Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai Perkara No. 334/Pid.B/2014/PN.Bnj)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DWI WIRA PURNAMASARI 110200523

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai No. 334/Pid.B/2014/PN.Bnj) SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

DWI WIRA PURNAMASARI NIM : 110200523

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana (Dr. M.Hamdan, SH, MH) NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ediwarman, SH, M.Hum Dr. M. Eka Putra, SH, M.Hum NIP : 195405251981031003 NIP :197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI Dwi Wira Purnamasari *)

Ediwarman **) Eka Putra ***)

Berbicara mengenai kejahatan saat ini bukanlah suatu hal yang asing di dengar. Semakin hari semakin marak kasus kejahatan yang terjadi tidak hanya di lingkungan umum tetapi terjadi juga di dalam lingkungan keluarga. Salah satu yang menjadi perhatian adalah tindak pidana hubungan seksual sedarah yang biasa disebut Incest. Tindak pidana ini pada umumnya terjadi pada anak, terutama anak perempuan. Kecenderungan anak menjadi korban tindak pidana hubungan seksual sedarah ini adalah anak dipandang sebagai makhluk yang lemah. Namun disayangkan kebanyakan kasus hubungan seksual sedarah ini jarang dilaporkan karena adanya anggapan tabu serta adanya rasa malu dari pihak keluarga.

Keadaan di atas yang kemudian memunculkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana pengaturan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak korban hubungan seksual sedarah, faktor penyebab terjadinya hubungan seksual sedarah dan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jawaban atas rumusan masalah yang diangkat penulis. Metode penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif, penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana hubungan seksual terhadap anak dapat dikaji dari KUHP, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No.22 tahun 2003 jo. UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana hubungan seksual sedarah terhadap anak dapat dikategorikan ke dalam dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan hukum terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah dapat dilakukan dengan kebijakan penal dan kebijakan non-penal.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa disamping diterapkannya sanksi pidana sebagai sarana penal perlu juga perlu penerapan sarana non-penal sebagai langkah atau tindakan untuk menanggulangi dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana hubungan seksual sedarah dengan cara melihat faktor apa saja yang melatarbelakangin tindak pidana tersebut.

_____________________________

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana

**

Dosen Pembimbing I/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai) adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(5)

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak H.OK.Saidin,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Dr.M.Hamdan,SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

7. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.

8. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Dr. M. Eka Putra, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

10. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, khususnya ibu Azmiati Zuliah,SH,MH 12. Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada orang tua tercinta Bapak


(6)

13. selalu memberi kasih sayang serta dukungan hingga penulis mampu menyiapkan skripsi ini. Tanpa dukungan, doa serta semangat dari beliau skripsi ini tidak akan selesai seperti saat ini.

14. Kepada Abang dan kakak tersayang, Afrigon dan Ekha Kurniawati, S.Km yang selalu membantu segala kesusahan dan rintangan yang penulis hadapi dengan support dan doa yang diberikan. Serta yang terkasih dua keponakan

kecil penulis Nadhira Khanzanetta A’afiyah dan Nadhifa Qalbi Aleshya yang selalu menjadi sumber keceriaan dan semangat penulis.

15. Ihsan Abdillah, abang, sahabat, teman paling setia yang tak pernah henti memberi semangat dan dukungan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini 16. Sahabat tercinta, Fauziah Nur Utami, Debora Exaudi Sirait, S.Si, Nurhaflah Soraya, S.E, yang selalu senantiasa mendengar setiap keluh kesah dan berbagi suka duka bersama penulis

17. Sahabat terbaik, Zultia Safitri, Fahrul Rozi, Boby Saputra Batubara, Nanda Adhitya Kalo,S.H, Dian Ekawati, S.H, Susi Sofia Simbolon, Arnita Alfriana, Gabetta Solin, Albert Fernando, Ruth Theresia terima kasih atas pengalaman selama perkuliahan. Semua terasa begitu cepat, begitu indah, tak akan pernah penulis lupakan suka duka itu.

18. Teman-teman Grup F, teman-teman IMADANA dan seluruh stambuk 2011 yang selalu memberi dukungan kepada penulis.

Medan, Juni 2015 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah ... 10

2. Faktor Penyebab Terjadinya Hubungan Seksual Sedarah ... 22

3. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah ... 28

G. Metode Penelitian ... 30

1. Spesifikasi Penelitian ... 30

2. Metode Pendekatan ... 31

3. Lokasi Penelitian ... 31

4. Alat Pengumpul Data ... 31


(8)

6. Analisis Data ... 32 H. Sistematika Penulisan ... 33

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. ... 35 B. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 39 C. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo.

Undang-Undang No.35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 ... 42

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA

HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

A. Faktor Internal Terjadinya Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah ... 54 B. Faktor Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Hubungan Seksual

Sedarah ... 63

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

A. Kebijakan Penal ... 71 B. Kebijakan Non-Penal ... 86

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 93


(9)

ABSTRAKSI Dwi Wira Purnamasari *)

Ediwarman **) Eka Putra ***)

Berbicara mengenai kejahatan saat ini bukanlah suatu hal yang asing di dengar. Semakin hari semakin marak kasus kejahatan yang terjadi tidak hanya di lingkungan umum tetapi terjadi juga di dalam lingkungan keluarga. Salah satu yang menjadi perhatian adalah tindak pidana hubungan seksual sedarah yang biasa disebut Incest. Tindak pidana ini pada umumnya terjadi pada anak, terutama anak perempuan. Kecenderungan anak menjadi korban tindak pidana hubungan seksual sedarah ini adalah anak dipandang sebagai makhluk yang lemah. Namun disayangkan kebanyakan kasus hubungan seksual sedarah ini jarang dilaporkan karena adanya anggapan tabu serta adanya rasa malu dari pihak keluarga.

Keadaan di atas yang kemudian memunculkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana pengaturan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak korban hubungan seksual sedarah, faktor penyebab terjadinya hubungan seksual sedarah dan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jawaban atas rumusan masalah yang diangkat penulis. Metode penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif, penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana hubungan seksual terhadap anak dapat dikaji dari KUHP, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No.22 tahun 2003 jo. UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana hubungan seksual sedarah terhadap anak dapat dikategorikan ke dalam dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan hukum terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah dapat dilakukan dengan kebijakan penal dan kebijakan non-penal.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa disamping diterapkannya sanksi pidana sebagai sarana penal perlu juga perlu penerapan sarana non-penal sebagai langkah atau tindakan untuk menanggulangi dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana hubungan seksual sedarah dengan cara melihat faktor apa saja yang melatarbelakangin tindak pidana tersebut.

_____________________________

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana

**

Dosen Pembimbing I/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan anugerah dan dambaan bagi setiap pasangan suami istri setelah menikah. Anak juga merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa yang wajib kita lindungi baik lahir maupun batinnya. Anak merupakan generasi penerus pemegang tongkat estafet masa depan. Anak sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. 1

Keluarga terutama orangtua merupakan orang atau lembaga terdekat sebagai tempat berlindung dan pembentuk kepribadian anak. Secara sosiologis, keluarga diartikan sebagai unit kehidupan terkecil dari suatu masyarakat hukum yang terjadi karena suatu perkawinan.2 Di dalam keluarga, seseorang belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan tertentu di dalam pengalamannya dengan masyarakat lingkungannya. Pengalaman-pengalaman yang didapatnya di dalam keluarga turut pula menentukan cara-cara bertingkah laku. Apabila hubungan dalam keluarga berlangsung secara tidak wajar ataupun kurang baik, maka kemungkinan pada

1

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa Cendekia, 2012, Halaman 11

2

Tan Kamelo, Syarifah Lisa Andrianti, Hukum Orang dan Keluarga, Medan, 2011, Halaman 35


(11)

umumnya, hubungan dengan masyarakat di sekitarnya akan berlangsung secara tidak wajar pula.3 Namun disayangkan, orangtua yang pada hakekatnya menjadi tempat anak–anak berlindung justru malah tidak memainkan perannya tersebut. Hal ini dapat kita liat dari semakin banyaknya kasus kekerasan yang justru pelakunya adalah orang terdekat sendiri. Hal inilah yang mengundang keperihatinan kita. Bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan kekerasan, baik secara fisik, psikis maupun seksual. Pada dasarnya, alasan anak menjadi sasaran korban kekerasan oleh orangtuanya adalah karena anak merupakan makhluk yang lemah dan belum bisa melindungi dirinya sendiri. Ia belum bisa menentang perlakuan kasar dari orang tua. Selain itu juga adanya rasa hormat yang dijunjung oleh sianak terhadap orangtuanya. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) dalam tiga tahun terakhir menunjukkan data mengenai kekerasan terhadap anak yang terus meningkat, yaitu tahun 2012 terdapat 1.383 kasus, tahun 2013 tercatat 2.792 kasus dan per-April 2014 jumlah pengaduan telah mencapai jumlah 3.023 kasus. Dari jumlah tersebut, menurut jenisnya, kekerasan seksual merupakan salah satu jenis kekerasan yang mendominasi terjadi pada anak. Sedangkan menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya peningkatan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam kurun waktu 2012 sampai 2013 dengan presentasi peningkatan sebesar 30 persen, dengan rata-rata setiap bulannya terdapat lebih dari 45 orang anak yang mengalami kekerasan seksual. Jenis

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Bandung: PT. Refika Aditama, 2012, Halaman 75-76


(12)

kekerasan yang paling banyak terjadi adalah sodomi, pemerkosaan, pencabulan, serta incest. Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melansir sejak Januari hingga Oktober 2014, tercatat 784 kasus kekerasan seksual anak. Itu artinya rata-rata 129 anak menjadi korban kekerasan seksual setiap bulannya, dan 20% anak menjadi korban pornografi4. Sedangkan, berdasarkan data yang didapat dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara ditahun 2014 sebanyak 100 kasus kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara, sekitar 14 persen dan 3 persen diantaranya merupakan kasus pencabulan dan pemerkosaan. Kasus tersebut jika dilihat dari kategori usia korban, yaitu untuk kasus pencabulan dan pemerkosaan dengan korban yang usianya dibawah 18 tahun masing- masing sebanyak 7 persen dan 2 persen. Sedangkan berdasarkan kasus anak berdasarkan pelaku Tahun 2014 ayah/ibu kandung menduduki posisi kedua dengan persentasi sebesar 30 persen. Dan di posisi pertama sebanyak 33,8 persen diduduki oleh orang yang tak di kenal. Hal ini sangat memprihatinkan karena ternyata berdasarkan data tersebut justru orangtua-lah yang menjadi pelakunya.

Sebenarnya incest bukanlah kata yang baru kita dengar. Incest merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh individu dalam suatu keluarga lainnya, baik itu ayah dengan anak, ibu dengan anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik. Sebagian termasuk ke dalam kejahatan atau penganiayaan seksual, dimana perilaku seksual yang dilakukan dapat berupa penganiayaan secara fisik maupun nonfisik, oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan yang bertujuan untuk

4

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-setiap-bulan-129-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual/ diakses pada Kamis, 22 Januari 2015 pukul 21.10


(13)

memuaskan hasrat seksual pelakunya.5 Sejarah mencatat bahwa beberapa masyarakat kuno telah melakukan perkawinan antar keluarga dengan alasan politik untuk melanggengkan kekuasaan dan juga karena alasan kemurnian keturunan atau ras. Pada masa peradaban Mesir kuno, perkawinan antara saudara bukanlah hal yang aneh didengar. Seorang raja bisa saja menikahi putrinya atau seorang kakak menikahi adik kandungnya sendiri. Sebagai contoh pasangan dewa Osiris dan dewi Isis yang sebenarnya adalah kakak beradik. Di Indonesia ada juga kisah serupa dimana adanya perkawinan sesama atau antar keluarga sedarah walau hanya sebatas legenda. Contohnya perkawinan Prabu Watugunung dengan Dewi Sinta dimana sebenarnya Prabu Watugunung adalah anak kandungnya sendiri dan baru diketahui setelah Dewi Sinta melahirkan 28 orang anak. Legenda lainnya adalah kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang hampir saja akan menikah. Tampaknya Incest ini merupakan hal tabu yang telah disetujui secara universal oleh setiap orang. Namun di zaman modern yang serba canggih ini, santer terdengar kasus incest yang muncul di masyarakat. Sebagai contoh kasus incest di masyarakat yang diperoleh dan dihimpun oleh Yayasan Pusaka Indonesia dari Media Massa antara lain:6

1. Ayah badau BN (42) wiraswasta warga Bukit Tujuh Pondok LC, Kec Torgamba, Kab Labuhan Batu Selatan menodai anak kandungnya sendiri sebanyak 4 kali sejak selasa (26/1) Menurut Kasat, dari hasil pemeriksaan

5

www.kaskus.co.id/thread/513ffa92db9248c37900000b/edukasi-sejarah-penyebab-dan-solusi-hubungan-incest. diakses pada Kamis, 22 Januari 2015 pukul 21.15 WIB

6

http://www.pusakaindonesia.or.id/news.php?extend.276.4 diakses pada Jumat, 23 Januari 2015 pukul 10.00 WIB


(14)

penyidik tersangka mengakui menodai putri kandungnya itu pertama kali sejak tahun 2007, saat itu anak tersebut masih berusia 15 tahun. Tidak tahan dengan perlakuan itu akhirnya korban menceritakan perbuatan ayahnya itu kepada warga, mendengar pengakuan tersebut dua warga yakni Edison Hutasoit dan Iwan langsung menyerahkan tersangka ke polsek Torgamba dan di boyong ke polres Labuhan Batu guna menjalani penyidikan.7

2. Rantauprapat, perilaku bejat seorang ayah kembali terjadi. Bukhori (45) warga Desa Bukit 7, Kecamatan Torgamba, Kabupaten Labuhanbatu Selatan tega menodai anaknya sendiri Bunga (15). Korban mengakui telah ditiduri oleh ayah kandungnya sendiri sebanyak 4 kali. Tidak tahan dengan perbuatan ayahnya tersebut akhirnya korban menceritakan kejadian tersebut kepada majikannya, dan akhirnya di laporkan langsung ke polres Labuhan Batu. Sementara itu, Kapolres Labuhan Batu AKBP Toga Habinsaran Panjaitan Melalui kanit Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) IPTU Ariasda Ginting mengungkapkan, mereka sudah menerima laporan dari korban dan pelaku sendiri telah di amankan untuk proses hukum lebih lanjut.8

7

Waspada, Sabtu 30 Januari 2010 dalam

http://www.pusakaindonesia.or.id/news.php?extend.276.4 diakses pada Jumat, 23 Januari 2015 pukul 10.00 WIB

8

Seputar Indonesia, Kamis 28 januari 2010 dalam

http://www.pusakaindonesia.or.id/news.php?extend.276.4 diakses pada Jumat, 23 Januari 2015 pukul 10.00 WIB


(15)

Penyebab terjadinya incest sangat beragam. Ada karena faktor internal ada juga karena faktor eksternal. Namun sangat disayangkan karena banyak kasus incest yang tidak dilaporkan atau lama terungkap karena adanya prinsip atau pandangan bahwa jika melaporkan sama halnya dengan membuka aib keluarga dan menimbulkan rasa malu dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Sebagian besar pelaku incest adalah seorang ayah dan korbannya adalah anak perempuan. Alasan seorang ayah melakukan incest bisa saja karena pelaku mengalami masa kecil yang kurang menyenangkan, latar beakang keluarga yang kurang harmonis, bahkan mungkin saja pelaku merupakan korban penganiayaan seksual di masa kecilnya. Pelaku cenderung memiliki kepribadian yang tidak matang, pasif dan cenderung tergantung pada orang lain. Ia kurang dapat mengendalikan diri/hasratnya, kurang dapat berpikir secara realistis, cenderung pasif-agresif dalam mengekspresikan emosinya, kurang memiliki rasa percaya diri. Selain itu, kemugkinan pelaku adalah pengguna alcohol atau obat-obatan terlarang lainnya.9 Tindak pidana incest ini sendiri dikategorikan tindakan tidak bermoral sehingga dituntut adanya penghukuman terhadap pelaku yang seberat-beratnya karena dampak yang ditimbulkan dapat merugikan si korban baik secara fisik dan psikis. Hal ini akan menghambat tumbuh kembang si anak korban. Sehingga telah melanggar hak-hak anak. Sudah sepatutnya setiap anak mendapatkan perlindungan sebagai bentuk nyata penghargaan kita terhadap hak anak. Salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah dengan lahirnya

9

www.blog-adhaedelweiss.blogspot.com/2013_04_01_archive.html diakses pada Sabtu, 24 Januari 2015 pukul 16.00 WIB


(16)

Undang Perlindungan Anak yang meupakan bentuk keseriusan dari pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Hak Anak yang disahkan melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak). Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut maka pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih belum dapat berjalan secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji dan berusaha menguraikan lebih lanjut faktor penyebab terjadinya tindak pidana hubungan seksual sedarah, bentuk perlindungan terhadap anak korbannya, dan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah/incest.


(17)

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, berbagai persoalan yang timbul atau yang muncul, dalam skripsi ini dapat dikemukakan permasalahan yang akan diangkat pokok kajian dan penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana hubungan seksual sedarah?

2. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya hubungan seksual sedarah?

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dan penulisan skripsi ini dapat di uraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap anak korban hubungan seksual sedarah

2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya hubungan seksual sedarah.

3. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah.

D. Manfaat Penelitian


(18)

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan penulis dapat menjadi bahan bacaan dan penambahan ilmu bagi para pembaca khususnya para kalangan akademis dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk perkembangan ilmu hukum terkhususnya dalam bidang tindak pidana incest (hubungan seksual sedarah) apabila memungkinkan dapat bermanfaat bagi perkembangan undang-undang di Indonesia.

2. Secara Praktis

Kegunaan praktis berkaitan dengan kontribusi praktis yang diberikan dari penyelenggara penelitian terhadap obyek penelitian, baik individu, kelompok, maupun organisasi, seperti:

a. Bagi para pembuat peraturan diharapkan skripsi ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan terhadap hak anak dan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh orang terutama orangtua terhadap anak.

b. Bagi masyarakat, skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat luas dalam hal pencegahan terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah.


(19)

Dalam penelitian ini, penulis menyajikan penelitian yang berdasarkan pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Selain itu penulis juga memperhatikan sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini untuk menghindari terjadinya duplikasi atau pun plagiasi dari hasil karya penelitian akademisi lainnya. Penelitian ini juga berdasarkan pada surat persetujuan dari perpustakaan

hukum USU yang menyatakan bahwa judul penelitian “Perlindungan Hukum

Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

di Pengadilan Negeri Binjai No.334/Pid.B/2014/PN.Bnj)” belum ada yang

mengangkatnya sebagai judul penelitian. Dengan kata lain penulisan penelitian ini merupakan hasil karya penulis sendiri.

F. Tinjauan Pustaka

1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah

a. Pengertian Anak

Merumuskan pengertian anak merupakan masalah yang sangat penting. Ini berkaitan dengan batasan usia anak. Tidak hanya di Indonesia, pengertian anak juga menjadi bahasan penting di berbagai Negara. Disebutkan pengertian anak dalam United Nations Convention On The Rights Of The Child di pasal 1 yaitu: it sets the international legal definition of a child as a person below 18 years, but subject to the proviso that a domestic law which sets legal majority at an earlier age will no be compromised.10 Ini berarti berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak

10

Trevor Buck, International Child Law, Great Britain:Cavendish Publishing Limited, 2005, Halaman 57


(20)

tersebut yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun tetapi dengan syarat bahwa hukum dalam suatu negara yang sebagian besar menurut undang-undang menetapkan usia yang lebih dini tidak dapat dikompromikan. Berbeda dengan ketentuan konvensi tersebut, batasan usia di beberapa Negara sangat beragam. Sebagai contoh di Jepang batasan usia laki-laki adalah 18 dan untuk wanita adalah 16 tahun, di Perancis batasan usia laki-laki adalah 18 dan untuk wanita 15 tahun. Namun di beberapa Negara pada umumnya sebagian besar batasan usia anak adalah 18 tahun.

Di Indonesia sendiri, batasan usia yang berkaitan dengan pengertian anak sangat beragam. Pengertian anak secara umum dapat dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.11Menurut hukum islam, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah mengalami peristiwa biologis seperti haid atau menstruasi pada wanita dan mimpi basah bagi laki-laki. Sedangkan batasan usia seseorang dikatakan belum dewasa dalam hukum adat tergantung pada kecakapan seseorang. Artinya seseorang dikatakan telah dewasa atau tidak anak-anak lagi apabila ia telah mampu memperhitungkan baik buruknya tindakan yang dilakukannya, mampu bekerja secara mandiri dan mampu mengurus keperluannya sendiri.

Pengertian formal yuridis mengenai anak dapat kita lihat dalam beberapa ketentuan berikut:

1. Kitab Undang Hukum Pidana Indonesia

11 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Jakarta:Rajawali Press, 2011, Halaman 1


(21)

Di dalam KUHP ada terdapat beberapa pasal yang secara khusus langsung mengatur dan menunjuk proses hukum dan materi hukum anak – anak di bawah umur atau yang di katakan belum dewasa. Pasal – pasal yang terkait adalah pasal 45, 46, dan 47 KUHP. Adapun Pasal 45 KUHP adalah pasal basis yang mengatur batas umur dan batas waktu penuntutan karena berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di bawah usia 16 (enam belas) tahun. Tetapi, kemudian ketentuan ini dicabut dengan keluarnya Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam pasal 330 dikatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah

kawin”. Anak dalam hal keperdataan sangat penting. Hal ini menyangkut masalah

pembagian harta warisan. Oleh karena itu, dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Oleh sebab itu hak-hak anak menurut hukum perdata sudah ada bahkan sebelum ia dilahirkan.

Dasar lain dalam menentukan batasan usia seseorang dalam hukum perdata berkaitan dengan perkawinan diatur dalam pasal 29 yaitu: seorang laki-laki yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, juga seorang perempuan yang belum berusia lima belas tahun, tidak diperbolehkan


(22)

mengikatkan dirinya dalam perkawinan kecuali karena ada alasan-alasan penting maka Presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberi dispensasi.

3. Menurut UURI No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak:

Anak adalah mereka yang berumur 0 – 21 tahun dan belum pernah kawin. Ini berarti bahwa setiap anak bahkan sejak masih dalam kandungan sudah mempunyai hak dan memperoleh perlindungan secara hukum.

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam Pasal 1 angka 5 menyebutkan “ anak adalah setiap manusia yang

berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya”

5. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 ayat (3) menjelaskan tentang anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu :

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah

anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

6. Menurut UU No. 35 tahun 2014 maupun UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.


(23)

b. Pengertian Anak Korban Tindak Pidana

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yag bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita12

Dalam Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power, victims13 diartikan:

Persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power. (Terjemahan bebas: orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan besar terhadap hak-hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar hukum pidana yang berlaku dalam negara-negara anggota, termasuk undang-undang yang melarang pidana penyalahgunaan kekuasaan.)

Anak sebagai korban tindak pidana erat kaitannya dengan kekerasan. Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak-yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. 14 Pasal 89 KUHP memperluas pengertian “kekerasan” sehingga memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan

12

Arif Gosita, Masalah korban kejahatan, Jakarta:Universitas Trisaksi, 2009, Halaman 90

13Ibid, Halaman 46


(24)

kekekrasan. “Kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut ditujukan terhadap

wanita itu

Kekerasan terhadap anak pada umumnya dapat kita lihat ke dalam empat bentuk tindakan, antara lain:

a. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah kekerasan yang diarahkan kepada fisik seseorang sehingga menimbulkan bekas yang dapat kita lihat secara jelas pada si korban. Kekerasan fisik dapat berupa penamparan, pemukulan, membenturkan, dan sebagainya

b. Kekerasan psikis

Kekerasan psikis adalah kekerasan yang dapat menimbulkan gangguan mental sehingga berpengaruh terhadap interaksi si korban di dalam hubungannya dalam masyarakat. Bekas ataupun wujud dari kekerasan ini pada umumnya tidak dapat kita lihat secara nyata.

c. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasaan yang dapat berupa ajakan secara paksa, menyiksa atau mengancam seseorang untuk melakukan hubungan seksual. Sekarang kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang yang tidak dikenal si korban melainkan malah orang terdekat yang telah dikenal oleh si korban.

Kekerasan seksual meliputi pemaksaan dan bujukan kepada seorang anak untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas seksual terlepas dari apakah seorang


(25)

anak tersebut sadar atau tidak dengan apa yang sedang terjadi. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai serangkaian hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih berpengalaman atau orang dewasa (orang asing, saudara kandung atau orang yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara anak tersebut seperti orang tua atau pengasuh) dimana anak tersebut dipergunakan

sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual mereka. “kebutuhan seksual” yang tidsk terkendali dan tidak dapat dikendalikan sering digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan seksual.15

d. Kekerasan ekonomi

Sebagian besar kekerasan ekonomi dapat kita lihat dai fenomena sehari-hari. Misalnya di jalanan kita sering menemui anak yang jadi pengamen, menjual koran atau bahkan menjadi buruh pabrik. Pada umumnya kekerasan ekonomi ini dialami oleh masyarakat yang tergolong pada masyarakat ekonomi lemah.

c. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana mempunyai dua sifat yaitu sifat formil dan sifat materiil, sifat formil dalam tindak pidana dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah melakukan perbuatan (dengan selesainya tindak pidana itu, tindak pidana terlaksana), kemudian dalam sifat materiil, dalam jenis tindak pidana yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah

15

Stephanie De Laney, Melindungi Anak-Anak dari Eksloitasi Seksual dan Kekerasan Seksual dalam Situasi Bencana dan Gawat Darurat, Medan:Restu Printing, 2006, Halaman 9-10


(26)

timbulnya suatu akibat (dengan timbulnya akibat, maka tindak pidana terlaksana).16

Pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan

strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan

strafbaarfeit” tersebut.17

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”18, sedangkan

strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat

dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.19

Menurut Profesor POMPE, perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau

16

http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/pengertian-tindak-pidana.html diakses tanggal 27 Januari 2015 pukul15.40 WIB

17

PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2011, Halaman 181

18

Ibid

19


(27)

sebagai “de normovetrending (verstoring der rechtsorde); waaraan de overtreder schuld heeft en waaraan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzijn”20

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Azas-azas Hukum pidana di Indonesia memberikan suatu pengertian mengenai tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifat-sifat yang ada dalam suatu tindak pidana adalah sifat-sifat melanggar hukum, karena tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.21

Menurut salah satu sarjana barat H. J van Schravendijk adalah perbuatan yang boleh dihukum, yaitu kelakuan yang begitu bertentangan dengan keinsafan hukum asal dilakukan dengan seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.22

Dalam KUHP, terdapat unsur-unsur tindak pidana antara lain:23 a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur keadaan yang menyertai

20

Ibid, Halaman 182

21

Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, Halaman 1.

22

Scharavendijk, van H.J,Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: J.B. Wolters, 1996, Halaman 87

23


(28)

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana i. Unsur objek hukum tindak pidana

j. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana

Dari sebelas unsur tersebut, yang menjadi unsur subjektif adalah unsur kesalahan dan unsur melawan hukum. Sedangkan yang menjadi unsur objektif adalah selebihnya.

d. Pengertian Perlindungan Hukum

Pengertian perlindungan hukum yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah perlindungan hukum terhadap anak. Pertama-tama kita lihat terlebih dahulu pengertian perlindungan anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Perlindungan anak adalah: “ segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”24

Untuk menyelenggarakan perlindungan anak baik orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara harus berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia juga berdasarkan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi:

a. Non diskriminasi

24


(29)

Asas ini memberikan pengertian bahwa setiap anak mendapatkan perlakuan yang sama tanpa adanya perbedaan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, status hukum anak maupun kondisi fisik maupun mental. b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

Pengertian dari asas ini adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

Hak yang tercantum dalam asas ini adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang wajib dilindungi dan dihormati oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga maupun orangtua.

d. Penghargaan terhadap pendapat anak

Asas ini memberi pengertian bahwa setiap orang harus menghormati hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam mengambil keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

Di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak hanya diatur mengenai perlindungan anak secara umum tetapi juga diatur perlindungan khusus bagi anak. Yang dimaksud dengan perlindungan khusus dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak


(30)

yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Namun, pengertian perlindungan khusus dalam Undang-Undang 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 angka 15 memberikan pengertian yang lebih ringkas yaitu suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapat jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.

Berdasarkan uraian mengenai perlindungan anak maka kita dapat memberikan pengertian bahwa perlindungan hukum bagi anak adalah upaya perlindungan terhadap kebebasan dan hak-hak asasi yang dimiliki anak.

2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Hubungan Seksual Sedarah

Paul W Tappen menyatakan bahwa kejahatan adalah:25 The Criminal Law (statutory or case law), committed without defense or excuse, and penalized by the state as a felony and misdemeanor. Yang artinya Hukum Pidana (menurut undang-undang atau kasus hukum), berkomitmen tanpa pembelaan atau alasan, dan dihukum oleh negara sebagai kejahatan dan pelanggaran.


(31)

Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.

Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh Negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi.26

Sedangkan, secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. 27

Jadi kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang dan dapat merugikan masyarakat akibat hilangnya keseimbangan , ketentraman, dan ketertiban.

Pengertian penyimpangan menurut beberapa ahli dapat diuraikan sebagai berikut:28

1. Soerjono Soekanto

Perilaku menyimpang adalah penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat.

2. Jhon J. Macionis

Perilaku menyimpang adalah pelanggaran terhadap norma masyarakat. 3. James W. Van der Zaden

Perilaku menyimpang adalah perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.

4. Robert M. Z. Lawang

26

Opcit, Halaman 14 27Ibid, Halaman 15

28

http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-perilaku-menyimpang-menurut.html# diakses tanggal 30 April 2015 jam 20.18 Wib


(32)

Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial, dan menimbulkan usaha dari mereka yang paling berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang.

5. Craig Calhoun, Donald Light, dan Suzanne Keller

Perilaku menyimpang adalah setiap tindakan yang dianggap menyimpang dari nilai moral atau norma budaya yang diakui oleh sebuah kelompok atau masyarakat.

Dalam mengkaji suatu kejahatan, di dalam kriminologi terdapat beberapa paradigma/aliran yang mempengaruhinya, antara lain :

1. Aliran Klasik

Di dalam aliran ini mempunyai dua pemikiran yang mendasar dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yaitu penderitaan dan kesenangan. Hal disebabkan karena manusia memiliki kehendak bebas (free will), yang kemudian dalam bertingkah laku manusia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan perilakunya berdasarkan hedonism. Aliran ini juga mempunyai asumsi bahwa hukuman dijatuhkan berdasarkan tindakannya dan bukan karena kesalahan.29 Karena pemikiran manusia selalu dipengaruhi oleh akal dan pikirannya (indeterminisme). Kejahatan merupakan hasil pilihan bebas seseorang setelah memperhitungkan secara rasional untung ruginya dalam melakukan kejahatan.

2. Aliran Neo Klasik

Aliran Neo Klasik merupakan pembahruan dari aliran klasik. Hal ini dilakukan setelah melihat adanya ketidak adilan dari aliran klasik. Ada beberapa ciri-ciri yang membedakan aliran klasik dengan aliran neo klasik antara lain:30

29

Wahju Muljono, Op.cit., Halaman 37.

30


(33)

a. Adanya pelunakan pada doktrin kehendak bebas; kehendak bebas untuk memilih dipengaruhi oleh:

1) Patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa atau lain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya;

2) Predimitasi, niat yang dijadikan ukuran daripada kebebesan kehendak (hal-hal yang aneh)

b. Pengakuan daripada sahnya keadaan yang melunak. Misalnya: fisik, keadaan lingkungan atau keadaan mental dari individu

c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan pelunakan hukum menjadi tanggung jawab sebagian saja, sebab-sebab utama untuk mempertanggungjawabkan seseorang sebagian saja adalah kegilaan, kebodohan, dan lain-lain keadaan yang dapat

mempengaruhi “pengetahuan dan niat” seseorang waktu melakukan

kejahatan.

d. Dimasukkannya kesaksian ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya tanggung jawab untuk menentukan apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan yang salah.

3. Aliran Positivis

Berbicara tentang aliran positivis ini mau tak mau kita harus mengingat pula Dokter Cesare Lambroso (1335-1909). Dalam ajarannya Lambroso mengatakan bahwa asal mulanya kejahatan itu berasal dari gen dan sikap liar yang


(34)

diturunkan oleh nenek moyang. Sifat jahat manusia sesuatu yang dapat diwariskan kepada keturunannya sendiri. Karena sejak manusia dilahirkan manusia telah memiliki sifat jahat di dalam dirinya.

Penjahat sejak lahir merupakan tipe khusus, dan tipe ini dikendali dari bentuk atau cacat fisik tertentu. Lebih lanjut Lambroso menggarisbawahi bahwa cacat ataupun keanehan tersebut sebagai takdir untuk menjadi gambaran dari kepribadiannya sebagai penjahat.31 Kejahatan merupakan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, psikis dan sosio-kulturalnya.

4. Aliran Kritis

Berpijak dari asumsi sebelumnya bahwa perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik, psikis dan sosio-kulturalnya, melainkan ditentukan oleh peranan individu dalam memaknai, menafsirkan, menanggapi setelah dia berinteraksi dengan kondisi tertentu. Kejahatan merupakan suatu keberhasilan masyarakat dalam memberikan reaksi perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan pelakunya sebagai penjahat. Pemikiran seperti ini mengarah kepada kajian proses yang mempengaruhi pada pembentukan undang-undang yang menjadikannya perbuatan tertentu sebagai kejahatan, serta proses bekerjanya hukum pidana. Yaitu proses-proses yang menjadikan perbuatan tertentu dan pelakunya sebagai penjahat (sosiologi hukum pidana).32

31

Ibid, Halaman 41.

32

I.S. Susanto, Kejahatan Koorporasi, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, Halaman 13


(35)

Menurut Kartini Kartono (1989), bentuk relasi seks yang abnormal dan perverse (buruk,jahat) adalah relasi seks yang tidak bertanggung jawab, yang didorong oleh kompulsi-kompulsi dan dorongan-dorongan yang abnormal.33 Definisi lain dari perilaku seksual abnormal adalah perilaku seks yang tidak dapat menyesuaikan diri, bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan, perwujudan diri sendiri, atau peningkatan kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik34. Salah satu contoh dari relasi seks yang abnormal adalah hubungan seksual sedarah(Incest).

Hubungan Seksual Sedarah/ incest bukanlah permasalahan atau kasus baru yang terjadi di masyarakat. Secara singkat Hubungan Seksual Sedarah/Incest diartikan sebagai perbuatan sumbang/berzinah/berkendak dengan saudaranya35. Hubungan Seksual Sedarah/Incest berasal dari bahasa latin Incestus yang berarti tidak suci, tidak senonoh dan Incestare yang berarti menodai atau mengotori. Definisi incest yang diterima masyarakat luas sekarang ini adalah hubungan seks atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur.36

Ruth. S. Kempe dan C. Henry Kempe mendefinisikan Incest sebagai hubungan seksual antara anggota keluarga dalam rumah, baik antara kakak-adik

33

Drs. Sunaryo, Psikologi untuk keperawatan, Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004, Halaman 241

34

Ibid.

35

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:PT. Gramedia, 1996, Halaman 316


(36)

kandung atau tiri, ayah-anak kandung, ayah-anak tiri, paman-keponakan kandung atau tiri.37

Hubungan Seksual Sedarah/Incest dapat terjadi pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Namun kasus yang pada umumnya banyak terjadi menimpa anak perempuan. Hubungan incest yang merebak di masyarakat

menunjukan gejala bahwa semakin banyaknya masyarakat yang “sakit”.

Dikatakan sakit karena Hubungan Seksual Sedarah/incest tergolong penyimpangan seksual dalam masyarakat.

Faktor penyebab hubungan seksual sedarah ini adalah: a. Faktor Internal

b. Faktor Eksternal

3. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak38 Secara etimologis,kebijakan adalah terjemahan dari kata policy.

Pengertian kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli atau organisasi berikut ini:39

a. Menurut Lasswell: kebijakan adalah sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah (a projected program of goals values and practices).

37

Sulaiman Zuhdi Manik, Penanganandan Pendampingan Anak Korban Incest, PKPA, 2002, Halaman 37

38

Kamus Besar Bahasa indonesia

39

http://www.pengertianahli.com/2014/08/pengertian-kebijakan-menurut-para-ahli.html#_diakses tanggal 1 Mei 2015 jam 00.30 Wib.


(37)

b. Menurut Anderson: kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah (a purposive corse of problem or matter of concern).

c. Menurut Heclo: kebijakan adalah cara bertindak yang sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.

d. Menurut Eulau: kebijakan adalah keputusan tetap, dicirikan oleh tindakan yang bersinambung dan berulang-ulang pada mereka yang membuat dan melaksanakan kebijakan.

e. Menurut Amara Raksasa Taya: kebijakan adalah suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.

f. Menurut Friedrik: kebijakan adalah serangkaian tindakan yang diajukan seseorang, group, dan pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkingkan pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan.

g. Menurut Budiardjo: kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. h. Menurut Carter V. Good: kebijakan adalah sebuah pertimbangan

yang didasarkan atas suatu nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional, untuk mengoperasikan perencanaan yang bersifat umum dan memberikan bimbingan dalam pengambilan keputusan demi tercapainya tujuan.

i. Menurut Indrafachrudi: kebijakan adalah suatu ketentuan pokok yang menjadi dasar dan arah dalam melaksanakan kegiatan administrasi atau pengelolaan.

j. Menurut Carl Friedrich: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. k. Menurut PBB: Kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai dasar

pedoman (untuk) bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. l. Menurut KBBI: Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang

menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tetang perintah, organisasi, dan sebagainya).

m. Menurut Anderson: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah.

n. Menurut Mustopadidjaja: Kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu


(38)

sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam (1) pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan, (2) penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia sebagai “kebijakan criminal”, karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal).40 Oleh karena itu dalam skripsi ini digunakan istilah kebijakan penanggulangan kejahatan.

Kebijakan penanggulangan kejahatan ini terdiri dari: a. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

b. Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy)

G. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan, “suatu upaya pencarian” dan

bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang, di tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu

40

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan:Pustaka Bangsa Press, 2008, Halaman 50


(39)

research, yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan

demikian secara logawiyah berarti “mencari kembali”.41

1. Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Metode penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan penerapan peraturan atau undang-undang yang dilengkapi dengan studi kasus.42

Jenis dan sumber data yang terhimpun dari hasil penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan dan kepustakaan, digolongkan ke dalam 2 jenis data, yaitu :

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan dengan menggunakan metode wawancara atau interview kepada para para pelaku tindak pidana perkosaan, serta lainnya yang relevan dengan pokok permasalahan

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan perundang- undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan dengan pokok materi pembahasan.

2. Metode Penelitian

41

Bambang Sungguno, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007, Halaman 27

42


(40)

Dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian untuk penelitian skripsi ini, penulis mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Binjai dan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di JL. Abdul Hakim, No. 5 A, Pasar I Setia Budi, Medan, Sumatera Utara, 20132

4. Alat Pengumpulan Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpulan data berupa:43

a. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) b. Wawancara (Interview)

c. Daftar pertanyaan (Kuisioner angket) d. Pengamatan (Obeservasi)

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan. Tehnik pengumpulan data lewat studi kepustakaan, dimana penulis memperoleh data dengan mengumpulkan dan membahas bahan-bahan penelitian yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier penelitian ini.44

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

43

Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Paduan Penulisan Tesis dan Disertasi), Medan, 2015, Halaman 109


(41)

Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak pidana hubungan seksual sedarah.

6. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data skunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan bertujuan untuk memudahkan para pembaca untuk membaca dan mengerti isi dari karya ilmiah. Sistematika penulisan merupakan gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:


(42)

Bab I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

Bab ini berisi tentang pengaturan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana hubungan seksual sedarah.

Bab III : FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA HUBUNGAN

SEKSUAL SEDARAH

Dalam bab ini diuraikan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana hubungan seksual sedarah.

Bab IV : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

Merupakan bab yang berisi tentang kebijakan hukum terhadap tindak pidana hubungan seksual terhadap anak

A. Kebijakan Hukum Penal B. Kebijakan Hukum Non-Penal


(43)

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan skripsi ini dan saran yang di harapkan dapat menjadi bahan masukkan dalam hal perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana hubungan seksual sedarah/incest.


(44)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan kepentingan didalam masyarakat harus dapat diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam masyarakat. Adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) , oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat.45

Permasalahan mengenai anak merupakan bahasan yang kompleks dan cukup rumit untuk diselesaikan. Oleh sebab itu permasalahan tersebut haruslah mendapat perhatian khusus. Sebagai makhluk yang lemah sudah seharusnya anak di dalam keluarga mendapatkan perlindungan dan rasa nyaman dari orang tuanya. Antara anak dan orang tua ada suatu kewajiban hubungan timbal-balik yang disebut alimentasi.46 Setiap orang tua wajib untuk mendidik dan melindungi anak sedangkan si anak wajib untuk mentaati orang tuanya.

44

Ni Putu Ria Dewi Marheni, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (Website), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Udayana, Denpasar, 2013, Halaman 34.

46

Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Halaman 65


(45)

Mengenai hak dan kewajiban orang tua diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan :47

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Namun sangat disayangkan banyak pemberitaan belakangan ini yang memberitakan tentang adanya kekerasan seksual terhadap anak di dalam keluarga yang pada umumnya dilakukan oleh orang tuanya. Tindak pidana ini disebut hubungan seksual sedarah/incest. Hubungan seksual sedarah ini bukan termasuk pelanggaran. Hubungan seksual sedarah ini termasuk lingkup kejahatan. Tepatnya termasuk kejahatan kesusilaan. Penyebutan istilah hubungan seksual sedarah atau incest memang tidak dijelaskan secara jelas dalam rumusan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pengaturan mengenai tindak pidana terhadap anak khususnya tentang hubungan seksual sedarah dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Buku II BAB XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan terdapat dalam Pasal 287 ayat (1), Pasal 290, dan Pasal 294 ayat (1).

Dalam ketentuan Pasal 294 ayat (1)48 berbunyi “ Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah

47

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1991, Halaman 299.


(46)

pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannnya yang belum dewasa, diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun”. Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat

beberapa unsur, yaitu: 1. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.49

Unsur subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur “barang siapa”.

Barang siapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa terkecuali dan dalam hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki hubungan dekat.

2. Unsur Objektif

Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:50 a. Perbuatan manusia, berupa:

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

b. Akibat (Result) perbuatan manusia

48

Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta:Rajawali Press, 2003, Halaman 178

49

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta:Sinar Grafika, 2005, halaman 9

50


(47)

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. c. Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: 1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Menurut Pasal 294 ayat (1), terdapat hubungan antara antara subjek hukum atau pembuat (pelaku) dengan objek (korban). Adapun hubungan ini ada dua macam yaitu:

1. Hubungan kekeluargaan

Yaitu adanya kewajiban hukum untuk melindungi, menghidupi, memelihara, dan mendidik dari si pembuat terhadap korban. Misalnya si pembuat dengan anak kandungnya, anak angkatnya, anak tirinya yang belum dewasa.


(48)

Yaitu hubungan yang timbul akibat adanya kewajiban secara professional sehingga tumbuh suatu kewajiban untuk memelihara dan menghidupinya, yaitu hubungan si pembuat dengan anak yang belum dewasa yang dengan pengawasannya, pendidikannya, pemeliharaannya diserahkan padanya.

Pengaturan incest/hubungan seksual sedarah dalam pasal 294 ayat (1) menjadi dipertegas dalam Rancangan Undang-Undang KUHP tahun 2012 dalam

pasal 494 ayat (1) disebutkan “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun”. Di dalam penjelasan pasal 494 RUU

KUHP ini dijelaskan bahwa Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini

dikenal dengan “perbuatan sumbang (incest)”. Ketentuan incest/hubungan seksual sedarah ini dalam RUU KUHP dimasukkan dalam tindak pidana percabulan.

Percabulan sendiri merupakan akar kata data kata “cabul” yang dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Maka percabulan secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara cabul.

B. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Setiap bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan martabat manusia. Kebanyakan korban dari kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak. Sebagai makhluk


(49)

yang lemah sudah sepantasnya perempuan dan anak mendapatkan perlindungan hukum dari Negara dan juga masyarakat. Sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dalam rumah tangga jarang sekali terungkap dikarenakan mindset pelaku kekerasan yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala keluarga menganggap bahwa hal tersebut merupakan urusan rumah tangganya dan ia sebagai kepala keluarga berhak atas apapun yang terjadi di dalam urusan rumah tangganya.

Dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa kekerasan dalam Rumah

Tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Kemudian muncul pertanyaan, siapa saja yang termasuk dalam lingkup Rumah Tangga? Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan yang termasuk ke dalam lingkup Rumah Tangga adalah:

1. Suami, isteri, dan anak;

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau


(50)

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut

Sebelum membahas tentang ketentuan pidana guna memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam hal ini hubungan seksual sedarah, maka dibahas terlebih dahulu hak-hak korban. Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa korban berhak mendapatkan:

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaaan korban

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

5. pelayanan bimbingan rohani.

Dalam ketentuan Pasal 46 disebutkan bahwa “Setiap orang yang

melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


(51)

Kemudian dari rumusan ancaman pidana yang diberikan oleh pasal 46 Undang-Undang No.23 tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dapat diuraikan sebagai berikut:51

1. Setiap orang

Dalam ketentuan pasal ini yang menjadi subjek hukum yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya adlaah manusia secara individu atau orang perseorangan. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan “setiap

orang”. Dalam hal tindak pidana hubungan seksual sedarah/incest yang dilakuan oleh orangtua terhadap anak kandungnya , penggunaan kata

“setiap orang” belum tepat mengenai sasaran terhadap ayah sebagai

pelaku, karena “setiap orang” pada ketentuan ini bersifat umum. 2. Perbuatan pidana

Dalam ketentuan pasal ini, yang merupakan perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh hukum adalah melakukan perbuatan seksual di dalam lingkup rumah tangga. Yang berarti bahwa apabila terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya (tindak pidana incest/inses/hubungan seksual sedarah) maka sudah dapat dijerat dengan ketentuan pidana pada pasal ini.

3. Sanksi pidana a. Lama pidana

51

Lilik Purwastuti Yudaningsih, Pengaturan Tindak Pidana Incest dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Inovatif, Volume VII Nomor II Mei 2014


(52)

Lama pidana yang diberikan oleh Pasal 46 Undang-undang No. 23 tahun 2004 adalah pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Tidak ada rumusan pidana khusus dalam ketentuan ini, yang berarti bahwa pidana penjara bisa aja dijatuhkan dalam rentang waktu 1 hari sampai 12 tahun. Kemudian di dalam ketentuan ancaman pidana ini, juga tidak terdapat pemberatan pidana, mengingat bahwa pelaku adalah orangtua.

b. Sistem perumusan pidana

Sistem perumusan pidana dalam pasal 46 ini adalah Alternatif (penjara atau denda). Sistem perumusan alternatif menyebabkan pidana yang bisa dijatuhkan hanya salah satu diantara penjara maupun denda.

C. Undang-Undang Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo. Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 tahun 2002

Pengaturan lebih khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang dalam Undang-undang No.23 tahun 2002. Pembentukan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional,khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini


(53)

merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Draf pertama Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak ini tersusun pada tahun 1998 dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang menguntungkan serta krisis ekonomi yang begitu mengkhawatirkan.52 Hal inilah yang menyebabkan draf ini tertunda.

Situasi yang tidak kondusif ini mendorong UNICEF untuk memfasilitasi penyusunan Rancangan Undang-Undang ini. Setelah melewati proses yang begitu panjang maka pada tanggal 22 Oktober 2002 RUU tersebut disahkan.

Asas dan tujuan lahirnya undang-undang ini diatur dalam pasal 2 dan pasal 3, sementara mengenai hak anak diatur dalam pasal 4 sampai pasal 18 dan kewajibannya diatur dalam pasal 19. Disebutkan dalam pasal 13 bahwa:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi53

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual54 c. Penelantaran55

52

Komisi Perlindungan Anak Indonesia,Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : KPAI, Halaman 1.

53 Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

54

Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat,

memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan


(54)

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan56 e. Ketidakadilan57

f. Perlakuan salah lainnya58

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Kewajiban orang tua tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 ini juga diatur kewajiban orang tua, antara lain:59

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

55

Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajibab untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

56

Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa:perlakuan yang kejam, mislanya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, mislanya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

57

Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

58

Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.

59


(1)

memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak dari tindakan-tindakan kekerasan seksual khususnya Incest.

2. Perangkat hukum yang ada seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU RI No. 23 tahun 2002 Jo. UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, belum dapat terlaksana dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan semakin maraknya terjadi kasus hubungan seksual sedarah terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan memberikan perhatian dan perlindungan khusus terhadap anak. Dan diharapkan juga agar pemerintah dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perkembangan teknologi dan internet, yang pada saat ini semakin tidak terkontrol dan dapat digunakan secara leluasa untuk membuka akses melihat adegan-adegan pornografi yang tidak patut untuk ditonton oleh umum.

3. Penjatuhan pidana melalui sarana penal nyatanya sudah tepat namun sebaiknya penjatuhan pidananya juga melihat kedudukan pelaku dan korban. Sementara untuk pidana berupa denda ada baiknya jika terdakwa mampu membayar denda yang dijatuhkan oleh hakim sebaiknya denda berupa uang tersebut dapat diberikan kepada anak korban untuk menjamin kelangsungan hidup si anak ke depannya. Selain itu, penulis juga mengharapkan adanya partisipasi dari masyarakat untuk menghindari semakin bertambahnya kasus


(2)

102

Incest dengan cara melakukan pengawasan dan melaporkan kepada pihak yang berwajib jika terjadi tindakan persetubuhan terhadap anak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rieneka Cipta. 1996.

Asmarawati, Tina. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitensier). Yogyakarta: Deepublish. 2015.

Buck, Trevor. International Child Law. Great Britain:Cavendish Publishing Limited. 2005.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta:Rajawali Pers. 2001.

E. Hagan, Frank. Pengantar Kriminologi Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal. Jakarta: Kencana. 2013

Ediwarman. Mongraf Metodologi Penelitian Hukum (Paduan Penulisan Tesis dan Disertasi). Medan. 2015.

Faizin Karimi, Ahmad. Think Different: Jejak Piker Refleksi Seputar Intelektualitas, Humanitas, dan Religiusitas. Gresik:Muhi Press. 2012.

Gosita, Arif. Masalah korban kejahatan. Jakarta:Universitas Trisaksi. 2009.

Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: PT. Refika Aditama. 2012.

Gunakaya, Widiada, Petrus Irianto. Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2012.

Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa Cendekia. 2012. J. Cohen, Bruce. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Asdi Mahasatya. 2003.

Kamelo, Tan dan Syarifah Lisa Andrianti. Hukum Orang dan Keluarga. Medan. 2011. Khairuddin. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahya. 1985.

Komariah. Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2002.

Lamintang, PAF. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti. 2011.


(4)

96

Manik Sulaiman, Zuhdi. Penanganan dan Pendampingan Anak Korban Incest. PKPA. 2002.

Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta:Sinar Grafika. 2005. Moeljanto. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana.

Jakarta:Bina Aksara. 2001.

Mulyadi, Mahmud . Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. Medan:Pustaka Bangsa Press. 2008.

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta:Rajawali Press. 2011.

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cet III. Bandung: PT. Citra Bakti. 2005.

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebikjakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1996.

Projodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. 2003.

Purba, Jonny. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. 2002. R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap

Pasal Demi Pasal. Bogor:Politea. 1988.

Santoso, Topo, Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001. Santoso, Topo. Kriminologi. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2001.

Scharavendijk, van H.J. Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta. 1996.

Soerodibroto, Soenarto. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta:Rajawali Press. 2003.

Stephanie De Laney. Melindungi Anak-Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual dalam Situasi Bencana dan Gawat Darurat. Medan:Restu Printing. 2006. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 1991.


(5)

Sungguno, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2007.

Supratiknya A.. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta:KANISIUS. 2000. Susanto, I.S.. Kejahatan Koorporasi. Semarang:Badan Penerbit UNDIP. 1995. Suyanto, Bagong. Masalah Sosial Anak. Jakarta:Kencana. 2010.

Vembriarto. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta:Andi Ofset. 1990.

W. Nilam. Psikologi Populer: Relasi Ortu & Anak. Jakarta:PT.Elex Media Komputindo. 2009.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

C. KAMUS

John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta:PT. Gramedia.1996

Kamus Besar Bahasa Indonesia D. ARTIKEL/MEDIA MASSA Akademia.Vol.4 No.3 Juli 2000. Seputar Indonesia

Waspada

E. SKRIPSI/TESIS/JURNAL


(6)

98

Pascasarjana Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung. Praevia Vol. 5 No.2 Juli-Desember 201

Hakim Nainggolan, Lukman. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur. Usu Press. Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 Kadir, Abd. Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Incest dengan

Korban Anak (Studi Kasus Wilayah Kabupaten Takalar Tahun 2005-2011). Skripsi. Universitas Hasanuddin Makassar. 2012.

Purwastuti Yudaningsih, Lilik. Pengaturan Tindak Pidana Incest dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.Inovatif, Volume VII Nomor II Mei 2014

F. INTERNET

Azzah, Shaa. “Incest (Perkawinan Sedarah)”. ( www.blog-adhaedelweiss.blogspot.com/2013_04_01_archive.html)

DJ, Saifudien. “Pengertian Tindak Pidana”

(http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/pengertian-tindak-pidana.html)

Pengertian Kebijakan Menurut para Ahli,

(http://www.pengertianahli.com/2014/08/pengertian-kebijakan-menurut-para-ahli.html#)

Pengertian Perilaku Menyimpang Menurut Ahli,

(http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-perilaku-menyimpang-menurut.html#)

Setyawan,Davit. “Kpai : Setiap Bulan 129 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual”, (http://www.kpai.go.id/berita/kpai-setiap-bulan-129-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual/)

www.kaskus.co.id/thread/513ffa92db9248c37900000b/edukasi-sejarah-penyebab-dan-solusi-hubungan-incest.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

4 90 132

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan

3 83 90

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan Pakaian Bekas (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

7 100 107

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)

1 78 149

Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Korban Tindak Pidana Penganiayaan

7 98 93

Analisis Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak (Studi Kasus Wilayah Hukum Lampung Utara)

1 17 51

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

0 1 34