Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

(1)

SUATU TELAAH TERHADAP PROSES PENGAJUAN GRASI

TERHADAP PUTUSAN PIDANA MATI BERDASARKAN UU

RI NO. 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI (STUDI KASUS

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM

NO.513/PID. B/1997/PN. LP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

NAMA : FREDDY SAH LULUS TARIGAN NIM : 050200298

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

SUATU TELAAH TERHADAP PROSES PENGAJUAN GRASI

TERHADAP PUTUSAN PIDANA MATI BERDASARKAN UU

RI NO. 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI (STUDI KASUS

EKSEKUSI MATI DUKUN AS)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Nama : Freddy Sah Lulus Tarigan NIM : 050200298

Departemen Hukum Pidana Disetujui Oleh,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(Dr. M. Hamdan, SH, M. Hum) NIP: 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Edi Yunara, SH, M. Hum) (Alwan, SH, M.Hum) NIP: 196012221986031003 NIP:196005201998021001

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

MEDAN

2011


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI………... iv

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. . Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah……….... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 3

D. Keaslian Penulisan………. 5

E. Tinjauan Pustaka……… 5

1. Pengertian Grasi………... 5

2. Pengertian Pemidanaan dan Pidana Mati………. 8

3. Sejarah Pidana Mati di Indonesia………. 10

4. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati………. 14

F. Metodologi Penelitian……… 16

G. Sistematika Penulisan……… 17

BAB II PROSEDUR PENGAJUAN GRASI KEPADA PRESIDEN PADA TAHAP I DAN TAHAP II…….. 20

A. Sejarah Penerapan Grasi……… 20

B. Eksistensinya Saat Ini……… 26


(4)

D. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan

UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi………. 33

D. 1. Prosedur Peengajuan Grasi Tahap I... 33

D. 2. Prosedur Pengajuan Grasi Tahap II………... 35

BAB III KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR

PENGEKSEKUSIAN TERPIDANA MATI………. 37 A. Tahapan Seorang Terpidana Mati

Dapat Segera Dieksekusi………. 37

B. Pelaksanaan Eksekusi Ketika Terdakwa

Masih Melakukan Upaya Hukum... 43 C. Daya Tekan Pidana Mati Dalam Menimbulkan

Efek Jera Bagi Pelaku Tindak Pidana……… 46 BAB IV ANALISIS KASUS GRASI DALAM

EKSEKUSI TERPIDANA MATI DUKUN AS…… 51 A. Posisi Kasus Putusan Pidana Mati Dukun AS

dan Pertimbangan-pertimbangan Hakim Dalam

Menjatuhkan Vonis………. 51

B. Upaya Hukum Yang Dilakukan Pihak Dukun AS

Terhadap Putusan Pidana Mati Dukun AS………. 54 C. Analisis Kasus/Komentar Penulis……… 58


(5)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 65

A. Kesimpulan………... 65

B. Saran………. 69


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beranjak dari permasalahan yang tersisa dari proses pengeksekusian terpidana mati Dukun AS oleh pihak kejaksaan, di mana terjadi konflik antara pihak kuasa hukum terpidana dengan pihak Kejatisu sebagai eksekutor. Kuasa hukum terpidana berpendapat kalau pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) tidak mengindahkan hak hukum kliennya karena terpidana belum sempat menggunakan haknya untuk mengajukan grasi yang kedua oleh karena belum penuh dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (3) UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Namun, pihak kejatisu berpendapat kalau proses pengeksekusian Dukun AS telah memerhatikan semua ketentuan hukum yang harus dipenuhi. Kejatisu berpendapat bahwa pengajuan grasi yang kedua, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dapat dilakukan jika dalam kurun waktu dua tahun sejak pengajuan grasi pertama pihak kejaksaan belum melakukan eksekusi. Berdasarkan pernyataan ini saya menyimpulkan bahwa setelah pengajuan grasi pertama ditolak oleh Presiden, kejaksaan dapat segera melakukan eksekusi. Sementara jika dikaji Pasal yang menjadi dasar pengeksekusian tersebut, yakni Pasal 2 ayat (3), tidak ada diatur atau memuat mengenai pengeksekusian oleh pihak kejaksaan dalam kurun waktu dua tahun


(7)

setelah penolakan grasi pertama. Demikian pula dalam penjelasan pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai hal ini.

Disamping itu, bila dilihat Pasal 3 UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pasal ini seharusnya dapat menganulir pendapat pihak kejatisu tersebut. Di mana pada masa pengajuan grasi pengeksekusian terhadap putusan pengadilan dalam hal pidana mati dapat ditunda. Namun hal ini apakah sesuai dengan syarat kurun waktu pengajuan grasi yang kedua masih akan dikaji keabsahan pengajuan grasi Dukun AS yang kedua. Sehingga berdasarkan permasalahan tersebut saya ingin mengkaji/menelaah bagaimana sesungguhnya koherensi antara prosedur pengajuan grasi oleh pihak terpidana dengan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana oleh pihak kejaksaan, dalam hal pidana mati. Apakah setelah grasi pertama ditolak oleh Presiden pihak kejaksaan dapat langsung segera mengeksekusi mati terpidana atau memberikan peluang untuk pengajuan grasi yang kedua? Apakah setelah peluang waktu yang diberikan itu telah lewat namun terpidana tidak mengajukan grasi yang kedua, eksekusi dapat dilakukan?

Permasalahan yang kedua dalam hal ini yaitu prosedur pengajuan grasi oleh terpidana sampai akhirnya grasi itu dijawab oleh Presiden. Seperti apakah prosedur yang baku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Mis : UURI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi). Berdasarkan ketentuan yang berlaku seharusnya grasi yang dijawab oleh Presiden ditolak ataupun dikabulkan itu dijawab langsung oleh Presiden melalui surat jawaban yang ditandatangani langsung oleh Presiden dengan kop surat instansi kepresiden. Namun yang terjadi


(8)

dalam kasus Dukun AS pengajuan grasi yang kedua ditolak melalui pejabat setingkat Kepala Biro di Sekretariat Negara.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada bagian latar belakang diatas, maka yang menjadi isu permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur pengajuan grasi kepada Presiden baik grasi I maupun II?

2. Apakah eksekusi dapat dilaksanakan setelah permohonan Grasi I ditolak, sebelum permohonan Grasi II dikabulkan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu: a) untuk memaparkan bagaimana sesungguhnya prosedur pengajuan grasi kepada

Presiden sampai akhirnya dibalas kembali oleh Presiden kepada terdakwa pada praktiknya dan membandingkannya dengan ketentuan tertulis yang mengatur prosedur pengajuan grasi tersebut;

b) untuk mengetahui hubungan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) dengan upaya hukum yang dilakukan terpidana terhadap putusan hakim, dalam hal ini grasi;


(9)

c) untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang harus dipenuhi untuk terlaksananya eksekusi terhadap putusan hakim terhadap terpidana mati, dikaitkan dengan realita yang terjadi terhadap terpidana mati saat ini

2. Manfaat Penulisan

Disamping tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan pemikiran teoretis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak hukum terpidana mati dalam proses pengajuan grasi kepada Presiden.

a) Manfaat teoretis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat baik bagi penulis, mahasiswa, maupun masyarakat luas dalam hal memahami bagaimana proses pengajuan grasi terhadap putusan pidana mati berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dalam hal ini secara spesifik berkaitan dengan kasus pidana mati Dukun A.S.

b) Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangn yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.


(10)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran terhadap data judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas, tidak ditemukan satu judul pun yang sama dengan judul skripsi ini, “Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Studi Kasus Eksekusi Mati Dukun AS)”

.

Kalaupun ada yang sama, hanya hal yang umum saja tidak sampai kepada hal yang spesifik mengenai studi kasus. Dengan demikian skripsi ini dapt dikatakan “ASLI” dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Grasi

Pengertian Grasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1

Istilah grasi oleh banyak penulis buku hukum pidana dirumuskan sebagai hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang

Grasi yaitu ampunan yg diberikan oleh Kepala Negara kepada orang yg telah dijatuhi hukuman; sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 284.


(11)

dipidana.2

Dalam arti umum, grasi sebenarnya merupakan suatu pernyataan dari Kepala Negara yang meniadakan sebagian atau seluruh akibat hukum pidana.

Ataupun sebagai hak prerogatif dari Raja untuk memberikan pengampunan kepada orang yang dipidana, tanpa menyadari bahwa mereka itu sebenarnya sedang membicarakan masalah hukum tatausaha negara.

Apa yang disebut pengampunan oleh Kepala Negara itu tidaklah selalu berkenaan dengan ditiadakannya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim, yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) saja, melainkan juga dapat berkenaan dengan:

a. Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana. Misalnya: perubahan dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup atau menjadi pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun; b. Pengurangan dari lamanya pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan

atau pidana kurungan sebagai pengganti denda atau karena telah dapat menyerahkan sesuatu ‘benda’ yang telah dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara, seperti yang telah diputuskan oleh hakim, dan

c. Pengurangan dari besarnya uang denda seperti telah diputuskan oleh hakim bagi seorang terpidana.

Satochid Kartanegara3

2

Ditjen Hukum dan Perundang-undangan, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan tentang Grasi (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1983), hlm 11.

mengutip pendapat Simons, Vos dan Jonkers sebagai berikut:

3

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Dua (Tanpa tempat: Balai Letur Mahasiswa, tanpa tahun), hlm 245-247


(12)

SIMONS:

“Hak grasi dimasukkan dalam art. 68 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda, yang meliputi hukuman atas dasar keputusan pengadilan.

Penggunaan terhadap hak ini adalah hak untuk terhadap hukuman yang dijatuhkan, secara keseluruhan atau sebagian ditiadakan.

Sekarang ini pelaksanaan hak grasi bukan lagi merupakan suatu yang bersifat kemurahan dari kerajaan, akan tetapi merupakan suatu alat untuk menghindarkan terhadap hukum yang sedang berlaku, akan tetapi yang kurang adil bagi suatu peristiwa-peristiwa khusus. Ketidakadilan itu harus dihindarkan, bila terdapat alasan-alasan dan demi kepentingan negara sendiri untuk menghindarkan pelaksanaan hukuman.

Sifat dari grasi bukan merupakan suatu kemurahan yang ditujukan kepada terhukum, akan tetapi merupakan suatu tindakan hukum, dan selanjutnya grasi dapat diberikan tanpa dinyatakan terlebih dahulu dan tidak dapat ditolak.

Hak grasi juga dapat merupakan perubahan-perubahan dalam bentuk hukuman. Umpamanya hukuman denda sebagai pengganti hukuman vriheiddestraf, hukuman kurungan sebagai pengganti hukuman penjara, dan sebagainya.

Untuk menetapkan hukuman yang lebih berat tidak dimungkinkan.” Vos:

“Mengenai grasi dan bangunan-bangunan semacamnya. Dahulu grasi merupakan suatu kemurahan hati Raja, sekarang lebih ditujukan kepada sifat-sifat korektif terhadap keputusan hakim. Dipandang dari kebebasan hakim dalam menentukan besarnya hukuman, serta adanya lembaga untuk mengadakan pemeriksaan ulang, maka bangunan ini adalah kurang diperlukan. Walaupun demikian terdapat pula dasar-dasar untuk tetap perlunya bangunan ini, umpamanya bagi terhukum yang menunjukkan kelakuan yang baik di dalam penjara.

Grasi di dalam peristiwa-peristiwa perayaan yang bersifat nasional juga tidak dianggap sebagai suatu kemurahan; itu adalah merupakan ungkapan perasaan umum manusia terhadap yang berbuat kejahatan, di mana seakan-akan pembebasan terhadap segala perbuatannya diperlunak.

Grasi sebagai kemurahan hati yang bersifat pribadi dari Raja tidak lagi berlaku. Karena kini grasi itu sebagian besar adalah di bawah pertanggungjawaban pemerintah. Dan karenanya grasi bukan lagi bersifat sebagai suatu kemurahan, karenanya terhukum juga tidak dapat menolaknya.”


(13)

Jonkers:

“Hak Grasi. Arti kekuasaan kehakiman terletak pada kebebasannya, dan dengan sendirinya kebebasan itu adalah dalam arti relatif bukan absolut. Demikian juga hakim, dalam undang-undang untuk alasan-alasan tersebut dapat digeserkan.

Perbedaan hak antara pejabat biasa dan hakim, yang juga tergolong pejabat, bahwa hakim atas pertimbangan sendiri melakukan undang-undang; pemerintah atau administrasi tidak dapat memberikan instruksi-instruksi kepadanya, terhadap tanggapan hakim untuk sesuatu peraturan hukum. Bila itu terjadi, sifat kebendaan yudikatif disamping kekuasaan administratif tidak mungkin ada, yang ada dengan demikian hanya satu kekuasaan saja yaitu kekuasaan administratif.

Salah satu karakteristik dari susunan pemerintah negeri Belanda ialah, bahwa segala ikut campur pemerintah kedalam masalah kehakiman dilarang (art. 157 I.S.). Hanya untuk beberapa hal, pemerintah mempunyai hak di dalam masalah kehakiman. Salah satu contoh diantaranya ialah, hak grasi, yang menurut art. 70 Undang-undang Dasar, dilimpahkan kepada Raja.

Grasi meniadakan akibat-akibat suatu hukuman, dan bukan terhadap hukumannya sendiri. Bila terhukum pada sewaktu-waktu melakukan kejahatan semacam dan harus dituntut, maka hal itu mempunyai dasar sebagai recidive.

Hak grasi dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Suatu hukum dapat sebagian atau seluruhnya ditiadakan suatu bentuk hukuman kepada bentuk hukuman lain, umpamanya, hukuman penjara menjadi hukuman kurungan, menjadi hukuman denda, dan sebagainya.”

2. Pengertian Pemidanaan dan Pidana Mati

Rudy Satriyo Mukantardjo, dalam tulisannya, menyebutkan bahwa Pemidanaan merupakan suatu upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang melalui proses peradilan pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaan/pemberian/penjatuhan pidana lebih berkonotasi pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana.


(14)

Pemidanaan berasal dari kata pidana yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.

Sementara untuk pidana mati, tidak ada sarjana yang secara spesifik memberikan definisi. Hanya saja dalam lalu lintas terminologi, para akademisi maupun para praktisi hukum tidak jarang secara bergantian menggunakan istilah hukuman mati untuk pidana mati. Dalam kajian istilah asing pidana mati sering disebut pula dengan istilah death penalty yang memiliki arti sama dengan hukuman mati. Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kajiannya untuk mencari tahu hubungan antara hukuman mati dengan angka pembunuhan antara 1988-2002 memberi istilah capital punishment untuk hukuman mati. (Catatan KontraS untuk pelaksanaan hukuman mati di dunia).

Dalam konteks akademis para sarjana lebih sering memberikan pandangan-pandangan terhadap pidana mati. Dalam hal ini pandangan itu terbagi atas pandangan yuridis dan pandangan kriminologis. Pandangan yuridis terhadap pidana mati disini adalah suatu pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati berdasarkan teori absolut dari aspek pembalasannya dan teori relatif dari aspek menakutkannya yang bertujuan untuk melindungi masyarakat. Dengan istilah lain, dapat dikatakan suatu pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati hanya dari conseptual abstraction belaka.4

4


(15)

Berbeda dengan pandangan yuridis yang conseptual abstraction, maka pandangan kriminologis lebih melihat pidana sebagai suatu kenyataan. Hal ini dikarenakan para sarjana kriminologi tidak berbicara dengan bahasa transendental, mereka berbicara secara konkrit.5

Di lain hal salah satu ensiklopedia elektronik mencatat bahwa hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

6

3. Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Berkaitan dengan kata sejarah, tak pelak harus menelusuri keberadaan pidana mati baik dari aspek pengaturannya dalam suatu ketentuan hukum maupun dari aspek pelaksanaanya jauh ke belakang sejauh mata memandang. Dalam hal ini Sejarah Pidana Mati yang akan dipaparkan oleh penulis terkait dengan penerapannya pada masa lampau sebelum pendudukan kolonial Belanda dan Jepang, pada masa pendudukan kolonial Belanda dan Jepang, pasca proklamasi kemerdekaan hingga saat ini.

Sejarah Pidana Mati dalam penerapannya sebelum pendudukan kolonial Belanda dan Jepang dapat ditelusuri dari sejarah hukum adat Indonesia. Menurut Plakat tertanggal 22 April 1808 pengadilan diperkenankan menjatuhkan pidana:7

5

J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni Bandung, 1979, hal. 173

6

08.49 WIB

7

Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa


(16)

1. Dibakar hidup-hidup pada suatu tiang, 2. Dimatikan dengan menggunakan keris, 3. Dicap bakar,

4. Dipukul,

5. Kerja paksa pada pekerjaan umum.

Ternyata hukum adat dahulu mengenal pidana mati. Dengan eksekusi yang kejam seperti di Aceh, seorang istri yang berzinah dibunuh. Ketika Sultan berkuasa disana, dapat dijatuhkan lima (5) macam pidana yang utama:8

1. tangan dipotong (pencuri), 2. dibunuh dengan lembing, 3. dipalang di pohon,

4. dipotong daging dari badan terpidana (sajab), 5. ditumbuk kepala terpidana di lesung

Di Sulawesi Selatan, ketika Aru Palaka berkuasa, terpidana yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan kekuasaannya seperti La Sunni dipancung kepalanya. Kemudian kepala itu diletakkan di atas baki dan diperhadapkan kepada Aru Palaka sebagai bukti eksekusi telah dilaksanakan.9

Sistem pemidanaan tersebut dalam plakat masih berlangsung hingga tahun 1848 dengan keluarnya peraturan hukum pidana yang terkenal dengan nama Intermaire Straf Bepalingen LNHB 1848 No. 6 Pasal 1. Peraturan ini meneruskan keadaan hukum pidana yang sudah ada sebelum 1848, terkecuali beberapa perubahan dalam hukum penitensier; yang penting diantaranya ialah pidana mati

8

Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta: Universitas Nijheft, 1981), hal. 243

9


(17)

tidak lagi dilaksanakan dengan cara yang ganas seperti menurut plakat 22 April 1808 itu, tetapi dengan pidana gantung.10

Setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 1915 diberlakukan, maka hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat memakai hukum pidana adat dan istiadat sebagai strafbaar (dapat dipidana), tetapi sebagai

strafmaat (ukuran pidana) boleh karena ia terikat pasal 1 ayat (1) KUHP.11

Sementara pada masa pendudukan Kolonial Belanda maupun Jepang ada beberapa ketentuan pidana mati sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum adat setempat masih dipertahankan, walaupun ada beberapa daerah tertentu dimana cara pengeksekusiannya disesuaikan dengan ketentuan para penjajah. Namun secara umum terkait cara pengeksekusiannya, kebanyakan eksekusi pidana mati dilaksanakan dengan menggantung si penjahat pada tempat penting di tengah-tengah (alun-alun) dengan dipertontonkan di muka umum. Hal ini dimaksudkan supaya sebanyak mungkin orang yang melihatnya dan menjadi takut untuk melakukan kejahatan.12

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1915, Pasal 11 berbunyi, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang gantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.”13

10

Schepper, Het Nederlands Indisch Strafstelsel, 1952, hal. 51

11

Andi Hamzah, A. Sumangelipu, op. cit. hal. 48

12

Ibid., hal. 79

13


(18)

Menurut Prof. Sutan Muhammad, sejarah di Indonesia sebelum perang ada seorang algojo yang bernama Bapak Tere, tinggal di Kebun Sirih, Jakarta. Bapak Tere ini satu-satunya algojo di Indonesia pada saat itu.

Sedangkan pada masa pendudukan Jepang ada dua peraturan yang dijalankan, yaitu Pasal 11 KUHP14 dan satu peraturan baru yang diundangkan oleh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembakan mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal 2 Maret dengan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal dari pemerintah pendudukan Jepang).15

Pada tanggal 29 September 1958 Badan Legislatif menetapkan Undang-undang 1958 No. 73 untuk mencapai kesatuan dalam menetapkan hukum pidana dengan mengumumkan Undang-undang 1946 No. 1 untuk mengikat seluruh Indonesia. Akan tetapi Undang-undang 1946 No. 1 itu adalah hukum pidana dan pada umumnya kedua-duanya hukum pidana yang telah diundangkan dan hukum pidana di luar kode kriminal. Akibatnya ialah, bahwa undang-undang itu mempunyai juga efek pada peraturan dari Lembaran Negara 1945 No. 123. Pasal 1 Undang-undang 1946 No. 1 menetapkan bahwa peraturan-peraturan pidana yang mengikat sekarang ialah peraturan hukum pidana dari 8 Maret 1942. Dari sejak sekarang semua peraturan di Jakarta Raya, Sumatera Timur, Kalimantan, Namun setelah kesatuan Republik Indonesia tercapai, pidana mati kembali dilakukan dengan pidana gantung.

14

KUHP berlaku pada masa pendudukan Jepang, berdasarkan Aturan Peralihan dari Pemerintah Militer Jepang

15

Han Bing Siong, Tjara Melaksanakan Pidana Mati pada Waktu Sekarang dan pada Waktu


(19)

dan Indonesia Timur yang diterbitkan sesudah tanggal itu mesti dianggap batal, termasuk peraturan-peraturan dari Staatblad 1945 No. 123.16

Suatu penetapan baru tentang pelaksanaan pidana mati ialah penetapan Presiden Republik Indonesia Tahun 1964 No. 2 yang menetapkan bahwa pelaksanaan pidana mati, baik yang dijatuhkan di lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.17

4. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati18 Persiapan Pidana Mati

Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri), dilaksanakan tidak di muka umum (oleh karena itu tidak boleh diliput media) dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu putusan perkara, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali ditentukan lain.

Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda dimana Pengadilan Negeri tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Untuk pelaksanaan pidana mati Kapolda membentuk sebuah regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang

16

Andi Hamzah, A. Sumangelipu, op. cit. hal. 91

17

Ibid., hal. 94 18


(20)

Perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob). Selama pelaksanaan pidana mati mereka dibawah perintah Jaksa.

Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa. Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.

Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu (keinginan/pesan terakhir), maka dapat disampaikan kepada Jaksa tersebut. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.

Pelaksanaan Pidana Mati

Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian yang sudah disediakan. Dimana ada sasaran target di baju tersebut (di jantung).

Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Misalnya diikat pada tiang atau kursi.


(21)

Setelah terpidana sudah berada dalam posisinya, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan. Jarak antara terpidana dengan Regu Penembak antara 5 sampai 10 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.

Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

Apabila masih terlihat tanda-tanda kehidupan, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk menembak terpidana menggunakan pistol tepat di atas telinga terpidana. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk memastikan kematiannya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis/spesifikasi Penelitian

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan skripsi.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap


(22)

literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

3. Analisis Data

Yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan yang lain mempunyai keterkaitan (Komprehensif).

Berdasarkan sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam Lima Bab yaitu:

BAB I Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.

BAB II Prosedur Pengajuan Grasi kepada Presiden baik Tahap I maupun Tahap II

Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 Tahun 2002


(23)

Tentang Grasi). Didahului dengan pemaparan mengenai sejarah penerapan grasi, bagaimana eksistensi grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang dipenuhi sebagai standar baku permohonan grasi dikabulkan.

BAB III Kajian Terhadap Prosedur Pengeksekusian Terpidana Mati

Bab ini membahas mengenai tahap lanjutan bilamana semua upaya hukum telah dilakukan, yaitu pengeksekusian terpidana mati. Bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi dan bagaimana bila upaya hukumnya masih berlangsung, dapatkah segera dilakukan pengeksekusian oleh eksekutor. Dan akhirnya bagaimana dengan pidana mati itu sendiri dengan tujuan pidana mati itu diterapkan, daya tekannya untuk menimnbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.

BAB IV Analisis Kasus Grasi dalam Eksekusi Terpidana Mati Dukun AS

Bab ini memuat analisis penulis terhadap kasus grasi dalam eksekusi terpidana mati Dukun A.S. Dengan membandingkan pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis pada putusan pidana mati dukun A.S dan upaya hukum yang dilakukan pihak Dukun A.S.

BAB V Penutup : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari penulis dari pembahasan permasalahan yang ada. Kemudian terhadap permasalahan tersebut dan kalau terjadi di masa yang akan datang penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun dalam praktiknya.


(24)

BAB II

Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I

Maupun Tahap II

A. Sejarah Penerapan Grasi

Pemberian grasi atau pengampunan pada mulanya di zaman kerajaan absolut di Eropa adalah berupa anugerah raja (vorstelijk gunst) yang memberikan pengampunan kepada orang yang telah dipidana, jadi sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh paham Trias Politica, yang mana kekuasaan pemerintahan tidak dapat sekehendaknya ikut campur ke dalam kekuasaan kehakiman, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi suatu upaya koreksi terhadap putusan pengadilan, khususnya dalam hal mengenai pelaksanaannya.

Pada masa penjajahan Jepang, ketentuan tentang permohonan grasi ini termuat dalam peaturan balatentara Jepang, yaitu Osamu/Sei/Hi/No.1583. pasal , Peraturan ini menentukan, selain menurut perturan ini, permohonan apapun harus diurusi pula menurut peraturan yang sudah ada lebih dahulu, dalam hal ini ialah peraturan mengenai permohonan grasi pada masa Hindia Belanda yaitu Gratieregeling yang termuat dalam Staatsblad 1933 No. 22.

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan dasar peniadaan pidana yang telah dibicarakan di atas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Disamping itu diatur juga dalam konstitusi pasal 14 ayat (1) UUD RI Tahun 1945


(25)

yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1947 yang memuat perubahan terhadap Peraturan Pemerintah sebelumnya. Masih pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1947 yang isinya memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya.

Perubahan peraturan itu masih tetap berlanjut. Pada tahun 1948, pemerintah mengeluarkan empat kali Peraturan Pemerintah mengenai permohonan grasi ini, yakni Peraturan Pemerintah No. 3, No. S 1, No. 16, dan terakhir Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1948. Dan menarik, keempat Peraturan Pemerintah ini isinya kembali memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya tentang permohonan grasi.

Pada tanggal 27 Desember 1949 terbentuk negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur dalam pasal 160. Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan Undang-undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40, yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. undang ini disebut pula undang Grasi. Materi muatan Undang-undang ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah lainnya


(26)

mengenai permohonan grasi yang dikeluarkan berdasarkan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen.

Meskipun demikian, ada hal-hal yang baru dalam undang-undang grasi ini. Misalnya, tenggang waktu penundaan pelaksanaan hukuman mati yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkan grasi kepada terpidana mati tersebut sekalipun terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Dalam Undang-undang Grasi tenggang waktunya tiga puluh (30) hari, sementara dalam peraturan sebelumnya 14 hari.

Pada tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 yang mengubah Konstitusi RIS untuk menjadi undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950 menyatakan, UUDS RI ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Berkenaan dengan grasi/pengampunan hukuman, pengaturannya tercantum dalam pasal 107 UUDS 1950. Ayat (1) pasal tersebut menetapkan, Presiden mempunyai hak memberi grasi atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Pelaksanaan hak grasi tersebut didasarkan atas nasehat Mahkamah Agung. Ayat (2) mengatur penangguhan eksekusi hukuman mati untuk memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menggunakan hak grasinya. Ayat (3) mengatur masalah amnesti dan abolisi.

Pada masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai dengan perihal pasal 142 UUDS 1950 yang menentukan segala


(27)

peraturan yang ada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku selama peraturan-peraturan tidak dicabut, ditambah, diubah atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Pada masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi sehingga ia tidak harus menjalani hukumannya. Jika terdapat alasan-alasan yang penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini ditujukan kepada ketua-ketua Pengadilan Negeri dan Kepala-kepala Kejaksaan Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Grasi.

UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui Dekritnya tanggal 5 juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya UUD 1945 mempengaruhi status hukum badan-badan kenegaraan dan peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959. Namun hal ini dapat diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli1959 dan masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3 tahun 1950. Ketentuan-ketentuan yang terbit berkenaan dengan masalah grasi, misalnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/42/11, tanggal 5 Nopember 1969.


(28)

Di samping grasi menurut Undang-undang Grasi, ada pula grasi yang khusus yang didasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 568 tahun 1961 hal ini berkaitan dengan Keppres No. 449 tahun 1961 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dalam pemberontakan.

Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara merupakan wewenang Presiden. Dalam hal ini, berlaku UU Grasi No. 3 tahun 1950 (pasal 7). Mengenai tatacara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, Menteri Kehakiman mengeluarkan Keputusan No. M.03.HN.02.01 tahun 1988 tentang Tatacara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara berdasarkan Keppres No. 5 tahun 1987 tentang Pengurangan Masa Menjalani Pidana (Remisi).

Dengan demikian tatacara pengajuan permohonan perubahan pidana tersebut harus menggunakan tatacara yang diatur dalam UU Grasi tersebut karena mengajukan permohonan kepada Presiden untuk mengubah atau mengganti bentuk hukuman/pemidanaan dengan bentuk pemidanaan yang lebih ringan artinya sama dengan mengajukan grasi.

Setelah UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka lahirlah Undang-undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang diberlakukan mulai tanggal 22 Oktober 2002, dimuat dalam Lembaran Negara


(29)

Tahun 2002 Nomor 108. Sejak saat itu UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Penyesuaian dengan sistem ketatanegaraan Indonesiaan yang dimaksud adalah berhubungan dengan amandemen UUD 1945, yakni ketentuan pasal 14 ayat (1) yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Tatacara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi dalam undang-undang grasi yang lama menimbulkan celah yang selama ini menjadi permasalahan, antara lain megenai penundaan eksekusi karena permohonan grasi. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan permohonan grasi untuk menghindarkan diri dari eksekusi.

Seperti halnya dalam undang-undang grasi yang lama, seorang terpidana mati hanya dapat mengajukan grasi jika putusan pemidanaannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jika terpidana masih dalam proses melakukan upaya hukum berupa banding atau kasasi maka tidak dapat mengajukan grasi, sebab putusan pidana mati pada saat tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Dalam undang-undang ini putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasinya selain pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya paling rendah 2 (dua) tahun. Berbeda dengan undang-undang grasi lama yang tidak membatasi lamanya pidana penjara yang dapat dimohonkan grasi. Sehingga dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang terpidana. Selain itu, tidak adanya batasan tersebut menyebabkan banyaknya permohonan grasi yang harus diproses.


(30)

B. Eksistensi Grasi Saat Ini Ruang lingkup Grasi

Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling rendah dua tahun.

C. Standar Baku Permohonan Grasi Dikabulkan (Bilakah suatu permohonan grasi dikabulkan)

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi (UUD). Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau


(31)

kekuasaan eksklusif atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu kedudukan resmi.

Dengan demikian, dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaanya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan.

Berkaitan dengan bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik.

Menurut Pompe19

1. adanya kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan. Dalam hal ini Pompe menunjuk antara lain pada penafsiran yang lebih , terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan grasi, yaitu:

19

Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984. hlm. 287-288


(32)

luas dari pengertian overmacht di dalam arrest dari Hoge Raad tanggal 15 Oktober 1923, N.J. 1923 W. 11113;

2. adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim;

3. terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut;

4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan;

5. pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah. Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis.

Sedangkan menurut Van Hattum20

20

Ibid, hlm 288-289


(33)

“Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot gratieverlening.” Yang artinya:

“Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi dipergunakan sebagai kemurahan hati dari raja, melainkan ia harus dipergunakan sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan negara itu juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.”

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan tersebut dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan drinya telah berubah menjadi lebih baik,maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Dalam undang-undang grasi sebelum UU No. 22 tahun 2002, prosedur penanganan grasi melibatkan beberapa komponen yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Masing-masing instansi mulai dari Hakim Ketua Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung sampai Mahkamah Agung menyertakan pertimbangannya berkaitan dengan pemebrian atau penolakan grasi terhadap seorang terpidana. Dalam UU


(34)

No. 22 tahun 2002 terdapat penyederhanaan birokrasi, sehingga tidak diperlukan lagi pertimbangan selain dari Mahkamah Agung.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa presiden mempunyai kekuasaan mutlak atas grasi. Adapun pembatasan yang diberikan oleh pasal 14 UUD RI tahun 1945, bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, tidak serta merta mengikat. Karena pertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harus dilaksanakan.

Jika dilihat dalam hal kewenangan presiden atas grasi, berdasarkan pendekatan aliran klasikdalam kriminologi, presiden harus membuat masyarakat merasakan ketentraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Keberadaan penjahat telah merusak keseimbangan sosial. Keadaan tersebut harus dipulihkan. Presiden harus menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat. Sedangkan manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.

Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana. Untuk kejahatan yang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, label yang dikenakan padanya tidak seberat label yang dikenakan bagi terpidana yang terbukti melakukan kejahatan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Hal ini bepengaruh pada penerimaan masyarakat pada terpidana mati yang ternyata memperoleh grasi dari Presiden. Oleh karena itu, pertimbangan Presiden dalam memutuskan penolakan atau pengabulan permohonan grasi terpidana mati disamping melihat karakteristik dari kejahatan yang dilakukan,


(35)

juga harus memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga dapat diwujudkan manfaat bagi masyarakat banyak.

Dari uraian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa tidak ada standar yang baku untuk dikabulkannya sebuah permohonan grasi apakah itu dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun ketentuan-ketentuan tertulis lainnya. Namun, secara garis besar dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini bersifat absolut, artinya tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan;

2. tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik.

3. Hanya ada keadaan/faktor tertentu diluar peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan grasi. Menurut Pompe ada lima (5) keadaan, yaitu adanya kekurangan dalam peraturan perundang-undangan, ada hal yang tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai hal yang meringankan bagi terpidana, terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga


(36)

pemasyarakatan, terpidana dipandang pantas mendapatkan grasi karena mengalami perubahan setelah menjalankan suatu masa percobaan, adanya hari besar/bersejarah sebagai cara untuk membuat terpidana mengenang dan menghargai hari itu sebagai bentuk nasionalisme/bela bangsa. Sedangkan menurut Van Hattum, disamping untuk meniadakan ketidakadilan apabila pemberlakuan hukuman itu menjurus kepada suatu ketidakadilan, kepentingan negara juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.

4. Berdasarkan pendekatan aliran klasik dalam Kriminologi, Presiden harus membuat masyarakat merasakan ketenteraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana.

Sebelum sebuah permohonan grasi diajukan dan akhirnya dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum diajukan kepada Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau

melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat mengajukan permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana;

3. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun;


(37)

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut,

b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan grasi diterima.

D. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

Berdasarkan UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai berikut;21

1. Hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama memberitahukan hak mengajukan grasi kepada terpidana sesaat setelah putusan dibacakan. Namun apabila terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

2. Surat permohonan yang diajukan oleh terpidana atau orang lain dengan persetujuan terpidana (dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dapat diajukan tanpa persetujuan terpidana) harus diajukan kepada Presiden setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan disampaikan kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi ini (dan salinannya) dapat pula disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana

21


(38)

menjalani pidana yang nantinya akan disampaikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan tersebut kepada Presiden dan salinannya kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

3. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.

4. Setelah menerima permohonan yang diajukan, dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, Panitera Pengadilan mengirimkan surat permohonan tersebut beserta berita-berita acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta kasasi (bila ada) kepada Ketua Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan ke Mahkamah Agung. 5. Mahkamah Agung (MA) memberikan pertimbangan-pertimbangannya

terhadap grasi yang diajukan terpidana.

6. Dalam jangka paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, MA segera meneruskan berkas-berkas tersebut beserta pertimbangan yang tertulis kepada Presiden.

7. Presiden kemudian memberikan keputusannya, apakah mengabulkan permohonan grasi atau menolaknya. Jangka waktu pemberian atau penolakan grai paling lambat tiga bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian Keputusan Presiden megenai grasi tersebut disampaikan kepada terpidana paling lambat empat belas hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.

8. Salinan Keputusan Presiden (Keppres) tersebut disampaikan kepada: a. Mahkamah Agung,


(39)

b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, c. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana,

d. dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana terkait. Prosedur pengajuan grasi sebagaimana telah dipaparkan diatas merupakan prosedur pengajuan grasi yang baku yang harus dilakukan oleh terpidana maupun kuasa hukumnya baik pada pengajuan grasi yang pertama maupun pengajuan grasi yang kedua. Namun untuk dapat mengajukan permohonan grasi yang kedua, terpidana harus menunggu waktu dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama ditolak oleh Presiden.


(40)

BAB III

Kajian Terhadap Prosedur Pengeksekusian Terpidana Mati

A. Bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi

Merujuk kepada ketentuan yang berlaku seputar pengaturan pidana mati, baik KUHP, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU No. 2/Pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati maupun UU pidana lainnya, tidak ada secara spesifik mengatur bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi. Namun melihata realita yang terjadi kepada para terpidana mati yang bahkan ada yang menunggu hingga puluhan tahun adalah suatu hal yang wajar jika terlontar pertanyaan, Bagaimanakah seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi? Pertanyaan ini bukan serta merta menginginkan para pelaku kejahatan segera dibumihanguskan melainkan sebagai pertanyaan korektif melihat banyaknya terpidana mati dalam kondisi yang tidak pasti dalam penantian menuju maut.

Pada dasarnya pidana mati dilaksanakan setelah semua upaya hukum yang dilakukan terpidana (baik banding, kasasi, peninjauan kembali, maupun grasi) tidak membuahkan hasil. Berkaitan dengan faktor tertundanya pelaksanaan hukuman mati, keterkaitan peraturan perundang-undangan sangat berpengaruh dalam tertundanya hukuman mati. Antasari Azhar berkata, “Faktor utama tertundanya pelaksanaan eksekusi terpidana (dalam hal ini kejahatan narkoba_namun demikian pula halnya terjadi bagi terpidana lain termasuk pelaku


(41)

pembunuhan berencana seperti Dukun AS) terkait dengan peraturan perundang-undangan.”22

Antasari Azhar juga mengatakan selama seluruh syarat sahnya suatu eksekusi terpenuhi agar terjadi kepastian hokum, seorang eksekutor harus segera melaksanakan eksekusi tersebut. Faktor-faktor yang memungkinkan terlaksananya sebuah eksekusi hukuman mati terhadap terpidana menurut Antasari Azhar adalah:23

1. kondusifnya si terpidana, artinya syarat-syarat sahnya si terpidana utuk dapat dieksekusi terpenuhi misalnya; si terpidana tidak dalam keadaan sakit dan jika si terpidana seorang wanita tidak dalam keadaan hamil;

2. kesiapan eksekutor; 3. kesiapan regu tembak;

4. kesiapan lokasi, agar lokasi disiapkan agar tidak mengganggu ketertiban dan ketetntraman masyarakat;

5. kesiapan administrasi.

Masih menurut Antasari, factor-faktor yang dapat menghambat atau menunda terlaksananya hukuman mati terhadap terpidana yang telah mendapat keputusan hokum tetap antara lain adalah:

1. regulasi (peraturan perundang-undangan), saat ini dengan UU tentang Grasi dan UU tentang peninjauan kembali, dimana Peninjauan Kembali dapat diajukan dua (2) kali dan grasi dapat diajukan satu (1) kali. Inilah yang

22

Fajar Hari Kuncoro, Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Hukuman Mati Bagi Pelaku

Kejahatan Narkoba, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008, hlm. 54

23


(42)

menghambat terlaksananya eksekusi hukuman mati. Karena pengaturan teknisnya, kapan jarak waktu Peninjauan Kembali diajukan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya hal ini dapat menghambat terlaksananya eksekusi;

2. persepsi, apakah Pengadilan Negeri yang menerima pengajuan Peninjauan Kembali dari seorang terpidana, otomatis dapat menolak jika dianggap pengajuan Peninjauan Kembali terpidana tidak relevan. Karena dalam hal ini Pengadilan Negeri tidak memiliki kapasitas dalam menolak Peninjauan Kembali. Karena dalam pengaturan hukum positif yang berlaku lembaga yang berwenang untuk itu adalah Mahkamah Agung;

3. kurangnya sosialisasi/publikasi;

4. waktu, fakta yang terjadi adalah pengajuan Peninjauan Kembali tidak dilihat dari novum (bukti baru) yang ada sementara teknis pengajuan Peninjauan Kembali menurut hukum positif yang berlaku adalah jika ditemukan bukti baru pada kasus yang ada, namun yang terjadi adalah pengajuan Peninjauan Kembali itu hanya untuk menyelesaikan haknya saja tanpa ada novum. Hal ini juga dilayani oleh Mahkamah Agung yang mana tentunya hal tersebut bertentangan dengan undang-undang sehingga proses pengambilan keputusan terkait diterima atau tidaknya Peninjauan Kembali menjadi lama.

Menurut Antasari, undang-undang tidak mengatur jarak antara Peninjauan Kembali yang pertama dengan Peninjauan Kembali yang berikutnya. Sehingga bilamana Peninjauan Kembali yang pertama ditolak sementara undang-undang tidak memberi definisi yang jelas mengenai jarak waktu antara Peninjauan


(43)

Kembali yang pertama dengan yang kedua, hal ini membuat eksekutor tidak dapat segera melakukan eksekusi.

Undang-undang juga tidak mengatur secara tegas dalam hal mana seorang terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali dan dalam hal mana pula seorang terpidana tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali, inilah yang menimbulkan kerancuan dalam sisi pihak eksekutor. Sehingga diperlukan perbaikan regulasi agar terjadi kepastian hukum dan juga untuk kepastian public serta agar si terpidana tidak terlalu lama menjalani masa hukuman di dalam penjara yang tentunya hal tersebut sudah melanggar hak asasi si terpidana.

Demikian pula halnya dalam hal sosialisai terkait peraturan perundang-undangan tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati. Dimana masih ada ketidaksepahaman antara sesama penegak hukum maupun publik yaitu masyarakat secara umum, sehingga sering terjadi kerancuan manakala eksekutor masih memiliki kewenangan yaitu harus menyelesaikan instrument hukum yang harus dijalani apakah grasi atau Peninjauan Kembali. Oeh karena itu dirasa perlu adanya semacam perbaikan atau peninjauan kembali terhadap mekanisme pengajuan Grasi dan Peninjauan kembali agar terjadi kepastian hukum.24

Pada dasarnya dalam pelaksanaan pidana mati, syarat utamanya adalah perkara tersebut harus telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam hal ini sudah tidak ada lagi upaya hokum yang dilakukan oleh terpidana. Apabila perkara tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap,

24


(44)

maka Jaksa (Kejaksaan) belum dapat melakukan eksekusi terhadap pelaksanaan pidana mati.

Menurut Abdurachman Saleh, hambatan yang sering ditemui dalam pelaksanaan pidana mati, antara lain:25

1. Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali waktunya sangat lama, sehingga menghambat perkara tersebut segera memperoleh kekuatan hukum tetap;

2. Keputusan Presiden atas permohonan Grasi terpidana belum diterima Kejaksaan, sehingga belum dapat dieksekusi;

3. aturan hukum mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali masih belum jelas, sehingga dimanfaatkan terpidana untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (kedua kalinya);

4. belum jelasnya aturan hukum yang mengatur apakah terpidana yang sudah mengajukan grasi dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan apakah grasi merupakan upaya hukum terpidana yang terakhir.

Sementara untuk percepatan pelaksanaan pidana mati, hal-hal yang sering dilakukan Kejaksaan antara lain:

1. meminta kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung agar putusan banding atau kasasi atau peninjauan kembali segera diterbitkan;

2. memohon kepada Presiden agar segera menerbitkan Keputusan Presiden mengenai menolak atau menerima Grasi terpidana;

25


(45)

3. memberi masukan kepada badan legislative dan instansi terkait, agar membuat aturan hukum yang jelas mengenai ketentuan Peninjauan Kembali maupun Grasi, artinya perubahan ketentuan.

Secara substansi, penyebab lamanya pelaksanaan pidana mati yaitu, bedasarkan pasal (24), (25), (26), (27), (28), (29) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan bahwa masa penahanan untuk terdakwa dengan pidana di atas sembilan (9) tahun dari mulai proses penyidikan sampai dengan keluarnya keputusan kasasi dari Mahkamah Agung adalah tujuh ratus (700) hari. Belum ditambah dengan masa peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung yang tidak dibatasi jangka waktunya, serta lamanya waktu presiden untuk mempertimbangkan keputusan grasi. Berbeda dengan peninjauan kembali yang tidak mempunyai jangka waktu, maka grasi berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Pasal 8, 9, 10, 11, 12 waktu maksimal yang dibutuhkan adalah tujuh (7) bulan sebelas (11) hari, jika grasi diajukan melalui kepala Lembaga Pemasyarakatan. Jika diajukan langsung tanpa melalui kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka jangka waktu yang ditempuh adalah tujuh (7) bulan empat (4) hari. Berdasarkan undang-undang ini, terpidana dapat mengajukan grasi kedua setelah permohonan grasi pertama ditolak, dan telah lewat waktu dua (2) tahun.

Dalam praktik, biasanya setelah permohonan kasasi ditolak, terpidana mengajukan grasi. Kemudian setelah grasi ditolak, ia mengajukan peninjauan kembali. Seperti disebutkan sebelumnya, jangka waktu peninjauan kembali tidak diatur dengan jelas, sehingga diharapkan peninjauan kembali akan memakan


(46)

waktu lama, yaitu dua (2) tahun atau lebih. Pada saat itu, sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2002, maka ia sudah dapat mengajukan lagi grasi kedua. Jika kemudian grasi ditolak, ia mengajukan peninjauan kembali. Sehingga ada beberapa terpidana yang telah mengajukan grasi dan peninjauan kembali berulang-ulang. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana memakan waktu yang relative lama untuk sampai pada waktu pelaksanaan eksekusi.

B. Dapatkah dieksekusi selama upaya hukumnya masih berlangsung (studi kasus Dukun AS)

Pada dasarnya setiap putusan pidana dapat segera dilakukan pengeksekusian oleh pihak kejaksaan sekalipun terpidana melakukan upaya hukum atas putusan yang dijatuhkan terhadapnya. Apakah upaya hukum tersebut banding, kasasi, peninjauan kembali, maupun grasi.

Namun dalam hal putusan tersebut adalah putusan pidana mati, terdapat pengecualian. Pasal 3 Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang grasi mengatur, “Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.” Ketentuan dalam pasal tersebut mengisyaratkan bahwa semua putusan pidana dapat segera dieksekusi sekalipun terpidana melakukan upaya hukum, dalam hal ini banding, terkecuali untuk putusan pidana mati.

Hal yang menarik dalam kasus eksekusi terpidana mati Dukun AS, terpidana sudah dieksekusi sementara upaya hukum yang diajukannya untuk yang


(47)

terakhir kali (grasi kedua) melalui kuasa hukumnya dalam status yang masih dipertanyakan. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada saat itu, sebagai pimpinan institusi yang mengeksekusi Dukun AS, didampingi Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam pada saat itu, Tarmizi,SH, berdalih, “Grasi Dukun AS telah ditolak Presiden pada 27 November 2007. Secara hukum, pelaksanaan eksekusi itu telah sesuai prosedur dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Kemudian menambahkan, “Pelaksanaan eksekusi itu juga tidak salah meski Dukun AS mengajukan grasi kedua, karena sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, upaya hukum itu hanya dapat dilakukan jika dalam dua tahun sejak penolakan grasi pertama kejaksaan belum melakukan eksekusi.”26

Namun bila dirujuk secara langsung kepada pasal yang dijadikan Kajatisu dan Kajari Lubuk Pakam untuk melakukan eksekusi terhadap Dukun AS, sangat berbeda dengan apa yang dimaksud atau ditafsirkan mereka. Pasal 2 ayat (3) poin a UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan, “Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut.”27

26

Nopember 2008, pukul 19.00 WIB

27


(48)

Menurut penulis, setelah mencoba melihat penjelasan Pasal tersebut dan membandingkannya dengan penafsiran Kejati dan Kajari Lubuk Pakam, dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) poin a UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak ada membuat penjelasan lebih lanjut, hanya dua kata, cukup jelas. Jadi rujukan satu-satunya adalah pasal itu sendiri. Dan dalam isi pasal tersebut tidak ada disebutkan bahwa upaya hukum grasi hanya dapat dilakukan jika dalam dua tahun sejak penolakan grasi pertama kejaksaan belum melakukan eksekusi.

Pasal tersebut hanya menyebutkan bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali terkecuali bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan permohonan grasi (yang pertama) tersebut telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut. Jadi mengacu pada pasal tersebut, dengan segala keterbatasan, penulis menafsirkan beberapa poin sebagai berikut:

1. sebagaimana judul Bab untuk Pasal 2 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002, pasal tersebut merupakan pasal yang berbicara/mengatur tentang ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi bukan berbicara/mengatur tentang boleh tidaknya dieksekusi oleh eksekutor ;

2. Pasal tersebut justru bertendensi positif yang memberi semangat hidup bagi terpidana, dimana bila diterjemahkan secara harfiah pasal tersebut justru memberi hak bagi terpidana untuk mengajukan grasi yang kedua dengan memberi waktu tunggu selama dua tahun. Jadi jika pihak kejaksaan dalam waktu tunggu itu melakukan eksekusi maka sesungguhnya pihak kejaksaan,


(49)

dalam hal ini kejatisu dan kejari Lubuk Pakam, telah memperkosa hak terpidana dan merenggut hak terpidana akan harapannya untuk hidup melalui peluang yang diberikan pemerintah dengan adanya permohonan grasi yang kedua.

Jadi, akhirnya, jika mengingat kembali pertanyaan awal pad bagian ini, “Dapatkah dieksekusi selama upaya hukumnya berlangsung?” Maka jawabannya adalah dapat jika eksekusi yang dilakukan itu bukan bagi terpidana mati. Namun, dalam kaitannya dengan kasus Dukun AS dalam hal ini penulis menyimpulkan pihak eksekutor, yaitu Kejatisu melalui Kejari Lubuk Pakam, telah melanggar ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (3) poin a UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang ironisnya mereka jadikan sebagai dasar untuk mengeksekusi terpidana.

C. Daya tekan Pidana Mati dalam menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana

Sanksi hukum pidana mati sering menjadi perbincangan dan berabad-abad lamanya diterapkan untuk dijadikan sistem pemidanaan oleh masyarakat. Pada jaman itu paham masyarakat dalam menerapkan sanksi hukum pidana mati lebih mengedepankan tujuan pembalasan dalam sistem hukumnya. Dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang lagi sehingga masyarakat menjadi tenteram sekaligus juga dapat memberi efek jera bagi pelanggarnya dan menimbulkan rasa takut kepada masyrakat secara umum. Namun demikian dipihak lain mengatakan


(50)

bahwa hukuman mati dianggap tidak manusiawi dan kejam dan tidak efektif dalam menanggulangi kejahatan.28

Sekitar abad ke-19 muncul pemikiran baru dikalangan ahli hukum Barat, yaitu tidak lagi membahas tentang hukum sebagai kemauan pribadi, tetapi sudah bergeser dan menjadikan hukum sebagai kebutuhan manusia dalam masyarakat. Oleh ahli filsafat hukum barat Roscoe Pound mengatakan “Law as a tool of social engineering”, yaitu tujuan hukum bukan hanya sebagai alat memelihara ketertiban dalam masyarakat melainkan juga sebagai alat dalam “membantu proses perubahan” pada masyarakat itu sendiri.

Ahli-ahli hukum, dokter, sosiolog, budayawan, psikolog, ekonom juga turut memberi kontribusi terhadap arah perubahan pandangan dari pandangan klasik menuju ke aliran hukum pidana modern, sehingga teori lama tentang tujuan hukum incasu tujuan Pidana Mati sebagai suatu tujuan pembalasan atas individu korbannya mulai ditinggalkan orang dan beralih demi melindungi terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Sebagai buktinya adalah banyak penelitian dilakukan oleh ahli hukum dan ahli-ahli bidang lainnya yang menaruh perhatian pada sebab dan akibat terjadinya kejahatan. Sehingga memunculkan teori relatif, teori gabungan sampai kepada teori pembinaan terhadap para pelaku hukum atau para penjahat seperti yang kita kenal sekarang ini.

Isu ketentuan yang mengatur ancaman pidana mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia tersebar luas baik pada KUHP maupun dalam ketentuan hukum pidana khusus. Ketentuan dimaksud dapat dilihat pada pasal-pasal

28

Najab Khan, SH, Sanksi Hukum Pidana Mati dalam Menangkal Kejahatan di Indonesia, paper dalam majalah Yustisi- Vol. 2 No. 1- juni 2007, hlm 47


(51)

kejahatan pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya korban, korupsi, psikotropika, kejahatan yang berhubungan dengan bahan peledak/senjata, dan sebagainya. Negara, pemerintah dan sebagian besar masyarakat masih tetap menganggap serta meyakini ancaman pidana mati atau keputusan hukuman mati dapat menurunkan tingkat kejahatan serta pula membuat efek deterrent (efek mengerikan/jera).

Berbicara mengenai daya tekan pidana mati tidak terlepas dari tujuan pemidanaan. Dan berbicara mengenai tujuan pemidanaan tak terlepas dengan beberapa teori yang menyertainya. Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan.29

Teori absolute (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.

Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus. Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah

29

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, tindak Pidana, Teori-teori

Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002) hal.


(52)

pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.

Sedangkan teori gabungan mendasarkan jalan pemikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.

Dari ketiga teori tersebut yang berkaitan secara langsung dengan daya tekan pidana yang menimbulkan efek jera atau efek deterrent (efek mengerikan/jera) adalah teori prevensi. Dimana dikatakan pada teori prevensi bahwa tujuan pemidanaan berupa pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Adanya tujuan pemidanaan berupa pencegahan memiliki hubungan kausalitas dengan fungsi hukum pidana yang memberikan daya tekan sehingga menimbulkan efek jera.

Namun dalam praktiknya, menjadi pertanyaan, seberapa efektifkah daya tekan pidana mati dalam menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana? Tidak mudah untuk menyibak jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Sebagai contoh pembanding, masih tersimpan diingatan kita kasus Ayodya Prashad terpidana mati karena tindak pidana narkotika, Dukun AS terpidana mati pembunuhan berencana


(53)

terhadap 42 wanita, Tibo Cs dan banyak terpidana mati lainnya yang kini berjuang memperpanjang nafas mereka di bumi ini melalui upaya-upaya hukum yang menjadi hak mereka, ternyata fakta membuktikan bahwa pembunuhan berencana masih terjadi disana-sini, para bandar dan kurir narkoba masih bermunculan bahkan tidak memberi efek deterrent atau efek jera pada calon-calon penjahat yang akan muncul.

Konsep pidana mati oleh sebagian masyarakat diyakini dan dianggap sebagai pilihan kebijakan yang tepat dalam proses penegakan hukum dan bahkan dianggap paling efektif di dalam mewujudkan ketertiban hokum masyarakat. Sehingga kebanyakan orang menginginkan pencantuman ancaman pidana mati pada setiap keadaan-keadaan yang luar biasa atau pada keadaan yang dianggap membahayakan kelangsungan hidup masyarakat. Berbeda dengan konsep pidana penjara, oleh masyarakat sering dianggap kurang efektif dan terkesan lunak.

Namun bila diijinkan untuk membuat perbandingan dan menarika hubungan kausalitas antara sudah berapa lama hukuman mati diterapkan di Negara ini dengan statistik terpidana mati (baik yang sudah dieksekusi maupun yang belum dieksekusi) mulai diterapkannya pidana mati sampai saat ini (yang ternyata semakin meningkat), maka kesimpulan logis yang dapat ditulis dalam secarik kertas bahwa persamaan yang didapat adalah pidana mati tidak memberikan pengaruh sama sekali dalam memberi efek jera bagi para pelaku tindak pidana (residivis) maupun para calon pelaku tindak pidana.


(54)

BAB IV

Analisis Kasus Grasi dalam Eksekusi Terpidana Mati Dukun AS

A. Putusan Pidana Mati Dukun AS dan Pertimbangan-pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Vonis

Dalam kaitannya dengan putusan hakim, sebelum mengkaji mengenai putusan pidana mati Dukun AS dan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan vonis, penulis terlebih dahulu menguraikan beberapa bentuk putusan hakim dan pembagian pertimbangan hakim atas pertimbangan yuridis dan pertimbangan non-yuridis.

Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan, “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”30

Ada tiga (3) bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 191 dan Pasal 193, yaitu:

1. Putusan Bebas

Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan

30


(55)

kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.31 Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.32

Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari dua alat bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Menurut M. Yahya Harahap Putusan Bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquital. Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan.33

31

Agustina Wati Nainggolan, Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), Tesis pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009, hal. 64

32

Ibid

33

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal.


(56)

Bila ditinjau dari segi yuridis, putusan bebas adalah putusan yang dinilai oleh hakim yang bersangkutan:34

1. tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Maksudnya adalah, bahwa pembuktian yang diperoleh dipersidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup itu tidak diyakini oleh hakim.

2. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian

Bahwa kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 138 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Dasar hukum dari putusan ini adalah Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Dari bunyi pasal tersebut dapat diartikan bahwa putusan hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa terbukti, tetapi itu tidak merupakan suatutindak pidana.

Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat

34


(57)

(2) KUHAP, yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria:35

1. apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan;

2. tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Jadi hal yang menjadi landasan putusan pelepasan adalah berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada, bahwa apa yang didakwakan dan yang terbukti tersebut “tidak merupakan tindak pidana”, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.36

Namun menurut Agustina Wati Nainggolan dalam tesisnya berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka Pol. Muhammad Faris Abadi, penyidik Sat Narkoba Poltabes MS, pada 28 Januari 2009 menuliskan bahwa pelepasa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendir maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada:37

1. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa, atau cacat jiwanya, 2. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (overmacht),

3. Pasal 49 KUHP tentang membela diri (noodweer),

35

Ibid

36

Ibid

37


(58)

4. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang,

5. Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat pada pasal-pasal tersebut dikatakan sebagai hal yang bersifat umum.Disamping itu terdapat pula hal-hal yang menghapus pidana secara khusus seperti yang diatur dalam Pasal 166 dan 310 ayat (3) KUHP.38

3. Putusan Pemidanaan

Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Jadi hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan dengan yakin bahwa terdakwa telah bersalah sebagaimana yang telah didakwakan dalam surat dakwaan. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengdilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang disdakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 138 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.

38


(59)

Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan.39

Adapun putusan pidana yang diterima oleh Dukun AS atas kasus Pembunuhan Berencana terhadap 42 (empat puluh dua) Wanita adalah putusan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam pada tanggal 27 April 1998. Kemudian pada tanggal yang sama terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan.

Pengadilan Tinggi Medan pada tanggal 27 Juni 1998 memberikan Putusan Banding terhadap terdakwa yang amar putusannya memperkuat Keputusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tanggal 27 April 1998 No. 513/PID. B/1997/PN. LP dan menolak permohonan banding dari terdakwa Ahmad Suraji alias Nasib Alias Datuk. Kemudian pada tanggal yang sama dijatuhkannya putusan banding ini, terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Kemudian pada tanggal 22 September 1998 Mahkamah Agung dalam amar putusaannya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi, yaitu terdakwa Ahmad Suraji alias Nasib alias Datuk dan memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi di Medan tanggal 27 Juni 1998 No. 80/Pid/1998/PT. Mdn. Dengan pantang menyerah, terdakwa melalui kuasa hukumnya melakukan

39


(1)

UU No. 22 tahun 2002 tersebut. Karena menurut hemat Penulis, meskipun grasi pertama ditolak oleh Presiden terpidana masih dalam status quo menunggu tenggang waktu dua tahun yang diberikan Pasal 2 ayat (3) poin a UU No. 22 tahun 2002 sampai pengajuan grasi yang kedua. Jadi dalam tenggang waktu tersebut sampai sebelum grasi yang kedua ditolak oleh Presiden, eksekusi belum dapat dilaksanakan.

3. Bahwa sekecil apapun kesalahan seseorang, walaupun ia telah mengakuinya dan memohon pengampunan dalam konteks keadilan kesalahan itu harus tetap diberi hukuman.

4. Bahwa melihat kecenderungan manusia yang semakin lama hidup justru semakin banyak berbuat salah dan dosa, adalah suatu hal yang muskil bila kecenderungan itu dipatahkan dengan hukuman. Ibarat membasmi ilalang hanya memotong batangnya, pemberian hukuman hanya akan memberi efek deterrent (efek jera) yang semu dan tidak holistik.

B. SARAN

1. Bahwa melihat adanya penafsiran yang berbeda diantara para aparatur hukum mengenai maksud dan tujuan suatu pasal dan ayat yang termaktub dalam sebuah peraturan perundang-undangan, ada baiknya untuk ayat maupun pasal yang mengatur/berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, nasib/nyawa seseorang, kemaslahatan rakyat perlu dicantumkan penjelasan maksud dan tujuan sebagaimana ayat itu seharusnya ada.


(2)

2. Bahwa perlu diatur secara tegas dan spesifik mengenai prosedur atau hal apa yang harus dilakukan oleh terpidana maupun kuasa hukumnya berkaitan dengan status quo tenggat waktu dua tahun antara pengajuan grasi yang pertama dengan pengajuan grasi yang kedua.

3. Bahwa melihat fakta banyaknya terpidana mati yang menunggu waktu eksekusi sampai puluhan tahun yang tentunya secara tidak langsung melanggar hak asasi terpidana yang secara tidak langsung menambahkan hukuman yang tidak seharusnya ia tanggung, ada baiknya menyeragamkan prosedur upaya hukum yang harus dilakukan terpidana dalam suatu kodifikasi ketentuan yang tertulis. Sehingga ada suatu kesepahaman diantara aparat hokum disluruh negeri dalam memroses upaya hukumnya.

4. Bahwa melihat kecenderungan manusia yang semakin lama hidup justru semakin banyak berbuat salah dan dosa, dari pada memberi hukuman yang lebih bersifak reaktif dan tidak holistik, lebih tepat kalau apa yang menjadi akar masalah pada manusia itu yang diberantas. Yaitu dengan membuat suatu sistem yang mentransformasi terpidana menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan malah menghilangkan nyawanya dengan mati konyol.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anday, Leonard Y, 1960. The Heritage of Aru Palaka, The Hagues: Martinus, Tanpa Penerbit.

Bahiej, Ahmad, Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia, Majalah Sosio-Religia, Vol. 4, No. 4, Tahun 2005.

Chazawi, Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana,

Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Penerbit: PR. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta.

ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, 2005, Position Paper Advokasi RUU seri # 3, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM

Harahap, M. Yahya, 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Kartanegara, Satochid, Tanpa Tahun. Hukum Pidana Bagian Dua, Penerbit: Balai Letur Mahasiswa, Tanpa Tempat.


(4)

Khan, Najab, 2007. Sanksi Hukum Pidana Mati Dalam Menangkal Kejahatan di

Indonesia, Paper Dalam Majalah Yustisi Vol. 2 No. 1, Kota?

Kuncoro, Fajar Hari, 2008. Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Hukuman

Mati Bagi Pelaku Kejahatan Narkoba, Tesis Sekolah Pascasarjana

Universitas Indonesia, Jakarta.

Kanter, Lionard, 2007. Pengaruh Grasi Terhadap Eksekusi Mati Kasus Narkoba, Skripsi Sarjana Fakultas Hukum UI.

Lamintang, P.A.F dan Pompe, 1984. Hukum Penitentiere Indonesia, Penerbit: CV. Armico, Bandung.

Nainggolan, Agustina Wati, 2009. Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Nisfsu Sya’ban, 1985. Hak Presiden Dalam Memberi Grasi, Amnesti, dan

Rehabilitasi, Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Prakoso, Djoko, 1995. Hukum Pidana II, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Sahetapy, J.E, 1979. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Penerbit: Alumni, Bandung.

Satochid Kartanegara, 1975. Hukum Pidana Bagian Dua, Penerbit: Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.


(5)

Siong, Han Bing, 1960. Tjara Melaksanakan Pidana Mati Pada Waktu Sekarang

Dan Pada Waktu Lampau, Ceramah Radio Dari 24 Februari s.d. 15 Juli

1960.

Sumangelipu, A dan Andi Hamzah, 1984. Pidana Mati di Indonesia di Masa

Lalu, Kini dan di Masa Depan, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta.

Supranto, J, 2003. Metode Penelitian Hukum, Penerbit: PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Utrecht, 1981. Hukum Pidana I, Penerbit: Universitas Nijheft, Jakarta. Abidin, Zainal, 1995. Hukum Pidana I, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Tentang Grasi.

Undang-undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1950 Tentang Grasi

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

Internet


(6)


Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

0 48 109

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Pencabutan Delik Aduan Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Akibatnya Dalam Peradilan Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg. : 1276/Pid.B/2007PN.LP)

3 144 102

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5 67 133

Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

0 27 87

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Sesuai Dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Studi Kasus Di Wilayah Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli)

1 64 127

Tinjauan Hukum Atas hak Prerogatif Presiden Dalam Pemberian Grasi Terhadap terpidana Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

0 15 90

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI PERJANJIAN PENJUALAN CRUDE PALM OIL (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.147/Pdt.G/2009/PN.LP)

1 8 45

Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2730/Pid.B/2001/PN.Mdn)

0 2 130