Paper No 3 Ruang dan Konflik Cerita dari Enam Desa

CSPS Monographs on
Social Cohesion in North Maluku
Center for Security and Peace Studies
(Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian)
Sekip K-9 Yogyakarta 55281
Phone: 62 274 520733
Email: csps@ugm.ac.id

Universitas Gadjah Mada

http://csps.ugm.ac.id

Ucu Martanto

Ruang dan
Konflik Wilayah
Cerita dari Enam Desa

Paper No 3
Desember 2012
Tools Pencegahan Konflik dan Best Practices untuk Industri Ekstraktif 1


Ruang dan Konflik Wilayah
Cerita dari Enam Desa
Ucu Martanto

...untuk kami, masyarakat enam desa, sudah komitmen harga mati masuk
Halbar...kalau harus membunuh atau mati, warga siap. ...kita dari jaman
Kesultanan sudah Halbar. Menurut orang tua kami di Halmahera hanya ada satu
Kesultanan yaitu Jailolo.
[Abdul Muin (Mantan Kepala Desa Bobaneigo), 30 April 2010]

A. Pengantar
Salah satu fenomena yang muncul, dan
berangsur-angsur menjadi tren, pasca jatuhnya
pemerintahan Suharto tahun 1998 adalah
pemekaran daerah. Terhitung semenjak tahun
1999 hingga Juni 2009, terdapat penambahan
205 Daerah Otonom Baru (DOB) yang terdiri
dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota
(Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri, 2010).

Jumlah ini diperkirakan mengalami
penambahan mengingat tingginya hasrat
daerah untuk memisahkan diri dari pemerintah
daerah induk. Kebijakan moratorium
pemekaran dalam rangka mengevaluasi
keberadaan DOB tidak menyurutkan ambisi
daerah untuk mengajukan proposal
pemekaran.
Sengketa wilayah merupakan
fenomena yang sama gandrungnya dengan
pemekaran daerah. Belum tuntasnya proses
delimitasi wilayah pemerintah daerah di
Indonesia menyebabkan batas wilayah antarpemerintah daerah tumpang-tindih. Dalam
kondisi ketidakpastian batas-batas wilayah,
DOB dilahirkan. Akibatnya mudah diterka,
hampir setiap kasus pemekaran
kabupaten/kota maupun provinsi – terutama di
luar Pulau Jawa – selalu diikuti dengan
sengketa batas wilayah.1 Tidak sedikit dari
sengketa ini berakhir dengan konflik kekerasan

yang menyimpang dari tujuan pemekaran
daerah, seperti yang terkandung dalam UU No.
32 tahun 2004, yaitu: meningkatkan pelayanan

publik, kesejahteraan masyarakat, dan
memperkokoh NKRI.
Mengapa sengketa batas wilayah
antar-pemerintah daerah seringkali ditempuh
dengan jalan kekerasan antar-penduduk?
Seseorang berperang mempertahankan
kedaulatan teritorial NKRI dianggap sebagai
pejuang nasionalisme, sementara bagi mereka
yang rela mati untuk memperjuangkan batasbatas wilayah pemerintah daerahnya, apakah
ini yang disebut 'provinsisme' atau
'kabupatenisme'? Apa yang mereka
pertaruhkan ketika memperjuangkan batasbatas wilayah kabupaten/kota atau provinsi?
Fenomena ini menyiratkan pertanyaan lebih
lanjut tentang keindonesiaan, tentang
kewilayahan, tentang pemerintahan, tentang
kewarganegaraan. Saya menduga pertanyaanpertanyaan itu hanya akan tuntas dijelaskan

melalui pisau analisa yang multiperspektif.
Untuk melengkapi perspektif yang telah
banyak digunakan (seperti: kelembagaan/tata
kelola pemerintahan, ekonomi politik, politik
identitas, gerakan sosial, dan konflik), tulisan
ini mengangkat perspektif ruang dalam
memahami pemekaran daerah dan konflik
kekerasan batas wilayah.
Sengketa batas wilayah antara
Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) dengan
Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dalam
memperebutkan status wilayah enam desa
(Dum Dum, Akesahu, Akelamo Kao, Tetewang,
Bobane Igo, dan Pasir Putih) adalah contoh
sempurna tentang silang sengkarut konflik

batas wilayah yang banyak tersebar di
Indonesia. Pengamatan dan interaksi langsung
saya selama enam bulan atas kasus sengketa
wilayah enam desa antara Kabupaten Halbar

2
dengan Kabupaten Halut diharapkan dapat
membaca posisi dan makna ruang dalam
hubungan antara pemekaran dan konflik batas
wilayah.

B. Ruang dan Kekuasaan
Bagaimana memaknai ruang? Dalam
tulisan ini, ruang dipahami bukan sebagai
kontainer kosong, abstrak, netral, insignifikan,
dan tidak memiliki makna apapun dalam
menjelaskan fenomena sosial ataupun realita
sosial. Sebaliknya, konsep ruang merupakan
medium yang memintal hubungan
intersubjektif, tindakan-tindakan subjek, dan
lingkungan mereka; berkarakter konstitutif,
produktif, positif, dan generatif; fundamental
bagi semua bentuk kehidupan komunal, bagi
semua penggunaan kekuasaan (West-Pavlov,
2009). Ruang tidak hadir secara universal.

Sebagai produk sosial, ruang hanya dapat
dipahami dalam konteks masyarakat tertentu
dan dalam waktu tertentu.
Seperti kutipan di awal tulisan ini, juga
dalam kehidupan sehari-hari (everyday life),
individu ataupun kolektif mengimaginasikan
dan memaknai ruang secara berbeda-beda.
Lefebvre (1991) mengurai fenomena ini
dengan menunjukan bekerjanya dua konsep
yang membentuk pemahaman dan praktek
manusia terhadap ruang, yaitu ruang abstrak
(abstract space) dan ruang sosial (social
space). Ruang abstrak terbentuk melalui
interseksi antara pengetahuan dan kekuasaan.
Ini adalah ruang hirarkis yang bersangkut paut
dengan hasrat seseorang untuk menguasai
organisasi-organisasi sosial, seperti: penguasa
politik, pengusaha, perancang wilayah, dst.
Lefebvre menandaskan ruang abstrak adalah
ruang hegemonik karena menyelimuti dan

menggabungkan apirasi-aspirasi, keinginan,
dan impian sehari-hari penduduk di dalam
sistem kapitalisme. Berkembalikan dengan
ruang abstrak, ruang sosial muncul dari
praktek – pengalaman hidup sehari-hari yang
tereksternalisasi dan termaterialisasi melalui

aktivitas seluruh anggota masyarakat,
termasuk para agensi ruang abstrak
(penguasa, pengusaha, perancang wilayah,
dst) (Gottdiener, 1993: 131).
Ruang sosial tidak bersifat tunggal dan
tidak terdapat batas-batas eksklusif yang
memisahkan ruang sosial satu dengan ruang
sosial lainnya. Dengan karakter demikian
menjadikan ruang sosial selalu saling-tindih
dan saling-penetrasi satu dengan lainnya.
Seperti diungkapkan Lefebvre (1991: 86-87),
'social space interpenetrate one another and/or
superimpose them-selves upon one another.

They are not things, which have mutually
boundaries and which collide because of their
contours or as a result of inertia'[sic]. Karakter
ini menandakan kedinamisan ruang-ruang
sosial yang dibentuk oleh praktek-praktek
kekuasaan yang bekerja didalamnya.
Bagaimana ruang (abstrak dan sosial)
diproduksi? Lefebvre, dalam magnum opus-nya
La Production de L'espace (1974),
diterjemahkan dengan judul the production of
space (1991) mengajukan bahwa ruang
diproduksi melalui tiga proses atau dimensi
trialektika yang saling terhubung. Proses atau
dimensi ini adalah perceived – conceived – lived
(Lefebvre, 1991: 40). Proses 'trialektika' ini
menegaskan bahwa ruang memiliki karakter
komplek dan memasuki hubungan-hubungan
sosial pada semua tingkatan (Gottdiener, 1993:
131). Pada awalnya sebagai ruang fisik yang
dapat dirasakan; kemudian sebagai abstraksi

semiotik yang menerangkan baik bagaimana
masyarakat biasa bernegosiasi dengan ruang
(mental map) ataupun bagaimana politisi,
perencana pembangunan, perusahaan, dan
sejenisnya bernegosiasi dengan ruang; dan
terakhir sebagai medium bagi tubuh untuk
hidup dan berinteraksi dengan tubuh lainnya.
Lefebvre memanifestasikan trialektika atas
ruang ke dalam terminologi spasial yang
disebutnya sebagai proses: spatial practice –
representations of space – representational
spaces (Lefebvre, 1991: 38-39). Praktek spasial
adalah aktivitas dan interaksi yang
mendefinisikan ruang. Praktek spasial
masyarakat akan menghasilkan definisi ruang
(milik masyarakat). Dengan demikian, untuk
memahami praktek spasial masyarakat dapat
dilihat melalui pembacaan terhadap ruang
milik masyarakat. Representasi ruang adalah


4 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku

ruang yang telah dikonseptualisasikan dengan
tujuan mengarahkan tindakan manusia.
Konsepsi-konsepsi ruang cenderung mengarah
pada sistem penanda verbal, seperti: peta,
maket tata ruang, informasi dalam gambar, dst.
Ruang representasi adalah ruang sebagai
tempat hidup penduduk dan pengguna ruang.
Ini adalah ruang yang telah terdominasi oleh
tamsilan dan simbol tertentu. Ruang
representasi cenderung bertalian secara logis
dengan sistem simbol dan penanda non-verbal.
Aktivitas-aktivitas kekuasaan dalam
ruang tidak bekerja dalam bentuk kekuasaan
absolut, tidak terlokalisasi pada sumber
kekuasaan tertentu melainkan terpencar
diberbagai lokasi dan bekerja untuk
mendisiplinkan masyarakat. Konsep dispositif
(apparatus) yang diajukan Foucault (1980)

dapat menerangi bagaimana kekuasaan
bekerja di dalam ruang sosial. Foucault
mendeskripsikan dispositif sebagai:
a thoroughly heterogeneous ensemble
consisting of discourses, institutions,
architectural forms, regulatory
decisions, laws, administrative
measures, scientific statements,
philosophical, moral and philanthropic
propositions [...] the dispositif itself is
the system or relations that can be
established between these elements
(1980; 94)
Ruang bersifat sirkular; pada satu sisi
sebagai salah bentuk produk sosial dan di sisi
yang lain turut aktif memproduksi ruang baru.
Sirkularitas ruang memungkinkan terjadi
karena ia adalah konstituen dari elemen
dispositif (West-Pavlov, 2007: 150). Ruang fisik
yang dirasakan dan termanifestasi dalam
praktek spasial keseharian masyarakat harus
berhadapan dengan proyek-proyek
representasi ruang milik elit, birokrat,
perancang tata ruang, dst yang
diaktualisasikan melalui teknologi-teknologi
politik dan diskursus-diskursus saintifik
(dispositif). Interaksi keduanya mendorong
lahirnya ruang 'baru' (dengan cara menindih
dan mempenetrasi ruang lama) sekaligus
menjadi ruang representasi bagi ideologi
dominan.
Bagaimana bangunan konsep ruang
(dan teori produksi ruang) menjelaskan
sengketa status wilayah di enam desa?

Sebelumnya ada dua hal yang harus saya
dudukan, pertama adalah pemahaman bahwa
desa merupakan ruang sirkular; medium dari
hubungan-hubungan sosial dan produk
material yang mempengaruhi hubunganhubungan sosial, vice versa. Desa bukan
sekadar objek yang diperebutkan atau
diperjuangkan oleh agensi, tetapi sebagai
tempat berlangsungnya konflik sekaligus
struktur konstitutif yang memampukan (juga
3
menghambat) konflik antar-agensi. Kedua,
ruang adalah produk sosial. Pemaknaan
terhadap sebuah ruang selalu melibatkan
proses negosiasi dan kontestasi. Melalui
pengetahuan/kekuasaan, subjek-subjek
berusaha menghegemoni makna atas sebuah
ruang agar dapat mempolakan tindakan dan
interaksi manusia yang hidup didalamnya.
Berangkat dari konseptualisasi di atas, tulisan
ini akan mendeskripsikan signifikansi politik
ruang dalam sengketa wilayah enam desa.

C. Syair Lama, Arransemen Baru
Kami merasa diciderai oleh
keputusan-keputusan politik yang tidak
melibatkan masyarakat enam desa dan
merubah-ubah sejarah hubungan antara
masyarakat enam desa dan Kesultanan Jailolo.
[Freddy Punene (Ketua Forum Perjuangan
Enam Desa),1 Mei 2010]

Sejarah enam desa tidak dapat
dipisahkan dengan rangkaian kejadian,
seperti: kebijakan transmigrasi tahun 1975,
konflik kekerasan di Maluku Utara tahun 19992000, produksi pertambangan emas PT NHM
semenjak tahun 1999, pemekaran wilayah
Provinsi Maluku Utara tahun 1999, penggalian
kembali Kesultanan Jailolo tahun 2002, dan
pemekaran Kabupaten Halmahera Utara tahun
2003. Pada bagian ini saya tidak menguraikan
kronologi dari setiap kejadian tersebut
melainkan menyelaraskan analisa waktu dan
tempat kejadian. Pengedepanan analisa
sinkronik (narasi temporal-spasial) ditujukan
untuk memperlihatkan bekerjanya sirkularitas
ruang sosial sehingga mampu meningkatkan
daya penjelas atas realitas sosial yang terjadi di
enam desa.

Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 5

Secara geografis wilayah enam desa
terletak pada sepanjang pesisir Teluk Kao di
Pulau Halmahera. Setelah pemekaran Provinsi
Maluku Utara melalui UU No. 46 tahun 1999,
pemekaran Kabupaten Halmahera Utara
melalui UU No. 1 tahun 2003, dan dilanjutkan
dengan pemindahan ibukota provinsi dari Kota
Ternate (Pulau Ternate) ke Desa Sofifi di
Kabupaten Tidore Kepulauan pada tahun 2008
menjadikan wilayah enam desa strategis dalam
menghubungkan antara ibukota provinsi ke
kabupaten-kabupaten yang berada di bagian
utara dan barat Pulau Halmahera. Dari aspek
sumberdaya ekonomi, wilayah enam desa
tergolong kaya sumberdaya perikanan dan
sangat strategis semenjak perusahaan
pertambangan emas PT. Nusa Halmahera
Mineral (PT. NHM) mulai berproduksi pada
4
tahun 1999 di kawasan Gosowong. Terdapat
beragam etnis/sub-etnis yang tinggal di enam
desa, dengan kelompok terbesar dari Kao,
Tidore, Tobelo, Galela, Tobaru, Ibu, dan SangirButon.

Politik Demografi
dan Kekerasan Komunal
Pe m b a n g u n a n i s m e m e r u p a k a n
rujukan ideologis bagi segala kebijakan
ekonomi politik pemerintahan Orde Baru.
Salah satu kebijakan yang sangat mengemuka
adalah (politik) demografi melalui programprogram transmigrasi. Kebijakan ini tidak
hanya untuk mengendalikan komposisi dan
jumlah penduduk antar pulau tetapi juga
mengakselerasikan perekonomian di daerahdaerah terbelakang. Penjelasannya adalah bagi
pemerintah Orde Baru kemiskinan adalah
persoalan budaya oleh karena itu diperlukan
modernisasi melalui asimilasi budaya
masyarakat yang memiliki etos kerja lebih baik.
Transmigrasi bedol kecamatan pada tahun
1975 dari Kecamatan Makian di Pulau Makian
ke daerah Malifut dan Jailolo di Pulau
Halmahera dapat dibaca dalam kerangka pikir
proyek besar politik demografi pemerintahan
5
Orde Baru. Etnis Makian mayoritas beragama
Islam, dikenal memiliki karakter
kewirausahaan, dan memiliki posisi strategis
pada jabatan-jabatan pemerintahan.

Transmigrasi penduduk Pulau Makian
berserta perangkat pemerintahan desa dan
kecamatan ke wilayah Malifut dan Jailolo telah
melahirkan persoalan dalam penataan wilayah
administratif dan etnisitas antara transmigran
(etnis Makian) dengan penduduk lokal (etnis
Kao). Pemerintah daerah (saat itu Kabupaten
Maluku Utara) membuat teritorial baru yang
dibernama Kecamatan Makian Daratan untuk
tempat tinggal para transmigran. Wilayah
tersebut berada di wilayah Kecamatan Malifut.
Bagi masyarakat lokal, wilayah Kecamatan
Makian Daratan adalah tanah adat yang
dipinjamkan kepada etnis Makian. Namun
logika ini berbeda dengan perspektif
pemerintah dalam memandang hak atas tanah.
Akibatnya kontestasi identitas ruang
(penggunaan nama 'Makian' pada kecamatan
baru) dan praktek spasial antara transmigran
dan penduduk lokal menjadi tidak
terhindarkan. Kondisi ini ditambah lagi dengan
peningkatan disparitas ekonomi antara para
transmigran dengan penduduk lokal akibat
perlakukan istimewa pemerintah melalui
bantuan sosial kepada para transmigran.
Pembuat kebijakan menggelar politik
representasi atas ruang (Kecamatan Makian
Daratan) melalui pernyataan saintifik dan
teknologi politik, seperti: sistem administrasi
kependudukan, regulasi, institusi-institusi
sosial, dll.
Setelah 18 tahun, pemerintah daerah
kembali melakukan reteritorialisasi terhadap
desa-desa di kawasan ini. Keputusan DPRD
tingkat II Maluku Utara tanggal 11 September
1993 untuk menghapus dan menggabungkan 5
(lima) desa di Kecamatan Kao dan 6 (enam)
desa di Kecamatan Jailolo, menjadi Kecamatan
6
Makian-Malifut mengembalikan memori masa
lalu. Imagi ruang dan identitas ruang yang
telah terkubur kembali digali oleh kebijakan
pemerintah daerah. Masyarakat di 11 desa
menolak untuk bergabung dalam Kecamatan
Makian-Malifut dengan alasan penambahan
“Makian” pada nama kecamatan selain belum
tuntasnya proses hidup bersama antara etnis
Makian dengan penduduk lokal. Tanpa
penyelesaian yang tuntas, kedua persoalan ini
diredam melalui instrumen-instrumen
kekuasaan.

6 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku

Momen-momen produksi ruang
bertaburan pada fase ini. Tumpang-tindih dan
saling penetrasi antara ruang sosial
masyarakat lokal dengan ruang sosial
transmigran tidak terhindarkan dan ini
memang proses alamiah. Interaksi imagi ruang
(space of representation) penduduk lokal dan
transmigran membidani pembentukan ruang
sosial dan identitas ruang baru. Dua yang
menarik dari proses produksi ruang pada fase
ini adalah terjadinya pengendapan ruang sosial
lama oleh penduduk lokal dan pengerasan atau
penegasan antagonisme-antagonisme antara
transmigran dan penduduk lokal dalam praktek
spasial keseharian mereka.
Kejadian selanjutnya adalah lahirnya
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1999 (PP
No. 42/1999) tentang Penataan Wilayah
Kecamatan di Kabupaten Dati II Maluku Utara
dan Provinsi Dati I Maluku. Meskipun
penggabungan 11 desa dari dua kecamatan
telah dilakukan semenjak 1993, namun. PP No.
42/1999 sejatinya hanya mengubah nama
Kecamatan Makian-Malifut menjadi wilayah
administrasi Kecamatan Malifut. Penolakan
atas integrasi identitas ruang warga berimbas
pada pelayanan pemerintahan, pembangunan,
dan kemasyarakatan. Lima desa yang berasal
dari Kecamatan Kao tetap mendapat pelayanan
dari Kecamatan Kao, sementara enam desa dari
Kecamatan Jailolo tetap mendapat pelayanan
dari Kecamatan Jailolo. Aksi boikot warga 11
desa terhadap pelayanan yang seharusnya
diberikan dari Kecamatan Malifut
me ny e ba bka n a kt ifit a s pe me r int a ha n
kecamatan tidak berjalan normal. Seiring
dengan berjalannya waktu, lima desa dari
Kecamatan Kao yang awalnya menolak
bergabung, pada akhirnya kelima desa ini
menerima dimaksukan dalam wilayah
Kecamatan Malifut. Sementara sebagian besar
warga enam desa tetap tidak mau masuk dalam
Kecamatan Malifut. Dengan berbagai
argumentasi, akan saya dijelaskan pada bagian
selanjutnya, mereka tetap menginginkan
menjadi bagian dari Kecamatan Jailolo. Bagi
mereka PP No. 42/1999 adalah sumber
masalah yang memicu konflik diantara warga
enam desa hingga saat ini.
Pada bulan Agustus 1999, kekerasan
komunal di Maluku Utara pecah. Kekerasan
dimulai di Pulau Halmahera antara kelompok

etnis Kao yang mayoritas beragama Kristen
dengan etnis Makian yang beragama Muslim
dengan medan pertempuran di Kecamatan
Malifut (Rozi, et.al, 2006; Klinken, 2007). Dari
11 desa, gelombang kekerasan semakin meluas
ke Kecamatan Tobelo, Pulau Halmahera bagian
utara hingga ke Pulau Ternate dan Tidore.
Hingga kekerasaan berakhir pada tahun 2000,
jumlah korban jiwa mencapai 2.794 atau
terbesar dalam sejarah kekerasan nonseparatis di Indonesia pasca Orde Baru
(Varshney, et.al, 2004)
Layaknya bara dalam sekam,
kontestasi ruang (konflik ruang) yang telah
terjadi semenjak tahun 1975 menemukan
momentum untuk diangkat kembali. paling
tidak ada dua skenario mengapa kekerasan
komunal Maluku Utara pertama kali terjadi di
Kecamatan Malifut. Skenario pertama,
jatuhnya rejim otoriter Orde Baru diikuti
dengan melemahnya sistem praktek kekuasaan
negara di daerah. Pelemahan ruang
representasi (representasional space) negara
yang dibangun melalui pendisiplinan
masyarakat di Kecamatan Malifut
dimanfaatkan etnis Kao untuk merestorasi
imagi ruang yang selama ini mengendap. Pada
saat bersamaan diskursus politik komunitarian
yang ditandai dengan kebangkitan
kesultanan/kerajaan lokal
menggejala di
hampir seantero wilayah Indonesia
memperkuat amunisi bagi etnis Kao untuk
menantang dominasi ruang negara dalam
praktek spasial keseharian mereka. Namun
demikian, target kontestasi dan negosiasi atas
ruang bukan dengan negara melainkan etnis
Makian yang selama ini diuntungkan oleh
kebijakan tata kelola ruang ataupun simbol
representasi keberadaan negara dalam
masalah persengketaan di wilayah tersebut.
Skenario kedua, jika kekerasan komunal di
Maluku Utara adalah bagian perekayasaan elit
politik maupun militer maka menjadikan
Kecamatan Malifut sebagai medan konflik
pertama adalah pilihan paling tepat. Sebab,
benih-benih konflik telah tersedia di sini.
Kontestasi ruang yang menjadi legenda konflik
antara etnis Kao dan etnis Makian semakin
runcing dengan identitas agama yang melekat
pada kedua etnis. Di sini isu konflik ruang dapat
dipergunakan sebagai pemicu eskalasi
kekerasan, selanjutnya isu akan digeser

Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 7

menjadi konflik antar-agama. Narasi konflik
kekerasan agama di Poso dan Ambon
mempermudah untuk menggeser isu konflik
ruang di Maluku Utara.
Dari dua skenario di atas, tampak
bahwa ruang memiliki posisi yang signifikan
dalam perubahan sosial di Maluku Utara,
terutama di Kecamatan Malifut. Kekerasan
komunal yang luar biasa di Maluku Utara tidak
dapat dilepaskan dari kontestasi/negosiasi
ruang antara etnis Makian dan etnis Kao
walaupun semakin meluas gelombang
kekerasan semakin menghilang pula isu konflik
ruang antara Kao dengan Makian.

Pemekaran dan Emas
...ada masyarakat yang bertahan
hanya karena kita orang menjaga solidaritas
dan menghormati orang tua (tokoh
masyarakat). Dorang tidak melihat mereka
bertahan karena pelayanan ataupun sejarah.
... dana comdev menjadi daya tarik
masyarakat untuk pindah [Rudy Gofotor
(Kepala Desa Tetewang versi Halut), 1 Mei
2010).
Selain pembentukan Kecamatan
Malifut dan kekerasan komunal, terdapat tiga
momen yang penting setelahnya, yaitu:
pemekaran Provinsi Maluku Utara, produksi
tambang emas di kawasan Gosowong oleh PT
NHM, dan pemekaran Kabupaten Halmahera
Utara (Halut), Halmahera Selatan (Halsel), dan
Kepulauan Sula dari Kabupaten Maluku Utara
pada tahun 2003. Ketiga momen ini sama-sama
berpengaruh pada proses produksi ruang di
enam desa.
Sebagian besar kajian pemekaran
daerah di Maluku Utara tidak pernah lepas dari
analisa elit lokal (misalnya: Yanuarti, 2004;
Tryatmoko, 2005; Klinken, 2007). Refleksi
Pratikno (2002) terhadap fenomena
pemekaran daerah menghasilkan temuan yang
sangat kuat tentang elit. Menurutnya,
'dalam pengalaman hampir seluruh
kasus pembentukan daerah otonom,
yang tidak pernah dirugikan oleh
kebijakan pemekaran adalah lapisan
elit di semua komponen. Elit politisi

akan meningkatkan pelebaran
sumberdaya politik berupa jabatan
politik baru seperti Kepala Daerah dan
DPRD. Elit birokrasi juga memperoleh
keuntungan dengan semakin
terbukanya promosi baru, eselon baru,
dan jabatan struktural baru di daerah
otonom.'
Elaborasi tentang perilaku dan
persaingan antar-elit bahkan telah
menempatkan mereka pada posisi signifikan
untuk memahami sukses-gagal pemekaran
daerah. Hipotesis generik ini cenderung
menggiring pada condicio sine qua non
sehingga mudah terpeleset dalam menganalisa
tentang elit dan hubungannya dengan
pemekaran daerah. Untuk menanggapi hal
tersebut, dan menjadi landasan dalam
memaparkan bagian ini, ada dua proposisi yang
harus dicermati, yaitu: elit bukan subjek
otonom dan hanya melalui diskursus
keberadaan mereka diperhitungkan.
Gerakan pemekaran Kabupaten
Maluku Utara menjadi Provinsi Maluku Utara
selalu dihubungkan dengan konsep Moluku Kie
Raha (Empat Kerajaan Kepulauan/TernateTidore-Bacan-Jailolo). Berbagai studi tentang
sejarah Maluku Utara mengidentikan Moluku
Kie Raha dengan empat kesultanan yang
memegang kekuasaan tradisional atas seluruh
masyarakat Pulau Halmahera dan kepulauan di
sekitarnya (Amal, 2009; Martodirdjo, 1995).
Seperti halnya konsep-konsep yang beruratakar pada kebudayaaan, Moluku Kie Raha
bersifat multi-intepretatif. Ia tidak hanya
menyodorkan ikatan sosial politik di
lingkungan kelembagaan tingkat pusat
kesultanan ataupun ikatan sosial-spiritual
masyarakat Maluku Utara (Martodirdjo, 1995:
108). Namun lebih dari itu, Moluku Kie Raha
adalah imagi ruang/spasial yang mengikat
identitas masyakarat dan empat institusi
kesultanan yang ada di Maluku Utara. Sebagai
sebuah kesatuan yang membentuk konsep
Moluku Kie Raha, maka ketiadaan salah satu
dari empat kesultanan dapat menghilangkan
maknanya. Pembangkitan kembali Kesultanan
Bacan di tahun 1998 dan Kesultanan Jailolo
7
tahun 2002, bukan hanya menandai
kebangkitan politik komunitarian tetapi
merupakan proyek simbolisasi kultural dan
legitimasi politik atas representasi ruang yang
bernama Maluku Utara.

8 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku

Proyek-proyek representasi ruang
pasca 1998 yang digagas dan didorong oleh
elit-elit daerah menggejala seiring dengan
terbukanya keran kebijakan pemekaran
daerah. Restorasi kerajaan-kerajaan lokal
pasca Orde Baru umumnya diikuti dengan
proposal pemekaran kabupaten/kota ataupun
provinsi setidaknya hal ini telah terkuatkan
dalam studi yang dilakukan Klinken (2010).
Penggalian kembali Kesultanan Jailolo
berdampak pada penyempurnaan diskursus
Moluku Kie Raha, pemobilisasian imagi ruang
masyarakat Maluku Utara, dan peningkatan
daya tawar dalam menegosiasikan ruang
dengan pemerintah pusat. Pada saat yang
sama, hadirnya kembali Kesultanan Jailolo
akan memberikan angin segar untuk membuka
kesempatan pengembangan kecamatan
menjadi Kabupaten Halmahera Barat (Halbar)
dan bagi perjuangan masyarakat enam desa
melepaskan diri dari Kecamatan Malifut dan
bergabung dengan Kecamatan Jailolo
(Kabupaten Halbar). Sungguhpun otoritas dan
pengaruh politik Kesultanan Jailolo tidak
sebesar yang dimiliki Kesultanan Ternate dan
Tidore, namun kehadirannya merupakan aset
bagi pengolahan diskursus ruang dan identitas
Kabupaten Halbar dan status enam desa.
UU No. 46/1999 merupakan capaian
paripurna atas imagi ruang Maluku Utara
menjadi Provinsi Maluku Utara dengan
cakupan wilayah yang kurang lebih sama
dengan imagi ruang dalam konsep Moluku Kie
Raha. Tiga tahun kemudian disahkan UU No.
1/2003 tentang pembentukan Kabupaten
Halmahera Utara (Halut), Halmahera Timur
(Haltim), Halmahera Selatan (Halsel),
Kepulauan Sula, dan Kota Tidore Kepulauan.
Pemekaran Kabupaten Halut, Halsel, dan
Kepulauan Sula berasal dari kabupaten induk
Maluku Utara. UU ini juga merubah nama
Kabupaten Maluku Utara menjadi Kabupaten
Halmahera Barat seraya memindahkan
ibukotanya dari Ternate ke Jailolo. Dengan
terbentuknya Kabupaten Halut, maka status
adminitratif enam desa masuk dalam
Kecamatan Kao, Kabupaten Halut.
Involusi spasial Kabupaten Halbar
memberikan dampak yang sangat luas pada
aspek sosio-kultural, ekonomi, dan politik bagi
elit dan pejabat lokal. Praktek spasial di dalam
ruang fisik dan ruang sosial mengalami

penyempitan. Kewenangan pengelolaan
sumberdaya ekonomi yang bersumber dari
tanah (soil dan land) dan sumberdaya politik
dari penguasaan wilayah administratif harus
diserahkan kepada daerah otonom lain.
Demikian halnya dengan sumberdaya sosiokultural yang terlegitimasi dari kekuasaan
simbolik pasca kebangkitan Kesultanan Jailolo
mengalami penyusutan. Jika demikian, tidak
berlebihan jika pemerintah Kabupaten Halbar
memberikan dukungan penuh kepada
perjuangan enam desa yang berkeinginan
mengintegrasikan wilayahnya ke dalam
Kabupaten Halbar. Sebaliknya, pemerintah
Kabupaten Halut mempertahankan status
enam desa ke dalam wilayahnya sesuai dengan
regulasi yang ada.
Perjuangan mayoritas penduduk enam
desa mendapat dukungan dari pemerintah
Kabupaten Halbar melalui pembentukan
kecamatan dan pemberian pelayanan publik
kepada masyarakat enam desa. Pemerintah
Kabupaten Halbar mengeluarkan Peraturan
Daerah No. 6 tahun 2005 tentang pembetukan
Kecamatan Jailolo Timur. Kecamatan Jailolo
Timur melingkupi wilayah 6 (enam) desa yaitu
Desa Bobane Igo, Tetewang, Akelamo,
Akesahu, Dum-Dum, dan Pasir Putih. Di lain
pihak, teritorialisasi enam desa ke dalam
Kecamatan Jailolo Timur oleh pemerintah
Kabupaten Halbar mendorong upaya serupa
dari pemerintah Kabupaten Halut. Pemerintah
Kabupaten Halut mengeluarkan Peraturan
Daerah No. 2 tahun 2006 tentang pembentukan
Kecamatan Kao Teluk yang terdiri dari desadesa dari Kecamatan Kao (termasuk enam desa
yang menjadi sengketa). Dampak dari dua
kebijakan ini adalah setiap desa di wilayah
enam desa terdapat dua versi pemerintahan
desa. Ketegangan antar-warga desa yang
mengindentifikasikan diri mereka sebagai
warga Kabupaten Halbar pada satu pihak dan
Kabupaten Halut di pihak lain terjadi di tingkat
desa.
Apa yang berharga dari wilayah enam
desa? Bangunan argumentasi yang
mengetengahkan operasi pertambangan PT.
NHM sebagai salah satu faktor penyebab
konflik status wilayah di enam desa pasca
tahun 1999 dan melanggengkan konflik hingga
saat ini sulit untuk disangkal. Operasi
pertambangan PT. NHM di dalam kawasan

Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 9

blok-blok tambang yang disepakati dalam
kontrak karya menambah variabel penyebab
konflik sehingga menambah kompleksitas
penyelesaian konflik status wilayah di enam
desa. Seperti dikemukakan Klinken (2007)
“masalah ruwet itu semakin menjadi-jadi
terutama ketika NHM, sebuah perusahaan
Australia, menemukan emas di Gosowong di
Kecamatan Kao yang berdekatan dengan
wilayah yang bertikai itu”.
PT. NHM adalah perusahaan joint
venture, antara Newcrest Mining Limited,
Australia (82,5%) dengan PT. Aneka Tambang,
Indonesia (17,5%), yang menandatangani
“Kontrak Karya” penambangan emas di
kawasan Gosowong, bagian utara Pulau
Halmahera pada 28 April 1997. Setelah
mendapatkan ijin tahap pembangunan
konstruksi pada September 1998, PT NHM
mulai mengajukan lisensi kehutanan untuk
aktivitas kontruksi. PT NHM mendapat ijin dari
Menteri Kehutanan untuk membuka hutan di
kawasan Gosowong-Toguraci pada 23 Oktober
1998 (Newcrest Mining Limited, 1999).
Produksi emas pertama di kawasan Gosowong
pada tanggal 25 Juli 1999. Produksi ini adalah
generasi pertama dari enam generasi kontrak
karya penambangan emas yang dipegang oleh
PT. NHM. Gosowong adalah nama lain dari
tambang Kencana yang meliputi blok-blok
pertambangan terbuka (open pits) di daerah
Gesowong dan Toguraci (Newcrest Mining
Limited, 2009). Gosowong dan Toguraci berada
di wilayah Kecamatan Kao dan Kecamatan
Malifut, Kabupaten Halut.
Konflik antara PT. NHM dengan
masyarakat pertama kali berkaitan dengan
pengambilalihan status hutan adat Soa Pagu
(Suku Pagu) dan kawasan hutan lindung yang
berada di penambangan Gosowong. Pada tahun
1997, PT NHM meminta masyarakat Soa Pagu
untuk menyerahkan tanah adatnya sebagai
kelanjutan dari Kontrak Karya dan lisensi
kehutanan yang telah mereka kantongi.
Menurut masyarakat Soa Pagu, wilayah ini
adalah hutan adat mereka dan mereka tidak
pernah mendapat informasi dan menyetujui
pengalihan status hutan adat menjadi wilayah
penambangan (Coalition Against Mining in
Protected Areas, 2004). Konflik-konlfik
selanjutnya berkaitan dengan rekruitmen
tenaga kerja lokal, pengelolaan-distribusi dana

Community Development (Comdev)/Corporate
Social Responsibility (CSR), dan pencemaran
lingkungan di Teluk Kao (PSKP, 2010b).
Mengikuti UU Perimbangan Keuangan
(UU No. 33/2004) dan UU Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU No. 4/2009), dana
bagi hasil dan perizinan dari operasi
pertambangan PT NHM yang dapat ditarik oleh
kabupaten setempat merupakan daya tarik
tersendiri bagi elit-elit lokal dan pejabat lokal.
Sementara bagi masyarakat yang secara
administratif terdaftar sebagai penduduk
kabupaten, penyaluran dana Comdev/CSR
adalah berkah selain bantuan-bantuan sosial
yang diberikan oleh pemerintah daerah. Ini
semua hanya dapat dinikmati jika kawasan
pertambangan masuk dalam teritori kabupaten
yang bersangkutan.
Hingga saat ini, daerah eksploitasi
emas PT NHM berada pada wilayah Kecamatan
Kao Teluk, Kabupaten Halut yang secara
yuridis enam desa masuk didalamnya. Oleh
karenanya, pendapatan daerah dari produksi
tambang emas PT NHM masuk ke dalam kas
Kabupaten Halut, sementara dana
Comdev/CSR diberikan kepada warga yang
masuk ke dalam sistem adminsitrasi
kependudukan Kabupaten Halut. Demikian
halnya dengan proses rekruitmen tenaga kerja
lokal, dimana PT NHM hanya mau merekrut
pekerja (rendahan) yang memiliki identitas
kependudukan (KTP/Kartu Tanda Penduduk)
Kabupaten Halut. Persoalan muncul ketika
sebagian besar masyarakat enam desa
menolak masuk ke dalam administrasi
kependudukan Kabupaten Halut. Karena
mereka hanya memiliki KTP Kabupaten Halbar
maka dengan sendirinya mereka tidak dapat
bekerja di PT NHM serta tidak mendapat jatah
dana Comdev/CSR sungguhpun mereka tinggal
di kawasan tambang yang sama-sama
mendapatkan eksternalitas dari kegiatan
produksi pertambangan. Kondisi ini terjadi
semenjak tahun 2006 ketika kedua pemerintah
kabupaten mengeluarkan Perda tentang status
enam desa. Sebelumnya tahun 2006, seluruh
masyarakat enam desa mendapatkan
8
pembagian jatah Comdev/CSR dari PT NHM.
Isu pencemaran lingkungan di Teluk
Kao mulai mengemuka pada pertengahan
tahun 2000-an. Masyarakat enam desa, juga
masyarakat desa-desa lain yang

10 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku

menggantungkan sumber penghidupannya
pada sumberdaya perikanan di Teluk Kao resah
karena hasil tangkapan ikan, terutama ikan
teri, di perairan Teluk Kao semakin lama
semakin berkurangnya. Akibatnya tidak sedikit
penduduk enam desa yang terpaksa beralih
pekerjaan. Masalah muncul terutama bagi
mereka yang tidak memiliki tanah untuk
digarap menjadi lahan pertanian, perkebunan,
maupun perternakan. Jalan keluar yang
diambil oleh sebagian besar kelompok ini
adalah mengubah hutan konservasi yang ada di
desa mereka menjadi lahan pertanian,
sebagian lainnya bekerja pada sektor-sektor
informal. Sementara penduduk enam desa
yang memiliki tanah, kesulitan yang mereka
hadapi adalah tidak memiliki keterampilan dan
pengetahuan tentang pertanian, perkebunan,
dan perternakan, serta tidak tersedianya pasar
untuk mempertukarkan hasil-hasil
produksinya.

D. Epilog
Sekelumit cerita tentang enam desa di
atas memberikan gambaran tentang
signifikansi ruang dalam dinamika dan
perubahan sosial di enam desa. Proses
negosiasi dan kontestasi ruang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari di enam desa melalui
agensi-agensi yang berkepentingan terhadap
pemaknaan ruang sosial enam desa. Melalui
pengetahuan, mereka membangun imaginasi
ruang di enam desa dan melalui instrumen
dispositif, mereka mempraktekan kekuasaan
untuk mewujudkan ruang representasi enam
desa yang mempolakan praktek spasial seharihari masyarakat enam desa termasuk para
agensi. Proses produksi makna atas ruang
enam desa tidak pernah final karena selalu
berada pada situasi kontigensi.
Resistensi warga enam desa yang
menginginkan bergabung dengan Kabupaten
Halbar dikoordinasikan oleh Forum Perjuangan
Enam Desa. Eksistensi forum perjuangan ini
didukung oleh pemerintah Kabupaten Halbar
melalui perangkat aparat Kecamatan Jailolo
Timur. Susunan pengurus organisasi yang
dibentuk oleh para kepala desa dan mantan
kepala desa versi Kabupaten Halbar. Mereka

secara aktif melakukan pewacanaan tandingan
terhadap kebijakan-kebijakan Kabupaten
Halut dan PT NHM terhadap status dan
penduduk enam desa. Sensus penduduk Badan
Pusat Statistik (BPS), Daftar Pemilih Tetap
(DPT) untuk Pemilu, penolakan pendirian pos
polisi di enam desa oleh Polres Halut,
pemberian pelayanan pendidikan dan
kesehatan bagi warga enam desa, reproduksi
narasi sejarah tentang Kesultanan Jailolo,
intimidasi, hingga aksi masa di Kantor
Gubernur merupakan sebagian upaya dalam
menggalang dukungan bagi perjuangan
mereka.
Berlangsungnya sengketa status
wilayah enam desa hingga saat ini dibaca
sebagai bentuk kedinamisan proses
negosiasi/kontestasi atas ruang yang tidak
pernah final. Praktek-praktek kekuasaan yang
diperagakan oleh para agensi melalui
diskursus sejarah, pelayanan publik,
administrasi pemerintahan, ilmu pengetahuan
tata ruang, distribusi dana-dana community
development/social corporate responsibility,
pembentukan forum perjuangan enam desa,
hingga tindakan-tindakan intimidasi dan
kekerasan merupakan upaya-upaya
hegemonisasi atas ruang enam desa. Lebih
jauh lagi, cerita konflik status wilayah enam
desa telah mengkonfirmasi konsep ruang
dalam teori-teori kritis geografi manusia dari
pemikir-pemikir mazhab Frankfurt maupun
post-strukturalis Perancis. Agenda-agenda
penelitian tentang pemekaran dan konflik
batas wilayah di Indonesia yang bersandar dari
perspektif ini tampaknya semakin mendesak
untuk dilakukan agar mendapatkan gambaran
dan solusi kebijakan yang lebih utuh.

Ucu Martanto
Staf Pengajar Departemen Politik, FISIP
Universitas Airlangga dan Assosiate
Researcher pada Pusat Studi Keamanan dan
Perdamaian (PSKP), Universitas Gadjah Mada.

Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 11

Catatan Akhir
1

Pengaturan tentang batas daerah dibuat sangat terlambat dan intrumen-intrumen yang dimiliki
pemerintah daerah masih terbatas. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah mengatur bahwa dalam penegasan batas daerah dapat
diwujudkan dengan: a. Penelitian dokumen; b. pelacakan batas; c. pemasangan pilar batas; d.
pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; dan e. pembuatan peta batas; serta f. khusus
penegasan batas daerah di laut juga dilakukan penentuan titik awal dan garis dasar.

2

Dalam penelitian berjudul Building Peace within Community: Developing Social Cohesion in
West Halmahera, penulis bersama tim peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian-UGM
melakukan penelitian selama 6 (enam) bulan di Kabupaten Halbar dan Halut. Data yang
digunakan dalam tulisan ini banyak bersumber dari penelitian tersebut. Hasil penelitian ini
dapat dilihat dalam PSKP (2010) Laporan Assesment di Enam Desa Kabupaten Halmahera
Barat, PSKP-SERASI USAID.

3

Realita ini dikonseptualisasikan Giddens dengan menggunakan terma 'duality of structure',
namun Giddens tidak menyadari bahwa konsep ini telah terlebih dahulu diteorisasikan Lefebvre
dengan istilah 'production of space'.

4

Sebagian wilayah enam desa masuk dalam kawasan lingkar tambang yang diproduksi oleh PT
NHM. Belakangan terdengar rencana PT. NHM untuk memperluas kawasan pertambangannya
hingga ke Desa Dum-Dum dan Akesahu.

5

Berbekal hasil penelitian Direktorat Vulkanologi pada tahun 1973 terhadap aktivitas Gunung Kie
Besi, Bupati Maluku Utara membuat Surat Keputusan No. 9/10-1/MU/75 tanggal 30 Juni 1975
untuk mengosongkan Pulau Makian dari aktifitas pemerintahan dan domisili penduduk. Surat
Keputusan Bupati ini dipertegas dengan memornadum DPRD Kabupaten Maluku Utara No.
I/DPRD/MU/77 tanggal 3 Maret 1977 tentang penegasan pemindahan penduduk Pulau Makian
ke daratan Malifut Halmahera. Direktorat Vulkanologi berkirim surat kepada Bupati Maluku
Utara yang isinya mempertajam argumen pemindahan penduduk berserta perangkat
pemerintahan desa hingga kecamatan di Pulau Makian (Kabupaten Halmahera Barat, 2010).

6

Lima desa dari Kecamatan Kao adalah Desa Sosol, Wangeotak, Tomabaru, Tabobo, dan Gayok.
Enam desa dari Kecamatan Jailolo adalah Desa Dum-Dum, Akesahu, Akelamo Kao, Tetewang,
Bobane Igo, Pasir Putih.

7

Jejak terakhir tentang keberadaan Kesultanan Jailolo tercatat tahun 1656, setelah itu
eksistensinya hilang dalam catatan sejarah. Banyak versi cerita rakyat yang mengisahkan
keberadaan Sultan dan Kesultanan Jailolo setelah tahun 1656. Tahun 2002 menerangkan
penobatan Sultan Jailolo dihadapan Sultan Ternate, Tidore, dan Bacan. Pencarian terhadap
pewaris tahta Kesultanan Jailolo telah dilakukan jauh sebelum tahun 2002, bukan tidak mungkin
ini dilakukan karena urgensi konsep Moluku Kie Raha dalam pemekaran Provinsi Maluku Utara.

8

Tahun 2005 dana comdev diberikan kepada seluruh desa yang masuk dalam kawasan lingkar
tambang tanpa kecuali. Setelah tahun 2006 ketika mau kucur dana, ada informasi kalau mau
ambil harus rubah stempel desa. Pemerintah Kabupaten Halut memanggil beberapa orang
untuk membentuk pemerintahan desa (versi Halut) dan membagikan dana comdev kepada
masyarakat yang ikut dalam pemerintah desa. Setiap tahun dana comdev meningkat tahun 2006
dapat Rp. 75 juta; tahun 2007 jadi sekitar Rp. 100 juta lebih; tahun 2008 jadi Rp. 300 juta lebih;
tahun 2009 mendapat jatah Rp. 600 juta untuk tiap proposal kegiatan yang diajukan tiap desa.
[Rudi Gofotor (Kepala Desa Tetewang versi Halut), 1 Mei 2010].

12 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku

Daftar Pustaka
Amal, Adnan. 2009. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950,
Makassar: Pusat Kajian Agama dan Masyarakat (PUKAT).
Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin. 2004. Patterns of Collective
Violence in Indonesia (1990-2003). UNSFIR Working Paper - 04/03.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Evaluasi Kebijakan Pembentukan DOB, Kajian
Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan Keuangan di DOB, Direktorat Otda BappenasJakarta.
Coalition Against Mining in Protected Areas. 2004. Fact Sheet: Community opposition to Newcrest
/ PT Nusa Halmahera Mineral. Diunduh dari: http://users.nlc.net.au/mpi/rr/docs/h4-engfactsheet-NHM-Newcrest-hires.pdf
Departemen Dalam Negeri. (2005), Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran Wilayah di Era
Otonomi Daerah. Pusat Litbang Otonomi Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Dalam Negeri. Jakarta.
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri, (2010) Daftar Daerah Otonom
Baru Pembentukan Tahun 1999-2009. Diunduh tanggal 2 Desember 2010 dari
http://www.depdagri.go.id/media/documents/2010/03/05/d/o/-1.pdf
Foucault, Michel. 2007. Security, Territory, Population: Lectures at the Collège de France, 197778, (Terj. Graham Burchell), New York: Palgrave.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977
(ed. and transl. Colin Gordon). New York: Pantheon.
Gottdiener, M. 1993. A Marx for Our Time: Henri Lefebvre and the Production of Space,
Sociological Theory, Vol. 11, No. 1 (Mar., 1993), pp. 129-134.
Kabupaten Halmahera Barat.2010. Dokumen Perkembangan Penanganan Aspirasi Enam Desa di
Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat.
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta.
Klinken, Gerry van., 2010. Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik
Lokal, dalam Davidson, Jamie S., Henley, David., Moniaga, Sandra (ed). Adat dalam Politik
Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV.
Lefebvre, Henri. The Production of Space (terj. Donald Nicholson-Smith), Blackwell.
Lembaga Administrasi Negara. 2005. Laporan Evaluasi Penyelenggaran Otonomi Daerah Periode
1999-2003, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Lembaga Administrasi Negara,
Jakarta.
Martin Jones, Rhys Jones and Michael Woods. 2004. An Introduction to Political Geography.
Routledge.
Martodirdjo, Haryo S. 1995. Orang Tugutil di Halmahera dalam Konteks Kebudayaan Maluku
Utara, Masyarakat Indonesia, Tahun XXII No. 1, 1995, Edisi Khusus.
Newcrest Mining Limited. 1999. Annual Report 1999. Newcrest Australia. hal 22. Diuduh tanggal
12 Juli 2010 dari http://www.newcrest.com.au//upload/83_18x10x200431313PM.pdf.
Newcrest Mining Limited. 2009. Sustainability Report 2009. Australia: Newcrest Mining Limited.
D i u n d u h p a d a t a n g g a l 1 2 J u l i 2 0 1 0 d a r i
http://www.newcrest.com.au//pdf/Sustainability%20Report%202009.pdf.
Pratikno. (2002). Rasionalisasi Pemekaran dan Penggabungan Daerah, Jurnal Pemekaran Daerah,
Edisi 1 No. 1, Pascasarjana PLOD-UGM.
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian. (2010a) Assessment Report: Enam Desa Kabupaten
Halmahera Barat, PSKP-UGM dan SERASI-USAID.
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian. (2010b) Workshop Report: Membangun Kohesi Sosial di
Enam Desa, PSKP-UGM dan SERASI-USAID.
Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 13

Soja, Edward. 1989. Postmodern Geographies: The Reassertion of Space in Critical Social Theory,
London: Verso.
Tryatmoko, Mardyanto W. 2005. 'Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elit Lokal di Maluku Utara',
Masyarakat Indonesia Jilid XXXI No. 1 2005, LIPI: Jakarta.
Yanuarti, Sri. et.al,. 2004. Konflik Maluku Utara: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian
Jangka Panjang, Jakarta: LIPI.
West-Pavlov, Russell. 2009. Space in Theory: Kristeva, Foucault, Deleuze, Amsterdam-New York,
NY: Rodopi B.V.

14 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku