Desa Cosmopolitan Globalisasi dan Masa D
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Menjaga Kekayaan Desa Sebagai Amanah Konstitusi
Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” bukan hanya sebuah
kata-kata. Pasal tersebut diciptakan melalui pertimbangan yang dalam, karena
sumber daya alam adalah anugerah dari tuhan yang maha esa. Oleh karena itu,
konstitusi sebagai buah perjuangan para pendiri bangsa lebih dari sekedar sebuah
simbol belaka karena kemerdekaan tidaklah diraih dengan cuma-cuma.
Konstitusi tidak lain merupakan sebuah janji yang tentunya menjadi tugas para
generasi selanjutnya. Dengan kata lain perjuangan kemerdekaan Indonesia
tidaklah sebaiknya berhenti pada tahun 1945.
Akan tetapi, fenomena yang dihadapi Indonesia kekinian rupanya bertolak
belakang dengan amanah Konstitusi Indonesia 1945 pasal 33. Bahkan dalam era
pasca reformasi, kata pembangunan hanyalah menjadi mantra. Jika disimak
pembangunan desa pasca reformasi tidak lagi dilandasi oleh kontrol yang kuat
dari negara. Melainkan pembangunan kini menjadi sangat bergantung pada
investasi asing oleh organisasi internasional dan sektor swasta. Bahkan pasca
krisis 2008, ketika banyak negara mulai mengembalikan lagi kontrol pemerintah
yang ketat dalam menjaga kekayaanya, Indonesia justru mempersilahkan swasta
asing untuk menguasai aset negara. Bahkan banyak sekali undang-undang dan
peraturan pemerintah yang menganut ketentuan rezim pasar bebas. Undang
Undang yang tak ubahnya sebagai bentuk “izin” negara untuk melegalisasi
eksploitasi kekayaan alam.
“Lalu siapakah yang mampu untuk mengingatkan kembali kepada
pemerintah sekarang untuk kembali pada amanah konstitusi? apakah rakyat hanya
diam dan menyaksikkan saja?. Ternyata tidak. Telah sering kita menyaksikkan
parade dan atraksi gerakan sosial oleh rakyat yang antusias ikut bermain dalam
teater demokrasi, meskipun hanya menjadi pemain figuran. Berbagai macam orasi
berapi-api dengan segala atributnya telah dikumandangkan oleh berbagai elemen
1
masyarakat, mulai dari gerakan protes rakyat atas kenaikan BBM, hingga
nasionalisasi beberapa perusahaan multinasional. Sebuah gerakan yang
menunjukkan hasrat rakyat yang begitu menggelora untuk beralih posisi dari
sekedar penonton menjadi sang aktor. Namun ironi ketika drama pergerakan
tersebut justru hanya menjadi “commercial break” yang muncul sekilas lalu
hilang seketika. Kini, rakyat sedang menyaksikkan adegan dimana Negara dan
korporasi berduet dalam teater kekuasaan.
Oleh karenanya, kemerdekaan tidak hanya sekedar dirayakan namun juga
diisi oleh pembangunan. Namun kata pembangunan di Republik Indonesia
bermakna ganda. Entah mengapa kata pembangunan hingga kini tidak bisa
dihilangkan dengan mudahnya. Di satu sisi, pembangunan disikapi dengan
sukacita. Di sisi lain, pembangunan menyisakan trauma yang tentunya belum bisa
dilupakan begitu saja oleh masyarakat desa. Sebuah trauma yang mengingatkan
bagaimana kondisi pada zaman orde baru yang pro pembangunan desa. Namun,
Jargon pembangunan desa dengan segala infrastrukturnya ternyata adalah akses
bagi korporasi untuk penyerapan sumber daya.
Para pendiri bangsa seperti Bung Hatta, sebetulnya telah membuat gagasan
mengenai pembangunan desa. Gagasan-gagasan tersebut tertuang dalam karyanya
yang berjudul Beberapa Fasal Ekonomi. Bung Hatta mengawali ulasannya
tentang pedesaan dengan membedah perbedaan antara desa dengan kota.
Menurutnya, perbedaan antara desa dengan kota di Indonesia terutama disebabkan
oleh pengaruh kolonialisme Belanda. Secara detail, diungkapkan oleh Hatta,
kemunculan kota dalam sejarah Nusantara merupakan dampak langsung dari
kolonisasi Belanda. Hal ini berbeda dengan kemunculan kota dalam peradaban
Eropa maupun peradaban-peradaban tua di dunia lainnya, yang disebabkan oleh
kemajuan tenaga produktif masyarakat.1
Sementara di sisi lain, desa merupakan entitas sosial yang telah ada dalam
masyarakat Nusantara jauh sebelum pengaruh Hindu-Buddha datang. Latar
belakang sejarah yang berbeda ini menyebabkan perbedaan antara desa dengan
kota di segala aspek makin tajam. Bahkan, perbedaan tersebut memiliki
1 Refi, Wahyuni. Pembangunan dan Penguatan Desa”. 13 Mei 2013. Diakses dalam
http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/2439-pembangunan-dan-penguatandesa.html
2
kecenderungan ke arah kesenjangan setelah Indonesia merdeka. Kesenjangan
itulah yang hingga kini membuat desa hanya menjadi penyedia bahan pangan
serta sumber alam yang ekonomis bagi masyarakat kota.
Sementara, kota yang cepat mengalami modernisasi dari desa telah
memiliki hubungan sosial produksi industrial yang didukung oleh alat produksi
dengan kapasitas besar. Kapasitas produksi yang besar itu tentu membutuhkan
pasar yang besar pula. Maka di sinilah peran masyarakat desa selaku konsumen
atau pasar potensial, dibutuhkan oleh masyarakat kota. Sejak era kolonial, desa
telah menjadi tujuan utama penjualan hasil produksi dari kota. Maka, kemiskinan
yang terjadi di pedesaan akan membuat masyarakat kota kehilangan pasar. Di
sinilah keterikatan antara rakyat desa dengan masyarakat kota terlihat erat.
Tentunya, kemiskinan yang melanda pedesaan akan berdampak juga kepada
pertumbuhan ekonomi kota. Hal ini mengantarkan kita pada konklusi sederhana,
bahwasanya kemiskinan di pedesaan harus dientaskan, bukan hanya demi
kesejahteraan masyarakat desa, melainkan juga masyarakat kota.
Sepanjang sejarahnya pencarian sumber daya alam memang menjadi titik
sentral dalam perjalananan sejarah manusia pasca revolusi industri. Sebelumnya
pada abad kedelapan belas Robert Malthus telah mengingatkan kita bahwasanya
perkembangan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertumbuhan manusia.
Robert Malthus menekankan bagaimana perkembangan sumber daya alam berada
dalam deret hitung, sedangkan perkembangan manusia berlangsung secara deret
ukur. Implikasinya pada suatu titik kulminasi, maka manusia akan mengalami
kelangkaan sumber daya alam. Namun, perkembangan inovasi dan teknologi
manusia modern membuat aktivitas ekonomi hingga kini masih berjalan dengan
semestinya. Akan tetapi, perkembangan teknologi dan inovasi manusia untuk
mengatasi kelangkaan tersebut bukan berarti menunjukkan jika prediksi Malthus
hanyalah dongeng. Ramalan Malthus hanya tertunda untuk beberapa saat
sebagaimana ramalan Karl Marx.2
Bahkan, ramalan Robert Malthus tersebut semakin menunjukkan gemanya
dalam era krisis tahun 2008. Krisis energi kembali menjadi isu yang berkembang
2 Malthus, Thomas. dalam Arnsperger, Cristian. Critical Political Economy: Complexity,
Rationality and the Logicof Post-Orthodox Pluralism. London: Routledge, 2008.
3
pesat ditengah perkembangan akumulasi kapital ditambah dengan jumlah manusia
yang juga semakin berkembang. Negara industri maju seperti Eropa dan Amerika
Serikat memegang beban yang besar dalam kaitanya dengan upaya
mempertahankan industrialisasinya. Problem semakin bertambah ketika minyak
dan sumber daya alam lainya sebagai penyokong kegiatan industri semakin hari
semakin mahal karena faktor kelangkaan. Kelangkaan tersebut diperparah oleh
instabilitas politik yang terjadi di negara penghasil sumber daya alam seperti
Afrika Utara dan Arab. Terlebih lagi negara industri maju notabene bukan
penghasil sumber daya alam dan mineral. Sehingga beberapa langkah strategis
harus dipikirkan negara maju untuk menghadapi prediksi Malthusian yang mulai
terlihat nyata dalam konteks kekinian.
Beberapa fenomena tersebut membuat penulis perlu untuk kembali pada
dialektika materialisme Marx sebagai pisau analisis dalam karya sederhana ini.
Bukan manusia yang menguasai materi, namun materi-lah yang menguasai
manusia.3 Setidaknya ungkapan tersebut menunjukkan tidak selamanya sains,
teknologi dan modernitas dapat melampaui materi sebagai aspek tak tergantikan
dalam kehidupan manusia.4 Bahkan inovasi dan teknologi tersebut hanyalah
bagian dari dilema yang sedang dihadapi manusia era industrilisasi. Dengan kata
lain teknologi bukanlah subyek, melainkan hanyalah obyek dalam proses
dialektika materialisme. Terlebih lagi, perkembangan sumber daya alam
kontemporer tak lagi sanggup memuaskan perkembangan keserakahan manusia
yang ternyata bahkan melebihi “deret ukur”.
Daya tahan sistem Kapitalisme yang masih bertahan hingga sekarang
terhadap prediksi suram Marx dan kaum kiri menjadi sebuah misteri. Misteri
tersebut berupaya dikupas oleh David Harvey yang menjelaskan adanya
kemampuan metafisika kapitalisme dalam mereproduksi ruang (reproduction of
space). Akumulasi kapital tidak bisa lincah berakselerasi dalam ranah (Ruang
tetap) spatial fix kedaulatan negara (sovereignity), sehingga kapitalisme
3 Lebowitz, Michael. A. Beyond Capital, Marx Political Economy of Working Class. New York:
Palgrave Macmillian, 2003.
4 Michael Burawoy, “Marx After Communism”, Journal Theory and Society, 29: 151-174.
Kluwer Academic Publishers. 2000.
4
membutuhkan ruang tambahan yang disebut spatio temporal fix. 5 Kata Temporal
dan fix dalam ruang tetap temporal (spatio temporal fix) perlu untuk dibaca
dengan cukup kritis karena menggambarkan sebuah perpaduan kata yang saling
meng-antagonismekan. Dimana logika “Geo” yang statis bertemu dengan logika
politik yang dinamis dan transformatif. Dalam studi ilmu politik, spatio temporal
fix merupakan bagian dari geopolitik dan geoekonomi.6 Namun dalam studi
politik, aspek spatio (ruang) merupakan sesuatu yang dinamis.
Ekspansi perusahaan multinasional ke wilayah desa di Indonesia secara
teoritik dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan spatio temporal fix
yang tak lain sebagai strategi dalam bertahan ditengah kondisi sumber daya alam
yang semakin langka. Secara teoritik, Harvey merumuskan antitesa dari tesis Rosa
Louxembourg yang menekankan bahwasanya proses produksi kontemporer
terjebak dalam rendahnya konsumsi (underconsumption) dan kelebihan produksi
(overproduction). Berdasarkan teori Harvey, maka yang menjadi dilema bagi
perusahaan multinasional kontemporer justru sebaliknya, overproduction
sekaligus overconsumption karena kelangkaan bahan baku, namun di sisi lain
permintaan pasar yang tinggi.
Spatio temporal fix merupakan konsekuensi dari akumulasi kapital yang
berhasrat melepaskan diri atas kontradiskinya dengan logika territorial.7 Sekalipun
dalam beberapa kasus terjadi perselingkuhan antara keduanya, Namun dalam
perjalananya juga senantiasa terjadi benturan antara logika territorial dan logika
Kapital. Hal tersebut karena logika asal dari territorial (geo) adalah bersifat statis
sedangkan logika kapital (political economy) bersifat dinamis. Sebagai contoh,
bagaimana kegagalan infiltrasi AS ke Vietnam dan Irak secara Ekonomi
merupakan bukti sejarah bahwa tidak selamanya logika territorial dan logika
kapital bisa berkerjasama. Spatio temporal fix inilah sesungguhnya wajah asli
dari globalisasi yang acapkali kita dengungkan.
Teori spatio temporal fix menunjukkan sebuah posisi dilematis dalam
perekonomian negara industri. Sebagaimana kita ketahui bahwa negara juga
5 Harvey, David. Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontenporer,
terjemahan Nailil Printika, diterbitkan oleh Institute for Global Justice dan Insist, 2010.
6 Thuathail, Gerard O. Understanding critical geopolitics: Geopolitics and risk society, Journal of
strategic studies, vol 22, No.3, 1999. Pp. 107-124.
7 Levebre, Henry. The Reproduction of space. John Wiley and Sons. 1992.
5
memiliki fungsi untuk menanggung dampak negatif dari eksplotasi alam. Tentu
cukup menyulitkan bagi Indonesia untuk melakukan segregasi kepentingan
dengan negara yang memiliki kepentingan nasional masing-masing. Terlebih lagi,
banyak negara industri asing memiliki ambisi untuk mengamankan pasokan raw
material sebagai antisipasi jangka panjang pasca krisis Global 2008. Sehingga
sampai sejauh mana negara-negara pasca krisis 2008 sanggup mengatasi masalah
kelangkaan SDA yang semakin hari semakin langka. Setidaknya hal tersebut
merupakan problematisasi yang berupaya diungkap oleh tulisan sederhana ini.
Tanpa disadari meningkatnya kemajuan dalam bidang teknologi,
komunikasi, informasi dan transportasi dalam era globalisasi telah mendorong
akselerasi kapital semakin tanpa batas (borderless). 8 Jan. N Pieterse dalam
tulisannya ”Neoliberal Globalization” menyatakan bahwa interdependensi dan
integrasi ekonomi global yang berada didalam kerangka ekonomi pasar bebas
merupakan suatu nilai yang mendasar dalam globalisasi. Dalam artikel “The
Globalization of Production” yang ditulis oleh Eric Thun, menggambarkan
perubahan aktivitas produksi pada era globalisasi menjelaskan peluang dan
tantangan yang dihadapi oleh pemerintah negara dalam memutuskan suatu
kebijakan ditengah gencarnya penetrasi Multinational Corporation (MNC). Secara
umum hal ini membawa pada globalisasi yang sifatnya lebih khusus dalam
ekonomi. Globalisasi ekonomi merupakan proses penyatuan aspek-aspek ekonomi
dalam sebuah standar yang kemudian difragmentasikan ke seluruh dunia. Manfred
Stegger menerjemahkan globalisasi sebagai “a social condition characterized by
the existence of global economic, political, cultural, and environmental
interconnections and flows that make many of the currently existing borders and
boundaries irrelevant”.9
Globalisasi secara perlahan akan membuat kedaulatan negara menjadi
tersamarkan. Anggapan bahwa kedaulatan negara semakin samar seiring dengan
menyebarnya MNC di seluruh dunia dikemukakan oleh Kenichi Ohmae dalam
bukunya yakni The End of Nation State. Dalam perekonomian internasional,
8 Pieterse, Jan. N. “Neoliberal Globalization”, dalam Globalization or Empire?, London
:Routledge. 2004.
9 Stegger, Manfred. Globalization a Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press.
2003.
6
globalisasi memiliki kajian spesifik ketika adanya rantai produksi MNC. Namun,
anggapan mengenai usangnya negara merupakan fenomena yang sampai saat ini
masih diperdebatkan. Hal tersebut kemudian dibantah oleh Kalvajit Singh dalam
bukunya yakni Questioning Globalization. Singh berpendapat bahwa tidak semua
negara mengalami powerless yang nantinya menjurus pada usangnya nation state
yang diakibatkan oleh aliran modal transnational yang dibawa oleh MNC.. Oleh
karena itu, intervensi pemerintah dalam model ekonomi berbasis pasar bebas
sangat mutlak dibutuhkan.
Hubungan yang terjalin antara Negara dan MNC menunjukkan relasi
saling ketergantungan diantara keduanya. MNC membutuhkan Negara sebagai
tempat yang menyediakan keperluan-keperluan yang dibuthkan oleh MNC seperti
infrastruktur dalam menyediakan jalur atau akses-akses komunikasi dan
transportasi dan juga menyediakan sumber daya manusia. Negara membutuhkan
MNC sebagai sumber pemasukan negara dan mengentas pengangguran.
Sebaliknya, MNC juga membutuhkan Negara sebagai melalui jaminan keamanan
dan perlindungan. Selain itu, MNC juga membutuhkan hukum Negara untuk
dapat mengembangkan usahanya ke suatu Negara.10 Selain itu, penanaman
pengaruh dari negara asal MNC terhadap cabang dari relokasi MNC menjadi
tujuan dari agenda terselubung yakni perluasan wilayah negara atau imperialisme
model baru. Bahkan perkembangan menunjukkan jika MNC terbentuk melalui
merger dan akuisisi yang dilakukan dengan berbagai perusahaan lokal di berbagai
negara berkembang
Oleh karena itu, Liberalisasi perdagangan menjadi syarat ketika MNC
ingin berinvestasi guna mengakses pasar diluar negara asalnya. Namun ketika
porsi relokasi rantai nilai harus terintegrasi dengan aktivitas global lainnya, maka
fragmentasi rantai nilai membutuhkan adanya perendahan tarif atau pajak.
Implikasinya, kekayaan asset MNC tersebut justru mampu melebihi GDP sebuah
negara. Sebagai contoh, jumlah karyawan perusahaan Exxon di luar negeri tiga
kali lipat dibanding karyawan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Penjualan tahunan perusahaan General Motors lebih tinggi dari GNP Indonesia,
10 Singh, Kavaljit. “Does Globalization Spell the End of Nation-State”, dalam Questioning
Globalization, London: Zed Books, 2005.
7
Turki, dan Yugoslavia. Bahkan diproyeksikan bahwa pada beberapa tahun
kedepan sekitar tiga ratus perusahaan multinasional besar akan mengontrol
delapan puluh persen aset manufaktur dunia. 11
Multinational Corporations (MNC) atau yang dikenal juga dengan
perusahaan multinasional dapat didefinisikan menurut berbagai cara. MNC
didefinisikan sebagai perusahaan yang beroperasi di dua atau lebih negara. MNC
juga dianggap sebagai sekumpulan perusahaan yang berasal dari negara yang
berbeda yang bergabung melalui ikatan-ikatan strategi bersama. Pengertian lain
menyebutkan MNC sebagai perusahaan yang fasilitas pengendalian produksinya
dikontrol oleh dua negara atau lebih, dengan kantor pusat di satu negara tetapi
kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang.
Bagaimanapun juga MNC datang dengan dua sisi, seperti halnya
globalisasi, tidak semuanya buruk dan tidak semuanya baik. Sisi positifnya MNC
datang sebagai agen pembawa transfer teknologi dari negara maju ke negara
berkembang. Transfer teknologi ini sekaligus menjembatani pengetahuan negara
maju dan negara berkembang. Menjamurnya MNC juga diakibatkan kebutuhan
masyarakat yang kian beragam, dan MNC memanfaatkan kondisi tersebut dengan
menyediakan kepada masyarakat ‘sesuatu’ yang mereka butuhkan. Sedangkan sisi
buruknya, selain memiliki peran dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan
negara, bisnis dan korporasi adalah alat untuk mengejar keuntungan.
Buku The Multinational Corporation dari Joseph Stigiltz (2006),
menyatakan setidaknya ada lima aspek penting yang harus dilakukan supaya
pertumbuhan MNC tidak berdampak negatif. Pertama adalah, setiap korporasi
diwajibkan untuk memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR).
Program tersebut bertujuan untuk mendekatkan perusahaan dengan masyarakat di
lingkungannya dan diharapkan akan dapat meningkatkan tujuan bersama. Contoh
nyatanya adalah bagaimana perusahaan dapat membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitarnya. Yang kedua adalah, pembatasan power dari sebuah
korporasi. Pembatasan diperlukan agar tidak muncul monopoli pasar. Hal ini
mengingat bahwa semakin besar kekuatan ekonomi sebuah korporasi akan
11 Stiglitz, Joseph, “The Multinational Corporation”, dalam Making Globalization Work, London:
Penguin Allen Lane, 2006.
8
semakin besar monopoli. Ketiga, adalah meningkatkan governance perusahaan,
yaitu bagaimana perusahaan tidak hanya menjadi shareholders namun juga
menjadi stakeholders bagi masyarakat dan karyawan perusahaan. Keempat adalah,
pembentukan peraturan global untuk ekonomi. Peraturan yang sudah dibentuk
juga dilengkapi dengan kerangka kerja legal secara internasional. Yang terakhir
adalah pemberantasan korupsi dimana suatu MNC dapat rusak melalui praktek
korupsi di dalam perusahaan. Weatherbee menyatakan korupsi terjadi di negara
yang demokrasi lemah, hal ini terlihat dari tidak adanya transparansi dalam
pengelolaan anggaran.12
Secara historis, keberadaan perusahaan multinasional tidaklah baru.
Sejarah membuktikan bahwa sejak abad ke-16 perusahaan multinasional sudah
ada, misalnya The Dutch East India Company dan the Massachusetts Bay
Company. Bahkan penjajahan Belanda di Indonesia dijalankan atas nama
perusahaan multinasional VOC. Namun, keberadaan perusahaan mutinasional saat
ini dengan yang dulu sangatlah berbeda. Terlihat dari segi kekuasaan yang
dimiliknya yang mana MNC zaman dahulu mempunyai kewenangan untuk
menentukan kebijakannya sendiri dan bebas melakukan ekspansi ke teritorial
lainnya karena sedikitnya jumlah MNC yang saling bersaing. Kini, pemerintah
negara berkembang menggunakan ekspansi global MNC sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi di negaranya.13 Sehingga kegiatan MNC kini tidak terlepas
dari kebijakan pemerintah dan aturan-aturan terkait yang ditentukan oleh home
country maupun host country. Hal tersebut semakin parah ketika pasca Perang
Dunia II, PBB meliberalisasi perdagangan dunia. Kembali ke sejarah bahwa jauh
sebelum para MNC menjamur, istilah tradisional bernama kongsi dagang menjadi
populer dengan contoh yakni keberadaan VOC atau Verenigde Oost Indische
Compagnie yang merupakan salah satu wujud aplikasi dari kata kongsi itu sendiri.
VOC bisa dikatakan merupakan kongsi dagang yang terbesar dan yang kali
pertama ada dalam sejarah dunia perdagangan Indonesia.14 Kongsi dagang pun
12 Weatherbee, Donald E., “Human Rights in Southeast Asia’s International Relations”, dalam
International Relations in Southeast Asia. Lanham: Rowman & Littlefield Publisher Inc, 2005.
13 Thun, Eric.“The Globalization of Production”, dalam John Ravenhill, Global Political
Economy, Oxford: Oxford University Press, 2008.
14 Wiharyanto, Kardiyat.,“Pergantian Kekuasaan di Indonesia tahun 1800”, Yogyakarta : CAPS,
2007.
9
kini telah memiliki istilah yang lebih terkesan elite, yaitu Multinational
Cooporation (MNC).
Berkembangnyya MNC dimulai sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat
dan Inggris serta kawasan Eropa lainnya yang dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor pendorong. Dua hal utama yang menjadi determinannya adalah theory of
location dan principle of comparative advantage.15 Michael Billing menyebutkan
bahwa munculnya terminologi globalisasi berkaitan dengan strategi pemasaran
global. Dengan kata lain, globalisasi idrntik dengan perencanaan strategis dalam
perusahaan transnasional yang dipelopori oleh Coca-Cola, Ford, dan Mc Donald.
Sebuah perusahaan didalam menjalankan bisnisnya selalu ingin mencapai profit
yang maksimal. Maka, Proses produksi akan ditempatkan di lokasi yang paling
efisien yang dekat dengan sumber faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja
murah dan sumber produksi lainnya. Selain itu, MNC berusaha untuk mengurangi
biaya transportasi dengan memindahkan fasilitas ke tempat yang lebih dekat
dengan pasar konsumen supaya tidak menelan biaya distribusi yang besar
sekaligus berusaha untuk menghindari hambatan tarif. MNC dapat pindah ke
negeri lain untuk menghindari regulasi pemerintah berupa peraturan perbankan,
pembatasan mata uang, atau regulasi lingkungan.
Globalisasi menjadi elemen kunci pasar bebas terletak pada kemampuan
MNC untuk menyelaraskan, mengintegrasikan, dan membuat produksinya secara
fleksibel, melalui penggunaan teknologi komunikasi dan robotisasi produksi.
Upaya rasionalisasi produksi dijalankan melalui integrasi elemen-elemen kegiatan
ekonomi dengan modal swasta dalam skala dunia.16 Globalisasi sebagai wahana
ekspansi perusahaan mutinasional dicitrakan dengan dua hal, yaitu: (1) globalisasi
pemasaran dengan tujuan totalitas konsumsi potensial untuk satu produk di
seluruh dunia dengan operasi skala global; dan (2) publisitas global, sebagai soft
power perusahaan multinasional dalam menciptakan kebutuhan semu, serta
internalisasi dan eksternalisasi suatu produk ke dunia.17
15 Gilpin, Robert. “The State and The Multinationals”, dalam Global Political Economy:
Understanding The International Economic Order. Princeton: Princeton University Press, 2001.
16 Jary, David & Jary, Julia, Coolins Glossary οf Sociology Harper. Glaslow : Collins
Manufacturing:. 1991.
17 Outhwaite, William (Ed.). Kamus Lengkap Pemikiran Shared Present. Kencana Prenada Media
Assemble: Jakarta. 2008.
10
Dalam dunia akademis sekalipun juga tidak jarang muncul perdebatan
antara apakah negara atau korporasi yang harus menjadi aktor utama. IImu
Ekonomi berpijak pada asumsi bahwa mekanisme pasar bersifat alamiah masih
menjadi paradigma utama ketika berbicara masalah pembangunan. Namun dengan
mengedepankan peran korporasi sebagai aktor utama pembangunan, maka wajar
tatkala banyak problem yang termarginalkan, salah satunya adalah sumber daya
alam. Ternyata para ekonom lupa bahwa aktivitas transaksi dapat berjalan adil
dalam sebuah koridor politik yang dinamakan negara yang memiliki otoritas
menjaga sumber alam.18 Sehingga adalah hal yang sangat menguntungkan bagi
negara yang memiliki kapasitas ketergantungan satu sama lain. Tidak ada aturan
terkait tentang perekonomian internasional sehingga negara bebas melakukan
kerjasama dengan negara-negara yang dibutuhkan untuk meningkatkan profit dan
benefit dari setiap unit perekonomian tersebut.
Kita bisa melihat terjadi kesenjangan antar negara dalam teori sistem dunia
yang dikemukakan oleh Wallerstein. Negara digolongkan menjadi tiga klasifikasi
berdasarkan pembagian kerja masing masing yakni Negara inti, pinggiran dan
semi-pinggiran. Negara inti (core) adalah negara industri dengan sistem
pemerintahan demokrasi, pertumbuhan ekonomi tinggi ditunjang nilai investasi
yang tinggi, impor bahan mentah dan ekspor manufaktur Sedangkan negara
kategori pinggiran alias periperi adalah kebalikan dari karakteristik yang terdapat
pada negara inti, yakni negara dengan perkembangan industri yang minim.
Namun negara-negara yang berstatus periperi cukup banyak memiliki potensi
sumber daya alam. 19
Berkaitan dengan teori sistem dunia dari Wallerstein, maka negara inti
akan berupaya untuk memfokuskan kerjasama dengan langusng maupun tidak
langsung mengeksploitasi potensi negara-negara dibawahnya. Negara core akan
mengincar potensi sumber daya alam negara setempat sesuai dengan kepentingan
nasionalnya. Supaya surplus keuntungan yang diraih negara core lebih besar,
maka pada negara semi-periperi, barang ekspor dan impor mencakup bahan
mentah dan manufakturnya tetapi tingkat kesejahteraan, gaji, serta pelayanan
18 Arnsperger, Cristian. Critical Political Economy: Complexity, Rationality and the Logic of
Post-Orthodox Pluralism (London: Routledge, 2008).
19 Baylis, John, "The Globalization of World Politics". Oxford University Press, 2008, hal. 148.
11
masyarakatnya sangat kurang. Kita dapat menunjuk bahwa negara-negara di
Eropa, Amerika dan beberapa negara Asia, semisal Jepang adalah negara core
karena mengandalkan pada investasi. Sedangkan sisanya termasuk Indonesia
dapat diglolongkan ke dalam semi-periperi atau periperi.
Cara yang paling canggih yang sering dilakukan korporasi adalah dengan
memanfaatkan lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, WTO dan World Bank.
Atas nama globalisasi, IMF, WTO dan World Bank mengajukan tawaran
pembentukan pasar bebas yang dimuklai dari serangkaian hutang luar negeri.
Sebuah skema yang pada akhirnya membuat negara berkembang akan mengalami
ketergantungan Investasi. Selanjutnya, intervensi pemerintah dimarginalkan dan
pelaku bisnis memegang kendali berbagai area publik yang semula dikelola dan
menjadi domain negara. Oleh karena itu, Noreena Hertz menyebut gejala tersebut
sebagai “silent take over” (pengambilalihan diam-diam). Dimana korporasi
multinasional menjelma jadi institusi dominan yang kekuasaan yang mana
pengaruhnya melebihi organisasi internasional.
Implikasinya, kepentingan yang menguntungkan negara investor selalu
diorientasikan dalam perundingan Internasional macam WTO. Selanjutnya, hasil
regulasi internasional tersebut diinfiltrasi kedalam birokrasi negara berkembang.
Parahnya dalam era otonomi daerah maka tidak hanya dari pemerintah pusat saja,
bahkan hingga unit birokrasi terkecil seperti kepala desa juga berpotensi ikut
membiarkan eksplorasi alam. Jika hanya keuntungan uang dan sumber pekerjaan
yang dicari maka sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan desa setempat
terkait potensi sumber daya alamnya. SDA bahkan menjadi tidak dimanfaatkan
oleh warga setempat melainkan untuk kepentingan segelinitir korporasi. Pada
akhirnya masyarakat desanya hanya menjadi penonton karena tidak bisa
mengolahnya sendiri malah justru mendapat perlakuan yang kurang baik karena
dianggap hanya mengganggu aktivitas korporasi.
Dari fakta tersebut setidaknya kita mulai bertanya, apakah yang mendasari
para aktor internasional mengincar desa di Indonesia? Secara historis, setidaknya
terdapat beberapa alasan yang mendasar bagi Negara kolonial menancapkan
dominasinya di Indonesia. Salah satunya yang paling tenar adalah rempah-rempah
dan hasil pertanian Indonesia yang terkenal. Kepulauan Maluku sebagai contoh,
12
merupakan bagian dari Indonesia yang dijamah pertamakali oleh Portugis pada
tahun 1509, hingga kemudian berhasil diusir di tahun 1595. Spanyol, Inggris, dan
Belanda merupakan Negara-negara Eropa selanjutnya yang menjamah Indonesia
di sekitar abad 16-19. Bahkan Jepang sebagai Negara Asia pertama yang memiliki
derajat setingkat kulit putih Eropa sempat tiga tahun lebih menikmati manisnya
alam Indonesia.20 Namun ternyata kolonialisme juga dijalani dari persekutuan
yang dilakukan oleh beberapa pribumi yang mendukung kolonialisme untuk
kepentingan mereka sendiri. Faktor internal tersebutlah yang membuat Belanda
dapat melakukan penjajahan dalam waktu yang relatif lama, yakni 350 tahun.
Maka total selama 450 tahun hasil pertanian dan perkebunan desa Indonesia
diangkut untuk kesejahteraan Negara lain.
Kini, konstelasi negara dan korporasi ternyata tidak selalu menjadi dilema,
bahkan dalam beberapa adegan, terutama saat krisis terjadi, justru keduanya
berkolaborasi bersama. Logika kedaulatan negara dalam era globalisasi semakin
tidak mampu menahan akselerasi logika akumulasi kapital yang semakin sporadis.
Sebaliknya, logika pasar bebas semakin membutuhkan institusi yang bisa
memberikan jaminan dan insentif ketika terguncang krisis. Implikasinya, paradoks
terjadi ketika negara dan korporasi saling menyelamatkan, maka seringkali rakyat
di pedesaan dengan terpaksa harus dilupakan dan dikorbankan.
Disinilah konstitusi 1945 menunjukkan bahwasanya kemerdekaan adalah
hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan.
Namun, Indonesia bukanlah negara yang menutup diri dari kerjasama ekonomi
dengan sesama negara lain. Hal tersebut dicontohkan Sukarno yang aktif menjalin
kerjasama dengan negara negara berkembang lain sebagaimana tertuang dalam
semangat Bandung spirit. Dengan kata lain, Indonesia berusaha untuk tidak
terjebak dalam dikotomi antara ekonomi terbuka dan ekonomi tertutup.
Memurnikan konstitusi pasal 33 menjadi perlu karena pada era kontemporer
negara berpotensi berselingkuh dengan korporasi untuk mengkhianati rakyatnya.
Dengan demikian, maka antisipasi perlu sebagai lampu kuning untuk pemerintah
dalam menjaga desa di Indonesia.
20 Zeenath Kausar, Colonization to globalization: Might isRight Continues. Thinker’s library.
13
1.2. Sejarah dan Potensi Desa Indonesia
Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan
pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota,
negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga
dan sebagainya). Dalam hal ini, Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai
“komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Koentjaraningrat tidak
memberikan penegasan spesifik bahwa komunitas desa secara khusus tergantung
pada sektor pertanian. Dengan kata lain bahwa masyarakat desa sebagai sebuah
komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam,
tidak di sektor pertanian saja.21 Sedangkan Sosiolog perdesaan asal AS, Paul
Landis mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga pemilahan
berdasarkan pada tujuan analisa. Untuk tujuan analisis statistik, maka desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500
orang. Sedangkan untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai
suatu
lingkungan
yang
penduduknya
memiliki
hubungan
yang
akrab
(gemmenischaaft) dan serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan
21 Koentjaraningrat (ed.). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 1977.
14
untuk tujuan analisa ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang
penduduknya tergantung kepada pertanian.22
Pembangunan sejatinya adalah sebuah proses sosial yang mengasumsikan
ekonomi dapat mendorong keterbelakangan kearah kemajuan melalui terciptanya
suatu yang dinamis sehingga mampu membangkitkan pertumbuhan secara
berkesinambungan berupa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern.23 Sulit dipungkiri, pertanian merupakan basis produksi paling mendasar
untuk memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan primer menjadi sangat
potensial dalam menjadi lahan akumulasi modal. Oleh karena itu pertanian yang
semula merupakan salah satu kegiatan paling awal dikenal peradaban manusia
yang juga merupakan budaya, kini menjelma menjadi industri yang berorientasi
pada nilai materil yang secara tidak langsung mendistorsi nilai-nilai kebudayaan
itu sendiri. Dengan begitu sektor pertanian bukan lagi terfokus dalam pemenuhan
kebutuhan dasar dari manusia, tapi merupakan bussiness as usual. Sebagai
contoh, pemerintahan Belanda pada tahun 1891 mencari tanaman baru pengganti
tembakau yang menguntungkan di pasar Eropa yang dapat di tanam di Timur
Pulau Sumatra. Pada saat itulah pertanian tembakau yang terkenal di tanah Deli
tergantikan dengan pertanian sawit, teh, dan karet. Begitupula dengan pertanian
tebu, kebutuhan akan gula yang besar di Eropa saat itu membuat belanda
menerapkan sistem yang sama sepertihalnya penanaman tembakau, sawit, teh, dan
karet, mereka mendesak petani untuk mengganti tanaman yang ditanam petani
dengan tanaman tebu.
Model tekanan militer untuk mengusai lahan-lahan potensial dan
menguntungkan Negara sudah ditinggalkan. Modernisasi yang terjadi mulai
menggeser model kolonialisasi yang bersifat militeristik terutama pasca
kemerdekaan Indonesia dari Jepang 17 Agustus 1945. Model Multi National
Corporation (MNC) dengan menggunakan motivasi ekonomi dan investasi
menjadi sebuah strategi baru yang di gunakan untuk menyerap Sumber Daya
Alam di Indonesia, sekaligus mengontrol jenis produksi. Teknologi di bidang
22. Landis, Paul. dalam Indrizal, Edi Memahami Konsep Pedesaan Dan Tipologi Desa Di
Indonesia”, Undip press, 2006, hal 127.
23 Cardoso, Fernando. H. Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Hal. 194.
15
pertanian mulai berkembang pesat, peralihan Indonesia sebagai negara pemasok
produk pertanian dialihkan ke Negara-negara maju yang memiliki teknologi
pertanian yang mumpuni. Kini potensi SDA jenis lain, seperti batu bara di
Kalimantan, mining di Sulawesi dan Papua, bahkan jawa yang dahulu merupakan
repersentasi dari pertanian di indonesia, kini mulai tergerus oleh tambangtambang migas di Jawa Timur.
Sebagai contoh di Jawa Timur, Blok Cepu merupakan salah satu Blok
yang terdapat di Jawa Timur dengan cadangan minyak mencapai 7,7 triliun kaki
kubik minyak bumi, atau setara dengan 650 juta barel. Selain Blok Cepu di Jawa
Timur juga terdapat lapangan minyak Sukowati yang dikelola secara Joint
Operating Body (JOB) Pertamina-Petrochina East Java (PPEJ) di Kabupaten
Bojonegoro, yang masuk Blok Tuban. Lapangan migas mampu memproduksi
minyak sekitar 43 ribu barel/hari (lihat tabel di bawah). Selain lapangan migas
yang berada di Bojonegoro, di tuban juga terdapat blok migas suci, blok ini di
garap oleh PT Indelberg Indonesia Perkasa (IIP) dengan PT Pertamina EP. Hingga
saat ini sudah di sediakan dana sebesar USD 20,90 juta. Kabupaten lain yang
memiliki cadangan migas terdapat di Sidoarjo, Lapindo memiliki sebanyak 25
sumur CNG, 20 sumur berada di Desa Wunut, Kecamatan Porong dan lima sumur
berada di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin. (lihat table di bawah) Selain
berbagai Blok dan lapangan migas yang telah di paparkan di atas secara detail,
terdapat pula potensi migas baru yang berada di Jawa Timur, yaitu Blok Nona.
Blok Nona ini terdapat di berbagai kabupaten di Jawa Timur, seperti Kabupaten
Bojonegoro, Jombang, Lamongan, dan Kota Surabaya.
Tabel. 1.1
Potensi Minyak dan Gas Di Jawa-Timur Berdasarkan Kabupaten
No
Nama Kabupaten/Kota
Potensi/ Kekayaan alam (MIGAS)
1
Kabupaten Blitar
Blok Migas Nona
2
Kabupaten Bojonegoro
- Blok Cepu memiliki cadangan 7,7 triliun kaki kubik minyak
16
bumi, atau setara dengan 650 juta barel.
- Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur yang menerima DBH
sektor minyak dan gas (migas) pada tahun 2012 sekitar Rp234
miliar, merupakan kabupaten justru sebelumnya menempati
peringkat kemiskinan ke-5 di Jawa Timur pada 2008 yakni
sekitar 576.927 jiwa. 24
- Blok Cepu, diperkirakan produksi minyak perharinya
mencapai 160 ribu/barel.
- Selain Blok Cepu kabupaten Bojonegoro juga memiliki
lapangan minyak Sukowati yang dikelola Joint Operating Body
(JOB) Pertamina-Petrochina East Java (PPEJ) di Bojonegoro,
yang masuk Blok Tuban, mampu memproduksi minyak sekitar
43 ribu barel/hari.25
- selain blok cepu terdapat pula blok nona. Blok ini di garap
oleh PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dengan PT SER.
3
Kabupaten Tuban
- produksi Minyak dan Gas Bumi (Migas) JOB P-PEJ Blok
Tuban masih pada kisaran 35.000 Barel perhari (Bph). Target
yang di patok sebesar 40.000 Barel per hari.26
- di tuban juga terdapat blok migas suci, blok ini di garap oleh
PT Indelberg Indonesia Perkasa (IIP) dengan PT Pertamina EP.
Hingga saat ini sudah di sediakan dana sebesar USD 20,90
juta.27
-blok tuban, dikelola Joint Operating Body Pertamina –Petro
China East Java (JOBP-PEJ) dan penambangan tradisional
milik Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PEP).
Di tuban juga termasuk blok cepu, namun sayangnya
24 http://www.bisnis.com/m/6-kabupaten-dbh-tertinggi-masih-jadi-dadaerah-miskin
25 “Pertamina Survei Seismik Potensi Migas Blok Nona”, dalam
http://jatim.antaranews.com/lihat/berita/78264/pertamina-survei-seismik-potensi-migas-blok-nona,
diakses 5 Oktober 2013 Pk 21.12.
26 “Puasa Pengeboran Blok Migas Tuban Jalan Terus”, dalam
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Jember/2013-0708/177323/_Puasa,_Pengeboran_Blok_Migas_Tuban_Jalan_Terus, 6 Oktober 2013. Pk. 22.11
27 “Capitalinc Investment Anggarkan USD 15 Juta” dalam
http://www.bexi.co.id/keuangan/pada-2013--capitalinc-investment-anggarkan-belanja-modal-usd15-juta/, diakses 7 Oktober 2013
17
Kabupaten Tuban tidak mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBS).28
4
Kabupaten Jombang
Blok Migas Nona
5
Kabupaten Lamongan
Blok Migas Nona
6
Kabupaten Siduarjo
- Produksi gas dari lima sumur Kalidawir ditingkatkan dari
semula lima juta kaki kubik per hari menjadi 10 juta kubik per
hari. (2011).
- Di Sidoarjo, Lapindo memiliki sebanyak 25 sumur CNG, 20
sumur berada di Desa Wunut, Kecamatan Porong dan lima
sumur berada di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin.
7
Kabupaten Gresik
Blok Ujung Pangkah MIGAS
8
Kabupaten Bangkalan
West Madura Offshore (blok Kangean) MIGAS. Produksi di
blok ini menembus angka 20.00 Barel/ hari tahun 2013.
(Suaramerdeka.com)
9
Kota Surabaya
Blok Migas Nona
Sumber telah dihimpun pada catatan kaki yang tercantum masing-masing.
Dari data yang telah dipaparkan di dalam tabel diatas, dapat terlihat
terdapat beberapa perusahaan multinasional yang juga ikut bergabung untuk
mencicipi manisnya keuntungan migas Indonesia. Implikasinya, penguasaan
sektor minyak dalam negeri hanya tersisa lima belas persen yang tentu di pegang
oleh Pertamina sebagai wujud otoritas Pemerintah dalam bentuk perusahaan
BUMN. Pengusaan minyak secara keseluruhan pada tahun 2010 di pegang oleh
Chevron, dengan penguasaan minyak Indonesia sebesar 47 %. Selain Chevron,
terdapat MNC lain yaitu TOTAL dengan pengusaan minyak Indonesia sebesar
sembilan persen. Kmudian terdapat pula Conoco Philips dengan pengusaan
minyak Indonesia sebesar delapan persen. Selain ketiga perusahaan tersebut,
28 “ Tuban Tak Dapat DBH Migas Blok Cepu” dalam
http://www.suarabanyuurip.com/kabar/baca/tuban-tak-dapat-dbh-migas-blok-cepu, diakses 5
oktober 2013. Pk. 23.33.
18
terdapat pula perusahaan multinasional lainnya yang erinvestasi dalam sektor
minyak Indonesia, seperti Kodeco (2%), British Petroleum (2%), Medco (4%),
CNOOC (5%), dan Petro China (7%).29 Sebaliknya,. PetroChina bukan hanya
menggarap lapangan minyak Sukowati yang dikelola dengan cara Joint Operating
Body (JOB) antara Pertamina dengan Petrochina East Java (PPEJ) di Bojonegoro,
tetapi juga ikut menggarap eksplorasi migas di blok Cepu.
Dari gambar di atas, tampak terlihat Provinsi Jawa Timur merupakan salah
satu dari dua Provinsi di Indonesia yang memiliki sumberdaya minyak yang
sangat melimpah setelah Sumatra Tengah yang memiliki 3.832,11 MMSTB.
Selain Provinsi JawaTimur dan Sumatra Tengah, cadangan minyak di Indonesia
tersebar di berbagai provinsi lainnya, seperti Aceh Sumatra Utara Sumatra Selatan
Jawa Barat sebesar. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan cadangan minyaknya
sebesar 670.00 MMSTB, untuk wilayah Sulawesi cadangan minyaknya sebesar
49.78 MMSTB. Selanjutnya di wilayah maluku terdapat 48.07 MMSTB, dan di
Papua sebesar 94.93 MMSTB. Cadangan minyak yang cukup besar berada di
pulau Natuna sebesar 383.35 MMSTB, Sedangkan Pada sektor gas alam, 75 %
dari kekayaan gas Indonesia dikuasai bukan oleh perusahaanmilik negara, dimana
37 % dipegang oleh TOTAL, sisanya kemudian dibagi-bagi kepada Conoco
Philips sebanyak 18 %, Exxon 9 %, Vico 6 %, Petro China 5 % dan beberapa
perusahaan asing lainnya, sedangkan Pertamina sendiri hanya menguasai 15
persen sisanya. 30
Tabel 1.2.
Penguasaan Minyak Bumi 2012
29 Indonesia For Global Justice. “Anomaly kebijakan minyak nasional,” Free Trade Watch,
Edisi Maret 2012.
30 Indonesia For Global Justice. “Anomali kebijakan minyak nasional”, Free Trade Watch , Edisi
Maret 2012.
19
British Petrolium;
Kodeco; 2.00% 2.00%
Pertamina; 16.00%
CNOOC; 5.00%
Petro China; 7.00%
Conoco Philips;
8.00%
Total; 9.00%
Chevron; 47.00%
Sumber: Indonesia for Global Justice, ibid, 2012.
Dengan begitu, semakin banyak ditemukan potensi dan sumber migas di
wilayah-wilayah lainnya akan secara langsung mempengaruhi pergeseran fungsi
lahan pedesaan. Dari semula yang merupakan lahan pertanian masyarakat,
menjadi lahan tambang yang dimiliki oleh Multi National Corporation (MNC).
Kondisi pergeseran budaya pertanian juga dialami oleh provinsi lain di pulau
Jawa, dengan alasan yang sedikit berbeda. Sebagai Contoh Jawa Tengah dan Jawa
Barat pertaniannya mulai tergerus dengan sektor industri. Yang mana hal tersebut
bukan terjadi karena tidak potensialnya lagi daerah-daerah di Jawa Barat dan Jawa
Tengah sebagai sentral pertanian, namun sektor pertanian tidak lagi lebih
menguntungkan di bandingkan sektor industri. Selain itu untuk daerah daerah
tertentu di Jawa Barat dan Jawa Timur, harga sumber daya manusia sangatlah
murah sehingga kondisi ini dapat menjadi alasan ke dua mengapa investor asing
lebih banyak menanamkan investasinya di sektor industri pada wilayah-wilah
yang memiliki upah buruh murah.
Murahnya upah buruh di sektor industri juga merupakan konsekuensi logis
yang harus di terima dengan pembuatan kawasan industri. Hal tersebut melihat
pola berfikir industri yang menekankan profit, termasuk memberikan upah kecil
untuk buruhnya. Penetapan UMR di provinsi merupakan kebijakan pemerintah,
20
yang merupakan hasil diskusi antara pihak buruh dan pengusaha. Namun pada
kenyataannya, untuk wilayah-wilayah yang serikat buruhnya lemah, negosiasi
menjadi timpang di antara mereka. Dengan berbagai cara pemerintah daerah
mencoba menekan UMR hanya untuk mengundang investor atau sekedar
mempertahankan investor.
Data yang disajikan oleh PHI dan Jamsostek mencakup upah buruh di
beberapa daerah yang tergolong murah adalah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Dari hampir semua Provinsi di Indonesia yang menetapkan UMR
berada di atas satu juta Rupiah, hanya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
yang menetapkan UMR nya berada di kisaran delapan ratus ribuan Rupiah. Data
yang di sajikan di bawah menunjukan peningkatan UMR setiap tahunnya. Ratarata UMR pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2008 sebesar Rp 745.709.
pada tahun berikutnya meningkat menjadi Rp 841.529, terus meningkat pada
tahun 2010 menjadi Rupiah 908.824. Pada tahun 2011 rata-rata UMR di Indonesia
menjadi Rp 988.829, pada tahun 2012 bertambah menjadi Rp 1.088.902, dan di
tahun 2013 menjadi Rp 1.296.908.
Kenaikan rata-rata UMR di Indonesia nyatanya tidak sebanding lurus
terhadap dua hal. Pertama pemerataan pendapatan melalui tingkat UMR yang
relatif hamper sama pada setiap Provinsinya. Kedua, peningkatan rata-rata UMR
di Indonesia hanya di signifikan di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, Sumatra
Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur. Sedangakan di provinsi lain
peningkatan UMR tidak signifikan. Misalnya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, dan DDI Yogyakarta. Peningkatan UMR pada 4 provinsi di pulau Jawa
tidak signifikan dan cenderung sangat kecil, kisaran kenaikannya hanya sebesar
kurang lebih Rp 100.000. Berikut adalah Data yang dikeluarkan oleh BKPM
mendukung statement bahwa MNC mengincar SDM murah sebagai pekerja.
Tabel 1.2
Data Upah Minimum Regional Provinsi Se-Indonesia 2008-2013
NO Provinsi
1
Aceh
2
Sumatera Utara
2008
1.000.000
822.205
2009
1.200.000
905.000
2010
1.300.000
965.000
21
2011
1.350.000
1.035.500
2012
1.400.000
1.200.000
2013
1.550.000
1.375.000
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara
Barat
Nusa Tenggara
Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Rata - Rata :
800.000
800.000
724.000
743.000
880.000
901.600
800.000
824.730
940.000
1.016.000
900.000
927.825
1.055.000
1.120.000
1.028.000
1.048.440
1.150.000
1.238.000
1.142.500
1.195.220
1.350.000
1.400.000
1.300.000
1.630.000
690.000
617.000
813.000
833.000
972.605
568.193
547.000
586.000
500.000
837.000
682.650
730.000
735.000
691.000
850.000
892.000
1.069.865
628.191
575.000
700.000
570.000
917.500
760.000
832.500
780.000
767.500
910.000
925.000
1.118.009
671.500
660.000
745.694
630.000
955.300
829.316
890.775
815.000
855.000
1.024.000
975.000
1.290.000
732.000
675.000
808.000
705.000
1.000.000
890.000
950.000
930.000
975.000
1.110.000
1.015.000
1.529.150
780.000
765.000
892.660
745.000
1.042.000
967.500
1.000.000
1.200.000
1.150.000
1.265.000
1.365.087
2.200.000
850.000
830.000
947.114
866.250
1.170.000
1.181.000
1.100.000
650.000
725.000
800.000
850.000
925.000
1.010.000
645.000
705.000
741.000
802.500
900.000
1.060.000
765.868
873.089
986.590
1.134.580
1.327.459
1.553.127
825.000
930.000
1.024.500
1.126.000
1.225.000
1.337.500
889.654
955.000
1.002.000
1.084.000
1.177.000
1.752.073
845.000
670.000
740.520
700.000
929.500
720.000
905.000
770.000
1.000.000
777.500
1.000.000
860.000
1.050.000
827.500
1.100.000
930.000
1.250.000
885.000
1.200.000
1.032.300
1.550.000
995.000
1.440.000
1.125.207
600.000
760.500
700.000
700.000
675.000
909.400
775.000
770.000
762.500
1.006.000
900.000
889.350
1.410.000
1.403.000
988.829,39
837.500
1.127.000
975.000
960.498
1.450.000
1.585.000
1.088.902,64
1.175.000
1.165.000
1.275.000
1.200.622
1.720.000
1.710.000
1.296.908,48
710.000
944.200
840.000
847.000
1.210.000
1.105.500 1.216.100 1.316.500
745.709,22 841.529,55 908.824,52
Sumber: Jamsostek, Diolah oleh Pusat data Dinas Tenaga Kerja, 2013.
22
Untuk merefleksikan tabel hasil perbandingan UMR menurut Provinsi di
atas, maka kita patut melihat jumlah buruh yang menerima upah tersebut.
Walaupun jumlah pendapatan yang ditentukan pemerintah Provinsi yang menjadi
sentra industri terbilang minim, namun jumlah buruh di Indonesia setiap tahunnya
terus meningkat. Dimulai Pada tahun 2008 per bulan Februari, jumlahnya sebesar
28.515.358 orang. Jumlah tersebut meningkat drastic pada tahun 2010 sebanyak
2.208.803 orang, menjadi 30.724.161 orang. Kemudian meningkat kembali di
tahun 2011 menjadi 34.513.624 orang. Pada tahun 2012 jumlahnya kembali
meningkat menjadi 38.135.062 orang.
Kondisi tersebut setidaknya menunjukan dua hal. Pertama, jumlah
populasi masyarakat Indonesia yang terus bertambah. Kedua, lapangan kerja yang
cenderung tidak meningkat tajam. Kedua gambaran tersebut di bingkai manis
dalam ketidak seimbangan laju populasi dengan peningkatan jumlah lapangan
kerja yang disediakan. Selain itu, kondisi tersebut mencerminkan perkembangan
industri yang tidak sebanding dengan tingkat pendapatan masyarakat di tengah
melonjaknya harga-harga bahan pokok.
Tabel 1.3
Jumlah Pekerja Indonesia Menurut Status Pekerjaan
No.
1
2
3
4
5
6
7
Status Pekerjaan Utama
Berusaha Sendiri
Berusaha Dibantu Buruh
Tidak Tetap/Buruh Tidak
Dibayar
Berusaha Dibantu Buruh
Tetap/Buruh Dibayar
Buruh/Karyawan/Pegawai
Pekerja Bebas di
Pertanian
Pekerja Bebas di Non
Pertanian
Pekerja Keluarga/Tak
Dibayar
2008
2009
2010
2011
2012
Februari
Februari
Februari
Februari
Februari
20 081 133
20 810 300
20 456 735
21 149 311
19 543 475
21 599 782
21 636 761
21 922 813
21 308 835
20 367 416
2 979 406
2 968 481
3 016 154
3 594 568
3 930 591
28 515 358
28 913 118
30 724 161
34 513 624
38 135 062
6 130 481
6 346 122
6 324 719
5 575 925
5 356 265
4 798 856
5 151 536
5 284 598
5 158 700
5 970 608
17 944 841
18 659 126
19 676 392
19 980 781
19 499 388
23
8
Tak Terjawab
Total
102049 857 104 485 444 107 405 572 111 281 744
112 802 805
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013. 31
Bertolak belakang dengan penurunan jumlah petani, jumlah buruh terus
meningkat setiap tahunnya. Jumlah petani terus menurun, pada tahun ketahun
setidaknya pengurangan jumlah petani selama tahun 2008 sampai dengan 2012
sebanyak kurang lebih 400.000 orang. Jumlah masyarakat yang menjadi petani
pada tahun 2010 sebanyak 6.324.719 orang, menurun menjadi 5.575.925 orang
pada tahun 2011, dan kembali berkurang pada tahun 2012 menjadi 5.36.265
orang. Peningkatan jumlah buruh tersebut sering diartikan sebagai kesuksessan
pemerintah dalam memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakatnya. Namun
di sisi lain, kita dapat melihat arah kebijakan pendidikan di Indonesia yang
sepertinya memang pencetak buruh. Bukan hal yang salah apabila sebuah Negara
memilih Industri sebagai instrument untuk mengemba
PENDAHULUAN
1.1. Menjaga Kekayaan Desa Sebagai Amanah Konstitusi
Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” bukan hanya sebuah
kata-kata. Pasal tersebut diciptakan melalui pertimbangan yang dalam, karena
sumber daya alam adalah anugerah dari tuhan yang maha esa. Oleh karena itu,
konstitusi sebagai buah perjuangan para pendiri bangsa lebih dari sekedar sebuah
simbol belaka karena kemerdekaan tidaklah diraih dengan cuma-cuma.
Konstitusi tidak lain merupakan sebuah janji yang tentunya menjadi tugas para
generasi selanjutnya. Dengan kata lain perjuangan kemerdekaan Indonesia
tidaklah sebaiknya berhenti pada tahun 1945.
Akan tetapi, fenomena yang dihadapi Indonesia kekinian rupanya bertolak
belakang dengan amanah Konstitusi Indonesia 1945 pasal 33. Bahkan dalam era
pasca reformasi, kata pembangunan hanyalah menjadi mantra. Jika disimak
pembangunan desa pasca reformasi tidak lagi dilandasi oleh kontrol yang kuat
dari negara. Melainkan pembangunan kini menjadi sangat bergantung pada
investasi asing oleh organisasi internasional dan sektor swasta. Bahkan pasca
krisis 2008, ketika banyak negara mulai mengembalikan lagi kontrol pemerintah
yang ketat dalam menjaga kekayaanya, Indonesia justru mempersilahkan swasta
asing untuk menguasai aset negara. Bahkan banyak sekali undang-undang dan
peraturan pemerintah yang menganut ketentuan rezim pasar bebas. Undang
Undang yang tak ubahnya sebagai bentuk “izin” negara untuk melegalisasi
eksploitasi kekayaan alam.
“Lalu siapakah yang mampu untuk mengingatkan kembali kepada
pemerintah sekarang untuk kembali pada amanah konstitusi? apakah rakyat hanya
diam dan menyaksikkan saja?. Ternyata tidak. Telah sering kita menyaksikkan
parade dan atraksi gerakan sosial oleh rakyat yang antusias ikut bermain dalam
teater demokrasi, meskipun hanya menjadi pemain figuran. Berbagai macam orasi
berapi-api dengan segala atributnya telah dikumandangkan oleh berbagai elemen
1
masyarakat, mulai dari gerakan protes rakyat atas kenaikan BBM, hingga
nasionalisasi beberapa perusahaan multinasional. Sebuah gerakan yang
menunjukkan hasrat rakyat yang begitu menggelora untuk beralih posisi dari
sekedar penonton menjadi sang aktor. Namun ironi ketika drama pergerakan
tersebut justru hanya menjadi “commercial break” yang muncul sekilas lalu
hilang seketika. Kini, rakyat sedang menyaksikkan adegan dimana Negara dan
korporasi berduet dalam teater kekuasaan.
Oleh karenanya, kemerdekaan tidak hanya sekedar dirayakan namun juga
diisi oleh pembangunan. Namun kata pembangunan di Republik Indonesia
bermakna ganda. Entah mengapa kata pembangunan hingga kini tidak bisa
dihilangkan dengan mudahnya. Di satu sisi, pembangunan disikapi dengan
sukacita. Di sisi lain, pembangunan menyisakan trauma yang tentunya belum bisa
dilupakan begitu saja oleh masyarakat desa. Sebuah trauma yang mengingatkan
bagaimana kondisi pada zaman orde baru yang pro pembangunan desa. Namun,
Jargon pembangunan desa dengan segala infrastrukturnya ternyata adalah akses
bagi korporasi untuk penyerapan sumber daya.
Para pendiri bangsa seperti Bung Hatta, sebetulnya telah membuat gagasan
mengenai pembangunan desa. Gagasan-gagasan tersebut tertuang dalam karyanya
yang berjudul Beberapa Fasal Ekonomi. Bung Hatta mengawali ulasannya
tentang pedesaan dengan membedah perbedaan antara desa dengan kota.
Menurutnya, perbedaan antara desa dengan kota di Indonesia terutama disebabkan
oleh pengaruh kolonialisme Belanda. Secara detail, diungkapkan oleh Hatta,
kemunculan kota dalam sejarah Nusantara merupakan dampak langsung dari
kolonisasi Belanda. Hal ini berbeda dengan kemunculan kota dalam peradaban
Eropa maupun peradaban-peradaban tua di dunia lainnya, yang disebabkan oleh
kemajuan tenaga produktif masyarakat.1
Sementara di sisi lain, desa merupakan entitas sosial yang telah ada dalam
masyarakat Nusantara jauh sebelum pengaruh Hindu-Buddha datang. Latar
belakang sejarah yang berbeda ini menyebabkan perbedaan antara desa dengan
kota di segala aspek makin tajam. Bahkan, perbedaan tersebut memiliki
1 Refi, Wahyuni. Pembangunan dan Penguatan Desa”. 13 Mei 2013. Diakses dalam
http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/2439-pembangunan-dan-penguatandesa.html
2
kecenderungan ke arah kesenjangan setelah Indonesia merdeka. Kesenjangan
itulah yang hingga kini membuat desa hanya menjadi penyedia bahan pangan
serta sumber alam yang ekonomis bagi masyarakat kota.
Sementara, kota yang cepat mengalami modernisasi dari desa telah
memiliki hubungan sosial produksi industrial yang didukung oleh alat produksi
dengan kapasitas besar. Kapasitas produksi yang besar itu tentu membutuhkan
pasar yang besar pula. Maka di sinilah peran masyarakat desa selaku konsumen
atau pasar potensial, dibutuhkan oleh masyarakat kota. Sejak era kolonial, desa
telah menjadi tujuan utama penjualan hasil produksi dari kota. Maka, kemiskinan
yang terjadi di pedesaan akan membuat masyarakat kota kehilangan pasar. Di
sinilah keterikatan antara rakyat desa dengan masyarakat kota terlihat erat.
Tentunya, kemiskinan yang melanda pedesaan akan berdampak juga kepada
pertumbuhan ekonomi kota. Hal ini mengantarkan kita pada konklusi sederhana,
bahwasanya kemiskinan di pedesaan harus dientaskan, bukan hanya demi
kesejahteraan masyarakat desa, melainkan juga masyarakat kota.
Sepanjang sejarahnya pencarian sumber daya alam memang menjadi titik
sentral dalam perjalananan sejarah manusia pasca revolusi industri. Sebelumnya
pada abad kedelapan belas Robert Malthus telah mengingatkan kita bahwasanya
perkembangan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertumbuhan manusia.
Robert Malthus menekankan bagaimana perkembangan sumber daya alam berada
dalam deret hitung, sedangkan perkembangan manusia berlangsung secara deret
ukur. Implikasinya pada suatu titik kulminasi, maka manusia akan mengalami
kelangkaan sumber daya alam. Namun, perkembangan inovasi dan teknologi
manusia modern membuat aktivitas ekonomi hingga kini masih berjalan dengan
semestinya. Akan tetapi, perkembangan teknologi dan inovasi manusia untuk
mengatasi kelangkaan tersebut bukan berarti menunjukkan jika prediksi Malthus
hanyalah dongeng. Ramalan Malthus hanya tertunda untuk beberapa saat
sebagaimana ramalan Karl Marx.2
Bahkan, ramalan Robert Malthus tersebut semakin menunjukkan gemanya
dalam era krisis tahun 2008. Krisis energi kembali menjadi isu yang berkembang
2 Malthus, Thomas. dalam Arnsperger, Cristian. Critical Political Economy: Complexity,
Rationality and the Logicof Post-Orthodox Pluralism. London: Routledge, 2008.
3
pesat ditengah perkembangan akumulasi kapital ditambah dengan jumlah manusia
yang juga semakin berkembang. Negara industri maju seperti Eropa dan Amerika
Serikat memegang beban yang besar dalam kaitanya dengan upaya
mempertahankan industrialisasinya. Problem semakin bertambah ketika minyak
dan sumber daya alam lainya sebagai penyokong kegiatan industri semakin hari
semakin mahal karena faktor kelangkaan. Kelangkaan tersebut diperparah oleh
instabilitas politik yang terjadi di negara penghasil sumber daya alam seperti
Afrika Utara dan Arab. Terlebih lagi negara industri maju notabene bukan
penghasil sumber daya alam dan mineral. Sehingga beberapa langkah strategis
harus dipikirkan negara maju untuk menghadapi prediksi Malthusian yang mulai
terlihat nyata dalam konteks kekinian.
Beberapa fenomena tersebut membuat penulis perlu untuk kembali pada
dialektika materialisme Marx sebagai pisau analisis dalam karya sederhana ini.
Bukan manusia yang menguasai materi, namun materi-lah yang menguasai
manusia.3 Setidaknya ungkapan tersebut menunjukkan tidak selamanya sains,
teknologi dan modernitas dapat melampaui materi sebagai aspek tak tergantikan
dalam kehidupan manusia.4 Bahkan inovasi dan teknologi tersebut hanyalah
bagian dari dilema yang sedang dihadapi manusia era industrilisasi. Dengan kata
lain teknologi bukanlah subyek, melainkan hanyalah obyek dalam proses
dialektika materialisme. Terlebih lagi, perkembangan sumber daya alam
kontemporer tak lagi sanggup memuaskan perkembangan keserakahan manusia
yang ternyata bahkan melebihi “deret ukur”.
Daya tahan sistem Kapitalisme yang masih bertahan hingga sekarang
terhadap prediksi suram Marx dan kaum kiri menjadi sebuah misteri. Misteri
tersebut berupaya dikupas oleh David Harvey yang menjelaskan adanya
kemampuan metafisika kapitalisme dalam mereproduksi ruang (reproduction of
space). Akumulasi kapital tidak bisa lincah berakselerasi dalam ranah (Ruang
tetap) spatial fix kedaulatan negara (sovereignity), sehingga kapitalisme
3 Lebowitz, Michael. A. Beyond Capital, Marx Political Economy of Working Class. New York:
Palgrave Macmillian, 2003.
4 Michael Burawoy, “Marx After Communism”, Journal Theory and Society, 29: 151-174.
Kluwer Academic Publishers. 2000.
4
membutuhkan ruang tambahan yang disebut spatio temporal fix. 5 Kata Temporal
dan fix dalam ruang tetap temporal (spatio temporal fix) perlu untuk dibaca
dengan cukup kritis karena menggambarkan sebuah perpaduan kata yang saling
meng-antagonismekan. Dimana logika “Geo” yang statis bertemu dengan logika
politik yang dinamis dan transformatif. Dalam studi ilmu politik, spatio temporal
fix merupakan bagian dari geopolitik dan geoekonomi.6 Namun dalam studi
politik, aspek spatio (ruang) merupakan sesuatu yang dinamis.
Ekspansi perusahaan multinasional ke wilayah desa di Indonesia secara
teoritik dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan spatio temporal fix
yang tak lain sebagai strategi dalam bertahan ditengah kondisi sumber daya alam
yang semakin langka. Secara teoritik, Harvey merumuskan antitesa dari tesis Rosa
Louxembourg yang menekankan bahwasanya proses produksi kontemporer
terjebak dalam rendahnya konsumsi (underconsumption) dan kelebihan produksi
(overproduction). Berdasarkan teori Harvey, maka yang menjadi dilema bagi
perusahaan multinasional kontemporer justru sebaliknya, overproduction
sekaligus overconsumption karena kelangkaan bahan baku, namun di sisi lain
permintaan pasar yang tinggi.
Spatio temporal fix merupakan konsekuensi dari akumulasi kapital yang
berhasrat melepaskan diri atas kontradiskinya dengan logika territorial.7 Sekalipun
dalam beberapa kasus terjadi perselingkuhan antara keduanya, Namun dalam
perjalananya juga senantiasa terjadi benturan antara logika territorial dan logika
Kapital. Hal tersebut karena logika asal dari territorial (geo) adalah bersifat statis
sedangkan logika kapital (political economy) bersifat dinamis. Sebagai contoh,
bagaimana kegagalan infiltrasi AS ke Vietnam dan Irak secara Ekonomi
merupakan bukti sejarah bahwa tidak selamanya logika territorial dan logika
kapital bisa berkerjasama. Spatio temporal fix inilah sesungguhnya wajah asli
dari globalisasi yang acapkali kita dengungkan.
Teori spatio temporal fix menunjukkan sebuah posisi dilematis dalam
perekonomian negara industri. Sebagaimana kita ketahui bahwa negara juga
5 Harvey, David. Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontenporer,
terjemahan Nailil Printika, diterbitkan oleh Institute for Global Justice dan Insist, 2010.
6 Thuathail, Gerard O. Understanding critical geopolitics: Geopolitics and risk society, Journal of
strategic studies, vol 22, No.3, 1999. Pp. 107-124.
7 Levebre, Henry. The Reproduction of space. John Wiley and Sons. 1992.
5
memiliki fungsi untuk menanggung dampak negatif dari eksplotasi alam. Tentu
cukup menyulitkan bagi Indonesia untuk melakukan segregasi kepentingan
dengan negara yang memiliki kepentingan nasional masing-masing. Terlebih lagi,
banyak negara industri asing memiliki ambisi untuk mengamankan pasokan raw
material sebagai antisipasi jangka panjang pasca krisis Global 2008. Sehingga
sampai sejauh mana negara-negara pasca krisis 2008 sanggup mengatasi masalah
kelangkaan SDA yang semakin hari semakin langka. Setidaknya hal tersebut
merupakan problematisasi yang berupaya diungkap oleh tulisan sederhana ini.
Tanpa disadari meningkatnya kemajuan dalam bidang teknologi,
komunikasi, informasi dan transportasi dalam era globalisasi telah mendorong
akselerasi kapital semakin tanpa batas (borderless). 8 Jan. N Pieterse dalam
tulisannya ”Neoliberal Globalization” menyatakan bahwa interdependensi dan
integrasi ekonomi global yang berada didalam kerangka ekonomi pasar bebas
merupakan suatu nilai yang mendasar dalam globalisasi. Dalam artikel “The
Globalization of Production” yang ditulis oleh Eric Thun, menggambarkan
perubahan aktivitas produksi pada era globalisasi menjelaskan peluang dan
tantangan yang dihadapi oleh pemerintah negara dalam memutuskan suatu
kebijakan ditengah gencarnya penetrasi Multinational Corporation (MNC). Secara
umum hal ini membawa pada globalisasi yang sifatnya lebih khusus dalam
ekonomi. Globalisasi ekonomi merupakan proses penyatuan aspek-aspek ekonomi
dalam sebuah standar yang kemudian difragmentasikan ke seluruh dunia. Manfred
Stegger menerjemahkan globalisasi sebagai “a social condition characterized by
the existence of global economic, political, cultural, and environmental
interconnections and flows that make many of the currently existing borders and
boundaries irrelevant”.9
Globalisasi secara perlahan akan membuat kedaulatan negara menjadi
tersamarkan. Anggapan bahwa kedaulatan negara semakin samar seiring dengan
menyebarnya MNC di seluruh dunia dikemukakan oleh Kenichi Ohmae dalam
bukunya yakni The End of Nation State. Dalam perekonomian internasional,
8 Pieterse, Jan. N. “Neoliberal Globalization”, dalam Globalization or Empire?, London
:Routledge. 2004.
9 Stegger, Manfred. Globalization a Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press.
2003.
6
globalisasi memiliki kajian spesifik ketika adanya rantai produksi MNC. Namun,
anggapan mengenai usangnya negara merupakan fenomena yang sampai saat ini
masih diperdebatkan. Hal tersebut kemudian dibantah oleh Kalvajit Singh dalam
bukunya yakni Questioning Globalization. Singh berpendapat bahwa tidak semua
negara mengalami powerless yang nantinya menjurus pada usangnya nation state
yang diakibatkan oleh aliran modal transnational yang dibawa oleh MNC.. Oleh
karena itu, intervensi pemerintah dalam model ekonomi berbasis pasar bebas
sangat mutlak dibutuhkan.
Hubungan yang terjalin antara Negara dan MNC menunjukkan relasi
saling ketergantungan diantara keduanya. MNC membutuhkan Negara sebagai
tempat yang menyediakan keperluan-keperluan yang dibuthkan oleh MNC seperti
infrastruktur dalam menyediakan jalur atau akses-akses komunikasi dan
transportasi dan juga menyediakan sumber daya manusia. Negara membutuhkan
MNC sebagai sumber pemasukan negara dan mengentas pengangguran.
Sebaliknya, MNC juga membutuhkan Negara sebagai melalui jaminan keamanan
dan perlindungan. Selain itu, MNC juga membutuhkan hukum Negara untuk
dapat mengembangkan usahanya ke suatu Negara.10 Selain itu, penanaman
pengaruh dari negara asal MNC terhadap cabang dari relokasi MNC menjadi
tujuan dari agenda terselubung yakni perluasan wilayah negara atau imperialisme
model baru. Bahkan perkembangan menunjukkan jika MNC terbentuk melalui
merger dan akuisisi yang dilakukan dengan berbagai perusahaan lokal di berbagai
negara berkembang
Oleh karena itu, Liberalisasi perdagangan menjadi syarat ketika MNC
ingin berinvestasi guna mengakses pasar diluar negara asalnya. Namun ketika
porsi relokasi rantai nilai harus terintegrasi dengan aktivitas global lainnya, maka
fragmentasi rantai nilai membutuhkan adanya perendahan tarif atau pajak.
Implikasinya, kekayaan asset MNC tersebut justru mampu melebihi GDP sebuah
negara. Sebagai contoh, jumlah karyawan perusahaan Exxon di luar negeri tiga
kali lipat dibanding karyawan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Penjualan tahunan perusahaan General Motors lebih tinggi dari GNP Indonesia,
10 Singh, Kavaljit. “Does Globalization Spell the End of Nation-State”, dalam Questioning
Globalization, London: Zed Books, 2005.
7
Turki, dan Yugoslavia. Bahkan diproyeksikan bahwa pada beberapa tahun
kedepan sekitar tiga ratus perusahaan multinasional besar akan mengontrol
delapan puluh persen aset manufaktur dunia. 11
Multinational Corporations (MNC) atau yang dikenal juga dengan
perusahaan multinasional dapat didefinisikan menurut berbagai cara. MNC
didefinisikan sebagai perusahaan yang beroperasi di dua atau lebih negara. MNC
juga dianggap sebagai sekumpulan perusahaan yang berasal dari negara yang
berbeda yang bergabung melalui ikatan-ikatan strategi bersama. Pengertian lain
menyebutkan MNC sebagai perusahaan yang fasilitas pengendalian produksinya
dikontrol oleh dua negara atau lebih, dengan kantor pusat di satu negara tetapi
kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang.
Bagaimanapun juga MNC datang dengan dua sisi, seperti halnya
globalisasi, tidak semuanya buruk dan tidak semuanya baik. Sisi positifnya MNC
datang sebagai agen pembawa transfer teknologi dari negara maju ke negara
berkembang. Transfer teknologi ini sekaligus menjembatani pengetahuan negara
maju dan negara berkembang. Menjamurnya MNC juga diakibatkan kebutuhan
masyarakat yang kian beragam, dan MNC memanfaatkan kondisi tersebut dengan
menyediakan kepada masyarakat ‘sesuatu’ yang mereka butuhkan. Sedangkan sisi
buruknya, selain memiliki peran dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan
negara, bisnis dan korporasi adalah alat untuk mengejar keuntungan.
Buku The Multinational Corporation dari Joseph Stigiltz (2006),
menyatakan setidaknya ada lima aspek penting yang harus dilakukan supaya
pertumbuhan MNC tidak berdampak negatif. Pertama adalah, setiap korporasi
diwajibkan untuk memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR).
Program tersebut bertujuan untuk mendekatkan perusahaan dengan masyarakat di
lingkungannya dan diharapkan akan dapat meningkatkan tujuan bersama. Contoh
nyatanya adalah bagaimana perusahaan dapat membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitarnya. Yang kedua adalah, pembatasan power dari sebuah
korporasi. Pembatasan diperlukan agar tidak muncul monopoli pasar. Hal ini
mengingat bahwa semakin besar kekuatan ekonomi sebuah korporasi akan
11 Stiglitz, Joseph, “The Multinational Corporation”, dalam Making Globalization Work, London:
Penguin Allen Lane, 2006.
8
semakin besar monopoli. Ketiga, adalah meningkatkan governance perusahaan,
yaitu bagaimana perusahaan tidak hanya menjadi shareholders namun juga
menjadi stakeholders bagi masyarakat dan karyawan perusahaan. Keempat adalah,
pembentukan peraturan global untuk ekonomi. Peraturan yang sudah dibentuk
juga dilengkapi dengan kerangka kerja legal secara internasional. Yang terakhir
adalah pemberantasan korupsi dimana suatu MNC dapat rusak melalui praktek
korupsi di dalam perusahaan. Weatherbee menyatakan korupsi terjadi di negara
yang demokrasi lemah, hal ini terlihat dari tidak adanya transparansi dalam
pengelolaan anggaran.12
Secara historis, keberadaan perusahaan multinasional tidaklah baru.
Sejarah membuktikan bahwa sejak abad ke-16 perusahaan multinasional sudah
ada, misalnya The Dutch East India Company dan the Massachusetts Bay
Company. Bahkan penjajahan Belanda di Indonesia dijalankan atas nama
perusahaan multinasional VOC. Namun, keberadaan perusahaan mutinasional saat
ini dengan yang dulu sangatlah berbeda. Terlihat dari segi kekuasaan yang
dimiliknya yang mana MNC zaman dahulu mempunyai kewenangan untuk
menentukan kebijakannya sendiri dan bebas melakukan ekspansi ke teritorial
lainnya karena sedikitnya jumlah MNC yang saling bersaing. Kini, pemerintah
negara berkembang menggunakan ekspansi global MNC sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi di negaranya.13 Sehingga kegiatan MNC kini tidak terlepas
dari kebijakan pemerintah dan aturan-aturan terkait yang ditentukan oleh home
country maupun host country. Hal tersebut semakin parah ketika pasca Perang
Dunia II, PBB meliberalisasi perdagangan dunia. Kembali ke sejarah bahwa jauh
sebelum para MNC menjamur, istilah tradisional bernama kongsi dagang menjadi
populer dengan contoh yakni keberadaan VOC atau Verenigde Oost Indische
Compagnie yang merupakan salah satu wujud aplikasi dari kata kongsi itu sendiri.
VOC bisa dikatakan merupakan kongsi dagang yang terbesar dan yang kali
pertama ada dalam sejarah dunia perdagangan Indonesia.14 Kongsi dagang pun
12 Weatherbee, Donald E., “Human Rights in Southeast Asia’s International Relations”, dalam
International Relations in Southeast Asia. Lanham: Rowman & Littlefield Publisher Inc, 2005.
13 Thun, Eric.“The Globalization of Production”, dalam John Ravenhill, Global Political
Economy, Oxford: Oxford University Press, 2008.
14 Wiharyanto, Kardiyat.,“Pergantian Kekuasaan di Indonesia tahun 1800”, Yogyakarta : CAPS,
2007.
9
kini telah memiliki istilah yang lebih terkesan elite, yaitu Multinational
Cooporation (MNC).
Berkembangnyya MNC dimulai sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat
dan Inggris serta kawasan Eropa lainnya yang dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor pendorong. Dua hal utama yang menjadi determinannya adalah theory of
location dan principle of comparative advantage.15 Michael Billing menyebutkan
bahwa munculnya terminologi globalisasi berkaitan dengan strategi pemasaran
global. Dengan kata lain, globalisasi idrntik dengan perencanaan strategis dalam
perusahaan transnasional yang dipelopori oleh Coca-Cola, Ford, dan Mc Donald.
Sebuah perusahaan didalam menjalankan bisnisnya selalu ingin mencapai profit
yang maksimal. Maka, Proses produksi akan ditempatkan di lokasi yang paling
efisien yang dekat dengan sumber faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja
murah dan sumber produksi lainnya. Selain itu, MNC berusaha untuk mengurangi
biaya transportasi dengan memindahkan fasilitas ke tempat yang lebih dekat
dengan pasar konsumen supaya tidak menelan biaya distribusi yang besar
sekaligus berusaha untuk menghindari hambatan tarif. MNC dapat pindah ke
negeri lain untuk menghindari regulasi pemerintah berupa peraturan perbankan,
pembatasan mata uang, atau regulasi lingkungan.
Globalisasi menjadi elemen kunci pasar bebas terletak pada kemampuan
MNC untuk menyelaraskan, mengintegrasikan, dan membuat produksinya secara
fleksibel, melalui penggunaan teknologi komunikasi dan robotisasi produksi.
Upaya rasionalisasi produksi dijalankan melalui integrasi elemen-elemen kegiatan
ekonomi dengan modal swasta dalam skala dunia.16 Globalisasi sebagai wahana
ekspansi perusahaan mutinasional dicitrakan dengan dua hal, yaitu: (1) globalisasi
pemasaran dengan tujuan totalitas konsumsi potensial untuk satu produk di
seluruh dunia dengan operasi skala global; dan (2) publisitas global, sebagai soft
power perusahaan multinasional dalam menciptakan kebutuhan semu, serta
internalisasi dan eksternalisasi suatu produk ke dunia.17
15 Gilpin, Robert. “The State and The Multinationals”, dalam Global Political Economy:
Understanding The International Economic Order. Princeton: Princeton University Press, 2001.
16 Jary, David & Jary, Julia, Coolins Glossary οf Sociology Harper. Glaslow : Collins
Manufacturing:. 1991.
17 Outhwaite, William (Ed.). Kamus Lengkap Pemikiran Shared Present. Kencana Prenada Media
Assemble: Jakarta. 2008.
10
Dalam dunia akademis sekalipun juga tidak jarang muncul perdebatan
antara apakah negara atau korporasi yang harus menjadi aktor utama. IImu
Ekonomi berpijak pada asumsi bahwa mekanisme pasar bersifat alamiah masih
menjadi paradigma utama ketika berbicara masalah pembangunan. Namun dengan
mengedepankan peran korporasi sebagai aktor utama pembangunan, maka wajar
tatkala banyak problem yang termarginalkan, salah satunya adalah sumber daya
alam. Ternyata para ekonom lupa bahwa aktivitas transaksi dapat berjalan adil
dalam sebuah koridor politik yang dinamakan negara yang memiliki otoritas
menjaga sumber alam.18 Sehingga adalah hal yang sangat menguntungkan bagi
negara yang memiliki kapasitas ketergantungan satu sama lain. Tidak ada aturan
terkait tentang perekonomian internasional sehingga negara bebas melakukan
kerjasama dengan negara-negara yang dibutuhkan untuk meningkatkan profit dan
benefit dari setiap unit perekonomian tersebut.
Kita bisa melihat terjadi kesenjangan antar negara dalam teori sistem dunia
yang dikemukakan oleh Wallerstein. Negara digolongkan menjadi tiga klasifikasi
berdasarkan pembagian kerja masing masing yakni Negara inti, pinggiran dan
semi-pinggiran. Negara inti (core) adalah negara industri dengan sistem
pemerintahan demokrasi, pertumbuhan ekonomi tinggi ditunjang nilai investasi
yang tinggi, impor bahan mentah dan ekspor manufaktur Sedangkan negara
kategori pinggiran alias periperi adalah kebalikan dari karakteristik yang terdapat
pada negara inti, yakni negara dengan perkembangan industri yang minim.
Namun negara-negara yang berstatus periperi cukup banyak memiliki potensi
sumber daya alam. 19
Berkaitan dengan teori sistem dunia dari Wallerstein, maka negara inti
akan berupaya untuk memfokuskan kerjasama dengan langusng maupun tidak
langsung mengeksploitasi potensi negara-negara dibawahnya. Negara core akan
mengincar potensi sumber daya alam negara setempat sesuai dengan kepentingan
nasionalnya. Supaya surplus keuntungan yang diraih negara core lebih besar,
maka pada negara semi-periperi, barang ekspor dan impor mencakup bahan
mentah dan manufakturnya tetapi tingkat kesejahteraan, gaji, serta pelayanan
18 Arnsperger, Cristian. Critical Political Economy: Complexity, Rationality and the Logic of
Post-Orthodox Pluralism (London: Routledge, 2008).
19 Baylis, John, "The Globalization of World Politics". Oxford University Press, 2008, hal. 148.
11
masyarakatnya sangat kurang. Kita dapat menunjuk bahwa negara-negara di
Eropa, Amerika dan beberapa negara Asia, semisal Jepang adalah negara core
karena mengandalkan pada investasi. Sedangkan sisanya termasuk Indonesia
dapat diglolongkan ke dalam semi-periperi atau periperi.
Cara yang paling canggih yang sering dilakukan korporasi adalah dengan
memanfaatkan lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, WTO dan World Bank.
Atas nama globalisasi, IMF, WTO dan World Bank mengajukan tawaran
pembentukan pasar bebas yang dimuklai dari serangkaian hutang luar negeri.
Sebuah skema yang pada akhirnya membuat negara berkembang akan mengalami
ketergantungan Investasi. Selanjutnya, intervensi pemerintah dimarginalkan dan
pelaku bisnis memegang kendali berbagai area publik yang semula dikelola dan
menjadi domain negara. Oleh karena itu, Noreena Hertz menyebut gejala tersebut
sebagai “silent take over” (pengambilalihan diam-diam). Dimana korporasi
multinasional menjelma jadi institusi dominan yang kekuasaan yang mana
pengaruhnya melebihi organisasi internasional.
Implikasinya, kepentingan yang menguntungkan negara investor selalu
diorientasikan dalam perundingan Internasional macam WTO. Selanjutnya, hasil
regulasi internasional tersebut diinfiltrasi kedalam birokrasi negara berkembang.
Parahnya dalam era otonomi daerah maka tidak hanya dari pemerintah pusat saja,
bahkan hingga unit birokrasi terkecil seperti kepala desa juga berpotensi ikut
membiarkan eksplorasi alam. Jika hanya keuntungan uang dan sumber pekerjaan
yang dicari maka sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan desa setempat
terkait potensi sumber daya alamnya. SDA bahkan menjadi tidak dimanfaatkan
oleh warga setempat melainkan untuk kepentingan segelinitir korporasi. Pada
akhirnya masyarakat desanya hanya menjadi penonton karena tidak bisa
mengolahnya sendiri malah justru mendapat perlakuan yang kurang baik karena
dianggap hanya mengganggu aktivitas korporasi.
Dari fakta tersebut setidaknya kita mulai bertanya, apakah yang mendasari
para aktor internasional mengincar desa di Indonesia? Secara historis, setidaknya
terdapat beberapa alasan yang mendasar bagi Negara kolonial menancapkan
dominasinya di Indonesia. Salah satunya yang paling tenar adalah rempah-rempah
dan hasil pertanian Indonesia yang terkenal. Kepulauan Maluku sebagai contoh,
12
merupakan bagian dari Indonesia yang dijamah pertamakali oleh Portugis pada
tahun 1509, hingga kemudian berhasil diusir di tahun 1595. Spanyol, Inggris, dan
Belanda merupakan Negara-negara Eropa selanjutnya yang menjamah Indonesia
di sekitar abad 16-19. Bahkan Jepang sebagai Negara Asia pertama yang memiliki
derajat setingkat kulit putih Eropa sempat tiga tahun lebih menikmati manisnya
alam Indonesia.20 Namun ternyata kolonialisme juga dijalani dari persekutuan
yang dilakukan oleh beberapa pribumi yang mendukung kolonialisme untuk
kepentingan mereka sendiri. Faktor internal tersebutlah yang membuat Belanda
dapat melakukan penjajahan dalam waktu yang relatif lama, yakni 350 tahun.
Maka total selama 450 tahun hasil pertanian dan perkebunan desa Indonesia
diangkut untuk kesejahteraan Negara lain.
Kini, konstelasi negara dan korporasi ternyata tidak selalu menjadi dilema,
bahkan dalam beberapa adegan, terutama saat krisis terjadi, justru keduanya
berkolaborasi bersama. Logika kedaulatan negara dalam era globalisasi semakin
tidak mampu menahan akselerasi logika akumulasi kapital yang semakin sporadis.
Sebaliknya, logika pasar bebas semakin membutuhkan institusi yang bisa
memberikan jaminan dan insentif ketika terguncang krisis. Implikasinya, paradoks
terjadi ketika negara dan korporasi saling menyelamatkan, maka seringkali rakyat
di pedesaan dengan terpaksa harus dilupakan dan dikorbankan.
Disinilah konstitusi 1945 menunjukkan bahwasanya kemerdekaan adalah
hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan.
Namun, Indonesia bukanlah negara yang menutup diri dari kerjasama ekonomi
dengan sesama negara lain. Hal tersebut dicontohkan Sukarno yang aktif menjalin
kerjasama dengan negara negara berkembang lain sebagaimana tertuang dalam
semangat Bandung spirit. Dengan kata lain, Indonesia berusaha untuk tidak
terjebak dalam dikotomi antara ekonomi terbuka dan ekonomi tertutup.
Memurnikan konstitusi pasal 33 menjadi perlu karena pada era kontemporer
negara berpotensi berselingkuh dengan korporasi untuk mengkhianati rakyatnya.
Dengan demikian, maka antisipasi perlu sebagai lampu kuning untuk pemerintah
dalam menjaga desa di Indonesia.
20 Zeenath Kausar, Colonization to globalization: Might isRight Continues. Thinker’s library.
13
1.2. Sejarah dan Potensi Desa Indonesia
Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan
pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota,
negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga
dan sebagainya). Dalam hal ini, Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai
“komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Koentjaraningrat tidak
memberikan penegasan spesifik bahwa komunitas desa secara khusus tergantung
pada sektor pertanian. Dengan kata lain bahwa masyarakat desa sebagai sebuah
komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam,
tidak di sektor pertanian saja.21 Sedangkan Sosiolog perdesaan asal AS, Paul
Landis mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga pemilahan
berdasarkan pada tujuan analisa. Untuk tujuan analisis statistik, maka desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500
orang. Sedangkan untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai
suatu
lingkungan
yang
penduduknya
memiliki
hubungan
yang
akrab
(gemmenischaaft) dan serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan
21 Koentjaraningrat (ed.). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 1977.
14
untuk tujuan analisa ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang
penduduknya tergantung kepada pertanian.22
Pembangunan sejatinya adalah sebuah proses sosial yang mengasumsikan
ekonomi dapat mendorong keterbelakangan kearah kemajuan melalui terciptanya
suatu yang dinamis sehingga mampu membangkitkan pertumbuhan secara
berkesinambungan berupa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern.23 Sulit dipungkiri, pertanian merupakan basis produksi paling mendasar
untuk memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan primer menjadi sangat
potensial dalam menjadi lahan akumulasi modal. Oleh karena itu pertanian yang
semula merupakan salah satu kegiatan paling awal dikenal peradaban manusia
yang juga merupakan budaya, kini menjelma menjadi industri yang berorientasi
pada nilai materil yang secara tidak langsung mendistorsi nilai-nilai kebudayaan
itu sendiri. Dengan begitu sektor pertanian bukan lagi terfokus dalam pemenuhan
kebutuhan dasar dari manusia, tapi merupakan bussiness as usual. Sebagai
contoh, pemerintahan Belanda pada tahun 1891 mencari tanaman baru pengganti
tembakau yang menguntungkan di pasar Eropa yang dapat di tanam di Timur
Pulau Sumatra. Pada saat itulah pertanian tembakau yang terkenal di tanah Deli
tergantikan dengan pertanian sawit, teh, dan karet. Begitupula dengan pertanian
tebu, kebutuhan akan gula yang besar di Eropa saat itu membuat belanda
menerapkan sistem yang sama sepertihalnya penanaman tembakau, sawit, teh, dan
karet, mereka mendesak petani untuk mengganti tanaman yang ditanam petani
dengan tanaman tebu.
Model tekanan militer untuk mengusai lahan-lahan potensial dan
menguntungkan Negara sudah ditinggalkan. Modernisasi yang terjadi mulai
menggeser model kolonialisasi yang bersifat militeristik terutama pasca
kemerdekaan Indonesia dari Jepang 17 Agustus 1945. Model Multi National
Corporation (MNC) dengan menggunakan motivasi ekonomi dan investasi
menjadi sebuah strategi baru yang di gunakan untuk menyerap Sumber Daya
Alam di Indonesia, sekaligus mengontrol jenis produksi. Teknologi di bidang
22. Landis, Paul. dalam Indrizal, Edi Memahami Konsep Pedesaan Dan Tipologi Desa Di
Indonesia”, Undip press, 2006, hal 127.
23 Cardoso, Fernando. H. Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Hal. 194.
15
pertanian mulai berkembang pesat, peralihan Indonesia sebagai negara pemasok
produk pertanian dialihkan ke Negara-negara maju yang memiliki teknologi
pertanian yang mumpuni. Kini potensi SDA jenis lain, seperti batu bara di
Kalimantan, mining di Sulawesi dan Papua, bahkan jawa yang dahulu merupakan
repersentasi dari pertanian di indonesia, kini mulai tergerus oleh tambangtambang migas di Jawa Timur.
Sebagai contoh di Jawa Timur, Blok Cepu merupakan salah satu Blok
yang terdapat di Jawa Timur dengan cadangan minyak mencapai 7,7 triliun kaki
kubik minyak bumi, atau setara dengan 650 juta barel. Selain Blok Cepu di Jawa
Timur juga terdapat lapangan minyak Sukowati yang dikelola secara Joint
Operating Body (JOB) Pertamina-Petrochina East Java (PPEJ) di Kabupaten
Bojonegoro, yang masuk Blok Tuban. Lapangan migas mampu memproduksi
minyak sekitar 43 ribu barel/hari (lihat tabel di bawah). Selain lapangan migas
yang berada di Bojonegoro, di tuban juga terdapat blok migas suci, blok ini di
garap oleh PT Indelberg Indonesia Perkasa (IIP) dengan PT Pertamina EP. Hingga
saat ini sudah di sediakan dana sebesar USD 20,90 juta. Kabupaten lain yang
memiliki cadangan migas terdapat di Sidoarjo, Lapindo memiliki sebanyak 25
sumur CNG, 20 sumur berada di Desa Wunut, Kecamatan Porong dan lima sumur
berada di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin. (lihat table di bawah) Selain
berbagai Blok dan lapangan migas yang telah di paparkan di atas secara detail,
terdapat pula potensi migas baru yang berada di Jawa Timur, yaitu Blok Nona.
Blok Nona ini terdapat di berbagai kabupaten di Jawa Timur, seperti Kabupaten
Bojonegoro, Jombang, Lamongan, dan Kota Surabaya.
Tabel. 1.1
Potensi Minyak dan Gas Di Jawa-Timur Berdasarkan Kabupaten
No
Nama Kabupaten/Kota
Potensi/ Kekayaan alam (MIGAS)
1
Kabupaten Blitar
Blok Migas Nona
2
Kabupaten Bojonegoro
- Blok Cepu memiliki cadangan 7,7 triliun kaki kubik minyak
16
bumi, atau setara dengan 650 juta barel.
- Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur yang menerima DBH
sektor minyak dan gas (migas) pada tahun 2012 sekitar Rp234
miliar, merupakan kabupaten justru sebelumnya menempati
peringkat kemiskinan ke-5 di Jawa Timur pada 2008 yakni
sekitar 576.927 jiwa. 24
- Blok Cepu, diperkirakan produksi minyak perharinya
mencapai 160 ribu/barel.
- Selain Blok Cepu kabupaten Bojonegoro juga memiliki
lapangan minyak Sukowati yang dikelola Joint Operating Body
(JOB) Pertamina-Petrochina East Java (PPEJ) di Bojonegoro,
yang masuk Blok Tuban, mampu memproduksi minyak sekitar
43 ribu barel/hari.25
- selain blok cepu terdapat pula blok nona. Blok ini di garap
oleh PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dengan PT SER.
3
Kabupaten Tuban
- produksi Minyak dan Gas Bumi (Migas) JOB P-PEJ Blok
Tuban masih pada kisaran 35.000 Barel perhari (Bph). Target
yang di patok sebesar 40.000 Barel per hari.26
- di tuban juga terdapat blok migas suci, blok ini di garap oleh
PT Indelberg Indonesia Perkasa (IIP) dengan PT Pertamina EP.
Hingga saat ini sudah di sediakan dana sebesar USD 20,90
juta.27
-blok tuban, dikelola Joint Operating Body Pertamina –Petro
China East Java (JOBP-PEJ) dan penambangan tradisional
milik Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PEP).
Di tuban juga termasuk blok cepu, namun sayangnya
24 http://www.bisnis.com/m/6-kabupaten-dbh-tertinggi-masih-jadi-dadaerah-miskin
25 “Pertamina Survei Seismik Potensi Migas Blok Nona”, dalam
http://jatim.antaranews.com/lihat/berita/78264/pertamina-survei-seismik-potensi-migas-blok-nona,
diakses 5 Oktober 2013 Pk 21.12.
26 “Puasa Pengeboran Blok Migas Tuban Jalan Terus”, dalam
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Jember/2013-0708/177323/_Puasa,_Pengeboran_Blok_Migas_Tuban_Jalan_Terus, 6 Oktober 2013. Pk. 22.11
27 “Capitalinc Investment Anggarkan USD 15 Juta” dalam
http://www.bexi.co.id/keuangan/pada-2013--capitalinc-investment-anggarkan-belanja-modal-usd15-juta/, diakses 7 Oktober 2013
17
Kabupaten Tuban tidak mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBS).28
4
Kabupaten Jombang
Blok Migas Nona
5
Kabupaten Lamongan
Blok Migas Nona
6
Kabupaten Siduarjo
- Produksi gas dari lima sumur Kalidawir ditingkatkan dari
semula lima juta kaki kubik per hari menjadi 10 juta kubik per
hari. (2011).
- Di Sidoarjo, Lapindo memiliki sebanyak 25 sumur CNG, 20
sumur berada di Desa Wunut, Kecamatan Porong dan lima
sumur berada di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin.
7
Kabupaten Gresik
Blok Ujung Pangkah MIGAS
8
Kabupaten Bangkalan
West Madura Offshore (blok Kangean) MIGAS. Produksi di
blok ini menembus angka 20.00 Barel/ hari tahun 2013.
(Suaramerdeka.com)
9
Kota Surabaya
Blok Migas Nona
Sumber telah dihimpun pada catatan kaki yang tercantum masing-masing.
Dari data yang telah dipaparkan di dalam tabel diatas, dapat terlihat
terdapat beberapa perusahaan multinasional yang juga ikut bergabung untuk
mencicipi manisnya keuntungan migas Indonesia. Implikasinya, penguasaan
sektor minyak dalam negeri hanya tersisa lima belas persen yang tentu di pegang
oleh Pertamina sebagai wujud otoritas Pemerintah dalam bentuk perusahaan
BUMN. Pengusaan minyak secara keseluruhan pada tahun 2010 di pegang oleh
Chevron, dengan penguasaan minyak Indonesia sebesar 47 %. Selain Chevron,
terdapat MNC lain yaitu TOTAL dengan pengusaan minyak Indonesia sebesar
sembilan persen. Kmudian terdapat pula Conoco Philips dengan pengusaan
minyak Indonesia sebesar delapan persen. Selain ketiga perusahaan tersebut,
28 “ Tuban Tak Dapat DBH Migas Blok Cepu” dalam
http://www.suarabanyuurip.com/kabar/baca/tuban-tak-dapat-dbh-migas-blok-cepu, diakses 5
oktober 2013. Pk. 23.33.
18
terdapat pula perusahaan multinasional lainnya yang erinvestasi dalam sektor
minyak Indonesia, seperti Kodeco (2%), British Petroleum (2%), Medco (4%),
CNOOC (5%), dan Petro China (7%).29 Sebaliknya,. PetroChina bukan hanya
menggarap lapangan minyak Sukowati yang dikelola dengan cara Joint Operating
Body (JOB) antara Pertamina dengan Petrochina East Java (PPEJ) di Bojonegoro,
tetapi juga ikut menggarap eksplorasi migas di blok Cepu.
Dari gambar di atas, tampak terlihat Provinsi Jawa Timur merupakan salah
satu dari dua Provinsi di Indonesia yang memiliki sumberdaya minyak yang
sangat melimpah setelah Sumatra Tengah yang memiliki 3.832,11 MMSTB.
Selain Provinsi JawaTimur dan Sumatra Tengah, cadangan minyak di Indonesia
tersebar di berbagai provinsi lainnya, seperti Aceh Sumatra Utara Sumatra Selatan
Jawa Barat sebesar. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan cadangan minyaknya
sebesar 670.00 MMSTB, untuk wilayah Sulawesi cadangan minyaknya sebesar
49.78 MMSTB. Selanjutnya di wilayah maluku terdapat 48.07 MMSTB, dan di
Papua sebesar 94.93 MMSTB. Cadangan minyak yang cukup besar berada di
pulau Natuna sebesar 383.35 MMSTB, Sedangkan Pada sektor gas alam, 75 %
dari kekayaan gas Indonesia dikuasai bukan oleh perusahaanmilik negara, dimana
37 % dipegang oleh TOTAL, sisanya kemudian dibagi-bagi kepada Conoco
Philips sebanyak 18 %, Exxon 9 %, Vico 6 %, Petro China 5 % dan beberapa
perusahaan asing lainnya, sedangkan Pertamina sendiri hanya menguasai 15
persen sisanya. 30
Tabel 1.2.
Penguasaan Minyak Bumi 2012
29 Indonesia For Global Justice. “Anomaly kebijakan minyak nasional,” Free Trade Watch,
Edisi Maret 2012.
30 Indonesia For Global Justice. “Anomali kebijakan minyak nasional”, Free Trade Watch , Edisi
Maret 2012.
19
British Petrolium;
Kodeco; 2.00% 2.00%
Pertamina; 16.00%
CNOOC; 5.00%
Petro China; 7.00%
Conoco Philips;
8.00%
Total; 9.00%
Chevron; 47.00%
Sumber: Indonesia for Global Justice, ibid, 2012.
Dengan begitu, semakin banyak ditemukan potensi dan sumber migas di
wilayah-wilayah lainnya akan secara langsung mempengaruhi pergeseran fungsi
lahan pedesaan. Dari semula yang merupakan lahan pertanian masyarakat,
menjadi lahan tambang yang dimiliki oleh Multi National Corporation (MNC).
Kondisi pergeseran budaya pertanian juga dialami oleh provinsi lain di pulau
Jawa, dengan alasan yang sedikit berbeda. Sebagai Contoh Jawa Tengah dan Jawa
Barat pertaniannya mulai tergerus dengan sektor industri. Yang mana hal tersebut
bukan terjadi karena tidak potensialnya lagi daerah-daerah di Jawa Barat dan Jawa
Tengah sebagai sentral pertanian, namun sektor pertanian tidak lagi lebih
menguntungkan di bandingkan sektor industri. Selain itu untuk daerah daerah
tertentu di Jawa Barat dan Jawa Timur, harga sumber daya manusia sangatlah
murah sehingga kondisi ini dapat menjadi alasan ke dua mengapa investor asing
lebih banyak menanamkan investasinya di sektor industri pada wilayah-wilah
yang memiliki upah buruh murah.
Murahnya upah buruh di sektor industri juga merupakan konsekuensi logis
yang harus di terima dengan pembuatan kawasan industri. Hal tersebut melihat
pola berfikir industri yang menekankan profit, termasuk memberikan upah kecil
untuk buruhnya. Penetapan UMR di provinsi merupakan kebijakan pemerintah,
20
yang merupakan hasil diskusi antara pihak buruh dan pengusaha. Namun pada
kenyataannya, untuk wilayah-wilayah yang serikat buruhnya lemah, negosiasi
menjadi timpang di antara mereka. Dengan berbagai cara pemerintah daerah
mencoba menekan UMR hanya untuk mengundang investor atau sekedar
mempertahankan investor.
Data yang disajikan oleh PHI dan Jamsostek mencakup upah buruh di
beberapa daerah yang tergolong murah adalah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Dari hampir semua Provinsi di Indonesia yang menetapkan UMR
berada di atas satu juta Rupiah, hanya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
yang menetapkan UMR nya berada di kisaran delapan ratus ribuan Rupiah. Data
yang di sajikan di bawah menunjukan peningkatan UMR setiap tahunnya. Ratarata UMR pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2008 sebesar Rp 745.709.
pada tahun berikutnya meningkat menjadi Rp 841.529, terus meningkat pada
tahun 2010 menjadi Rupiah 908.824. Pada tahun 2011 rata-rata UMR di Indonesia
menjadi Rp 988.829, pada tahun 2012 bertambah menjadi Rp 1.088.902, dan di
tahun 2013 menjadi Rp 1.296.908.
Kenaikan rata-rata UMR di Indonesia nyatanya tidak sebanding lurus
terhadap dua hal. Pertama pemerataan pendapatan melalui tingkat UMR yang
relatif hamper sama pada setiap Provinsinya. Kedua, peningkatan rata-rata UMR
di Indonesia hanya di signifikan di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, Sumatra
Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur. Sedangakan di provinsi lain
peningkatan UMR tidak signifikan. Misalnya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, dan DDI Yogyakarta. Peningkatan UMR pada 4 provinsi di pulau Jawa
tidak signifikan dan cenderung sangat kecil, kisaran kenaikannya hanya sebesar
kurang lebih Rp 100.000. Berikut adalah Data yang dikeluarkan oleh BKPM
mendukung statement bahwa MNC mengincar SDM murah sebagai pekerja.
Tabel 1.2
Data Upah Minimum Regional Provinsi Se-Indonesia 2008-2013
NO Provinsi
1
Aceh
2
Sumatera Utara
2008
1.000.000
822.205
2009
1.200.000
905.000
2010
1.300.000
965.000
21
2011
1.350.000
1.035.500
2012
1.400.000
1.200.000
2013
1.550.000
1.375.000
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara
Barat
Nusa Tenggara
Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Rata - Rata :
800.000
800.000
724.000
743.000
880.000
901.600
800.000
824.730
940.000
1.016.000
900.000
927.825
1.055.000
1.120.000
1.028.000
1.048.440
1.150.000
1.238.000
1.142.500
1.195.220
1.350.000
1.400.000
1.300.000
1.630.000
690.000
617.000
813.000
833.000
972.605
568.193
547.000
586.000
500.000
837.000
682.650
730.000
735.000
691.000
850.000
892.000
1.069.865
628.191
575.000
700.000
570.000
917.500
760.000
832.500
780.000
767.500
910.000
925.000
1.118.009
671.500
660.000
745.694
630.000
955.300
829.316
890.775
815.000
855.000
1.024.000
975.000
1.290.000
732.000
675.000
808.000
705.000
1.000.000
890.000
950.000
930.000
975.000
1.110.000
1.015.000
1.529.150
780.000
765.000
892.660
745.000
1.042.000
967.500
1.000.000
1.200.000
1.150.000
1.265.000
1.365.087
2.200.000
850.000
830.000
947.114
866.250
1.170.000
1.181.000
1.100.000
650.000
725.000
800.000
850.000
925.000
1.010.000
645.000
705.000
741.000
802.500
900.000
1.060.000
765.868
873.089
986.590
1.134.580
1.327.459
1.553.127
825.000
930.000
1.024.500
1.126.000
1.225.000
1.337.500
889.654
955.000
1.002.000
1.084.000
1.177.000
1.752.073
845.000
670.000
740.520
700.000
929.500
720.000
905.000
770.000
1.000.000
777.500
1.000.000
860.000
1.050.000
827.500
1.100.000
930.000
1.250.000
885.000
1.200.000
1.032.300
1.550.000
995.000
1.440.000
1.125.207
600.000
760.500
700.000
700.000
675.000
909.400
775.000
770.000
762.500
1.006.000
900.000
889.350
1.410.000
1.403.000
988.829,39
837.500
1.127.000
975.000
960.498
1.450.000
1.585.000
1.088.902,64
1.175.000
1.165.000
1.275.000
1.200.622
1.720.000
1.710.000
1.296.908,48
710.000
944.200
840.000
847.000
1.210.000
1.105.500 1.216.100 1.316.500
745.709,22 841.529,55 908.824,52
Sumber: Jamsostek, Diolah oleh Pusat data Dinas Tenaga Kerja, 2013.
22
Untuk merefleksikan tabel hasil perbandingan UMR menurut Provinsi di
atas, maka kita patut melihat jumlah buruh yang menerima upah tersebut.
Walaupun jumlah pendapatan yang ditentukan pemerintah Provinsi yang menjadi
sentra industri terbilang minim, namun jumlah buruh di Indonesia setiap tahunnya
terus meningkat. Dimulai Pada tahun 2008 per bulan Februari, jumlahnya sebesar
28.515.358 orang. Jumlah tersebut meningkat drastic pada tahun 2010 sebanyak
2.208.803 orang, menjadi 30.724.161 orang. Kemudian meningkat kembali di
tahun 2011 menjadi 34.513.624 orang. Pada tahun 2012 jumlahnya kembali
meningkat menjadi 38.135.062 orang.
Kondisi tersebut setidaknya menunjukan dua hal. Pertama, jumlah
populasi masyarakat Indonesia yang terus bertambah. Kedua, lapangan kerja yang
cenderung tidak meningkat tajam. Kedua gambaran tersebut di bingkai manis
dalam ketidak seimbangan laju populasi dengan peningkatan jumlah lapangan
kerja yang disediakan. Selain itu, kondisi tersebut mencerminkan perkembangan
industri yang tidak sebanding dengan tingkat pendapatan masyarakat di tengah
melonjaknya harga-harga bahan pokok.
Tabel 1.3
Jumlah Pekerja Indonesia Menurut Status Pekerjaan
No.
1
2
3
4
5
6
7
Status Pekerjaan Utama
Berusaha Sendiri
Berusaha Dibantu Buruh
Tidak Tetap/Buruh Tidak
Dibayar
Berusaha Dibantu Buruh
Tetap/Buruh Dibayar
Buruh/Karyawan/Pegawai
Pekerja Bebas di
Pertanian
Pekerja Bebas di Non
Pertanian
Pekerja Keluarga/Tak
Dibayar
2008
2009
2010
2011
2012
Februari
Februari
Februari
Februari
Februari
20 081 133
20 810 300
20 456 735
21 149 311
19 543 475
21 599 782
21 636 761
21 922 813
21 308 835
20 367 416
2 979 406
2 968 481
3 016 154
3 594 568
3 930 591
28 515 358
28 913 118
30 724 161
34 513 624
38 135 062
6 130 481
6 346 122
6 324 719
5 575 925
5 356 265
4 798 856
5 151 536
5 284 598
5 158 700
5 970 608
17 944 841
18 659 126
19 676 392
19 980 781
19 499 388
23
8
Tak Terjawab
Total
102049 857 104 485 444 107 405 572 111 281 744
112 802 805
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013. 31
Bertolak belakang dengan penurunan jumlah petani, jumlah buruh terus
meningkat setiap tahunnya. Jumlah petani terus menurun, pada tahun ketahun
setidaknya pengurangan jumlah petani selama tahun 2008 sampai dengan 2012
sebanyak kurang lebih 400.000 orang. Jumlah masyarakat yang menjadi petani
pada tahun 2010 sebanyak 6.324.719 orang, menurun menjadi 5.575.925 orang
pada tahun 2011, dan kembali berkurang pada tahun 2012 menjadi 5.36.265
orang. Peningkatan jumlah buruh tersebut sering diartikan sebagai kesuksessan
pemerintah dalam memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakatnya. Namun
di sisi lain, kita dapat melihat arah kebijakan pendidikan di Indonesia yang
sepertinya memang pencetak buruh. Bukan hal yang salah apabila sebuah Negara
memilih Industri sebagai instrument untuk mengemba