Kualitas Hidup Pasien Akne Vulgaris pada Mahasiswi Angkatan 2011 Fakultas Kedokteran Sumatera Utara

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Akne Vulgaris 2.1.1 Definisi

Akne Vulgaris adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja (Zanglein et al, 2008). Ditandai dengan adanya erupsi komedo, papul, pustul, nodus dan kista pada tempat predileksi: muka, leher, lengan atas, dada dan punggung (Wasitaatmadja, 2011). 2.1.2 Epidemiologi

Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang paling umum diderita oleh masyarakat. Di Amerika Serikat, 85% dari penduduk usia 12-24 tahun menderita akne vulgaris. Dan data yang hampir serupa didatati pada sebagian besar dunia barat. Di Afrika sendiri, melalui sebuah studi cross sectional, didapati prevalensi akne vulgaris pada remaja sebesar 90,7% (Husein, 2009). Untuk Asia, beberapa data yang bisa diperoleh menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi juga. Di Cina, tepatnya distrik Zhou Hai provinsi Guangdong, prevalensi penderita jerawat sebesar 53,5% remaja ( Wu et al, 2007). Dari survei di Asia Tenggara, terdapat 40-80% kasus jerawat. Sedangkan di Indonesia, catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia, menunjukkan terdapat 60% pasien jerawat pada tahun 2006 dan 80% pada tahun 2007. Penelitian yang dilakukan oleh Anggrenni (2014) didapatkan hasil, jumlah pasien akne vulgaris yang berkunjung di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2010 – Desember 2012 berjumlah 182 orang dengan proporsi kejadian sebesar 1,10%. Karakteristik pasien umumnya berjenis kelamin perempuan, terbanyak berusia 16-20 tahun, pekerjaan terbanyak pelajar/mahasiswa, tingkat keparahan terbanyak derajat II, lokasi terbanyak pada wajah, durasi penyakit terbanyak 1 – 52 minggu.


(2)

2.1.3 Etiopatogenesis

Etiologi penyakit ini diduga multifaktorial dan kadang-kadang kontroversial. (Wasitaatmadja, 2011).

Etiologi akne vulgaris belum jelas sepenuhnya. Patogenesis akne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori sebagai etiopatogenesis akne. Keempat patogenesis tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnes(P. acnes), dan inflamasi (Zaenglein et al, 2008).

2.1.3.1Hiperproliferasi epidermis folikuler

Kulit penderita akne menunjukkan peningkatan densitas reseptor androgen dan aktivitas 5α reduktase yang lebih tinggi. Dihydrotestosterone (DHT) adalah androgen poten yang berperan pada akne. Androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan akroinfundibulum (Zouboulis et al, 2005).

Hiperproliferasi epidermal folikuler menyebabkan terbentuknya lesi primer akne, yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas, infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan disertai peningkatan kohesi keratinosit. Peningkatan sel dan kepekatannya menyebabkan sumbatan pada ostium folikuler. Sumbatan ini menyebabkan terjadinya akumulasi keratin, sebum dan bakteri pada folikel, yang kemudian menyebabkan dilatasi pada folikel rambut bagian atas, dan terjadi mikrokomedo (Zaenglein et al, 2008).

2.1.3.2 Produksi sebum berlebih

Penderita akne memproduksi sebum yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan yang tidak menderita akne. Salah satu komponen sebum yaitu trigliserida, berperan penting dalam patogenesis akne. Flora normal unit pilosebasea yaitu P. acnes akan memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini


(3)

akan menyebabkan terjadinya lebih banyak kolonisasi P. acnes, memicu inflamasi, dan selain itu juga bersifat komedogenik (Zaenglein et al, 2008).

2.1.3.3 Bakteri Propionibacterium acnes (P. acnes)

Patogenisitas Propionibacteria diduga disebabkan karena adanya dua hal, yaitu :

a. Produksi enzim eksoseluler dan produk ekstraseluler bioaktif lainnya, seperti protease, lipase, lecithinase, hyaluronat lipase, neuramidase, phospatase, phospolipase, proteinase, dan RNase.

b. Interaksi mikroorganisme dengan sistem imun manusia. 
Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita acne meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang konstan. Penelitian tentang DNA P.acnes yang dilakukan oleh Miura et al, menemukan bahwa pada penderita acne berusia 10-14 tahun didapatkan jumlah P.acnes di hidung dan dahi yang lebih tinggi secara signifikan daripada non akne. Namun pada pasien akne berusia lebih dari 15 tahun, tidak didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang signifikan (Miura et al, 2010).

2.1.3.4 Inflamasi

Beberapa hipotesis menyatakan peran P.acnes dalam terbentuknya acne. Kerusakan jaringan kulit dapat merupakan akibat dari enzim bakteri yang memiliki sifat degradasi, dan mempengaruhi integritas sel epidermis kulit dan fungsi barier dinding folikuler folikel sebaseus. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin pro inflamasi dari keratinosit, yang akan berdifusi ke dermis dan memicu inflamasi (Bruggemann, 2005).

2.1.4 Gejala Klinis

Keluhan penderitaannya sering kali lebih mengarah ke segi estetis daripada fisik. Kadang-kadang saja akne menyebabkan rasa gatal yang mengganggu atau rasa


(4)

sakit kecuali bila telah terjadi pustul atau nodul yang besar. (Wasitaatmadja, 2011). Lesi utama acne adalah mikrokomedo yaitu pelebaran folikel rambut yang mengandung sebum dan P. acnes. Sedangkan lesi akne lainnya dapat berupa papul, pustul, nodul, dan kista pada daerah predileksi akne yaitu pada wajah, bahu, dada, punggung, dan lengan atas. Komedo yang tetap berada di bawah permukaan kulit tampak sebagai white head, sedangkan komedo yang bagian ujungnya terbuka pada permukaan kulit disebut black head karena secara klinis tampak berwarna hitam pada epidermis (Baumann dan Keri, 2009).

2.1.5 Gradasi

Pada akne tak dikenal adanya stadium atau tahap perjalanan penyakit, yang ada adalah gradasi yaitu tingkat berat ringannya penyakit. Berbagai peneliti membuat gradasi penyakit yang berlainan satu dengan yang lain, misalnya:

A. Pillsbury (1963) membuat gradasi sebagai berikut: Derajat 1: komedo di muka

Derajat 2: komedo, papul, pustul dan peradangan lebih dalam di muka

Derajat 3: komedo, papul, pustul dan peradangan lebih dalam di muka, dada, punggung

Derajat 4: Akne konglobata. (Adatyan et al, 2009) B. Frank (1970) membuat gradasi sebagai berikut:

Derajat 1: akne komedonal non-inflamasi Derajat 2: akne komedonal inflamasi Derajat 3: akne papular

Derajat 4: akne papulo pustular Derajat 5: akne agak berat Derajat 6: akne berat


(5)

Derajat 7: akne nodulo kistik / konglobata (Adatyan et al, 2009)

C. Sjarif M. Wasitaatmadja (1982) Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo membuat gradasi sebagai berikut: 1. Ringan: beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi, sedikit lesi tak

beradang pada beberapa tempat predileksi, sedikit lesi beradang pada 1 predileksi.

2. Sedang: banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi, beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi, beberapa lesi beradang pada 1 predileksi, sedikit lesi beradang pada lebih dari 1 predileksi.

3. Berat: banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi, banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi

Catatan: sedikit <5, beberapa 5-10, banyak >10 lesi.

Tak meradang: komedo, papul; meradang: pustul, nodus dan kista (Wasitaatmadja, 2011)

D. Lehman (2003) membuat gradasi sebagai berikut: Ringan : komedo <20, pustul <15, kista = 0, total <30

Sedang: komedo 20-100, pustul 15-20, kista <5, total 30-125

Berat: komedo >100, pustul >50, kista >5, total: >12 (Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia, 2012)

E. International consensus conference on acne classification system membuat gradasi sebagai berikut:

1. Ringan: terdapat sedikit komedo, papul dan pustul, tidak terdapat nodul 2. Sedang : terdapat beberapa komedo, papul dan pustul. Sedikit hingga

beberapa nodul

3. Berat: banyak komedo, papul pustul dan nodul


(6)

2.1.6 Diagnosis

Menurut Wasitaatmadja (2009), diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar: 1. Klinis dan pemeriksaan ekskohliasi sebum yaitu pengeluaran sebum dengan

komedo ekstraktor (sendok unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.

2. Pemeriksaan histologis tidak memperlihatkan suatu gambaran yang spesifik, hanya berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikelpilosebasea dengan massa sebum didalam folikel.

3. Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran pada etiologi dan patogenesis penyakit, namun hasilnya sering tidak memuaskan

4. Pemeriksaan pada susunan kulit dan kadar lipid permukaan kulit dapat pula dilakukan unuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris, kadang asam lemak bebas meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.

2.1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding akne vulgaris yaitu (Wasitaatmadja, 2009):

1. Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh obat misalnya kortikosteroid, isoniazid (INH), barbiturat, yodida, bromida, difenilhidantoin, trimetadion, adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan lain-lainnya. Klinis berupa erupsi papul-papul yang timbul di berbagai tempat pada kulit tanpa adanya komedo, timbul mendadak, dan kadang-kadang disertai demam. Dapat terjadi pada segala usia.

2. Akne lain, misalnya akne venenata dan akne komedonal oleh rangsangan fisis. Umumnya lesi monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul,


(7)

dengan tempat predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsangan fisisnya.

3. Rosasea (dulu: akne rosasea), merupakan penyakit peradangan kronik di daerah muka dengan gejala eritem, pustul, teleangiektasis dan kadang-kadang disertai papul, pustul, nodulus, atau kista. Tidak terdapat komedo kecuali bila kombinasi dengan akne.

4. Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita. Klinis berupa polimorfi eritema, papul, dan pustul disekitar mulut yang terasa gatal

2.1.8 Penatalaksanaan

Penanggulangan akne meliputi usaha untuk mencegah terjadinya jerawat (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif). Kedua usaha harus dijalankan bersamaan mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat berbagai faktor yang kadang-kadang tidak dapat dihindari penderita (Wasitaatmadja, 2011).

A. Terapi Topikal

Retinoid topikal merupakan obat dengan efek komedolitik dan antiinflamasi. Obat ini menormalkan hiperkeratinisasi dan hiperproliferasi folikel yang terjadi. Retinoid topikal ini mengurangi jumlah mikrokomedo, komedo dan lesi meradang. Obat ini dapat digunakan sendiri saja ataupun kombinasi dengan obat-obat akne lainnya. Sediaan yang sering termasuk adapalene, tazanotene dan tretinoin. Antibiotik topikal terutama digunakan untuk melawan P. acnes. Obat ini juga memiliki efek antiinflamasi. Antibiotik topikal tidak memiliki efek komedolitik, dan resistensi dapat terjadi pada beberapa jenis obat ini. Resistensi dapat dikurangi jika dikombinasi dengan benzoil peroksida. Sediaan obat yang sering dipakai adalah eritromisin dan


(8)

klindamisin. Produk-produk benzoil peroksida juga efektif digunakan melawan P. acnes dan belum terbukti adanya resistensi pada obat ini (Fulton, 2009)

B. Terapi Sistemik

Menurut Wasitaatmadja (2011), pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktifitas jasad renik di samping dapat juga menekan reaksi radang, menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik terdiri dari:

1. Antibakteri sistemik misalnya tetrasiklin, minosiklin, eritromisin, kotrimoksasol atau trimetoprim, linkomisin dan klindamisin. Dosis dari antibiotika dapat diturunkan setelah terlihat adanya perbaikan dan dapat dipertahankan dalam dosis initial dalam jangka waktu lebih lama.

2. Obat hormonal dapat digunakan untuk menekan produksi androgen atau secara kompetitif menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea. Penggunaan etinil estradiol (50 mg) dan anti androgen seproteron asetat (2 mg) sehari selama 21 hari diselingi waktu istirahat 7 hari selama 4-5 bulan pada wanita dewasa, kawin, dengan akne nodulokistik rekalsitran dapat dipertimbangkan tentunya dengan memikirkan efek sampingnya. 3. Retinoid dan asam vitamin A oral dipakai dengan tujuan menekan

hiperkeratinisasi yang merupakan faktor patofisiologi pada akne.

4. Dengan pemikiran dan tujuan berbeda dipakai obat sistemik berupa antiinflamasi nonsteroid, dapson atau seng sulfat.

C. Bedah kulit

Bedah kulit dapat dilakukan untuk mengurangi peradangan (bedah beku) terutama untuk memperbaiki parut yang terjadi akibat akne. Tindakan dapat dilaksanakan setelah akne sembuh baik dengan cara bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, dermabrasi atau bedah laser.


(9)

2.2 Kualitas Hidup 2.2.1 Definisi

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan kualitas hidup (quality of life) sebagai persepsi individual dari keberadaannya dalam hidup, dalam kontekskultural dan sistem nilai dimana dia hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standard dan perhatiannya. (Both et al, 2007)

2.2.2 Efek Akne Vulgaris terhadap Kualitas Hidup

Walaupun akne vulgaris tidak membahayakan kehidupan, tetapi sering menjadi masalah kosmetik pada bentuk akne vulgaris yang berat akibat skar yang ditimbulkan, dan tidak jarang menjadi keluhan psikologis penderita terhadap lingkungan sosial sekelilingnya, bahkan menyebabkan kurang percaya diri pada individu tersebut (Anwar, 2013).

Penampilan seseorang apabila terkena penyakit akne vulgaris terutama pada remaja dengan timbulnya bermacam-macam lesi khususnya pada wajah akan sangat mengganggu penampilan orang tersebut dan dapat mengganggu rasa percaya diri pada remaja tersebut (Anwar,2013).

Akne vulgaris juga dapat memberikan dampak psikologis. Diperkirakan 30% hingga 50% remaja dengan akne mengalami gangguan emosi akibat akne. Penelitian menunjukkan bahwa pasien akne memiliki tingkat gangguan sosial, psikologis dan emosi yang setara dengan pasien asma dan epilepsi (Zanglein et al, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Lasek dan Chren (1998) dengan menggunakan Skindex-29, menunjukkan bahwa akne vulgaris secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Tanpa memperhatikan beratnya akne, orang dewasa lebih dipengaruhi oleh akne mereka.


(10)

Pada penelitian Yandi et al(2013)dengan menggunakan Cardiff Acne Disability Index ( CADI), didapatkan hasil terdapat hubungan antara gradasi akne vulgaris dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Lampung.


(1)

Derajat 7: akne nodulo kistik / konglobata (Adatyan et al, 2009)

C. Sjarif M. Wasitaatmadja (1982) Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo membuat gradasi sebagai berikut: 1. Ringan: beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi, sedikit lesi tak

beradang pada beberapa tempat predileksi, sedikit lesi beradang pada 1 predileksi.

2. Sedang: banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi, beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi, beberapa lesi beradang pada 1 predileksi, sedikit lesi beradang pada lebih dari 1 predileksi.

3. Berat: banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi, banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi

Catatan: sedikit <5, beberapa 5-10, banyak >10 lesi.

Tak meradang: komedo, papul; meradang: pustul, nodus dan kista (Wasitaatmadja, 2011)

D. Lehman (2003) membuat gradasi sebagai berikut: Ringan : komedo <20, pustul <15, kista = 0, total <30

Sedang: komedo 20-100, pustul 15-20, kista <5, total 30-125

Berat: komedo >100, pustul >50, kista >5, total: >12 (Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia, 2012)

E. International consensus conference on acne classification system membuat gradasi sebagai berikut:

1. Ringan: terdapat sedikit komedo, papul dan pustul, tidak terdapat nodul 2. Sedang : terdapat beberapa komedo, papul dan pustul. Sedikit hingga

beberapa nodul

3. Berat: banyak komedo, papul pustul dan nodul


(2)

2.1.6 Diagnosis

Menurut Wasitaatmadja (2009), diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar: 1. Klinis dan pemeriksaan ekskohliasi sebum yaitu pengeluaran sebum dengan

komedo ekstraktor (sendok unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.

2. Pemeriksaan histologis tidak memperlihatkan suatu gambaran yang spesifik, hanya berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikelpilosebasea dengan massa sebum didalam folikel.

3. Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran pada etiologi dan patogenesis penyakit, namun hasilnya sering tidak memuaskan

4. Pemeriksaan pada susunan kulit dan kadar lipid permukaan kulit dapat pula dilakukan unuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris, kadang asam lemak bebas meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.

2.1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding akne vulgaris yaitu (Wasitaatmadja, 2009):

1. Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh obat misalnya kortikosteroid, isoniazid (INH), barbiturat, yodida, bromida, difenilhidantoin, trimetadion, adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan lain-lainnya. Klinis berupa erupsi papul-papul yang timbul di berbagai tempat pada kulit tanpa adanya komedo, timbul mendadak, dan kadang-kadang disertai demam. Dapat terjadi pada segala usia.

2. Akne lain, misalnya akne venenata dan akne komedonal oleh rangsangan fisis. Umumnya lesi monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul,


(3)

dengan tempat predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsangan fisisnya.

3. Rosasea (dulu: akne rosasea), merupakan penyakit peradangan kronik di daerah muka dengan gejala eritem, pustul, teleangiektasis dan kadang-kadang disertai papul, pustul, nodulus, atau kista. Tidak terdapat komedo kecuali bila kombinasi dengan akne.

4. Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita. Klinis berupa polimorfi eritema, papul, dan pustul disekitar mulut yang terasa gatal

2.1.8 Penatalaksanaan

Penanggulangan akne meliputi usaha untuk mencegah terjadinya jerawat (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif). Kedua usaha harus dijalankan bersamaan mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat berbagai faktor yang kadang-kadang tidak dapat dihindari penderita (Wasitaatmadja, 2011).

A. Terapi Topikal

Retinoid topikal merupakan obat dengan efek komedolitik dan antiinflamasi. Obat ini menormalkan hiperkeratinisasi dan hiperproliferasi folikel yang terjadi. Retinoid topikal ini mengurangi jumlah mikrokomedo, komedo dan lesi meradang. Obat ini dapat digunakan sendiri saja ataupun kombinasi dengan obat-obat akne lainnya. Sediaan yang sering termasuk adapalene, tazanotene dan tretinoin. Antibiotik topikal terutama digunakan untuk melawan P. acnes. Obat ini juga memiliki efek antiinflamasi. Antibiotik topikal tidak memiliki efek komedolitik, dan resistensi dapat terjadi pada beberapa jenis obat ini. Resistensi dapat dikurangi jika dikombinasi dengan benzoil peroksida. Sediaan obat yang sering dipakai adalah eritromisin dan


(4)

klindamisin. Produk-produk benzoil peroksida juga efektif digunakan melawan P. acnes dan belum terbukti adanya resistensi pada obat ini (Fulton, 2009)

B. Terapi Sistemik

Menurut Wasitaatmadja (2011), pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktifitas jasad renik di samping dapat juga menekan reaksi radang, menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik terdiri dari:

1. Antibakteri sistemik misalnya tetrasiklin, minosiklin, eritromisin, kotrimoksasol atau trimetoprim, linkomisin dan klindamisin. Dosis dari antibiotika dapat diturunkan setelah terlihat adanya perbaikan dan dapat dipertahankan dalam dosis initial dalam jangka waktu lebih lama.

2. Obat hormonal dapat digunakan untuk menekan produksi androgen atau secara kompetitif menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea. Penggunaan etinil estradiol (50 mg) dan anti androgen seproteron asetat (2 mg) sehari selama 21 hari diselingi waktu istirahat 7 hari selama 4-5 bulan pada wanita dewasa, kawin, dengan akne nodulokistik rekalsitran dapat dipertimbangkan tentunya dengan memikirkan efek sampingnya. 3. Retinoid dan asam vitamin A oral dipakai dengan tujuan menekan

hiperkeratinisasi yang merupakan faktor patofisiologi pada akne.

4. Dengan pemikiran dan tujuan berbeda dipakai obat sistemik berupa antiinflamasi nonsteroid, dapson atau seng sulfat.

C. Bedah kulit

Bedah kulit dapat dilakukan untuk mengurangi peradangan (bedah beku) terutama untuk memperbaiki parut yang terjadi akibat akne. Tindakan dapat dilaksanakan setelah akne sembuh baik dengan cara bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, dermabrasi atau bedah laser.


(5)

2.2 Kualitas Hidup 2.2.1 Definisi

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan kualitas hidup (quality of life) sebagai persepsi individual dari keberadaannya dalam hidup, dalam kontekskultural dan sistem nilai dimana dia hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standard dan perhatiannya. (Both et al, 2007)

2.2.2 Efek Akne Vulgaris terhadap Kualitas Hidup

Walaupun akne vulgaris tidak membahayakan kehidupan, tetapi sering menjadi masalah kosmetik pada bentuk akne vulgaris yang berat akibat skar yang ditimbulkan, dan tidak jarang menjadi keluhan psikologis penderita terhadap lingkungan sosial sekelilingnya, bahkan menyebabkan kurang percaya diri pada individu tersebut (Anwar, 2013).

Penampilan seseorang apabila terkena penyakit akne vulgaris terutama pada remaja dengan timbulnya bermacam-macam lesi khususnya pada wajah akan sangat mengganggu penampilan orang tersebut dan dapat mengganggu rasa percaya diri pada remaja tersebut (Anwar,2013).

Akne vulgaris juga dapat memberikan dampak psikologis. Diperkirakan 30% hingga 50% remaja dengan akne mengalami gangguan emosi akibat akne. Penelitian menunjukkan bahwa pasien akne memiliki tingkat gangguan sosial, psikologis dan emosi yang setara dengan pasien asma dan epilepsi (Zanglein et al, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Lasek dan Chren (1998) dengan menggunakan Skindex-29, menunjukkan bahwa akne vulgaris secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Tanpa memperhatikan beratnya akne, orang dewasa lebih dipengaruhi oleh akne mereka.


(6)

Pada penelitian Yandi et al(2013)dengan menggunakan Cardiff Acne Disability Index ( CADI), didapatkan hasil terdapat hubungan antara gradasi akne vulgaris dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Lampung.