan tertentu, dan kita dapat
merencanakan urusan individual kita berdasarkan perkiraan tadi.50 William van Lear
mendalilkan bahwa ada kesepahaman antara para ekonom, bahwa pendekatan
kebijakan moneter yang diskresif akan berakibat pada instabilitas ekonomi, condong
pada inflasi, dan rentan terpengaruh politik.51 Selain itu, ekspektasi masyarakat terkait
pendekatan ekonomi yang banyak campur tangan (activist policy) akan mengakibatkan
instabilitas ekonomi serta inflasi.52
Independensi bank sentral dan rule of law
Tidak hanya di Indonesia, diceritakan oleh Sayers, menanggapi sifat diskresif bank
sentral seperti dijelaskan diatas, para penulis di beberapa Negara Eropa Barat (seperti
Perancis, Jerman, Austria) pada akhir abad ke-19, mulai mendengungkan konsep
perbankan bebas (free banking) yang tidak memerlukan satu bank sentral.

49

Rule of law makes it possible to foresee with fair certainy how the authority will use its coercive
po er i gi e ir u sta es a d to pla o e’s i di idual affairs o the asis of this k o ledge.
Friedri h Ha ek, The Road to “erfdo
50

, dikutip dala

Bria Ta a aha, op. cit., hlm. 240.

Ibid.

William van Lear, A Re ie of the Rules Versus Dis retio De ate i Mo etar Poli
Economic Journal, Vol. 26, No. 1, hlm. 29.
52
Ibid.

51

, Eastern

19

Menurut para penulis ini, bank sentral yang diberi hak istimewa oleh Negara, sangat
rentan dipengaruhi oleh tekanan dari pihak pemerintah yang acapkali gegabah.
Sedangkan sistem perbankan yang terdiri dari banyak bank yang masing-masing
bersaing secara setara, hanya dipengaruhi, dan diikat oleh, pertimbangan kehati-hatian
komersil.53
Selanjutnya, didalilkan pula, bahwa kesalahan yang dilakukan oleh bank sentral akan
membawa dampak buruk bagi seluruh sistem, sedangkan jika ada kesalahan yang
dilakukan oleh satu dari antara banyak bank lain yang setara, tidak akan sama efeknya
karena bank-bank lain dapat masuk dan mengambil alih peran bank yang melakukan
kesalahan tadi.54 Argumen lain adalah bahwa bank sentral cenderung mengambil
resiko lebih besar terkait simpanan emas yang dipegangnya, dibandingkan kalau
simpanan tersebut dipegang oleh beberapa bank yang masing-masing setara. Pada
akhirnya, inti dari argumen para penulis ini adalah bahwa manusia tidak boleh diberi
kepercayaan untuk memegang diskresi, dan lebih baik semuanya diserahkan pada
sistem yang berjalan secara otomatis.55
Hal ini juga berhubungan dengan salah satu tema besar dari rule of law, yaitu pada
pembatasan wewenang Pemerintah oleh hukum, yang pada era modern dilakukan
dengan pemisahan (diferensiasi) kekuasaan.
Seperti kita lihat dalam contoh perjalanan Bank of England serta Bank Indonesia pada
era Orde Lama, selama bank sentral menjadi sumber dana Negara, maka Bank akan
terikat untuk memenuhi kepentingan politik Negara yang seringkali gegabah. Hal ini
akan berakibat buruk pada Bank itu sendiri (Bank of England beberapa kali tidak
mampu membayar nota yang diterbitkannya sendiri), dan mengakibatkan inflasi
(karena Bank dipaksa mengeluarkan pinjaman sehingga jumlah uang beredar
bertambah drastis – seperti pada Indonesia di Orde Lama).
Satu lagi hal yang tidak sesuai dengan rule of law tentang Bank of England adalah
pemberian hak-hak istimewa oleh Pemerintah waktu itu; salah satu elemen penting
dari rule of law adalah kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law). Dalam
53

Sayers, op. cit., hlm. 2.
Ibid.
55
Sayers, op. cit., hlm. 3.

54

20

perkembangannya, kita lihat bahwa hak-hak istimewa yang dinikmati Bank of England
lah yang pada akhirnya memungkinkan Bank of England sebagai satu bank swasta
biasa, untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya, dan mendapat kredibilitas yang luar
biasa kuat, dan pada akhirnya, lewat mekanisme pasar, menjadi lender of last resort
dan mengambil peran sebagai bank sentral.
Satu hal lain yang diakibatkan oleh tidak adanya independensi bank sentral adalah
efek “political business cycle”, dimana pihak Pemerintah cenderung tertarik untuk
mengejar keuntungan jangka pendek agar dapat dipilih kembali dalam pemilihan
umum, dengan mengabaikan akibat jangka panjang, misalnya lewat ekspansi untuk
menyerap tenaga kerja yang mengakibatkan inflasi pada jangka panjang.56
Friedrich Hayek, dalam pidatonya tahun 1976, berkomentar sebagai berikut:
“I have come to the conclusion that the best the state can do with
respect to money is to provide a framework of legal rules within which
the people can develop the monetary institutions that best suit them. It
seems to me that if we could prevent governments from meddling with
money, we could do more good than any government has ever done in
this regard. And private enterprise would probably have done better
than the best they have ever done”57
Pengurangan pengaruh politik dan kehendak manusia (dalam hal ini Pemerintah) dari
urusan keuangan, juga dapat diamati dari isi Undang-Undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia, yang dalam berbagai Pasal menegaskan independensi Bank
Indonesia. Dalam Pasal 48 misalnya, sudah tidak ada lagi celah bagi Pemerintah untuk
secara sepihak memecat Dewan Gubernur BI untuk alasan politik semata.
Eri Lo k ood, The Glo al Politi s of Ce tral Ba ki g: A Vie fro Politi al “ ie e ,
http://www.lawschool.cornell.edu/Conferences/changing-politics-of-central-bankingconference/upload/Lockwood_2016.pdf, diakses pada 3 Desember 2016, hlm. 9.
56

Terje aha e as: sa a telah sa pai pada kesi pula ah a hal terbaik yang dapat
dilakukan oleh Negara terkait uang adalah memberikan suatu kerangka aturan hukum yang
memungkinkan rakyat mengembangkan institusi keuangan yang paling cocok bagi mereka. jika
kita dapat mencegah pemerintah campur tangan dalam urusan uang, maka kita telah berbuat
lebih banyak bagi kebaikan ekonomi daripada apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk
itu. “ela jut a usaha s asta u gki dapat erke a g le ih aik daripada se elu
a.
57

Dikutip dalam Da id “e our, The E erge t Regi e: F.A. Ha ek’s jour e to Free Ba ki g. ,
https://www.montpelerin.org/wp-content/uploads/2015/12/2012-Hayek-Essay-HonorableMention-David-Seymour.pdf, diakses pada 3 Desember 2016.

21

Jauh sebelum itu, saat nasionalisasi De Javasche Bank, Syafrudin Prawiranegara
memperingatkan jangan sampai Negara dapat mengontrol bank sentral, sehingga dapat
memaksa bank sentral mencetak uang sesuai permintaan Pemerintah. Kalau perlu
Bank harus dapat menolak permintaan pinjaman dari Pemerintah berdasarkan
tanggung jawab Bank untuk menjaga stabilitas mata uang.58
Kesadaran ini juga berlanjut pada era Kabinet Juanda tahun 1959, dimana waktu itu
Pemerintah melakukan reformasi keuangan terhadap Rupiah secara sepihak dan tanpa
sepengetahuan Lukman Hakim, sebagai Gubernur Bank Indonesia. Lukman Hakim
waktu itu merasa kewenangannya telah dilanggar oleh Pemerintah, dan pelaksanaan
tugasnya telah diintervensi oleh Pemerintah: Lukman Hakim lalu mengundurkan diri
sebagai tanda ketidaksetujuannya atas tindakan Pemerintah tersebut.59
Hal ini sangat kental pula dengan ide rule of law: utamanya salah satu tema besarnya
yaitu adanya pengertian rule of law, not man. Pengaturan keuangan, dalam kesadaran
Sjafrudin Prawiranegara dan Lukman Hakim, adalah sesuatu yang tidak boleh terjerat
oleh alasan politik murni dan kehendak manusia semata. Ia harus mengikuti sesuatu
selain kehendak manusia yang sering gegabah dan tidak memikirkan konsekuensi
jangka panjang tersebut; Ia harus mengikuti aturan. Ini sejalan dengan konsep rule of
law.
Di pihak lain, Sayers sendiri mengakui ada kelemahan-kelemahan yang bersifat
inheren dari bank sentral : misalnya tentang pengambilan keputusan : pengelola bank
sentral harus membuat keputusan sebelum terjadi hal buruk dan coba
mengantisipasinya, sedangkan analisis yang dilakukan stafnya hanya bisa
menggambarkan apa yang sudah terlanjur terjadi. Selanjutnya, pengelola bank sentral
sebagai manusia juga tidak lepas dari masalah politis.60 Namun Sayers berpendapat
bahwa kelemahan-kelemahan inheren dari bank sentral ini dapat dijaga pada tingkat
yang tidak berbahaya, utamanya seiring bertambahnya pengalaman pengelola bank

58

Fachry Ali dkk., op. cit., hlm. 20.
Fachry Ali dkk., op. cit., hlm. 76.
60
Sayers, op. cit., hlm.4

59

22

sentral, kemajuan ilmu statistik, dan semakin insyafnya pada pengelola bank sentral
akan peran dan pengaruhnya terhadap ekonomi.61
Sayers lalu balik menyerang argumen para penulis tadi dengan mendalilkan bahwa
tidak mungkin dibuat aturan baku yang dapat mengatur sistem keuangan secara
permanen. Ia mencontohkan perubahan posisi likuiditas yang dibawa oleh
perkembangan industri kredit konsumen, atau perkembangan uang giral yang pada
akhirnya menyebabkan pembuatan Bank Charter Act (Peel’s Act) tahun 1844,
akhirnya hanya menjadi undang-undang kosong (empty shell) semata.62 Oleh karena
itulah, menurut Sayers, diskresi yang dipegang oleh bank sentral masih diperlukan,
karena tidak mungkin membuat aturan yang berlaku untuk segala tempat dan
sepanjang waktu.
Namun tidak adanya aturan yang dapat berlaku selamanya, bukan berarti bahwa kita
harus menyerahkan urusan keuangan sepenuhnya pada Pemerintah dan megnambil
resiko bahwa bank sentral digunakan untuk mencapai tujuan politik. Justru, seperti
dapat kita lihat dalam uraian sebelumnya, tindakan yang dilakukan dalam menghadapi
krisis, dapat saja memperparah keadaan. Diadakannya aturan tidak perlu untuk
dimaksudkan agar berlaku selamanya dalam setiap keadaan, tapi setidaknya aturan
tersebut dapat berlaku sebagai pengganti dari kehendak manusia semata (yang
seringkali gegabah dan mengejar keuntungan jangka pendek saja).
Argumen yang mungkin senada dengan Sayers, yang dapat disampaikan adalah
argumen yang mirip dengan yang diajukan oleh Brian Tamanaha terkait pengertian
rule of law, not men: aturan tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari unsur manusia,

utamanya dalam hal penerapan dan interpretasinya63
Mungkin juga dapat didalilkan bahwa pelanggaran rule of law dalam tindakan bank
sentral merupakan pengecualian dari rule of law, dalam arti bahwa tindakan tersebut
diambil dalam keadaan darurat (emergency) dimana rule of law dapat dikesampingkan

61

Ibid.
Sayers, op. cit., hlm. 6.
63
Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 244.
62

23

untuk sementara waktu. 64 Lagipula, keadaan-keadaan yang menuntut “improvisasi”
bank sentral (misalnya untuk mengatasi inflasi pasca pertumbuhan ekonomi), sah-sah
saja untuk dinilai sebagai keadaan darurat – dan selanjutnya membenarkan
pengecualian untuk rule of law. Namun walaupun memang membuka kemungkinan
suspensi Argumen “keadaan darurat” ini sepertinya berbahaya untuk diterapkan
dengan terlalu konsekuen, karena berpotensi mengundang kesewenang-wenangan.
Hayek mengingatkan bagaimana klausul keadaan darurat dalam Pasal 48 Konstitusi
Weimar di Jerman, memungkinkan rezim NAZI untuk mengambil kekuasaan.65
Bahkan dalam keadaan tidak adanya kesewenang-wenangan, pengabaian samasekali
terhadap rule of law juga dapat mengakibatkan konsekuensi yang buruk, karena dalam
kegiatan ekonomi, stabilitas dan kredibilitas sangat penting. Penanganan krisis tanpa
sikap yang koheren, seperti terjadi pada krisis tahun 1998, walaupun didasari niat baik,
justru malah dapat memperburuk keadaan.
Kelemahan-kelemahan dari aspek legalitas dari konsep rule of law, seperti
kemustahilan membuat aturan yang mampu mengatur yang dikeluhkan oleh Sayers,
ataupun kelemahan-kelemahan lain seperti tidak dapat dihindarkannya aspek manusia
dari penerapan aturan, sepertinya tidak usah menghalangi kita untuk mengapresiasi
rule of law sebagai hal yang berharga. Seperti kata Tamanaha, justru harga yang harus
kita bayar jika tidak ada legalitas, mungkin akan jauh lebih besar: bila kita tidak bisa
memperkirakan sebelumnya bagaimana sebuah organisasi akan bereaksi, maka kita
akan selalu berada dalam ketidakpastian. Peran legalitas adalah mengurangi unsur
ketidakpastian ini.66
Memang terkadang, kontrol negara terhadap bank sentral membuahkan hasil yang baik.
Kita dapat lihat keberhasilan Bank Indonesia dalam era Pelita I untuk mengatasi
hiperinflasi warisan Orde Lama, misalnya, atau pacuan Bank Indonesia bersama
Pemerintah dalam Paket Oktober 1988,yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang menggembirakan. Konsekuensi diskresi yang menghasilkan efek yang

Untuk diskusi terkait hal ini, dapat dibaca misalnya Ber adette A. Me ler, E o o i
E erge
a d the Rule of La , Cornell Law School Legal Studies Research Paper Series
65
Bernadette A. Meyler, op. cit., hlm. 20.
66
Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 243.
64

24

diharapkan (good consequences), tidak dinafikan oleh pendukung konsep rule of law.
Plato bahkan mengatakan bahwa, pada saat Raja yang Bijak sedang bertakhta, maka
aturan justru ak

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2