Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)
BAB II
BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI
JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik terhadap Istri
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Suatu perbuatan digolongkan dalam tindak pidana kekerasan fisik
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini apabila kekerasan tersebut
dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan darah, kekerabatan,
atau orang lain yang bekerja dan menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut,
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu:
1. Suami, istri, dan anak
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga
dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan fisik didefenisikan
sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Namun dalam Pasal 6 tersebut tidak dijelaskan mengenai klasifikasi dan
bentuk-bentuk daripada tindak kekerasan fisik tersebut tetapi dijelaskan hanya
akibat dari perbuatan kekerasan fisik tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kekerasan fisik ini merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
memberikan rasa tidak enak (rasa sakit) pada diri seseorang sehingga
menyebabkan timbulnya akibat-akibat tersebut.
Dalam rumusan Pasal 6 tersebut selain memuat mengenai batasan
pengertian dari kekerasan fisik tersebut sekaligus juga memuat unsur-unsur dari
tindak pidananya tersebut sebagai persyaratan untuk menggolongkan suatu
perbuatan dalam sebuah tindak pidana dan harus dibuktikan satu persatu dalam
persidangan. Adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan,
2. Yang mengakibatkan,
3. Rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat
Dalam rumusan tindak kekerasan fisik tersebut terdapat unsur
“perbuatan” yang berarti adalah perbuatan seeorang yang dilakukan secara sadar
dan sengaja, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, atau mungkin keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan tersebut yang dilakukan oleh subjek hukum
yang mampu bertanggungjawab.65 Perbuatan dalam ketentuan rumusan ini dapat
diartikan sebagai perbuatan yang melukai fisik seperti memukul dengan tangan
kosong, menendang, menampar, mencekik, memukul dengan benda, dan lain
sebagainya.
65
Sudarto, op. cit., hlm. 41.
Sedangkan unsur “yang mengakibatkan” merupakan timbulnya suatu
bentuk atau keadaan baru bagi orang atau korban yang mengalaminya akibat
terjadinya perbuatan kekerasan fisik tersebut.
Bentuk atau keadaan baru bagi orang yang mengalami kekerasan fisik
tersebut yang berupa “rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”. Pengertian dari rasa
sakit ini adalah suatu keadaan dimana korban mengalami penurunan kesehatan
atau penderitaan yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau tidak enak pada
anggota tubuh tertentu.
Sedangkan jatuh sakit dapat dipahami sebagai keadaan dimana seseorang
yang mengalami penurunan kesehatan atau penderitaan yang akut dan
menyebabkan terganggunya keadaan fisik menjadi tidak normal sehingga tidak
dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
Luka berat merupakan penyakit atau luka yang diharapkan tidak akan
sembuh lagi dengan sempurna atau mendatangkan bahaya maut, terus menerus,
tidak cakap lagi menjalankan jabatan atau pekerjaan, gangguan terhadap panca
indera, gugurnya kandungan seorang perempuan, dan kematian pada korban.66
Kekerasan fisik ini dapat dibagi dalam kekerasan fisik berat dan
kekerasan fisik ringan yang dilihat dari akibat perbuatannya tersebut seperti: 61
1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
menyundut, melakukan percobaan pembunuhan, atau pembunuhan dan semua
perbuatan lain yang mengakibatkan:
66
61
Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)
http://lbh.apik.or.id/kdrt-bentuk.html diakses tanggal 15 April 2015 pukul 22.00 WIB
a. Cedera berat
b. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
c. Pingsan
d. Luka berat pada tubuh korban yang sulit disembuhkan atau
menyebabkan bahaya mati
e. Kehilangan salah satu panca indera
f. Mendapat cacat
g. Gugurnya kandungan seorang perempuan
h. Kematian korban
2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, atau
perbuatan lain yang mengakibatkan:
a. Cedera ringan
b. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat
Kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini
menimbulkan ketentuan-ketentuan pidana terhadap siapa saja yang secara sah dan
meyakinkan terbukti melakukan tindak kekerasan fisik yang dilakukan terhadap
istri dalam lingkup rumah tangga. Dalam pengaturan mengenai sanksi pidana
terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik ini, hukuman terhadap pelalu
dibedakan berdasarkan akibat-akibat yang ditimbulkan daripada perbuatan pelaku
tersebut.
Adapun pengaturan tentang penjatuhan sanksi pidana dijatuhkan secara
terpisah sesuai dengan perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana
kekerasan fisik terhadap istri tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 44 Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap suami terhadap istri atau sebaliknya tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana dengan pidana 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku, hakim juga dapat
menjatuhkan pidana tambahan terhadap pelaku seperti yang tercantum dalam
Pasal 50 Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang terdiri dari:
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan
lembaga tertentu.
Ketentuan pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 44 undangundang ini tergolong dalam rumusan tindak pidana berbentuk gekwalifikasir yang
dalam rumusannya hanya memuat unsur perbuatannya dan disertai dengan unsur
pemberatannya saja. Dalam tindak kekerasan fisik yang dikategorikan sebagai
tindak pidana kekerasan fisik ringan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal
44 ayat (4) dijadikan sebagai delik aduan.67
Akibat dari berlakunya delik aduan ini maka proses penegakan hukum
sesuai dengan mekanisme hukum pidana hanya baru dapat dilakukan apabila
adanya pengaduan dari pihak korban yang merasa dirugikan atas suatu tindak
pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga dan pihak korban atau pihak yang
merasa dirugikan tersebut dapat juga mencabut tuntutannya tersebut terhadap
pelaku sehingga mengakibatkan berhentinya proses penyidikan dan menutup
perkara tindak pidana tersebut.
Diberlakukannya delik aduan dalam ketentuan pasal ini dilatarbelakangi
oleh karena akibat yang timbulkan dari kekerasan fisik sebagaimana tercantum
dalam pasal tersebut tidak menimbulkan akibat atau penderitaan yang parah
seperti sakit, jatuh sakit, ataupun luka parah. Sehingga penyelesaian dari tindak
pidana tersebut selain dengan ketentuan hukum pidana, dapat juga diselesaikan
secara kekeluargaan atau mediasi apabila pihak yang menjadi korban tindak
pidana mencabut tuntutannya.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat ayat (1), (2), dan (3)
merupakan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga berat sehingga
dijadikan sebagai delik biasa yang proses penuntutannya dilakukan tanpa harus
67
Pasal 51 Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
menunggu adanya pengaduan dari pihak korban. Proses hukumnya juga tidak
dapat dihentikan meskipun pihak istri atau korban telah mencabut tuntutannya dan
pelaku harus tetap mempertanggungjawabakan perbuatannya tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum pidana. Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana
yang tercantum dalam ketentuan pasal-pasal tersebut bersifat publik.
Hal yang melatarbelakangi tindak pidana tersebut dijadikan sebagai delik
biasa adalah sebab pada tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang
dirumusakan dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) mengakibatkan timbulnya
akibat yang besar dan sangat merugikan pihak iatri sebagai korban.
Sehingga untuk memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain
untuk melakukan perbuatan serupa, maka tindak pidana tersebut dimasukkan
dalam delik biasa yang penyelesaiannya menggunakan ketentuan hukum pidana
dan mempunyai hukuman pidana maksimum yang tinggi serta denda maksimum
yang besar.
Dalam undang-undang ini juga diatur secara rinci mengenai hak-hak istri
sebagai korban tindak pidana kekerasan fisik yang terdiri dari mendapatkan
perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan secara khusus yang berkaitan
dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial atau bantuan
hukum, dan pelayanan bimbingan rohani serta diatur juga mengenai kewajiban
masyarakat untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan
perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Dalam proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
fisik terhadap istri menggunakan hukum acara yang digunakan adalah ketentuan
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia pada saat ini yakni UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang disebut
juga sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun
dapat juga dilakukan perubahan apabila ditentukan lain sesuai dengan Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
tergantung dari jenis tindak pidana dan korbannya.
Sehingga dengan demikian, pada setiap proses penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan dan pembuktian di muka persidangan terhadap pelaku kekerasan
fisik terhadap istri ini harus sesuai dan berdasarkan dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) demi menjamin perlindungan dan hak-hak asasi pelaku.
B. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan terhadap Istri dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana
penganiayaan terhadap istri tergolong dalam kejahatan terhadap badan seseorang
dan di defenisikan sebagai perbuatan yang sengaja mengakibatkan rasa tidak enak,
sakit, atau luka pada tubuh korban. Atau dalam pengertian lain penganiayaan
adalah “sengaja merusak kesehatan orang lain”. Setiap perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati
batas yang diizinkan.68
68
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1994, hlm. 245.
Tindak pidana penganiayaan terhadap istri pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bukum II Bab XX, Pasal 356 ayat (1) yang
termasuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan tertentu yang memberatkan
Hukuman.
Dalam Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tersebut hukuman terhadap pelaku dapat ditambah dengan sepertiga dari hukuman
tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353,
354, dan 355. Dalam Pasal 356 ayat (1), berlakunya ketentuan pasal tersebut
apabila tindak pidana penganiayaan tersebut dilakukan terhadap ibu, bapak,
suami, istri dan anak pelaku.
Diaturnya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap sesama
anggota keluarga dalam lingkup rumah tangga karena tindak pidana tersebut
dipandang sebagai perbuatan yang lebih buruk dan mempunyai kesalahan yang
lebih besar daripada penganiayaan terhadap orang lain.
Tujuan diperberatnya hukuman pada tindak penganiayaan tersebut adalah
suntuk melindungi kerukunan rumah tangga dan mencegah dilakukannya
penganiayaan dalam rumah tangga Sebab terhadap sesama anggota keluarga
seharusnya bersikap dan bertindak penuh kasih sayang, sebab diantara mereka ada
hubungan ketergantungan, masing-masing saling membutuhkan, dan keterikatan
batin.69
69
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Press, Jakarta,
2010, hlm. 37.
Adapun jenis-jenis tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 356 ayat (1) tersebut dapat di kategorikan dalam beberapa
bentuk yaitu:
1. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa
Tindak pidana penganiayaan biasa ini diatur dalam Pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari rumusan pasal ini tidak memuat
tentang unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut tetapi hanya
menyebutkan kualifikasi umum dari tindak pidana penganiayaan dan ancaman
hukuman terhadap orang melakukannya.
Berdasarkan rumusan pasal ini, tindak pidana penganiayaan biasa ini
merupakan suatu perbuatan merusakkan kesehatan seseorang yang menyebabkan
timbulnya rasa sakit atau luka pada tubuh seseorang.
Berdasarkan doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR, maka tindak
pidana penganiayaan dalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan
ditunjukkan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang
mana akibat tersebut merupakan tujuan dari si pelaku. Dari pengertian tersebut
maka penganiayaang mempunyai unsur-unsur sebagaimana berikut:
a. Adanya kesengajaan
b. Adanya perbuatan
c. Adanya akibat perbuatan (dituju) yakni:
1. Rasa sakit, tidak enak pada tubuh
2. Lukanya tubuh
d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan.
Walaupun unsur-unsur tersebut tidak ada dalam Pasal 351, akan tetapi
harus disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan di persidangan.70
Suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan biasa
ini telah cukup apabila telah termuat unsur-unsur yang dapat menyebabkan rasa
sakit atau luka sebagai tujuan atau kehendak dari pelaku. 71
Sehingga
walaupun
korbannya
sampai
meninggal
dunia,
tetap
dikategorikan sebagai tindak pengaiayaan biasa sebab tujuan pelaku melakukan
penganiayaan tersebut adalah hanya untuk memberikan rasa sakit atau luka pada
tubuh korban dan meninggalnya korban tersebut adalah diluar kehendak dari
pelaku.
Untuk membuktikan mengenai timbulnya rasa sakit atau luka akibat dari
suatu tindak pidana penganiayaan maka harus dibuktikan dari keterangan dokter
atau rumah sakit yang memeriksa korban tindak pidana penganiayaan itu.
Adapun sanksi pidana terhadap tindak penganiayaan biasa ini dibedakan
menjadi:
a. Tindak pidana penganiayaan dihukum penjara selama-lamanya 2
(dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara.
b. Jika perbuatan penganiayaan tersebut menjadikan luka berat, pelaku
dihukum selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara.
70
Ibid., hlm. 10.
71
Moch. Anwar, op. cit., hlm. 103.
c.
Jika perbuatan itu menyebabkan matinya korban, pelaku dihukum
selama-lamanya 7 (tujuh) tahun penjara.
Terhadap percobaan dalam melakukan tindak pidana penganiayaan biasa
ini tidak dapat dihukum.
2. Tindak Pidana Penganiayaan yang Direncanakan
Pengertian dari tindak pidana penganiayaan yang direncanakan ini bahwa
antara adanya maksud pelaku dengan terjadinya tindak pidana tersebut
mempunyai jeda waktu untuk pelaku memikir dan merancang bagaimana
penganiayaan itu dapat dilakukan.
Jeda waktu ini juga tidak boleh terlalu pendek dan juga tidak perlu terlalu
lama, yang terpenting adalah pelaku dapat dengan tenang berpikir guna
melakukan tindak pidana tersebut dan masih ada kesempatan untuk pelaku
membatalkan perbuatannya tersebut.72 Adapun sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana ini sebagaimana diatur dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), diantaranya adalah:
a. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa dihukum penjara selamalamanya 4 (empat) tahun.
b. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa yang menyebabkan luka
berat dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
c. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa yang menyebabkan
kematian dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun.
72
Ibid., hlm. 241.
Sedangkam dalam Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) diatur tentang penganiayaan berat yang direncanakan dengan sanksi
pidana sebagai berikut:
a. Terhadap tindak pidana penganiayaan berat yang direncanakan terlebih
dahulu dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun penjara.
b. Terhadap tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan
kematian dihukum penjara 15 (lima belas) tahun penjara.
3. Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Dalam rumusan Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), hal yang paling esensi dalam tindak pidana penganiayaan berat ini
adalah adanya niat dan maksud pelaku untuk menyebabkan luka berat pada diri
korban, namun apabila tidak ada niat atau maksud dari pelaku tersebut, maka
perbuatan pelaku tersebut digolongkan dalam penganiayaan biasa yang berakibat
luka berat atau kematian.73
Unsur-unsur perbuatannya terdiri dari unsur subjektif: dengan sengaja,
unsur objektif: melukai berat orang lain. Adapun sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana penganiayaan berat ini adalah:
a. Apabila pelaku dengan sengaja melakukan penganiayaan berat
dihukum dengan penjara selama-lamanya 8 (delapan) tahun. Apabila
direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya 12
(dua belas) tahun penjara.
73
Ibid., hlm. 247.
b. Jika
tindak
pidana
penganiayaan
tersebut
mengakibatkan
meninggalnya seseorang pelaku dihukum penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun.
Dalam tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak termasuk
dalam jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 356 ayat (1) tersebut.
Sehingga apabila tindak pidana penganiayaan ringan tersebut dilakukan
terhadap orang-orang dalam lingkup rumah tangga, maka tidak termasuk dalam
kategori tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
352 tersebut, tetapi tetap dikategorikan dalam tindak pidana penganiayaan yang
memberatkan hukuman sebagaimana dalam Pasal 356 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).74
Dalam Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan ringan adalah tindak pidana
penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan
jabatan atau pekerjaan kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana ini dikategorikan
sebagai kejahatan ringan yang akibat atau rasa sakit yang ditimbulkan terhadap
korban tidaklah berat sehingga tidak mengganggu kesehatan korban secara
signifikan.
74
R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 246.
Ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan ringan ini
adalah pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah. Percobaan terhadap tindak
pidana ini tidak dapat dihukum. Namun tindak pidana ini yang dilakukan dengan
perencanaan terlebih dahulu tidak termasuk dalam ruang lingkup pasal ini.
Dari penjabaran di atas, tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan
sanksi pidana dari tiap-tiap tindak pidana penganiayaan sesuai dengan unsurunsur perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya tindak pidana
tersebut. Semua jenis tindak pidana penganiayaan dalam ketentuan undangundang ini termasuk dalam delik biasa sebab tidak ada diatur mengenai jenis delik
dalam pasal-pasal tindak pidana penganiayaan tersebut .
Dalam ketentuan hukum mengenai tindak pidana penganiayaan dalam
rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) ini, tidak ada mengatur secara khusus mengenai perlindungan dan
pemulihan terhadap korban. Adapun mekanisme yang dapat ditempuh oleh korban
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Hukuman pokok yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
penganiayaan lebih banyak bersifat hukuman langsung terhadap fisik (hukuman
penjara). Alternatif hukuman selain penjara hanya ada berupa hukuman denda
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 351.
Hukuman tambahan juga dapat dijatuhkan kepada pelaku hanya pada
tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga yang termuat dalam Pasal 353
tentang penganiayaan yang direncanakan dan Pasal 355 tentang penganiayaan
berat yang direncanakan yakni berupa pencabutan hak sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nomor 1 sampai
dengan 4 yang terdiri dari:
1. Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan
2. Hak untuk dapat masuk ke dalam angkatan bersenjata
3. Hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum
4. Hak untuk menjadi penasehat, wali, wali yang diakui negara, kurator,
dan kurator pengawas atas orang lain dan anaknya sendiri
Terhadap hukuman tambahan ini tidak ada kewajiban bagi hakim untuk
menjatuhkannya pada setiap tindak pidana tersebut, hakim hanya menjatuhkan
hukuman tambahan tersebut apabila berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hukumnya, hakim berpendapat bahwa hukuman tambahan tersebut perlu
dijatuhkan terhadap pelaku.
Cakupan berlakunya ketentuan pidana dalam tindak pidana penganiayaan
terhadap istri ini adalah bagi setiap subjek hukum yang tidak terdapat alasan
pemaaf maupun pembenar serta mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.
Dalam proses peradilan pidananya, harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formilnya dan proses pemeriksaan
dimuka pengadilan menggunakan acara pemeriksaan biasa.
C. Perbedaan Rumusan Tindak Pidana Kekerasan Fisik/Penganiayaan
terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP)
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan timbulnya rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat. Sedangkan dalam tindak pidana penganiayaan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu
perbuatan yang menyebabkan timbulnya rasa sakit atau luka pada tubuh
seseorang.
Berdasarkan dari defenisi di atas, kekerasan fisik terhadap istri dan tindak
pidana penganiayaan terhadap istri terdapat kesamaan dalam hal unsur-unsurnya
maupun akibat dari perbuatannya walaupun ada perbedaan istilah pada kedua
rumusan tindak pidana yang diatur dalam kedua peraturan perundang-undangan
tersebut. Secara umum pada kedua bentuk tindak pidana tersebut menyatakan
bahwa akibat dari terjadinya tindak pidana itu mengakibatkan timbulnya
penurunan kesehatan dan timbulnya penderitaan pada tubuh istri yang menjadi
korbannya.
Kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan
bagian dari ketentuan tindak pidana khusus yang pengaturannya diluar dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian berlakulah asas lex
specialis derogat lex generalis (ketentuan hukum yang bersifat khusus
mengenyampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum). Asas tersebut telah
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang termuat di
dalam Pasal 63 ayat (2) yang mengatur bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam
suatu aturan pidana yang umum, kemudian diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Dalam hal ini ketentuan yang bersifat khusus adalah kekerasan fisik yang
diatur dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dan ketentuan yang bersifat umum adalah tindak pidana
penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sehingga dengan demikian setiap perbuatan tindak pidana penganiayaan
atau kekerasan fisik yang dilakukan dalam rumah tangga termasuk dalam ruang
lingkup Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga sehingga proses penegakan hukumnya menggunakan ketentuan
dalam undang-undang tersebut dan mengenyampingkan ketentuan yang bersifat
umum yakni tindak penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Begitu juga selama tidak ada ketentuan yang bersifat khusus tersebut,
maka tetap berlaku ketentuan yang bersifat umum. Seperti dalam tindak pidana
penganiayaan yang dilakukan dalam rumah tangga termasuk dalam ruang lingkup
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga sebagai ketentuan yang bersifat khusus. Sedangkan terhadap tindak
pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap orang lain diluar anggota keluarga
tetap menggunakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sebagai ketentuan yang bersifat umum.
Perkembangan kriminalitas di masyarakat juga telah mendorong lahirnya
ketentuan pidana khusus yang pengaturannya ada di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang
pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.75
Tujuan daripada dibentuknya pengaturan terhadap tindak-tindak pidana
yang bersifat khusus ini adalah untuk mengisi kekurangan ataupun kekosongan
hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan
berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana materil maupun
formil.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada dasarnya
juga telah diatur mengenai tindak penganiayaan yang dilakukan terhadap istri
dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang termuat dalam Pasal 356 ayat (1).
Namun dalam ketentuan Pasal tersebut tidak ada dijelaskan secara khusus
mengenai istilah rumah tangga tetapi dalam rumusannya hanya menjelaskan
bahwa tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap ibu, bapak, suami,
istri dan anak dari pelaku dengan bentuk tindak pidana penganiayaan yang
ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab Undang-Undang Hukum
75
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 10-11.
Pidana (KUHP) maka hukumannya dapat ditambah sepertiga dari masing-masing
hukuman tindak pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut.
Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dapat dijatuhi
hukuman pidana adalah setiap orang yang melakukan kekerasan fisik terhadap:
a. Suami, istri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) ruang lingkup rumah tangga hanya mencakup ibu, bapak,
suami, istri, dan anak dari pelaku saja.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ruang lingkup selain yang
disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di atas, juga
mengalami perluasan ruang lingkup yang meliputi orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang yang sebagaimana dimaksud pada karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga dan orang yang bekerja membantu rumah tangga
dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Dalam rumusan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seseorang yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan pelaku juga menjadi subjek hukum dalam tindak
pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga dengan syarat orang itu bekerja dan
menetap dalam rumah tangga tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2
huruf c undang-undang tersebut.
Sehingga dapat diketahui bahwa ruang lingkup cakupan pada tindak
pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding tindak pidana penganiayaan dalam
rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku, terdapat perbedaan
rumusan antara kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dengan Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Pada tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
pelaku dijatuhi sanksi pidana seseuai dengan akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya tersebut setelah memenuhi unsur-unsur utama sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Sedangkan pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri pada Pasal
356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dikategorikan
sebagai tindak pidana penganiayaan dengan pemberatan yang hukuman terhadap
pelaku dapat ditambah sepertiga sesuai dengan jenis tindak pidana penganiayaan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun perbedaan maksimal hukuman pidana pada kedua rumusan
tindak pidana tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1
Perbedaan Sanksi Pidana Maksimum Tindak Pidana Kekerasan
Fisik/Penganiayaan terhadap Istri yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Jenis tindak pidana
Penganiayaan biasa
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004
Paling lama 5 (lima tahun)
penjara atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000,00
(lima belas juta rupiah)
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
Paling lama 2 (dua) tahun
8 (delapan) bulan penjara
atau denda paling banyak
Rp. 4.500,00 (empat ribu
lima ratus rupiah)
Apabila ditambah
sepertiga:
Paling lama kurang lebih
3 (tiga) tahun 8 (delapan)
bulan penjara
Penganiayaan yang
mengakibatkan luka
berat
Paling lama 10 (sepuluh)
tahun penjara atau denda
paling banyak Rp.
30.000.000 (tiga puluh juta
rupiah)
Penganiayaan yang
mengakibatkan
kematian
Paling lama 15 (lima belas)
tahun penjara atau denda
paling banyak Rp.
45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah)
Paling lama 5 (lima) tahun
penjara
Apabila ditambah
sepertiga:
Paling lama kurang lebih
6 (enam) tahun 6 (enam)
bulan penjara
Paling lama 7 (tujuh)
tahun penjara
Apabila ditambah
sepertiga:
Paling lama kurang lebih
9 (sembilan) tahun 3
(tiga) bulan penjara
Paling lama 4 (empat) bulan (Penganiayaan yang
dilakukan terhadap istri
penjara atau denda paling
tidak digolongkan dalam
banyak Rp. 5.000.000,00
penganiayaan ringan)
(lima juta rupiah)
Pada tabel ketentuan tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang
Penganiayaan ringan
dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah
ketentuan Pasal 356 ayat (1) juncto Pasal 351 dengan ditambah sepertiganya.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga tidak ada dijelaskan lebih rinci mengenai jenis-jenis tindak
pidana kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), sehingga penulis menganggap ketentuan dalam Pasal
351 tersebut adalah yang paling sesuai berdasarkan unsur-unsur yang termuat di
dalam ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Berdasarkan pada uraian
dapat terlihat perbedaan hukuman pidana
pokok antara tindak pidana kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri dalam
rumah tangga pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Sanksi pidana
terhadap pelaku kekerasan fisik terhadap istri dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai
hukuman maksimum yang lebih tinggi dan denda maksimum yang jauh lebih
banyak daripada sanksi pidana tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga telah diatur mengenai bentuk tindak pidana
kekerasan fisik ringan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (4).
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana
penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 352 apabila dilakukan
terhadap istri ataupun anggota keluarga lainnya di dalam lingkup rumah tangga
tidak dapat digolongkan dalam tindak pidana penganiayaan ringan.
Dengan demikian, setiap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan
terhadap bapak, ibu, anak, istri, atau suami pelaku tetap berlaku ketentuan Pasal
356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain bentuk pidana pokok, pada kedua aturan hukum tersebut juga
diatur mengenai bentuk pidana tambahan. Namun bentuk pidana tambahan dalam
tindak pidana kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri yang diatur pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga berbeda dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pelaku tindak pidana kekerasan
fisik terhadap istri, pelaku dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang berupa:
1. Pembatasan gerak pelaku yang bertujuan untuk menjauhkan korban dalam jarak
dan waktu tertentu , maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku
2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga
tertentu
Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
hukuman tambahan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap istri
diatur dalam Pasal 357 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bentuk
hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku hanya berlaku pada
ketentuan Pasal 356 ayat (1) juncto Pasal 353 tentang penganiayaan yang
direncanakan dan Pasal 355 tentang penganiayaan berat yang direncanakan, yang
berupa pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Kitab UndangUndang Hukum Pidana nomor 1 sampai dengan 4 yang terdiri dari:
1. Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan
2. Hak untuk dapat masuk ke dalam angkatan bersenjata
3. Hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum
4. Hak untuk menjadi penasehat, wali, wali yang diakui negara, kurator, dan
kurator pengawas atas orang lain dan anaknya sendiri
Jenis delik yang terdapat dalam tindak kekerasan fisik terhadap istri
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga tangga dibedakan dalam delik biasa dan delik aduan.
Semua jenis tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri termasuk dalam delik
biasa kecuali pada tindak pidana kekerasan fisik ringan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari yang termasuk dalam delik aduan.
Sedangkan pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri sebagaimana
yang diatur Pasal dalam 356 ayat (1) juncto Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada disebutkan mengenai tindak
pidana penganiayaan yang termasuk dalam delik aduan maupun delik biasa.
Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua jenis tindak pidana
penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut
termasuk dalam delik biasa yang penyelesaiannya harus dengan menggunakan
ketentuan hukum pidana.
Mengenai aspek perlindungan terhadap korban, dalam dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga diatur secara rinci mengenai hal tersebut yang terdiri dari:
1. Hak-hak korban
2. Kewajiban pemerintah dan masyarakat
3. Pemulihan terhadap korban
Sedangkan dalam tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga
sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tidak ada mengatur aspek-aspek perlindungan korban sebagaimana yang diatur
dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Pada dasarnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tidak mengatur mengenai pemberian ganti rugi ataupun perlindungan terhadap
korban sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan. Ganti rugi terhadap
korban hanya diatur dalam Pasal 14c pada hukuman pidana bersyarat. Namun
ganti rugi disini bukan sebagai jenis atau bentuk pidana, melainkan hanya sebagai
syarat agar pelaku tidak menjalani pidana pokok yang dijatuhkan oleh Majelis
Hakim.76
Sehingga pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mekanisme yang dapat
ditempuh oleh korban untuk menuntut hak-haknya dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia adalah sama dengan tindak pidana lainnya secara umum, yakni hanya
dalam bentuk mendapatkan ganti rugi.
Tata cara untuk mendapatkan ganti rugi tersebut adalah dengan meminta
hakim yang menangani perkara tersebut untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian ke dalam perkara tindak pidana penganiayaan tersebut yang
dilakukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan sanksi pidana
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
76
Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Persfektif Viktimologi dan Kriminologi,
Kencana Pramedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 173.
BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI
JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik terhadap Istri
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Suatu perbuatan digolongkan dalam tindak pidana kekerasan fisik
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini apabila kekerasan tersebut
dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan darah, kekerabatan,
atau orang lain yang bekerja dan menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut,
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu:
1. Suami, istri, dan anak
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga
dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan fisik didefenisikan
sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Namun dalam Pasal 6 tersebut tidak dijelaskan mengenai klasifikasi dan
bentuk-bentuk daripada tindak kekerasan fisik tersebut tetapi dijelaskan hanya
akibat dari perbuatan kekerasan fisik tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kekerasan fisik ini merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
memberikan rasa tidak enak (rasa sakit) pada diri seseorang sehingga
menyebabkan timbulnya akibat-akibat tersebut.
Dalam rumusan Pasal 6 tersebut selain memuat mengenai batasan
pengertian dari kekerasan fisik tersebut sekaligus juga memuat unsur-unsur dari
tindak pidananya tersebut sebagai persyaratan untuk menggolongkan suatu
perbuatan dalam sebuah tindak pidana dan harus dibuktikan satu persatu dalam
persidangan. Adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan,
2. Yang mengakibatkan,
3. Rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat
Dalam rumusan tindak kekerasan fisik tersebut terdapat unsur
“perbuatan” yang berarti adalah perbuatan seeorang yang dilakukan secara sadar
dan sengaja, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, atau mungkin keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan tersebut yang dilakukan oleh subjek hukum
yang mampu bertanggungjawab.65 Perbuatan dalam ketentuan rumusan ini dapat
diartikan sebagai perbuatan yang melukai fisik seperti memukul dengan tangan
kosong, menendang, menampar, mencekik, memukul dengan benda, dan lain
sebagainya.
65
Sudarto, op. cit., hlm. 41.
Sedangkan unsur “yang mengakibatkan” merupakan timbulnya suatu
bentuk atau keadaan baru bagi orang atau korban yang mengalaminya akibat
terjadinya perbuatan kekerasan fisik tersebut.
Bentuk atau keadaan baru bagi orang yang mengalami kekerasan fisik
tersebut yang berupa “rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”. Pengertian dari rasa
sakit ini adalah suatu keadaan dimana korban mengalami penurunan kesehatan
atau penderitaan yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau tidak enak pada
anggota tubuh tertentu.
Sedangkan jatuh sakit dapat dipahami sebagai keadaan dimana seseorang
yang mengalami penurunan kesehatan atau penderitaan yang akut dan
menyebabkan terganggunya keadaan fisik menjadi tidak normal sehingga tidak
dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
Luka berat merupakan penyakit atau luka yang diharapkan tidak akan
sembuh lagi dengan sempurna atau mendatangkan bahaya maut, terus menerus,
tidak cakap lagi menjalankan jabatan atau pekerjaan, gangguan terhadap panca
indera, gugurnya kandungan seorang perempuan, dan kematian pada korban.66
Kekerasan fisik ini dapat dibagi dalam kekerasan fisik berat dan
kekerasan fisik ringan yang dilihat dari akibat perbuatannya tersebut seperti: 61
1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
menyundut, melakukan percobaan pembunuhan, atau pembunuhan dan semua
perbuatan lain yang mengakibatkan:
66
61
Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)
http://lbh.apik.or.id/kdrt-bentuk.html diakses tanggal 15 April 2015 pukul 22.00 WIB
a. Cedera berat
b. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
c. Pingsan
d. Luka berat pada tubuh korban yang sulit disembuhkan atau
menyebabkan bahaya mati
e. Kehilangan salah satu panca indera
f. Mendapat cacat
g. Gugurnya kandungan seorang perempuan
h. Kematian korban
2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, atau
perbuatan lain yang mengakibatkan:
a. Cedera ringan
b. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat
Kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini
menimbulkan ketentuan-ketentuan pidana terhadap siapa saja yang secara sah dan
meyakinkan terbukti melakukan tindak kekerasan fisik yang dilakukan terhadap
istri dalam lingkup rumah tangga. Dalam pengaturan mengenai sanksi pidana
terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik ini, hukuman terhadap pelalu
dibedakan berdasarkan akibat-akibat yang ditimbulkan daripada perbuatan pelaku
tersebut.
Adapun pengaturan tentang penjatuhan sanksi pidana dijatuhkan secara
terpisah sesuai dengan perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana
kekerasan fisik terhadap istri tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 44 Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap suami terhadap istri atau sebaliknya tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana dengan pidana 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku, hakim juga dapat
menjatuhkan pidana tambahan terhadap pelaku seperti yang tercantum dalam
Pasal 50 Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang terdiri dari:
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan
lembaga tertentu.
Ketentuan pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 44 undangundang ini tergolong dalam rumusan tindak pidana berbentuk gekwalifikasir yang
dalam rumusannya hanya memuat unsur perbuatannya dan disertai dengan unsur
pemberatannya saja. Dalam tindak kekerasan fisik yang dikategorikan sebagai
tindak pidana kekerasan fisik ringan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal
44 ayat (4) dijadikan sebagai delik aduan.67
Akibat dari berlakunya delik aduan ini maka proses penegakan hukum
sesuai dengan mekanisme hukum pidana hanya baru dapat dilakukan apabila
adanya pengaduan dari pihak korban yang merasa dirugikan atas suatu tindak
pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga dan pihak korban atau pihak yang
merasa dirugikan tersebut dapat juga mencabut tuntutannya tersebut terhadap
pelaku sehingga mengakibatkan berhentinya proses penyidikan dan menutup
perkara tindak pidana tersebut.
Diberlakukannya delik aduan dalam ketentuan pasal ini dilatarbelakangi
oleh karena akibat yang timbulkan dari kekerasan fisik sebagaimana tercantum
dalam pasal tersebut tidak menimbulkan akibat atau penderitaan yang parah
seperti sakit, jatuh sakit, ataupun luka parah. Sehingga penyelesaian dari tindak
pidana tersebut selain dengan ketentuan hukum pidana, dapat juga diselesaikan
secara kekeluargaan atau mediasi apabila pihak yang menjadi korban tindak
pidana mencabut tuntutannya.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat ayat (1), (2), dan (3)
merupakan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga berat sehingga
dijadikan sebagai delik biasa yang proses penuntutannya dilakukan tanpa harus
67
Pasal 51 Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
menunggu adanya pengaduan dari pihak korban. Proses hukumnya juga tidak
dapat dihentikan meskipun pihak istri atau korban telah mencabut tuntutannya dan
pelaku harus tetap mempertanggungjawabakan perbuatannya tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum pidana. Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana
yang tercantum dalam ketentuan pasal-pasal tersebut bersifat publik.
Hal yang melatarbelakangi tindak pidana tersebut dijadikan sebagai delik
biasa adalah sebab pada tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang
dirumusakan dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) mengakibatkan timbulnya
akibat yang besar dan sangat merugikan pihak iatri sebagai korban.
Sehingga untuk memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain
untuk melakukan perbuatan serupa, maka tindak pidana tersebut dimasukkan
dalam delik biasa yang penyelesaiannya menggunakan ketentuan hukum pidana
dan mempunyai hukuman pidana maksimum yang tinggi serta denda maksimum
yang besar.
Dalam undang-undang ini juga diatur secara rinci mengenai hak-hak istri
sebagai korban tindak pidana kekerasan fisik yang terdiri dari mendapatkan
perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan secara khusus yang berkaitan
dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial atau bantuan
hukum, dan pelayanan bimbingan rohani serta diatur juga mengenai kewajiban
masyarakat untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan
perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Dalam proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
fisik terhadap istri menggunakan hukum acara yang digunakan adalah ketentuan
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia pada saat ini yakni UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang disebut
juga sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun
dapat juga dilakukan perubahan apabila ditentukan lain sesuai dengan Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
tergantung dari jenis tindak pidana dan korbannya.
Sehingga dengan demikian, pada setiap proses penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan dan pembuktian di muka persidangan terhadap pelaku kekerasan
fisik terhadap istri ini harus sesuai dan berdasarkan dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) demi menjamin perlindungan dan hak-hak asasi pelaku.
B. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan terhadap Istri dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana
penganiayaan terhadap istri tergolong dalam kejahatan terhadap badan seseorang
dan di defenisikan sebagai perbuatan yang sengaja mengakibatkan rasa tidak enak,
sakit, atau luka pada tubuh korban. Atau dalam pengertian lain penganiayaan
adalah “sengaja merusak kesehatan orang lain”. Setiap perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati
batas yang diizinkan.68
68
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1994, hlm. 245.
Tindak pidana penganiayaan terhadap istri pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bukum II Bab XX, Pasal 356 ayat (1) yang
termasuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan tertentu yang memberatkan
Hukuman.
Dalam Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tersebut hukuman terhadap pelaku dapat ditambah dengan sepertiga dari hukuman
tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353,
354, dan 355. Dalam Pasal 356 ayat (1), berlakunya ketentuan pasal tersebut
apabila tindak pidana penganiayaan tersebut dilakukan terhadap ibu, bapak,
suami, istri dan anak pelaku.
Diaturnya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap sesama
anggota keluarga dalam lingkup rumah tangga karena tindak pidana tersebut
dipandang sebagai perbuatan yang lebih buruk dan mempunyai kesalahan yang
lebih besar daripada penganiayaan terhadap orang lain.
Tujuan diperberatnya hukuman pada tindak penganiayaan tersebut adalah
suntuk melindungi kerukunan rumah tangga dan mencegah dilakukannya
penganiayaan dalam rumah tangga Sebab terhadap sesama anggota keluarga
seharusnya bersikap dan bertindak penuh kasih sayang, sebab diantara mereka ada
hubungan ketergantungan, masing-masing saling membutuhkan, dan keterikatan
batin.69
69
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Press, Jakarta,
2010, hlm. 37.
Adapun jenis-jenis tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 356 ayat (1) tersebut dapat di kategorikan dalam beberapa
bentuk yaitu:
1. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa
Tindak pidana penganiayaan biasa ini diatur dalam Pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari rumusan pasal ini tidak memuat
tentang unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut tetapi hanya
menyebutkan kualifikasi umum dari tindak pidana penganiayaan dan ancaman
hukuman terhadap orang melakukannya.
Berdasarkan rumusan pasal ini, tindak pidana penganiayaan biasa ini
merupakan suatu perbuatan merusakkan kesehatan seseorang yang menyebabkan
timbulnya rasa sakit atau luka pada tubuh seseorang.
Berdasarkan doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR, maka tindak
pidana penganiayaan dalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan
ditunjukkan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang
mana akibat tersebut merupakan tujuan dari si pelaku. Dari pengertian tersebut
maka penganiayaang mempunyai unsur-unsur sebagaimana berikut:
a. Adanya kesengajaan
b. Adanya perbuatan
c. Adanya akibat perbuatan (dituju) yakni:
1. Rasa sakit, tidak enak pada tubuh
2. Lukanya tubuh
d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan.
Walaupun unsur-unsur tersebut tidak ada dalam Pasal 351, akan tetapi
harus disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan di persidangan.70
Suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan biasa
ini telah cukup apabila telah termuat unsur-unsur yang dapat menyebabkan rasa
sakit atau luka sebagai tujuan atau kehendak dari pelaku. 71
Sehingga
walaupun
korbannya
sampai
meninggal
dunia,
tetap
dikategorikan sebagai tindak pengaiayaan biasa sebab tujuan pelaku melakukan
penganiayaan tersebut adalah hanya untuk memberikan rasa sakit atau luka pada
tubuh korban dan meninggalnya korban tersebut adalah diluar kehendak dari
pelaku.
Untuk membuktikan mengenai timbulnya rasa sakit atau luka akibat dari
suatu tindak pidana penganiayaan maka harus dibuktikan dari keterangan dokter
atau rumah sakit yang memeriksa korban tindak pidana penganiayaan itu.
Adapun sanksi pidana terhadap tindak penganiayaan biasa ini dibedakan
menjadi:
a. Tindak pidana penganiayaan dihukum penjara selama-lamanya 2
(dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara.
b. Jika perbuatan penganiayaan tersebut menjadikan luka berat, pelaku
dihukum selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara.
70
Ibid., hlm. 10.
71
Moch. Anwar, op. cit., hlm. 103.
c.
Jika perbuatan itu menyebabkan matinya korban, pelaku dihukum
selama-lamanya 7 (tujuh) tahun penjara.
Terhadap percobaan dalam melakukan tindak pidana penganiayaan biasa
ini tidak dapat dihukum.
2. Tindak Pidana Penganiayaan yang Direncanakan
Pengertian dari tindak pidana penganiayaan yang direncanakan ini bahwa
antara adanya maksud pelaku dengan terjadinya tindak pidana tersebut
mempunyai jeda waktu untuk pelaku memikir dan merancang bagaimana
penganiayaan itu dapat dilakukan.
Jeda waktu ini juga tidak boleh terlalu pendek dan juga tidak perlu terlalu
lama, yang terpenting adalah pelaku dapat dengan tenang berpikir guna
melakukan tindak pidana tersebut dan masih ada kesempatan untuk pelaku
membatalkan perbuatannya tersebut.72 Adapun sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana ini sebagaimana diatur dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), diantaranya adalah:
a. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa dihukum penjara selamalamanya 4 (empat) tahun.
b. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa yang menyebabkan luka
berat dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
c. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa yang menyebabkan
kematian dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun.
72
Ibid., hlm. 241.
Sedangkam dalam Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) diatur tentang penganiayaan berat yang direncanakan dengan sanksi
pidana sebagai berikut:
a. Terhadap tindak pidana penganiayaan berat yang direncanakan terlebih
dahulu dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun penjara.
b. Terhadap tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan
kematian dihukum penjara 15 (lima belas) tahun penjara.
3. Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Dalam rumusan Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), hal yang paling esensi dalam tindak pidana penganiayaan berat ini
adalah adanya niat dan maksud pelaku untuk menyebabkan luka berat pada diri
korban, namun apabila tidak ada niat atau maksud dari pelaku tersebut, maka
perbuatan pelaku tersebut digolongkan dalam penganiayaan biasa yang berakibat
luka berat atau kematian.73
Unsur-unsur perbuatannya terdiri dari unsur subjektif: dengan sengaja,
unsur objektif: melukai berat orang lain. Adapun sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana penganiayaan berat ini adalah:
a. Apabila pelaku dengan sengaja melakukan penganiayaan berat
dihukum dengan penjara selama-lamanya 8 (delapan) tahun. Apabila
direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya 12
(dua belas) tahun penjara.
73
Ibid., hlm. 247.
b. Jika
tindak
pidana
penganiayaan
tersebut
mengakibatkan
meninggalnya seseorang pelaku dihukum penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun.
Dalam tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak termasuk
dalam jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 356 ayat (1) tersebut.
Sehingga apabila tindak pidana penganiayaan ringan tersebut dilakukan
terhadap orang-orang dalam lingkup rumah tangga, maka tidak termasuk dalam
kategori tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
352 tersebut, tetapi tetap dikategorikan dalam tindak pidana penganiayaan yang
memberatkan hukuman sebagaimana dalam Pasal 356 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).74
Dalam Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan ringan adalah tindak pidana
penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan
jabatan atau pekerjaan kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana ini dikategorikan
sebagai kejahatan ringan yang akibat atau rasa sakit yang ditimbulkan terhadap
korban tidaklah berat sehingga tidak mengganggu kesehatan korban secara
signifikan.
74
R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 246.
Ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan ringan ini
adalah pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah. Percobaan terhadap tindak
pidana ini tidak dapat dihukum. Namun tindak pidana ini yang dilakukan dengan
perencanaan terlebih dahulu tidak termasuk dalam ruang lingkup pasal ini.
Dari penjabaran di atas, tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan
sanksi pidana dari tiap-tiap tindak pidana penganiayaan sesuai dengan unsurunsur perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya tindak pidana
tersebut. Semua jenis tindak pidana penganiayaan dalam ketentuan undangundang ini termasuk dalam delik biasa sebab tidak ada diatur mengenai jenis delik
dalam pasal-pasal tindak pidana penganiayaan tersebut .
Dalam ketentuan hukum mengenai tindak pidana penganiayaan dalam
rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) ini, tidak ada mengatur secara khusus mengenai perlindungan dan
pemulihan terhadap korban. Adapun mekanisme yang dapat ditempuh oleh korban
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Hukuman pokok yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
penganiayaan lebih banyak bersifat hukuman langsung terhadap fisik (hukuman
penjara). Alternatif hukuman selain penjara hanya ada berupa hukuman denda
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 351.
Hukuman tambahan juga dapat dijatuhkan kepada pelaku hanya pada
tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga yang termuat dalam Pasal 353
tentang penganiayaan yang direncanakan dan Pasal 355 tentang penganiayaan
berat yang direncanakan yakni berupa pencabutan hak sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nomor 1 sampai
dengan 4 yang terdiri dari:
1. Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan
2. Hak untuk dapat masuk ke dalam angkatan bersenjata
3. Hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum
4. Hak untuk menjadi penasehat, wali, wali yang diakui negara, kurator,
dan kurator pengawas atas orang lain dan anaknya sendiri
Terhadap hukuman tambahan ini tidak ada kewajiban bagi hakim untuk
menjatuhkannya pada setiap tindak pidana tersebut, hakim hanya menjatuhkan
hukuman tambahan tersebut apabila berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hukumnya, hakim berpendapat bahwa hukuman tambahan tersebut perlu
dijatuhkan terhadap pelaku.
Cakupan berlakunya ketentuan pidana dalam tindak pidana penganiayaan
terhadap istri ini adalah bagi setiap subjek hukum yang tidak terdapat alasan
pemaaf maupun pembenar serta mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.
Dalam proses peradilan pidananya, harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formilnya dan proses pemeriksaan
dimuka pengadilan menggunakan acara pemeriksaan biasa.
C. Perbedaan Rumusan Tindak Pidana Kekerasan Fisik/Penganiayaan
terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP)
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan timbulnya rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat. Sedangkan dalam tindak pidana penganiayaan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu
perbuatan yang menyebabkan timbulnya rasa sakit atau luka pada tubuh
seseorang.
Berdasarkan dari defenisi di atas, kekerasan fisik terhadap istri dan tindak
pidana penganiayaan terhadap istri terdapat kesamaan dalam hal unsur-unsurnya
maupun akibat dari perbuatannya walaupun ada perbedaan istilah pada kedua
rumusan tindak pidana yang diatur dalam kedua peraturan perundang-undangan
tersebut. Secara umum pada kedua bentuk tindak pidana tersebut menyatakan
bahwa akibat dari terjadinya tindak pidana itu mengakibatkan timbulnya
penurunan kesehatan dan timbulnya penderitaan pada tubuh istri yang menjadi
korbannya.
Kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan
bagian dari ketentuan tindak pidana khusus yang pengaturannya diluar dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian berlakulah asas lex
specialis derogat lex generalis (ketentuan hukum yang bersifat khusus
mengenyampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum). Asas tersebut telah
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang termuat di
dalam Pasal 63 ayat (2) yang mengatur bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam
suatu aturan pidana yang umum, kemudian diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Dalam hal ini ketentuan yang bersifat khusus adalah kekerasan fisik yang
diatur dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dan ketentuan yang bersifat umum adalah tindak pidana
penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sehingga dengan demikian setiap perbuatan tindak pidana penganiayaan
atau kekerasan fisik yang dilakukan dalam rumah tangga termasuk dalam ruang
lingkup Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga sehingga proses penegakan hukumnya menggunakan ketentuan
dalam undang-undang tersebut dan mengenyampingkan ketentuan yang bersifat
umum yakni tindak penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Begitu juga selama tidak ada ketentuan yang bersifat khusus tersebut,
maka tetap berlaku ketentuan yang bersifat umum. Seperti dalam tindak pidana
penganiayaan yang dilakukan dalam rumah tangga termasuk dalam ruang lingkup
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga sebagai ketentuan yang bersifat khusus. Sedangkan terhadap tindak
pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap orang lain diluar anggota keluarga
tetap menggunakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sebagai ketentuan yang bersifat umum.
Perkembangan kriminalitas di masyarakat juga telah mendorong lahirnya
ketentuan pidana khusus yang pengaturannya ada di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang
pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.75
Tujuan daripada dibentuknya pengaturan terhadap tindak-tindak pidana
yang bersifat khusus ini adalah untuk mengisi kekurangan ataupun kekosongan
hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan
berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana materil maupun
formil.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada dasarnya
juga telah diatur mengenai tindak penganiayaan yang dilakukan terhadap istri
dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang termuat dalam Pasal 356 ayat (1).
Namun dalam ketentuan Pasal tersebut tidak ada dijelaskan secara khusus
mengenai istilah rumah tangga tetapi dalam rumusannya hanya menjelaskan
bahwa tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap ibu, bapak, suami,
istri dan anak dari pelaku dengan bentuk tindak pidana penganiayaan yang
ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab Undang-Undang Hukum
75
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 10-11.
Pidana (KUHP) maka hukumannya dapat ditambah sepertiga dari masing-masing
hukuman tindak pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut.
Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dapat dijatuhi
hukuman pidana adalah setiap orang yang melakukan kekerasan fisik terhadap:
a. Suami, istri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) ruang lingkup rumah tangga hanya mencakup ibu, bapak,
suami, istri, dan anak dari pelaku saja.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ruang lingkup selain yang
disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di atas, juga
mengalami perluasan ruang lingkup yang meliputi orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang yang sebagaimana dimaksud pada karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga dan orang yang bekerja membantu rumah tangga
dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Dalam rumusan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seseorang yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan pelaku juga menjadi subjek hukum dalam tindak
pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga dengan syarat orang itu bekerja dan
menetap dalam rumah tangga tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2
huruf c undang-undang tersebut.
Sehingga dapat diketahui bahwa ruang lingkup cakupan pada tindak
pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding tindak pidana penganiayaan dalam
rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku, terdapat perbedaan
rumusan antara kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dengan Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Pada tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
pelaku dijatuhi sanksi pidana seseuai dengan akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya tersebut setelah memenuhi unsur-unsur utama sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Sedangkan pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri pada Pasal
356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dikategorikan
sebagai tindak pidana penganiayaan dengan pemberatan yang hukuman terhadap
pelaku dapat ditambah sepertiga sesuai dengan jenis tindak pidana penganiayaan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun perbedaan maksimal hukuman pidana pada kedua rumusan
tindak pidana tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1
Perbedaan Sanksi Pidana Maksimum Tindak Pidana Kekerasan
Fisik/Penganiayaan terhadap Istri yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Jenis tindak pidana
Penganiayaan biasa
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004
Paling lama 5 (lima tahun)
penjara atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000,00
(lima belas juta rupiah)
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
Paling lama 2 (dua) tahun
8 (delapan) bulan penjara
atau denda paling banyak
Rp. 4.500,00 (empat ribu
lima ratus rupiah)
Apabila ditambah
sepertiga:
Paling lama kurang lebih
3 (tiga) tahun 8 (delapan)
bulan penjara
Penganiayaan yang
mengakibatkan luka
berat
Paling lama 10 (sepuluh)
tahun penjara atau denda
paling banyak Rp.
30.000.000 (tiga puluh juta
rupiah)
Penganiayaan yang
mengakibatkan
kematian
Paling lama 15 (lima belas)
tahun penjara atau denda
paling banyak Rp.
45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah)
Paling lama 5 (lima) tahun
penjara
Apabila ditambah
sepertiga:
Paling lama kurang lebih
6 (enam) tahun 6 (enam)
bulan penjara
Paling lama 7 (tujuh)
tahun penjara
Apabila ditambah
sepertiga:
Paling lama kurang lebih
9 (sembilan) tahun 3
(tiga) bulan penjara
Paling lama 4 (empat) bulan (Penganiayaan yang
dilakukan terhadap istri
penjara atau denda paling
tidak digolongkan dalam
banyak Rp. 5.000.000,00
penganiayaan ringan)
(lima juta rupiah)
Pada tabel ketentuan tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang
Penganiayaan ringan
dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah
ketentuan Pasal 356 ayat (1) juncto Pasal 351 dengan ditambah sepertiganya.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga tidak ada dijelaskan lebih rinci mengenai jenis-jenis tindak
pidana kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), sehingga penulis menganggap ketentuan dalam Pasal
351 tersebut adalah yang paling sesuai berdasarkan unsur-unsur yang termuat di
dalam ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Berdasarkan pada uraian
dapat terlihat perbedaan hukuman pidana
pokok antara tindak pidana kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri dalam
rumah tangga pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Sanksi pidana
terhadap pelaku kekerasan fisik terhadap istri dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai
hukuman maksimum yang lebih tinggi dan denda maksimum yang jauh lebih
banyak daripada sanksi pidana tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga telah diatur mengenai bentuk tindak pidana
kekerasan fisik ringan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (4).
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana
penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 352 apabila dilakukan
terhadap istri ataupun anggota keluarga lainnya di dalam lingkup rumah tangga
tidak dapat digolongkan dalam tindak pidana penganiayaan ringan.
Dengan demikian, setiap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan
terhadap bapak, ibu, anak, istri, atau suami pelaku tetap berlaku ketentuan Pasal
356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain bentuk pidana pokok, pada kedua aturan hukum tersebut juga
diatur mengenai bentuk pidana tambahan. Namun bentuk pidana tambahan dalam
tindak pidana kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri yang diatur pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga berbeda dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pelaku tindak pidana kekerasan
fisik terhadap istri, pelaku dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang berupa:
1. Pembatasan gerak pelaku yang bertujuan untuk menjauhkan korban dalam jarak
dan waktu tertentu , maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku
2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga
tertentu
Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
hukuman tambahan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap istri
diatur dalam Pasal 357 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bentuk
hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku hanya berlaku pada
ketentuan Pasal 356 ayat (1) juncto Pasal 353 tentang penganiayaan yang
direncanakan dan Pasal 355 tentang penganiayaan berat yang direncanakan, yang
berupa pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Kitab UndangUndang Hukum Pidana nomor 1 sampai dengan 4 yang terdiri dari:
1. Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan
2. Hak untuk dapat masuk ke dalam angkatan bersenjata
3. Hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum
4. Hak untuk menjadi penasehat, wali, wali yang diakui negara, kurator, dan
kurator pengawas atas orang lain dan anaknya sendiri
Jenis delik yang terdapat dalam tindak kekerasan fisik terhadap istri
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga tangga dibedakan dalam delik biasa dan delik aduan.
Semua jenis tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri termasuk dalam delik
biasa kecuali pada tindak pidana kekerasan fisik ringan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari yang termasuk dalam delik aduan.
Sedangkan pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri sebagaimana
yang diatur Pasal dalam 356 ayat (1) juncto Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada disebutkan mengenai tindak
pidana penganiayaan yang termasuk dalam delik aduan maupun delik biasa.
Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua jenis tindak pidana
penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut
termasuk dalam delik biasa yang penyelesaiannya harus dengan menggunakan
ketentuan hukum pidana.
Mengenai aspek perlindungan terhadap korban, dalam dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga diatur secara rinci mengenai hal tersebut yang terdiri dari:
1. Hak-hak korban
2. Kewajiban pemerintah dan masyarakat
3. Pemulihan terhadap korban
Sedangkan dalam tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga
sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tidak ada mengatur aspek-aspek perlindungan korban sebagaimana yang diatur
dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Pada dasarnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tidak mengatur mengenai pemberian ganti rugi ataupun perlindungan terhadap
korban sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan. Ganti rugi terhadap
korban hanya diatur dalam Pasal 14c pada hukuman pidana bersyarat. Namun
ganti rugi disini bukan sebagai jenis atau bentuk pidana, melainkan hanya sebagai
syarat agar pelaku tidak menjalani pidana pokok yang dijatuhkan oleh Majelis
Hakim.76
Sehingga pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mekanisme yang dapat
ditempuh oleh korban untuk menuntut hak-haknya dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia adalah sama dengan tindak pidana lainnya secara umum, yakni hanya
dalam bentuk mendapatkan ganti rugi.
Tata cara untuk mendapatkan ganti rugi tersebut adalah dengan meminta
hakim yang menangani perkara tersebut untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian ke dalam perkara tindak pidana penganiayaan tersebut yang
dilakukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan sanksi pidana
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
76
Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Persfektif Viktimologi dan Kriminologi,
Kencana Pramedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 173.