MENDORONG LEBIH JAUH PERDEBATAN FUKUYAMA

MENDORONG LEBIH JAUH PERDEBATAN FUKUYAMA
DAN TICKNER TENTANG PERAN KAUM PEREMPUAN
DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
(Membedah Konstruksi masyarakat Internasional Tentang
Ketimpangan Gender dengan Telaah Pierre Bourdieu tentang
“Symbolic Violance”)
Oleh:

Raden Kartika Arsilya Ayunnidia Ratih

Terdapat beberapa poin yang penulis catat sebagai konsern Tickner dalam mengkritisi
pendapat Francis Fukuyama dalam tulisan yang berjudul “Why women can’t rule the world:
International Politics according to Francis Fukuyama1” antara lain mengenai bagaimana

ketidakmampuan perempuan dalam menghadapi beberapa gangguan yang ada di dalam dunia
Internasional. Walaupun bukan sebagai seorang anti-feminisme, akan tetapi argumen
Fukuyama memang agak mengensampingkan peranan perempuan contohnya ketika
Fukuyama mengatakan bahwasanya ketidakmampuan perempuan dalam menghadapi isu-isu
keamanan yang terjadi di dunia internasional. Dimana Fukuyama meragukan kemampuan
perempuan dalam menghadapi isu-isu seperti peperangan, dan menyikapi para pemimpinpemimpin dari negara-negara yang otoriter semisal Saddam Husein, DKK. Disamping itupula
Fukuyama meragukan kemampuan kaum perempuan dalam menghadapi tantangan dari

negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan yang dipimpin oleh kaum muda yang
belum akrab dengan ide demokrasi yang matang. Gejolak masa muda yang sangat agresif
menjadi sebuah ancaman dalam percaturan politik global baik dimasa kini dan dimasa yang
akan datang. Meminjam lirik lagu dari raja dangdut Indonesia Rhoma Irama yang
mengatakan “Darah Muda, Darahnya para remaja. Yang selalu merasa gagah dan tak mau
mengalah.2 Memang jika sama-sama diamati, pergerakan yang dilakukan oleh para

pemimpin-pemimpin muda cenderung lebih progresif. Oleh karena itu dibutuhkan sosok
pemimpin yang kuat tak kalah agresifnya dan dalam hal ini adalah kaum laki-laki yang dapat
menjawab tantangan ini.
Dalam mengkostruksi kelemahan kaum perempuan diatas, Fukuyama menggunakan
aspek Sosio-Biologi. Dimana terdapat perbedaan gen antara laki-laki dan perempuan, dimana
laki-laki cenderung lebih agresif sedangkan perempuan cenderung bersifat sebaliknya dari

1
Tickner, J. Ann. 1998. ‘Hans Morgenthau’s Political Principles of Political Realism: A Feminist Reformation”
dalam Millenium. Vol. 17 No.3.
2
Lagu Roma Irama yang berjudul Darah Muda


agresif. Fukuyama berpendapat telah terjadi suatu fenomena feminisasi yang terjadi dalam
dunia internasional pada saat ini. Argumen Fukuyama dalam hal ini adalah bahwa perempuan
lebih mencintai perdamaian bahkan sangat erat kaitannya dengan perdamaian. Di lain aspek
Fukuyama juga menawarkan sebuah semangat yang optimis dimana agrsifitas kaum laki-laki
seharusnya dapat dibendung oleh cinta damainya para kaum perempuan dan disalurkan
kedalam urusan produksi yang terkait dengan demokrasi liberal dan kapitalisme. Akan tetapi
pendapat ini tidak seluruhnya tepat karena dalam beberapa kasus justru perempuan juga dapat
menampilkan sikap agresif mereka contohnya seperti Margareth Tacher yang notabene
adalah seorang perempuan justru membawa negaranya untuk memasuki konflik terbuka
dengan Argentina dalam Perang Folkland.
Selain ide yang agak memojokan peran kaum perempuan dalam ranah politik
internasional Fukuyama nampaknya juga ingin terlepas dari label anti feminisme dengan
memasukan pandangannya yang sangat “Menghibur” bagi kaum perempuan seperti yang
dikutip oleh Tickner dalam tulisanya yakni “Dunia yang feminin di mana naluri hewani
lelaki yang agresif dijinakkan dan disalurkan dalam aktivitas produksi yang terkait dengan

demokrasi liberal dan kapitalisme.”3 Akan tetapi Tickner justru berpendapat lain. Tickner
berpendapat bahwasanya feminisme dalam hubungan internasional lebih memilih untuk
dapat memahami mengapa terdapat hirarki sosial yang tidak setara, termasuk hirarki gender,
yang turut berkontribusi pada terciptanya konflik, ketidaksetaraan, dan penindasan ketimbang

terlibat pada perdebatan panjang mengenai sifat alamiah lelaki dan perempuan tersebut.
Bukti-bukti menyatakan perang lebih banyak terjadi pada masyarakat yang ketidaksetaraan

3
Tickner, J. Ann. 1998. ‘Hans Morgenthau’s Political Principles of Political Realism: A Feminist Reformation”
dalam Millenium. Vol. 17 No.3.

gendernya besar. Menurut Tickner, entah disengaja ataupun tidak, tulisan Fukuyama telah
mengalihkan perhatian dari hal tersebut. 4
Terlepas dari pandangan Tickner dan Fukuyama diatas penulis mencoba untuk
mendorong lebih jauh perdebatan tersebut ke ranah yang lebih mendalam dalam hal ini
penulis berusaha untuk melihat bagaimana perempuan dapat ter-marjinalkan dalam ranah
politik internasional dalam hal ini penulis meminjam pemikiran Pierre Bourdeu tentang
kekerasan simbolik dengan tindakan pedagogisnya5 dalam menjelaskan fenomena
ketimpangan gender dalam politik internasional.
Pierre Bourdieu menggunakan metode-metode yang dapat dikatakan diserap dari
berbagai disipilin keilmuan baik itu filsafat, teori sastra, teori sosiologi hingga teori
antropologi. Beliau sangat dikenal dengan karya fenomenal tetapi “abnormal” nya yang
diberi judul Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Dimana pemikiran nya
menyatakan bahwa subjektifitas selera dari subjek manusia merupakan hasil dari perbedaan

kelas sosial. Dalam karyanya, Bourdieu berusaha mendamaikan kesulitan-kesulitan seperti
contohnya memahami dalam struktur objektif, dalam hal ini Bourdieu berusaha
mendamaikan sebuah perkara yang sepertinya menjadi sebuah masalah mendalam dalam
ranah sosial kontemporer yakni latar belakang sosial dan Free Choice “Pilihan Bebas”
terhadap individu. Bourdieu mengembangkan sebuah kerangka studi dan terminologi seperti
modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik, serta habitus, atau ranah, area serta
kekerasan simbolik dalam menjelaskan tentang fenomena relasi kuasa dalam kehidupan
sosial kontemporer. Karya Bourdieu menekankan pada praktik, perwujudan atau bentuk-

4
5

Ibid
Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieu . New York: Routledge. Hal 9

bentuk dalam fenomena sosial dan sebuah konstruksi pandangan dunia yang justru
menyelisihi teori-teori mapan dalam filsafat barat.6
Karya Bourdieu dibangun di atas teori-teori Ludwig Wittgenstein, Maurice MarleauPonty, Edmund Husserl, Georges Canguilhem, Karl Marx, Gaston Bachelard, Max Weber,
Emile Durkheim, dan Norbert Elias. Pengaruh kental yang pada akhirnya terlihat dalam
pemikiran Bourdieu adalah pengaruh dari Blaise Pascal, yang diberi judul Pascalian

Meditations. Karya Bourdieu dipengaruhi oleh antropologi dan sosiologi tradisional, yang ia
serap ke dalam teorinya sendiri. Dari Max Weber, ia memperoleh kesadaran tentang
pentingnya dominasi dan sistem simbolik dalam kehidupan sosial, serta gagasan tatanan
sosial yang akhirnya akan ditransformasikan oleh Bourdieu ke dalam teori ranah-ranah
(fields). Dari Karl Marx, ia memperoleh antara lain pemahaman tentang “masyarakat”
sebagai penjumlahan hubungan-hubungan sosial: “yang eksis dalam dunia sosial adalah
hubungan-hubungan, bukan interaksi antara agen-agen, atau ikatan intersubyektif antara
individu-individu, namun hubungan-hubungan obyektif yang eksis secara independen dari
kesadaran dan kehendak individual.” Hubungan-hubungan itu berlandaskan pada bentuk dan
kondisi-kondisi produksi ekonomi, dan kebutuhan untuk secara dialektis mengembangkan
teori sosial dari praktik sosial7.
Dari Emile Durkheim, akhirnya, Bourdieu mewarisi semacam pendekatan
deterministik tertentu, dan melalui Marcel Mauss dan Claude Levi-Strauss, ia mewarisi gaya
strukturalis yang menekankan kecenderungan struktur-struktur sosial untuk mereproduksi
dirinya sendiri. Bagaimanapun, Bourdieu secara kritis menyimpang dari analisis Durkhemian
ini, yang menekankan peran agen sosial dalam memainkan tatanan-tatanan simbolik melalui

6
7


Ibid hal 14
Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieu. New York: Routledge. Hal 216

perwujudan struktur-struktur sosial. Bourdieu lebih jauh menekankan bahwa reproduksi
struktur-struktur sosial tidak beroperasi menurut logika fungsionalis.8
Tokoh lain yang mempengaruhi Bourdieu adalah Maurice Marleau-Ponty. Melalui
filsuf ini, fenomenologi Edmund Husserl memainkan peranan esensial dalam perumusan
fokus Bourdieu pada tubuh, tindakan, dan disposisi praktis, yang memperoleh manifestasi
utamanya pada teori habitus Bourdieu. Bourdieu juga mengklaim dipengaruhi oleh karya
Wittgenstein tentang mengikuti-aturan (rule-following), dengan menyatakan bahwa
“Wittgenstein barangkali adalah filsuf yang paling membantu saya pada momen-momen
sulit. Dia adalah sejenis penyelamat pada saat-saat tekanan intelektual yang berat.” Karya
Bourdieu dibangun di atas usaha untuk mentransendensi serangkaian oposisi-oposisi yang
mewarnai ilmu-ilmu sosial (seperti: subyektivisme-obyektivisme, mikro-makro, kebebasandeterminisme). Secara khusus, ia melakukan hal ini melalui inovasi-inovasi konseptual.
Konsep-konsep habitus, modal, dan ranah memang disusun dengan niat untuk menghapuskan
oposisi-oposisi semacam itu.9
Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat,
atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis
modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika
pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang

memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakantindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence).10
Contohnya bisa terlihat, ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah orangtua
si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan
dengan anak perempuan mereka, menunjukkan wajah dan tindakan yang menandakan rasa
8

Bordieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature. Cambridge: Polity P.
Hal 45
9
Ibid hal 46
10
Ibid hal 47

kurang senang. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis tidak akan diizinkan
meneruskan hubungannya dengan sang pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa
atau eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya.11
Orang mengalami kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai
sesuatu yang sah (legitimate). Maka, si gadis sering akan merasa wajib memenuhi tuntutan
orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si pemuda
pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda. Lebih

jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu
yang sah, gadis itu ikut terlibat dalam ketundukannya (subordination) sendiri. Rasa kewajiban
telah berhasil memaksanya secara lebih efektif, ketimbang yang dapat dilakukan oleh teguran
atau omelan eksplisit dari si orangtua.12
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan
persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial
itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung
mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi
kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan
simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan
simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan
memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial. Dalam tulisan-tulisan teoretisnya,
Bourdieu menggunakan beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses
reproduksi sosial dan budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal cenderung untuk
ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya.13

11

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis
Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies . Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Hal 76

12
Ibid hal 100
13
Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to Investigations in, and Applications
of, Modern Philosophy. New York: Routledge. Hal 112

Bagi Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini. Keberhasilan
pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan keseluruhan cakupan perilaku budaya, yang
meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-akan bersifat non-akademis, seperti: gaya berjalan,
busana, atau aksen. Anak-anak dari kalangan atas (privileged) telah mempelajari perilaku ini,
sebagaimana juga guru-guru mereka. Sedangkan anak-anak berlatar belakang kalangan
bawah tidak mempelajarinya. Anak-anak kalangan atas dengan demikian tanpa banyak
kesulitan justru cocok dengan pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka. Mereka
terkesan “patuh.” Sedangkan anak dari kalangan bawah terlihat “sulit diatur,” bahkan “suka
menentang.” Bagaimanapun, kedua macam anak ini berperilaku sebagaimana yang
didiktekan oleh latar belakang asuhannya. Bourdieu menganggap, “kemudahan” atau
kemampuan “alamiah” pembedaan (distinction) pada faktanya adalah produk dari kerja sosial
yang berat, yang sebagian besar dilakukan para orangtua mereka. Hal itu melengkapi anakanak mereka dengan kecondongan-kecondongan perilaku serta pikiran, yang memastikan
mereka sanggup berhasil dalam sistem pendidikan, dan kemudian dapat mereproduksi posisi
kelas orangtuanya dalam sistem sosial yang lebih luas.14

Modal budaya (seperti: kompetensi, keterampilan, kualifikasi) juga dapat menjadi
sumber salah-pengenalan dan kekerasan simbolik. Karena itu, anak-anak dari kelas pekerja
dapat melihat keberhasilan pendidikan teman sebayanya yang berasal dari kelas menengah
sebagai sesuatu yang selalu sah. Mereka melihat hal yang sering merupakan ketidaksetaraan
berdasarkan kelas, dilihat sebagai hasil kerja keras atau bahkan kemampuan “alamiah.”
Bagian kunci dari proses ini adalah transformasi warisan simbolik atau ekonomi seseorang
(seperti: aksen atau harta milik) menjadi modal budaya (seperti: kualifikasi universitas) –

14

Ibid hal 120

suatu proses di mana logika ranah-ranah budaya dapat menghalangi atau menghambat, tetapi
tidak dapat mencegah.15
Jika merujuk kepada pemikiran Pierre Bourdieu, dominasi simbolik yang terjadi di
dalam ranah Internasional kemudian melembaga, dimana pembagian kerja dan fenomena
Internasional justru pada akhirnya diklasifikasin menurut perbedaan biologis dalam hal ini
adalah gender. Pelembagaan-pelembagaan tersebut pada akhirnya hadir dan membentuk
sebuah sitgma yang dinyatakan secara tersirat oleh fukuyama diatas dengan politik
internasional yang penuh dengan peperangan pertumpahan darah merupakan sebuah prilaku

maskulin yang sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh kaum perempuan. Lagi-lagi penulis
tegaskan walaupun seorang Francis Fukuyama bukanlah seorang yang anti terhadap
feminisme, akan tetapi penulis berusaha melihat lebih jauh konstruksi Fukuyama mengapa
beliau dapat beranggapan demikian.
Pada ranah internasional peran perempuan bagi beberapa paradigma populer memang
akhirnya justru terpinggirkan. Mengapa demikian? Hal ini terjadi justru berasal dari berbagai
macam hal khususnya dari paradigma agama yang selama ratusan atau bahkan ribuan tahun
telah menjadi sebuah dasar berpijak bagi masyarakat dunia. Walaupun pada era kontemporer
sekarang ini, peran agama telah banyak tergerus akan tetapi akar dari konstruksi pemikiran
mengenai hak-hak perempuan yang dikebiri justru masih berasal dari doktrin agama lampau.
Doktrin agama lampau serta penafsiran subjektif dari kultur-kultur yang mendasari konstruksi
internasional menjadi sebuah pedagogi yang mempengaruhi peran perempuan dalam dunia
internasional pada saat sekarang ini. Tindakan pedagogi16 yang dilakukan agama seperti

15

Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy. Knowledge History of Philosophy
Volume VIII. New York: Routledge. hal 111
16
Tindakan pedagogis adalah perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan sengaja dalam rangka pencapaian
tujuan pendidikan. Tindakan yang didasarkan atas sikap/pandangan/filsafat hidup seseorang. Dalam hal ini,
sikap/pandangan/filsafat pendidik mengenai pendidikan (tujuan, subyek pendidikan).

doktrin yang menyatakan bahwasanya “Hawa tercipta dari tulang rusuk adam” 17, kemudian
dari beberapa literatur Islam yang mengatakan bahwasanya “Fitnah seorang laki-laki yang
paling besar adalah perempuan”, kemudian dilarangnya perempuan untuk keluar rumah tanpa
makhram (Saudara mukhrim)18 menurut penulis merupakan sebuah faktor utama yang
menyebabkan ketimpangan gender yang terjadi di dalam ranah politik internasional dewasa
ini. Selain itu pula dalam masyarakat eropa sebelum tercerahkan, stigma “penyihir” Juga
melekat pada diri kaum perempuan. Pertanyaan yang mendasar hal ini adalah mengapa pada
abad pertengahan hanya perempuan yang dianggap penyihir19? Seperti halnya hanya terdapat
istilah “Nenek Sihir”, tetapi kita tidak pernah mendengar istilah “kakek sihir”?
Sejarah mengenai ketidak-adilan yang dialami oleh kaum perempuan juga termaktub
dalam buku The Hammer of Witch. Lebih dari 70 persen tertuduhnya adalah kaum wanita,
terutama para janda, yang sering kali tidak punya pembela. Korbannya mencakup orang
miskin, kaum lansia, dan tabib wanita, apalagi kalau pengobatannya gagal. Siapa pun bisa
jadi tertuduhnya, kaya atau miskin, pria atau wanita, orang biasa atau terpandang.20
Jauh ke masa sebelumnya, orang-orang Yunani pun membuat diskriminasi yang tegas
antara laki-laki dan pe- rempuan: dalam hak waris, hak mengutarakan pendapat, dan

17

Dan berkata Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas: Ketika Adam menetap di surga dia berjalan sendiri, dan ketika ia
tidur diciptakanlah Hawa untuk menemaninya dari bagian tulang rusuknya yang kecil sebelah kiri. Ketika Hawa
menjauh, Adam melihatnya dan berkata: Siapa engkau? Dia berkata: Perempuan yang diciptakan dari tulang
rusukmu dan dijadikanlah tulang rusuk itu bagian dariku. Diambil dari kitab Shahih Bukhari vol 3 hadist
riwayat Bukhari dan Muslim no 32
18
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian)
selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi,
Ibnu Majah, dan Ahmad), Imam Al Baghawi mengatakan : “Ulama sepakat bahwa dalam perkara yang bukan
wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar kecuali disertai oleh suami atau mahram yang lain,
terkecuali wanita kafir yang telah masuk Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil
meloloskan diri dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar dari lingkup mereka dengan tanpa
mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak merasa takut.” (Syarhus Sunnah 7/20) disadur dari
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/larangan-wanita-pergi-tanpa-mahram/ pada pukul 03.46
wib tanggal 31 Januari 2016

sebagainya. Andaipun diakui keberadaannya, perem- puan tidak lebih dari pemuas nafsu seks
dan tempat untuk melahirkan anak-anak. Seorang orator bangsa Yunani yang terkenal
berkata, "Kami mengambil istri hanya untuk melahirkan anak-anak hukum kita." Selain itu
Wanita Romawi dianggap sebagai barang murahan. Mereka memperlakukan kaum wanita
sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan, ada sebuah pertemuan para cendikiawan di
majelis Roma yang khusus membicarakan masalah perempuan. Pertemuan tersebut
memutuskan bahwa wanita hanyalah sebuah eksistensi tanpa jiwa dan dia tidak mewarisi
kehidupan akhirat. Dia hanya kotoran dan dia tidak boleh makan daging, bahkan tidak boleh
tertawa atau bicara. Semua itu menjadi hal yang wajib dilaksanakannya. Satu- satunya "hak"
perempuan adalah "menghabiskan waktu" untuk melayani dan tunduk patuh terhadap setiap
keinginan laki-laki.21
Dari beberapa contoh yang telah penulis sebutkan diatas, dapat kita lihat memang
penjajahan dan marjinalisasi yang dialami kaum perempuan memang sudah sangat lama
berakar dalam konstruksi sosial peradaban-peradaban mapan di dunia ini. Dalam hal ini
pedagogi yang ada telah mengakar cukup kuat dalam kebudayaan masyarakat dunia. Maka
tidak heran jika diskriminasi perempuan sangat mewarnai konstelasi politik dunia pada era
yang katanya telah tercerahkan ini. Dan jika penulis tarik hubungan langsung dengan tulisan
“Pertengkaran” akademis antara Francis Fukuyama dan Tickner dalam hal ini sudah sangat
lumrah dan akarnya memang sudah mendarah daging dalam masyarakat internasional.
Mengutip perkataan Bourdieu mengenai Tidakan pedagogis yang menyatakan
bahwasanya tindakan pedagogis adalah sebuah proses infiltrasi ide secara terus menerus dan
berkesinambungan hingga pada akhirnya “Subjek” berhenti untuk mempertanyakan
pertanyaan “Mengapa?” sangat relevan dalam hal ini. Banyak perempuan dalam peradaban
dunia ini justru pada akhirnya menyerah terhadap dominasi laki-laki walaupun sebagian
21

http://m.hijabers.abatasa.co.id/hijabers/detail//206/kaum-wanita-15-abad-lalu--bag-3-.html di akses pada
tanggal 31 Januari 2016 pada pukul 04.14 wib

mereka berusaha melawan dengan gerakan feminisme. Pertanyaan lanjutan dalam tulisan ini
yang mungkin akan menjadi konsern lanjutan adalah mengapa pembagian gender harus eksis
di peradaban yang katanya telah tercerahkan? Mengapa harus ada konsep laki-laki dan
perempuan? Mengapa terdapat konsep maskulin dan feminim? Hal ini membuktikan adanya
penjajahan terselubung terhadap ide. Pembagian gender laki-laki dan perempuan justru pada
akhirnya menyebabkan dominasi salah satu gender. Meminjam istilah Feminisme Marxis
bahwasanya perempuan dalam konstelasi politik global berada pada kelas proletar yang
secara sistematis di injak oleh kaum Bourjuis dalam bentuk hegemoni maskulinitas.
Jika feminisme hadir untuk menyetarakan atau jika merujuk pada pandangan
feminisme marxis untuk menghapuskan penindasan kelas Borjuis maskulin terhadap proletar
feminim? mengapa paradigma feminisme tidak berusaha untuk masuk kepada penggugatan
“Beyond Gender” dimana ide tentang gender harusnya dapat di dekonstruksi ulang sehingga
penghapusan dikotomi gender dapat dihilangkan untuk selama-lamanya dan meminjam
istilah marxisme yaitu terciptalah masyarakat tanpa kelas karena kelas pun telah telah
terdekonstruksi maknanya sehingga tidak ada lagi yang dinamakan “kelas”!

DAFTAR PUSTAKA


Tickner, J. Ann. 1998. ‘Hans Morgenthau’s Political Principles of Political Realism:
A Feminist Reformation” dalam Millenium. Vol. 17 No.3.




Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieu. New York: Routledge.
Bordieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural Production: Essays on Art and
Literature. Cambridge: Polity



Lubis,

Akhyar

Yusuf.

2006.

Dekonstruksi

Epistemologi

Modern:

Dari

Posmodernisme, Teori Kritis Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies. Jakarta:

Pustaka Indonesia Satu.


Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to
Investigations in, and Applications of, Modern Philosophy. New York: Routledge.



Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy. Knowledge
History of Philosophy Volume VIII. New York: Routledge. hal 111



Kitab Shahih Bukhari. 2012. vol 3 hadist, Dar El Hadist, Solo

SUMBER ELEKTRONIK


http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/larangan-wanita-pergi-tanpamahram/ pada pukul 03.46 wib tanggal 31 Januari 2016



http://m.hijabers.abatasa.co.id/hijabers/detail//206/kaum-wanita-15-abad-lalu--bag-3.html di akses pada tanggal 31 Januari 2016 pada pukul 04.14 wib