Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah rumah tangga terbentuk sejak terjadinya pernikahan yang sah antara suami dan istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia,

kekal, dan sejahtera yang dilandasi oleh kasih sayang.1 Pada dasarnya di dalam

sebuah rumah tangga terdapat anggota-anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Namun dalam cakupan yang lebih luas juga termasuk orang yang memiliki hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan orang yang bekerja dan menetap dalam rumah tangga dianggap juga sebagai anggota keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan tugas masing-masing, seperti suami berperan sebagai ayah sekaligus kepala keluarga, yang bertugas untuk mencari nafkah, memberi pendidikan, dan melindungi anggota keluarganya dan istri berperan sebagai ibu mempunyai tugas untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya.

Peranan rumah tangga sangat penting dalam kehidupan setiap manusia, sebab di dalam kehidupan rumah tanggalah setiap manusia dapat berbagi kasih sayang, mendapat perlindungan, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di dalam rumah tangga juga setiap manusia saat ia masih bayi pertama kali berinteraksi dan mengenal lingkungannya. Keadaan dan didikan dalam rumah tangga memegang peranan penting dalam membentuk sikap dan karakter setiap

1

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 57.


(2)

anggota keluarga. Sehingga apabila interaksi di dalam rumah tangga dilakukan dengan penuh kasih sayang maka akan memberi pengaruh baik bagi pembentukan karakter anggota keluarga. Begitu juga sebaliknya, apabila interaksi di dalam keluarga dilakukan dengan kekerasan maka tersebut akan membawa pengaruh yang buruk bagi pembentukan karakter dan hubungan dalam keluarga tersebut.

Namun pada kenyataannya di masyarakat, interaksi yang dilakukan dengan kekerasan tersebut masih seringkali terjadi dalam sebuah rumah tangga yang diwujudkan dalam bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarganya yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan

penelantaran dalam rumah tangga.2

Berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014 yang mana sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan terjadi peningkatan jumlah kasus yakni sebanyak 20.000 kasus dibandingkan

pada tahun 2013.3 Sehingga dengan semakin tingginya angka tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga ini dari tahun ke tahun maka korbannya juga sudah begitu banyak.

Dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini, yang seringkali menjadi korbannya adalah perempuan sebagai istri yang dilakukan oleh atau

2

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

3

http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Laporan-KDRT-Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal, diakses tanggal 27 April 2015 pukul 17.00 WIB


(3)

suaminya.4 Laki-laki selain mempunyai fisik yang lebih kuat, juga beranggapan bahwa mereka mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripada istrinya sehingga membuat mereka sering kali menganggap perempuan lebih rendah dan dapat saja melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini terjadi disebabkan oleh faktor-faktor seperti istri tidak dapat memenuhi keinginan suaminya, masalah faktor ekonomi atau faktor-faktor pribadi lainnya dan bahkan hal-hal sepele sekalipun. Sehingga apabila timbul hal-hal tersebut pihak suami dapat dengan mudah terpancing emosinya lalu melakukan kekerasan terhadap istrinya.

Namun banyak pula dari istri yang menganggap perbuatan yang dilakukan suaminya tersebut merupakan bagian dari urusan pribadi rumah tangganya saja dan bukan merupakan sebuah tindak pidana walaupun akibat dari terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga ini menimbulkan penderitaan yang besar bagi pihak istri yang menjadi korban baik itu secara fisik maupun psikis dan bahkan mengakibatkan timbulnya halangan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Selain itu, kebanyakan dari suami merupakan tulang punggung satu-satunya bagi keluarga sehingga kekerasan yang dialami oleh istri tersebut didiamkan saja karena tidak ingin kehilangan orang yang memberi nafkah kepada kepada keluarganya. Maka akibat dari adanya anggapan-anggapan tersebut, tidak mengherankan jumlah tindak kekerasan dalam rumah tangga cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan dari pihak istri yang menjadi korban terbanyaknya.

4

Konsiderans Menimbang, huruf c, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(4)

Dalam teori lingkaran disebutkan mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya. Pada teori lingkaran tersebut kekerasan terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu tahap

munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut, dan tahap bulan madu.5

Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus menerus atau tidak saling memperhatikan yang kadang-kadang disertai kekerasan kecil. Namun semua ini dianggap sebagai bumbu perkawinan. Kemudian pada tahap kedua, kekerasan yang terjadi semakin hebat dan menimbulkan luka fisik yang parah. Kekerasan ini baru terhenti apabila istri pergi dari rumah atau suami sadar apa yang dia lakukan atau salah satu perlu dibawa ke rumah sakit. Sedangkan pada tahap ketiga yakni tahap bulan madu, suami sering menyesali perbuatannya lalu berjanji untuk tidak mengulangi lagi dan istri menjadi luluh lalu memaafkan. Itulah sebabnya perempuan memilih bertahan dan

cenderung mengabaikan kekerasan yang dialaminya tersebut.6

Dalam kekerasan dalam rumah tangga salah satu bentuk yang seringkali dilakukan adalah penganiayaan atau kekerasan fisik seperti yang disebutkan dalam teori lingkaran tersebut. Kekerasan fisik dapat dipahami sebagai perbuatan

yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat bagi korbannya.7 Pelaku

kekerasan fisik ini juga sebagian besar dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Bentuk-bentuk kekerasan fisik ini adalah seperti memukul dengan tangan kosong, memukul menggunakan benda, menarik rambut, menendang, mencekik,

5

Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 32.

6

Ibid.

7

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(5)

menyundut dengan rokok, memaksa melakukan suatu pekerjaan yang berat, dan sebagainya.

Kekerasan fisik terhadap istri ini merupakan sebuah perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia sejak dahulu dan mendapat ancaman hukuman yang berat. Hal ini dapat kita lihat di dalam Buku II Bab XX, Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditambah sepertiganya jika kejahatan itu dilakukan kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya, suaminya atau anaknya. Sehingga sudah jelas bahwa kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga sudah diatur sejak zaman Kolonial Belanda, yang mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Ancaman hukumannya pun lebih berat daripada penganiayaan atau kekerasan fisik yang dilakukan kepada orang lain diluar anggota keluarga. Sehingga secara tersirat menunjukkan bahwa peranan rumah tangga ini begitu besar dalam setiap diri manusia dan wajib dilindungi oleh negara.

Namun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengaturan mengenai kekerasan fisik dalam rumah tangga masih belum mengatur secara khusus aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut. Pengaturan tentang perbuatan kekerasan fisik terhadap istri hanya diatur dalam Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang aturan dalam pasal ini juga masih sangat terbatas cakupannya, seperti belum mengenal lingkup rumah tangga,


(6)

pemidanaan hanya berupa pidana penjara, belum ada mengatur tentang perlindungan dan hak-hak korban, serta tidak ada mengatur secara spesifik

mengenai bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.8

Sehingga ketentuan mengenai kekerasan fisik terhadap istri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut dirasa tidak sesuai lagi

dengan tuntuan dan perkembangan masyarakat sehingga pemerintah

mengeluarkan suatu aturan yang bersifat khusus yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berasaskan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Kesetaraan Gender, dan Keadilan Relasi Sosial dan Perlindungan Bagi Korban. Aturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dalam Undang-Undang ini terhadap pelaku lebih berat. Dalam undang-undang ini juga tidak hanya mengatur mengenai pemidanaan terhadap pelaku saja, tetapi juga mengatur hal-hal yang lebih spesifik seperti pencegahan, perlindungan terhadap korban, pemulihan korban, serta mengatur secara rinci bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan ruang lingkupnya. Undang-undang ini dilahirkan sebagai perwujudan negara dalam

memberikan perlindungan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.9

Salah satu aturan penting yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini adalah adanya rumusan pengaturan mengenai aspek perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk juga kekerasan fisik terhadap istri.

8

http://lbh-apik.or.id/kdrt-pentingnya.htm, di akses tanggal 5 April 2015 pukul 20.00 WIB

9

Bagian umum dari penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(7)

Dalam penegakan hukum pada kasus kekerasan fisik terhadap istri ini, tidak cukup hanya dengan memberi hukuman pidana saja kepada suami atau pelaku. Aspek perlindungan terhadap istri sebagai korban juga mempunyai peranan yang penting dan harus diperhatikan dalam setiap proses penegakan hukum dalam tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri.

Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri tidak saja menimbulkan akibat luka secara fisik pada korban. Namun juga berakibat pada dampak lain pada korban seperti merasa terancam dan tertekan akibat melaporkan suaminya ke pihak kepolisian, perasaan takut kekerasan yang dialaminya akan dialami lagi atau semakin parah, malu kepada masyarakat sebab telah membongkar hal yang dianggap masalah pribadi rumah tangga, sampai dengan takut kehilangan tulang punggung keluarga akibat diceraikan oleh suami ataupun karena suami masuk penjara.

Hal-hal tersebut semakin membuat korban dalam keadaan yang serba salah dan memperburuk keadaan korban. Sehingga untuk membantu korban dalam menghadapi kondisi yang diakibatkan dari tindakan kekerasan fisik tersebut dan memulihkan korban ke dalam keadaan semula, maka korban berhak untuk mendapatkan perlindungan seperti dari pihak kepolisian, pelayanan kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani, dan pendampingan hukum.

Dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang diakibatkan oleh tindak kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga tersebut, maka dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut sudah seharusnya


(8)

memperhatikan aspek-aspek perlindungan terhadap korban disamping penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku.

Berdasarkan uraian di atas membuat penulis tertarik untuk mengkaji dan meliti lebih mendalam bagaimanakah penerapan aspek perlindungan korban kekerasan fisik terhadap istri dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku berdasarkan analisis 4 (empat) putusan Pengadilan Negeri, yakni Putusan Nomor: 66/Pid.B/2014/PN.BJ, Putusan Nomor: 297/Pid.Sus/2014/PN Sgi, Putusan Nomor: 357/Pid.Sus/2014/PN.Lht, dan Putusan Nomor: 15/Pid.Sus/2015/PN

Bantul. Sehingga dengan demikian, skripsi ini diberi judul “Penerapan

Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana batasan kekerasan fisik terhadap istri jika dikaitkan dengan tindak

pidana penganiayaan menurut ketentuan hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan ketentuan pidana dalam kekerasan fisik terhadap istri


(9)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa tujuan dan manfaat sesuai

dengan permasalahan yang dibahas. Adapun beberapa tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui batasan antara kekerasan fisik dalam rumah tangga jika

dikaitkan dengan tindak pidana penganiayaan menurut ketentuan hukum pidana di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana dalam kekerasan fisik terhadap

istri ditinjau dari aspek perlindungan terhadap korban.

Adapun penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penulisan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan hukum dan dijadikan sebagai referensi dalam mempelajari maupun menjadi bahan kajian hukum bagi para akademisi ataupun praktisi hukum tentang penerapan ketentuan tindak pidana kekerasan terhadap istri yang ditinjau dari aspek perlindungan terhadap korban.

2. Secara Praktis

Dengan mempelajari penerapan ketentuan pidana dalam kekerasan fisik terhadap istri ditinjau dari aspek perlindungan korban, diharapkan masyarakat akan mengetahui aspek-aspek perlindungan terhadap istri sebagai korban dalam penerapan ketentuan pidana terhadap kasus kekerasan fisik terhadap istri berdasarkan analisis putusan pengadilan.


(10)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi yang berjudul “Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)” belum pernah diajukan atau belum pernah dilakukan penelitian dan merupakan karya asli dari penulis. Dengan demikian penulis siap untuk mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, dan Pertanggungjawaban Pidana

1.1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata

delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Berdasarkan rumusan yang

ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni: 10

1. Suatu perbuatan manusia;

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;

10


(11)

3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan

yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dari strafbaar feit

adalah: 11

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam peraturan

undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Seperti dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, Undang-Undang Nomor 11/PPNS/1963 tentang pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R.

Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”, Mr. Drs. H.J van Scravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam buku belau “Hukum Pidana”. Pembentukan Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga digunakan

untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur misalnya Prof. Drs. E.

11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 67-68.


(12)

Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peritiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku beliau “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana.

4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana

yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtamidjaja.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam

buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-Undang

dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau,

misalnya dalam buku Azas-Azas Hukum Pidana.

Sudarto: 12

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

“perbuatan jahat” atau “kejatahan” (crime atau Verbrechen atau

misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku

dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk

12

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1987, hlm. 40.


(13)

tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak

pidana.13

Dalam buku Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum karya Usman

Simanjuntak menjelaskan bahwa tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar

tertentu, yaitu:14

1. Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dibedakan

antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran

(overtredingen) dimuat dalam buku II.

2. Menurut cara memutuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel

delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten).

3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak sengaja (colpose delicten). 4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan menjadi tindak pidana

aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commisionis) dan

tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

13

Teguh Prasetyo, op. cit., hlm. 47

14

Usman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1984, hlm. 96.


(14)

Moeljatno: 15

Ada istilah lain yang dipakai dalam “hukum pidana”, yaitu tindak pidana. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak menteri kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang lebih abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaaan konkret, sebagaimana halnya dengan peritiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuata. Contoh: Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum (Pasal 127, 129, dan lain-lain).

Mengenai peristilahan ini, sesungguhnya tidak akan dipentingkan oleh

Moeljatno, kalau yang menjadi soal hanya tentang nama belaka. Tetapi bukan demikian halnya. Mereka yang memakai istilah: peristiwa pidana, tindak pidana, dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan maknanya

dengan istilah Belanda strafbaar feit. Kata-kata di atas adalah salinan belaka dan

strafbaar feit; sedangkan perbuatan pidana bukan demikian halnya.16

Apakah pengertian “perbuatan pidana” dari Moeljatno tersebut dapat

dipersamakan dengan istilah Belanda “strafbaarfeit”? Simons menerangkan

bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,

yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahandan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel

merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

15

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 60-61.

16


(15)

dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. 17

Jika melihat pengertian-pengertian ini maka disitu dalam pokoknya

ternyata:

1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku;

2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang

melakukan perbuatan tadi.

Mengenai yang pertama, ini berbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan + kejadian yang ditimbulkan

oleh kelakuan atau dengan pedek = kelakuan + akibat dan bukan kelakuan saja.18

1.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur tindak pidana merupakan persyaratan dalam penjatuhan pidana. Tidak dapat dijatuhkan pidana karena karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhi pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperlukan dua syarat: perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian, rumusan pengertian “perbuatan pidana” menjadi jelas: suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik,

bersifat melawan hukum dan dapat dicela.19

Perbuatan manusia merupakan sesuatu yang mempunyai keyakinan atau niat, tetapi dengan melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan maka dapat

17

Ibid.

18

Ibid., hlm. 62.

19


(16)

dipidana. Yang juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan

hukum. Dalam ruang lingkup rumusan delik yang tertulis harus dipenuhi.20

Bersifat melawan hukum merupakan suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya, sengaja

membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang).21

Dapat dicela diartikan sebagai suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun

tidak disebutkan dalam rumusan delik.22

Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidak-tidaknya dari 2 (dua) sudut pandang, yakni: dari sudut pandang teoritis dan sudut pandang undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dalam sudut undang-undang adalah sebagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan

yang ada.23

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

20

Ibid.

21

Ibid., hlm. 56.

22

Ibid.

23


(17)

ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir

(dunia).24

Jadi yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:25

1. Kelakuan dan akibat (=perbuatan).

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

4. Unsur melawan hukum yang objektif

5. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Dalam merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok, diharuskan

untuk mencantumkan unsur-unsur pokok dari sebuah tindak pidana. Dimaksud unsur pokok atau unsur esensial adalah berupa unsur yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan

menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.26

Dalam unsur pokok tindak pidana tersebut, terdiri dari unsur objektif dan

unsur subjektif. 27

1. Unsur objektif, termasuk didalamnya adalah:

a. Perbuatan orang.

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

c. Mungkin keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti

Pasal 281 KUHP bersifat “openbaar” atau dimuka umum.

24

Moeljatno, op. cit., hlm. 64.

25

Ibid., hlm. 69.

26

Adami Chazawi, op. cit., hlm. 113.

27


(18)

2. Unsur subjektif, yang termasuk di dalamnya adalah:

a. Orang yang mampu bertanggungjawab.

b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan

dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Contoh unsur-unsur pokok tersebut seperti dalam rumusan Pasal 368

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberi kualifikasi pemerasan,

terdapat unsur-unsur objektif dan subjektif seperti yang termuat dibawah ini.28

Unsur objektif terdiri dari:

a. Memaksa (tingkah laku).

b. Seseorang (yang dipaksa).

c. Dengan: kekerasan atau ancaman kekerasan.

d. Agar orang: menyerahkan benda, memberi uang, dan menghapuskan utang.

Unsur subjektif terdiri dari:

a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain b. Dengan melawan hukum.

Namun dalam rumusan suatu tindak pidana, ada juga rumusan yang

berbentuk gekwalifikasir yakni dimana hanya disebutkan nama kejahatannya saja

disertai dengan unsur pemberatan dan geprivilegeerd yakni dimana hanya

dicantumkan nama kejahatannya disertai dengan unsur peringanan. Pada

28


(19)

dasarnya unsur pokok dalam suatu tindak pidana telah disebutkan dalam rumusan

pada pasal yang lain sehingga pada rumusan yang berbentuk gekwalifikasir dan

geprivilegeerd tidak menyebutkan kembali unsur-unsur pokoknya. Contohnya seperti yang termuat dalam Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang termasuk dalam gekwalifikasir. Pada rumusan pasal tersebut hanya

disebutkan nama kejahatannya saja yaitu pencurian yang ditambah unsur lain yang memberatkan. Sedangkan unsur pokoknya sebagaimana yang dirumuskan

dalam Pasal 362. 29

1.3. Pertanggungjawaban Pidana

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan

adalah si pembuat harus mampu bertanggung jawab, dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud

dengan kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) ini Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskannya sehingga harus

dicari dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT).30

Adapun beberapa pendapat para sarjana mengenai defenisi dari

kemampuan bertanggungjawab, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Simons:

Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan

psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu

upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya. Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila:

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum

29

Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian khusus jilid I, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 15.

29


(20)

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. 2. Van Hammel:

Kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas

psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan:

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.

3. Van Bemmelen:

Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.

Menurut Memorie van Toelichting (MvT),tidak ada kemampuan

bertanggungjawab pada si pembuat, apabila:31

1. Si pembuat tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang; 2. Si pembuat ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak

dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memuat rumusan mengenai kapan seseorang mampu bertanggungjawab, tetapi hanya memuat ketentuan yang menunjuk ke arah itu, seperti ditentukan dalam Buku I, Bab III,

diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi:32

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit, tidak dapat dipidana.”

31

I Made Widnyana, op. cit., hlm. 59.

32


(21)

Apabila Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu

ditelaah, maka akan terlihat 2 (dua) hal, yaitu:33

1. Bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Yang bisa dan berwenang menentukan keadaan jiwa si pembuat pada saat ia melakukan perbuatan adalah dokter penyakit jiwa.

2. Menentukan hubungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian itu dengan perbuatannya. Yang berwenang menentukan hal ini adalah hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Adapun contoh sederhana yang dapat dipahami seperti misalnya seorang kanak-kanak bermain dengan korek api di pinggir rumah tetangga, lalu

menyalakan dinding rumah tersebut, sehingga menimbulkan bahaya umum baik terhadap barang maupun orang (Pasal 378). Bagaimanapun juga jelasnya bahwa anak itu itulah yang membakar rumah tersebut, setidak-tidaknya bahwa karena perbuatan anak itu rumah tadi terbakar (Pasal 188 ke-1), tetapi tidak ada seorang pun yang akan mengajukan dia ke muka hakim pidana untuk

dipertanggungjawabkan perbuatannya.34

Dari contoh tersebut, kiranya sudah dapat di duga ke arah mana letak jawabannya. Anak yang membakar rumah tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum mengerti makna perbuatan yang dia lakukan, disebabkan karena umurnya masih terlalu muda. Dikatakan bahwa

33

Ibid., hlm. 60.

34


(22)

karena pertumbuhan organ dan alat-alat jiwanya belum cukup penuh, maka fungsi

batin jiwanya juga belum sempurna.35

Agar seseorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana maka haruslah terdapat unsur-unsur yang terdapat dalam diri si pelaku, yaitu:

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab

Mengenai hal ini haruslah diambil sikap bahwa mengenai mampu

bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam

hal untuk menjatuhkan pidana dan bukan hal untuk terjadinya pidana.36

Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni (1) karena cacat dalam pertumbuhan atau (2) jiwanya terganggu karena penyakit. Orang dalam keadaan jiwa demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh

dipidana.37

Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab ini haruslah ada 2 (dua)

persyaratan yaitu:38

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

35

Ibid., hlm. 169.

36

Adami Chazawi, op. cit., hlm. 142.

37

Ibid., hlm. 143.

38


(23)

2. Mempunyai kesalahan

Sudarto:39

a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban pidana”, di dalamnya

terkandung makna dapat dicela (verwijtbaarheid) si pembuat atas

perbuatannya. Apabila orang dikatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka itu berarti ia dapat dicela atas perbuatannya.

b. Kesalahan dalam pengertian yuridis, yaitu bentuk kesalahan

(schuldvorm) yang berupa “kesengajaan” (dolus, opzet, vorzats, atau intention) atau “kealpaan” (culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau negligence.

c. Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang

disebutkan dalam b. di atas.

Unsur-unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana terdiri dari 2 (dua) macam yaitu:

a. Kesengajaan (Opzet)

Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu, ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok-pokok diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Biasanya diajarkan

bahwa kesengajaan (opzet) itu ada 3 (tiga) macam, yaitu: ke-1: kesengajaan yang

bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk), ke-2:

kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan

bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau

kesengajaan secara keinsyafan kepastian), dan ke-3: kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan akibat disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan

kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn

atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan). 40

39

I Made Widnyana, op. cit., hlm. 68.

40

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 65-66.


(24)

b. Ketidak hati-hatian (culpa)

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu

pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Menurut penulis Belanda, yang

dimaksud dengan culpa dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) adalah kesalahan yang agak berat. Istilah yang mereka gunakan adalah

grove schuld (kesalahan kasar). Juga merata diantara para penulis suatu pendapat

bahwa untuk culpa ini harus diambil sebagai ukuran bagaimana kebanyakan orang

dalam masyarakat bertindak dalam keadaan yang in concreto terjadi.41

3. Tidak terdapat alasan penghapus pidana

Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditunjukkan

kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang

yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana.42 Alasan penghapus pidana

ini secara umum terdiri dari 2 (dua) alasan yakni: a. Alasan Pembenar

Alasan pembenar atau rechtsvaardigingsgrond ini bersifat

menghapuskan sifat melawan hukum dan perbuatan yang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan dilarang. Karena sifat melawan

41

Ibid., hlm. 72-73.

42


(25)

hukumnya dihapuskan, maka perbuatan yang semula melawan hukum itu menjadi

dapat dibenarkan, dengan demikian pelakunya tidak dipidana.43

b. Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut

pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah

dilakukannya atau criminal responbility. Alasan pemaaf ini menghapuskan

kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan ini dapat

kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan: 44

a. Tidak dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvaatbaar)

b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess)

c. Daya paksa (overmacht)

Tidak dipidananya pelaku berdasarkan alasan penghapus pidana ini oleh

karena berdasarkan 2 (dua) hal sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan kedua hal tersebut hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada pelaku. Sementara bagaimana bentuk dan bunyi putusan hakim yang berkaitan dengan kedua hal tersebut tidak dinyatakan tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya menyebut “tidak boleh dipidana”. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak dipidananya pelaku tersebut akan membawa 2 (dua) bentuk putusan hakim yang berbeda.

Pertama mengakibatkan putusan bebas (vrijspraak), yaitu apabila hakim

berpendapat bahwa kesalahan terdakwa (pelaku) tidak terbukti secara sah dan

43

Teguh Presetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hlm. 126

44


(26)

meyakinkan. Dengan demikian putusan bebas ini menyangkut tentang unsur

kesalahan (yang terdapat dalam pribadi diri pelaku), yang tidak terbukti. 45

Kedua mengakibatkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum

(onstlag), apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa (pelaku) terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian putusan lepas ini menyangkut tentang perbuatan sebagai

unsur objektif dari suatu tindak pidana ditinjau dari sudut pembuktian.46

2. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah tangga ini melalui jalan dan proses yang panjang. Hal ini dimulai ketika dideklarasikannya tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1967. Deklarasi ini memuat hak dan kewajiban perempuan berdasarkan persamaan hak dengan laki-laki.

Dengan disahkannya Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan, Pemerintah Republik Indonesia melahirkan sebuah aturan hukum mengenai perlindungan hak-hak perempuan dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

45

M. Hamdan, op. cit., hlm. 44.

46


(27)

Dasar dari diratifikasinya deklarasi tersebut sebab dalam pemungutan suara pada konvensi tersebut, Indonesia memberikan suara setuju sebagai perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartispasi dalam usaha-usaha Internasional menghapus diskriminasi terhadap wanita karena isi konvensi tersebut sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan.47

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui resolusi Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 48/104 tanggal 20 Desember 1993

mengesahkan Deklarasi Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam deklarasi ini, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak, prinsip-prinsip, dan kebebasan dasar perempuan serta

bertentangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kekerasan terhadap perempuan diartikan sebagai setiap tindakan beedasarkan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologi, termasuk ancaman tindakan-tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara

sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.48

Dengan adanya deklarasi tersebut, dunia internasional memberikan

perhatian serius pada tindak kekerasan terhadap perempuan sehingga dilahirkan sebuah deklarasi yang secara jelas menentang terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun diseluruh dunia.

47

Bagian Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

48


(28)

Di Indonesia, dengan adanya deklarasi dan lahirnya peraturan perundang-undangan yang meratifikasi deklarasi tersebut pada kenyataannya belumlah dapat mengurangi angka diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga.

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang korban utamanya adalah

perempuan pada saat ini tidak lagi dipandang sebagai persoalan biasa dan aturan-aturan hukum yang termuat dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakat dalam melindungi hak-hak perempuan. Oleh karena itulah diperlukan sebuah aturan hukum yang bersifat khusus untuk mengatur secara spesifik

mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut dengan memperhatikan terhadap hak-hak dan perlindungan korban.

Akibat keprihatinan dari tingginya angka kasus tindak kekerasan

terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga, maka sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Perempuan yang tergabung dalam Jangkar (1998-1999) yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, Rifka An-Nisa, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Fatayat dan Muslimat Nadhlatul Ulama (NU), Gembala Baik, Savy Amira, SPeAK, LBH-Jakarta dan Derapwarapsari yang kemudian gabungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat ini melebur menjadi Jangka PKTP (Jaringan Kebijakan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan), ditambah dengan lembaga profesional seperti lembaga advokat mempelopori dan


(29)

mengadvokasi lahirnya ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang

perlindungan terhadap perempuan.49

Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan

Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan dalam bentuk pengobatan dan

perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.50

Pada perkembangan selanjutnya, perjuangan dalam advokasi Rancangan

Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya komisi VII, fraksi TNI, dan Golkar, juga bekerjasama dengan Forum Parlemen soal bagaimana sosialisasi itu bisa

dilakukan terhadap anggota Dewan yang akan me-loading Rancangan

Undang-Undang ini melalui jalur inisiatif. Sosialisasi ke masyarakat dilakukan dengan bekerjasama dengan LSM-LSM yang mendampingi program Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga bekerjasama dengan akademisi, anggota DPRD, dan

pemerintah setempat serta penegak hukum.51

49

Ratna Batara Munti, Suara Apik: Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Sebuah Bentuk Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”, LBH APIK, Jakarta, 2005, hlm. 3.

50

Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 Rumah, Pekarangan, dan Kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2005, Komnas Perempuan, Jakarta, 2005, hlm. 17.

51

Afriendi, Persfektif Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pascasarjana Ilmu Hukum Unand, Padang, 2011, hlm. 8.


(30)

Rancangan yang terdiri dari 14 bab dan 115 pasal dibuat dengan tarik ulur, yang disebabkan karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) tidak memuat jenis kekerasan dalam rumah tangga dalam pasal-pasalnya. Setelah melalui berbagai proses legislasi yang alot, Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut akhirnya berhasil disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 22 September 2004 dengan nama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4419).52

Tujuan utama dari dilahirkannya undang-undang ini adalah untuk:53

a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga d. Memelihara keutuhan rumah tangga

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindakan kekerasan

secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-undang ini selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga denga unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan dalam Kitab

52

Ibid., hlm. 9.

53

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(31)

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Serta mengatur ihwal kewajiban aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimibing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada

keutuhan dan kerukunan rumah tangga.54

Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini memberikan suatu terobosan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di Indonesia sebelum lahirnya undang-undang ini hanya dapat dilakukan melalui instrumen Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang cakupannya masih terbatas dan tidak mengatur secara rinci mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga dengan berlakunya undang-undang ini, semua perbuatan pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak diatur lagi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam penegakan hukumnya.

Dengan disahkannya undang-undang ini juga merupakan momen

bersejarah bagi Bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan

bagian dari Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi.55

54

Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

55

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Persfektif Yuridis- Viktimologis, Sinar Grafika, Surabaya, 2010, hlm. 64.


(32)

Hal yang melandasi lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini antara lain, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama

kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia.56

Adapun yang menjadi ruang lingkup Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi:57

a. Suami, Isteri, dan Anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut

Ruang lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini juga semakin

diperluas dengan dimasukkannya orang yang bekerja membantu rumah tangga yang menetap dalam rumah tangga tersebut seperti yang termat dalam huruf c.

Sehingga ruang lingkup keluarga tidak lagi hanya mencakup keluarga

yang mempunyai hubungan darah atau pengasuhan saja tetapi juga orang lain yang bekerja dirumah tangga tersebut. Dengan demikian orang-orang yang bekerja sebagai pembantu, supir, dan sebagainya juga menjadi subjek hukum dalam undang-undang ini dan dianggap sebagai anggota keluarga selama mereka masih tinggal dalam rumah tangga tersebut.

56

Ibid., hlm. 65.

57

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(33)

3. Pengertian Korban dan Perlindungan Terhadap Korban

3.1. Pengertian Korban

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korban dapat didefinisikan

sebagai orang, binatang, dan sebagainya yang menderita (mati dan sebagainya) akibat akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.

Beberapa pendapat para sarjana yang memberi pengertian mengenai

definisi korban, diantaranya adalah:58

1. Arief Gosita

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari kepentingan

pemenuhan diri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

2. Ralph de Sola

Korban (victim) adalah “...person who has injured mental or pshycal

suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted criminal offense committed by another...” (Orang yang telah terluka baik itu penderitaan mental atau fisik, kerugian harta benda atau kematian akibat dari tindak pidana yang sebenarnya atau percobaan yang dilakukan oleh yang lain)

3. Muladi

Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual

maupun kolektif telah menderita kerugian fisik atau mental, ekonomi, emosional, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Secara yuridis, pengertian korban termuat dalam Pasal 1 ayat 2

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

58

Dikdik Arif Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 46-47.


(34)

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga menyebutkan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Pada tahap perkembangannya, korban dari suatu tindak pidana bukan

saja hanya orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Adapun yang dapat

menjadi korban adalah sebagai berikut:59

1. Korban perseorangan, adalah setiap orang atau individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil.

2. Korban institusi, adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta, ataupun bencana alam.

3. Korban Lingkungan Hidup, adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan masyarakat serta semua jasad hidup dan berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami kerusakan akibat

kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab.

4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara, adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan, serta hak sipil, politik, ekonomi, budaya tidak lebih baik setiap tahun.

59

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 11-12.


(35)

Pada dewasa ini kedudukan korban dalam peradilan pidana tidak

dipandang lagi sebelah mata. Hal ini dapat terlihat dari dibentuknya aturan-aturan hukum yang khusus mengatur mengenai kedudukan dan perlindungan korban. Secara ilmiah, hal-hal yang berkaitan dengan korban ini dapat dipelajari melalui pendekatan ilmu viktimologi.

Viktimologi berasal dari kata victim (korban) dan logi (ilmu

pengetahuan), bahasa Latin victima (korban) dan logos (ilmu pengetahuan).

Sehingga secara sederhana dapat diartikan viktimologi/victimology adalah ilmu pengetahuan tentang korban tindak pidana.

Korban dan tindak pidana memiliki keterkaitan yang sengat erat satu

sama lain. Adanya korban ini disebabkan oleh tindak pidana (kejahatan) yang dilakukan oleh pelaku. Apabila kejahatan ini tidak dilakukan oleh pelaku dengan demikian tidak akan menimbulkan adanya korban. Terjadinya korban ini dapat saja disebabkan oleh kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan, dan

kesialan korban itu sendiri, diantaranya adalah sebagai berikut:60

Hentig, terjadinya korban dilihat dari peranan korban dalam menimbulkan kejahatan:

1. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi 2. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan korban untuk

memperoleh keuntungan yang besar

3. Akibat yang merugikan si korban mungkin kerjasama antara sipelaku dan korban

4. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban

Mendelsohn, berdasarkan tingkat kesalahannya korban dibagi dalam 5 (lima) macam:

1. Korban yang sama sekali tidak bersalah 2. Korban yang jadi korban karena kelalaiannya

60


(36)

3. Korban yang sama salahnya dengan pelaku 4. Korban lebih bersalah dari pelaku

5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah

G. Widiartana, berdasarkan sasaran tindakan pelaku:

1. Korban Langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku.

2. Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami nestapa. Pada kasus pembunuhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban langsung. Sedangkan istri dan anak-anaknya itu merupakan korban tidak langsung.

Pemahaman tentang korban yang dipelajari melalui ilmu viktimologi memberi manfaat dalam sistem peradilan pidana seperti dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya tindak pidana, berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang dalam hukum dan pemerintahan, bermanfaat bagi aparatur penegak hukum agar dapat memperhatikan perlindungan dan hak-hak korban tindak pidana, dan dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama ini terkesan kurang

memperhatikan aspek perlindungan korban.61

3.2. Pengertian Perlindungan Terhadap Korban

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.

61


(37)

Sedangkan dalam ilmu hukum perlindungan dapat didefenisikan sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk untuk memberi rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak

manapun.62

Sehingga perlindungan terhadap korban dapat didefenisikan sebagai kewajiban negara untuk memberikan pengayoman dan pelayanan terhadap subjek hukum yang menderita atau dirugikan akibat terjadinya suatu tindak pidana.

Prinsip-prinsip dasar terhadap perlindungan korban ini berkaitan dengan manusia sebagai makhluk Tuhan dilahirkan ke dunia dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau yang lazim disebut denga hak asasi manusia yang melekat dan takkan pernah terlepas seumur hidup. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi ini tentu membawa konsekuesni pada perlunya diupayakan terhadap perlindungan hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik

yang dilakukan oleh manusia ataupun pemerintah.63

Di Indonesia pengaturan tentang pelindungan terhadap korban ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

62

http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/01/seputar-pengertian-perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 14 April 2015 pukul 22.00 WIB

63


(38)

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 6. Undang-Undang Nomor15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

8. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

Adapun bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban yang secara umum

terdiri dari:64

1. Pemberian Restitusi atau Kompensasi

Dalam pejelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan pengertian tentang kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan restitusi dapat berupa:

a. Pengembalian harta milik

b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu

2. Konseling

64


(39)

Perlindungan konseling ini pada umumnya diberikan pada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif terhadap psikis yang mengakibatkan trauma berkepanjangan dari suatu tindak pidana. Kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kasus pemerkosaan menimbulkan trauma yang berkepanjangan pada korban, umumnya korban menderita secara fisik, mental, dan sosial.

3. Pelayanan/Bantuan Medis

Diberikan pada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis ini dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti).

4. Bantuan Hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di Indonesia bantuan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberian bantuan hukum terhadap korban tindak pidana haruslah diberikan baik diminta maupun tidak diminta oleh pihak korban. Apabila korban tindak pidana tidak mendapat bantuan hukum maka akan

menyebabkan semakin buruknya keadaan korban tindak pidana tersebut.

5. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memegang peranan penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah


(40)

diharapkan fungsi kontrol mansyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara yang ditempuh guna

mendapatkan hasil yang diharapkan dalam sebuah pelelitian ilmiah. Adapun metode penelitian hukum yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini meilputi:

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum

normatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan terhadap istri dan perlindungan terhadap korban serta menganalisis putusan pengadilan yang

berkaitan dengan tindak pidana tersebut apakah penerapannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data

sekunder, yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.


(41)

b. Bahan hukum sekunder, yang terdiri buku-buku yang berkenaan dengan teori-teori dan kebijakan terhadap penerapan ketentuan pidana dalam kasus

kekerasan fisik terhadap istri dan perlindungan korban, putusan-putusan pengadilan negeri sebagai bahan analisis, dan dari berbagai literatur, majalah, artikel, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan (library research). Data yang digunakan adalah berupa

data sekunder dengan memperlajari literatur dan putusan-putusan pengadilan negeri yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Bahan hukum sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian

dianalisa dengan menggunakan:

a. Metode deduktif yakni dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan berbagai bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

b. Metode induktif yakni dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab, yang pada tiap bab


(42)

sehingga dapat memberi penjelasan secara benar, rinci, dan sistematis. Secara garis besar sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab pendahuluan ini memuat 7 (tujuh) sub bab yang terdiri dari Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Batasan Pengaturan Kekerasan Fisik Terhadap Istri jika Dikaitkan dengan Tindak Pidana Penganiayaan menurut Ketentuan Hukum Pidana Di Indonesia

Pada bab ini akan diuraikan mengenai Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Fisik terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Batasan Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan terhadap Istri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Perbedaan Rumusan Tindak Pidana Kekerasan Fisik/ Penganiayaan terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


(43)

BAB III : Penerapan Ketentuan Pidana dalam Kekerasan Fisik terhadap Istri ditinjau dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban

Pada bab ini akan dibahas mengenai Aspek Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Penerapan Ketentuan Pidana dalam Kekerasan Fisik terhadap Istri ditinjau dari Aspek Perlindungan Korban yang di dalamnya terdiri dari Kasus Posisi dan Analisa Kasus.

BAB IV : Kesimpulan dan Saran

Merupakan bagian penutup yang memuat hasil yang didapat dari penelitian pada bab-bab sebelumnya. Terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu: Kesimpulan dan Saran.


(1)

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 6. Undang-Undang Nomor15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

8. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

Adapun bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban yang secara umum terdiri dari:64

1. Pemberian Restitusi atau Kompensasi

Dalam pejelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan pengertian tentang kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan restitusi dapat berupa:

a. Pengembalian harta milik

b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu

2. Konseling

64


(2)

Perlindungan konseling ini pada umumnya diberikan pada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif terhadap psikis yang mengakibatkan trauma berkepanjangan dari suatu tindak pidana. Kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kasus pemerkosaan menimbulkan trauma yang berkepanjangan pada korban, umumnya korban menderita secara fisik, mental, dan sosial.

3. Pelayanan/Bantuan Medis

Diberikan pada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis ini dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti).

4. Bantuan Hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di Indonesia bantuan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberian bantuan hukum terhadap korban tindak pidana haruslah diberikan baik diminta maupun tidak diminta oleh pihak korban. Apabila korban tindak pidana tidak mendapat bantuan hukum maka akan

menyebabkan semakin buruknya keadaan korban tindak pidana tersebut.

5. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memegang peranan penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah


(3)

diharapkan fungsi kontrol mansyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara yang ditempuh guna mendapatkan hasil yang diharapkan dalam sebuah pelelitian ilmiah. Adapun metode penelitian hukum yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini meilputi:

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan terhadap istri dan perlindungan terhadap korban serta menganalisis putusan pengadilan yang

berkaitan dengan tindak pidana tersebut apakah penerapannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder, yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.


(4)

b. Bahan hukum sekunder, yang terdiri buku-buku yang berkenaan dengan teori-teori dan kebijakan terhadap penerapan ketentuan pidana dalam kasus

kekerasan fisik terhadap istri dan perlindungan korban, putusan-putusan pengadilan negeri sebagai bahan analisis, dan dari berbagai literatur, majalah, artikel, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Data yang digunakan adalah berupa data sekunder dengan memperlajari literatur dan putusan-putusan pengadilan negeri yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Bahan hukum sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan:

a. Metode deduktif yakni dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan berbagai bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

b. Metode induktif yakni dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab, yang pada tiap bab terbagi dalam sub bab yang disesuaikan dengan isi dan tujuan penulisan skripsi ini


(5)

sehingga dapat memberi penjelasan secara benar, rinci, dan sistematis. Secara garis besar sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab pendahuluan ini memuat 7 (tujuh) sub bab yang terdiri dari Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Batasan Pengaturan Kekerasan Fisik Terhadap Istri jika Dikaitkan dengan Tindak Pidana Penganiayaan menurut Ketentuan Hukum Pidana Di Indonesia

Pada bab ini akan diuraikan mengenai Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Fisik terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Batasan Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan terhadap Istri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Perbedaan Rumusan Tindak Pidana Kekerasan Fisik/ Penganiayaan terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


(6)

BAB III : Penerapan Ketentuan Pidana dalam Kekerasan Fisik terhadap Istri ditinjau dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban

Pada bab ini akan dibahas mengenai Aspek Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Penerapan Ketentuan Pidana dalam Kekerasan Fisik terhadap Istri ditinjau dari Aspek Perlindungan Korban yang di dalamnya terdiri dari Kasus Posisi dan Analisa Kasus.

BAB IV : Kesimpulan dan Saran

Merupakan bagian penutup yang memuat hasil yang didapat dari penelitian pada bab-bab sebelumnya. Terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu: Kesimpulan dan Saran.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)

0 66 146

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

0 43 139

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Magetan dan Pengadilan Negeri Boyolali).

0 1 22

Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 8

Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 1

Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 27

Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

0 2 3